SISTIM HUKUM INDONESIA dan id
SISTIM HUKUM INDONESIA
Nama: Yehuda Imanuel Katoppo/20170311044113 (IPM ’17)
Hukum Politik Terdiri dari;
A. Pengertian Hukum Tata Negara
Tata Negara berarti sistem penataan negara yang berisi ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan mengenai substansi norma kenegaraan. Dengan kata lain, Hukum Tata Negara merupakan cabang Ilmu Hukum yang membahas mengenai tata struktur kenegaraan, mekanisme hubungan antar struktur kenegaraan, serta mekanisme hubungan antara struktur negara dengan warga negara.
Istilah Hukum Tata Negara berasal dari bahasa Belanda Staatsrecht yang artinya adalah hukum Negara. Staats berarti negara-negara, sedangkan recht berarti hukum. Hukum negara dalam kepustakaan Indonesia diartikan menjadi Hukum Tata Negara. Mengenai definisi hukum tata negara masih terdapat perbedaan pendapat di antara ahli hukum tata negara. Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh masing-masing ahli berpendapat bahwa apa yang mereka anggap penting akan menjadi titik berat perhatiannya dalam merumuskan pengertian dan pandangan hidup yang berbeda. Berikut pengertian Hukum Tata Negara menurut beberapa ahli :
1. Cristian Van Vollenhoven
Hukum Tata Negara mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatan-tingkatannya, yang masing-masing menentukan wilayah atau lingkungan rakyatnya sendiri-sendiri, dan menentukan badan-badan dalam lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan beserta fungsinya masing-masing, serta menentukan pula susunan dan wewenangnya dari badan-badan tersebut.
2. J. H. A. Logemann
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi negara. Negara adalah organisasi jabatan-jabatan. Jabatan merupakan pengertian yuridis dan fungsi, sedangkan fungsi merupakan pengertian yang bersifat sosiologis. Karena negara merupakan organisasi yang terdiri dari fungsi-fungsi dalam hubungannya satu dengan yang lain maupun dalam keseluruhannya, maka dalam pengertian yuridis, negara merupakan organisasi jabatan.
3. J. R. Stellinga
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur wewenang dan kewajiban alat-alat perlengkpan negara, mengatur hak dan kewajiban warga negara.
4. Kusumadi Pudjosewojo
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara dan bentuk pemerintahan, yang menunjukkan masyarakat hukum yang atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya yang selanjutannya menegaskan wilayah dan lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukkan alat-alat perlengkapan yang memegang kekuasaan dari masyarakat hukum itu, beserta susunan, wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara alat perlengkapan negara itu.
5. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
Hukum Tata Negara dapat dirumuskan sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi dari pada negara, hubungan antar alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal, serta kedudukan warga negara dan hak azasinya
6. Paul Scholten
Menurut Paul Scholten, Hukum Tata Negara itu tidak lain adalah het recht dat regelt de staatsorganisatie, atau hukum yang mengatur tata organisasi negara. Dengan rumusan demikian, Scholten hanya menekankan perbedaan antara organisasi negara dari organisasi non-organisasi, seperti gereja dan lain-lain.
7. Van Der Pot
Hukum Tata Negara adalah peratuaran-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlakukan beserta kewenangannya masing-masing, hubungannya satu sama lain, serta hubungannya dengan individu warga negara dan kegiatannya.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum tata negara adalah hukum yang mengatur organisasi negara, hubungan alat perlengkapan negara, susunan dan wewenang serta hak dan kewajiban warga negara.
a. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu-Ilmu lainnya
1. Hubungan Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik
Ibarat tubuh manusia, maka ilmu hukum tata negara diumpamakan oleh Barent sebagai kerangka tulang belulangnya, sedangkan ilmu politik ibarat daging-daging yang melekat di sekitarnya (het vlees er omheen beziet). Oleh sebab itu, untuk mempelajari hukum tata negara, terlebih dahulu kita memerlukan ilmu politik, sebagai pengantar untuk mengetahui apa yang ada di balik daging-daging di sekitar kerangka tubuh manusia yang hendak diteliti. Dalam hal ini negara sebagai objek studi hukum tata negara dan ilmu politik juga dapat diibaratkan sebagai tubuh manusia yang terdiri atas daging dan tulang.
Menurut G.Jellinek terlihat dengan jelas bahwa hukum tata negara dengan politik mempunyai hubungan yang erat. Selain itu bagaimanapun juga organisasi negara itu sendiri merupakan hasil konstruksi sosial tentang perikehidupan bersama dalam satu komunitas hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, ilmu hukum yang mempelajari dan mengatur negara sebagai organisasi tidak mungkin memisahkan diri secara tegas dengan perikehidupan bermasyarakat.
2. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Negara
Ilmu negara atau staatsleer (bahasa Belanda) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok mengenai negara dan hukum tata negara. Oleh karena itu agar dapat mengerti dengan sebaik-baiknya sistem hukum ketatanegaraan suatu negara sudah sepatutnya kita harus terlebih dahulu memiliki pengetahuan segala hal ihwalnya secara umum tentang negara yang didapat dalam ilmu negara. Dengan demikian jelas bahwa hubungan antara ilmu negara dan hukum tata negara erat sekali. Ilmu negara dapat memberikan dasar-dasar teoritis untuk hukum tata negara.
3. Hubungan HTN dengan Hukum Administrasi Negara
Menurut Van Vollenhoven hukum tata negara adalah hukum mengenai susunan dan kewenangan organ-organ negara. Dengan kata lain hukum tata negara merupakan pemberian wewenang. Adapun hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, yaitu memberikan batasan-batasan pada organ-organ negara dalam melakukan wewenangnya yang ditentukan oleh hukum tata negara. Organ-organ negara tanpa ketentuan dalam hukum tata negara adalah seperti sayap burung yang lumpuh. Sebaliknya organ-organ negara tanpa ketentuan dalam hukum administrasi negara adalah seperti burung terbang bebas dengan sayapnya karena dapat mempergunakan kewenangan sekehendak hatinya.
b. Sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia
1. Undang-Undang Dasar 1945
UUD 1945 sebagai sumber hukum, yang merupakan hukum dasar tertulis
yang mengatur masalah kenegaraan dan merupakan dasar ketentuanketentuan
lainnya.
