Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase Nasional

lebih dari itu. Menurut Aristoteles sangatlah adil memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan pengadilan umum, karena pandangan-pandangan arbiter selalu bertumpu pada keadilan, sementara hakim hanya terfokus pada hukum. Dengan demikian alasan para pihak menunjuk arbiter dalam penyelesaian sengketa menurut Aristoteles adalah karena adanya jaminan akan dipenuhinya rasa keadilan dalam penyelesaian sengketa bagi para pihak. Demosthenes juga lebih menyukai penyelesaian sengketamelaluiarbitrasedibandingkanpengadilanumumkarenapengadilanumum mengharuskan semua bukti dan kesaksian ditunjukkan ke pengadilan dalam bentuk serba tertulis affidatis 28 sedangkan dalam arbitrase tidak ada keharusanitu. Serangkaian kasus di abad ke-5 sebelum Masehi yang terkait dengan perang Pelopenesia antara Athena dan Sparta menunjukkan fungsi arbitrase telah dikenal saat itu. Praktek Arbitrase juga telah dilakukan di Ur dan Mesopotamia sejak sekita 2800 SM. Peran Mesir Kuno dalam menyusun arbitrase diakui cukup penting sebagaimana diketahui melalui kepemimpinan orang Assyria, Babylonia dan Hittita, yang biasa menyelesaikan sengketa atau pertikaian dengan menggunakan arbitrase, meskipun arbitrase pada masa itu belumlah seterkenal ketika masa pemerintahan Hammurabi di Babylonia 1728 SM-1686 SM yang mengeluarkan beberapa aturan prosedur arbitrase yang dapat menjadi acuan para pihak bersengketa untuk menyelesaikan sengketa mereka. Praktek arbitrase tetap bertahan di masa Romawi bahkan juga di abadkegelapan abad 5-13 29 setelah abad pertengahan dan di era modern saat ini. Dalam hukum Romawi, para pihak menyepakati untuk menyerahkan sengketanya kepada arbiter. Kesepakatan para pihak ini dulu bernama a compromissum 30 . Aturan-aturan hukum tentang arbitrase sudah ada dan dapat ditemukan pada kitab UU Justianus yaitu Codex Iustinianus 2.55, Digesta 4,5. Ketentuan arbitrase telah pula diatur dalam Kitab II Novellae 82.11. Bahkan arbitrase termuat pula dalam UU Byzantinium lama, pada hukum dan praktik di Negara Eropa barat dan di dalam kitab-kitab suci, seperti kitab suci agama Islam dan Kristen. 31 Arbitrase memiliki sifat universal yaitu dalamhal 28 Maqdir Ismail, 2007, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Australia, Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, hlm1-2 29 Ibid 30 Huala Adolf, Op.cit,hlm197 31 Ibid prinsip-prinsip hukum yang dikenal dalam berbagai sistem hukum yang dikenal dalam berbagai sistem hukum di dunia. 32 Arbitrase sebagai suatu lembaga hukum berkaitan erat dengan perdagangan internasional yang dibuat oleh para pedagang yaitu bagian dari hukum para pedagang Lex Mercatoria. Bahkan sarjana Perancis Edouard Lambert memandang arbitrase sebagai salah satu pilar dari 3 pilar Lex Mercatoria . Ke tiga pilar Lex Mercatoria adalah kebiasaan dagang, model kontrak, danarbitrase. 33 Peran arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa dagang internasional dimulai diakhir abad 18 melalui Jay Treaty 1974 antara Amerika dengan Inggris. Jay Treaty mengubah praktek yang berlaku sebelumnya dari penyelesaian jalur diplomatik beralih ke jalur hukum yaitu arbitrase internasional. 34 Kontribusi Islam juga penting terhadap perkembangan dan praktek arbitrase modern, bahkan sebelum kedatangan agama Islam di Semenanjung Arab misalnya di kalangan para suku di Mekah, arbitrase merupakan prosedur baku dalam penyelesaian perselisihan-perselisihan sosial, ekonomi dan politik yang timbul di antara mereka dimana dengan cara meminta para kepala suku untuk terlibat dalam konsultasi atau arbitrase bersama dalam memecahkan perselisihan tersebut. Prinsip-prinsip dasar atau substansi dari apa yang disebut arbitrase sebenarnya terdapat didalam Alquran dalam surat Annisa ayat58 35 32 Ibid 33 Ibid hlm198-199 34 M Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm 182 dan226 35 Maqdir Ismail, op.cit, hlm5 58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. Menurut El Ahadab, Nabi Muhammad SAW bersedia mengadili kasus arbitrase, atau sebagai gantinya beliau menunjuk seorang arbiter dan menerima putusan arbiter tersebut. Beliau juga menganjurkan suku-suku agar menyelenggarakan arbitrase bila terjadiperselisihan. 36 Tahun 1899 dan 1907 adalah tahun yang cukup penting dalam sejarah perkembangan arbitrase internasional karena di tahun itulah berhasil disepakatinya perjanjian multilateral pertama tentang arbitrase melalui Convention of the Pacific Settlement of International Disputes . Permanent Court of Arbitration merupakan lembaga arbitrase publik yang dibentuk atas dasar konvensi tersebut1907. 37 Liga Bangsa-Bangsa LBB organisasi pendahulu PBB berperan cukup besar dalam pengembangan hukum arbitrase internasional. Beberapa instrumen hukum internasional terkait arbitrase yang berhasil dihasilkan lembaga ini antara lain 1923 Geneva Protocol on Arbitration Clauses, 1927 Geneva Convention on the Execution of Foreign Arbitral Award. Kedua aturan ini berupaya mengakomodir kebutuhan masyarakat internasional akan kepastian hukum terkait pelaksanaan putusan arbitrase asing. Memiliki banyak kelemahan, kedua konvensi ini disempurnakan melalui Perjanjian-Perjanjian Multilateral berikutnya seperti New York Convention 1958, Washington Convention 1965 sampai UNCITRAL Model Law 1985. Upaya harmonisasi aturan-aturan hukum arbitrase yang sangat penting adalah keberhasilan UNCITRAL melahirkan 2 instrumen hukum penting di bidang arbitrase, selain Konvensi New York 1958yaitu: 1. UNCITRAL Arbitration Rules 1976 Revisi2010 2. UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration tahun 1985 Revisi2006 36 El Ahdab, Abdul Hamid, 1987, The Moslem Arbitration Law in Arab Comparative Commercial Law The International Approach, Graham Trotman, hlm 335 sebagaimana dikutip oleh Ibid, hlm5 37 Ibid Sekarang telah berkembang beberapa