Hot Pepper (Capsicum Annuum. L) Online Agribussiness Consultasion System

(1)

SISTEM KONSULTASI ONLINE AGRIBISNIS CABAI

(Capsicum annuum. L)

SUPRIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Sistem Konsultasi Online Agribisnis Cabai (Capsicum annuumm. L)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di Bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Supriyanto G651090191


(3)

ABSTRACT

SUPRIYANTO, Hot Pepper (Capsicum Annuum. L) Online Agribussiness Consultasion System. Under supervisioning of KUDANG BORO SEMINAR, SRIANI SUJIPRIHATI, and HENDRA RAHMAWAN.

The objective of the research was to develop an online consultation system for Chili Pepper (Capsicum annuum. L) agribusiness. The method included problem identification, the search knowledge sources, knowledge acquisition, knowledge representation and online consultation system development. Knowledge from the expert and other’s materials has been captured and represented using production rules for develop the system. The system was developed using extreme programming (XP) which included the stages of analysis, design and implementation. The results of this research is on line chili pepper agribusiness consultation system consisting of consultation modules like choosing the chili pepper variety, determination of fertilizer dosage, pest and deasese handly, cultivation knolwedge, farming bussiness analysis, climate conditions, governement policies, and chili pepper price information.The prototype of the system has been implemented using PHP and MySQL and running well on the internet. User can access the system using internet browser at www.cabe.ipb.ac.id.

Keyword: Chili pepper consultation system, Capsicum annuum, Extreme Programming


(4)

(5)

RINGKASAN

SUPRIYANTO, Sistem Konsultasi Online Agribisnis Cabai (Capsicum annuum. L). Dibawah bimbingan KUDANG BORO SEMINAR, SRIANI SUJIPRIHATI, dan HENDRA RAHMAWAN.

Faktor yang menyebabkan produktivitas cabai rendah di Indonesia diantaranya adalah belum banyak digunakannya varietas berdaya hasil tinggi, kurang penerapan teknologi budidaya yang sesuai, penanganan pasca panen yang belum optimal, serangan hama penyakit, dan kurangnya akses terhadap informasi dan sumber pengetahuan terkait agribisnis cabai. Secara umum informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh petani adalah informasi teknologi budidaya, ketersediaan permodalan, informasi teknologi pengolahan hasil, informasi dukungan pemasaran dan metode analisis usaha tani (Tamba, 2007).

Untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan terkait dengan budidaya cabai saat ini petani bergantung kepada media informasi yang ada. Media informasi tersebut diantaranya adalah produsen benih, produsen sarana produksi pertanian, pedagang (tengkulak), dan media-media komunikasi lain. Media-media tersebut dirasa kurang cukup dalam rangka memecahkan permasalahan agribinis cabai. Untuk memecahkan permasalahan tersebut maka perlu dibangun sistem konsultasi online agribisnis cabai (Capsicum annuum.L). Sistem konsultasi ini dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan akan informasi dan pengetahuan (knowledge) yang tarkait dengan peningkatan hasil dalam kegiatan agribisnis. Sistem konsultasi yang akan dibangun diharapkan dapat menjadi media diseminasi informasi dan pengetahuan agribisnis.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis dan desain sistem konsultasi online agribisnis cabai (Capsicum anuum. L). Metode yang digunakan adalah metode pengembangan sistem konsultasi yang meliputi Identifikasi masalah, pencarian sumber pengetahuan, akuisisi pengetahuan, representasi pengetahuan dan pengembangan sistem konsultasi. Penelitian


(6)

dilaksanakan pada Desember 2010 sampai dengan Juli 2011 di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Departemen Ilmu Komputer, Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor dan studi lapangan di Liwa, Lampung Barat.

Metode yang digunakan untuk melakukan rancang bangun sistem konsultasi dilakukan dengan menggunakan extreme programming (XP) yang meliputi tahapan analisis, desain dan implementasi. Hasil dari penelitian ini adalah sistem konsultasi online agribisnis cabai yang terdiri dari modul-modul konsultasi. Modul konsultasi yang dikembangkan adalah konsultasi pemilihan varietas unggul, penentuan dosis pupuk, pengendalian hama, pengendalian penyakit, teknologi budidaya, analisis usaha tani, iklim, kebijakan pemerintah, dan informasi harga. Sistem telah diimplementasikan dengan menggunakan bahasa pemgrograman PHP dan basis data MySQL serta diinstall di server Institut Pertanian Bogor dengan domain www.cabe.ipb.ac.id dan berjalan dengan baik pada komputer yang terkoneksi internet.

Kata Kunci : Konsultasi Agribisnis cabai, Capsicum annuum, Extreme Programming


(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutka sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagain atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

(9)

SISTEM KONSULTASI ONLINE AGRIBISNIS CABAI

(CAPSICUM ANNUUM.L)

SUPRIYANTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Komputer

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(10)

(11)

Judul Tesis : Sistem Konsultasi Online Agribisnis Cabai (Capsicum annuum. L)

Nama : SUPRIYANTO

NRP : G651090191

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc Ketua

(Alm). Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S Hendra Rahmawan, S.Kom, M.T

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana, Ilmu Komputer

Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(12)

(13)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis sebagai syarat dalam menyelesaikan perkuliahan di Program Magister Ilmu Komputer, Institut Pertanian Bogor. Shalawat serta salam semoga senantiasa di berikan kepada Nabi Muhammad, SAW, keluarganya, dan umatnya sampai akhir zaman.

Penelitian yang dilaksanakan oleh penulis adalah analisis dan rancang bangun sistem konsultasi online agribisnis cabai (Capsicum annuum.L). Terdapat lima sub-sistem kegiatan agribisnis yang tercakup dalam sistem konsultasi yang dibangun. Kelima subsistem tersebut adalah (1) Sub-sistem faktor input pertanian (input factor sub-system), (2) Sub-sistem produksi pertanian (production sub-system), (3) Sub-sistem pengolahan hasil pertanain (processing sub-system), (4) Sub-sistem pemasaran (marketing sub-system), dan (5) Sub-sistem kelembagaan penunjang (supporting institutin sub-system).

Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan dari semua pihak yang mendukung baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan kuliah maupun penelitian yang akan dilaksanakan. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibunda Warsini dan Ayahanda Suyadi (Alm), atas dukungan materil dan non materil selama penulis kuliah di Institut Pertanian Bogor. Wejangan dan bimbingan ibunda yang tak pernah dapat digantikan olesh siapapun turut menemani langkah penulis.

2. Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc atas bimbingan dan arahan kepada penulis. Wejangan beliau yang selalu dinantikan dan menjadi pemicu suksesnya penulisan tesis ini.

3. Hendra Rahmawan, S.Kom, M.T atas bimbingan dan masukan selama kuliah dan bimbingan di Pascasarjana Ilmu Komputer IPB.

4. Almarhumah Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S atas bimbingan substansi kegiatan budidaya cabai. Penulis banyak mendapatkan pengetahuan dan masukan dari beliau.


(14)

5. Dr. Ir. Widodo atas masukan dan diskusinya terkait dengan budidaya dan proteksi tanaman cabai merah. Masukan dan arahan yang diberikan sangat membantu dalam terselesaikannya peneliitan ini.

6. Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom atas dukungannya kepada seluruh mahasiswa pascasarjana Ilmu Komputer IPB untuk segera menyelesaikan pendidikan.

7. Yang tersayang Iin Fadhilah yang telah mendukung penulis selama melanjutkan pendidikan di S2 Ilmu Komputer IPB.

8. Yang terasayang adik-adikku Dwi Susanto dan Dyah Tri Lestari atas dukungan kepada penulis dalam penulisan tesis ini.

9. Rekan-rekan seperjuangan angkatan XI S2 Ilmu Komputer IPB (Alm Pak Oke Hendrady, Pak Mukhlis, Pak Tahir, Mas Mawan, Pak Rico, Pak Iyan, Mas Kamal, Rafi, Asyar, Aries M, Pak Yusuf, Bu Zuriati, Bu Dewi, Bu Sinta, Bu Retno, Pak Boy, Pak Azhari) atas kebersamaan dan bantuannya selama kuliah dan penelitian di MKOM IPB.

10.Pak Yadi dan Pak Ruhyan selaku TU di departeman Ilmu Komputer IPB yang selalu membantu penulis dalam penyelesaian administrasi pendidikan selama penulis menempuh S2.

11.Rekan-rekan anggota pramuka IPB (Jun Harbi, Tiara Eka Suardi, Andi Kurniawan, Bayu Anggara, Hasriani, Bu Ratna, Suriya Adi Putra, Prastiwi Febriana, Antoni, Megasari Kusuma, Pipin Urip Kurniasih, Arlin dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu) yang selalu memberikan keceriaan dan semangat bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak kekurangan. Kritik, saran dan masukan dalam penelitian ini sangat penulis harapkan, demi sempurnanya penelitian ini di kemudian hari.

Bogor, September 2011


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis (Supriyanto) dilahirkan di Boyolali pada hari Minggu, 7 Desember 1986 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Alm. Suyadi dan Warsini. Penulis mengenyam pendidikan dasar di MIN 3 Watas, Liwa (1992-1994), SDN Keyongan 1, Boyolali (1994-1996), dan SD Negeri 1 Sebarus (1996

– 1998). Pendidikan menengah penulis didapatkan di SMP Negeri 1 Liwa (1998 – 2001) dan SMU Negeri 1 Liwa (2001-2004). Setelah lulus SMU pada tahun 2004 - 2008 penulis melanjutkan jenjang pendidikan S1 di Teknik Pertanian (TEP), Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selanjutnya tahun 2009 – sekarang, penulis melanjutkan ke Magister (S2) Ilmu Komputer (ILKOM), Institut Pertanian Bogor.

Selama kuliah S2 di Institut Pertanian Bogor, penulis bekerja sebagai Software Developer pada beberapa konsultan di Bogor, aktif sebagai pengurus Dewan Mahasiswa Pascasarjana IPB, dan anggota Pramuka IPB. Selain itu penulis juga bekerja sebagai dosen tidak tetap di salah satu universitas swasta di Bogor.


