PERSEPSI MASYARAKAT SUMBAWA TERHADAP WISDOM PADA LANSIA

PERSEPSI MASYARAKAT SUMBAWATERHADAP WISDOM PADA
LANSIA
Oleh: NINA ROSDIANA ( 02810181 )
Psychology
Dibuat: 2007-04-17 , dengan 3 file(s).

Keywords: MASYARAKAT SUMBAWA
TERHADAP WISDOM PADA LANSIA
Usia lanjut atau lansia merupakan periode terakhir dalam fase perkembangan manusia. Dengan
semakin meningkatnya usia harapan hidup, diperkirakan antara tahun 1970-2025 penduduk
lansia dunia bertambah 694 juta atau 233%, menjadi 1,2 miliar. Pertumbuhan lansia di Indonesia
tercepat di dunia. Pada tahun 2025 diperkirakan menjadi 35 juta orang. Berdasarkan data BPS,
dari 203,456 juta penduduk Indonesia, terdapat 17,767 juta atau 7,79 % lansia (dalam Sinar
Harapan, 2003).
Pada masa lansia, seperti fase-fase perkembangan lainnya, manusia dituntut untuk menyesuaikan
diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara fisik, psikologis maupun sosialnya.
Perubahan-perubahan itu antara lain menurunnya atau mundurnya kemampuan atau fungsi
seorang individu secara fisik, mental maupun sosialnya.
Kemunduran ini selain disebabkan oleh faktor fisik dapat pula disebabkan oleh faktor psikologis
dimana sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan, dan kehidupan pada
umumnya dapat menuju ke keadaan uzur, karena terjadi perubahan pada lapisan otak. Akibatnya

orang akan menurun secara fisik dan mental dan mungkin akan segera mati (Hurlock, 1980 : h.
380). Karena itu, penurunan atau kemunduran fungsi pada individu ini berpotensi untuk
menimbulkan masalah kesehatan baik secara fisik maupun secara mental pada lansia.
Dengan banyaknya permasalahan yang timbul pada lansia ini seringkali memunculkan
pandangan negatif masyarakat terhadap sosok lansia. Para lansia seringkali dianggap sudah tidak
berguna sehingga mereka menjadi kurang diperhatikan bahkan cenderung diabaikan. Sementara
itu disisi lain, masyarakat tetap tidak bisa memungkiri bahwa sesungguhnya kehadiran lansia ini
tetap diperlukan, karena para lansia ini memiliki wisdom (kebijaksanaan) yang sangat
dibutuhkan dalam memberikan pandangan-pandangan atau nasehat-nasehat bagi orang atau
generasi yang lebih muda. Berdasarkan pengalaman dan wisdom yang dimilikinya, para lansia
dapat mengerti mengenai apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasi atau menyelesaikan
masalah dalam kehidupan yang serba tidak pasti. Kail & Cavanaugh (2000 : h. 512) mengatakan
bahwa orang-orang yang wise mengetahui sebagian besar sekitar bagaimana cara melakukan
hidup, bagaimana cara menginterpretasikan kejadian-kejadian dalam hidup, dan apa arti dari
kehidupan..
Sejauh ini, penelitian mengenai wisdom pada lansia telah menjadi salah satu topik yang sangat
penting dalam psikologi. Beberapa penelitian telah dilakukan baik di luar negeri maupun di
Indonesia, antara lain penelitian yang dilakukan Dr. Paul Baltes, dari Max Planck Institude for
Human Development di Berlin. Penelitiannya menilai level seseorang dalam wisdom dengan
analisis diskusi mengenai krisis atau dilema spesifik. Dr. Baltes menemukan bahwa dengan

bertambahnya usia seseorang, biasanya dia akan menjadi lebih mahir dan percaya diri dalam
memilah tindakan yang tepat untuk mengatasi kasus bunuh diri dimana usia 60 tahun sampai 80
tahun rata-rata secara signifikan lebih baik daripada mereka yang berusia 20-an, khususnya
dalam masalah hidup dan mati (dalam Carey, 2005).

