Dampak penerimaan dan pengeluaran Pemerintah daerah terhadap kinerja ekonomi dan kemiskinan di Indonesia

(1)

DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN

PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI

DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

WILING ALIH MAHA RATRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011

Wiling Alih Maha Ratri NIM : H151090234


(3)

WILING ALIH MAHA RATRI. Impact of Provincial Government Revenue and Expenditure on the Economic Performance and Poverty in Indonesia. Under direction of BONAR M. SINAGA and TONY IRAWAN.

Local government expenditure has increased from year to year, although the revenue is limited and most provinces depend on central government transfers to finance their expenditure. Therefore, research to determine the allocation of government expenditure need to be done in order to increase economic performance, especially increase economic growth and employment rate, and reduce income inequality and poverty. This study uses simultaneous equations model (SEM) to identify the factors that affect local government revenues and expenditure and their impact on fiscal and economic performace of regions. This study uses Three Stage Least Squares (3SLS) method to estimate parameter coefficient. The result shows that government revenue is affected by GDRP, fiscal gap, investment, and population. Government expenditure is affected by GDRP, revenue, and spending the previous year. Increased government revenues and expenditure has a positive impact on economic performance. Expenditure on industrial sector provides the greatest impact on increase in economic growth, decrease of income inequality and poverty rate. Expenditure on agriculture sector provides the greatest impact on increase in employment rate.

Keywords: government revenue, government expenditure, economic growth, employment rate, income inequality, poverty, SEM


(4)

WILING ALIH MAHA RATRI. Dampak Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia. Dibimbing oleh BONAR M. SINAGA dan TONY IRAWAN.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan kapasitas produksi (output) suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Aktivitas pemerintah secara langsung maupun tidak langsung seharusnya mempengaruhi total output (PDB). Dengan adanya pertumbuhan ekonomi, maka diharapkan tercipta lapangan pekerjaan sehingga penyerapan tenaga kerja bertambah.

Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen PDB. Pengeluaran publik merupakan biaya aktivitas pemerintah, termasuk di dalamnya penyediaan barang dan jasa, produksi, dan transfer penerimaan. Pengeluaran pemerintah pusat digambarkan dalam Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Negara (APBN), sedangkan pengeluaran pemerintah daerah digambarkan dalam Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Daerah (APBD). Undang-Undang yang mengatur tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yaitu Undang No 33 Tahun 2004. Undang tersebut bersama dengan Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan Undang-Undang yang dikeluarkan dalam rangka otonomi daerah sebagai pengganti Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No 25 Tahun 1999. Adanya Undang-Undang tersebut berimplikasi pada munculnya hak, wewenang, serta kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sumber dari pengeluaran pemerintah adalah penerimaan pemerintah. Penerimaan daerah berasal dari Penerimaan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain penerimaan yang sah. Dana perimbangan merupakan sarana untuk mewujudkan keseimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Pemerintah Daerah, yang berupa transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Sebagian besar provinsi hanya mampu menghimpun PAD sekitar 20 persen dari total penerimaannya, sehingga tergantung pada transfer dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan hal tersebut, masalah penentuan prioritas pengeluaran pemerintah berdasarkan penerimaannya tersebut merupakan hal yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menyusun rencana anggarannya.

Selain pertumbuhan ekonomi, indikator lain yang menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan fungsinya yaitu tingkat pengangguran, distribusi pendapatan, dan tingkat kemiskinan. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi, maka diharapkan tercipta lapangan pekerjaan sehingga penyerapan tenaga kerja bertambah dan pengangguran berkurang. Tujuan dasar pembangunan ekonomi tidaklah semata-mata hanya untuk mengejar pertumbuhan PDB atau PDRB, namun juga untuk menciptakan pemerataan pendapatan antar masyarakat, karena ketidakmerataan distribusi pendapatan masyarakat juga merupakan permasalahan pembangunan. Jika pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi


(5)

Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah; (2) Mengevaluasi dampak penerimaan pemerintah terhadap kinerja fiskal, ekonomi, dan kemiskinan; (3) Mengevaluasi dampak pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja fiskal, ekonomi, dan kemiskinan; (4) Merumuskan rekomendasi kebijakan yang dapat dilaksanakan pemerintah dalam mendorong kinerja perekonomian.

Untuk meneliti dampak penerimaan dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, distribusi pendapatan, dan kemiskinan digunakan metode Three Stage Least Square (3SLS). Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel endogen. Menurut Pyndick dan Rubinfeld (1983) keberadaan dua atau lebih variabel endogen memerlukan pembentukan beberapa model tambahan. Simultanitanitas dapat menyebabkan estimator parameter OLS menjadi tidak konsisten. Model pada penelitian ini mengacu pada penelitian Sumedi (2005).Untuk mengetahui dampak penerimaan dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, distribusi pendapatan, dan kemiskinan maka dilakukan beberapa simulasi,dari sisi penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah. Simulasi dari sisi penerimaan dilakukan dengan meningkatkan pajak, retribusi, bagi hasil SDA, bagi hasil pajak, dan DAU masing-masing sebesar 10 persen. Simulasi dari sisi pengeluaran dilakukan dengan meningkatkan pengeluaran pertanian sebesar 10 persen, pengeluaran industri sebesar 100 persen, dan pengeluaran infrastruktur sebesar 7 persen. selain itu dilakukan simulasi campuran, yaitu peningkatan DAU disertai peningkatan pengeluaran pertanian, peningkatan DAU disertai peningkatan pengeluaran industri, dan peningkatan DAU disertai peningkatan pengeluaran infrastruktur.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap penerimaan pajak adalah PDRB, kesenjangan fiskal, dan jumlah penduduk. Semua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak. Sedangkan faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi yaitu PDRB sektor non pertanian, kesenjangan fiskal, dan jumlah penduduk. Faktor-faktor tersebut berpengaruh positif terhadap penerimaan retribusi. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap bagi hasil pajak yaitu PDRB perkapita dan investasi, kedua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap bagi hasil pajak. Faktor yang mempengaruhi bagi hasil SDA adalah PDRB pertambangan dan penggalian, PDRB pertambangan dan penggalian berpengaruh nyata positif terhadap bagi hasil SDA. Faktor-faktor yang mempengaruhi bagi hasil pajak adalah PDRB per kapita dan investasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi DAU secara nyata adalah kapasitas fiskal, total pengeluaran, jumlah penduduk dan luas wilayah. Selain kapasitas fiskal, semua faktor berpengaruh positif terhadap DAU. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah menurut sektor yaitu PDRB masing-masing sektor, PAD, dana perimbangan, dan pengeluaran pemerintah menurut sektor tahun sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB sektoral yaitu pengeluaran pemerintah menurut sektor, tenaga kerja sektoral, dan investasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tenaga kerja sektoral yaitu PDRB sektoral dan


(6)

Hasil dari analisis dampak adalah peningkatan pajak, retribusi, bagi hasil SDA, bagi hasil pajak, dan DAU berdampak positif pada peningkatan penerimaan pemerintah, dan selanjutnya berdampak positif juga terhadap pengeluaran pemerintah. Peningkatan pengeluaran pertanian, industri, dan infrastruktur berdampak positif pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dan berdampak negatif pada ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Peningkatan pengeluaran industri berdampak paling besar terhadap peningkatan PDRB, penurunan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia, begitu juga peningkatan DAU yang disertai peningkatan pengeluaran industri, sedangkan pengeluaran pertanian berdampak paling besar terhadap penyerapan tenaga kerja, begitu juga peningkatan DAU yang disertai peningkatan pengeluaran pertanian. Untuk provinsi di Pulau Jawa dan luar Jawa, pengeluaran industri merupakan jenis pengeluaran yang memberikan dampak terbesar terhadap PDRB. Tetapi dalam hal penyerapan tenaga kerja, pengeluaran pertanian memberikan dampak yang lebih besar dari pada pengeluaran industri. Pengeluaran industri memberikan dampak terbesar dalam penurunan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan.

Kata Kunci : penerimaan pemerintah, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, ketimpangan, kemiskinan, persamaan simultan


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB


(8)

DAMPAK PENERIMAAN DAN PENGELUARAN

PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KINERJA EKONOMI

DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

WILING ALIH MAHA RATRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

Nama : Wiling Alih Maha Ratri NRP : H151090234

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA

Ketua Anggota

Tony Irawan, SE,M.App.Ec

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. Tanggal Ujian : 28 Mei 2011 Tanggal Lulus :


(10)

(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Dampak Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Tony Irawan, SE,M.App.Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono dan Dr. Lukytawati Anggraeni selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Latif Farid Muharrom (Suami penulis), Salsabila Hassanah (Anak penulis) dan seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan kekuatan luar biasa kepada penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini.

Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman BPS batch 2 telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.

Bogor, Mei 2011


(12)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis bernama Wiling Alih Maha Ratri, dilahirkan di Karanganyar pada tanggal 19 Oktober 1981 dari pasangan Samueji (Alm.) dan Indriyati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menikah dengan Latif Farid Muharrom, dan dikaruniai satu orang putri bernama Salsabila Hassanah.

Penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Karanganyar IV pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1994, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri I Karanganyar pada tahun 1994 sampai dengan tahun 1997, Sekolah Menengah Umum Negeri I Karanganyar pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2000, dan Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2004. Pada tahun 2009 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Program S2 Penyelenggaraan Khusus BPS-IPB di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Sejak Desember 2004 sampai Desember 2006 penulis bekerja di BPS Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, kemudian dipindah ke BPS Kota Kendari, Sulawesi Tenggara pada bulan Januari 2007. Pada bulan Juni 2008 penulis dipindah ke BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, dan pada bulan Desember 2008 dipindah lagi ke BPS RI, Jakarta.


(13)

(14)

i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi dan Batasan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 10

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ... 11

2.1 Fungsi Pemerintah ... 11

2.2 Penerimaan Pemerintah Daerah ... 12

2.3 Pengeluaran Pemerintah Daerah ... 14

2.4 Pengeluaran Pemerintah di Indonesia... 19

2.4.1 Sebelum Reformasi Anggaran... 19

2.4.2 Setelah Reformasi Anggaran... 20

2.4.3 Klasifikasi Anggaran Baru... 21

2.5 Produk Domestik Regional Bruto ... 24

2.6 Pertumbuhan Ekonomi ... 26

2.7 Tenaga Kerja ... 29

2.8 PDRB per Kapita ... 30

2.9 Kemiskinan ... 31

2.10 Hubungan Pengeluaran Pemerintah dengan Pertumbuhan Ekonomi ... 32

2.11 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Penyerapan Tenaga Kerja ... 32

2.12 Penelitian Terdahulu ... 33

2.12.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Daerah ... 33

2.12.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Daerah ... 34

2.12.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi... 36

2.12.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja... 38

2.12.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan. ... 39

2.13 Kerangka Pemikiran ... 40

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 43

3.1 Jenis dan Sumber Data ... 43

3.2 Spesifikasi Model ... 43

3.3 Estimasi Model ... 47

3.4 Uji Asumsi Ekonometrika... ... 51

3.5 Validasi Model... ... 52

3.6 Simulasi Model... ... 53

3.7 Definisi Variabel... ... 54

4 GAMBARAN UMUM ... 59

4.1 Kinerja Fiskal Daerah ... 59

4.2 Pertumbuhan Ekonomi ... 64


(15)

ii

5 HASIL DAN PEMBAHASAN... ... 75

5.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah ... 75

5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pemerintah ... 78

5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB ... 81

5.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja ... 83

5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan... 85

5.6 Validasi Model ... 86

5.7 Dampak Simulasi Kebijakan ... 87

6 KESIMPULAN DAN SARAN... . 101

6.1 Kesimpulan ... 101

6.2 Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(16)

iii

Halaman

1 Perbedaan antara Format APBN Lama dan APBN Baru ... 21

2 Klasifikasi Ekonomi Belanja Pemerintah ... 23

3 Keragaan Pendapatan Pemerintah Daerah Provinsi Seluruh Indonesia Tahun 2005-2009 ……….………... 59

4 Keragaan Pendapatan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia Tahun 2005-2009 ………... 61

5 Keragaan Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 63

6 Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 68

7 PDRB per Kapita Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 ……… ... 70

8 Hasil Estimasi Persamaan Pajak ... 76

9 Hasil Estimasi Persamaan Retribusi ... 76

10 Hasil Estimasi Persamaan Bagi Hasil SDA... 77

11 Hasil Estimasi Persamaan Bagi Hasil Pajak ... 77

12 Hasil Estimasi Persamaan DAU ... 78

13 Hasil Estimasi Persamaan Pengeluaran Pertanian ... 79

14 Hasil Estimasi Persamaan Pengeluaran Industri ... 80

15 Hasil Estimasi Persamaan Pengeluaran Infrastruktur ... 80

16 Hasil Estimasi Persamaan PDRB Sektor Pertanian... 81

17 Hasil Estimasi Persamaan PDRB Sektor Industri ... 82

18 Hasil Estimasi Persamaan PDRB Sektor Jasa………. 82

19 Hasil Estimasi Persamaan Tenaga Kerja Sektor Pertanian ... 84


(17)

iv

23 Hasil Validasi Model Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia ... 87 24 Dampak Berbagai Simulasi Kebijakan terhadap Kinerja Fiskal, dan

Ekonomi di Indonesia Tahun2005-2009 ………...………..…… 89 25 Dampak Berbagai Simulasi Kebijakan terhadap Kinerja Fiskal, dan

Ekonomi di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa Tahun

2005-2009 …….……....……….…… 96 26 Dampak Simulasi Kebijakan Campuran terhadap Kinerja Fiskal, dan

Ekonomi di Indonesia, Jawa dan Luar Jawa Tahun


(18)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota

seluruh Indonesia Tahun 2009 ... 6

2 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia Tahun 2008-2009 ... 7

3 Perkembangan Penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia Tahun 2006-2009 ... 8

4 Hubungan antara Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dengan Rasio Pengeluaran Pemerintah terhadap PDRB ... 18

5 Diagram Alur Kerangka Pemikiran ... 40

6 Daerah Batas Penerimaan Uji Durbin Watson ... 51

7 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di Indonesia Tahun 2007-2009 ... 65

8 Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja di Indonesia Tahun 2007-2009 ... 66

9 Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Sektoral di Indonesia Tahun 2005-2009... ... 67


(19)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kerangka Model Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia ... 110 2 Keterkaitan antar Variabel Model Fiskal dan Perekonomian Daerah di

Indonesia ... 111 3 Realisasi Penerimaan Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia

Tahun 2005-2009 ... 112 4 Realisasi Penerimaan Pajak Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh

Indonesia Tahun 2005-2009 ... 113 5 Realisasi Penerimaan Retribusi Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh

Indonesia Tahun 2005-2009 ... 114 6 Realisasi PAD Lain Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia

Tahun 2005-2009 ... 115 7 Realisasi Laba BUMD Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia

Tahun 2005-2009 ... 116 8 Realisasi Laba PAD Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia

Tahun 2005-2009 ... 117 9 Realisasi Bagi Hasil SDA Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia

Tahun 2005-2009 ... 118 10 Realisasi Bagi Hasil Pajak Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh Tahun

Indonesia 2005-2009 ... 119 11 Realisasi Dana Bagi Hasil Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh

Indonesia Tahun 2005-2009 ... 120 12 Realisasi DAU Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia Tahun

2005-2009 ... 121 13 Realisasi DAK Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia Tahun

2005-2009 ... 122 14 Realisasi Dana Perimbangan Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh


(20)

vii

Tahun 2005-2009 ... 124

16 Realisasi Pengeluaran Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia Tahun 2005-2009 ... 125

17 Realisasi Pengeluaran Pertanian Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia Tahun 2005-2009 ... 126

18 Realisasi Pengeluaran Industri Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia Tahun 2005-2009 ... 127

19 Realisasi Pengeluaran Infrastruktur Provinsi dan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia Tahun 2005-2009 ... 128

20 PDRB Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Provinsi di Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2005-2009 ... 129

21 PDRB Sektor Industri Provinsi di Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2005-2009 ... 130

22 PDRB Sektor Jasa Provinsi di Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2005-2009 ... 131

23 PDRB Provinsi di Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2005-2009 ... 132

24 Tenaga Kerja Sektor Pertanian Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 133

25 Tenaga Kerja Sektor Industri Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009... 134

26 Tenaga Kerja Sektor Jasa Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 135

27 Total Tenaga Kerja Sektor Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009... 136

28. Investasi Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 137

29. Jumlah Penduduk di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 138

30. Persentase Penduduk Miskin Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 139

31. Garis Kemiskinan Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 140

32. PDRB per Kapita Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 141


(21)

viii

30 Program dan Hasil Validasi Model Fiskal dan Perekonomian Daerah di

Indonesia ... 146 31 Program Simulasi Model Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia ... 156 32 Hasil Simulasi Model Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia ... 157


(22)

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada periode 1970 sampai dengan pertengahan tahun 1997 rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6%. Namun pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun secara drastis pada tahun 1998 menjadi -13.2%. Lambat laun pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan, pada tahun 2001 sebesar 3.64%, kemudian tahun 2004 sampai dengan 2008 rata-rata pertumbuhan ekonomi di atas 5%, tetapi kembali menurun pada tahun 2009 menjadi 4.55%.

Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan kapasitas produksi (output) suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan penerimaan nasional. Aktivitas pemerintah secara langsung maupun tidak langsung seharusnya mempengaruhi total output (Produk Domestik Bruto/PDB) negara melalui interaksinya dengan sektor swasta, karena pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen PDB. Sehingga aktivitas pemerintah dan swasta seharusnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun dalam beberapa penelitian arah hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi ada yang negatif.

Sebagai salah satu komponen PDB, pengeluaran pemerintah dapat menstimulus perekonomian melalui peningkatan konsumsi dan investasi. Pengeluaran pemerintah diatur melalui kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah selaku sektor publik. Sektor ini memiliki fungsi yang meliputi pengalokasian sumber daya, distribusi penerimaan, dan menciptakan stabilitas dalam perekonomian. Pada pelaksanaannya sektor publik berdampingan dengan sektor swasta dalam aktivitas penyediaan barang dan jasa. Dalam kondisi demikian peran sektor publik sangat dibutuhkan sebagai stimulus investasi swasta, memberi arah serta sasaran pembangunan bangsa untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pengeluaran publik merupakan biaya aktivitas pemerintah, termasuk di dalamnya penyediaan barang dan jasa, produksi, dan transfer penerimaan.


(23)

Pembiayaan publik ini menyebabkan adanya kebijakan-kebijakan yang menyangkut usaha penghimpunan dana (diantaranya melalui pajak) dan pengeluaran yang diharapkan dapat menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pengeluaran pemerintah pusat digambarkan dalam Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Negara (APBN), sedangkan pengeluaran pemerintah daerah digambarkan dalam Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Daerah (APBD). Tata cara pengelolaan APBN dan APBD diatur dalam Undang. Undang-Undang yang mengatur tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yaitu Undang-Undang No 33 Tahun 2004. Undang-Undang tersebut bersama dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan Undang-Undang yang dikeluarkan dalam rangka otonomi daerah sebagai pengganti Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No 25 Tahun 1999. Adanya Undang-Undang tersebut berimplikasi pada munculnya hak, wewenang, serta kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan penerapan kedua undang-undang tersebut, manajemen pemerintah daerah mengalami pergeseran, yaitu dari sentralistis menjadi sistem desentralistis. Dampak yang langsung dirasakan adalah semakin besarnya tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam membangun daerahnya sesuai dengan kondisi daerah. Untuk itu daerah dituntut mampu menggunakan sumber daya manusianya secara optimal agar dapat mengelola anggarannya dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.

Penyelenggaraan otonomi daerah memuat dua aspek penting, yaitu pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun tugas pembangunan dan pengalokasian pengeluaran sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerahnya masing-masing. Pada prinsipnya pengeluaran dalam APBN dan APBD bertujuan untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan bagi pelayanan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengeluaran pemerintah ini secara tidak langsung merupakan investasi pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Sumber dari pengeluaran pemerintah adalah penerimaan pemerintah.


(24)

Penerimaan daerah berasal dari Penerimaan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain penerimaan yang sah. Dana perimbangan merupakan sarana untuk mewujudkan keseimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Pemerintah Daerah, yang berupa transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Sebagian besar provinsi hanya mampu menghimpun PAD sekitar 20 persen dari total penerimaannya, sehingga tergantung pada transfer dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan hal tersebut, masalah penentuan prioritas pengeluaran pemerintah berdasarkan penerimaannya tersebut merupakan hal yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menyusun rencana anggarannya.

Masalah pengalokasian pengeluaran publik ini merupakan pilihan yang cukup sulit, yang mana pemerintah harus menentukan komponen mana saja dari pengeluaran tersebut yang harus dikurangi atau ditambah dalam menciptakan anggaran yang efektif dan efisien. Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen dalam output suatu negara. Peningkatan pengeluaran pemerintah seharusnya akan diikuti peningkatan output, sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi yang positif. Tetapi adakalanya pengeluaran pemerintah tidak optimal dalam meningkatkan output. Hal itu mungkin disebabkan oleh besarnya jenis pengeluaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga alokasi pengeluaran tersebut tidak tepat. Oleh karena itu penelitian mengenai komposisi pengeluaran pemerintah yang tepat perlu dilakukan sehingga dapat diketahui jenis pengeluaran pemerintah yang perlu ditambah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan jenis pengeluaran apa yang dapat dikurangi. Dengan kata lain untuk mengetahui jenis pengeluaran pemerintah yang memacu pertumbuhan ekonomi dan jenis pengeluaran yang menghambat pertumbuhan ekonomi.

Selain pertumbuhan ekonomi, indikator lain yang menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan fungsinya yaitu penyerapan tenaga kerja, distribusi pendapatan, dan tingkat kemiskinan. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi, maka diharapkan tercipta lapangan pekerjaan sehingga penyerapan tenaga kerja bertambah dan pengangguran berkurang. Meskipun pertumbuhan ekonomi tahun 2005-2008 cenderung mengalami kenaikan, tetapi pertumbuhan tenaga kerja justru mengalami penurunan mulai tahun 2007. Pada tahun 2006 pertumbuhan tenaga kerja sebesar 1.07 persen, kemudian mengalami peningkatan


(25)

menjadi 4.69 persen pada tahun 2007, tetapi setelah itu berangsur-angsur mengalami penurunan menjadi 2.62 dan 2.25 persen pada tahun 2008 dan 2009. Jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 jumlah pengangguran sebesar 10.93 juta orang atau 10.28 persen dari angkatan kerja, pada tahun 2007 menurun menjadi 10,01 juta orang atau 9.11 persen dari angkatan kerja, kemudian menurun kembali pada tahun 2008 menjadi 9.39 juta orang atau 8.46 persen. Pada tahun 2009 jumlah pengangguran terbuka di Indonesia menjadi 8.96 juta orang atau 7.87 persen dari angkatan kerja. Kesempatan kerja penuh tercapai jika jumlah pengangguran sekitar 5-6 persen. Jika target pertumbuhan ekonomi hanya 5.5 persen, maka target full employment

sulit tercapai. Pertumbuhan ekonomi setidaknya harus mencapai 7.13 persen per tahun agar mampu menyerap tenaga kerja secara optimal. Pertumbuhan sebesar itu diperlukan selama lima tahun mendatang mulai 2010 jika pemerintah ingin mengejar target kesempatan kerja penuh (full employment) 5-6 persen pada tahun 2014.

Tujuan dasar pembangunan ekonomi tidaklah semata-mata hanya untuk mengejar pertumbuhan PDB atau PDRB, namun juga untuk menciptakan pemerataan pendapatan antar masyarakat, karena ketidakmerataan distribusi pendapatan masyarakat juga merupakan permasalahan pembangunan. Jika pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi gagal untuk mengurangi bahkan menghilangkan besarnya kemiskinan absolut maka pertumbuhan PDB per kapita yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Karena apa yang disebut dengan proses trickle down effect dari manfaat pertumbuhan ekonomi bagi penduduk miskin tidak terjadi seperti yang diharapkan. Masalah distribusi pendapatan mengandung dua aspek. Aspek pertama adalah bagaimana menaikkan tingkat kesejahteraan mereka yang masih berada di bawah garis kemiskinan, sedang aspek kedua adalah pemerataan pendapatan secara menyeluruh dalam arti mempersempit perbedaan tingkat pendapatan antar penduduk atau rumah tangga. Keberhasilan mengatasi aspek yang pertama dapat dilihat dari penurunan persentase penduduk yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Persentase penduduk miskin di Indonesia mamang mengalami penurunan dari 20.37 persen pada tahun 2007 menjadi 15.42 persen pada tahun


(26)

2008, dan menurun kembali menjadi 14.15 persen pada tahun 2009. Meskipun terus mengalami penurunan, ada beberapa provinsi yang persentase penduduk miskinnya meningkat, yaitu Provinsi Gorontalo, Irian Jaya Barat, dan Papua. Untuk aspek yang kedua, keberhasilan memperbaiki distribusi pendapatan secara menyeluruh adalah jika laju pertambahan pendapatan golongan miskin lebih besar dari laju pertambahan pendapatan golongan kaya. Provinsi dengan PDRB perkapita tertinggi di Indonesia yaitu DKI Jakarta, sedangkan terendah yaitu Nusa Tenggara Timur. Perbedaan PDRB per kapita keduanya sangat jauh, pada tahun 2009 PDRB per kapita DKI Jakarta sebesar Rp 40 juta, dengan tingkat pertumbuhan sebesar 4.13 persen, sedangkan Nusa Tenggara Timur hanya Rp 2.5 juta, dengan tingkat pertumbuhan 2.31 persen. PDRB per kapita DKI Jakarta berbeda jauh dibandingkan PDRB per kapita Nusa Tenggara Timur, selain itu PDRB per kapita DKI Jakarta tumbuh lebih cepat dari pada Nusa Tenggara Timur. Dari keadaan tersebut terlihat bahwa terjadi ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia.