2. Ketetapan MPR
Dalam Pasal 3 UUD 1945 ditentukan bahwa Majelis Permusyawaratan
Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan
Negara. Dengan istilah menetapkan tersebut maka orang berkesimpulan,
bahwa produk hukum yang dibentuk oleh MPR disebut Ketetapan MPR.
3. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang
Undang-undang mengandung dua pengertian, yaitu :
a. Undang-undang dalam arti materiel yaitu peraturan yang berlaku
umum dan dibuat oleh penguasa, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
b. Undang-undang dalam arti formal yaitu keputusan tertulis yang
dibentuk dalam arti formal sebagai sumber hukum dapat dilihat pada
Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
4. Peraturan Pemerintah
Untuk melaksanakan undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dengan
DPR, oleh UUD 1945 kepada presiden diberikan kewenangan untuk
menetapkan Peraturan Pemerintah guna melaksanakan undang-undang
sebagaimana mestinya. Dalam hal ini berarti tidak mungkin bagi presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum ada undang-undangnya,
sebaliknya suatu undang-undang tidak berlaku efektif tanpa adanya
Peraturan Pemerintah.
5. Keputusan Presiden
UUD 1945 menentukan Keputusan Presiden sebagai salah satu bentuk
peraturan perundang-undangan. Bentuk peraturan ini baru dikenal tahun
1959 berdasarkan surat presiden no. 2262/HK/1959 yang ditujukan pada
DPR, yakni sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
Presiden untuk melaksanakan Penetapan Presiden. Kemudian melalui
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, Keputusan Presiden resmi
ditetapkan sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan
menurut UUD 1945. Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat
khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan UUD 1945, Ketetapan
MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dan
Peraturan Pemerintah.
6. Peraturan pelaksana lainnya
Yang dimaksud dengan peraturan pelaksana lainnya adalah seperti
Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya yang harus dengan
tegas berdasarkan dan bersumber pada peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
7. Convention (Konvensi Ketatanegaraan)
Konvensi Ketatanegaraan adalah perbuatan kehidupan ketatanegaraan
yang dilakukan berulang-ulang sehingga ia diterima dan ditaati dalam
praktek ketatanegaraan. Konvensi Ketatanegaraan mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan undang-undang, karena diterima dan
dijalankan, bahkan sering kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan menggeser
peraturan-peraturan hukum yang tertulis.
c. Hirarki Perundang Undangan di Indonesia
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan bahwa;
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.
3. Undang-Undang (UU) dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 serta TAP MPR-RI
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Perpu dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut: a). Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. B). DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan. C). Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
5. Peraturan Pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang.
6. Keputusan Presiden(Keppres); Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan.
7. Peraturan Daerah;
a. Peraturan daerah propinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) propinsi bersama dengan gubernur.
b. Peraturan daerah kabupaten / kota dibuat oleh DPRD kabupaten / kota bersama bupati / walikota.
c. Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten / kota yang bersangkutan.
Tata cara pembuatan UU, PP, Perda serta pengaturan ruang lingkup Keppres diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun hingga sekarang ini belum ada UU yang mengatur apa saja yang menjadi lingkup pengaturan dari Keppres dan PP.
d. Perbandingan Produk Hukum Tata Negara Indonesia Sebelum dan Sesudah Reformasi
A. Produk Hukum Tata Negara Sebelum Reformasi 1998
Sebelum terjadinya Reformasi 1998 dan perubahan UUD 1945, RI menganut prinsip supremasi MPR sebagai salah satu bentuk varian sistem supremasi parlemen yang dikenal di dunia. Maka paham kedaulatan rakyat diorganisasikan melalui pelembagaan MPR sebagai lembaga penjelmaan rakyat Indonesia yang berdaulat yang disalurkan melalui prosedur perwakilan politik (political representation) melalui DPR, perwakilan daerah (regional representation) melalui utusan daerah, dan perwakilan fungsional (fungcional representation) melalui utusan golongan. Ketiga-tiganya dimaksudkan untuk menjamin agar kepentingan seluruh rakyat yang berdaulat benar-benar tercermin dalam keanggotaan MPR, sehingga menjadi lembaga tertinggi sebagai penjelmaan rakyat. Sebagaimana dalam pasal I ayat (2) UUD 1945 “kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
B. Produk Hukum Tata Negara Setelah Reformasi 1998
Setelah Reformasi 1998 terjadi perkembangan yang pesat pada kajian Hukum Tata Negara yang pada akhirnya melahirkan berbagai produk hukum yang dimaksudkan menopang jalannya demokrasi Indonesia yang mengantarkan kepada Masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Akhirnya pada amandemen ke-empat UUD 1945 sebagaimana pasal 1 ayat (2) bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan undang undang dasar.” Dengan demikian berdasar pada UUD 1945 pasca amandemen ke-empat tersebut, maka terdapat delapan buah organ Negara yang mempunyai kedudukan sederajat yang langsung menerima kewenangan konstitusi dari UUD, kedelapan organ tersebut adalah;
1. DPRD (dewan perwakilan rakyat daerah)
2. DPD (dewan perwakilan darah)
3. MPR (majelis permusyawaratan rakyat.)
4. BPK (badan pemeriksa keuangan)
5. Presiden dan Wakil Presiden
6. Mahkamah Agung
7. Mahkama Konstitusi
8. Komisi Yudisial
Lembaga atau institusi yang kewenangannya diatur dalam UUD, antara lain;
1. Pemerintah Pusat
2. Tentara Nasional Indonesia
3. Kepolisian Negara Republik Indonesia
4. Pemerintah Daerah
5. Partai Politik
Adapun lembaga yang tidak disebut namanya namun fungsi kewenangannya diatur dalam UU yaitu; BANK indonesai (BI) dan Komisi Pemilihan Umum. Sedangkan lembaga yang berdasarkan perintah menurut UUD dan kewenangannya diatur juga dalam UU seperti; KOMNAS HAM, KPA, KPI, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan lain sebagainya.
