PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul : Perbedaan Kecemasan Pada Siswi SMA yang Memiliki Berat Badan Normal dan Overweight

Skripsi dengan judul : Perbedaan Kecemasan Pada Siswi SMA yang Memiliki Berat Badan Normal dan Overweight

Nur Raudatus Sa’adah, NIM: G0006132, Tahun 2010

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari , Tanggal

Pembimbing Utama

Nama : Prof. Dr. H.M. Fanani, dr., Sp. KJ NIP : 195107111980031001

Pembimbing Pendamping

Nama : Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, M.Sc, PhD NIP : 195510271994121001

Penguji Utama

Nama : I. G. B Indro N, dr., Sp. KJ NIP : 197310032005011001

Anggota Penguji

Nama : Made Setiamika, dr., Sp.THT-KL NIP : 140150259

Surakarta, ……………………. 2010 Ketua Tim Skripsi

Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., MKes. Prof. Dr. A. A. Subijanto, dr., MS.

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta,22 Oktober 2010

Nur Raudatus S. NIM. G0006132

SMA yang Memiliki Berat Badan Normal dan Overweight.

Banyaknya remaja putri melaporkan bahwa mereka tidak puas dengan tubuhnya dan berusaha untuk menurunkan berat badannya dengan cara yang tidak sehat. Perilaku remaja putri ini dapat menempatkan mereka dalam keadaan yang membahayakan seperti gangguan makan, obesitas, gizi buruk, gangguan pertumbuhan dan gangguan jiwa seperti depresi. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti perbedaan tingkat kecemasan pada siswi SMA yang memiliki berat badan normal dan overweight.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional menggunakan fixed exposured sampling. Sampel penelitian adalah

15 siswi SMA yang memiliki berat badan normal dan 15 siswi SMA yang overweight. Instrumen penelitian yang digunakan adalah skala L-MMPI dan TMAS. Analisa data menggunakan uji t.

Hasil penelitian menunjukkan siwi SMA yang overweight lebih cemas daripada siswi SMA dengan berat badan normal (mean skor TMAS 25,8 vs 21,2; p=0,022).

Peneliti menyimpulkan terdapat perbedaan kecemasan yang bermakna antara siswi SMA yang memiliki berat badan normal dan overweight dimana siswi SMA yang overweight lebih cemas daripada siswi SMA yang memiliki berat badan normal.

Kata Kunci : Kecemasan, Overweight

Nur Raudatus Sa’adah, G0006132, 2010. The Differences of Anxiety Between High-school Student With Normal Weight and Overweight. Medical Faculty of Sebelas Maret.

High numbers of adolescent girls are reporting that they are dissatisfied with their bodies and are trying to lose weight in unhealthy ways. These attitudes and behaviors place girls at a greater risk for eating disorders, obesity, poor nutrition, growth impairments, and emotional problems such as depression. The research aims is to know the difference of anxiety between high-school student with normal weight and overweight.

This research is an analytical observational research by using cross sectional approach. The sampling technique uses fixed exposure sampling. The sample of research was 15 high-school students with normal weight and 15 high-school students with overweight. The instruments used in the research were L-MMPI scale and TMAS. Data analysis using t test.

The result of data analysis shows that students with overweight are more anxious than students with normal weight (mean TMAS score 25,8 vs 21,2; p=0,022).

In conclusion, there is a difference of anxiety between high-school students with normal weight and high-school students with overweight. Students with overweight are more anxious than students with normal weight.

Keywords: Anxiety, Overweight

Puji syukur kepada Tuhan karena kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan Kecemasan Pada Siswi SMA yang Memiliki Berat Badan Normal dan Overweight”. Skripsi ini disusun dengan maksud untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana dalam bidang kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penyelesaian skripsi ini tak lepas dari bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. A. A. Subijanto, dr., MS., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Tim Skripsi.

3. Seluruh staf bagian skripsi atas segala bimbingan dan bantuan yang telah diberikan.

4. Prof. Dr. H.M. Fanani, dr., Sp. KJ, selaku Pembimbing Utama, atas segala bimbingan, bantuan, dan pengarahan materi yang telah diberikan kepada penulis dalam pelaksanaan dan penulisan skripsi ini.

5. Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, M.Sc, PhD, selaku Pembimbing Pendamping, atas segala bimbingan, arahan, dan masukan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini.

6. I. G. B Indro N, dr., Sp. KJ, selaku Penguji Utama, yang telah berkenan menguji, memberi nasihat, koreksi, kritik, dan saran sehingga penyusunan skripsi ini semakin sempurna.

7. Made Setiamika, dr., Sp.THT-KL., selaku Anggota Penguji, yang telah berkenan menguji, memberi nasihat, koreksi, kritik, dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

8. Papa, mama, serta adik-adik tercinta yang senantiasa memberikan doa, cinta, bimbingan, dan motivasi pada peneliti.

9. Semua pihak lain yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan sehingga penulis mengharapkan kritik, saran, dan masukan yang membangun, yang berguna bagi kesempurnaan skripsi ini di masa mendatang.

Akhir kata, penulis berharap semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi semua.