Ukuran agregat yang memperlihatkan kondisi perekonomian tersebut di atas merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dikeluarkan di daerah, baik melalui mekanisme dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah, sebagaimana dikemukakan oleh Keynes (Todaro dan Smith, 2006). Oleh karena itu pemerintah daerah harus mampu berperan dalam mengelola keuangannya secara mandiri sehingga seluruh potensi harus dioptimalkan melalui mekanisme perencanaan yang efektif dan efisien.

1.2 Identifikasi dan Batasan Masalah

Barro (1990) mengemukakan bahwa pengeluaran pemerintah dalam bentuk investasi dan kegiatan yang produktif seharusnya mempunyai kontribusi positif terhadap pertumbuhan, sedangkan pengeluaran konsumsi yang tidak produktif diperkirakan memperlambat pertumbuhan. Bleaney et al (1999) mengelompokan pengeluaran pemerintah menjadi pengeluaran produktif dan tidak produktif. Pengeluaran yang produktif antara lain pengeluaran pelayanan umum, pertahanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan telekomunikasi, pengeluaran lain, dan pengeluaran sosial. Nuryanto (2005) mengelompokkan


(27)

pengeluaran pemerintah menjadi pengeluaran pelayanan umum, pengeluaran untuk human capital, pengeluaran sosial, dan pengeluaran industri dan infrastruktur. Nuryanto mengasumsikan bahwa pengeluaran pelayanan umum dan sosial adalah pengeluaran yang tidak produktif. Evaluasi jenis pengeluaran produktif dan non-produktif perlu dilakukan agar dapat diketahui jenis pengeluaran yang memacu pertumbuhan dan jenis pengeluaran yang menghambat pertumbuhan. Tentu saja pertumbuhan yang terjadi diharapkan diikuti oleh pemerataan distribusi penerimaan. Strategi redistribusi dengan perubahan (redistribution with growth) berusaha menggabungkan usaha pemerataan dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Penekanan strategi ini adalah penyaluran kembali (realokasi) dana–dana investasi baru, terutama dari pemerintah ke golongan penduduk yang paling miskin, sehingga mereka dapat memupuk harta produktif yang dapat meningkatkan produktivitas dan penerimaan mereka. Dengan adanya pemerataan distribusi pendapatan, maka diharapkan tingkat kemiskinan menurun.

Sumber: Departemen Keuangan, 2010 (diolah)

Gambar 1 Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia Tahun 2009

Alokasi pengeluaran pemerintah daerah menurut klasifikasi berdasarkan urusan dapat dilihat pada Gambar 1. Pengeluaran untuk sosial menempati posisi tertinggi dalam persentasenya terhadap total pengeluaran pemerintah daerah

0.253

0.085

0.008 0.040 0.003 0.057

0.006 0.163

0.384

pendidikan

kesehatan

sosial

pertanian

industri

infrastruktur

ESDM

pekerjaan umum


(28)

provinsi dan kabupaten/kota, yaitu 38 persen, disusul pengeluaran untuk pendidikan sebesar 25 persen. Pengeluaran untuk kesehatan pada tahun 2009 mencapai 9 persen dari total pengeluaran pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan pengeluaran untuk pertanian dan infrastruktur masing-masing sebesar 4 dan 6 persen.

Evaluasi jenis pengeluaran yang memacu kinerja perekonomian perlu dilakukan karena membantu pemerintah agar dapat mengalokasikan pengeluarannya secara efektif dan efisien. Masalah pengalokasian pengeluaran pemerintah amat penting karena kebutuhan dana per sektor setiap tahunnya selalu meningkat, di sisi lain sumber dana sangat terbatas.

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pengeluaran pemerintah daerah untuk semua alokasi anggaran mengalami peningkatan dari tahun 2008 ke 2009. Alokasi anggaran pemerintah tersebut ditujukan untuk berbagai tujuan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Bila salah satu pos pengeluaran meningkat, sedangkan penerimaan tidak naik, akan mengakibatkan turunnya nominal anggaran pada pos pengeluaran lain.

Sumber: Departemen Keuangan, 2010 (diolah)

Gambar 2 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia Tahun 2008-2009 (Ribu Rupiah) Oleh karena itu, bila pemerintah ingin meningkatkan salah satu pos pengeluaran, langkah yang dapat ditempuh ada dua, yakni mengurangi nominal

0 20000000000 40000000000 60000000000 80000000000 100000000000 120000000000

2008 2009

Pendidikan

Kesehatan

Sosial

Pertanian

Industri

Infrastruktur

000 R


(29)

anggaran di pos pengeluaran lain dan/atau meningkatkan penerimaan. Selain dua cara tersebut, pemerintah juga dapat meningkatkan hutang, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

Perkembangan penerimaan daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat dilihat pada Gambar 3. Dari gambar tersebut dapat dikatakan bahwa penerimaan daerah lebih banyak tergantung dari anggaran pemerintah pusat, melalui Dana Alokasi Umum (DAU) atau dana transfer yang berjumlah antara 60 sampai 70 persen dari total penerimaan daerah. Persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD) relatif kecil, yaitu sekitar 20 persen. Tetapi tidak semua provinsi DAU-nya sekitar 60 sampai 70 persen, misalnya Provinsi DKI Jakarta. Sejak tahun 2005 sampai dengan 2009 Provinsi DKI Jakarta tidak mendapatkan dana transfer dari pemerintah pusat. Jadi dana yang dimiliki oleh kebanyakan daerah sedikit banyak tergantung pada pusat. Hal itu menyebabkan keterbatasan dana dalam penyelenggaraan pembangunan daerah. Adanya keterbatasan dana yang dihadapi pemerintah daerah menyebabkan masalah pemilihan alokasi anggaran menjadi amat penting. Dalam menghadapi kendala tersebut, dibutuhkan kejelian pemerintah dalam menentukan skala prioritas sektor yang mampu memberikan kontribusi optimal bagi kinerja perekonomian.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010 (diolah)

Gambar 3 Perkembangan Penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia Tahun 2006-2009 (Ribu Rupiah)

0 50000000000 100000000000 150000000000 200000000000 250000000000 300000000000 350000000000

2006 2007 2008 2009

Dana Perimbangan Pendapatan Asli Daerah

000 R


(30)

Berlakunya sistem otonomi daerah menyebabkan daerah memiliki wewenang untuk menyusun anggaran yang pengalokasiannya diserahkan sepenuhnya pada masing-masing daerah. Selain itu, perwujudan otonomi daerah mempunyai makna dimana suatu daerah otonom dituntut mampu menggali sumber-sumber keuangan sendiri, salah satu sumber keuangan daerah berupa PAD. Wujud kesinambungan antara masyarakat, pemerintah, dan pembangunan salah satunya tertuang dalam PAD. Hal ini terutama dari proses pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam membayar pajak, retribusi, dan lain-lain. Timbal balik dari hal tersebut berupa hasil dari pelaksanaan pembangunan oleh pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat. Realisasi yang diperoleh masyarakat terwujud dalam kebijakan alokasi anggaran pengeluaran yang ditujukan pada kepentingan masyarakat, yaitu pada urusan pendidikan, kesehatan, pertanian, dan lain-lain.

Penelitian ini akan mencoba menganalisis dampak penerimaan dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, distribusi pendapatan, dan kemiskinan provinsi-provinsi di Indonesia. Distribusi pendapatan dalam hal ini adalah ketimpangan pendapatan per kapita antar provinsi di Indonesia. Ketimpangan pendapatan per kapita dalam penelitian ini digambarkan dengan Indeks Williamson. Perilaku dan karakteristik pengeluaran pemerintah di setiap provinsi tidak sama, hal tersebut tergantung dari kemampuan sumber daya manusia dalam mengelolanya, sumber-sumber potensial keuangan, sumber daya alam, sosial budaya, dan lain-lain. Namun demikian pola pengeluaran pemerintah derah antara suatu provinsi dengan provinsi lainnya pada umumnya hampir sama sesuai dengan prinsipnya sebagai pelayanan umum atau disebut juga sebagai public service.

Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran daerah 2. Bagaimana dampak penerimaan pemerintah terhadap kinerja fiskal, ekonomi,

dan kemiskinan

3. Bagaimana dampak pengeluaran pemerintah terhadap kinerja fiskal, ekonomi, dan kemiskinan.


(31)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah

2. Mengevaluasi dampak penerimaan pemerintah terhadap kinerja fiskal, ekonomi, kemiskinan

3. Mengevaluasi dampak pengeluaran pemerintah daerah terhadap kinerja fiskal, ekonomi, dan kemiskinan

4. Merumuskan rekomendasi kebijakan yang dapat dilaksanakan pemerintah dalam mendorong kinerja perekonomian.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap 25 provinsi di Indonesia, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua pada periode 2005-2009. Pemilihan 25 provinsi tersebut dilakukan berdasarkan ketersediaan data.


(32)

2.1 Fungsi Pemerintah

Pemerintah memanfaatkan pendapatannya yang berasal dari pungutan pajak serta sumber pendapatan lainnya untuk dialokasikan ke berbagai bidang secara efektif dan efisien. Fungsi pemerintah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Fungsi alokasi, yaitu mengalokasikan sumber daya yang digunakan dalam memproduksi barang yang berasal dari barang swasta atau barang publik. 2. Fungsi distribusi, yaitu peran pemerintah dalam melakukan distribusi sumber

daya bagi masyarakat.

3. Fungsi stabilisasi, yaitu peran pemerintah dalam menjaga kestabilan penyerapan tenaga kerja, stabilitas harga, serta tingkat pertumbuhan ekonomi yang tepat yang berdampak pada neraca perdagangan dan neraca pembayaran (Mangkoesoebroto, 2008).

Dalam menjalankan fungsi stabilisasi, pemerintah menggunakan instrumen moneter maupun fiskal berupa kebijakan pada bidang-bidang fiskal dan moneter. Sebagai contoh, untuk menjaga kestabilan tingkat bunga, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter yang mengatur jumlah uang beredar yang mana pada akhirnya dapat mempengaruhi tingkat permintaan masyarakat. Kebijakan ini secara tidak langsung mempengaruhi tingkat bunga, harga, maupun tingkat inflasi. Sehingga instrumen uang beredar akan mempengaruhi tingkat bunga, harga, maupun tingkat inflasi.

Kebijakan fiskal berhubungan dengan pengeluaran pemerintah dan penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak. Apabila pemerintah menurunkan pajak, hal ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan permintaan masyarakat. Namun dari sisi penerimaan pemerintah, hal ini berdampak pada peningkatan defisit anggaran. Dari sisi pengeluaran, apabila pengeluaran pemerintah naik maka permintaan terhadap barang publik dan barang swasta naik. Jadi anggaran belanja pemerintah baik dari sisi penerimaan maupun pengalokasiannya berdampak pada permintaan agregat dan tingkat aktivitas


(33)

perekonomian yang mana hal tersebut mempengaruhi penyerapan tenaga kerja dan tingkat inflasi.

2.2 Penerimaan Pemerintah Daerah

Menurut Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, penerimaan daerah terdiri dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan, sedangkan pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah, misalnya hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah.

Dana Perimbangan terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam. DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan. DBH yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Alokasi dasar dihhitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Kebutuhan pendanaan tersebut diukur berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, PDRB per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan DBH. Jumlah keseluruhan DAU


(34)

ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis.

Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Dana darurat berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD.

Pinjaman daerah ditetapkan dengan memperhatikan keadaan dan perkiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif pinjaman yaitu tidak lebih dari 60 persen dari PDB tahun bersangkutan. Pinjaman dapat bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat.

Penerimaan pemerintah daerah dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi merupakan gambaran dari kenaikan PDRB. PDRB merupakan nilai barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah pada tahun tertentu. PDRB bukan saja diproduksi oleh penduduk di wilayah tersebut, tetapi juga penduduk wilayah lain yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka semakin tinggi pula kemampuan orang tersebut untuk membayar berbagai pungutan yang ditetapkan pemerintah. Dalam konsep makro dapat dianalogikan bahwa semakin besar PDRB yang diperoleh maka semakin besar pula potensi penerimaan daerah. Jadi dengan adanya peningkatan PDRB maka hal ini akan mendorong peningkatan PAD. Halim (2000) menyatakan bahwa PAD dipengaruhi oleh PDRB. Semakin tinggi PDRB, diharapkan prosentase PAD terhadap PDRB juga meningkat (tax effort). Jika tax effort kecil, maka PAD akan memberikan kontribusi yang kecil terhadap


(35)

belanja daerah. Jika tax effort ditingkatkan, maka PAD akan meningkat secara signifikan.

Selain pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk juga mempengaruhi penerimaan pemerintah daerah. Penduduk merupakan orang yang bertempat tinggal menetap di suatu wilayah selama enam bulan atau lebih dan yang bertempat tinggal kurang dari enam bulan tetapi berencana menetap di suatu wilayah. Todaro dan Smith (2006) mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk bukan suatu masalah. Pengaruh jumlah penduduk pada dasarnya positif dan bermanfaat bagi pembangunan, karena semakin banyak orang maka semakin banyak ide, semakin banyak yang memiliki kretivitas, semakin banyak tenaga ahli, sehingga teknologi semakin berkembang. Sehingga akan meningkatkan kemampuan berproduksi dan PDRB meningkat. Selain itu semakin besar penduduk akan meningkatkan permintaan barang-barang konsumsi sehingga mendorong economic of scale dalam berproduksi dan akan menurunkan biaya produksi yang selanjutnya akan mengakibatkan perluasan usaha dan pendirian usaha baru. Hal itu akan menambah angkatan kerja yang bekerja sehingga pendapatan masyarakat meningkat. Dengan adanya penambahan jumlah penduduk maka akan meningkatkan pendapatan daerah (Sukirno, 2003).

2.3 Pengeluaran Pemerintah Daerah

Berkaitan dengan fungsi stabilisasi di atas, pusat dari segala aktivitas operasional pemerintah adalah penerimaan (pajak) dan pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah sebagai kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian dengan menjadi bagian dari permintaan agregat. Pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai pembelian barang dan jasa output dari perekonomian. Permintaan agregat terdiri dari konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor neto. Pembelian/belanja pemerintah merupakan nilai barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Belanja pemerintah merupakan instrumen kebijakan fiskal selain pajak. Peningkatan belanja pemerintah meningkatkan pendapatan disposabel, sedangkan peningkatan pajak menurunkan pendapatan disposabel. Pengaruh kedua kebijakan


(36)

tersebut terhadap pendapatan nasional terjadi melalui efek pengganda (multiplier effect).

PDB = C+I+G+NX……….……….(1)

C = c0+c1 (Y-T)……….………(2)

PDB = c0+c1(Y-T)+I+G+NX……….………..(3)

Setelah dilakukan transformasi, maka diperoleh:

Y(1-c1) = c0-c1T+I+G+NX………....…………...(4)

Y = (c0-c1T+I+G+NX)/(1-c1)……….………..…(5)

Setelah dilakukan diferensiasi terhadap G, maka diperoleh: dY/dG = 1/(1-c1

1. Model Rostow dan Musgrave

)………...…(6) dY/dG adalah multiplier effect. Jadi besarnya multipler effect dari belanja pemerintah tergantung dari Marginal Propensity to Consume (MPC), yaitu kenaikan konsumsi akibat kenaikan pendapatan. Angka pengganda menunjukkan rasio antara perubahan tingkat output dan perubahan pengeluaran pemerintah. Semakin besar angka pengganda maka semakin besar dampak pengeluaran pemerintah terhadap tingkat output (Blanchard, 2006)

Ada beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 2008) yaitu:

Model Rostow dan Musgrave berisi tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya


(37)

hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1991) dalam Mangkoesoebroto (2008)

2. Hukum Wagner

berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3. Teori Peacock dan Wiseman

Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar,


(38)

begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkat-kan penerimaannya tersebut dengan cara menaikmeningkat-kan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut.

Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah 4. Kurva Scully

Kurva Scully merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluaran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Gambarnya seperti ditunjukkan


(39)

pada Gambar 4. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, rasio pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari model dapat disimpulkan bahwa peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan dapat mencapai nol.

g

Tingkat Pertumbuhan Ekonomi

0 t Rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB

Sumber : Syaibani, 2005

Gambar 4 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB

Pengeluaran pemerintah daerah dipengaruhi oleh penerimaannya. Holzt-Eakin et al. (1985) dalam Prakosa (2004) menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dari sumber pendanaan terhadap belanja daerah. Mereka menemukan bahwa semua current spending ditentukan oleh current resources. Selain itu Gamkhar dan Oates (1996) dalam Prakosa (2004) menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya terhadap pemerintah federal di Amerika Serikat periode 1953-1991, pengurangan jumlah transfer menyebabkan penurunan pengeluaran daerah. Pendapatan daerah dan transfer memberikan stimulus yang berbeda terhadap pengeluaran daerah, jika stimulus terhadap pengeluaran daerah yang ditimbulkan oleh transfer lebih besar dibandingkan dengan stimulus dari pendapatan daerah maka terjadi flypaper effect. Selain penerimaan, PDRB juga menentukan besaran pengeluaran pemerintah daerah. Hal tersebut sesuai dengan hukum Wagner yang sudah dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian


(40)

apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat.