lembaga arbitrase internasional yang dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional atau konvensidiataranya 1 Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce ICC Didirikan sesudah Perang Dunia I pada tahun 1919, berkedudukan di Paris. Badan arbitrase ini mempunyai tugas menyelesaikan sengketa di bidang perdagangan di mana para pihak yang bersengketa berbedakewarganegaraan 2 The International Centre for Settlement of Investment Disputes ICSID Merupakan salah satu badan internasional badan pemerintah, bukan swasta yang terpenting bagi penyelesaian perselisihan investasi, Indonesia telah mengesahkan konvensi ini dengan UU Nomor 5 Tahun 1968 merupakan persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antarnegara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other States atau disebut juga World Bank Convention atau Konvensi Bank Dunia. Lembaga ICSID ini berkedudukan di Washington Amerika Serikat. Didirikan atas inisiatif Bank Dunia World Bank pada tanggal 16 Februari 1968 berdasarkan Convention of the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States. Pusat penyelesaian sengketa investasi internasional ini bertugas menyelesaikan perselisihan investasi antara suatu negara dan warga negara asing. Beberapa negara juga telah mendirikan badan arbitrase nasional yang bertugas menyelesaikan perselisihan yang terjadi dalam hubungan dagang yang bersifat domestik maupun internasional. Badan arbitrase nasional tersebut, diantaranya: 38 1 Indonesia, lembaga arbitrase yang memberikan jasa arbitrase yakni BANI Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang didirikan atas prakarsa Kamar Dagang dan Industri Indonesia, BASYARNAS Badan Syariah Nasional yang didirikan oleh MUI Majelis Ulama Indonesia pada awalnya BASYARNAS namanya BAMUI Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, lembaga arbitrase ini didirikan mempunyai untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lainnya terutama yang berdasarkan syariat Islam, BAPMI Badan Arbitrase Pasar ModalIndonesia, 38 Rachmadi Usman, 2002, Hukum Arbitrase Nasional, Grasindo, Jakarta, hlm8 2 Amerika terdapat The American Arbitration Association yang didirikan pada tahun 1926 3 Inggris terdapat The British Institute of Arbitrators dan The London Court of Arbitration 4 Belanda terdapat Nederlands ArbitrageInstitute 5 Jepang terdapat The Japan Commercial Arbitration Association, didirikan berdasarkan Commercial ArbitrationRule. Di Indonesia pranata arbitrase ini, telah dikenal sejak tahun 1894 yaitu sejak Pemerintah Hinda Belanda memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering atau disingkat dengan B.Rv atau Rv , S 1847-52 jo 1849-63. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini diatur dalam Pasal 615 sampai dengan 651 Rv. Rv adalah hukum acara yang dipergunakan bagi peradilan untuk Golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut. Peradilan untuk mereka adalah Raad van Justitie dan Residentie-gerecht. Bagi Golongan Bumiputera dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut dasar hukum berlakunya arbitrase pada jaman kolonial Belanda adalah Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg yang berbunyi Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa. Hukum acara yang berlaku bagi Golongan Bumiputera untuk daerah Jawa dan Madura adalah HIR Herziene Inlandsch Reglement sedangkan untuk daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Rechtsreglement Buitengewesten atau Rbg dimana peradilannya adalah Landraad. HIR dan RBg tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg langsung menunjuk aturan pasal-pasal yang terdapat dalamRv Dalam Rv Pasal-pasal yang mengatur mengenai arbitrase, diatur dalam Buku Ketiga tentang Aneka Acara. Pada Bab Pertama diatur mengenai ketentuan putusan wasit arbitrase mulai dari Pasal 615 sampai dengan Pasal 651. Pasal-pasal tersebut meliputi lima bagian pokokyaitu 1 Bagian Pertama Pasal 615-623 mengatur mengenai arbitrase dan pengangkatan arbitrator atauarbiter 2 Bagian Kedua Pasal 624-630 mengatur mengenai pemeriksaan di muka badan arbitrase 3 Bagian Ketiga Pasal 631-640 mengatur mengenai putusanarbitrase 4 Bagian Keempat Pasal 641-647 mengatur mengenai upaya-upaya terhadap putusan arbitrase 5 Bagian Kelima Pasal 647-651 mengatur mengenai berakhirnya acara-acaraarbitrase. Pada jaman Hindia Belanda, arbitrase dipakai oleh para pedagang baik sebagai eksportir maupun importir maupun pengusaha lainnya. Pada waktu itu Pemerintah Belanda telah membentuk tiga badan arbitrase tetapyaitu 1 Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumiIndonesia 2 Badan arbitrase tentangkebakaran 3 Badan arbitrase bagi asuransikecelakaan. 39 Pada jaman penjajahan Jepang Peradilan Raad van Justitie dan residen tiegerecht dihapuskan. Jepang membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi nama Tiboo Hooin . Badan peradilan ini merupakan kelanjutan dari peradilan Landraad pada jaman Hindia Belanda. Hukum acara yang digunakan masih tetap mengacu pada HIR dan RBg. Dengan demikian pada waktu penjajahan Jepang penyelesaian kasus arbitrase masih mengacu juga pada Rv. Mengenai berlakunya arbitrase ini, Pemerintah Jepang pernah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum dan undang-undang dari Pemerintah dahulu yaitu Pemerintah Hindia Belanda tetap diakui sah untuk sementara asalkan tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah MiliterJepang. Pada saat Indonesia merdeka, untuk mencegah terjadinya kevakuman hukum diberlakukanlah Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan segala badan Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Disamping itu juga pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Nomor 2 yang dalam pasal 1 menyatakan hal yang hampir sama yaitu segala badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar ini. 39 