Surakarta, 22 Oktober 2010

Penulis Penulis

vi DAFTAR ISI

vii DAFTAR TABEL

ix DAFTAR GAMBAR

x DAFTAR LAMPIRAN

xi BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Perumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

2 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

B. Kerangka Pemikiran

C. Hipotesis

13 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

B. Subjek Penelitian

C. Lokasi Penelitian 14

D. Teknik Sampling

E. Variabel Penelitian

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian

G. Alat dan Bahan Penelitian

H. Cara Kerja

I. Rancangan Penelitian

17 BAB IV

HASIL PENELITIAN

18 BAB V

PEMBAHASAN

DAFTAR PUSTAKA

24 LAMPIRAN

26

halaman

Tabel 4.1 Hasil Uji t Tentang Beda Mean Tingkat Kecemasan 18 Antara Siswi SMA yang Memiliki Berat Badan Normal

dan Overweight

halaman Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

13

Gambar 3.1 Rancangan Penelitian 17 Gambar 4.1 Garis Regresi Antara Body Mass Index dengan 18

Tingkat Kecemasan Gambar 4.2 Boxplot Tentang Beda Rata-Rata Tingkat Kecemasan Antara 19

Kelompok Siswi SMA dengan Berat Badan Normal dan Overweight .

halaman Lampiran 1. Isian Data Pribadi

26 Lampiran 2. Kuesioner Skala L-MMPI

27 Lampiran 3. Kuesioner TMAS

28 Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian

31 Lampiran 5. Data Hasil Penelitian

32 Lampiran 6. Hasil Uji Statistik menggunakan SPSS 17.0

34

A. Latar Belakang Masalah

Kecemasan adalah keadaan suasana-perasaan (mood) yang ditandai oleh gejala-gejala jasmaniah seperti ketegangan fisik dan kekhawatiran tentang masa depan yang menyebabkan seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa datang dengan perasaaan khawatir. Kecemasan mungkin melibatkan perasaan, perilaku, dan respon-respon fisiologis (Barlow dan Durand, 2007).

Sensasi kecemasan sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan tersebut ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan dan mungkin juga merasa gelisah. Kecemasan segera mengarahkan seseorang untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah ancaman atau meringankan akibatnya (Kaplan dan Sadock, 1997).

Kelebihan berat badan didefinisikan sebagai penumpukan jaringan lemak tubuh yang abnormal, dengan nilai BMI (Body Mass Index) lebih besar dari patokan normal (Hidayat, 1989).

Banyaknya remaja putri melaporkan bahwa mereka tidak puas dengan tubuhnya dan berusaha untuk menurunkan berat badannya dengan cara yang tidak sehat , seperti menghindari makan, puasa, dan merokok. Sejumlah kecil perempuan menggunakan cara yang lebih ekstrim, seperti memaksa dirinya muntah, pil-pil diet dan penggunaan obat pencahar (Eating Disorders and Obesity Companion Piece (EDOCP), 2003).

Hal ini disebabkan masyarakat menilai lebih perempuan yang kurus, sedangkan pada remaja putri yang memiliki berat badan sering dijadikan sebagai subjek diskriminasi, keisengan, dan menjadi korban ledekan (Stang, 2005).

Perilaku remaja putri ini dapat menempatkan mereka dalam Perilaku remaja putri ini dapat menempatkan mereka dalam

B. Perumusan Masalah

Apakah ada perbedaan kecemasan pada siswi SMA yang memiliki berat badan normal dan overweight?

C. Tujuan Penelitian

Meneliti perbedaan tingkat kecemasan pada siswi SMA yang memiliki berat badan normal dan overweight.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis:

a. Untuk menambah wawasan psikiatri khususnya tentang studi banding kecemasan siswi SMA yang memiliki kelebihan berat overweight dan yang memiliki berat badan normal.

b. Dapat dijadikan dasar bagi penulis lain untuk mengadakan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Aplikatif: Untuk pihak sekolah dapat sebagai pertimbangan dalam membantu proses belajar siswi overweight.

A. Tinjauan Pustaka

1. Kecemasan

a. Definisi Kecemasan (anxiety) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan takut atau khawatir yang mendalam dan beerkelanjutan, tetapi kemampuan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability / RTA) tidak terganggu, begitupun kepribadiannya juga masih utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian / splitting personality), sedangkan perilaku dapat terganggu walaupun masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2006).

Kecemasan adalah salah satu dari empat kelompok besar perasaan emosional, di samping sedih, gembira, dan marah. Kecemasan bisa normal dan bisa patologis. Kecemasan normal apabila mendapatkan ketegangan hidup kemudian dapat segera menyesuaikan diri dalam waktu yang lebih singkat, apabila terus menerus terjadi Kecemasan dimana fungsi homeostatis gagal mengadaptasi maka menjadi Kecemasan patologis (Maramis, 2005).

Kecemasan adalah suatu keadaan patologik yang ditandai oleh perasaan ketakutan disertai tanda somatik, terutama sistem saraf otonom yang menjadi hiperaktif (Kaplan dan Sadock, 1991).

Ditinjau dari aspek klinis, kecemasan bisa merupakan suatu keadaan yang abnormal, suatu gejala dari suatu penyakit lain, suatu sindrom, atau suatu gangguan yang berdiri sendiri. Sebagai kecemasan yang normal, setiap orang pernah mengalaminya misalnya waktu menghadapi ujian, sidang di pengadilan, promosi atau penurunan jabatan. Dalam hal ini, kecemasan dirasakan sebagai akibat dari suatu Ditinjau dari aspek klinis, kecemasan bisa merupakan suatu keadaan yang abnormal, suatu gejala dari suatu penyakit lain, suatu sindrom, atau suatu gangguan yang berdiri sendiri. Sebagai kecemasan yang normal, setiap orang pernah mengalaminya misalnya waktu menghadapi ujian, sidang di pengadilan, promosi atau penurunan jabatan. Dalam hal ini, kecemasan dirasakan sebagai akibat dari suatu

Ditinjau dari aspek dinamika, kecemasan merupakan salah satu reaksi terhadap stresor psikososial selain depresi. Stresor psikososial didefinisikan sebagai keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam diri seseorang, sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi dan mengatasi stresor tersebut maka timbullah keluhan-keluhan antara lain berupa cemas dan depresi. Perbedaan dari reaksi tersebut adalah pada kecemasan yang dikeluhkan pasien terutama adalah keluhan psikis berupa adanya rasa takut atau khawatir sedangkan pada depresi yang dikeluhkan pasien terutama keluhan psikis berupa kemurungan dan kesedihan (Hawari, 2006).

b. Manifestasi Kecemasan Gangguan kecemasan disebabkan oleh adanya interaksi

faktor-faktor biopsikososial, termasuk faktor genetik yang berinteraksi dengan situasi, stress, trauma, yang kemudian menghasilkan gejala- gejala klinis (Yates, 2008).