Di Indonesia sendiri, penelitian ini dilakukan antara lain oleh Agustina S Basri (dalam Yacub,
2002), dan berhasil menemukan fakta bahwa kelompok lansia tampak lebih mantap dan jelas
dalam memandang ciri-ciri wisdom. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan pada beberapa suku
yang ada di Indonesia, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Dra. Titi Mumfangati yang
meneliti kearifan lokal di lingkungan masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah (2004),
John Ryan Bartholomew (2001) yang meneliti tentang kearifan masyarakat Sasak, dan
Syahrasaddin (2000) yang meneliti tentang kearifan lokal masyarakat di Daerah Interaksi TNKS
Wilayah Kerinci propinsi Jambi.
Pappalia (2002 : h. 243) menyebutkan bahwa tidak semua orang dapat menjadi wise. Meskipun
wisdom mungkin berkembang pada setiap periode kehidupan, lansia akan memberikan tempat
yang subur untuk pertumbuhannya. Seperti kata Confusius (dalam Supiyo, 2006) menjadi wise
itu sebuah proses, artinya, ketika orang berumur 20 tahun, ia belajar bijaksana. Pada usia 30
tahun, ia tumbuh bijaksana. Menginjak usia 40 tahun, ia merasa bijaksana. Naik ke umur 50
tahun, dari merasa ia mencoba menjadi bijaksana. Memasuki usia 60 tahun, ia mulai bijaksana.
Dan pada umur 70 tahun, ia baru bijaksana. Jadi, untuk mencapai sebuah wisdom memang

dibutuhkan adanya proses yang panjang dan berkelanjutan. "So, it really takes so long to be so
wise".
Lansia memang lebih memungkinkan untuk memiliki wisdom karena para lansia ini telah
mengalami berbagai masalah atau pengalaman-pengalaman dalam hidupnya yang dapat
mengajarkannya cara terbaik untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Kenyon, et al (2006)
menggambarkan bahwa usia tua memiliki kekuatan-kekuatan "self-creating" karena mereka
kelihatannya menjadi lebih bebas dalam keputusan mereka, dan kurang pokok dalam pengaruhpengaruh eksternal seperti mode dan trend yang meluas dikalangan anak muda. Mereka juga
mengemukakan bahwa usia tua dapat hidup lebih baik dengan kontradiksi dalam hidup dan
mereka dapat melihat dengan cepat inti dari suatu situasi karena mereka sangat berpengalaman.
Karena manusia selalu belajar dari lingkungan yang tentunya sarat dengan nilai-nilai budaya
tertentu maka tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan suatu daerah juga berpengaruh pada
nilai-nilai wisdom seseorang. Menurut Sternberg&Lubart, wisdom telah dihubungkan dengan
lansia dalam hampir seluruh masyarakat didunia baik dalam tradisi budaya Barat maupun budaya
Timur (Hoyer, 2003 : h. 361).
Dengan wisdom yang dimilikinya, diyakini bahwa para lansia yang biasanya dipandang negatif
akan menjadi lebih dihargai dan dihormati. Lansia akan dipandang sebagai seseorang yang
paling mengerti tentang nilai-nilai budaya pada daerahnya, sehingga pendapat mereka akan
selalu digunakan dalam menjalani kehidupan. Hal itu juga terjadi di Indonesia. Meskipun di
Indonesia terdapat banyak budaya dan suku bangsa namun pada umumnya, menurut Untaryo
(2006, h. 3), para lansia dalam tata kehidupan keluarga Indonesia masih menduduki tempat yang

terhormat. Dalam permasalahan keluarga, para orang tua masih selalu dimintai nasehat dan
pendapatnya terutama pada acara-acara adat seperti perkawinan, upacara keagamaan dll, dan ada
kalanya juga dalam hal mencari solusi rumit apabila ada konflik keluarga.
Demikian pula yang terjadi pada masyarakat tradisional Samawa (Sumbawa). Sebagai salah satu
suku yang ada di Indonesia, kekhasan keluarga Samawa adalah keluarga besar dengan beberapa
keluarga tinggal bersama (Raba, 2002 : h. 70), dan lansia dalam keluarga itu akan menjadi
“penasehat keluarga”. Selain itu, pada suku Sumbawa (Samawa) yang sangat menonjol adalah
ketergantungan dan kepatuhan masyarakat terhadap tokoh-tokoh pemuka agama atau tokoh adat
sebagai tokoh panutan dalam kehidupan sehari-hari (Pemerintah NTB, 2005). Tentunya untuk
menjadi seorang tokoh-tokoh pemuka agama atau tokoh adat ini dibutuhkan orang yang wise

dalam menjalankan hidupnya sehingga patut dijadikan panutan oleh masyarakat sekitarnya.
Namun, dengan adanya modernisasi, keluarga besar mulai menghilang, pasangan keluarga baru
kini cenderung hidup memisah dari orangtuanya, bahkan nilai-nilai budaya Sumbawa lambat
laun mulai memudar. Para generasi muda sedikit sekali yang mengetahui identitas budaya
mereka. Semua itu karena sikap masyarakat Sumbawa yang selalu terbuka dan mudah menerima
nilai-nilai dari budaya-budaya asing atau budaya dari daerah-daerah lain di Indonesia, hal ini
memang membawa dampak yang positif bagi perkembangan teknologi atau pun meningkatnya
taraf kesehatan dan kesejahteraan penduduk, akan tetapi para generasi mudanya kurang
memperhatikan dan melestarikan budaya-budaya lama sehingga sedikit demi sedikit budaya