(16)

(17)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... iii

RINGKASAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... xv

DAFTAR ISI ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR TABEL ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Ruang Lingkup ... 4

1.3. Tujuan ... 4

1.4. Manfaat ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Agribisnis ... 5

2.2. Cabai (Capsicum annuum. L) ... 7

2.2.1. Taksonomi ... 7

2.2.2. Morfologi ... 8

2.2.3. Varietas Cabai ... 8

2.2.4. Syarat Tumbuh ... 8

2.2.5. Konsumsi dan Produksi Cabai Indonesia ... 9

2.2.6. Produksi Cabai Dunia ... 10

2.3. Data, Informasi dan Pengetahuan ... 11

2.4. Sistem Informasi ... 12

2.5. Manajemen Pengetahuan ... 13

2.5.1. Sumber Pengetahuan ... 13


(18)

2.6. Knowledge Based System (KBS) ... 15

2.6.1. Sistem Pakar ... 17

2.6.2. Sistem Konsultasi ... 18

2.7. System Development Life Cycle ... 19

2.7.1. Pendekatan Prediktif (Tradisional) ... 19

2.7.2. Pendekatan Adaptif ... 21

2.8. Penelitian Terdahulu ... 27

METODOLOGI PENELITIAN ... 29

3.1. Kerangka Penelitian ... 29

3.2. Tahapan Penelitian ... 32

3.2.1. Identifikasi Masalah ... 32

3.2.2. Pencarian Sumber Pengetahuan ... 34

3.2.3. Akuisisi Pengetahuan ... 34

3.2.4. Representasi Pengetahuan ... 35

3.2.5. Analisis dan Perancangan Sistem ... 35

3.2.6. Pemeliharaan Sistem Konsultasi ... 37

3.3. Waktu dan Tempat Penelitian ... 37

PEMBAHASAN ... 39

4.1. Identifikasi Masalah ... 39

4.1.1. Tuntutan Kebutuhan Informasi dan Pengetahuan Agribisnis Cabai 39 4.1.2. Penyediaan Informasi Pertanian ... 40

4.1.3. Visi dan ruang lingkup sistem konsultasi agribisnis Cabai ... 42

4.2. Pencarian Sumber Pengetahuan ... 43

4.2.1. Pengetahuan Tacit ... 46

4.2.2. Pengetahuan Ekplisit ... 48

4.3. Akuisisi Pengetahuan ... 50

4.3.1. Tacit menjadi Tacit (Socialization) ... 50

4.3.2. Explicit menjadi Tacit (Internalization) ... 51


(19)

4.3.4. Pengetahuan Explicit menjadi Eksplisit (Combination) ... 51

4.4. Representasi Pengetahuan ... 52

4.4.1. Pengetahuan Pemilihan Varietas unggul ... 52

4.4.2. Pengetahuan Penentuan Dosis Pupuk Dasar ... 53

4.4.3. Diagnosa dan Pengendalian Penyakit ... 55

4.4.4. Identifikasi dan Penanggulangan Hama ... 57

4.4.5. Pengetahuan Teknologi Budidaya... 58

4.4.6. Pengetahuan Penanganan Pasca Panen ... 59

4.4.7. Teknik analisis usaha tani ... 59

4.4.8. Informasi Pasar... 60

4.4.9. Informasi Cuaca ... 60

4.4.10. Kebijakan, dukungan dan program-program pemerintah ... 60

4.5. Analisis Sistem ... 60

4.5.1. Analisis Kebutuhan SDM dalam Pengembangan Sistem Konsultasi ... 61

4.5.2. Pengguna dan Kebutuhan Pengguna ... 62

4.5.3. Kebutuhan Fungsional Sistem ... 64

4.5.4. Kebutuhan non Fungsional Sistem... 65

4.6. Perancangan Sistem Konsultasi ... 66

4.6.1. Use Case Diagram ... 66

4.6.2. Aktor ... 67

4.6.3. Class Diagram ... 68

4.6.4. Skenario diagram ... 69

4.6.5. Sequence Diagram ... 72

4.6.6. Aktivity Diagram ... 73

4.6.7. Desain Basis Data ... 74

4.6.8. Desain User Interface ... 75

4.7. Implementasi ... 78

4.7.1. Implementasi Basis Data ... 79

4.7.2. Implementasi Sistem Konsultasi ... 80


(20)

4.9. Perawatan Sistem Konsultasi ... 97

4.9.1. Perawatan Konten Sistem Konsultasi ... 97

4.9.2. Perawatan Jaringan dan Server ... 98

4.9.3. Usulan Kelembagaan Pengelola Sistem Konsultasi ... 99

KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

5.1. Kesimpulan ... 101

5.2. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103

LAMPIRAN ... 106

Lampiran 1. Dua Puluh Produsen Cabai Segara Dunia ... 107


(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lima Sub Sistem Kegiatan Agribisnis ... 5

Gambar 2. Trend Produksi Cabai Nasional Tahunan (BPS, 2011) ... 10

Gambar 3. Sepuluh Negara Produsen Cabai Terbesar di Dunia Tahun 2009 : Segar, (b) Kering (FOASTAT, 2011) ... 10

Gambar 4. Hubungan antara Data, Informasi dan Pengetahuan (Turban, et al., 2007) ... 11

Gambar 5. Strategi Transformasi Pengetahuan ... 14

Gambar 6. Arsitektur Knowledge Based System (KBS) ... 16

Gambar 7. Struktur Sistem Pakar (Turban, 2007)... 17

Gambar 8. Metode Waterfall (Satzinger et al., 2007) ... 21

Gambar 9. Model Pendekatan Spiral (Satzinger et al.. 2007) ... 22

Gambar 10. Diagram Proses UP (Satzinger et al., 2007)... 23

Gambar 11. Tahapan Extreme Programming (Abrahamsson, 2002) ... 25

Gambar 12. Tahapan-tahapan Penelitian ... 33

Gambar 13. Kegiatan Utama Agribisnis Cabai ... 45

Gambar 15. Skema Diagnosa dan Pengendalian Penyakit... 55

Gambar 16. Pohon Keputusan Pengendalian Penyakit Cabai (Widodo, et al., 2011) ... 56

Gambar 17. Skema Pengendalian Hama ... 57

Gambar 18. Hama Trips dan Gejala Serangannya (Berke, T, et al,. 2005) ... 58

Gambar 19. Diagram Pohon Konsultasi Teknologi Budidaya Cabai ... 58

Gambar 20. Skema Calon Pengguna Sistem Konsultasi ... 62

Gambar 21. Rancangan use case diagram untuk user umum pada sistem konsultasi agribisis cabai merah... 67

Gambar 22. Class Diagram Sistem Konsultasi Online ... 69

Gambar 23. Contoh Sequence Diagram Sistem Konsultasi ... 72

Gambar 24. Activity Diagram Sistem Konsultasi Online ... 73

Gambar 26. Desain Antarmuka Sistem ... 76

Gambar 27. Desain Halaman Konsultasi ... 77


(22)

Gambar 29. Halaman Utama Sistem Konsultasi ... 79 Gambar 30. Impelementasi Basis Data ... 80 Gambar 31. Form Konsultasi Pemilihan Varietas Unggul ... 81 Gambar 32. Contoh Tampilan Hasil Konsultasi Pemilihan Varietas Benih ... 82 Gambar 33. Form Masukan Parameter Penentuan dosis Pupuk ... 82 Gambar 34. Hasil Perhitungan dan Rekomendasi Dosis Pupuk ... 84 Gambar 35. Halaman Konsultasi Pengendalian Penyakit ... 85 Gambar 36. Halaman Penjelasan Pengendalian Hama ... 86 Gambar 37. Halaman utama diagnosa gangguan tanaman ... 87 Gambar 38. Dialog Sistem dengan pengguna untuk diagnosa ... 87 Gambar 39. Contoh Diagram Pohon Diagnosa Penyakit ... 88 Gambar 40. Halaman Penjelasan Sistem Konsultasi ... 88 Gambar 41. Dialog Sistem dengan pengguna untuk Teknologi Budidaya ... 89 Gambar 42. Contoh Tampilan Halaman Rekomendasi ... 90 Gambar 43. Kategori Penanganan Pasca Panen ... 90 Gambar 44. Contoh Tampilan Halaman Penanganan Pasca Panen ... 91 Gambar 45. Contoh Tampilan Halaman Konsultasi Analisis Usaha Tani ... 91 Gambar 46. Contoh Tampilan Hasil Analisis Usaha Tani ... 93 Gambar 47. Detail Biaya Produksi ... 94 Gambar 48. Prakiraan Cuaca Harian ... 95 Gambar 49. Login ke halaman Administrator ... 97 Gambar 50. Halaman Utama Administrasi Sistem Konsultasi ... 98 Gambar 51. Arsitektur Jaringan Sistem Konsultasi Online ... 98 Gambar 52. Usulan Struktur Organisasi Pengelola Sistem Konsultasi Online ... 99


(23)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tingkat Kebutuhan Informasi Petani Sayuran terhadap berbagai Jenis Informasi Pertanian (Tamba, 2007) ... 30 Tabel 2. Jenis dan Sumber Pengetahuan Tacit ... 47 Tabel 3. Jenis dan Sumber Pengetahuan Eksplisit ... 49 Tabel 4. Basis Pengetahuan Penentuan Dosis Pupuk Dasar ... 54 Tabel 5. Dosis Pupuk Dolomit Berdasarkan pH tanah ... 54 Tabel 6. Kebutuhan Fungsional Sistem Konsultasi ... 64 Tabel 7. Aktor Sistem Konsultasi ... 68 Tabel 8. Skenario User Mengakses Sistem Konsultasi Online Cabai ... 69 Tabel 9. Dasar Penentuan Dosis Pupuk ... 83 Tabel 10. Dasar Perhitungan Analisis Usahatani ... 92 Tabel 11. Hasil Pengujian Fungsional Sistem Konsultasi ... 96


(24)

(25)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kegiatan agribisnis dapat digolongkan ke dalam dua kegiatan utama yaitu kegiatan usaha tani (on farm activities) dan kegiatan luar usaha tani (off farm activities) yang meliputi pengadaan sarana produksi, agroindustri pengolahan, pemasaran dan jasa-jasa penunjang. Terdapat lima sub sistem pada kegiatan agribisnis (Sumardjo, 2004) yaitu (1) Sub-sistem faktor input pertanian (input factor sub-system), (2) Sub-sistem produksi pertanian (production sub-system), (3) Sub-sistem pengolahan hasil pertanain (processing sub-system), (4) Sub-sistem pemasaran (marketing sub-system), dan (5) Sub-sistem kelembagaan penunjang (supporting institutoin sub-system). Kegiatan agribisnis bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup pelaku agribisnis. Salah satu komoditas agribisnis yang sangat sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia adalah cabai (Capsicum annuum. L).

Cabai dapat tumbuh secara optimal pada tanah regosol dan andosol. Kadar asam (pH) tanah yang cocok untuk penanaman cabai secara intensif adalah 6-7. Curah hujan yang ideal adalah 1.000 mm/tahun. Konsumsi cabai rata-rata penduduk Indonesia adalah 5,21 kg/kapita/tahun. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49 persen per tahun (Badan Pusat Statistik, 2011). Produksi cabai nasional tahun 2009 adalah 1.378.727 dengan luas panen 233.904 ha dan produktivitas rata-rata sebesar 5,89 ton/ha (Badan Pusat Statistik, 2011). Potensi hasil cabai merah lokal dapat mencapai 12-20 ton/ha dan potensi hasil cabai merah hibrida dapat mencapai 36 ton/ha (Prajnanta, 2007).