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Arbitrase, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm15 Maka dengan demikian pada waktu itu untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, RBg dan Rv. Keadaan ini terus berlanjut sampai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada tanggal 12 Agustus1999. Mengingat pesatnya perkembangan dunia usaha dan perdagangan nasional serta internasional sehingga ketentuan yang ada dalam Rv sudah tidak relevan lagi. Misalnya dalam Pasal 615 ayat 3 perjanjian arbitrase tidak harus tertulis, Pasal 641 ayat 1 diijinkannya banding ke Mahkamah Agung atas putusan arbitrase, Pasal 617 ayat 2 larangan bagi wanita untuk menjadi arbiter. Dengan demikian dengan berlakunya UU Arbitrase ketentuan HIR,Rbg,Rv yang mengatur mengenai arbitrase dinyatakan tidak berlakulagi. b SumberHukum Uraian mengenai Arbitrase akan didahului dengan memberikan penjelasan tentang sumber hukum arbitrase yang dibagi menjadi sumber hukum formal dan sumber hukum materialyaitu 1 Sumber HukumFormil Sumber hukum formil untuk arbitrase nasional diatur dalam: a UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 58 sampai dengan 59 b UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase danAPS c Putusan dijalankan menurut ketentuan dimuat dalam Pasal 637 dan Pasal 639 Rv Pasal 19 Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI , 40 padahal menurut UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS Pasal 81 menyatakan bahwa pada saat UU Arbitrase ini berlaku, ketentuan mengenai 40 Pasal 637 Rv mengatur mengenai keputusan para wasit dilaksanakan atas kekuatan surat perintah dari ketua raad van justitie seperti tersebut dalam pasal 634 dalam waktu 14 hari untuk jawa dan Madura, dan sedapat mungkin dalam waktu tiga bulan untuk tempat-tempat lain yang termasuk dalam daerah hukum raad van justitie di jawa, terhitung sejak hari keputusan, surat keputusan aslinya oleh salah satu dari para wasit, atau oleh seorang pengacara yang dikuasakan oleh mereka dengan akta otentik, diserahkan dikepaniteraan raad van justitie yang daerah hukumnya meliputi tempat dimana keputusan itu diambil.Rv 619,621,635,637, RBg 322-16 Akta penyerahan ditulis pada bagian bawah atau pinggir dari surat keputusan asli yang diserahkan dan ditandatangani oleh panitera dan juga oleh pihak yang menyerahkan. Panitera membuat akta itu, dan para wasit tidak boleh ditarik biaya akta itu, demikian juga uang persekot, tetapi biaya itu harus dibayar oleh para pihak sendiri, atau ditagih dari mereka KUHperd 1794,1811;rVsurat perintah mana dikeluarkan dalam bentuk seperti diuraikan dalam pasal 435 yang sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang. Hal itu dicantumkan diatas surat keputusan asli dandisalin pada turunan yang dikeluarkan Rv 638 dst,644,646 Pasal 639 Rv mengatur mengenai Keputusan wasit yang dilengkapi dengan surat perintah dari ketua raad van justitie yang berwenang, dilaksanakan menurut cara pelaksanaan biasa. Rv 435dst,644 arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Rv dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui HIR dan Pasal 705 RBg Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura dinyatakan tidakberlaku. d UU Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antarnegara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other States . Konvensi ini lazim juga disebut World Bank Convention atau Konvensi Bank Dunia atau dikenal juga dengan Washington Convention ditandatangani diUSA. e Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Konvensi ini ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958 dan mulai berlaku tanggal 7 Juni 1959, dikenal dengan nama New York Convention . Konvensi ini diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 5 Agustus 1981. Semula menurut Mahkamah Agung konvensi belum dapat dilaksanakan di Indonesia karena setelah ratifikasi masih diperlukan undang-undang pelaksanaan khusus dan hingga sekarang konvensi ini masih belum diundangkanl. Akan tetapi pendirian Mahkamah Agung sudah berubah dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1Tahun 1990 pada tanggal 1 Maret`1990. 41 f Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini putusan-putusan BANI yang menyangkut warga negara asing dapat dieksekusi di negara domisili warga negara asing atau badan hukum asing yang dikalahkan. Begitu juga sebaliknya berdasarkan asas resiprositas timbal balik maka putusan badan arbitrase di luar negeri atau asing dapat dieksekusi di Indonesia apabila pihak warga negara atau badan hukum Indonesiadikalahkan. 2 Sumber HukumMateriil Sumber hukum materiil untuk arbitrase nasional diatur dalam: Menurut Pasal 5, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangandikuasaisepenuhnyaolehpihakyangbersengketa.Tidakada 41 Priyatna Abdurrasyid, Op.cit, hlm 245-246 suatu penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase tersebut diatas, namun jika dilihat pada penjelasan Pasal 66 huruf b UU tersebut yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dimana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ruang lingkup perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang : perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal,industri, hak kekayaan intelektual. Sehingga sumber hukum materiil adalah peraturan perundang-undangan dalam ruang lingkup hukum perdagangan C Sistematika UUArbitrase Hal-hal yang diatur dalam UU Arbitrase dapat dikelompokkan ke dalam 10 sepuluh bab yang terdiri dari 82 Pasal dan 7 Bagian dengan cakupan materi sebagai berikut 1 Ketentuan Umum Pasal 1 sampai dengan5 2 Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal6 3 Syarat Arbitrase, pengangkatan arbiter, dan hak ingkar Pasal 7 sampai dengan Pasal 26 4 Acara yang berlaku di hadapan majelis arbitrase Pasal 27 sampai dengan Pasal51 5 Pendapat dan Putusan Arbitrase Pasal 52 sampai dengan Pasal58 6 Pelaksanaan