Selain itu, dalam menjamin kepentingan kekuasaan dan demokratisasi yang berjalan lebih efektif maka dilakukan penambahan lembaga-lembaga independent setelah Reformasi 1998, dan akhirnya menjadi seperti berikut;
1. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
2. Kepolisian Negara (polri)
3. Bank Indonesia
4. Kejaksaan Agung
5. KOMNAS HAM
6. KPU
7. Komisi Ombusdman
8. Komisi Pengawasan dan persaingan Usaha (KPPU)
9. Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN)
10. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPU)
11. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan lain sebagainya.
B. HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
1. Pengertian dan istilah
Pengertian dan istilah Hukum Administrasi Negara.
Sejarah dari Hukum Administrasi Negara dari Negara Belanda yang disebut
Administratif recht atau Bestuursrecht yang berarti Lingkungan Kekuasaan/
Administratif diluar dari legislatif dan yudisil.
Di Perancis disebut Droit Administrative.
Di Inggris disebut Administrative Law.
Di Jerman disebut Verwaltung recht.
Di Indonesia banyak istilah untuk mata kuliah ini.
E. Utrecht dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Administrasi pada
cetakan pertama memakai istilah hukum tata usaha Indonesia, kemudian pada
cetakan kedua mennggunakan istilah Hukum tata usaha Negara Indonesia, dan
pada cetakan ketiga menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara
Indonesia.
Wirjono Prajokodikoro, dalam tulisannya di majalah hukum tahun 1952,
menggunakan istilah “Tata Usaha Pemerintahan”.
Djuial Haesen Koesoemaatmadja dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Tata
Usaha Negara, menggunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara dengan
alasan sesuai dengan Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
No. 14 tahun 1970.
Prajudi Armosudidjo, dalam prasarannya di Musyawarah Nasional Persahi
tahun 1972 di Prapat mengunakan istilah Peradilan Administrasi Negara.
W.F. Prins dalam bukunya Inhiding in het Administratif recht van Indonesia,
menggunakan istilah, Hukum Tata Usaha Negara Indonesia.
Rapat Staf Dosen Fakultas Hukum Negeri seluruh Indonesia bulan Maret
1973 di Cirebon, memutuskan sebaiknnya menggunakan istilah Hukum
Administrasi
Negara
dengan
alasan
Hukum
Administrasi
Negara
pengertiannya lebih luas dan sesuai dengan perkembangan pembangunan dan
kemajuan Negara Republik Indonesia kedepan.
Surat Keputusan Mendikbud tahun 1972, tentang Pedoman Kurikulum
minimal
Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, meggunakan istilah. Hukum
Tata Pemerintahan ( HTP ).
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970 dan TAP
MPR No. II/1983 tentang GBHN memakai istilah Hukum Tata Usaha Negara.
Surat Keputusan Mendikbud No. 31 tahu 1983, tentang kurikulum Inti
Program
Pendidikan
Sarjana
Hukum
menggunakan
istilah
Hukum
Administrasi Negara.
Sejarah Hukum Administrasi Negara ( HAN ) atau Hukum Tata Usaha Negara
(HTUN) atau Hukum Tata Pemerintahan ( HTP ) di Negeri Belanda disatukan
dalam Hukum Tata Negara yang disebut Staats en Administratiefrecht.
Pada tahun 1946 di Universitas Amsterdam baru diadakan pemisahan mata kuliah
Administrasi Negara dari mata kuliah Hukum Tata Negara, dan Mr. Vegting
sebagai guru besar yang memberikan mata kuliah Hukum Administrasi Negara.
Tahun 1948 Universitas Leiden mengikuti jejak Universitas Amsterdam
memisahkan Hukum Administrasi Negara dari Hukum Tata Negara yang
diberikan oleh Kranenburg.
Di Indonesia sebelum perang dunia kedua pada Rechtshogeschool di Jakarta
diberikan dalam satu mata kuliah dalam Staats en administratiefrecht yang
diberikan oleh Mr. Logemann sampai tahun 1941.
Baru pada tahun 1946 Universitas Indonesia di Jakarta Hukum Administrasi
Negara dan Hukum Tata Negara diberikan secara tersendiri.
Hukum Tata Negara diberikan oleh Prof. Resink, sedangkan Hukum
Administrasi Negara diberikan oleh Mr. Prins.
Berdasarkan uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Ilmu Hukum Administrasi
Negara adalah ilmu yang sangat luas dan terus berkembang mengikuti tuntutan
Negara/masyarakat, sehingga lapangan yang kan digalinyapun sangat luas dan
beranekan ragam dan campur tangfan pemerintah dalam kehidupan masyarakat.
2. Definisi Hukum Administrasi Negara
Pada dasarnya definisi Hukum Administrasi Negara sangat sulit untuk dapat
memberikan suatu definisi yang dapat diterima oleh semua pihak, mengingat Ilmu
Hukum Administrasi Negara sangat luas dan terus berkembang mengikuti arah
pengolahan/penyelenggaraan suatu Negara.
Namun sebagai pegangan dapat diberikan beberapa definisi sebagai berikut :
Oppen Hein mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu
gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi
maupun rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenagnya yang
telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara.”