Faktor yang menyebabkan produktivitas cabai rendah di Indonesia diantaranya adalah belum banyak digunakannya varietas berdaya hasil tinggi, kurang penerapan teknologi budidaya yang sesuai, penanganan pasca panen yang belum optimal, serangan hama penyakit, dan kurangnya akses terhadap informasi


(26)

dan sumber pengetahuan terkait agribisnis cabai. Secara umum informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh petani adalah informasi teknologi budidaya, ketersediaan permodalan, informasi teknologi pengolahan hasil, informasi dukungan pemasaran dan metode analisis usaha tani (Tamba, 2007).

Untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan terkait dengan budidaya cabai saat ini petani bergantung kepada media informasi yang ada. Media informasi tersebut diantaranya adalah produsen benih, produsen sarana produksi pertanian, pedagang (tengkulak), dan media-media komunikasi lain. Media-media tersebut dirasa kurang cukup dalam rangka memecahkan permasalahan agribinis cabai. Untuk memecahkan permasalahan tersebut maka perlu dibangun sistem konsultasi online agribisnis cabai (Capsicum annuum.L). Sistem konsultasi ini dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan akan informasi dan pengetahuan (knowledge) yang tarkait dengan peningkatan hasil dalam kegiatan agribisnis. Sistem konsultasi yang akan dibangun diharapkan dapat menjadi media diseminasi informasi dan pengetahuan agribisnis.

Penelitian terdahulu yang terkait diantaranya adalah Sistem Pakar Identifikasi penyakit yang menyerang tanaman cabai merah (Faihah, et al., 1999).

Domain pengetahuan yang tercakup dalam system pakar terdiri dari 12 jenis penyakit tanaman cabai besar merah (Capsicum annuum L.) yang umum menyerang. Basis pengetahuan diimplementasikan ke dalam perangkat lunak WINEXSYS. WINEXSYS menyediakan fasilitas pemograman berbasis logika

(logic based programming) yang didukung oleh Graphical User Interface

sehingga memudahkan pemakai (user) berkomunikasi dengan sistem pakar. Sistem pakar yang dibangun berjalan secara offline di satu komputer saja. Sistem pakar ini memiliki 46 kaidah (rules), 17 pengkualifikasi (qualifiers) dan 24 pilihan solusi (choices). Metode identifikasi penyakit yang diterapkan dalam sistem pakar menggunakan kaidah-kaidah baku yang biasa digunakan dalam disiplin ilmu proteksi tanaman. Keluaran dari sistem ini adalah prediksi penyakit yang menyerang tanaman cabai besar merah dan tindakan pengendalian responsifnya berdasarkan input gejala yang dimasukkan pemakai.


(27)

Ya-Feng, et al. (2007) melakukan penelitian pembuatan sistem pakar untuk diagnosa kebutuhan nutrisi tanaman cabai. Pada penelitian ini basis pengetahuan di representasikan ke dalam index. Mekanisme penalaran (reasoning) yang digunakan adalah teknik forward. Sistem pakar yang dibangun diimplementasikan dengan menggunakan VB dan SQL Server. Namun demikian sistem masih dibangun untuk komputer stand alone. Gonzalez-Diaz, et al. (2009) membuat sistem pakar untuk pengambilan keputusan dalam proteksi tanaman cabai merah. Pengetahuan diperoleh dari literatur dan ahli. Pengetahuan selanjutnya direpresentasikan dalam serangkaian aturan IF-THEN. Sistem ini meliputi identifikasi gulma, 20 jenis serangga, 14 jenis penyakit, tiga faktor abiotik dan tindakan pengendalian. Sistemini dilengkapi dengan 87 foto dan gambar yang membantu dalam proses identifikasi.

Pada penelitian ini sistem kosultasi dibatasi pada komoditas cabai merah untuk dataran tinggi. Sistem yang dibangun merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya. Kebaruan dari peneliitan ini adalah sistem akan diimplementasikan berbasis web (online). Modul konsultasi yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan modul-modul konsultasi agribisnis cabai

(Capsicum annuum. L) yang meliputi konsultasi pemilihan varietas unggul,

penentuan dosis pupuk, pengendalian hama, pengendalian penyakit, teknologi budidaya, analisis usaha tani, iklim, kebijakan pemerintah, dan informasi harga. Modul-modul tersebut diintegrasikan sehingga dapat langsung dipergunakan oleh pelaku agribisnis. Pengetahuan-pengetahuan yang ditanam dalam sistem konsultasi diarahkan untuk spesifik lokasi dataran tinggi.

Sistem dibangun dengan menggunakan bahasa pemrograman PHP dan basis data (database) MySQL. PHP dan MySQL merupakan salah satu bahasa pemrograman web yang cukup populer dan cukup banyak digunakan saat ini karena kehandalannya. Pengetahuan-pengetahuan disimpan ke dalam basis pengetahuan dengan menggunakan perangkat lunak basis data MySQL. Keuntungan dari sistem online adalah sistem konsultasi dapat diakses dari tempat-tempat yang berbeda melalui berbagai perangkat yang koneksi internet. Informasi


(28)

dan pengetahuan disediakan secara real time dan dapat melayani pengguna setiap saat (24 jam per hari, 7 hari per minggu).

1.2. Ruang Lingkup

Sistem konsultasi online yang dibangun pada penelitian ini spesifik pada komoditas vabai merah (Capsicum annuum. L) untuk wilayah dataran tinggi dengan studi kasus di Liwa, Lampung Barat. Batasan sistem yang dibangun meliputi konsultasi :

1. Pemilihan Varietas Unggul 2. Penentuan Dosis Pupuk Dasar 3. Pengendalian Hama

4. Pengendalian Penyakit 5. Teknologi Budidaya Cabai 6. Pasca Panen

7. Analisis Usaha Tani 8. Prakiraan Cuaca, dan 9. Kebijakan Pemerintah

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Melakukan analisis dan desain sistem konsultasi online agribisnis cabai (Capsicum annuum.L).

2. Rancang bangun dan implementasi sistem konsultasi online agribisnis cabai.

1.4. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Menjadi solusi kepada pelaku agribisnis untuk dapat melakukan konsultasi terkait dengan kegiatan agribisnis cabai (Capsicum annuum. L).

2. Penyuluh pertanian dapat memanfaatkan sistem untuk kegiatan penyuluhan. 3. Menjadi terobosan baru atas kekurangan tenaga ahli di lapangan dalam


(29)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Agribisnis

Secara umum kegiatan agribisnis dapat digolongkan ke dalam dua kegiatan utama yaitu kegiatan usaha tani (on farm activities), sedangkan pengadaan sarana produksi, agroindustri pengolahan, pemasaran dan jasa-jasa penunjang dikelompokkan ke dalam kegiatan luar usaha tani (off farm activites). Setidaknya terdapat lima sub sistem pada kegiatan agribisnis (Sumardjo, 2004) yaitu (1) Sub sistem faktor input pertanian (input factor sub-system), (2) Sub-sistem produksi pertanian (production sub-system), (3) Sub-Sub-sistem pengolahan hasil pertanain (processing sub-system), (4) Sub-sistem pemasaran (marketing sub-system), dan (5) Sub-sistem kelembagaan penunjang (supporting institution sub-system).

Agribisnis

(1) Sub Sistem Faktor Input Pertanian

(2) Sub Sistem Produksi Pertanian

(3) Sub Sistem Pengolahan Hasil Pertanian (5) Sub Sistem Faktor

Kelembagaan Penunjang

(4) Sub Sistem Faktor Pemasaran

Gambar 1. Lima Sub Sistem Kegiatan Agribisnis

Faktor-faktor yang mendukung dalam kegiatan agribisnis baik pada kegiatan on-farm maupun off-farm diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Faktor ketersediaan sumber informasi (Agricultural Information Source Faktor).

Ketersediaan informasi menjadi faktor penting dalam kegiatan agribisnis. Jika dikaitkan dengan berbagai sub-sistem kegiatan agribisnis, maka seluruh kegiatan agribisnis membutuhkan faktor informasi dan


(30)

pengetahuan (knowledge) dalam setiap kegiatan. Informasi yang dibutuhkan petani meliputi berbagai kegiatan agribisnis dari Hulu sampai Hilir. Kebutuhan informasi dan pengetahuan itu adalah (Margaret J et al., 2007) : a. Teknik pengolahan tanah, teknik pengolahan tanah menjadi penting bagi

petani. Pengolahan tanah yang baik menjadi faktor utama suksesnya kegiatan budidaya pertanian.

b. Benih, informasi mengenai benih meliputi benih apa yang harus digunakan untuk spesifik lokasi.

c. Cuaca dan Iklim, kondisi cuaca dan iklim yang berubah-ubah saat ini menjadikan petani sulit untuk memprediksi cuaca dan ilkim pada spesifik lokasi. Petani membutuhkan informasi yang real time terkait dengan cuaca dan iklim untuk merencanakan kegiatan budidaya.

d. Nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Informasi kebutuhan nutrisi tanaman dibutuhkan oleh petani untuk memproyeksikan kebutuhan dari tanaman. Petani saat ini hanya mengira-ngira dosis pupuk yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman. Hal ini menjadikan kegiatan pertanian tidak presisi dan terasa tidak efektif. Hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diinginkan karena nutrisi yang dibutuhkan tanaman tidak terpenuhi.

e. Informasi dan pengetahuan terkait Pest Management. Penggunaan pestisida akhir-akhir ini menjadi pilihan utama bagi petani dalam kegiatan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Penggunaan yang berlebih akan merusak lingkungan dan akan meninggalkan residu pada tanaman yang ditanam. Hal ini akan membahayakan bagi konsumen akhir produk pertanian. Pengetahuan mengenai pengendalian hama yang ramah lingkungan dan tepat sasaran diperlukan oleh petani agar dapat mengendalikan hama dan penyakit dengan meminimalkan penggunaan pestisida.

f. Informasi harga pertanian. Informasi harga pertanian pada berbagai pasar di sekitar spesifik lokasi diperlukan oleh petani dalam rangka mendapatkan harga yang baik. Harga pertanian saat ini umumnya


(31)

ditentukan oleh tengkulak. Hal ini menjadikan hasil yang diperoleh kurang optimal.

g. Informasi dan pengetahuan mengenai analisis usaha tani. Analisis usaha tani diperlukan untuk menentukan biaya investasi yang dibutuhkan dan strategi penyediaannya. Kegiatan agribisnis merupakan kegiatan yang membutuhkan modal yang besar. Informasi mengenai kebutuhan pendanaan (investasi) dan sumber kredit dengan bunga ringan bagi petani dibutuhkan untuk mengembangkan kegiatan agribisnis agar dapat bersaing.