2.4 Pengeluaran Pemerintah di Indonesia

Pengeluaran pemerintah di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga tingkat pemerintahan. Pertama, pengeluaran pemerintah yang dilakukan tingkat pusat, yang tercermin dalam pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN direalisasikan dalam berbagai pos pengeluaran yang dilaksanakan di berbagai wilayah Indonesia (sebagian dibelanjakan di luar negeri). Kedua, pengeluaran pemerintah yang dilakukan pemerintah propinsi yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi. APBD propinsi direalisasikan dalam berbagai pos pengeluaran dalam wilayah propinsi yang bersangkutan (sebagian dibelanjakan di luar wilayah propinsi). Ketiga, pengeluaran pemerintah yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota. APBD kabupaten/kota direalisasikan dalam berbagai pos pengeluaran dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan (sebagian dibelanjakan di luar wilayah kabupaten/kota).

Format anggaran mengalami perubahan dalam rangka reformasi keuangan negara. Reformasi pengelolaan keuangan negara ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola belanja negara, meningkatkan keterkaitan antara output dan outcome yang dicapai melalui penganggaran organisasi, dan menyesuaikan dengan standar klasifikasi yang digunakan secara internasional. Berikut uraian mengenai format laporan keuangan sebelum dan sesudah reformasi keuangan.

Format APBN diklasifikasikan berdasarkan sektor, tipe pengeluaran (klasifikasi ekonomi) serta berdasarkan organisasi. Klasifikasi sektoral diklasifikasikan ke dalam sektor, sub sektor, program dan kegiatan. Di dalam klasifikasi ini, terdiri dari 20 sektor dan 50 subsektor. Lalu beberapa program di break-down dari beberapa sektor kepada belanja rutin dan belanja modal. Dengan


(41)

susunan klasifikasi seperti ini, mengakibatkan para stakeholder kesulitan dalam mengukur keberhasilan pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Anggaran Belanja Negara masih memberlakukan pemisahan antara belanja rutin dan belanja modal (dual budgeting). Belanja rutin negara terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, subsidi, dan belanja lain-lain. Tujuan utama pemisahan belanja rutin dan belanja modal/pembangunan ini adalah untuk menekankan pentingnya peranan program pembangunan.

Pemerintah menyadari bahwa pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan sampai saat ini perlu diadakan penyempurnaan terutama dalam mengatasi kelemahan seperti kurangnya keterkaitan antara perencanaan nasional, penganggaran dan pelaksanaannya. Kemudian kelemahan dalam pelaksanaan penganggaran yang menggunakan line-item budget dimana usulan anggaran didasarkan perubahan tertentu (incremental) atas anggaran sebelumnya. Oleh karena itu, pemerintah merasa harus segera melakukan reformasi pengelolaan keuangan negara agar memenuhi syarat pengelolaan yang transparan, akuntabel, dapat diprediksi/predictability dan memperhatikan partisipasi.

2.4.2 Setelah Reformasi Anggaran

Sejak tahun 2003, reformasi keuangan negara mencapai babak baru dengan disahkannya Undang-undang nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Setelah itu, pada tahun 2004 disahkan beberapa produk perundang-undangan yang merupakan satu kesatuan paket reformasi keuangan negara, diantaranya: UU no. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU no. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.; serta UU no.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Munculnya peraturan perundang-undangan ini telah merubah cara pengelolaan keuangan Negara Republik Indonesia.

Implikasi dari reformasi keuangan negara ini merubah format dan struktur anggaran belanja negara, yaitu:

1. Pemisahan antara belanja pemerintah pusat dan pemerintah daerah

2. Semua belanja negara yang berhubungan dengan subsidi dan hibah harus dikategorikan sebagai subsidi


(42)

3. Semua “belanja lain-lain” yang tersebar di banyak komponen anggaran belanja pusat disatukan satu dalam “belanja lain-lain”.

4. Belanja modal dirubah menjadi format baru dan dibagi ke dalam semua jenis belanja.

Tabel 1 Perbedaan antara Format APBN Lama dan APBN Baru

Format Lama Format Baru

Klasifikasi Organisasi

Tidak dimasukkan dalam Nota Keuangan dan UU APBN, hanya diatur dalam Keppres

Klasifikasi Organisasi

Daftar pengguna anggaran, termasuk dalam Nota Keuangan dan UU APBN.Daftar itu sama dengan Kementrian/Lembaga (K/L) yang ada Klasifikasi Sektoral

Terdiri dari 20 sektor dan 50 subsektor;

Program di break-down dari subsektor;

Nama program antara belanja rutin dan belanja modal berbeda

Klasifikasi Fungsional

Terdiri dari 11 fungsi dan 79 subfungsi;

Program di tiap K/L akan dikumpulkan sesuai fungsinya;

Nama program berdasarkan unified budget

Klasifikasi Ekonomi Dual Budgeting;

Belanja Negara terdiri dari 6 item (termasuk belanja modal)

Klasifikasi Ekonomi Unified Budgeting;

Belanja Negara terdiri dari 8 item Basis Alokasi

Sektor, subsektor, dan program

Basis Alokasi

Alokasi berdasarkan pada program masing-masing K/L

Sumber: Badan Analisa Fiskal, 2005

2.4.3 Klasifikasi Anggaran Baru

Berdasarkan UU no. 17/2003 Bab III tentang Penyusunan dan Penetapan APBN pasal 11 ayat (5) dinyatakan bahwa: “Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja”. Dan sesuai pasal 15 ayat (5) dinyatakan bahwa: APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan Unit Organisasi, Fungsi, Program, Kegiatan dan Jenis Belanja.

Berdasarkan penjelasan pasal 11 ayat (5) UU No. 17/2003, disebutkan bahwa rincian belanja Negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan Kementrian Negara/Lembaga pemerintahan pusat yang disebut Bagian Anggaran 1. Klasifikasi Organisasi


(43)

(BA), terdiri dari 58 Kementrian Negara/ Lembaga. Dalam masing-masing kementrian Negara/lembaga dibagi dalam eselon I yang bertanggung jawab terhadap suatu pelaksanaan suatu program, unit eselon II dan unit eselon III yang bertanggung jawab terhadap suatu pelaksanaan kegiatan pendukung program. Pelaksanaan, monitoring dan pelaporan anggaran akan terjadi suatu sinergi yang positif apabila ada sinkronisasi antara struktur program dan kegiatan dengan struktur organisasinya. Tanggung jawab dan kewenangan akan lebih jelas bagi para manajer apabila dalam suatu unit organisasi walaupun tetap akan ada sedikit kesulitan apabila program dimaksud dilaksanakan secara lintas unit organisasi dan lintas kementrian Negara/ lembaga. Bagian Anggaran merupakan klasifikasi anggaran berdasarkan organisasi antara lain menurut kementrian/ lembaga.

Klasifikasi belanja menurut fungsi berdasarkan urusan pemerintahan disesuaikan menurut kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah 2. Klasifikasi Fungsional

Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Penerapan klasifikasi fungsional mendukung performance-based budgeting dengan memberikan evaluasi kinerjanya. Tidak seperti klasifikasi sektoral yang cenderung mengalokasikan kepada sektor tertentu, klasifikasi fungsional lebih menekankan fungsi yang dilakukan pemerintah sehingga stakeholder dapat mengukur tingkat keberhasilan pemerintah. Klasifikasi fungsi dan subfungsi hanya akan digunakan sebagai alat analisis, sedangkan anggaran pengeluarannya disiapkan berdasarkan program-program yang telah diajukan oleh tiap Kementrian Negara/ Lembaga.

Seperti disebutkan di atas, penerapan klasifikasi fungsi oleh pemerintah mengacu pada GFS yang diperkenalkan oleh IMF seperti yang disebutkan dalam manual GFS dimana fungsi pemerintahan di breakdown ke dalam 10 fungsi (COFOG). Namun dalam pelaksanaan di Indonesia, pemerintah hanya mengadopsinya menjadi 11 fungsi dan 79 subfungsi. Fungsi-fungsi tersebut antara lain: pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.


