Hukum Pidana Internasional
4. Kegunaan dan relevansi Hukum Pidana Internasional dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia.
Peranan hukum pidana internasional dalam melakukan kajian teoritik dan praktis pemberantasan kejahatan transnasional dan kejahatan internasional. Kemampuan hukum pidana internasional secara implisit telah teruji di dalam berbagai perundingan pembahasan perjanjian bilateral maupun multilateral antara pemerintah Indonesia dan pemerintah negara lain.
Selain kegunaan tersebut, pengajaran hukum pidana internasional meghasilkan sumber daya manusia ahli yang tanggap terhadap berbagai masalah nasional dan internasional.
5. Kedudukan Hukum Pidana dalam Ilmu Hukum
Hukum Pidana Internasional memiliki karakteristik tertentu dan kahs berbeda dengan disiplin hukum lainnya, khususnya hukum pidana nasional ataupun dengan hukum internasional. Karakteristik hukum pidana internasional yang khas adalah kedudukan substansi yang menjadi obyek pembahasannya memiliki ”kepribadian ganda” (double personality) dan aplikasi penegakan hukum pidana internasional yang unik di antara penegakan hukum pidana nasional dan hukum internasional di dalam masyarakat internasional modern dewasa ini.
B. KARAKTERISTIK DAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL.
1. Karakteristik Hukum Pidana Internasional
Ada beberapa karakteristik hukum pidana internasional yang perlu diketahui yaitu:
Hukum pidana internasional terdiri dari kumpulan berbagai disiplin ilmu, seperti hukum internasional, hukum pidana, perbandingan hukum pidana, dan kriminologi.
Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu hukum baru yang sangat lengkap memiliki asas-asas hukum, objek dan metoda keilmuan tersendiri serta memiliki lembaga tersendiri (ICC) untuk menerapkan asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum pidana internasional ke dalam praktik hubungan dua negara atau lebih.
Hukum pidana internasional tidak hanya memiliki fungsi deklaratif melainkan sekaligus memiliki fungsi preventif dan fungsi represif di dalam penerapan yurisdiksi kriminal terhadap kejahatan yang melampaui batas territorial.
Penegakan hukum pidana internasional lebih diutamakan daripada penegakan
hukum nasional dan hukum nasional dengan segala “kekhususannya”.
Implemasi hukum pidana internasional dalam praktik, selalu berada di tengah-tengah tarikan atau konflik kepentingan nasional dan kepentingan internasional,
sehingga tingkat kesulitan dan hambatan yang dihadapi lebih besar di bandingkan dengan implementasi hukum nasional dan hukum internasional.
2. Asas-asas Hukum Pidana Internasional
Pengertian Asas Hukum (AH) mencerminkan “landasan berpijak” dalam penerapan hukum, sesangkan pengertian Kaidah Hukum (KH) mencerminkan “rambu-rambu” yang harus ditaati di dalam menggunakan “landasan berpijak” tersebut. AH
bukan suatu hal yang bersifat fisik dan artificial, dapat diraba, melainkan hanyalah dapat dirasakan. AH akan merupakan suatu hal yang nyata ketika KH diimplementasikan ke dalam ruang-ruang penahanan, penyelidikan, penuntutan dan ruang siding pengadilan.
Penerapan KH tanpa AH, mengakibatkan penegakan hukum tanpa landasan moralitas yang kokoh dan jauh dari tujuan mencapai kepastian hukum dan keadilan, apalagi mencapai tujuan kemanfaatan.
Asas-asas hukum pidana internasional berpedoman kepada asas-asas hukum pidana nasional dan beberapa asas-asas hukum internasional.
Perkebangan asas-asas hukum pidana internasional sangat dipengaruhi oleh perkembangan kebiasaan hukum internasional dan yurisprudensi hukum internasional. Macam-macam asas hukum pidana internasional: Asas Komplementaritas
Asas Legalitas
Asas Pertanggungjawaban Individu
Asas Pemberlakuan hukum pidana
Asas Au dedere au punier
Asas Au dedere au judicare
3. Asas Komplementaris
Asas Komplementaris merupakan asas hukum pidana internasional tersendiri yang lakhir dari perkembangan pembahasan draf Starura ICC ketika mendiskusikan wewenang Mahkamah Permanen Pidana Internasional (Permanent International Criminal Court) atas pelanggaran HAM berat dalam hubungannya dengan pengadilan nasional.