2. Faktor ketersediaan peralatan (Agricultural Equipment Factor).

Kesediaan peralatan pendukung kegiatan pertanian sangat dibutuhkan oleh petani agar kegiatan budidaya dapat berjalan dengan baik. Mekanisasi pertanian menjadi kebutuhan utama bagi petani agar kegiatan budidaya dapat berjalan dengan baik. Informasi dan pengetahuan mengenai ketersediaan peralatan pertanian mulai dari alat dan mesin pengolahan lahan, aplikator pestisida, alat dan mesin pemanenan, serta alat dan mesin pada kegiatan pasca panen pertanian.

Kebutuhan informasi dan pengetahuan pada berbagai kegiatan agrinisnis pertanian tersebut sulit didapatkan oleh petani. Petani umumnya mendapatkan informasi dari mulut ke mulut antar petani yang pernah melakukan budidaya yang sama. Hal ini tentu menjadi tidak efektif, sehingga perlu dibuat sebuah sistem konsultasi agribisnis berbasis pengetahuan berbasis web. Penyediaan akses informasi ini dilakukan seiring dengan perkemgan Teknologi Informasi (TI) yang begitu pesat akhir-akhir ini.

2.2. Cabai (Capsicum annuum. L) 2.2.1. Taksonomi

Secara taksonomis tanaman cabai merah diklasifikasikan ke dalam spesies Capsicum annuum. L. Berikut adalah penjelasan taksonomi tanaman cabai merah secara detail (Rukmana, 2001) :

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup)


(32)

Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua)

Ordo : Tubiflorae

Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum

Species : Capsicum annuum. L

Dari klasifikasi di atas terlihat bahwa tanaman cabai termasuk ke dalam famili Solanecaeae.

2.2.2. Morfologi

Morfologi tanaman Capsicum annuum. L adalah berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi antara 45 – 100 cm, biasanya hanya semusim (Wiryanta, 2008).

2.2.3. Varietas Cabai

Tanaman cabai memiliki banyak varietas dan tipe. Tipe-tipe cabai diantaranya adalah cabai merah besar, cabai keriting, rawit, cabai paprika (sweet pepper), cabai hias yang banyak ragamnya. Namun yang umum dibudidayakan adalah Cabai merah besar, cabai keriting, cabai rawit, dan paprika (Wiryanta, 2008).

2.2.4. Syarat Tumbuh

Tanaman cabai dapat ditanam di dataran rendah maupun tinggi hingga mencapai 1.400 mdpl, namun akan lebih optimal pada dataran rendah (Sutarya dan Grubben, 1995). Cabai dapat tumbuh optimal pada tanah regosol dan andosol dengan kadar keasaman (pH) tanah antara 6-7. Apabila ditanam pada tanah yang memiliki kadar pH lebih dari 7 maka tanaman cabai akan menjadi kerdil dan gejalan klorosis atau daun menguning yang disebabkan kekurangan unsur hara besi (Fe). Pada tanah yang mempunyai pH yang kurang dari lima tanaman cabai juga akan menjadi kerdil karena kekurangan Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) atau keracunan Alumunium (Al). Ketinggian tempat berpengaruh pada jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman cabai. Penyakit yang menyerang tanaman pada dataran tinggi umumnya disebabkan oleh cendawan, sementara di dataran rendah penyakit yang menyerang umumnya disebabkan oleh bakteri.


(33)

Curah hujan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan budidaya cabai. Curah hujan yang ideal adalah 1.000 mm/tahun. Curah hujan yang rendah menyebabkan tanaman kekeringan dan membutuhkan penyiraman. Sebaliknya curah hujan tinggi bisa merusak tanaman cabai serta membuat lahan memiliki kelembaban tinggi. Kelembaban yang cocok untuk budidaya cabai berkisar antara 70 – 80 % terutama saat pembentukan bunga dan buah. Kelembaban yang melebihi 80 % memacu pertumbuhan cendawan yang berpotensi menyerang dan merusak tanaman. Sebaliknya, kelembaban yang kurang dari 70 % membuat cabai kering dan mengganggu pertumbuhan generatifnya terutama pada saat pembentukan bunga, penyerbukan dan pembentukan buah. Menurut Pitojo (2003) curah hujan yang terlalu tinggi menyebabkan kelembaban udara meningkat dan mendorong pertumbuhan penyakit tanaman.

2.2.5. Konsumsi dan Produksi Cabai Indonesia

Cabai (Capsicum annuum. L) merupakan komoditas yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Konsumsi cabai rata-rata penduduk Indonesia adalah 5,21 kg/kapita/tahun. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49 persen per tahun (BPS, 2011). Berdasarkan kondisi tersebut dapat diketahui bahwa konsumasi cabai dalam negeri pada tahun 2010 mencapai 1.237.669 ton. Produksi cabai nasional tahun 2009 adalah 1.378.727 dengan luas panen 233.904 ha dan produktivitas rata-rata sebesar 5,89 ton/ha (BPS, 2011). Gambar 2. menunjukan angka produksi cabai Nasional dari tahun 2007 sampai 2009.


(34)

Gambar 2. Trend Produksi Cabai Nasional Tahunan (BPS, 2011)

2.2.6. Produksi Cabai Dunia

Berdasarkan data statistik FAO Indonesia masuk ke dalam sepuluh produsen terbesar cabai segar di dunia. Total produksi yang dihasilkan adalah sebesar 1,1 juta ton pada tahun 2009, dengan proporsi hanya sebesar 4 persen dari total produksi dari 10 negara produsen terbesar di Indonesia (FAOSTAT, 2011). Cina menduduki posisi pertama dengan total produksi 14,52 juta ton, diikuti Mexico 1,94 juta ton, Turki 1,8 juta ton dan Indonesia sebesar 1,1 juta ton menduduki posisi keempat terbesar untuk cabai segar (FAOSTAT, 2011).

Gambar 3. Sepuluh Negara Produsen Cabai Terbesar di Dunia Tahun 2009 : Segar, (b) Kering (FOASTAT, 2011)

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Produksi (Ribu Ton) 802 849 1,008 728 580 635 1,067 1,101 1,058 1,185 1,129 1,153 1,379

0 200 400 600 800 1,000 1,200 1,400 1,600


(35)

Produsen terbesar untuk cabai kering adalah India yaitu sebesar 1,3 juta ton, kemudian Cina 0,26 juta ton, Pakistan 0,19 ton, Thailand 0,17 ton, dan Peru 0,14 ton (FAOSTAT, 2011). Indonesia tidak masuk pada negara sepuluh besar produsen cabai kering dunia.

2.3. Data, Informasi dan Pengetahuan

Data, informasi, pengetahuan dan wisdom adalah bagian dari proses manusia berfikir. Terdapat perbedaan antara data, informasi dan pengetahun. Pengetahuan (Knowledge) dibangun dari data, data sendiri merupakan fakta hasil observasi atau persepsi (Turban, 2007). Data belum mempunyai arti bagi penerimanya dan masih memerlukan adanya suatu pengolahan. Data bisa berwujud suatu keadaan, gambar, suara, huruf, angka, matematika, bahasa ataupun simbol-simbol lainnya yang bisa kita gunakan sebagai bahan untuk melihat lingkungan, obyek, kejadian ataupun suatu konsep. Misalkan data jam kerja bagi karyawan perusahaan. Data ini kemudian perlu diproses dan diubah menjadi informasi. Informasi sendiri adalah data yang sudah diproses, dikumpulkan dan memiliki makna dalam suatu konteks tertentu.

Gambar 4. Hubungan antara Data, Informasi dan Pengetahuan (Turban, et al., 2007)

Pengetahuan sendiri merupakan hasil internalisasi dari informasi ataupun data yang tersimpan yang menjadi dasar untuk melakukan aksi. Skema hubungan antara data, informasi dan pengetahuan dapat dilihat pada Gambar 3.


(36)

2.4. Sistem Informasi

Definisi sistem adalah sekumpulan komponen yang saling berhubungan dan bekerja bersama untuk mencapai suatu tujuan dengan cara menerima masukan (input) dan menghasilkan keluaran (output) di dalam suatu proses yang terorganisasi (Satzinger et al., 2007). Sistem informasi merupakan suatu kumpulan komponen yang bekerja sama untuk mengatur perolehan, penyimpanan, manipulasi dan distribusi informasi. Sistem informasi (SI) dapat didefinisikan pula sebagai sebuah sistem terintegrasi, sistem manusia-mesin, untuk menyediakan informasi untuk mendukung operasi, manajemen dan fungsi pengambilan keputusan dalam suatu organisasi. Sistem ini memanfaatkan perangkat keras dan perangkat lunak komputer, prosedur manual, model manajemen dan pengambilan keputusan dan basis data. Sistem informasi secara umum memiiki tiga fungsi utama yaitu (1) mengambil data (data capturing/input), (2) mengolah, mentransformasikan dan mengkonversi data menjadi informasi dan (3) mendistribusikan informasi (reporting/disseminating) kepada para pemakai sistem informasi.

Berikut adalah tipe-tipe sistem informasi (Satzinger et al.. 2007) :

a. Transaction processing systems (TPS) merupakan sistem informasi yang menangkap dan mengumpulkan informasi tentang segala transaksi yang pada suatu organisasi.

b. Management information systems (MIS) merupakan sistem informasi yang bertugas mengolah data yang dikumpulkan oleh TPS. Hasil yang diperoleh dari MIS adalah laporan-laporan yang berguna bagi manajemen untuk perencanaan dan kontrol bisnis,

c. Decision support and knowledge – based systems (DSS/KBS) adalah sistem yang digunakan sebagai penunjang pengambilan keputusan. Sistem ini akan membantu user dalam mengambil keputusan yang cermat, namun pengambilan keputusan tetap pada pengguna sistem. Sistem akan membatu dalam membuat pilihan-pilihan keputusan dan akibat-akibat yang akan ditimbulkan dari keputusan yang akan diambil. Sistem ini juga memungkinkan otomatisasi terhadap pengambilan keputusan yang sifatnya rutin.


(37)

d. Enterprise applications system adalah sistem yang terintegrasi guna melakukan operasi terhadap data yang besar. Umumnya sistem ini merupakan kombinasi dari TPS, MIS dan DSS/KBS.

e. Communication support systems merupakan sistem yang memfasilitasi komunikasi antara pelanggan dan produsen.

f. Office support systems merupakan sistem yang memungkinkan pekerja pada suatu perusahaan untuk membuat dan membagi dokumen.

g. Sistem Pakar / Sistem Konsultasi adalah sistem informasi berbasis komputer yang memanfaatkan pengetahuan dari pakar untuk melakukan pengambilan keputusan pada permasalahan khusus.