putusan arbitrase Pasal 59 sampai dengan Pasal72 7 Berakhirnya tugas arbiter Pasal 73 sampai dengan Pasal77 8 Ketentuan Peralihan Pasal 78 sampai dengan Pasal79 9 Ketentuan Penutup Pasal 80 sampai dengan Pasal82 10 Dilengkapi dengan Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal demiPasal. D Tinjauan mengenai arbitrase nasional 1 Pengertian arbitrase Kata arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Jika melihat sejarah singkat munculnya arbitrase pada jaman Yunani Kuno sepertinya praktek arbitrase pada masa itu sama dengan pengertian arbitrase secara terminologi kata yaitu menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Aristoteles mengganggap arbitrase sebagai alternatif dari pengadilan karena keadilan bagi Aristoteles merupakan sesuatu yang berlaku lebih dari sekedar hukum tertulis. Menurutnya sangatlah adil memilih arbitrase dibandingkan pengadilan umum, karena pandangan-pandangan arbiter selalu bertumpu pada keadilan, sementara hakim hanya berfokus pada hukum. Alasan menunjuk arbiter dalam penyelesaian sengketa karena adanya jaminan dipenuhinya rasa adil bagi para pihak. 42 .Dalam perkembangannya di Indonesia menurut UU Arbitrase Pasal 56 ayat 1 dinyatakan bahwa arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan ex aequo et bono. Menurut etimologi kata Ex aequo et bono merupakan bahasa latin yang berarti menurut keadilan, demi keadilan 43 diterjemahkan dalam bahasa Belanda naar billijkheid dan dalam bahasa Inggris according to the jurisdiction . 44 Ex aequo et bono adalah kebebasan pihak arbiter untuk memutuskan sengketa dengan tidak mendasari putusannya pada ketentuan hukum yang rigid atau kaku, tetapi mendasarinya dengan prinsip-prinsipkeadilan. Penjelasan Pasal 56 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk menentukan bahwa arbiter dalam memutus perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan ex aequo et bono . Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan perundang- undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa dwingende regels harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter. Tetapi dalam hal arbiter tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan olehhakim. Sesungguhnya banyak pakar yang memberikan definisi mengenai arbitrase dengan penekanan yang berbeda-beda, pengertian otentik dari arbitrase dapat dibaca dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 1 yaitu arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Apa 42 Tod, Marcus Niebuhr, 1913, International Arbitration Among The Greeks, The Clarendon Press, hlm 150-159 see also de Seife, Rodolphe JA, 1987, Domke On Commercial Arbitration, Callaghan Company, hlm 11 dalam Maqdir Ismail, 2007, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Australia , Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta, hlm1 43 Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hlm120 44 Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, hlm360 yang dimaksud dengan para pihak dalam ketentuan ini, tidak lain adalah subyek hukum baik itu menurut hukum perdata maupun hukum publik. 2 Ruang lingkuparbitrase Setiap peraturan yang mengatur tentang arbitrase memiliki ketentuan yang berbeda mengenai ruang lingkup arbitrase. Dalam Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun yang dimaksud hak dalam pasal tersebut adalah hak pribadi yaitu hak-hak yang untuk menegakkannya tidak bersangkut paut dengan ketertiban atau kepentingan umum, misalnya:proses-proses mengenai perceraian, status anak, pengakuan anak, penetapan wali, pengampuan dan lain 45 . Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Anggaran Dasar BANI, ruang lingkup arbitrase menurut BANI yaitu memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. Pada ayat 3 dalam Pasal 1 AD BANI juga disebutkan bahwa BANI dapat memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian parapihak. Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa dagang. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut biasanya berasal dari sengketa atas suatu kontrak dalam bentuk sebagai berikutyaitu a Perbedaan penafsiran disputes mengenai pelaksanaan perjanjian berupa: 1 Persengketaan pendapat controversy 2 Kesalahpahaman misunderstanding 3 Ketidaksepakatan disagreement b Pelanggaran perjanjian breach of contract termasukdidalamnya 1 Sah atau tidaknyakontrak 2 Berlaku atau tidaknyakontrak c Pengakhiran kontrak termination ofcontract d Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawanhukum. 5Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, 2004, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,hlm.50 3 PerjanjianArbitrase Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase mengartikan perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, pactum de compromittendo atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. acta compromise Dengan adanya suatu perjanjian tertulis ini berarti meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat ke Pengadilan Negeri. Selanjutnya, dengan sendirinya Pengadilan Negeri tidak berwenang atau dengan kata lain wajib menolak untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam UUArbitrase. Cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ada dua macam yaitu: 46 a Dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok. Cara ini adalah cara yang paling lazimdigunakan b Klausula pactum de compromittendo dibuat terpisah dalam akta tersendiri Sedangkan pembuatan akta kompromis dalam UU arbitrase diatur dalam Pasal 9 yaitu harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak, dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis tersebut, perjanjian tertulis tersebut haruslah dibuat dalam bentuk akta notaris. Perjanjian tertulis harus memuat ketentuan: 1 Masalah yangdipersengketakan 2 Nama lengkap dan tempat tinggal parapihak 3 Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelisarbitrase 4 Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambilkeputusan 5 Nama lengkapsekretaris 6 Jangka waktu penyelesaiansengketa 7 Pernyataan kesediaan dari arbiterdan 8 Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. 