Konsef Komplementaris lakhir sejak Komisi Hukum Internasional menyusun draf Statuta ICC tahun 1954. Perdebatan hangat tentang konsef tersebut muncul ketika dibahas mekanisme implementaris Statuta ICC dalam konteks penerapan ke dalam sistem hukum nasional.
Bassiouni menerangkan bahwa ada 3 (tiga) makna tentang asas komplementaris, yaitu:
Asas ini berkaitan dengan yurisdiksi, tetapi konsep tersebut bukan norma semata-mata.
Asas Komplementaris bermuatam substantif.
Asas ini bersifat “civitas maxima”
Ketiga makna dari asas komplementaris inilah yang menyebabkan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menjadi suatu sistem peradilan pidana yang komprehensif dalam menuntut dan mengadili kejahatan unternasional.
Kebijakan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional memasukan asas komplementaris dipengaruhi 4 (empat) factor, yaitu:
1. Kepentingan yang sama (mutual interest),
2. Kedaulatan Negara (National sovereignty),
3. Nilai-nilai humanisme dan humanistis (humanistic-humanitarian values),
4. Keperluan adanya Dunia yang tertib (Needs of world order).
Asas Komplementaris secara eksplisit dicantumkan dalam alinea Kesepuluh Mukadimah Statuta ICC.
4. Asas pertanggungjawaban pidana individu
(Individul Criminal Responsibility)
Asas pertanggungjawaban pidana individu dari sudut hukum pidana internasional berbeda dengan sudut pandang hukum pidana yang telah berlaku universal.
Masalah pertanggungjawaban individu tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban Negara.
Lakhirnya asas pertanggungjawaban pidana individu dalam hukum pidana internasional merupakan kekhususan dan kekecualian dari prinsip hukum internasional publik, yang tidak mengakui individu sebagai subjek hukum internasional.
Berdasarkan kesepakatan mengenai “tanggung jawab individu sebagai representasi Negara” dalam versi Statuta ICC maka jaminan mengatasi konflik kedua instrument hukum internasional tersebut, telah diakomodasi di dalam Pasal 98 Statuta ICC.
5. Asas Legalitas
Asas legalitas yang akan di bahas adalah asas legalitas yang telah diakui secara universal dalam system hukum pidana nasional yang dianut banyak Negara.
Ketidaksamaan penafsiran atas asas legalitas yang diakui universal di dalam praktik hukum pidana internasional diketahui dari beberapa hal sebagai berikut:
Bahwa asas noella poena sine lege yang terdapat pada sistem hukum nasional tidk dapat diterapkan dalam praktik hukum kebiasaan internasional.
Asas legalitas di dalam hukum pidana internasional bersifat “sui generis” karena harus memelihara keseimbangan, mempertahankan keadilan dan “fairness” bagi tertuduh dan mempertahankan tertib dunia.
Penerapan asas legalitas dalam praktik hukum pidana internasional menggunakan standar minimum yang dikenal sebagai “the rule of Ejusdem generis”.
Penerapan asas non-retroaktif dalam praktik hukum pidana internasional dapat dikecualikan (disampingi).
6. Asas pemberlakuan hukum pidana
Pemberlakuan hukum pidana dalam hubungan internasional sangat berhubungan dengan seberapa jauh kewenangan Negara dapat menuntut dan mengadili kejahatn (pelakunya) baik di dalam maupun di luar batas territorial Negara yang bersangkutan.
Dalam praktik hukum internasional asas-asas berlakunya hukum sering di terjemahkan dengan istilah yurisdiksi. karena pengertian istilah yurisdiksi itu sendiri adalah menunjuk secara langsung pada kewenangan suatu Negara untuk menuntut atau mengadili suatu kejahatan tertentu atau tidak menuntut atau mengadilinya.
7. Asas Teritorial
Asas territorial merupakan asas tertua dalam pemberlakuan Undang-undang pidana.
Asas ini menemukan asal-usulnya pada teorikedaulatan Negara (J.Bodin), dan dikembangkan oleh C. Beccaria.