2.5. Manajemen Pengetahuan

Manajemen pengetahuan (Knowledge Management) atau KM adalah konsep yang telah muncul dalam komunitas bisnis beberapa tahun terakhir. KM merupakan suatu disiplin yang mempromosikan pendekatan integrasi untuk mengidentifikasi, menangkap, dan mengevaluasi pengambilan dan penggunaan bersama (sharing) seluruh aset informasi dari suatu organisasi. Aset tersebut mencakup database, dokumen, kebijakan, prosedur dan keahlian yang telah diperoleh dari pengalaman individu yang telah bekerja (T. Kanti, 2009).

2.5.1. Sumber Pengetahuan

Terdapat dua jenis sumber pengatahuan yang dapat digunakan suatu organisasi untuk melakukan kegiatannya yaitu :

a) Explicit: adalah pengetahuan yang diperoleh dari repositori dari berbagai media.

b) Tacit : Pengetahuan yang diperoleh dari keahlian organisasi dalam menggunakan berbagai peralatan dan metodologi. Developer knowledge mengumpulkan pengetahuan tacit dalam rangka membangun basis pengetahuan.

2.5.2. Strategi Transformasi Pengetahuan

Akhir-akhir ini asset terpenting dari suatu industri adalah knowledge.


(38)

ditentukan oleh keterampilan dankepakaranmerekadalam penciptaan pengetahuan dalam organisasinya (organizational knowledge creation). Penciptaan knowledge

tercapai melalui pemahaman atau pengakuan terhadap hubungan synergistic dari

tacit dan explicit knowledge dalam organisasi, serta melalui desain dari proses

sosial yang menciptakan knowledge baru dengan mengalihkan tacit knowledge ke

explicit knowledge.

Knowledge adalah pengetahuan, pengalaman, informasi faktual dan

pendapat para pakar yang digunakan untuk aksi. Organisasi perlu terampil dalam mengalihkan tasit ke eksplisit dan kemudian ke tasit kembali yang dapat mendorong inovasi dan pengembangan produk baru. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) perusahaan Jepang mempunyai daya saing karena memahami

knowledge merupakan sumber daya.

Gambar 5. Strategi Transformasi Pengetahuan

Pendekatan dan strategi pengalihan pengetahuan tentu perlu dilakukan organisasi agar dapat bersaing dengan perusahaan lainya. Perlu langkah-langkah strategis untuk mentransformasikandan mengubah berbagai bentuk pengetahuan yang ada. Gambar 2.1 menggambarkan secara skematis teknik konversi (pengalihan) knowledge. Proses pengalihan pengetahuan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan dan strategi yang meliputi :


(39)

2.6.1.1.Tacit menjadi Tacit (socialization)

Teknik yang dapat dilakukan oleh perusahaan atau organisasi adalah dengan melakukan diskusi informal seperti brainstorming secara periodik untuk mendiskusikan tentang produksi, pemasaran, pengiriman dan keuangan. Hasil dari diskusi ini masing-masing karyawan dalam satu perusahaan akan memiliki knowledge yang lebih banyak. Strategi bagi perusahaan yang memiliki banyak kantor cabang maka dapat dilakukan melalui teleconference antar cabang membahas topik tertentu.

2.6.1.2.Tacit menjadi Explicit (externalization)

Transformasi knowledge dari tacit manjadi explicit dapat dilakukan dengan merekam atau mencatat hasil diskusi. Membuat electronic blackboard sehingga pakar dibidangnya (produksi, pemasaran, pengiriman dan keuangan) dapat memposting knowledge tacit yang dimilikinya ke elektronik blackboard.

2.6.1.3.Explicit menjadi Explicit (combination)

Mentransfer laporan atau dokumen yang berbasis kertas dapat digitalisasi misalnya dalam bentuk format PDF atau file DOC dan lain-lain. File-file yang berisikan pengetahuan eksplisit dikumpulkan dalam satu server sehingga mempermudahkan manajemen pengetahuan dan dapat berbentuk website.

2.6.1.4.Explicit menjadi Tacit (internalization):

Menyediakan sistem yang mendokumentasikan semua keluhan konsumen kemudian membuat jawaban terhadap keluhan konsumen, sehingga operator bisa memberikan tanggap terhadap keluhan konsumen berdasarkan jawaban-jawaban keluhan konsumen pada masa lalu. Menyediakan ruang baca yang berisikan dokumen dan report dimana pengawai dapat menyerap knowledge dan diolah berdasarkan kondisi dan situasi.

2.6. Knowledge Based System (KBS)

Knowledge based system (KBS) atau sistem berbasis pengetahuan merupakan bagian dari Kecerdasan buatan / Artificial Intelligence (AI). KBS memiliki kemampuan untuk melakukan komputasi, penyimpanan, proses berfikir, dan penyimpanan pengetahuan (Sajja & Akerkar, 2010). KBS dapat diimplementasikan untuk membantu pakar (expert) menjawab pertanyaan –


(40)

pertanyaan tanpa menghabiskan waktu, dapat dilakukan dimanapun, dan kapanpun. Hal ini karena pengetehuan yang mereka miliki disimpan terlebih dahulu ke dalam Knowledge Based (Basis Pengetahuan).

KBS sendiri terdiri dari Knowledge Based (KB) dan mesin inferensi yang berfungsi sebagai mesin pencari pengetahuan. KB sendiri dapat berupa repository pengetahuan dengan berbagai bentuk. KBS dapat berupa sistem yang pengetahuannya diupdate secara otomatis (machine learning) atau diupdate secara manual (manual update). User interface berguna sebagai penghubung antara sistem dan pengguna. Gambar 4. menunjukkan arsitektur dasar dari Knowledge Based System.

Gambar 6. Arsitektur Knowledge Based System (KBS)

Kelebihan dari KBS memiliki kelebihan dibandingkan dengan sistem komputer sederhana. KBS sangat bermanfaat pada situasi sebagai berikut :

1. Saat tidak ada pakar yang tersedia di suatu lokasi.

2. Ketika pengetahuan akan disimpan untuk kepentingan dimasa yang akan datang atau ketika pengetahuan akan dibagikan atau digandakan.

3. Ketika sistem penunjang keputusan cerdas dibutuhkan dalam pengambilan keputusan suatu permasalahan yang rumit dan kompleks.

KBS sendiri dapat diklasifikasikan ke dalam 5 tipe yaitu sistem pakar (expert system), hypertext manipulation system, CASE Based reasoning, Database in conjunction with an intelligent User Interface, dan Intelligent Tutoring System (ITS).

Penjelasan / Reasoning

Basis Pengetahuan / Knowledge Based Mesin Inferensi / Inference Engine

Self Learning / Fasilitas pembelajaran


(41)

2.6.1. Sistem Pakar

Sistem pakar adalah sistem informasi berbasis komputer yang memanfaatkan pengetahuan dari pakar untuk melakukan pengambilan keputusan pada permasalahan khusus. Sementara itu expert (pakar) adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus, pengalaman, cara-cara pengambilan keputusan, dan metode yang digunakan untuk memberikan saran dan pemecahan masalah (Turban, 2007). Sementara keahlian (expertise) adalah pengetahuan khusus yang dimiliki oleh pakar. Tujuan perancangan sistem pakar adalah untuk memudahkan pekerjaan, penggabungan ilmu dan pengalaman beberapa ahli (Marimin, 2005).

Modul pakar dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dalam sistem konsultasi. Pada sistem konsultasi, sistem online berupa halaman website diposisikan sebagai pakar. Pengguna yang menggunakan sistem konsultasi dapat berkonsultasi layaknya berkonsultasi dengan pakar.

PENGGUNA

Antarmuka Fasilitas Penjelas

Mesin Inferensi Interpreter Scheduller Consistency Enfocer

Basis Pengetahuan Fakta : Apa yang diketahui Logika : Logical Inference

Rekayasa Pengetahuan

Pengetahuan Ahli

Penyaring Penegetahuan Blackboard

Rencana Agenda Solusi Deskripsi Aksi yang

direkomendasikan

Lingkungan Konsultasi Lingkungan Pengembangan


(42)

2.6.2. Sistem Konsultasi

Konsultasi adalah proses pertukaran pikiran untuk mendapatkan kesimpulan (nasihat, saran, dan sebagainya) yang sebaik-baiknya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2011). Konsultasi dapat dilakukan secara langsung dan dapat juga dilakukan dengan menggunakan media. Pemanfaatan media komputer atau sejenisnya lebih dikenal dengan e-konsultasi. E-Konsultasi saat ini berkembang dari mulai konsultasi dengan menggunakan komputer stand alone sampai konsultasi yang menggunakan internet (sistem online).

Sistem konsultasi adalah sebuah sistem berbasis komputer yang digunakan untuk melakukan konsultasi. Sistem konsultasi yang menggunakan basis aturan didalamnya tergolong ke dalam sistem pakar (expert system). Namun, sistem konsultasi yang dibangun dalam penelitian ini memiliki kekhasan dimana pengguna dapat pula berkomunikasi langsung dengan pakar melalui forum diskusi, chatting dan SMS. Sehingga sistem konsultasi yang dibangun menggabungkan dua sumber pengetahuan yang dapat diakses secara langsung yaitu pengetahuan dari knowledge based (explicit) dan pengetahuan dari pakar langsung (tacit).

Jika dilihat dari pandangan pengguna proses konsultasi terdiri dari tiga tahapan yaitu (Chong, 2006) :

1. Pengguna mengungkapkan keinginannya untuk berkonsultasi suatu permasalahan. Pengguna dapat membuka sebuah halaman (program), atau sistem konsultasi memberikan beberapa alternatif cara berkonsultasi.

2. Sistem konsultasi mengumpulkan informasi dari pengguna, dengan menanyakan beberapa pertanyaan. Selama proses dialog, pengguna terkadang memerlukan penjelasan terkait beberapa hal diantaranya :

a. Terminologi ; pada halaman konsultasi terkadang terdapat terminologi atau konsep yang difahami berbeda antara pembuat sistem dengan pengguna. Sistem perlu memberikan fasilitas penjelasan terhadap terminologi tersebut. b. Penjelasan kenapa ; Pengguna terkadang ingin mengetahui kenapa dia ditanya pertanyaan – pertanyaan tertentu oleh sistem. Sistem harus


(43)

menjelaskan kenapa pertanyaan-pertanyaan tersebut ditanyakan kepada pengguna.