Sumbawa mulai meredup. Arif (2006) mengatakan bahwa dinamistik etnik Sumbawa ini
memang cukup menggembirakan, namun sikap dinamis ini malah mengantarkan etnis Sumbawa
melupakan akar budayanya sendiri. Tau Samawa terlalu berbangga dengan budaya baru yang
belum tentu sesuai dengan keadaan Sumbawa. Selain itu, Arif (2003) juga mengatakan bahwa
Sumbawa merupakan titik kecil dalam gugus nusantara dengan keanekaragaman budaya yang
kaya dan inovatif, namun faktor manusianya cenderung melemahkan budaya tersebut. Hal ini
mengakibatkan budaya Sumbawa akan semakin menipis dan lambat laun akan menghilang
dengan sendirinya.
Begitu pula yang terjadi dengan peran para lansia. Meskipun sejauh ini para lansia di Sumbawa
masih dihormati, namun keterlibatan mereka dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat mulai
memudar. Menurut Zulkarnain dalam wawancara tanggal 14 November 2006, pada umumnya
para lansia di Sumbawa sudah tidak diizinkan lagi oleh anak maupun cucunya untuk melakukan
kegiatan-kegiatan produktif. Sehingga, para lansia lebih memilih untuk aktif dalam menjadi
pemakmur masjid sebagai pemeluk Islam yang taat dan juga aktif berdiskusi tentang agama,
kebudayaan dan sosial kemasyarakatan dengan sesama lansianya.
Padahal sejatinya, lansia dengan wisdom yang dimilikinya ini dapat menjadi filter bagi
masuknya budaya-budaya asing dan menjadi penyatu antara budaya asing dengan nilai-nilai
budaya lama sehingga nilai-nilai budaya lama tersebut tidak hilang sama sekali, seperti kata
Untaryo (2006, h. 3), para lansia masih dianggap sebagai panutan yang memiliki pengalaman
dan wisdom, sehingga dengan demikian para lansia dapat mempergunakan kesempatan untuk

memadukan unsur-unsur nilai-nilai budaya lama dengan tata kehidupan masa kini dalam
mendampingi generasi yang lebih muda. Zulkarnain (2006) juga mengemukakan bahwa pada
masalah ini sangat tergantung pada bagaimana generasi penerus lansia menggali, mengkaji,
memanfaatkan dan menembangkan wisdom tersebut untuk peningkatan harkat dan martabat
kehidupan manusia dan lingkungannya. Tentunya hal ini dipengaruhi pula oleh bagaimana
masyarakat memandang wisdom pada lansia itu sendiri.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah dengan
memudarnya nilai-nilai budaya di Sumbawa dan berubahnya peran lansia, maka pandangan
masyarakat terhadap wisdom lansia tersebut juga akan berubah atau tidak. Untuk itu peneliti
akan mencoba mendapatkan informasi tersebut melalui penelitian yang akan dikenakan pada
kelompok remaja, dewasa dan lansianya sendiri sebagai tiga generasi penting dalam tatanan
kehidupan bermasyarakat.
Penelitian ini penting dilakukan karena dapat menjadi studi awal bagi penelitian-penelitian
lainnya dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat luas maupun penelitipeneliti lainnya dalam memahami lansia dan wisdom yang dimilikinya

Abstract
Old age or elderly is a last period in a phase of human development. With the increasing life expectancy,
estimated between the years 1970-2025 the world's elderly population increased 694 million or 233%,
to 1.2 billion. The growth of the elderly in Indonesia, the world's fastest. In the year 2025 is estimated to
be 35 million people. Based on BPS data, from 203.456 million population of Indonesia, there were