J.H.P. Beltefroid mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah
keseluruhan aturan-aturan tentang cara bagaimana alat-alat pemerintahan dan
badan-badan kenegaraan dan majelis-majelis pengadilan tata usaha hendak
memenuhi tugasnya.”
Logemann mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat
dari norma-norma yang menguji hubungan Hukum Istimewa yang diadakan
untuk memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas
mereka yang khusus.”
De La Bascecoir Anan mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah
himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab Negara berfungsi/
bereaksi dan peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungan antara
warga Negara dengan pemerintah.”
L.J. Van Apeldoorn mengatakan “ Hukum Administrasi Negara adalah
keseluruhan aturan yang hendaknya diperhatikan oleh para pendukung
kekuasaan penguasa yang diserahi tugas pemerintahan itu.”
A.A.H. Strungken mengatakan “ Hukum Administarsi Negara adalah aturan-
aturan yang menguasai tiap-tiap cabang kegiatan penguasa sendiri.”
J.P. Hooykaas mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah ketentuan-
ketentuan mengenai campur tangan dan alat-alat perlengkapan Negara dalan
lingkungan swasta.”
Sir. W. Ivor Jennings mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah
hukum yang berhubungan dengan Administrasi Negara, hukum ini
menentukan organisasi kekuasaan dan tugas-tugas dari pejabat-pejabat
administrasi.”
Marcel Waline mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah keseluruhan
aturan-aturan yang menguasai kegiataqn-kegiatan alat-alat perlengkapan
Negara yang bukan alat perlengkapan perundang-undangan atau kekuasaan
kehakiman menentukan luas dan batas-batas kekuasaan alat-alat perlengkapan
tersebut,
baik
terhadap
warga
masyarakat
maupun
antara alat-alat
perlengkapan itu sendiri, atau pula keseluruhan aturan-aturan yang
menegaskan dengan syarat-syarat bagaimana badan-badan tata usaha negara/
administrasi memperoleh hak-hak dan membebankan kewajiban-kewajiban
kepada para warga masyarakat dengan peraturan alat-alat perlengkapannya
guna kepentingan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan umum.
E. Utrecht mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah menguji
hubungan hukum istimewa yang diadakan agar memungkinkan para pejabat
pemerintahan Negara melakukan tugas mereka secara khusus.
Jadi ada tiga ciri-ciri Hukum Administarsi Negara :
Menguji hubungan hukum istimewa
Adanya para pejabat pemerintahan
Melaksanakan tugas-tuigas istimewa.
Prajudi Atmosudirdjo mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah
hukum mengenai operasi dan pengendalian dari kekuasaan-kekuasaan
administrasi atau pengawasan terhadap penguasa-penguasa administrasi.
Bachsan Mustofa mengatakan “Hukum Administarsi Negara adalah sebagai
gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun secara bertingkat yang
diserahi tugas melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintaha dalam arti luas
yang tidak diserahkan pada badan-badan pembuat undang-undang dan badan-
badan kehakiman.
Dari pengertian-pengertian di atas jelaslah bahwa bidang hukum administrasi
Negara sangatlah luas, banyak segi dan macam ragamnya.
Pemerintah adalah pengurus dari pada Negara, pengurus Negara adalah
keseluruhan dari jabatan-jabatan didalam suatu Negara yang mempunyai tugas
dan wewenang politik Negara dan pemerintahan.
Apa yang dijalanakan oleh pemerintah adalah tugas Negara dan merupakan
tanggung jawab dari pada alat-alat pemerintahan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Administarsi Negara adalah
Hukum mengenai Pemerintah/Eksekutif didalam kedudukannya, tugas-tuganya,
fungsi dan wewenangnya sebagai Administrator Negara.
3. Ruang Lingkup Hukum Administarsi Negara
Isi dan ruang lingkup Hukum Administarsi Negara menurut Van Vallen Hoven
dalam bukunya yang berjudul :Omtrek van het administratiefrecht, memberikan
skema tentang hukum administrasi Negara didalam kerangka hukum seluruhnya
sebagai berikut :
a.
Hukum Tata Negara/Staatsrecht meliputi :
Pemerintah/Bestuur
Peradilan/Rechtopraak
Polisi/Politie
Perundang-undangan/Regeling
b.
Hukum Perdata / Burgerlijk
c.
Hukum Pidana/ Strafrecht
d.
Hukum Administarsi Negara/ administratief recht yang meliputi :
3. Ruang Lingkup Hukum Administarsi Negara
Isi dan ruang lingkup Hukum Administarsi Negara menurut Van Vallen Hoven
dalam bukunya yang berjudul :Omtrek van het administratiefrecht, memberikan
skema tentang hukum administrasi Negara didalam kerangka hukum seluruhnya
sebagai berikut :
a.
Hukum Tata Negara/Staatsrecht meliputi :
Pemerintah/Bestuur
Peradilan/Rechtopraak
Polisi/Politie
Perundang-undangan/Regeling
b.
Hukum Perdata / Burgerlijk
c.
Hukum Pidana/ Strafrecht
d.
Hukum Administarsi Negara/ administratief recht yang meliputi :
Menurut Walther Burckharlt (Swiss), bidang-bidang pokok Hukum Administrasi
Negara adalah. :
Hukum Kepolisian
Kepolisian dalam arti sebagai alat administrasi Negara yang sifat preventif
misalnya pencegahan dalm bidang kesehatan, penyakit flu burung, malaria,
pengawasan
dalam
pembangunan,
kebakaran,
lalu
lintas,
lalulintas
perdagangan ( Ekspor-Impor).
Hukum Kelembagaan, yaitu administrasi wajib mengatur hubungan hukum
sesuai dengan tugas penyelenggara kesejahtreaan rakyat missal dalam bidang
pendidikan, rumah sakit, tentang lalu lintas ( laut, udara dan darat), Telkom,
BUMN, Pos, pemeliharaan fakir miskin, dan sebagainya.