Untuk mengumpulkan fakta dari pengguna, sebuah sistem konsultasi umumnya menggunakan basis aturan (rules) untuk mengontrol pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada pengguna. Berikut adalah contoh dari basis aturan yang digunakan oleh sistem dalam memberikan pertanyaan kepada pengguna :

IF A ya THEN tanyakan B

IF A tidak THEN tanyakan D

IF B ya THEN tanyakan C

3. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan sistem dari pengguna, sistem memberikan penjelasan dan memberikan beberapa rekomendasi penyelesaian dari permasalahan yang ditanyakan. Ketika mendapatkan penjelasan dari sistem bisa saja pengguna tidak langsung percaya, maka sistem perlu memberikan penjelasan mengenai cara melakukan aksi dari rekomendasi yang diberikan (how-explanation). Untuk mendukung tahap ketika ini sistem perlu memiliki rule untuk memberikan penjelasan yang merukan inti dari sistem konsultasi.

2.7. System Development Life Cycle

Pendekatan yang dapat digunakan untuk melakukan pengembangan sistem informasi adalah pendekatan System Development Life Cycle (SDLC) prediktif, Pendekatan Adaptif dan Unified Proccess (UP). Selain itu berkembang paradigma baru dalam pengembangan sistem informasi yaitu Agile Methodology yang terdiri dari Extreme Programming (XP) dan Scrum (Satzinger et al., 2007). Berikut adalah penjelasan singkat dari metode-metode tersebut :

2.7.1. Pendekatan Prediktif (Tradisional)

Pendekatan Prediktif adalah sebuah SDLC dengan pendekatan yang

mengasumsikan bahwa pembangun proyek dapat merencanakan,


(44)

perencanaan. SDLC prediktif sangat baik digunakan dalam membangun sistem yang sudah dapat diprediksi dan dapat didefiniskan dengan baik. Terdapat lima tahapan yang sama dengan tahapan umum pemecahan masalah yang pada pendekatan prediktif. Setiap proses dilaksanakan secara sekuensial yang merupakan ciri utama pendekatan sistem prediktif. Berikut adalah tujuan dari masing-masing tahapan :

1. Project Planning, tujuannya adalah untuk mengidentifikasi skup dari sistam

baru, menjamin proyek agar visible, dan membuat jadwal, perencanaan sumber daya, dan anggaran yang dibutuhkan dalam pelaksanaan proyek.

2. Analysis, bertujuan untuk memahami dan mendokumentasikan detail dari

kebutuhan bisnis dan kebutuhan proses dari sistem baru.

3. Design, bertujuan untuk mendesain solusi sistem berbasis pada kebutuhan yang

didefinisikan dan pembuatan keputusan terhadap hasil analisis.

4. Implementation, bertujuan membangun, menguji dan menginstall sebuah

sistem informasi yang dapat dipercaya. Sistem sudah siap ditrainingkan terhadap pengguna untuk mendapatkan keuntungan yang diharapkan dari penggunaan sistem.

5. Support, bertujuan untuk menjaga agar sistem tetap berjalan dengan produktif

dan sistem dapat memiliki daya tahan selama bertahun-tahun.

Jika dipandang dari resiko teknis dalam pengembangan sistem dengan pendekatan prediktif maka resikonya tidak besar, hal ini karena pada tahap perencanaan seorang analisis dapat melakukan perencanaan dengan presisi. Salah satu pendekatan SDLC yang digunakan dalam pendekatan prediktif ini adalah

waterfall seperti terlihat pada Gambar 8. Ciri khusus dari pendekatan ini adalah

suatu proses harus sudah selesai dilaksanakan sebelum melaksanakan proses selanjutnya (sekuensial).


(45)

Gambar 8. Metode Waterfall (Satzinger et al., 2007)

2.7.2. Pendekatan Adaptif

Pendekatan adaptif adalah SDLC dengan pendekatan yang lebih fleksibel, diasumsikan bahwa proyek tidak dapat direncanakan secara lengkap diawal pelaksanaan proyek. Pemecahan masalah didasarkan pada progres proyek yang telah dihasilkan. Developer dalam memberikan solusi terhadap suatu masalah cenderung fleksibel dan adaptif terhadap hasil yang didapatkan, sehingga pada setiap tahapan dapat dilakukan penyesuain. Artinya, seorang analis tidak dapat membuat perencanaan di awal proyek secara tepat dikarenakan sistem yang akan dibangun bersifat adaptif.

Lebih jauh pendekatan ini dikenal dengan spiral model. Model spiral memiliki banyak elemen adaptif dan mengacu pada pendekatan adaptif dalam pengembanan sistem. Daur hidup direpresentaikan dalam bentuk spiral, dimulai dari tengah ke luar, iterasi, dan iterasi lagi, sampai proyek selesai. Proyek ini sangat berbeda dengan pendekatan waterfall yang statik. Pendekatan spiral dapat diimplementasikan dengan berbagai cara. Gambar 9 memperlihatkan Model pendekatan spiral.


(46)

Gambar 9. Model Pendekatan Spiral (Satzinger et al.. 2007)

Pada pengembangan dengan pendekaan spiral, setelah planning awal selesai, pekerjaan dimulai dengan membuat prototipe. Sebuah prototipe adalah model sebagi persiapan pekerjaan suatu sistem yang lebih besar. Dalam setiap

prototipe, proses pengembangannya terdiri dari sebuah garis edar sequensial

analisis, design, konstruksi, pengujian, integrasi dengan prototipe sebelumnya, dan daurnya berulang lagi. Ketika perencanaan pada prototipe selanjutnya telah selesai maka iterasi aktivitas dimulai lagi sampai didapatkan sistem yang diinginkan.

2.7.2.1.Unified Proccess

Ciri utama (Fitur) utama UP didefinisikan dalam empat fase iterasi yaitu

Inception, elaboration, construction, dan transition. UP sendiri adalah sebuah

metodologi dalam pengembangan sistem dengan pendekatan Object-Oriented

yang ditawarkan oleh IBM (Satzinger et al., 2007). Unified Modelling Language

(UML) sering digunakan dalam permodelan pada metode ini. UML adalah model notasi standar untuk pendekatan Object-oriented (OO), UP adalah pengembangan sistem OO yang tidak standar. UP adalah salah satu contoh penggunaan SDLC yang berada diantara prediktif dan adaptif (Satzinger et al., 2007).


(47)

Gambar 10. Diagram Proses UP (Satzinger et al., 2007)

2.7.2.2.Metode Agile

Metodologi pengembangan Agile adalah proses yang digunakan untuk meminimalkan jeda waktu antara analisis kebutuhan sistem dengan pekerjaan desain dan implementasi (coding). Metode ini dipopulerkan oleh Scott Ambler. Pengguna mendefinisikan kebutuhan dari sistem yang akan dibangun dalam bentuk narasi. Setelah dilakukan satu iterasi maka dilakukan pengujian terhadap sistem yang dibangun (Caserio, 2011). Metode Agile umumnya dilaksanakan dalam potongan-potongan kecil. Satu iterasi setidaknya mengandung satu aspek fungsional yang signifikan dari aplikasi. Hal ini dilakukan agar team dapat berkonsentrasi untuk mengerjakan pembangunan sistem secara optimal dan cepat.

Berikut adalah model praktek dari Agile : 1. Iteratif.

2. Teamwork. 3. Simplicity. 4. Validation.

2.7.2.3.Extreme Programming

Extreme Programming (XP) merupakan salah satu metode adaptif yang merupakan metode Agile yang diperkenalkan pada pertengahan 1990an. Metode extreme programming cocok digunakan untuk pengembangan sistem yang cepat. Pengembangan sistem dengan menggunakan metode ini setidaknya gambaran


(48)

sistem yang akan dibangun serta data dan informasi yang digunakan dalam pengembangan sistem telah tersedia. Terdapat empat nilai utama pada XP yang mendasar pada setiap tahapan proses pengembangan sistem Informasi yaitu (Satzinger et al., 2007) :

1. Komunikasi

XP mengfokuskan pada hubungan komunikasi yang baik antar anggota tim. Para anggota tim harus membangun saling pengertian, mereka juga wajib saling berbagi pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan perangkat lunak. Ego dari para programmer yang biasaanya cukup tinggi harus ditekan dan mereka harus membuka diri untuk bekerjasama dengan programer lain dalam menuliskan kode program.

2. Courage

Para anggota tim dan penanggungjawab pengembangan perangkat lunak harus selalu memiliki keyakinan dan integritas dalam melakukan tugasnya. Integritas ini harus selalu dijaga bahkan dalam kondisi adanya tekanan dari situasi sekitar (misalnya oleh klien atau pemilik perusahaan). Untuk dapat melakukan sesuatu dengan penuh integritas terlebih dahulu para anggota tim harus terlebih dahulu memiliki rasa saling percaya. Rasa saling percaya inilah yang coba dibangun dan ditanamkan oleh XP pada berbagai aspeknya.

3. Simplicity

Lakukan semua dengan sederhana. Hal tersebut adalah salah satu nilai dasar dari XP. Gunakan method yang pendek dan simpel, jangan terlalu rumit dalam membuat desain, hilangkan fitur yang tidak ada gunanya dan berbagai proses penyederhanaan lain akan selalu menjadi nilai utama dari setiap aspek XP.

4. Umpan Balik (Feedback)

Berikan selalu feedback kepada sesama anggota tim maupun pihak-pihak lain yang terlibat dalam pengembangan perangkat lunak. Utarakan selalu pikiran anda dan diskusikan kesalahan-kesalahan yang muncul selama


(49)

proses pengembangan. Dengarkan selalu pendapat rekan yang lain, dengan adanya feedback inilah seringkali kita menyadari bagian mana yang salah atau bisa ditingkatkan lagi dari perangkat lunak yang dikembangkan.

2.7.2.4.Tahapan SDLC Extreme Programming

Terdapat 5 tahapan utama dalam pengembangan sistem informasi dengan menggunakan Extreme Programming (XP) yaitu (Abrahamsson, 2002) : Eksplorasi, Planning, Iterasi Pengembangan sistem (analisis, desain, testing), produuksi, maintenance dan mengakhiri proyek dengan mengeluarkan final release. Akhir disetiap fase yang dikembangkan merupakan milestone atas fase tersebut sebelum bergerak ke fase berikutnya. Adapun tahapan-tahapan Pengembangan sistem dengan menggunakan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 11. Tahapan Extreme Programming (Abrahamsson, 2002)

Secara rinci tahapan-tahapan Extreme Programming adalah sebagai berikut :

a. Tahapan Identifikasi Masalah

Pada tahapan ini calon pengguna sistem menuliskan kebutuhan - kebutuhan informasi yang akan dicakup oleh sistem pada release pertama. Masing-masing cerita yang dituliskan oleh pengguna kemudian di buat menjadi sebuah modul program. Di sisi lain, tim yang lain mengidentifikasi Teknologi dalam pelaksanaan proyek. Tahapan ini dapat


(50)

dilaksanakan dalam beberapa minggu, tergantung pada kerumitan sistem yang akan dibangun. Hasil yang diinginkan pada tahapan ini berupa : 1) Dokumentasi atas Visi dan ruang lingkup pekerjaan

2) Dokumentasi penaksiran resiko

3) Dokumentasi struktur proyek yang akan dikembangkan 4) Dokumentasi Teknologi yang akan digunakan.

b. Tahapan Planning

Pada fase planning, yang berorientasi kepada analisa dan desain sistem, yang di dalamnya berisikan kebutuhan akan analisa atas kebutuhan bisnis, kebutuhan pengguna, kebutuhan operasi, dan kebutuhan sistem. Setelah tahapan atas tahapan ini dilalui, team pengembang akan menghasilkan :

1) Spefisikasi fungsional atas suatu sistem.