17.767 million or 7.79% elderly (in Sinar Harapan, 2003).
In the elderly, like other development phases, humans are required to adapt to changes that occur,
whether physical, psychological and social. Those changes include the decrease or withdrawal of the
ability or function of an individual physical, mental and social.
This setback caused by factors other than physical may also be caused by psychological factors which
the attitude is not happy with yourself, others, work, and life in general can lead to senility, because
there is a change in the lining of the brain. As a result people will decline physically and mentally and will
probably die soon (Hurlock, 1980: p. 380). Therefore, the reduction or decline in function of these
individuals has the potential to cause health problems both physically and mentally in the elderly.
With so many problems that arise in these elderly people are often led to negative views toward the
figure of the elderly. The elderly are often considered to have no useful so they become less attention
and even tended to be ignored. Sementara itu other hand, people still can not deny that the real
presence of the elderly is still needed, because the runners have the wisdom (wisdom) which is needed
in giving the views or advice for people or the younger generation. Based on the experience and wisdom
it possesses, the elderly can understand about what they should do to overcome or solve problems in
life are uncertain. Kail & Cavanaugh (2000: p. 512) says that the wise people who know most about how
to live, how to interpret the events in life, and what is the meaning of life ..
So far, research on the wisdom of the elderly has become one of the most important topics in
psychology. Several studies have been conducted both abroad and in Indonesia, among others, research
by Dr. Paul Baltes, of the Max Planck Institude for Human Development in Berlin. His research assessing

the level of someone in your wisdom with analytical discussion of specific crises or dilemmas. Dr. Baltes
finds that with increasing age of a person, he will become more adept and confident at picking the right
action to cope with suicide cases where the age of 60 years to 80 years on average significantly better
than those in their 20s, particularly in a matter of life and death (in Carey, 2005).
In Indonesia alone, the study was conducted among others by Agustina S Basri (in Yacub, 2002), and
managed to find the fact that the elderly appear more steady and clear in looking at the characteristics
of wisdom. In addition, this study also conducted in several tribes in Indonesia, among others, a study
conducted by Dra. Titi Mumfangati examining local knowledge in communities Samin Blora regency,
Central Java (2004), John Ryan Bartholomew (2001) who studied the indigenous Sasak people, and
Syahrasaddin (2000) who studied the indigenous communities in the Region of Interaction Region TNKS
Kerinci in Jambi province .
Pappalia (2002: p. 243) mentions that not everyone can become wise. Though wisdom may be
developed in every period of life, the elderly would provide a fertile place for growth. As Confucius said
(in Supiyo, 2006) to be wise is a process, that is, when people aged 20 years, he learned to be wise. At
age 30, he grew thoughtful. The age of 40 years, he was wise. Rise to the age of 50 years, from the
feeling he tries to be wise. Entering the age of 60 years, he began to be wise. And at the age of 70, she

was only prudent. So, to achieve a wisdom is required of a long and continuous process. "So, it really
takes so long to be so wise."
Elderly are more likely to have wisdom because the runners have experienced various problems or

experiences in life that can teach the best way to overcome these problems. Kenyon, et al (2006)
illustrates that old age has its own strengths "self-creating" that they seem to become more
independent in their decisions, and less principal in the external influences such as fashion and trends
are widespread among young people. They also suggested that old age can live better with the
contradictions in life and they can quickly see the essence of a situation because they are very
experienced.
Because humans are always learning from the environment which of course is loaded with specific
cultural values will not be denied that the culture of a region also affects the values of one's wisdom.
According to Sternberg & Lubart, wisdom has been associated with the elderly in almost the entire
world community in both the cultural traditions of Western and Eastern cultures (Hoyer, 2003: p. 361).
With the wisdom it possesses, it is believed that the elderly are generally viewed negatively will be more
appreciated and respected. Elderly will be seen as someone who is most understanding of cultural
values in the area, so that their opinions will always be used in life. It also happens in Indonesia. While in
Indonesia there are many cultures and ethnicities but in general, according Untaryo (2006, p. 3), the
elderly in the way of life of Indonesian families still occupy an honorable place. In family problems, the
parents still always be consulted and their opinions, especially on special occasions such as marriage
customs, religious ceremonies etc., and sometimes also in terms of looking for complex solutions when
there is family conflict.
Similarly, this also occurs in traditional societies Samawa (Sumbawa). As one of the tribes in Indonesia,
the uniqueness of Samawa family is a large family with several families living together (Raba, 2002: p.