Banyak bukti menunjukkan bahwa kita mewarisi kecenderungan untuk tegang atau gelisah. Kontribusi-kontribusi kecil dari banyak gen di wilayah-wilayah kromosom yang berbeda secara

Lazarus (Mutmainah, 2005) membedakan perasaan cemas menurut penyebabnya menjadi dua, yaitu:

1) State Anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu yang dirasakan sebagai ancaman, misalnya mengikuti tes, menjalani operasi atau lainnya. Keadaan ini ditentukan oleh perasaan tegang yang subyektif.

2) Trait anxiety adalah disposisi untuk menjadi cemas dalam menghadapi berbagai macam situasi (gambaran kepribadian) merupakan ciri atau sifat seseorang yang cukup stabil yang mengarahkan seseorang atau menginterpretasikan suatu keadaan tersebut menetap pada individu (bersifat bawaan) dan berhubungan dengan kepribadian.

c. Patofisiologi Kecemasan berhubungan dengan sirkuit otak dan sistem neurotransmitter tertentu. Beberapa tahun terakhir ini semakin banyak perhatian yang difokuskan pada peran system corticotrophin releasing factor (CRF) yang sangat penting untuk ekspresi kecemasan (Barlow dan Durand, 2007). Ini disebabkan karena CRF mengaktifkan aksis- HPA, yang merupakan bagian sistem CRF ini memiliki efek yang luas pada wilayah-wilayah otak yang terimplikasi dalam kecemasan, termasuk otak-emosional (sistem limbik), terutama hipokampus dan amigdala, lokus sereleus dalam batang otak, korteks prefrontal, dan sistem neurotransmitter dopaminergik. Sistem CRF juga berhubungan langsung dengan sistem GABA-benzodiazepin dan serotonergik serta sistem-sistem neurotransmitter noradrenergik.

Daerah otak yang paling sering berhubungan dengan kecemasan adalah sistem limbik (Barlow dan Durand, 2007) yang Daerah otak yang paling sering berhubungan dengan kecemasan adalah sistem limbik (Barlow dan Durand, 2007) yang

d. Tanda dan Gejala Kecemasan Hurlock (2004) menyatakan bahwa kecemasan meliputi beberapa aspek, yaitu:

1. Adanya rasa khawatir dan gelisah

2. Adanya perasaan tidak menyenangkan

3. Rasa kurang percaya diri

4. Rasa rendah diri

5. Merasa tidak mampu menghadapi masalah yang ada Fitur-fitur gangguan kecemasan menyeluruh meliputi kecemasan dan kekhawatiran eksesif selama 6 bulan atau lebih, tentang sejumlah kejadian atau aktivitas. Paling tidak menunjukkan tiga di antara gejala- gejala:

1. Kegelisahan atau perasaan tegang

2. Menjadi mudah lelah

3. Sulit berkonsentrasi

4. Iritabilitas

5. Ketegangan otot; gangguan tidur

e. Mengukur Tingkat Kecemasan

Instrumen sebagai alat bantu diagnosis kecemasan yang digunakan untuk penelitian ini adalah The Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS). Skala ini disusun oleh Taylor untuk menyeleksi subjek penelitian dengan tingkat kecemasan tinggi dan rendah, guna mempelajari berbagai situasi eksperimental (Wicaksono, 1992).

TMAS merupakan kuesioner yang terdiri dari 50 butir pertanyaan yang kesemuanya menunjukkan skor kecemasan yang muncul. Banyak dari butir- butir ini yang menunjukkan gejala TMAS merupakan kuesioner yang terdiri dari 50 butir pertanyaan yang kesemuanya menunjukkan skor kecemasan yang muncul. Banyak dari butir- butir ini yang menunjukkan gejala

Manifest Anxiety dari Taylor (T-MAS) yang telah divalidasi penggunaannya di Indonesia dengan hasil baik. Dengan nilai batas pemisah skor 22/23, sensitivitas T-MAS cukup tinggi yaitu 90%, spesivisitasnya 95%,nilai ramal positif 94,7%, nilai ramal negatif 90,4% dan efektifitas diagnosis 92,5%. Reliabilitas instrumen dengan KR 20 reliabilitasnya r : 0,86. Butir-butir pernyataan yang sesuai untuk kecemasan/favorable yaitu nomor 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 14,

40, 41, 42, 45, 46, 47, 48, 49 (35 butir). Sedangkan butir-butir pernyataan yang tidak sesuai untuk kecemasan/unfavorable yaitu nomor 1, 3, 4, 9, 12, 15, 18, 20, 25, 29, 35, 38, 43, 44, 50 (15 butir). Sangat praktis dan pasien dapat mengerjakan sendiri dalam waktu relatif singkat (Sudiyanto, 2003).

2. Siswi SMA Menurut kamus besar Bahasa Indonesia siswi SMA adalah seorang murid perempuan yang belajar di sekolah umum selepas sekolah menengah pertama, sebelum perguruan tinggi.

3. Overweight

a. Definisi Overweight Overweight atau kelebihan berat badan didefinisikan sebagai suatu berat yang sekurang-kurangnya lebih besar 10% dari berat badan normal (Moore, 1997).

meningkat, di Vietnam misalnya, data dari Monash University dan Vietnam National Heart Institute, tahun 2009 menunjukkan bahwa 31,5 % perempuan dan 29,7% laki-laki mengalami overweight.