Hukum Keuangan, aturan-aturan tentang keuangan Negara, missal pajak, bea
cukai, peredaran uang, pembiayaan Negara dan sebagainya.
Prajudi Atmosudirdjo mengatakan bahwa ruang lingkup Hukum Administarsi Negara
adalah :
a.
Hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum daripada Administrasi
Negara.
b.
Hukum tentang organisasi dari Administrasi Negara.
c.
Hukum tentang aktifitas-aktifitas dari Administrasi Negara yang bersifat
yuridis.
d.
Hukum tentang sarana-sarana dari Administrasi Negara terutama mengenai
kepegawaian Negara dan keuangan Negara.
e.
Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah dan wilayah yang dibagi menjadi :
Hukum Administrasi Kepegawaian
Hukum Administrasi Keuangan
HukumAdministrasi Materiil
Hukum Administrasi Perusahaan Negara
f.
Hukum tentang Peradilan Administrasi Negara
Kusumadi Pudjosewojo, membagi bidang-bidang pokok yang merupakan lapangan
HukumTata Usaha Negara atau Hukum Adminsitrasi Negara, yang diambil dari
Undang-undang Dasar Sementara adalah sebagai berikut :
a.
Hukum Tata Pemerintahan
b.
Hukum Tata Keuangan
c.
Hukum Hubungan Luar Negeri
d.
Hukum Pertahan Negara dan Keamanan Umum
Golongan yang berpendapat bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara tidak ada perbedaan prinsip yaitu :
Kranenburg
Vegting
Prins
Golongan ini berpendapata bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara tidak ada perbedaan prinsipil, hanya pada titik berat/focus pembahasan
Hukum Tata Negara fokusnya adalah hukum rangka dasar dari Negara, sedangkan
Hukum Administrasi Negara adalah administrasi dari Negara, dengan demikian
Hukum Administrasi Negara merupakan hukum khusus dari hukum tata Negara.
a.d.1. Kranenburg :
Tidak ada perbedaan yang prinsipil antara Hukum Tata Negara dengan Hukum
Administrasi Negara, perbedaannya hanya terjadi dalam praktek dalam rangka
tercapainya suatu kemanfaatan saja.
Hukum Tata Negara adalah hukum mengenai struktur umum daripada suatu
pemerintahan Negara.
Sedangkan Hukum Administrasi Negara merupakan peraturan-peraturan yang
bersifat khusus.
a.d.2 Mr. Prins
Hukum Tata Negara mempelajari hal-hal yang fundamental yang merupakan
dasar-dasar dari Negara.
Hukum Administrasi Negara menitikberatkan kepada hal-hal yang bersifat teknis
yang selama ini kita tidak berkepentingan hanya penting bagi para spesialis.
Kedudukan dan Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Ilmu
Hukum lainnya.
Dalam sistematika Ilmu Hukum, Hukum Administrasi Negara termasukm dalam
hukum publik dan merupakan bagian daripada hukum Tata Negara.
Dilihat dari sejarahnya sebelum abad 19 Hukum Administrasi Negara menyatu
dengan Hukum Tata Negara dan baru setelah abad ke 19 Hukum Administrasi
Negara berdiri sendiri sebagai suatu disiplin ilmu hukum tersendiri.
Pada pertengahan abad 20 Hukum Administrasi Negara berkembang dengan pesat
sebagai akibat tuntutan timbulnya Negara hukum modern ( welfarestate ) yang
mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Hukum Administrasi Negara sebagai suatu disiplin ilmiah tersendiri dapat dilihat
dalam teori Residu dari Van Vallen Hoven yang membagi seluruh materi hukum
itu secara terperinsi sebagai berikut :
Hukum
Hukum Tata Negara (materiil)
a. Pemerintahan
b. Peradilan
c. Kepolisian
2. Hukum Perdata ( materiil)
3. Hukum Pidana (materiil)
a. Hukum Pemerintahan
b. Hukum Peradilan
a. Peradilan Tata Negara
b. Hukum Acara Perdata
c. Hukum Acara Pidana
d. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara
Ilmu Hukum Administrasi Negara Sebagai suatu disiplin ilmiah tersendiri maka harus
ditentukan batasan-batasan serta hubungan-hubungan antara ilmu administrasi Negara
dengan beberapa cabang ilmu hukum lainnya seperti Hukum Tata Negara, Hukum
Perdata, Hukum Pidana dan Ilmu Pemerintahan yang akan dibahas di bawah ini :
Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Tata Negara dilihat
dari segi sejarah bahwa sebelum abad ke 19 Hukum Administrasi Negara
menyatu dengan Hukum Tata Negara dan baru setelah abad ke 19 Hukum
Administrasi Negara berdiri sendiri.
Mengenai batasan antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi
Negara ini terdapat dua golongan pendapat yaitu :
A.
Bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
ada perbedaan prinsip, yaitu :
Oppen Heim
Van Vallen Hoven
Romeign
Donner
Logemann
a.d.1. Oppen Heim mengatakan bahwa pokok bahasan Hukum Tata
Negara adalah Negara dalam keadaan diam (Strats in rust) ,
dimana Hukum Tata Negara membentuk alat-alat perlengkapan
Negara dan memberikan kepadanya wewenang serta membagi
bagikan tugas pekerjaan kepada alat-alat perlengkapan Negara
ditingkat tinggi dan tingkat rendah.
Sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah Negara dalam
keadaan bergerak (Staats ini beveging) dimana Hukum
Administrasi Negara melaksanakan aturan-aturan yang sudah
ditetapkan oleh Hukum Tata Negara baik ditingkat tinggi
maupun ditingkat rendah.
a.d.2. Van Vallen Hoven
Hukum Administrasi Negara adalah semua peraturan-peraturan
hukum setelah dikurangi hukum-hukum materiil Tata Negara,
Pidana dan Perdata.
