Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pada dasarnya, persoalan yang dihadapi seorang tertanggung dalam kasus kepailitan asuransi merupakan persoalan hak, tagihan atau piutang yang dilakukan dengan proses sita massal dengan menempatkan harta debitur dalam boedel pailit. Sita massal melalui permohonan pernyataan pailit ini hanya bisa dilakukan bila terbukti secara sederhana (sumir) melalui putusan Pengadilan Niaga bahwa debitur memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Selain melalui sita massal , sebenarnya terdapat tata cara pembayaran utang-utang debitur melalui prosedur biasa (di luar kepailitan) yaitu melalui lembaga jaminan pembayaran utang secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tata cara pembayaran utang secara umum ini bisa ditempuh kreditur bila kreditur tersebut sepakat tidak menempuh jalur/prosedur kepailitan, atau apabila syarat yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak terpenuhi atau tidak terbukti secara sederhana. Pasal ini menyatakan bahwa :

” Segala kebendaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya secara perseorangan”.

Dari ketentuan pasal tersebut, pada prinsipnya segala harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan atas utang-utangnya kepada semua kreditur. Kekayaan debitur meliputi benda bergerak maupun tidak bergerak (tetap), demikian juga dengan benda-benda yang sudah ada pada saat perjanjian utang-piutang diadakan maupun benda yang baru akan ada di kemudian hari (menjadi milik debitur) setelah perjanjian utang-piutang diadakan. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini, seluruh kekayaan debitur tanpa kecuali akan menjadi jaminan umum atas pelunasan utang-utangnya, terlepas apakah sebelumnya hal itu telah diperjanjikan atau tidak. Jaminan ini bersifat umum, lahir karena undang-undang, sehingga tidak perlu diperjanjikan sebelumnya (Rachmadi Usman, 2002:12-13).

J. Satrio menyatakan bahwa dari Pasal 1131 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dapat disimpulkan asas hubungan eksternal kreditur sebagai berikut :

a) Seorang kreditur boleh mengambil pelunasan dari setiap bagian harta kekayaan debitur

b) Setiap bagian kekayaan debitur dapat dijual guna pelunasan tagihan kreditur

c) Hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan hata kekayaan debitur saja, tidak dengan person debitur (J. Satrio dalam Rachmadi Usman, 2002:13).

Dalam jaminan yang bersifat umum, semua kreditur pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama. Pelunasan utang dengan sendirinya dibagi menurut asas keseimbangan, yaitu berdasarkan besar kecilnya jumlah piutang masing-masing kreditur di mana besar kecilnya dibandingkan dengan jumlah keseluruhan utang debitur. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama- sama bagi semua orang yang mempunyai piutang kepadanya; pendapatan dari perjanjian benda-benda itu dibagi menurut keseimbangannya, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing- masing, kecuali apabila seorang kreditur mempunyai alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga memberikan kemungkinan ada kreditur yang kedudukannya diutamakan. Selanjutnya menurut Pasal 13 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kreditur yang diutamakan tersebut adalah mereka yang memiliki hak-hak yang dilahirkan karena piutang yang diistimewakan (privilege) yaitu yang meliputi gadai (pand), dan dari hipotik, termasuk

hak istimewa (privilege) khusus, karena hak-hak tersebut merupakan hak yang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan hak-hak istimewa lain yang diberikan oleh negara, hal ini dapat dilihat pada Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan demikian kedudukan para kreditur terhadap harta kekayaan milik debitur ditentukan oleh jenis jaminan yang dipegangnya. Hak-hak istimewa yang diberikan oleh negara berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 1137 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata mencakup mengenai hak dari kas negara, kantor lelang atau pun badan hukum lainnya dibentuk oleh negara. Dari ketentuan tersebut (Pasal 1132 dan Pasal 13 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) jelas bahwa pemegang polis asuransi tidak termasuk kreditur yang diutamakan atau diistimewakan. Dengan kata lain, tertanggung bukanlah termasuk kreditur yang memegang jaminan kebendaan seperti gadai, hipotik, fidusia ataupun hak tanggungan atau bahkan hak-hak istimewa yang diberikan oleh negara sehingga karenanya tertanggung tidak bisa dikelompokkan sebagai kreditur preferen karena tidak cukup alasan untuk menyebutnya sebagai kreditur preferen, istimewa atau istilah lain yang sama dengan itu. Maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan tertanggung menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata adalah sebagai kreditur konkuren.

Tata cara penyelesaian utang debitur melalui Kitab Undang- Undang Hukum Perdata ini tidak menjamin hak-hak tertanggung dan terdapat banyak kelemahan yang memungkinkan kreditur konkuren seperti halnya tertanggung semakin tidak mendapatkan jaminan kepastian hukum. Oleh karenanya, dalam praktik penyelesaian utang tata cara ini cenderung dihindari dan kreditur lebih memilih tata cara sita massal sesuai dengan prosedur kepailitan.