Penelitian yang dilakukan oleh Padmiari, dkk (2001) di kota Denpasar, Bali menunjukkan prevalensi obesitas pada anak sekolah cukup tinggi 13,6%.

c. Pembagian Tingkat Berat Badan Keseimbangan energi dicapai bila energi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan sama dengan energi yang dikeluarkan. Keadaan ini menghasilkan berat badan ideal (normal). Cara mudah untuk menentukan berat badan ideal adalah dengan menentukan Indeks Masa Tubuh/IMT atau Body Mass Index/BMI.

BMI yang dihubungkan dengan risiko paling rendah terhadap kesehatan adalah antara 18,5 sampai 25 kg/m 2 . Berat badan lebih (overweight) adalah bila BMI di atas 25 sampai 30 kg/m 2 , sedangkan

obesitas bila BMI lebih besar dari 30 (Almatsier, 2005).

d. Penyebab Kelebihan Berat Badan (Overweight)

Penyebab kelebihan berat badan (Hardian, 2008) adalah dipengaruhi faktor-faktor :

1) Faktor Makanan

Jika seseorang mengkonsumsi makanan dengan kandungan energi sesuai yang dibutuhkan tubuh, maka tidak ada energi yang disimpan. Sebaliknya jika mengkonsumsi makanan dengan energi melebihi yang dibutuhkan tubuh, maka kelebihan energi akan disimpan. Sebagai cadangan energi terutama sebagai lemak.

lemak tinggi sehingga banyak mengandung kalori. Selain itu makanan yang tinggi lemak rasanya sangat lezat, sehingga mengakibatkan dikonsumsi secara berlebihan.

2) Faktor Keturunan

Penelitian pada manusia maupun hewan menunjukan bahwa obesitas terjadi karena faktor interaksi gen dan lingkungan. Gen yang ditemukan diduga dapat mempengaruhi jumlah dan besar sel lemak, distribusi lemak dan besar penggunaan energi untuk metabolisme saat tubuh istirahat. Beberapa pakar berpendapat faktor keturunan hanya berpengaruh terhadap bakat seseorang untuk menjadi gemuk. Jadi kelebihan asupan makanan dan kurang aktifitas yang menjadi pola kebiasaan hidup tetap merupakan faktor utama penyebab kegemukan.

3) Faktor Hormon

Menurunya hormon tiroid dalam tubuh akibat menurunya fungsi kelenjar tiroid akan mempengaruhi metabolisme dimana kemampuan menggunakan energi akan berkurang.

4) Faktor Psikologis

Pada beberapa individu akan makan lebih banyak dari biasa bila merasa diperlukan suatu kebutuhan khusus untuk keamanan emosional (security food). Sebagai contohnya kadang- kadang stres yang hebat pada seseorang tanpa disadari akan menyebabkan ia meningkatkan masukan makanan.

5) Gaya Hidup (Life Style) yang Kurang Tepat

Kemajuan sosial ekonomi, teknologi dan informasi yang Kemajuan sosial ekonomi, teknologi dan informasi yang

6) Pemakaian Obat-Obatan

Efek samping beberapa obat dapat menyebabkan meningkatnya berat badan, misalnya obat kontrasepsi.

e. Pendekatan Kombinasi Untuk Menghindari Kelebihan Berat Badan

1) Kurangi lemak tubuh

Bila ingin menghindari kelebihan berat badan pikirkan bagaimana usaha untuk mengurangi jumlah lemak tubuh dan bukan sekedar menurunkan berat badan. Masalah utama yang perlu dipikirkan adalah simpanan kalori dalam jumlah besar yang terdapat dalam kandungan lemak. Aktivitas metabolisme yang rendah amat akan mempersulit pembakaran energi dan pengurangan berat badan.

2) Terus aktif

Untuk menjaga agar metabolisme tubuh tetap tinggi, biasakan melakukan olahraga tiap pagi. Untuk siang hari, boleh lakukan jalan-jalan ringan selama sepuluh menit dan sorenya, sepeda santai dapat membantu mencapai kesehatan yang maksimal (Bergen, 2002).

dan tingkat aktivitas, tubuh akan membakar energi lebih efisien. Konsumsi maksimal lemak yang diperbolehkan adalah 25% dari total konsumsi tubuh, karena lemak tidak dapat digantikan fungsinya sebagai penyusun membran sel (Halls, 2008).

4) Ubah kebiasaan

Salah satu prinsip yang harus dipegang untuk mencegah kelebihan berat badan adalah makan jika lapar dan berhenti sebelum kenyang.

5) Membuat catatan ringan

Catatan harian tentang konsumsi makanan ini akan membantu mengarahkan perilaku terhadap makanan. Manfaat lain adalah mengontrol menu harian (Delva dan Johnston, 2008).

6) Jangan Remehkan Makanan “kecil”

Sepotong makanan “kecil” yang dikonsumsi setiap hari dalam satu bulan berpengaruh besar terhadap bobot tubuh. Jadi kita harus yakin untuk mengurangi jatah sepotong makanan “kecil” setiap hari untuk mencegah kelebihan berat badan (Hardian, 2008).

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

C. Hipotesis

Terdapat perbedaan kecemasan antara siswi SMA yang memiliki berat badan normal dan overweight.