Hukum Administrasi Negara merupakan pembatasan dari
kebebasan pemerintah dalam melaksanakan tugasnya.
Badan-badan
kenegaraan
memperoleh
kewenangan
dari
Hukum Tata Negara, dan dalam melaksanakan kewenangan itu
badan-badan kenegaraan hasurlah berdasarkan pada Hukum
Administrasi Negara.
a.d.3. Romeign
Hukum Tata Negara mengatur mengenai dasar-dasar dapipad
Negara, sedangkan Hukum Administrasi Negara mengenai
pelaksanaan teknisnya.
a.d.4. Donner
Hukum Tata Negara menetapkan tugas, sedangkan Hukum
Administrasi Negara melaksanakan tugas itu yang telah
ditentukan oleh Hukum Tata Negara.
a.d.5. Logemann
Hukum Tata Negara merupakan suatu pelajaran tentang
kompetensi, sedangkan Hukum Administrasi Negara tentang
perhubungan hukum istimewa.
Hukum Tata Negara mempelajari :
Jabatan-jabatan apa yang ada dalam susunan suatu Negara
Siapa yang mengadakan jabatan-jabatan itu
Cara bagaimana ditempati oleh pejabat
Fungsi jabatan-jabatan itu
Kekuasaan hukum jabatan-jabatan itu
Hubungan antara jabatan-jabatan
Dalam batas-batas manakah organ-organ kenegaraan dapat
melakukan tugasnya.
Sedangkan Hukum Administrasi Negara mempelajari sifat bentuk dan
akibat hukum yang timbul karena perbuatan hukum istimewa yang
dilakukan oleh para pejabat dalam melaksanakan tugasnya.
B.
Golongan yang berpendapat bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara tidak ada perbedaan prinsip yaitu :
Kranenburg
Vegting
Prins
Golongan ini berpemdapat bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara tidak ada perbedaan prinsipil, hanya pada titik
berat/focus pembahasan Hukum Tata Negara fokusnya adalah hukum
rangka dasar dari Negara, sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah
administrasi dari Negara, dengan demikian Hukum Administrasi Negara
merupakan hukum khusus dari Hukum Tata Negara.
a.d.1. Kranenburg
Tidak ada perbedaan yang prinsipilantara Hukum Tat Negara
dengan Hukum Administrasi Negara, perbedaanya hanya
terjadi dalam praktek dalam rangka tercapainya suatu
kemanfaatan saja.
Hukum Tata Negara adalah hukum mengenai struktur hukum
daripada suatu pemerintahan Negara.
Sedangkan Hukum Administrasi Negara merupakan peraturan-
peraturan yang bersifat khusus.
a.d.2. Prins
Hukum Tata Negara mempelajari hal-hal yang fundamental
yang merupakan dasar-dasar dari Negara.
Hukum Administrasi Negara menitikberatkan kepada hal-hal
yang bersifat teknis, yang selama ini kita tidak berkepentingan
hanya penting bagi para spesialis.
C. Hukum Pidana
PENGERTIAN HUKUM PIDANA
Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.
A. Definisi Hukum Pidana
Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana adalah:
• Pembunuhan
• Pencurian
• Penipuan
• Perampokan
• Penganiayaan
• Pemerkosaan
• Korupsi
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar Ilmu Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang dilarang oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, prosedur yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman yang ditetapkan atas terdakwa.”
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
• Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
• Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
• Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.
B. Tujuan Hukum Pidana
Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah :
• Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik.
• Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi Hukum Pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi kalau di dalam kehidupan ini masih ada manusiayang melakukan perbuatan tidak baik yang kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya sebagai akibat dari moralitas individu itu. Dan untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu(sebagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana), maka dipelajari oleh “kriminologi”.
Di dalam kriminologi itulah akan diteliti mengapa sampai seseorang melakukan suatu tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup sosial. Di samping itu juga ada ilmu lain yang membantu hukum pidana, yaitu ilmu Psikologi. Jadi, kriminologi sebagai salah satu ilmu yang membantu hukum pidana bertugas mempelajari sebab-sebab seseorang melakukan perbuatan pidana, apa motivasinya, bagaimana akibatnya dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk meniadakan perbuatan itu.
C. Klasifikasi Hukum Pidana
Secara substansial atau Ius Poenalle ini merupakan hukum pidana
Dalam arti obyektif yaitu “sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman”. Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu:
• Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang menentukan perbuatan-perbuatan kriminal yang dilarang oleh Undang-Undang, dan hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan bagian dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, seperti Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain sebagainya.
• Hukum Formil (Hukum Acara Pidana) Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara Pidana”-nya memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur dakwa pidana—mulai dari prosedur pelaksanaannya sejak waktu terjadinya pidana sampai penetapan hukum atasnya, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum yang tumbuh dari prosedur tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan perdata yang merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga pelaksanaan peradilannnya.”. Dari sini, jelas bahwa substansi Hukum Acara Pidana meliputi:
• Dakwa Pidana, sejak waktu terjadinya tindak pidana sampai berakhirnya hukum atasnya denganberagam tingkatannya.
• Dakwa Perdata, yang sering terjadi akibat dari tindak pidana dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
• Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya, dikategorikan sebagai cabang dari Hukum Publik, karena sifat global sebagian besar dakwa pidana yang diaturnya dan karena terkait dengan kepentingan Negara dalam menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh sebab itu, Undang-Undang Hukum Acara ditujukan untuk permasalahan-permasalahan yang relatif rumit dan kompleks, karena harus menjamin keselarasan antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana, dan hak pelaku pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan jika memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan ini, para ahli telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana harus benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.
Hukum Pidana dalam arti Dalam arti Subyektif, yang disebut juga “Ius Puniendi”, yaitu “sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang”.
D. Ruang Lingkup Hukum Pidana
Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan peristiwa pidana atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab. Jadi unsur-unsur peristiwa pidana, yaitu:.