Cassae, mengemukakan empat keuntungan menggunakan asas territorial (yurisdiksi teritorial) sebagai berikut:
1. Asas “lex locus deliciti” merupakan asas yang tepat untuk memudahkan
mengumpulkan bukti-bukti berkaitan dengan terjadinya tindak pidana,
2. Asas “lex locus deliciti” adalah jaminan tempat dimana tertuduh dapat menggunakan haknya sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara setempat,
3. Terhadap kejahatan internasional, asas “lex locus delicity” sangat berguna bagi masyarakat suatu Negara di mana kejahatan tersebut dilakukan dan telah menjadi korban kejahatan tersebit. Selain itu hakim, penuntut dan penasehat hukum adalah berasal dari Negara di mana kejahatan itu terjadi sehingga dijamin objekvitas dari kebenaran suatu perkara.
4. Penggunaan asas “lex locus deliciti” telah mengukuhkan kewenangan administrasi peradilan di Negara tempat terjadinya kejahatan dan Negara
administrasi peradilan di Negara tempat terjadinya kejahatan dan Negara meneguhkan kedaulatannya terhadap setiap ancaman perdamaian dan keamanan dalam batas territorial Negara yang bersangkutan, dan diharapkan dapat mencegah kejahatan dimasa yang akan datang.
Di dalam Sistem Hukum Pidana Nasional, asas penting pidana, dan terdapat di dalam KUHP hampir di seluruh Negara.
8. Asas Nasionalitas
Asas Nasionalitas merupakan asas kedua berlakunya hukum pidana nasional yang penting setelah asas territorial. Hal ini masuk akal karena tidak mungkin ada suatu wilayah (teritorial) Negara tanpa penduduk.
Di dalam hukum nasional wajib menuntut dan menghukum orang asing yang melakukan kejahatan terhadap warga Negaranya di manapun kejahatan tersebut di lakukan. Prinsip ini di kenal dengan asas nasional.
Asas nasional atau asas personal telah diatur di dalam kitab UU Hukum Pidana di seluruh Negara.
Penerapan asas nasional tidak mungkin dilaksanakan sepenuhnya jika seseorang warga Negara setelah melakukan suatu tindakan pidana di Negara tertentu, berada di Negara lain dan berganti kewarganegaraan. Dalam hal tersebut, penerapan asas nasional tidak serta-merta berbenturan atau bertentangan dengan prinsip kedaulatan (hukum) negara dan prinsip non-intervensi.
Merujuk pada praktik penerapan asas nasional dan penerapan asas territorial tampaknya saat ini akan semakin banyak kasus-kasus kejahatan transnasional yang melibatkan dua Negara atau lebih atau melibatkan dua kewarganegaraan atau lebih.
9. Asas Universal
Pengakuan asas universal di dalam khasanah hukum internasional didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu:
Bahwa terjadinya peristiwa-peristiwa kejahatan yang memerlukan perhatian dan tindakan yang bersifat universal (pendekatan normatif).
Asas-asas yurisdiksi lain tidak mampu menuntut dan mengadili pelaku kejahatan dimaksud yang melarikan diri ke Negara lain atau memang mendapat perlindungan dari Negara lain (pendekatan pragmatis).
Pemberlakuan asas universal dalam kejahatan-kejahatan yang menjadi “core crimes” Statuta ICC tidak serta merta menganut asas universal.
Asas universal dalam srti ada kewajiban untuk menuntut atau mengekstradisi, baru muncul satu tahun kemudian di dalam empat konvensi jenewa tahun 1949. Di dalam konvensi ini telah ada kewajiban semua Negara untuk memidana pelanggaran terhadap perdamaian yang menuntut pertanggungjawaban individual.
Penerapan asas universal dalam praktik peradilan atas kasus-kasus kejahatan jus cogens yang melibatkan kepala negara sering mendapat reaksi politik yang keras dan perdebatan yang hangat di antara para ahli hukum internasional dan hukum pidana nasional.
Merujuk kepada perkembangan pemberlakuan yurisdiksi kriminal, semakin terbukti bahwa model pendakatan konvensional sejak dibentuknya Code de Panale (1881) Prancis, dan Wetboek van Strafecht (1886) Belanda, telah dipandang kurang memadai dalam praktik penegakan hukum pidana internasional.
2. Hukum Privat (HK Sipil) terdiri dari;
A. Hukum Sipil dalam arti Luas
1. Hukum Perdata
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai teremahan dari burgerlijkrecht pada masa penduduka jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht.