Berat Badan

Faktor yang mempengaruhi: • Kalori • Daya serap tubuh terhadap makanan • Metabolic rate

Kelebihan Berat Badan Faktor-faktor: · Aktivitas terganggu · Kurang percaya diri

Berat Badan Normal Faktor-faktor : · Aktivitas normal · Lebih percaya diri

Stres lebih Stres kurang

Lebih cemas Kurang cemas

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kasus Pengajuan Permohonan Kepailitan Atas Dirinya Sendiri oleh PT. Asuransi Prisma Indonesia

1. Alur Peristiwa PT. Asuransi Prisma Indonesia Mengajukan Permohonan Pailit

a. Menteri Keuangan Cabut Izin Perusahaan dan Pialang Asuransi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencabut izin usaha satu perusahaan asuransi dan satu perusahaan pialang asuransi. Mereka adalah PT. Asuransi Prisma Indonesia (dahulu PT. Wataka General Insurance) dan PT. dMac Indo Asia. Dalam pengumuman Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Nomor Peng-05/BL/2008 tanggal 5 Juni 2008 disebutkan, PT. Asuransi Prisma Indonesia dicabut izin usahanya berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : KEP-081/KM.10/2008 tanggal 13 Mei 2008. sedangkan PT. dMac Indo Asia dicabut izi usahanya berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : KEP-084/KM.10/2008 tanggal

23 Mei 2008. Menurut Ngalim Sawega, Sekretaris Badan Bapepam- LK, pencabutan izin usaha kedua perusahaan tersebut mulai berlaku sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan atas masing- masing perusahaan tersebut.

b. Asuransi Prisma Indonesia Pailitkan Diri Sendiri

Kondisi perusahaan yang minus izin usaha dan telah dilikuidasi memicu Asuransi Prisma mengajukan permohonan pailit atas diri sendiri. Setelah hampir 20 tahun berkecimpung di dunia asuransi, PT. Asuransi Prisma Indonesia harus gulung tikar. Sejak tahun 2006, perusahaan yang didirikan pada tahun 1991 itu memang tidak mampu Kondisi perusahaan yang minus izin usaha dan telah dilikuidasi memicu Asuransi Prisma mengajukan permohonan pailit atas diri sendiri. Setelah hampir 20 tahun berkecimpung di dunia asuransi, PT. Asuransi Prisma Indonesia harus gulung tikar. Sejak tahun 2006, perusahaan yang didirikan pada tahun 1991 itu memang tidak mampu

Permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi sebenarnya harus diajukan oleh Menteri Keuangan sendiri. Namun lantaran izin usaha telah dicabut, PT. Asuransi Prisma Indonesia yakin bisa mengajukan permohonan pailit sendiri. Pemicu lainnya adalah jumlah utang perusahaan diperkirakan lebih besar dibanding aset PT. Asuransi Prisma Indonesia. Total utang perusahaan per 4 Desember 2009 berjumlah Rp. 11, 566 miliar, sedangkan aset PT. Asurasi Prisma Indonesia diperkirakan senilai Rp. 1, 641 miliar. Dalil itu mengacu dari Pasal 149 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal itu menentukan dalam hal likuidator memperkirakan bahwa utang perseroan lebih besar daripada kekayaan perseroan, likuidator wajib mengajukan permohonan pailit perseroan, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain, dan semua kreditur yang diketahui identitas dan alamatnya, menyetujui pemberesan dilakukan di luar kepailitan.

Berikut merupakan daftar kreditur yang disebutkan dalam permohonan pailit PT. Asuransi Prisma Indonesia berdasarkan catatan tahun 2007/2008, yang terdapat dalam bagan di bawah ini :

No.

Nama Perusahaan

Jumlah Tagihan

1. PT. Dekai Indonesia

Rp. 305.152.000,-

2. IBS RE Jakarta

Rp. 127.157.000,-

3. IBS RE Singapore

Rp. 260.897.000,-

4. Pana Harrison RE

Rp. 514.336.000,-

5. PT. Parolamas

Rp. 122.486.000,-

6. PT. Reasuransi Internasional Indonesia

Rp. 276.138.000,-

7. Trinity RE

Rp. 215.055.000,-

8. PT. Tugu RE

Rp. 276.507.000,-

9. PT. Nasre

Rp. 162.965.000,-

10. Korean Reins Company

Rp. 152.309.000,-

11. Tugu Insurance Company

Rp. 222.340.000,-

12. PT. Indoturbine

Rp. 992.665.000,-

13. PT. Bukit Makmur Mandiri

Rp.327.290.000,-

14. PT. Radita

Rp. 251.999.000,-

15. PT. Manunggal Bhakti Suci

Rp. 173.699.000,-

Pasca pencabutan izin usaha pada 13 Mei 2008, PT. Asuransi Prisma Indonesia secara sukarela melakukan pembubaran diri (likuidasi). Hal itu diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS) pada 17 Juni 2008. Hasil kesepakatan RUPS lalu dituangkan dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT. Asuransi Prisma Indonesia Nomor 1 tertanggal 11 Juli 2008. Dengan demikian, terhitung sejak tanggal 17 Juni 2008 PT. Asuransi Prisma Indonesia berada dalam proses likuidasi. Likuidasi itu kemudian diumumkan dalam surat kabar pada tanggal 12 Juli 2008. Pengumuman itu menginformasikan bahwa kreditur PT. Asuransi Indonesia memiliki waktu mengajukan tagihan selama 60 hari terhitung sejak 12 Juli 2008. Dari situlah muncul banyak tagihan yang melebihi aset, apalagi utang tersebut telah jatuh tempo. Berdasarkan hal itu, kuasa hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia berpendapat permohonan telah memenuhi syarat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang., yakni unsur utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, serta terdapat dua kreditur atau lebih.