• Sikap tindak atau perikelakuan manusiaMelanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran; Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan.
Sikap tindak yang dapat dihukum/dikenai sanksi adalah
- Perilaku manusia ; Bila seekor singa membunuh seorang anak maka singa tidak dapat dihukum
- Terjadi dalam suatu keadaan, dimana sikap tindak tersebut melanggar hukum,
misalnya anak yang bermain bola menyebabkan pecahnya kaca rumah orang.
- Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum; Dengan pecahnya kaca jendela rumah orang tersebut tentu diketahui oleh yang melakukannya bahwa akan menimbulkan kerugian orang lain.
- Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi sikap tindak tersebut.Orang yang memecahkan kaca tersebut adalah orang yang sehat dan bukan orang yang cacat mental.
Dilihat dari perumusannya, maka peristiwa pidana/delik dapat dibedakan dalam :
• Delik formil, tekanan perumusan delik ini ialah sikap tindak atau perikelakuan yang dilarang tanpa merumuskan akibatnya.
• Delik materiil, tekanan perumusan delik ini adalah akibat dari suatu sikap tindak atau perikelakuan.
Misalnya pasal 359 KUHP :
Dalam Hukum Pidana ada suatu adagium yang berbunyi : “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya. Ketentuan inilah yang disebut sebagai asas legalitas .
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana, ialah
1. Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel)
2. Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteitsbeginsel)
3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteitsbeginsel)
E. Sistem Hukuman
Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 tentang pidana pokok dan tambahan, menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofd straffen ).
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
D. Hukum Internasional
a. Hukum Pidana Internasional
1. Beberapa pandangan tentang kejahatan internasional dan eksistensi hukum pidana internasional.
Hukum Pidana Internasional merupakan perpaduan antar dua disiplin hukum yang berbeda yaitu aspek pidana dari hukum internasional dan aspek internasional dalam hukum pidana. Hukum Pidana Internasional adalah hukum yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang nyata-nyata telah dilakukan bilamana terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya. International Criminal Law : “the law which determines what national criminal law will apply to offence actually committed if they contain an international element.”
Schwarzenberger menyatakan bahwa hukum pidana internasional telah memasuki tahap pembentukan. Ia menguraikan 6 (enam) makna dari hukum pidana internasional , yaitu:
1.Hukum pidana internasional dalam arti lingkup territorial hukum pidana nasional,
2.Hukum pidana internasional dalam arti aspek internasional dari hukum pidana nasional,
3.Hukum pidana internasional dalam arti aspek internasionalisasi dari hukum pidana nasional,
4.Hukum pidan internasional dalam arti hukum pidana nasional yang berlaku umum dalam bangsa-bangsa beradab,
5.Hukum pidan internasional dalam arti kerja sama internasional,
6.Hukum pidan internasional dalam arti material.
Keenam arti hukum pidana internasional tersebut sangat berkaitan.
Pengertian yang pertama dari Hukum Pidana Internasional adalah Hukum Pidana Internasional yang memiliki lingkup kejahatan-kejahatan yang melanggar kepentingan masyarakat internasional, akan tetapi kewenangan melaksanakan penangkapan, penahanan dan peradilan atas pelaku-pelakunya diserahkan sepenuhnya kepada yurisdiksi kriminal negara yang berkepentingan dalam batas-batas teritorial negara tersebut.
b. Hukum Pidana Internasional
Pengertian yang kedua dari Hukum Pidana Internasional ini adalah menyangkut kejadian-kejadian dimana suatu negara yang terikat pada hukum internasional berkewajiban memperhatikan sanksi-sanksi atas tindakan perorangan sebagaimana ditetapkan di dalam hukum pidana nasionalnya.
Pengertian yang ketiga dari Hukum Pidana Internasional ini adalah ketentuan-ketentuan di dalam
hukum internasional yang memberikan kewenangan atas negara nasional untuk mengambil tindakan atas tindak pidana tertentu dalam batas yurisdiksi kriminalnya dan memberikan kewenangan pula kepada negara nasional untuk menerapkan yurisdiksi kriminal di luar batas teritorialnya terhadap tindak pidana tertentu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam hukum internasional.
Pengertian yang keempat dari hukum pidana internasional adalah ketentuan-ketentuan di dalam hukum pidana nasional yang dianggap sesuai atau sejalan dengan tuntutan kepentingan masyarakat internasional.
Pengertian hukum pidana internasional yang kelima adalah semua aktivitas atau kegiatan penegakan hukum pidana nasional yang memerlukan kerjasama antar negara, baik bersifat bilateral maupun multilateral.
Pengertian hukum pidana internasional yang keenam adalah objek pembahasan dari hukum pidana internasional yang telah ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan internasional dan merupakan pelanggaran atas de iure gentium, seperti : pripasi, genosida, agresi dan kejahatan perang.
Sarjana Hukum Internasional, Roxburgh dan Sir Arnold McNair, mengakui pemisahan antara “international delinquencies” dan “international crimes”. pengertian istilah yang pertama diakui dalam hukum kebiasaan internasional, akan tetapi pengertian istilah kedua tidak sejalan dengan struktur hukum internasional yang menegaskan bahwa; ”Delinkuensi internasional bukan suatu kejahatan karena Negara yang dekinkuen, sebagai negara yang berdaulat, tidak dapat dihukum, sekalipun dapat dilakukan pemaksaan untuk menuntut ganti rugi atas kesalahan yang telah dilakukan oleh negara. Lebih jauh, karakteristik Hukum Bangsa-Bangsa sebagai hukum antar, bukan diatasnya; negara-negara berdaulat, telah mengesampingkan
kemungkinan menghukum negara karena suatu delinkuensi internasional”. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Sir Arnold McNair pada tahun 1944 dalam sebuah memo yang ditujukan kepada komisi kejahatan perang PBB menegaskan sebagai berikut: “State cannot be the subject of criminal lialibility.”yang kemudian didukung oleh Sir John Fishcer Williams yang mengatakan bahwa selama Negara adalah subjek hukum internasional, negara tidak dapat menjadi subjek dari penghukuman atas tindakan yang salah.Dalam kenyataan kehidupan masyarakatinternasional, pendapat tersebut telah melakhirkan persepsi bahwa, hukuman atau upaya untuk menghukum suatu negara itu sendiri merupakan kejahatan terhadap ketertiban (hukum) internasional. Pendapat ini dikuatkan lagi oleh Lauterpacht.