70), and the elderly in the family it would be a "family advisor". In addition, the tribe of Sumbawa
(Samawa) a very prominent society is dependency and obedience to religious leaders or traditional
leaders as role models in everyday life (Government of NTB, 2005). Surely to become a religious leaders
or traditional leaders is necessary that wise people in running their lives so that should be a role model
by the surrounding community. However, with the modernization, large families begin to disappear,
new couples now tend to live apart from their parents, and even cultural values Sumbawa slowly began
to fade. The younger generation knows very little of their cultural identity. All of that because public
attitudes Sumbawa which is always open and receptive to the values of foreign cultures or cultures from
other regions in Indonesia, it does carry a positive impact for the development of technology or even the
increased level of health and welfare of the population, will but the younger generation less attention to
and preserve old cultures so that little by little Sumbawa culture began to fade. Arif (2006) says that
ethnic dinamistik Sumbawa is quite encouraging, but the attitude of this dynamic even forget to deliver
ethnic Sumbawa own cultural roots. Tau Samawa too proud with the new culture that is not necessarily
appropriate to the circumstances of Sumbawa. In addition, Arif (2003) also said that Sumbawa is a minor
point in the group of the archipelago with a rich cultural diversity and innovative, but the human factor
tends to undermine the culture. This resulted in Sumbawa culture will gradually dwindling and will
disappear by itself.
So it happened with the role of the elderly. Although so far the elderly in Sumbawa is still respected, but
their involvement in all aspects of social life began to fade. According Zulkarnain in an interview on 14


November 2006, in general the elderly in Sumbawa is not allowed anymore by children and
grandchildren to perform productive activities. Thus, the elderly prefer to be active in pemakmur
mosque as a devout Muslim and also active in discussions about religion, culture and social community
with fellow lansianya.
And true, with the wisdom of its elderly may be a filter for the entry of foreign cultures and become a
unifying between foreign culture with a long cultural values so that the old cultural values are not lost at
all, as the saying Untaryo (2006, p. 3), the elderly are still regarded as a role model who has the
experience and wisdom, so that seniors can use the opportunity to integrate the elements of the old
cultural values with modern life in order to accompany the younger generation. Zulkarnain (2006) also
points out that in this problem depends on how the next generation of elderly people explore, assess,
utilize and tembang of wisdom is to increase the dignity of human life and the environment. Of course
this is also influenced by how society views the elderly wisdom itself.
Based on what has been described above, researchers interested in knowing whether the weakening of
cultural values on Sumbawa and the changing role of the elderly, the public views on the wisdom elderly
will also be changed or not. For that researchers will try to obtain this information through research that
will apply to groups of adolescents, adults and lansianya itself as important in the order of three
generations of social life.
This research is important because it can be a preliminary study to other studies and can contribute
ideas for the public and other researchers in understanding and wisdom of its elderly.

Dokumen yang terkait

Persepsi Masyarakat Terhadap Upaya Pendukung Pemenangan Komodo (P2K) Sebagai Tujuh Keajaiban Dunia Alam Baru (Studi Deskriptif Mengenai Persepsi Masyarakat Kelurahan Sei Agul Terhadap Upaya Pendukung Pemenangan Komodo (P2K) Sebagai Tujuh Keajaiban Dunia

1 94 92

Perbedaan Kebijaksanaan (Wisdom) pada Lansia Ditinjau dari Jenis Pekerjaan

8 75 129

Persepsi Masyarakat Kelurahan Mangga Perumnas Simalingkar Terhadap Televisi Lokal DELI TV (DTV) Medan (Studi Deskriptif Tentang Persepsi Masyarakat Kelurahan Mangga Perumnas Simalingkar Terhadap Televisi Lokal Deli TV (DTV) Medan)

5 51 141

Persepsi Masyarakat Terhadap Acara “Tukar Nasib“ (Studi Deskriptif Tentang Persepsi Masyarakat Perumahan Bumi Asri Medan Terhadap Acara Reality Show “Tukar Nasib“ di SCTV).

2 52 132

JARINGAN KOMUNIKASI MASYARAKAT SUMBAWA DALAM MEMPERTAHANKAN KESENIAN MUSIK SAKECO (Studi pada Masyarakat Desa Motong Kecamatan Utan, Kabupaten Sumbawa)

2 10 28

Analisis Pola Interaksi Masyarakat Pendatang Terhadap Masyarakat Lokal di Sumbawa Barat Studi di Kecamatan Maluk, Sumbawa Barat, NTB

3 45 87

Gambaran Persepsi Lansia Tentang Tugas Kader di Posyandu Lansia Mawar Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Tahun 2014

0 8 113

OLAHRAGA PADA LANSIA | Karya Tulis Ilmiah

0 0 11

OLAHRAGA PADA LANSIA

0 0 7

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM CETAK SAWAH BARU (Kasus di Desa Marente Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa) PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM CETAK SAWAH BARU (Kasus di Desa Marente Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa) PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PROG

0 0 11