(44)

kabupaten/kota, yang meliputi klasifikasi belanja menurut belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Klasifikasi belanja urusan wajib mencakup pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial, tenaga kerja dan transmigrasi, koperasi dan usaha kecil dan menengah, penanaman modal, kebudayaan dan pariwisata, pemuda dan olahraga, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, pemerintahan umum dan kepegawaian, pemberdayaan masyarakat dan desa, statistik, arsip, dan komunikasi dan informatika. Sedangkan klasifikasi belanja menurut urusan pilihan mencakup pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, kelautan dan perikanan, perdagangan, dan perindustrian (Depkeu, 2005). Penelitian ini menggunakan klasifikasi belanja berdasarkan urusan.

1

3. Klasifikasi Ekonomi

Di dalam APBN yang baru, belanja rincian belanja dibagi ke dalam 8 (delapan) kategori (Tabel 2). Dalam klasifikasi ekonomi ini, belanja pemerintah dibagi berdasarkan jenis-jenis pengeluaran yang berbeda seperti APBN sebelumnya. Belanja dalam klasifikasi ini terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, beban bunga, subsidi, bantuan sosial, dan hibah.

Tabel 2 Klasifikasi Ekonomi Belanja Pemerintah Belanja

Pegawai

Merupakan kompensasi dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah yang bertugas di dalam maupun di luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan. Dikecualikan untuk pekerjaan yang berkaitan denan pembentukan modal. Belanja ini antara lain digunakan untuk gaji dan tunjangan, honorarium, vakasi, lembur dan kontribusi sosial.

2 Belanja Barang Pembelian barang atau jasa yang habis dipakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan. Belanja ini antara lain digunakan untuk pengadaan barang dan jasa, pemeliharaan dan perjalanan.


(45)

3 Belanja Modal Pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal. Dalam belanja ini termasuk untuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, maupun dalam bentuk fisik lainnya, seperti buku, binatang, dan lainnya. 4 Beban Bunga Pembayaran yang dilakukan atas kewajiban pembangunan

pokok utang (principal outstanding), baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman.

5 Subsidi Alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/ lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat terjangkau oleh masyarakat. Belanja ini antara lain digunakan untuk penyaluran subsidi kepada perusahaan Negara dan perusahaan swasta.

6 Bantuan Sosial Transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko social. Bantuan social ini dapat dibeerikan langsung kepada anggota masyarakat atau lembaga kemasyarakatan. 7 Hibah Transfer dana yang sifatnya tidak wajib kepada Negara lain

atau kepada organisasi internasional. 8 Belanja

Lain-lain

Pengeluaran/ belanja pemerintah pusat selain 1 sampai 7 di atas.

Sumber: Badan Analisa Fiskal, 2005

2.5 Produk Domestik Regional Bruto

Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam suatu periode tertentu adalah PDRB, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang


(46)

dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. PDRB dalam penelitian ini tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2000. PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang harga konstan digunakan intuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Menurut BPS (2010) terdapat tiga pendekatan untuk menghitung PDRB, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Penjelasan dari masing-masing pendekatan adalah sebagai berikut.

1. Pendekatan Produksi

PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu: (1). Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, (2). Pertambangan dan Penggalian, (3). Industri Pengolahan, (4). Listrik, Gas dan Air Bersih, (5). Bangunan, (6). Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7). Pengangkutan dan Komunikasi, (8). Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, (9). Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah.

2. Pendekatan Pendapatan

PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh fakor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji (balas jasa tenaga kerja), sewa tanah (balas jasa tanah), bunga modal (balas jasa modal), dan keuntungan (balas jasa kewiraswastaan); semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini PDRB juga mencakup penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi).

3. Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari pengeluaran rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, konsumsi


(47)

pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok, dan ekspor neto (ekspor dikurangi impor).

Secara konsep tiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Jadi jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi (BPS, 2010). Penelitian ini menggunakan PDRB pendekatan produksi.

2.6 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi mengandung makna adanya peningkatan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktifitas ekonomi yang terjadi di masyarakat. Peningkatan produksi barang dan jasa yang dimaksud diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilai peningkatan benar-benar mencerminkan adanya pertumbuhan produksi yang terbebas dari pengaruh harga (BPS, 2008).

Berbagai model pertumbuhan ekonomi bermunculan secara dinamis mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu (Todaro dan Smith, 2006). Teori Klasik yang dimotori oleh Adam Smith beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya pertambahan penduduk maka akan terdapat pertambahan output atau hasil. Selain Adam Smith, yang termasuk dalam teori klasik adalah David Ricardo. Ricardo berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk yang semakin besar sampai menjadi dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan tenaga kerja akan mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (stationary state).

Teori Klasik selanjutnya berkembang menjadi Teori Neoklasik yang dimotori oleh Harrord Domar dan Robert Solow. Harrord Domar beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori ini juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Sedangkan Solow berpendapat


(48)

bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern. Adapun pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumber daya yang positif. Model pertumbuhan Solow dikatakan merupakan pilar yang sangat memberi kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Pada intinya model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi kedalam persamaan pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006).

Model Neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar. Akibatnya, pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar. Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembanguan regional akan berkurang. Perkiraan ini merupakan kesimpulan kedua dari model ini dan kemudian dikenal sebagai Hipotesa Neoklasik.

Dalam teori Neoklasik, perkembangan ekonomi tergantung pada perkembangan teknologi dan pertumbuhan faktor produksi. Komponen tersebut merupakan variabel dalam fungsi produksi yang disebut fungsi produksi Cobb-Douglas, yaitu:

Y=AKαL1-α……….(7)

Dimana Y = output A = teknologi K = modal L = tenaga kerja


(49)

α dan 1-α adalah elastisitas modal dan tenaga kerja

Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa output tergantung dari modal dan tenaga kerja, sehingga pertumbuhan output tergantung dari pertumbuhan modal dan tenaga kerja. Pertumbuhan tenaga kerja berasal dari pertumbuhan penduduk, sedangkan pertumbuhan modal berasal dari tabungan masyarakat. Tabungan merupakan selisih antara pendapatan dengan konsumsi masyarakat.

Model pertumbuhan Solow juga menyatakan bahwa output bergantung pada persediaan modal dan tenaga kerja.

Y = F(K, L)………...……….(8) Model ini mengasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan (constant returns to scale). Fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan jika

zY = F(zK, zL)………...……….……(9) dengan z bernilai positif. Misalnya z = 1/L, sehingga

Y/L = F(K/L, 1)………...………..………..(10) Y/L = y adalah output per pekerja, dan K/L = k adalah modal per pekerja. Sehingga fungsi produksi adalah sebagai berikut.

Y = f(k)………..……….….(11) Permintaan terhadap barang dalam Model Solow berasal dari konsumsi dan investasi (belanja pemerintah dan ekspor neto sementara dihilangkan). Dengan kata lain, output per pekerja y merupakan konsumsi per pekerja c dan investasi per pekerja i:

y = c+i……….………(12) Model Solow mengasumsikan bahwa setiap tahun orang menabung dari sebagian s dari pendapatan mereka dan mongkonsumsi sebagian (1-s).

c = (1-s)y……….………...(13) sehingga

y = (1-s)y + i………..………..(14) i = sy………..………..(15)

Setiap tahun modal terdepresiasi sebesar δk, sehingga perubahan

persediaan modal adalah sebagai berikut.


(1)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -81813483 85859615 -0.952875 0.3430

TKL_0 1.006349 0.005966 168.6722 0.0000

R-squared 0.996567 Mean dependent var 1.15E+10

Adjusted R-squared 0.996532 S.D. dependent var 8.81E+09

S.E. of regression 5.19E+08 Akaike info criterion 42.99140

Sum squared resid 2.64E+19 Schwarz criterion 43.04351

Log likelihood -2147.570 Hannan-Quinn criter. 43.01249

F-statistic 28450.31 Durbin-Watson stat 2.205425

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: KAPFIS Method: Panel Least Squares Date: 05/21/11 Time: 21:45 Sample (adjusted): 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 3.03E+08 1.24E+08 2.443153 0.0163

KAPFIS_0 0.880093 0.019876 44.27834 0.0000

R-squared 0.952394 Mean dependent var 3.85E+09

Adjusted R-squared 0.951908 S.D. dependent var 4.32E+09

S.E. of regression 9.46E+08 Akaike info criterion 44.19378

Sum squared resid 8.78E+19 Schwarz criterion 44.24588

Log likelihood -2207.689 Hannan-Quinn criter. 44.21486

F-statistic 1960.571 Durbin-Watson stat 1.000349

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: FISGAP Method: Panel Least Squares Date: 05/21/11 Time: 21:46 Sample (adjusted): 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 3.63E+08 2.17E+08 1.669860 0.0981

FISGAP_0 0.974249 0.022841 42.65331 0.0000


(2)