Sebelumnya, Menteri Keuangan tiga kali mengajukan peringatan pada PT. Asuransi Prisma Indonesia. Peringatan diajukan lantaran PT. Asuransi Prisma Indonesia tidak memiliki kecukupan modal sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 sebagaimana

diubah Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.05/2005 tanggal 27 Desember 2005 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi. Dalam surat peringatan tersebut, Menteri Keuangan memerintahkan PT. Asuransi Prisma Indonesia mencari investor baru untuk menambah modal namun PT. Asuransi Prisma gagal memenuhi hal itu. Setelah peringatan ketiga gagal dipenuhi, Menteri Keuangan tidak buru-buru mematikan usaha PT. Asuransi Prisma Indonesia. Meski demikian Menteri Keuangan tetap memberikan hukuman berupa sanksi pembatasan kegiatan usaha Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.05/2005 tanggal 27 Desember 2005 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi. Dalam surat peringatan tersebut, Menteri Keuangan memerintahkan PT. Asuransi Prisma Indonesia mencari investor baru untuk menambah modal namun PT. Asuransi Prisma gagal memenuhi hal itu. Setelah peringatan ketiga gagal dipenuhi, Menteri Keuangan tidak buru-buru mematikan usaha PT. Asuransi Prisma Indonesia. Meski demikian Menteri Keuangan tetap memberikan hukuman berupa sanksi pembatasan kegiatan usaha

Dalam surat tersebut Menteri Keuangan juga memberikan tenggat waktu selama tiga bulan kepada PT. Asuransi Prisma Indonesia untuk memenuhi kecukupan modal, jika tidak bisa maka Menteri Keuangan akan mencabut izin usahanya. Sanksi ini akhirnya tidak mempan karena PT. Asuransi Prisma Indonesia tetap tidak bisa memperbaiki keadaan perusahaan. Menteri Keuangan akhirnya mencabut izin usaha PT. Asuransi Prisma Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-081/KM.10/2008 pada tanggal 13 Mei 2008. Sejak itulah PT. Asuransi Prisma Indonesia dilarang melakukan kegiatan usaha di bidang asuransi kerugian.

c. Ditolak Pailit, Asuransi Prisma Ajukan Kasasi

Asuransi Prisma mengajukan memori kasasi atas penolakan pailit. Perusahaan tersebut agaknya berkukuh mempailitkkan dirinya sendiri. Sepekan setelah putusan penolakan pailit terhadap PT. Asuransi dijatuhkan, kuasa hukum perusahaan itu langsung mengajukan memori kasasi melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Putusan Majelis Hakim yang dijatuhkan Sugeng Riyono, dinilai keliru dalam menerapkan hukum. Majelis Hakim tingkat pertama dalam putusannya menyatakan Pasal 149 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sifatnya mengatur badan hukum yang bersifat umum. Pasal itu menentukan jika likuidator memperkirakan jumlah utang lebih besar daripada aset perusahaan yang dilikuidasi maka likuidator wajib mempailitkan perusahaan tersebut.

Asuransi Prisma memang secara sukarela membubarkan diri (likuidasi). Hal itu yang diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada tanggal 17 Juni 2008. Hasil kesepakatan RUPS

Prisma Indonesia Nomor 1 tertanggal 11 Juli 2008. Dengan demikian terhitung sejak tanggal 17 Juni 2008 PT. Asuransi Prisma Indonesia berada dalam proses likuidasi, meski begitu Majelis Hakim tetap melirik pada ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menentukan pemailitan terhadap perusahaan asuransi harus diajukan oleh Menteri Keuangan. Merujuk pada ketentuan itu Majelis Hakim berpendapat meski Menteri Keuangan telah mencabut izin usaha PT. Asuransi Prisma Indonesia dan telah dibubarkan dengan RUPS, secara hukum badan hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia masih eksis karena itu maka tetap tunduk pada Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sementara menurut Majelis Hakim PT. Asuransi Prisma tidak mendapat kuasa atau persetujuan dari Menteri Keuangan, dengan begitu tim likuidasi tidak berhak bertindak dan atas nama mempailitkan PT. Asuransi Prisma Indonesia.

Pertimbangan hukum itu dipertanyakan kuasa hukum pemohon kasasi, Wiku Krisnamukti. Menurutnya Majelis Hakim tidak memberikan indikator atau penjelasan di mana letak eksistensi PT. Asuransi Prisma Indonesia, apakah sebagai perusahaan biasa atau sebagai perusahaan asuransi. Pertimbangan Majelis Hakim tersebut dinilai salah dalam penerapan hukum. Menurut Wiku, dengan pencabutan izin usaha otomatis PT. Asuransi Prisma Indonesia berstatus sebagai perseroan biasa. Hubungan hukum antara Menteri Keuangan dan PT. Asuransi Prisma Indonesia pun berakhir, hanya namanya masih mencantumkan kata asuransi.

Bukti bahwa PT. Asuransi Prisma Indonesia bukan lagi sebagai perusahaan asuransi adalah sanksi pembatasan kegiatan usaha dan

tertuang dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-1199/MK.10/2007 pada tanggal 26 September 2007. Melalui surat tersebut Menteri Keuangan memberikan tenggat waktu hingga 3 bulan sejak surat itu diterbitkan agar PT. Asuransi Prisma Indonesia memenuhi aturan tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi, jika tidak bisa dilakukan maka izin usaha akan dicabut. Faktanya PT. Asuransi Prisma Indonesia tidak dapat memenuhi aturan tersebut, maka pada tanggal 13 Mei 2008 Menteri Keuangan resmi mencabut izin usaha PT. Asuransi Prisma Indonesia. Apalagi jumlah utang perusahaan diperkirakan lebih besar dibandingkan asset perusahaan. Total utang perusahaan per 4 Desember 2009 berjumlah Rp. 11,566 miliar sedangkan asset PT. Asuransi Prisma Indonesia diperkirakan senilai Rp. 1, 641 miliar, namun ini tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Menurut kuasa hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia, sangat layak apabila Mahkamah Agung membatalkan pertimbangan hukum tersebut yang dituangkan dalam memori kasasi. Dalam memori kasasi PT. Asuransi Prisma juga meminta kepada Mahkamah Agung untuk mengangkat

sebagai kurator ( http://hukumonline.com diakses pada tanggal 11 Juni 2012, pukul

15.21 WIB).

2. Analisis Kasus Pengajuan Permohonan Pailit oleh PT. Asuransi Prisma Indonesia

PT. Asuransi Prisma Indonesia merupakan sebuah perusahaan asuransi yang berusaha untuk mempailitkan dirinya sendiri dikarenakan jumlah utang perusahaan diperkirakan lebih besar dibandingkan aset PT. Asuransi Prisma Indonesia itu sendiri. Ketidakcukupan modal tersebut, pada akhirnya menyebabkan Menteri Keuangan mangajukan surat

PT. Asuransi Prisma Indonesia mencari investor baru untuk menambah modal, akan tetapi PT. Asuransi Prisma Indonesia gagal dalam memenuhi hal tersebut yang menyebabkan Menteri Keuangan memberi hukuman berupa sanksi pembatasan kegiatan usaha (PKU) dan larangan melakukan penutupan pertanggungan baru.