2) Perencanaan manajemen resiko pada suatu sistem. 3) Perencanaan jadwal pelaksanaan proyek.

c. Iterasi Peluncuran Perangkat Lunak

Pada tahapan ini terdiri dari beberapa iterasi peluncuran dari perangkat lunak yang akan di kembangkan. Perangkat lunak dikeluarkan mulai dari rilis pertama hingga sistem dapat diterima dan dapat diimplementasikan secara penuh. Tahapan-tahapan di dalam iterasi ini terdiri dari :

1) Tahap analisis

Tahap ini merupakan tahap penting sebelum program atau sistem ditulis atau dibangun. Tahap analisis meliputi beberapa aspek dalam sistem seperti lingkungan organisasi, analisis sistem untuk memenuhi kebutuhan waktu sekarang, analisis system requirement (input, output, proses, storage, dan kontrol).

2) Tahap desain

Tahap desain juga melibatkan rancangan interface dan prosedur yang mendukung fungsional sistem. Pada tahap ini dilakukan koreksi pada sistem informasi, sehingga kesalahan pada sistem bisa diperbaiki sedini mungkin. Aktivitas desain sistem meliputi : (1) Desain


(51)

interface. Desain interface berfokus pada interaksi sistem dengan pengguna, input dan output yang interaktif serta efisien bagi penggunanya. Konversi informasi dan data menjadi bahasa yang bisa dibaca mesin dan manusia, kualitas proses konversi informasi dan data ditentukan pada desain interface sistem. (2) Desain fisik. Desain fisik sistem adalah desain database dan file berfokus pada struktur dan data yang digunakan sistem secara rincian. Data yang diusulkan oleh pengguna akan disusun berdasarkan atributnya dan relasi yang dibutuhkan. (3) Desain logika. Desain logika adalah desain sistem bagaimana mengembangkan secara umum input, proses pengolahan informasi, output, penyimpanan database, aktivitas kontrol sesuai dengan yang direncanakan pada tahap analisis.

3) Tahap Pengujian

Pada tahapan in sistem yang akan diluncurkan di uji terlebih dahulu. Pengujian dilakukan terhadap fungsional sistem dan terkait dengan hal-hal teknis sistem. Pada setiap iterasi pekerjaan diluncurkan sebuah rilis perangkat lunak yang dikerjakan. Rilis ini selanjutnya diluncurkan untuk kemudian dievaluasi kembali untuk kemudian dilakukan perbaikan oleh tim.

d. Peluncuran Rilis Akhir Perangkat Lunak

Tahapan ini merupakan sesi akhir dalam pengembangan sistem dengan menggunakan XP. Sistem yang telah di uji kemudian diimplemenasikan sesuai dengan kebutuhan client. Perangkat lunak yang diaplikasikan merupakan rilis akhir, hasil dari iterasi dan perbaikan dari versi-versi sebelumnya.

2.8. Penelitian Terdahulu

Faihah dan kawan-kawan dari Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1999 melakukan penelitian sistem pakar tanaman cabai. Pada penelitian tersebut dibangun sebuah sistem pakar yang digunakan untuk mengidentifikasi penyakit yang menyerang tanaman cabai merah (Capsicum annuum. L). Domain pengetahuan sistem adalah


(1)

Staking

Plants may be staked to prevent lodging, particu-larly when they have a heavy load of fruits. Each plant is individually staked before flowering stage (Fig. 5). Yields are generally higher with staking. Other staking and training techniques may be used based on local experience.

Irrigating

Pepper plants are fairly shallow-rooted and have low tolerance to drought or flooding. Fields should be irrigated if there are signs of wilting at midday. Thor-ough irrigation provides uniform soil moisture, es-sential for optimum plant and fruit growth. Furrow or drip irrigation are recommended; overhead irrigation should be avoided as wet leaves and fruits promote disease development. If overhead irrigation must be used, apply early in the day so that leaves are dry before nightfall.

Pepper plants cannot tolerate flooding and fields should be drained quickly after heavy rain. Pepper plants will generally wilt and die if they stand in wa-ter for more than 48 hours. Phytophtora blight and bacterial wilt may cause total crop loss following prolonged flooding.

Mulching

Mulching is recommended to reduce weed competi-tion, soil compaccompeti-tion, and soil erosion. Mulching also maintains a uniform root environment and conserves soil moisture. Use rice straw (5 t/ha) or other or-ganic material, polyethylene plastic, or a combina-tion of materials.

Plastic mulch must be laid down before transplant-ing (Fig. 4); organic mulches can be laid down be-fore or after transplanting. If plastic mulch is used, holes are cut in the plastic and plants are set di-rectly into the holes. Reflective mulches will build up less heat in the soil than black plastic mulch and also provide some protection from aphids. During hot weather (>25°C nighttime temperature), cover plastic mulch with straw to reduce temperature in the root zone, or irrigate and drain the field frequently to keep temperatures down.

Fig. 4. Raised beds are formed and plastic mulch is laid in preparation for planting

Controlling weeds

If mulch is not available, or does not provide adequate weed control, several herbicides are available, such as Lasso (alachlor 43EC), Amex (butralin 47EC), Devrinol (napropamide 2E or 10G), and Dual (metolachlor 8E or 25G).

Manual weeding can be performed as needed. At AVRDC, we spray 0.4% (v/v) Lasso 43EC at the base of the plants 2–3 days after transplanting, and then spray Roundup (glyphosate) to control weeds in the furrows later in the season. Care must be taken that Roundup does not drift to the pepper plants. The best herbicide, rate, and method of application will vary depending on weed species, soil type, and temperature at time of application. Consult with your local extension office for their recommendations.

Controlling diseases

General recommendations

Use high quality, pathogen-free seeds and/or seed-lings, and remove diseased leaves and seedlings promptly. Control weeds regularly. If you have a dis-ease outbreak in one part of the field, work in other areas of the field before working in the diseased area. To restrict the spread of tobamoviruses, dip your hands and tools in milk before handling pepper plants. Be aware that irrigation water can carry pathogens, such as Phytophthora capsici.


(2)

Bacterial spot (Xanthomonas campestris pv. vesicatoria)

Small watersoaked spots on leaves become necrotic with yellow borders (Fig. 7a). The lesions may be sunken on the upper surface and raised on the lower surface. Heavily infected leaves may turn yellow and drop, resulting in severe defoliation. Dark, raised le-sions have a corky or wart-like appearance on fruits (Fig. 7b). Elongated necrotic spots or streaks ap-pear on stems and petioles. This disease is seedborne and can survive in crop debris from in-fected plants. Many strains attack both tomato and pepper. The disease is enhanced by overhead wa-tering, heavy dew formation, and high temperatures. To control this disease, rotate pepper with cere-als and other non-susceptible crops. Use pathogen-free seed and transplants. Resistant cultivars are becoming available, but may not be resistant to all strains of the disease. Sprays of copper or copper + maneb will reduce damage. Rain shelters may re-duce the severity of disease during rainy periods. Anthracnose (Collectotrichum spp.)

Anthracnose may occur in the field or develop as a post-harvest decay of pepper fruits. Typically, symp-toms first appear on mature fruits as small, water-soaked, sunken lesions that rapidly expand. The le-sions may increase to 3–4 cm in diameter on large fruits (Fig. 6). Fully expanded lesions are sunken and range from dark red to light tan. The disease may occur wherever pepper is grown under overhead irrigation or rainfed conditions. The pathogens can be seed-borne in pepper and persist in crop debris. They have a wide host range.

To control anthracnose, use pathogen-free seed and rotate crops. Fungicides can reduce losses. Since symptoms usually occur on mature fruit, har-vest and utilize fruit in the immature green stage, or harvest mature fruit frequently and process quickly. Use resistant cultivars, if available. If no resis-tant cultivar is available, try sowing the crop when pathogen pressure is lowest, and use the proper plant density, both in seedling production beds and in the transplanted field. High plant densities lead to weak plants, which are more susceptible to diseases.

Prevent plants from being overloaded with fruits. Remove routinely all fruits that set at the first bifur-cation node, and all leaves and branches below the first bifurcation node. This will promote vigorous plant growth and reduce the spread of foliar diseases.

Crop rotation, particularly a rice–pepper rotation, helps reduce disease and insect problems. Peppers should never follow other Solanaceous crops, such as potato (Solanum tuberosum) or tomato (Lycopersicon esculentum), because these crops share many soil-borne diseases. Do not plant pep-pers after sweet potatoes (Ipomea batatas), due to allelopathic effects. The following are some of the most common diseases on chili pepper:

Fig. 6. Anthracnose lesions on mature fruit

Bacterial wilt (Ralstonia solanacearum)

The initial symptom is wilting of lower leaves (or up-per leaves of seedlings) followed by a sudden and permanent wilt of the entire plant without yellowing (Fig. 8a). Vascular browning occurs (Fig. 8b) and cortical decay is sometimes evident near the soil line. Bacterial streaming from vascular elements oc-curs when cross sections of the lower stem are sus-pended in water. The disease affects over 200 differ-ent plant species. It is more severe on tomato, to-bacco, potato and eggplant, but it can be very dam-aging to pepper. The bacterium survives in the soil for long periods. It gains entry through natural root wounds or wounds created by insects, nematodes or cultivation. High temperature and high soil mois-ture favor disease development.


(3)

Aphid-transmitted viruses: Chili veinal mottle vi-rus (ChiVMV), cucumber mosaic vivi-rus (CMV), po-tato virus Y (PVY)

Symptoms vary, but generally these diseases show mosaic, mottled and/or deformed leaves (Fig. 11). Plants are stunted and the loss of marketable yield can be dramatic. To control, use resistant cultivars. Reduce the number of aphid vectors by controlling weeds, using insecticides, and using mesh netting to exclude aphids from seedlings.