Dependent Variable: PDRB1 Method: Panel Least Squares Date: 05/21/11 Time: 21:47 Sample (adjusted): 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 6.59E+08 5.07E+08 1.300361 0.1965

PDRB1_0 0.935971 0.030777 30.41125 0.0000

R-squared 0.904189 Mean dependent var 1.12E+10

Adjusted R-squared 0.903211 S.D. dependent var 1.19E+10

S.E. of regression 3.70E+09 Akaike info criterion 46.92296

Sum squared resid 1.34E+21 Schwarz criterion 46.97507

Log likelihood -2344.148 Hannan-Quinn criter. 46.94405

F-statistic 924.8440 Durbin-Watson stat 0.111647

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: PDRB3 Method: Panel Least Squares Date: 05/21/11 Time: 21:48 Sample (adjusted): 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -6.92E+08 1.24E+09 -0.555589 0.5798

PDRB3_0 1.032010 0.041343 24.96196 0.0000

R-squared 0.864096 Mean dependent var 1.48E+10

Adjusted R-squared 0.862710 S.D. dependent var 2.91E+10

S.E. of regression 1.08E+10 Akaike info criterion 49.06082

Sum squared resid 1.14E+22 Schwarz criterion 49.11292

Log likelihood -2451.041 Hannan-Quinn criter. 49.08191

F-statistic 623.0994 Durbin-Watson stat 0.029702

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: PDRB6 Method: Panel Least Squares Date: 05/21/11 Time: 21:49 Sample (adjusted): 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 100


(3)

PDRB6_0 0.984068 0.027540 35.73186 0.0000

R-squared 0.928715 Mean dependent var 2.28E+10

Adjusted R-squared 0.927988 S.D. dependent var 3.36E+10

S.E. of regression 9.01E+09 Akaike info criterion 48.69992

Sum squared resid 7.95E+21 Schwarz criterion 48.75203

Log likelihood -2432.996 Hannan-Quinn criter. 48.72101

F-statistic 1276.766 Durbin-Watson stat 0.068612

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: PDRB Method: Panel Least Squares Date: 05/21/11 Time: 21:50 Sample (adjusted): 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -1.61E+09 2.52E+09 -0.639597 0.5239

PDRB_0 0.924913 0.024300 38.06155 0.0000

R-squared 0.936639 Mean dependent var 5.84E+10

Adjusted R-squared 0.935992 S.D. dependent var 7.79E+10

S.E. of regression 1.97E+10 Akaike info criterion 50.26711

Sum squared resid 3.81E+22 Schwarz criterion 50.31921

Log likelihood -2511.355 Hannan-Quinn criter. 50.28820

F-statistic 1448.682 Durbin-Watson stat 0.048745

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: PDRBKP Method: Panel Least Squares Date: 05/21/11 Time: 21:51 Sample (adjusted): 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2575252. 252850.0 10.18490 0.0000


(4)

Dependent Variable: TK1 Method: Panel Least Squares Date: 05/21/11 Time: 21:51 Sample (adjusted): 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 208303.3 107131.2 1.944375 0.0547

TK1_0 0.862580 0.043124 20.00230 0.0000

R-squared 0.803249 Mean dependent var 1566803.

Adjusted R-squared 0.801241 S.D. dependent var 1858391.

S.E. of regression 828514.2 Akaike info criterion 30.11245

Sum squared resid 6.73E+13 Schwarz criterion 30.16456

Log likelihood -1503.623 Hannan-Quinn criter. 30.13354

F-statistic 400.0919 Durbin-Watson stat 0.035116

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: TK3 Method: Panel Least Squares Date: 05/21/11 Time: 21:52 Sample (adjusted): 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -8909.998 25093.94 -0.355066 0.7233

TK3_0 1.016562 0.027798 36.56974 0.0000

R-squared 0.931724 Mean dependent var 430569.0

Adjusted R-squared 0.931027 S.D. dependent var 838800.5

S.E. of regression 220291.6 Akaike info criterion 27.46309

Sum squared resid 4.76E+12 Schwarz criterion 27.51519

Log likelihood -1371.154 Hannan-Quinn criter. 27.48418

F-statistic 1337.346 Durbin-Watson stat 0.038195

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: TK6 Method: Panel Least Squares Date: 05/21/11 Time: 21:53 Sample (adjusted): 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 100


(5)

TK6_0 1.026169 0.028434 36.08910 0.0000

R-squared 0.930021 Mean dependent var 1394319.

Adjusted R-squared 0.929307 S.D. dependent var 2119974.

S.E. of regression 563661.6 Akaike info criterion 29.34209

Sum squared resid 3.11E+13 Schwarz criterion 29.39420

Log likelihood -1465.105 Hannan-Quinn criter. 29.36318

F-statistic 1302.423 Durbin-Watson stat 0.035890

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: TK Method: Panel Least Squares Date: 05/21/11 Time: 21:54 Sample (adjusted): 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 617.9008 81900.38 0.007545 0.9940

TK_0 0.996667 0.013286 75.01749 0.0000

R-squared 0.982884 Mean dependent var 3625470.

Adjusted R-squared 0.982709 S.D. dependent var 5028931.

S.E. of regression 661274.6 Akaike info criterion 29.66152

Sum squared resid 4.29E+13 Schwarz criterion 29.71363

Log likelihood -1481.076 Hannan-Quinn criter. 29.68261

F-statistic 5627.623 Durbin-Watson stat 0.091855

Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: P0 Method: Panel Least Squares Date: 05/21/11 Time: 21:54 Sample (adjusted): 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 100

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.237445 0.390109 0.608662 0.5442

P0_0 1.000449 0.020754 48.20425 0.0000

R-squared 0.959532 Mean dependent var 17.33850

Adjusted R-squared 0.959119 S.D. dependent var 8.025102


(6)

Lampiran 36 Program Simulasi Model Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia

paj=c(1)+c(2)*pdrb+c(3)*fisgap+c(4)*pop ret=c(8)+c(9)*pdrbn1+c(10)*fisgap+c(11)*pop

bhsda=c(15)+c(19)*pdrb2+c(21)*dsdamigas+c(16)*dsdatambang bhpaj=c(22)+c(23)*pdrbkp+c(24)*inv

dau=c(26)+c(27)*kapfis+c(28)*tkl+c(31)*p0+c(32)*luas+c(33)*pop ptani=c(48)+c(49)*pdrb1+c(51)*pad+c(53)*dimb+c(54)*ptani(-1) pind=c(123)+c(124)*pdrb3+c(125)*pad+c(127)*dimb+c(128)*pind(-1) pinfr=c(56)+c(57)*pdrb6+c(58)*pad+c(60)*dimb+c(61)*pinfr(-1) pdrb1=c(70)+c(71)*ptani+c(72)*tk1+c(73)*inv

pdrb3=c(77)+c(78)*pind+c(79)*tk3+c(80)*inv pdrb6=c(84)+c(85)*pinfr+c(86)*tk6+c(87)*inv tk1=c(91)+c(92)*pdrb1+c(95)*tkn1

tk3=c(98)+c(99)*pdrb3+c(102)*tkn3 tk6=c(105)+c(106)*pdrb6+c(109)*tkn6

p0=c(113)+c(114)*pdrbkp+c(115)*gk+c(117)*trend+c(116)*p0(-1) pad = paj + ret + bumd + padln

dbh = bhsda + bhpaj dimb = dbh + dau + dak ttr = pad + dimb + ttrln tkl = ptani + pind + pinfr + pln kapfis = pad + dbh

fisgap = tkl - kapfis

pdrb = pdrb1 + pdrb2 + pdrb3 + pdrb6 + pdrbln pdrbkp = pdrb / pop

tk = tk1 + tk3 + tk6 + tkln

scenario 1

paj_1=(paj_0)+(0.1*paj_0) scenario 2

ret_2=(ret_0)+(0.1*ret_0) scenario 3

bhsda_3=(bhsda_0)+(0.1*bhsda_0) scenario 4

bhpaj_4=(bhpaj_0)+(0.1*bhpaj_0) scenario 5

dau_5=(dau_0)+(0.1*dau_0) scenario 6

ptani_6=(ptani_0)+(0.1*ptani_0) scenario 7

pind_7=(pind_0)+(1*pind_0) scenario 8

pinfr_8=(pinfr_0)+(0.07*pinfr_0) scenario 9

dau_5=(dau_0)+(0.1*dau_0) ptani_6=(ptani_0)+(0.1*ptani_0) scenario 10

dau_5=(dau_0)+(0.1*dau_0) pind_7=(pind_0)+(1*pind_0) scenario 11

dau_5=(dau_0)+(0.1*dau_0) pinfr_8=(pinfr_0)+(0.07*pinfr_0)