Setelah diberi waktu tiga bulan oleh Menteri Keuangan untuk memenuhi kecukupan modal, namun itu tetap belum bisa dipenuhi oleh PT. Asuransi Prisma Indonesia, maka pada akhirnya Menteri Keuangan mencabut izin usaha PT. Asuransi Prisma Indonesia. Pasca pencabutan izin usaha ditanggapi dengan gegabah oleh PT. Asuransi Prisma Indonesia dengan secara sukarela melakukan pembubaran diri (likuidasi) yang telah diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham.

Setelah dicabutnya izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha di bidang asuransi oleh Menteri Keuangan, pihak PT. Asuransi Prisma Indonesia merasa bahwa dirinya bukanlah menjadi perusahaan asuransi lagi melainkan sudah menjadi Perseroan Terbatas yang bersifat umum. Dengan begitu Perseroan Terbatas yang bukan perusahaan asuransi berhak mempailitkan dirinya sendiri dengan syarat-syarat pembuktian secara sederhana yaitu ada lebih dari satu kreditur, ada lebih dari satu utang, dan minimal ada satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Perseroan Terbatas bersifat umum bukan perusahaan yang bergerak di bidang asuransi, kepailitannya dapat diajukan oleh debitur sendiri. Berpegang dengan prinsip itu PT. Asuransi Prisma Indonesia mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya sendiri, sedangkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung menetapkan lain sehingga permohonan pemailitan PT. Asuransi Prisma Indonesia yang diajukan oleh dirinya sendiri ditolak. Upaya mempailitkan dirinya itu ditolak putusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, kemudian kuasa hukum PT

Asuransi tersebut langsung mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung, dimana upaya tersebut kembali ditolak di upaya kasasi ini.

PT. Asuransi Prisma Indonesia menganggap dirinya bukanlah perusahaan yang bergerak di bidang asuransi lagi disebabkan dengan dicabutnya izin usaha oleh Menteri Keuangan. Sebenarnya di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian maupun Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak diatur secara jelas apakah perusahaan asuransi yang telah dicabut izinnya oleh Menteri Keuangan masih dianggap sebagai perusahaan asuransi atau dianggap sebagai perusahaan perseroan terbatas yang bersifat umum, tapi bisa ditarik kesimpulan melalui penjelasan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, walaupun Menteri Keuangan telah mencabut izin usaha PT. Asuransi Prisma Indonesia dan telah dibubarkan dengan RUPS, secara hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia masih dianggap ada.

Kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit bagi perusahaan asuransi sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.

Apabila dilihat dari perkembangan kasusnya sehingga bisa mencapai tingkat kasasi, ini merupakan hal yang seharusnya tidak perlu terjadi. Menurut Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang didapati kesimpulan bahwa pada awal perkara ini masuk ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, seharusnya pada pemeriksaan permohonan tersebut panitera

Asuransi Prisma Indonesia ini karena dilakukan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku bahwa perusahaan asuransi permohonan kepailitannya harus diajukan oleh Menteri Keuangan dan bukan oleh dirinya sendiri.

Dengan ketentuan tersebut seharusnya sedari awal perkara ini tidak perlu menjalani persidangan. Di dalam penjelasan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dikatakan bahwa panitera yang melanggar ketentuan (penolakan pendaftaran permohonan yang tidak sesuai dengan peraturan) dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian pada Pasal 20 ayat (1) dikatakan bahwa Menteri Keuangan berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit. Upaya ini ditujukan agar para pemegang polis tetap merupakan pemegang hak utama atas pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi yang dilikuidasi. Dalam kasus ini, PT. Asuransi Prisma Indonesia sudah melakukan likuidasi sebelum diajukannya permohonan pailit oleh Menteri Keuangan. Alasan diajukan permohonan pailit oleh PT. Asuransi Prisma Indonesia karena ditakutkan para pemegang polis tidak dijadikan sebagai pemegang hak utama atas dilikuidasinya perusahaan tersebut.

Setelah pembahasan diatas, penulis menyimpulkan dengan tidak adanya peraturan yang jelas mengenai status yang diperoleh perusahaan asuransi tersebut setelah pencabutan izin usahanya apakah masih berstatus sebagai perusahaan asuransi atau berstatus sebagai perusahaan yang bersifat umum, membuat perusahaan tersebut bingung akan keberadaan statusnya sehingga banyak menimbulkan spekulasi atas peraturan- peraturan yang ada.

Kemudian dengan tidak adanya peraturan yang mengatur secara jelas bahwa setelah dicabutnya izin usaha tersebut kepada perusahaan asuransi, apakah perusahaan asuransi tersebut masih bisa mendapatkan izin usahanya kembali dikemudian hari atau tidak. Apabila tidak bisa memperoleh kembali izin tersebut, untuk apalagi perusahaan itu menjadi perusahaan asuransi yang tidak bisa menjalankan kegiatan asuransi. Sedangkan dengan keberadaan PT. Asuransi Prisma Indonesia tersebut dengan jumlah utangnya lebih besar dari kekayaan yang dimilikinya dan dirinya juga sudah gagal dalam mencari investor baru, cukup sulit untuk mendapatkan dana dalam melunasi utang-utangnya. Perusahaan tersebut pun juga sudah tidak bisa melakukan kegiatan usaha asuransinya lagi, sehingga perusahaan tersebut tidak mampu melunasi utang-utang itu selain dengan cara perusahaan tersebut dipailitkan. Namun sekali lagi, pemailitan perusahaan asuransi ini terpentok lagi dengan diharuskannya permohonan pailit yang harus diajukan oleh Menteri Keuangan. Inilah beberapa kendala yang diharapkan dengan peraturan-peraturan baru mendatang mendapatkan suatu kepastian hukum dimana bisa memberikan sisi keadilan bagi seluruh pihak sehingga tidak ada satupun pihak yang merasa dirugikan.