Mueller dan Wise justru sebaliknya menyatakan bahwa tidak ada alas an yang kuat mempersoalkan mengapa hukum internasional harus atau tidak harus mengakui keberadaan kejahatan internasional. Bahkan menurut Mueller dan Wise, jika sekalipun berdasarkan hukum kebiasaan internasional atau perjanjian internasional, negara mengabaikan pengakuan atas tindakan warga negaranya atau tindakan seorang warga negara lain, sebagai kejahatan internasional, maka cara tersebut justru bertentangan dengan kedaulatannya (negara yang bersangkutan) karena keberadaan kejahatan internasional tersebut justru (masih) berada di dalam batas-batas berlakunya hukum internasional itu sendiri. Pandangan kedua ahli hukum pidana internasional tersebut menegaskan bahwa, karakter kolektif dan subjek hukum internasional tidak mutlak mencerminkan pernyataan setuju atau tidaknya atau menentang kmungkinan keberadaan hukum pidana internasional.
Hugo Grotius mengemukakan dua pendekatan dalam menanggapi tanggung jawab negara dalam masalah ekstradisi, yaitu:
1.Patentia, yaitu kegagalan suatu negara untuk mencegah tindakan yang merugikan negara lain,
2.Receptus, yaitu negara yang (wajib) melindungi pelaku kejahatan.
Dalam dua keadaan tersebut maka negara harus dapat mempertanggung jawabkan tindakannyaAdapun cara untuk menentukan keberadaan subjek dan objak hukum pidana internasional menurut Mueller dan Wise dapat dilakukan dengan menelusuri dua peristiwa penting yaitu, pertama, melalui pandangan bahwa hukum pidana internasional sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional, dan kedua, pandangan hukum pidana internasional sebagai bagian dari perjanjian internasional.
Perbedaan pendapat antara Cassese dan Bassiouni dalam menanggapi hukum kebiasaan internasional sebagai tolak ukur untuk menetapkan suatu kejahatan internasional.
-
No
Cassese
Bassiouni
1
Pelakunya harus selalu dalam kapasitas pemegang jabatan negara dan melakukan perbuatan tertentu yang dpandang sebagai pelanggaran menurut hukum kebiasaan internasional.
Memandang masalah kejahatan dari sisi legalistik positivistik, karena telah diatur dalam suatu perjanjian internasional.
-
2
Mengutamakan hukum kebiasaan internasional dan kepentimgan universal.
Mengutamakan doktrin dan perjanjian internasional.
3
Tidak menyinnggung pemberlakuan asa universal terhadap kejahatan internasional sekalipun tidak secara eksplisit.
Tidak mengaitkan kejahatan internasional dan pemberlakuan asa universal.
2. Perkembangan (pengakuan) Hukum Pidana Iinternasional pasca Perang Dunia Kedua
Perkembangan hukum pidana internasional merupakan kelanjutan perkembangan hukum pidana dalam praktik hubungan internasional. Pada tahun 1800 dan awal tahun 1900-an focus perkembangan hukum pidana internasional adalah mengenai konflik yurisdiksi criminal, dan masalah perluasan yuridiksi criminal atau “extraterritorial jurisdiction”.
Setelah berakhirnya Perang Dunia Ke-1, focus perhatian beralih pada masalh tanggung jawab kepala negara (kaisar) dalam persoalan kejahatan perang.Yang melakhirkan doktrin-doktrin mengenai “kejahatan terhadap hukum humaniter” (Crimes against the law of humanity), dan masalah ini baru dapat diselesaikan setelah berakhirnya Perang Dunia kedua.
Sejak dilaksanakan peradilan Nuremberg(1946), terbuka seluas-luasnya, bahwa setiap individu dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam konteks penegakan hukum internasional.
Prinsip Nurenberg yang sangat terkenal berasal dari pendapat Hakim Mahkamah Nurenberg dari Amerika Serikat yang mengatakan bahwa:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh manusia, bukan oleh suatu
pribadi yang abstrak, dan hanya dengan menghukum individu-individu yang melakukan kejahatan tersebut, ketentuan hukum internasional dapat diterapkan. pribadi yang abstrak, dan hanya dengan menghukum individu-individu yang melakukan kejahatan tersebut, ketentuan hukum internasional dapat diterapkankejahatan transnasional dan kejahatan internasional.
Basis Hukum Pidana Internasional adalah hukum (pidana) nasional, bukan hukum internasional.
Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Otto Triffterer.
Sekalipun basis hukum pidana internasional adalah hukum pidana nasional akan tetapi keterkaitan antara perkembangan hukum pidana nasional dan hukum internasional tidak dapat diabaikan sama sekali. Hal ini terbukti dari 3 (tiga) peristiwa penting yang dapat dijadikan rujukan dalam membahas asal usul dan perkembangan hukum pidana internasional.
Pertama, ia berasal dari sejarah hukum internasional itu sendiri dengan ditetapkannya, pembajakan di laut (piracy) sebagai kejahatan yang mengancam umat manusia (hostis humanis generis) karena menghancurkan arus lalu lintas perdagangan bahan sandang dan pangan ke berbagai penjuru dunia.
Kedua, berasal dari praktik yang berkembang dalam implementasi hukum
internasional.