To control bacterial wilt, use pathogen-free seed-beds to produce disease-free transplants. Fumigate seedbeds and pasteurize the planting medium for container-grown plants. Rotate with flooded rice; ro-tation with non-susceptible crops provides limited value. Avoid cultivation that damages roots. Use raised beds to facilitate drainage. Resistant culti-vars are being developed.

Phytophthora blight (Phytophthora capsici) This disease can occur on pepper grown anywhere in the world, at any stage of growth, and on all plant parts. The most common symptom is a stem or col-lar rot followed by sudden wilting without foliar yel-lowing (Fig. 10a). Other symptoms include damp-ing-off and tip blight of young seedlings (Fig. 10b), dried tan-colored lesions on foliage, as well as soft-ened fruit.

Cercospora leaf spot (Cercospora capsici)

Its "frog eye" leaf lesions are circular, about 1-cm in diam-eter, with brown borders and light gray centers (Fig. 9). Severe infection can cause leaf drop, with or without leaf yellowing. Lesions also ap-pear on stems, petioles and peduncles; fruit do not be-come infected. The fungus survives from one season to another on crop debris.

Ex-tended rainy periods and close plant spacing en-hance development. Fungicides are usually only nec-essary during conditions highly favorable to the dis-ease.

Fig.11. Mottling of leaves caused by PVY and ChiVMV, respectively.

Fig. 9. Cercospora "frog eye" lesions Fig. 8. Healthy and bacterial wilt-infected plant; brown-ing of inner vascular tissue

This soil-borne disease is controlled through the use of resistant cultivars, raised beds, crop rotation, and fungicides such as mefenoxan, metalayxl, po-tassium phosphate, copper alone, or copper-con-taining products. To avoid soil splash, the use of mulch and furrow irrigation, rather than overhead irri-gation, are preferred.

Fig. 10. Phytophthora lesion; healthy and blight-infested seedlings


(4)

Controlling insect pests

General recommendations

Seedlings in the nursery can be protected using mesh netting or yellow sticky traps. After plants are in the field, scout plants at least twice a week, look-ing for damage. Plant extracts, such as neem seed or hot pepper extract, can be sprayed on seedlings to help protect them.

Chemical pesticides should be used mainly as a corrective measure. If possible, choose a pesticide that targets the specific pest that is causing the dam-age, and avoid pesticides that kill beneficial organ-isms. Choose pesticides that have short persistence, i.e., the effects of which last only a few days. Chemi-cal pesticides should be applied in the evening, and workers should not be allowed into the field until the recommended waiting period (usually 12 or 24 hours) has passed. Wear protective clothing and follow la-bel directions. If multiple applications are needed, rotate pesticides that have different modes-of-action.

Broad mite (Polyphagotarsonemus latus)

This tiny, crab-like pest (Fig. 14) causes leaves to curl downwards and become narrow. Most damage occurs between veins of young leaves. Corky tissue develops on fruits. Mites are yellow or white, tiny (about the size of a grain of sand), and found near the mid-vein on the undersides of the leaves.

This pest is controlled through the use of toler-ant cultivars, weed control, crop rotation, and miti-cides such as abamectin and dicofol.

Aphids (Aphis gossypii, Myzus persicae)

These are small, succulent, pear-shaped insects that vary in color from yellow to green to black (Fig. 13). Aphids pierce leaves and suck the sap, caus-ing foliage to become distorted and often curled un-der. Aphids exude a sticky substance that attracts ants and leads to the development of a sooty mold on plants. Aphids are vectors to many viruses, in-cluding ChiVMV, CMV and PVY. Control aphids by using reflective mulches, rotating crops, spraying with pesticides, or introducing predators and parasites. Tobamoviruses: Tobacco mosaic virus (TMV), to-mato mosaic virus (ToMV); and potato mild mottle virus (PMMV)

These diseases are transmitted in and on seeds, as well as through contact of plants. Symptoms in-clude stunting, leaf mosaic and crinkling (Fig. 12), and systemic bleaching of leaves. To minimize problems, use resistant varieties

and pathogen-free seeds. Dip tools in milk or TSP before handling plants.

Fig. 12. Leaf crinkling caused by PMMV

Thrips (Scirtothrips dorsalis, Thrips palmi)

Thrips cause young leaves to curl upwards (Fig. 15a). Brown areas develop between veins of both young and old leaves. Corky tissue develops on infested fruits. Thrips are very small and group together along the mid-vein (Fig. 15b) or along borders of damaged leaf tissues.

Reduce thrip damage by controlling weeds, tating crops, using predators and parasites, and ro-tating insecticides.

Fig. 13. Aphids (inset right) cause sooty mold and leaf distortion

Fig. 14. Mites (inset right) cause leaves to curl downwards and corky tissue to develop on fruits


(5)

Harvesting

For fresh use, chili peppers can be harvested either at the green immature or red mature stage. It takes about 55–60 days after flowering for fruits to fully ripen, depending on temperature, soil fertility, and cultivar. Warmer temperatures will hasten ripening, and cooler temperatures will delay ripening. If condi-tions are favorable, chili production can continue for several months. Fruits can be harvested weekly.

Fresh chili fruits should not be washed unless they will be kept cool (10°C) until sold. Fruits should be stored in a cool, shaded, dry place until they are sold. At typical tropical ambient temperature and hu-midity (28°C and 60% RH), fruits will last unspoiled for 1–2 weeks. Anthracnose is the major cause of fresh fruit spoilage.

For dry chili, it's im-portant to preserve the red color of the mature fruits. Drying them in the sun is a common practice (Fig. 18), but this tends to bleach the fruits, and rainfall and dew promote fruit rot. Solar dryers have been developed, but they re-quire fairly constant sunshine. Cloudy

weather increases the drying time and the risk of post-harvest spoilage. Blanching the fruits in hot wa-ter (65°C) for 3 minutes and removing the pedicel and calyx can decrease drying time, increase color retention, and reduce post-harvest losses. In gen-eral, cultivars with low dry matter content and/or thick flesh are difficult to dry and are generally sold fresh. If ovens are available, dry fruits for 8 hours at 60°C, then reduce the temperature to 50°C and continue until fruits are completely dry (about 10 more hours). In temperate regions, harvesting is usually halted by frost. In tropical and subtropical regions, produc-tion declines due to disease or other stresses.

Other disorder

Root-knot nematode (Meloidogyne incognita and other Meloidogyne spp.)

This nematode damages the root system. Infested plants become stunted and yellowed. Severely affected plants may wilt. A careful look at the root system will reveal small galls (Fig. 17). This nematode has a very wide host range. Its eggs can remain dormant for a

few months. Warm tem- Fig. 17. Knotted, galledpepper root system Tomato fruitworm (Helicoverpa armigera)

Tomato fruitworm feeds on flowers, pods and fruits of pepper (Fig. 16). Larvae move from one fruit to the next, destroying only small portions of each fruit. Damaged fruits may drop, ripen prematurely, or be-come infected with disease. The entrance hole near the pedicel develops a dark scar. Monitor closely, looking for the larvae on plants; older larvae can be found by cutting into fruits. Young larvae are light yellow and spotted.

Ma-ture larvae are brown to gray in color with length-wise stripes along the body.

To control, spray in-secticides to kill ex-posed larvae. Remove infested fruits to reduce

pest populations. Fig. 16. Fruitworm larva boring inside pepper Fig. 15. Thrips cause leaves to curl upwards; they are often found near the mid-vein of leaves.

peratures and light sandy soils are conducive for its development.

To control, use crop rotation; flooded rice in par-ticular greatly reduces nematode populations. A few resistant cultivars are available. Soil fumigants or nematicides may be used. Plowing during the fallow season will expose nematodes to drying and elimi-nate weeds that host the pest.

Fig. 18. Peppers drying in the sun


(6)

FACT SHEET

Agriculture and Natural Resources

Agriculture and Natural Resources

Keeping Plants Healthy

An Overview of Integrated Plant Health Management

Sarah D. Ellis

Michael J. Boehm

Department of Plant Pathology

Integrated Plant Health Management (IPHM)

Regardless if managing a weed, insect pest, or

disease-causing organism, most specialists interested in plant

health recommend the use of a multi-pronged approach

or strategy commonly referred to as an Integrated Pest

Management or an Integrated Plant Health Management

approach. Integrated Plant Health Management programs

rely on the use of several methods rather than on a single

means for avoiding or otherwise minimizing the impact

of plant pests and pathogens. Although sometimes called

diferent names by weed scientists, entomologists, and plant

pathologists, the methods for managing or eliminating

plant pests fall into ive categories.

1.

Genetic Host Resistance

—the use of genetically

re-sistant plants to minimize or avoid losses caused by

insect pests and/or pathogens. he use of genetically

resistant plants is oten recommended by entomologists

and plant pathologists as the irst line of defense for

avoiding or minimizing plant damage caused by insects

and pathogens. In some cropping systems, such as large

acreage ield or row crop agriculture (corn, soybeans,

wheat, rice, cotton, etc.), the use of genetically

resis-tant plants may be the only cost-efective means for

managing a particular pest or disease. In some cases,

the use of resistant cultivars or varieties might be the

only means of efectively managing a disease or pest

such as in the case of managing plant diseases caused

by viruses. he development of resistant plant types

may also reduce the need for using pesticides. Although

with all insect pests and diseases, it is especially useful

when dealing with annual cropping systems where

new seed is sown each season thereby providing an

opportunity to introduce new cultivars or varieties with

insect or pathogen resistance. Although important in

perennial cropping systems such as orchards, forests,

golf courses, or home lawns, once the initial crop is

planted, the introduction of resistant lines is limited

due to the long-term nature of these crops.

2.

Cultural Practices

—the use of agronomic or

horti-cultural practices which favor plant development and

minimize pest or pathogen activity. here are a number

of cultural practices that can be used to change the

en-vironment in which plants are grown that can severely

inluence pest and pathogen activity, hese practices

include tillage practices, water management, fertility,

crop rotation, and sanitation (cleaning or removal) of

equipment and diseased or infested plant material.

Cul-tural practices designed to achieve or maintain disease

play a key role in reducing plant losses by minimizing

or eliminating sources of insect pests, weed seed, or

pathogen inoculum. Practices such as the removal and

destruction of infected plants or infested soil or potting

mix, and the use of “certiied” pathogen-free or weed-free

seed as well as the use of “clean” tools and equipment

are critical to maintaining healthy plants and reducing

spread of weeds, insects, and pathogens.

3.

Chemical Applications

—the use of pesticides such as

herbicides (weeds), insecticides (insect pests),

fungi-This is the fourth fact sheet in a series of ten designed to provide an overview of key concepts in plant pathology. Plant pathology is the study of plant disease including the reasons why plants get sick and how to control or manage healthy plants.