B. Kedudukan Hukum Pihak Tertanggung Jika Terjadi Kepailitan pada Perusahaan Asuransi Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

1. Akibat Hukum yang Timbul jika Perusahaan Asuransi Mengalami Kepailitan

a. Akibat Hukum yang Timbul terhadap Debitur Jika Terjadi Kepailitan dalam Perusahaan Asuransi

Sebagaimana halnya dengan bank dan perusahaan efek, Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

reasuransi, dana pensiun dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik dengan debitur lainnya. Jika debiturnya perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Adanya perlakuan berbeda dari debitur lain karena lembaga ini mengelola dana masyarakat umum. Hal ini juga dilakukan demi untuk melindungi kepentingan masyarakat sehingga tidak semua orang bisa mempailitkan lembaga-lembaga tersebut (Nating Imran, http://solusihukum.com diakses pada tanggal 10 Mei 2012, pukul 14.46 WIB).

Secara umum akibat pernyataan pailit atas suatu perusahaan yang telah berbadan hukum adalah sebagai berikut :

a. Kekayaan debitur pailit yang masuk ke dalam harta pailit merupakan sitaan umum atas harta pihak yang dinyatakan pailit.

b. Kepailitan semata-mata hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri pribadi debitur pailit.

c. Debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailit sejak hari putusan pailit diucapkan.

d. Segala perikatan debitur yang timbul sesudah putusan pailit diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika menguntungkan harta pailit.

e. Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua kreditur dan debitur, sedangkan Hakim Pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan.

f. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh/terhadap kurator.

g. Semua tuntutan atau gugatan yang bertujuan untuk mendapatkan g. Semua tuntutan atau gugatan yang bertujuan untuk mendapatkan

h. Kreditur yang dijamin dengan hak gadai, hak fidusia, hak tanggungan, atau hipotek dapat melaksanakan hak agunannya seolah-olah tidak ada kepailitan.

i. Hak eksekutif kreditur yang dijamin dengan hak-hak di atas serta pihak ketiga, untuk dapat menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator, ditangguhkan maksimum

untuk waktu 90 hari setelah putusan pailit diucapkan (www.lexiniustanonestlex.com, diakses pada Kamis tanggal 10 Mei 2012, pukul 15.17 WIB) .

Kepailitan berakibat hilangnya segala hak debitur untuk mengurus segala harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit (boedel pailit). Perlu diketahui bahwasanya putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitur kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja. Kewenangan debitur itu selanjutnya diambil alih oleh kurator. Ketentuan tersebut berlaku sejak diucapkanya putusan pernyataan pailit. Kepailitan ini meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Sesudah pernyataan pailit tersebut maka segala perikatan yang dibuat debitur dengan pihak ketiga tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan kuntungan bagi harta pailit atau dapat menambah harta pailit. Oleh karena itu gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam Kepailitan berakibat hilangnya segala hak debitur untuk mengurus segala harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit (boedel pailit). Perlu diketahui bahwasanya putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitur kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja. Kewenangan debitur itu selanjutnya diambil alih oleh kurator. Ketentuan tersebut berlaku sejak diucapkanya putusan pernyataan pailit. Kepailitan ini meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Sesudah pernyataan pailit tersebut maka segala perikatan yang dibuat debitur dengan pihak ketiga tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan kuntungan bagi harta pailit atau dapat menambah harta pailit. Oleh karena itu gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam

Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua orang atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan baik atas permohonannya sendiri (debitur) maupun atas permohonan satu orang atau lebih krediturnya. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini bisa menjadi senjata ampuh bagi perusahaan asuransi yang beriktikad buruk untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya dengan alasan tidak mampu membayar utang-utangnya, dan hal ini tentu saja akan merugikan para tertanggung secara keseluruhan. Akan tetapi kekhawatiran itu sesungguhnya terlalu berlebihan karena lembaga hukum kepailitan itu sendiri menurut undang-undang berupaya memberikan keadilan dan kedudukan yang seimbang antara kreditur dan debitur. Hal tersebut dimaklumi bila dua asas tersebut menjadi asas utama pembentukan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Akibat yuridis yang dapat timbul sebagai akibat proses kepailitan bagi debitur dapat digambarkan dalam bagan berikut ini :

Tabel Berlakunya Akibat Hukum dalam Proses Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

No. Jenis Tindakan

Cara Terjadinya

Dasar Hukum

1. Cekal

Demi Hukum

Pasal 96

2. Gijzeling

Harus dimohonkan pada Pengadilan

Harus dimintakan pada Hakim

Demi Hukum

Pasal 56 ayat (1)

5. Sitaan Umum atas Harta Debitur

Demi Hukum

Pasal 1 ayat (1)

Kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit. Pembekuan hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan. Hal ini juga berlaku bagi suami atau istri dari debitur pailit dalam persatuan harta kekayaan.

Kepailitan mempunyai banyak akibat yuridis. Menurut Munir Fuady ada akibat yuridis dari suatu kepailitan atau akibat hukum yang Kepailitan mempunyai banyak akibat yuridis. Menurut Munir Fuady ada akibat yuridis dari suatu kepailitan atau akibat hukum yang

a. Berlaku Demi Hukum