46 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit.,hal50-51 Perjanjian tertulis yang tidak memuat ketentuan diatas konsekuensinya batal demihukum. Ada dua teori mengenai kekuatan berlakunya perjanjian arbitrase, apakah dapat dikesampingkan oleh para pihakyaitu 47 a Aliran yang menyatakan perjanjian arbitrase bukan public policy . Putusan Hoge Raad Belanda 6 Januari 1925 memutuskan walaupun ada klausula arbitrase, tetapi pengadilan tetap berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan, karena klausula arbitrase bukanlah openbaar orde. Aliran ini tidak diikuti dalam praktek yurisprudensi diIndonesia b Aliran yang menekankan asas Pacta Sun Servanda pada klausula atau perjanjian arbitrase. Aliran ini menyatakan bahwa klausul atau perjanjian arbitrase mengikat para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan kesepakatan bersama para pihak yang tegas untuk itu. Dalam hal ini penarikan secara diam-diam atau praduga tidak berlaku dan perjanjian atau klausula arbitrase dianggap menimbulkan kompetensi absolute. Aliran ini cukup banyak dianut oleh pengadilan-pengadilan. c Ada suatu perkembangan yang bertolak belakang dengan aliran Pacta Sun Servanda seperti yang diputuskan oleh Mahkamah Agung Nomor 1851 KPdt1984, walaupun ada klasula arbitrase dalam perjanjian para pihak PengadilanNegeri tetap menyatakan dirinya berwenang dan Mahkamah Agung membenarkan. Alasannya karena para pihak tidakserius. Perjanjian arbitrase bukan perjanjian bersyarat karena pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak digantungkan kepada suatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Sifat perjanjian arbitrase ini merupakan perjanjian accessoir dari perjanjian pokoknya. Ini berarti perjanjian pokok menjadi dasar lahirnya klausula atau perjanjian arbitrase. Jika perjanjian pokok tidak sah, maka dengan sendirinya perjanjian arbitrase batal dan tidak mengikat para pihak. Tapi dengan hapusnya atau berakhirnya perjanjian pokok, tidak menyebabkan hapus atau berakhir pula perjanjian atau klausula arbitrasenya. Perkecualian ini ditegaskan dalam Pasal 10 UU Arbitrase. Pasal tersebut menyatakan bahwa perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan keadaan: 47 Munir Fuady, 2000, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm121-122 1 Meninggalnya salah satupihak 2 Bangkrutnya salah satupihak 3 Novasi Pembaruanutang 4 Insolvensi Keadaan tidak mampu membayar salah satupihak 5 Pewarisan 6 Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatanpokok 7 Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan kepada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrasetersebut 8 Berakhirnya atau batalnya perjanjianpokok. Tentunya sebagai suatu perjanjian maka pembuatan perjanjian atau klausula arbitrase juga tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian pada umumnya sebagaimana tersebut dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan cara pembuatan akta kompromis menurut UU Arbitrase Pasal 9yaitu 1 Dalam hal para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh parapihak. 2 Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaries. 3 Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus memuat: a Masalah yangdipersengketakan b Nama lengkap dan tempat tinggal parapihak c Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase d Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan e Nama lengkap sekretaris f Jangka waktu penyelesaian sengketa g Pernyataan kesediaan arbiter dan h Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase 4 Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 batal demi hukum. 5Arbiter Pengangkatan arbiter ditentukan dalam Pasal 12-21 UU Arbitrase. Menurut Pasal 1 angka 7 UU Arbitrase arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Tentang Kriteria seorang arbiter, pada dasarnya setiap orang dapat diangkat menjadi arbiter jika ia memiliki dan memenuhi keahlian dan persyaratan tertentu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa dan memenuhi syarat pengangkatan arbiter yang dipersyaratkan oleh UU Arbitrase Pasal 12 yaitu a Cakap melakukan tindakan hukum b Berumur paling rendah 35 tahun c Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa d Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lainnya atas putusan arbitrase e Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. Dari ketentuan tersebut tidak diatur mengenai kemampuan bahasa, asal kebangsaan, dan lain-lain. Ini dapat diartikan bahwa memberikan kesempatan kepada arbiter asing yang kemampuannya diakui secara internasional misalnya BANI memiliki daftar arbiter yang didalamnya terdapat arbiter asing. Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Alasan pelarangan ini adalah agar terjamin adanya obyektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter dapat ditunjuk dengan beberapa cara yang berbedasebagai berikut: a Melalui kesepakatan diantara para pihak dalam perjanjianarbitrase Jumlah arbiter yang ditunjuk dapat arbiter tunggal satu arbiter atau berupa majelis arbiter tiga arbiter. Dalam hal para pihak telah bersepakat bahwa sengketa yang timbul akan diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal, para pihak wajib mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal tersebut. Pasal 14 UU Arbitrase menyatakan bahwa apabila dalam waktu paling lama 14 empat belas hari setelah termohon menerima usul pemohon para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal, atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter tunggal. Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter tunggal berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh para pihak, atau yang diperoleh dari organisasi atau lembaga arbitrase dengan memperhatikan baik rekomendasi maupun keberatan yang diajukan oleh para pihak terhadap orang yangbersangkutan. Penyelesaian sengketa dengan majelis arbitrase para pihak menunjuk dua orang arbiter yang diberi kewenangan untuk menunjuk arbiter yang ketiga. Arbiter ketiga kemudian diangkat sebagai ketua majelis arbitrase. Jika kedua arbiter tersebut dalam waktu 14 hari tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga, maka atas permohonan salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga. Pengangkatan tersebut tidak dapat diajukanpembatalan. Tetapi menurut Pasal 15 ayat 3 UU Arbitrase, apabila dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon dan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak. Ketentuan Pasal 15 ayat 3 tersebut nampaknya dimaksudkan untuk menjamin efisiensi dan mencegah upaya penundaan pelaksanaan arbitrase oleh salah satu pihak. Namun demikian, ketentuan tersebut yang secara otomatis berlaku setelah lewat tenggang waktu 30 tiga puluh hari tanpa perlu adanya pemberitahuan susulan dinilai tidak lazim dan mengandung banyak kelemahan, khususnya apakah arbiter yang diangkat hanya oleh satu pihak atau pihak lawan dapat bersikapadil. 48 b Ditunjuk berdasarkan klausula dalam kontrak oleh orang ketiga misalnya ketua suatu lembaga professional c Ditunjuk oleh pengadilan Pengadilan dapat mengangkat seorang atau lebih arbiter jika diminta oleh para pihak, akan tetapi keadaan ini hanya terjadi pada arbitrase adhoc, terutama bilamana para pihak tidak memperoleh kesepakatan dengan mengajukan permohonan. Begitu juga dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, atau para arbiter yang ditunjuk oleh masing-masing pihak dalam jangka waktu yang telah ditentukan tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga dalam arbitrase institusional. Selain menunjuk arbiter, pengadilan juga dapat 48 Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,hlm59 melakukan pembebasan tugas arbiter jika permohonan penarikan diri sebagai arbiter tidak mendapat persetujuan para pihak selain itu juga dapat memutuskan tuntutan ingkar yang diajukan salah satu pihak beralasan sedangkan tuntutan itu tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri. Pengadilan tidak berwenang melakukan penunjukan bilamana perjanjian arbitrase menetapkan suatu cara penunjukan arbiter sebelumnya didalamperjanjian. Arbiter yang ditunjuk atau diangkat dapat menerima atau menolak pengangkatan atau penunjukan mereka secara tertulis kepada pihak , dalam jangka waktu paling lama 14 empat belas hari terhitung sejak tanggal penunjukan atau pengangkatan, hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat 2 UU Arbitrase. Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan terjadi suatu perjanjian perdata. Penunjukan tersebut mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah diperjanjikanbersama. Dan apabila arbiter menerima pengangkatannya, ia tidak dapat mengundurkan diri, kecuali setelah disetujui oleh para pihak, Arbiter yang telah menerima penunjukan atau pengangkatan, menyatakan menarik diri, maka yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak. Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri tersebut, maka arbiter yang bersangkutan, dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter. Akan tetapi dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para pihak, pembebasan tugas arbiter ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Dalam praktek para pihak tidak diperbolehkan untuk mengganti para arbiter, kecuali bila hal tersebu ttelah mereka sepakati bersama. 49 Penunjukan dua orang arbiter oleh para pihak memberi wewenang kepada dua arbiter tersebut untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga. Arbiter ketiga inilah yang diangkat sebagai ketua majelis arbitrase. Dalam hal kedua arbiter yang 49 Maqdir Ismail, Ibid,hlm78 telah ditunjuk masing-masing pihak tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14 empat belas hari setelah arbiter yang terakhir ditunjuk, atas permohonan salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga. Terhadap pengangkatan arbiter yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat diajukan upayapembatalan. Apabila dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari setelah pemberitahuan diterima termohon dan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak. Dalam hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak memberikan putusan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, arbiter dapat dihukum untuk mengganti biaya dan kerugian yang diakibatkan karena kelambatan tersebut kepada parapihak. Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya iktikad tidak baik dari tindakantersebut. Mengenai hak ingkar, hal itu diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 26 UU Arbitrase, menurut Pasal 22 ayat 1 dan 2 UU Arbitrase, terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan hak ingkar apabila terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan. Tuntutan ingkar terhadap arbiter dapat pula dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya. Sebelum mengangkat arbiter, para pihak tentunya sudah memperhitungkan adanya kemungkinan yang menjadi alasan untuk mempergunakan hak ingkar, namun apabila arbiter tersebut tetap juga diangkat oleh para pihak maka para pihak dianggap telah sepakat untuk tidak menggunakan hak ingkar berdasarkan fakta- fakta yang mereka ketahui ketika mengangkat arbiter tersebut. Namun ini tidak menutup kemungkinan munculnya fakta-fakta baru yang tidak diketahui sebelumnya, sehingga memberikan hak kepada para pihak untuk mempergunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta baru tersebut. Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan, hak ingkar terhadap arbiter tunggal diajukan kepada arbiter yang bersangkutan, hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrase diajukan kepada majelis arbitrase yangbersangkutan. Arbiter yang diangkat tidak dengan penetapan pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang baru diketahui pihak yang mempergunakan hak ingkarnya setelah pengangkatan arbiter yang bersangkutan, dan bagi arbiter yang diangkat dengan penetapan pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang diketahuinya setelah adanya penerimaan penetapan pengadilantersebut. Pihak yang keberatan terhadap penunjukan seorang arbiter yang dilakukan oleh pihak lain, harus mengajukan tuntutan ingkar dalam waktu paling lama 14 empat belas hari sejak pengangkatan. Dalam hal alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat 1 dan 2 diketahui kemudian, tuntutan ingkar harus diajukan dalam waktu paling lama 14 empat belas hari sejak diketahuinya haltersebut. Tuntutan ingkar harus dilakukan secara tertulis, baik kepada pihak lain maupun kepada pihak arbiter yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan tuntutannya. Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak disetujui oleh pihak lain, arbiter yang bersangkutan harus mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan ditunjuk sesuai dengan cara yang ditentukan dalam UUArbitrase. Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang putusannya mengikat kedua pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan. Terhadap putusan ini seorang arbiter pengganti harus diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku untuk pengangkatan arbiter yang digantikan. Jika ternyata Ketua Pengadilan Negeri menolak tuntutan ingkar tersebut, arbiter dapat melanjutkantugasnya. Menurut Pasal 26 ayat 1 UU Arbitrase, wewenang arbiter tidak dapat dibatalkan dengan meninggalnya arbiter dan wewenang tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh penggantinya yang kemudian diangkat sesuai dengan uu Arbitrase. Arbiter dapat dibebastugaskan bilamana berpihak atau menunjukkan sikap tercela yang harus dibuktikan melalui jalur hukum. Meskipun ketentuan Pasal 26 ayat 2 ini sangat penting,tapi pengaturannya cukup membingungkan dan tidaklengkap, misalnya tidak diketahui siapakah yang mempunyai kewenangan untuk membebastugaskan arbiter, apakah pengadilan atau majelis arbitrase badan arbitrase, bagaimana proses pembebastugasan itu, apakah atas permohonan para pihak atau secara langsung oleh pengadilan atau badan arbitrase, dan apakah ukuran atau kriteria sikap tercela tersebut. Dalam praktek kewenangan para arbiter meliputi hal berikut 1 Menentukan sejauh mana masalah yang disengketakan dapat diselesaikan melalui arbitrase 2 Menilai sah tidaknya kontrak yangbersangkutan 3 Menentukan pembuktian bagaiman yang dapat diterima oleh para pihak, serta syarat-syarat pembuktian 4 Menilai kebiasaan di bidang perdagangan yang dapat dipertimbangkan dalam penyelesaiansengketa 5 Menentukan penyelesaian sementara yang dinilaiadil Menurut Pasal 32 UU Arbitrase kewenangan arbiter untuk menentukan penyelesaian sementara yang mereka anggap adil yaitu arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisional atau putusan sela lainnya atas permohonan salah satu pihak. Putusan tersebut adalah untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang mudahrusak. Dalam hal seorang arbiter tunggal atau ketua majelis arbitrase diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan harus diulang kembali. Dalam hal anggota majelis yang diganti, pemeriksaan sengketa hanya diulang kembali secara tertib antar arbiter. e Hukum AcaraArbitrase Menurut Pasal 31 UU Arbitrase, para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang- undang ini. Dalam hal para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan, dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan dalam undang-undang ini. Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan. Ini merupakan prinsip party autonomy yang member kebebasan kepada para pihak untuk memilih prosedur beracara arbitrase, pilihan hukum, penggunaan arbitrase institusi nasional atauinternasional. Pada umumnya proses beracara dalam pemeriksaan arbiter dimulai dengan mengajukan permohonan oleh pihak pemohon. Permohonan tersebut ditujukan kepada sekretariat dari badan arbitrase bersangkutan, proses arbitrase dianggap mulai berlaku pada saat permohonan arbitrase tersebut diterima di sekretariat. 50 Menurut Pasal 36 Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus diajukan secara tertulis, pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelisarbitrase Menurut Pasal 38 UU arbitrase dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis arbitrase. Surat tuntutan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya : 1 Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan parapihak 2 Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti dan Hal ini dapat disamakan dengan positagugat 3 Isi tuntutan yang jelas. Hal ini dapat disamakan dengan petitumgugat Pasal 39 setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase menyampaikan satu salinan tuntutan tersebut kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 empat belas hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut oleh termohon. Selanjutnya segera setelah diterimanya jawaban dari termohon atas perintah arbiter atau ketua majelis arbitrase, salinan jawaban tersebut diserahkan kepadapemohon. Menurut Pasal 40 UU Arbitrase segera setelah diterimanya jawaban termohon atas perintah arbiter atau Ketua majelis arbitrase, salinan jawabatn tersebut diserahkan kepada pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak 50 Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia , PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,Hlm50 atau kuasa mereka menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 empat belas hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu. Dalam