Para ahli memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut. Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke -19 adalah:
“suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat ecensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum public memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Pendapat lain yaitu Vollmar, dia mengartikan hukum perdata adalah:
“aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan prseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengna kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para ahli di atas, kajian utamnya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang satu degan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
Di dalam hukum perdata terdapat 2 kaidah, yaitu:
1. Kaidah tertulis
Kaidah hukum perdata tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
2. Kaidah tidak tertulis
Kaidah hukum perdata tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan)
Subjek hukum dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Manusia
Manusia sama dengan orang karena manusia mempunyai hak-hak subjektif dan kewenangan hukum.
2. Badan hukum
Badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban.
Subtansi yang diatur dalam hukum perdata antara lain:
1. Hubungan keluarga
Dalam hubungan keluarga akan menimbulkan hukum tentang orang dan hukum keluarga.
2. Pergaulan masyarakat
Dalam hubungan pergaulan masyarakat akan menimbulakan hukum harta kekayaan, hukum perikatan, dan hukum waris.
Dari berbagai paparan tentang hukum perdata di atas, dapat di temukan unsur-unsurnya yaitu:
1. Adanya kaidah hukum
2. Mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain.
3. Bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi hukum orang, hukum keluarga, hukum benda, hukum waris, hukum perikatan, serta hukum pembuktia dan kadaluarsa.[1]
B. HUKUM PERDATA MATERIIL DI INDONESIA
Hukum perdata yang berlaku di Indonesi beranekaragam, artinya bahwa hukum perdata yang berlaku itu terdiri dari berbagai macam ketentuan hukum,di mana setiap penduduk itu tunduk pada hukumya sendiri, ada yang tunduk dengan hukum adat, hukum islam , dan hukum perdata barat. Adapun penyebab adanya pluralism hukum di Indonesia ini adalah
1. Politik Hindia Belanda
Pada pemerintahan Hindia Belanda penduduknya di bagi menjadi 3 golongan:
a. Golongan Eropa dan dipersamakan dengan itu
b. Golongan timur asing. Timur asing dibagi menjadi Timur Asing Tionghoa dan bukan Tionghoa, Seperti Arab, Pakistan. Di berlakukan hukum perdata Eropa, sedangkan yang bukan Tionghoa di berlakukan hukum adat.
c. Bumiputra,yaitu orang Indonesia asli. Diberlakukan hukum adat.
Konsekuensi logis dari pembagian golongan di atas ialah timbulnya perbedaan system hukum yang diberlakukan kepada mereka.
2. Belum adanya ketentuan hukum perdata yang berlaku secara nasional.
C. SUMBER HUKUM PERDATA TERTULIS
Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam:
1. Sumber hukum materiil
Sumber hukum materiil adalah tempat dari mana materi hukum itu diambil. Misalnya hubungan social,kekuatan politik, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, dan keadaan georafis.
2. Sumber hukum formal
Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku.
Volamar membagi sumber hukum perdata menjadi empat mecam. Yaitu KUHperdata ,traktat, yaurisprudensi, dan kebiasaan. Dari keempat sumber tersebut dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu sumber hukum perdata tertulis dan tidak tertulis. Yang di maksud dengan sumber hukum perdata tertulis yaitu tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya kaidah hukum perdata tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-undanang, traktat, dan yurisprudensi. Sumber hukum perdata tidak tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis. Seperti terdapat dalam hukum kebiasaan.
Yang menjadi sumber perdata tertulis yaitu:
1. AB (algemene bepalingen van Wetgeving) ketentuan umum permerintah Hindia Belanda
2. KUHPerdata (BW)
3. KUH dagang
4. UU No 1 Tahun 1974
5. UU No 5 Tahun 1960 Tentang Agraria.
Yang dimaksud dengan traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua Negara atau lebih dalam bidang keperdataan. Trutama erat kaitannya dengan perjanjian internasioanl. Contohnya, perjanjian bagi hasil yang dibuat antara pemerintah Indonesia denang PT Freeport Indonesia.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan meruapakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pidahk-pihak yang berperkara terutama dalam perkara perdata. Contohnya H.R 1919 tentang pengertian perbuatan melawan hukum . dengna adanya putsan tersebut maka pengertian melawan hukum tidak menganut arti luas. Tetapi sempit. Putusan tersebut di jadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia dalam memutskan sengketa perbutan melawan hukum.