hal termohon setelah lewat 14 empat belas hari sebagaimana disebut diatas tidak menyampaikan jawabannya, termohon akan dipanggil kembali. Apabila pada hari yang telah ditentukan termohon tanpa suatu alasan yang sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi. Paling lama 10 sepuluh hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum. Tetapi sebaliknya jika pada hari yang ditentukan ternyata pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak datang menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat tuntutannya dinyatakan gugur dan tugas arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai. Termohon dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang pertama , dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan tersebut pemohon diberi kesempatan untuk menanggapi. Tuntutan balasan diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase bersama-sama dengan pokok sengketa. Pasal 45 berbunyi dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa. Dalam hal usaha perdamaian tersebut tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila usaha perdamaian tidakberhasil. Pasal 46 ayat 2 para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelisarbiter. Pasal 49 atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya. Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yangmeminta. Pasal 55 apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusanarbitrase Pasal 56 Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup. Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah. Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak secaraseimbang. Pasal 59 Dalam waktu paling lama 30 tigapuluh hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran dilakukan dengan pencatatan dan penandatangan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran. Arbiter atau kuasanya juga wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Tidak dipenuhinya penyerahan dan pendaftaran tersebut berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak. Dengan didaftarkannya Putusan Arbitrase pada Panitera Pengadilan Negeri sebagaimana yang ditetapkan dalam UU Arbitrase pasal 59 maka putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial. Pelaksanaan putusan arbitrase tidaklah perlu menunggu eksekusi Pengadilan Negeri namun dapat dilakukan secara sukarelaoleh pihak yangbersangkutan. 51 Pasal 60 Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Pasal 61 dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, perintah tersebut diberikan dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan tersebutdiatas 51 Anangga W Roosdiono,2008,Prosedur Pemeriksaan Perkara dalam Arbitra se, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia No 5, BANI arbitration Center Badan Arbitrase Nasional IndonesiaJakarta, hlm30 Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun. Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan. Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukumtetap Pasal 70 terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukanpermohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagaiberikut: 1 surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakanpalsu 2 setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihaklawan 3 putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaansengketa. 4 Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama tiga puluh 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada paintera pengadilan negeri. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Apabila permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari sejak permohonan diterima. Terhadap putusan PN dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30tiga puluh hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh MahkamahAgung.

2. Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase Syariah a Sejarah ArbitraseSyariah

Lembaga arbitrase hakam telah dikenal sejak jaman pra Islam. Pada waktu itu orang-orang yang ditunjuk sebagai juru damai adalah orang-orang yang memiliki kelebihan kekuatan supranatural, sesuai dengan kebutuhan yang berkembang masa itu. Tradisi penyelesaian sengketa melalui juru damai ini berkembang di masyarakat Mekkah sebagai pusat perdagangan. Selain di Mekkah perwasitan juga berkembang pada masyarakat Madinah sebagai daerah agraris untuk menangani masalah-masalah sengketa hak milik atas tanah. 52 Sebelum Muhammad menerima tugas kerasulan, beliau pernah bertindak sebagai wasit pada perselisihan di antara sesama suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad ditempatnya semula. Tindakan Nabi Muhammad SAW untuk menyelesaikan perselisihan tentang Hajar Aswad ini diterima secara sukarela oleh pihak-pihakyang bersengketa waktu itu. 53 Selain menjadi wasit dalam perkara Hajar Aswad Nabi Muhammad SAW juga sering menjadi wasit dalam sengketa-sengketa umatnya. Misalnya dalam sengketa tanah warisan antara Ka’ab Ibnu Malik dan Ibnu Abi Hadrad pada waktu itu Nabi bertindak sebagai wasit tunggal. Namun setelah perkembangan wilayah Islam semakin meluas beliau memberikan delegasi wewenang kepada para sahabatnya untuk menjadi wasit, misalnya kepada Sa’id Ibnu Muaz untuk menyelesaikan perselisihan di antara Bani Quraidhah. Za id Ibnu Tsabit dalam perselisihan antara Umar dengan Ubay Ibnu Ka’ab tentang kasus ”Nahl” dan kasus-kasuslainnya. 54 Dalam Al Quran pengaturan mengenai arbitrase diatur dalam Surat Annisa ayat 35 52 Badan Arbitrase Syariah Nasional Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, 2005, Buku Pintar Badan Arbitrase Syariah Nasional, Badan Arbitrase Syariah Nasional Perwakilan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, hlm.1. 53 Rahmat Rosyadi dan Ngatino, 2002, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm51 54 Badan Arbitrase Syariah Nasional Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, op.cit ,hlm.2