Kondisi Geografis Praja Mangkunegaran

B. Kondisi Geografis Praja Mangkunegaran

1. Wilayah Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegara VII

Wilayah Mangkunegaran terletak di tanah Swapraja, yang dahulu merupakan bagian dari kerajaan Mataram bersama-sama dengan Kasunanan

Surakarta, Kasultanan dan Pakualaman Yogyakarta. 19 Mangkunegaran merupakan sebuah kerajaan kecil yang terletak di Karesidenan Surakarta.Praja

Mangkunegaran menempati wilayah bagian utara dan timur Karesidenan Surakarta. Secara keseluruhan luas wilayah Mangkunegaran adalah kurang lebih 2.815,14 km². Perbandingan luas wilayah dari keempat Swapraja di Jawa Tengah itu dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Tabel II. Perbandingan Luas Wilayah Swapraja

No

Nama Swapraja

Luas Wilayah

1 Kasunanan Surakarta 3.237.50 Km²

2 Kasultanan Yogyakarta 3.049.81 Km²

3 Pura Mangkunegaran 2.815.14 Km²

4 Pura Paku Alaman 122.50 Km²

Sumber: T.H. M. Metz, 1939. “Mangkoe-nagaran: Analyse van een Javaanasch Vorstendom ”.Terjemahan: R. Tg. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1987. “Mangkunegaran:

Analisis Sebuah Kerajaan Di Jawa ”. Mangkunegaran: Reksa Pustaka, halaman 15.

Berdasarkan tabel II di atas, ibukota Mangkunegaran tidak terlalu luas jika dibandingkan dengan Kasunanan Surakarta. Ibukota Mangkunegaran hanya

19 Darsiti Soeratman,1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830 – 1939. Yogyakarta: Taman Siswa. halaman. 1.

seperlima dari Karesidenan Surakarta, sedangkan empat perlimanya merupakan ibukota Kasunanan Surakarta. 20 Di Karesidenan Yogyakarta, sebagian besar

wilayahnya milik Kasultanan Yogyakarta hanya sebuah wilayah kecil yang terletak disebelah barat daya dan sebuah enclave disekitar istananya merupakan

wilayah Paku Alaman. 21 Jika dibandingkan dengan wilayah Paku Alaman, wilayah Mangkunegaran lebih luas. Apabila dilihat dari kesuburan tanahnya, Praja

Mangkunegaran memiliki tingkat kesuburan tanah yang buruk. Wilayah Mangkunegaran meliputi lereng barat dan selatan Gunung Lawu, dan meluas sampai daerah hulu Sungai Bengawan Solo menuju Gunung Kidul. Bagian selatan dari wilayah Mangkunegaran ini membentang pada bagian timur

Gunung Lawu yang tandus hingga Samudra Hindia. 22 Di sebelah barat laut wilayah Praja Mangkunegaran membentang dari dataran rendah Bengawan Solo

sampai pada ujung kaki gunung Merapi dan Merbabu yang keduanya memiliki tanah yang sangat subur.

Istana atau Pura Mangkunegaran dikelilingi oleh bangunan tembok seluas ± 10.000 m², terletak di sebelah barat laut Keraton Surakarta. Di dalamnya terdapat halaman untuk tempat latihan Legiun (pamedan) dan sebuah kompleks yang terdiri dari bangunan yang menarik dan terpelihara dengan baik berupa kantor, pendopo untuk pertemuan umum, dan tempat kediaman Pangeran beserta

20 Darsiti Soeratman, Op.cit., halaman 2.

21 G.D Larson, 1990. Masa Menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942 . Yogyakarta: Gajah Mada University Press. halaman 1.

22 Wasino,1996. “Politik Etis dan Modernisasi Pendidikan di Mangkunegaran (1900- 1945)”. Laporan Penelitian Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Institut Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Semarang. halaman 30.

keluarganya. Di luar kompleks adalah perkampungan dan rumah-rumah pegawai termasuk anggota Legiun. 23

Letak antara keraton Surakarta, Istana Mangkunegaran, rumah Residen, dan kepatihan tidak berjauhan. Benteng Vastenburg dibangun berdekatan dengan keraton dan rumah Residen. Jarak antara Keraton dan Istana Mangkunegaran tidak berjauhan keduanya hanya dibatasi dengan jalan raya Slamet Riyadi (sekarang) dan jalan kereta api pada waktu itu. Praja Mangkunegaran terletak di sebelah utara

jalan kereta api dan Kasunanan Surakarta terletak di sebelah selatannya. 24 Perkembangan suatu wilayah biasanya mencakup unsur-unsur seperti keluasan,

kepadatan, heterogenitas, sosial, pasar, fungsi administratif, sumber kehidupan, dan unsur budaya yang membedakan kelompok sosial yang lain. Karakteristik wilayah dapat dilihat dari komunikasi yang cepat, transportasi yang efisien, persedian fasilitas sanitasi yang memadai, juga tingkat pendidikan dan aktivitas ekonomi yang berjalan baik dan lancar.

Wilayah administrasi merupakan wilayah yang menjadi pusat kegiatan dalam mengatur pemerintahan. Pembagian wilayah administrasi Praja Mangkunegaran mengalami beberapa perubahan, hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam pengelolaan wilayah tersebut untuk kemajuan dan kemakmuran Praja Mangkunegaran. Pada masa pemerintahan Mangkunegoro III perubahan terjadi untuk pertama kalinya, pada tahun 1847 Praja Mangkunegaran dibagi atas tiga daerah Onderregentschap, yaitu: Wonogiri (meliputi Laroh, Hanggabayan, dan Keduwang), Karanganyar (meliputi Sukawati, Matesih, dan

23 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia. halaman 10.

24 Darsiti Soeratman, Op.cit. halaman 3.

Haribaya), dan Malangjiwan. 25 Di tahun 1875, perubahan kembali dilakukan untuk yang kedua kalinya, yaitu dengan penghapusan Onderregentschap

Malangjiwan dan kemudian dibentuk Onderregentschap Baturetno yang wilayahnya meliputi tanah Wiraka dan Sembuyan. Dengan demikian pada masa pemerintahan Mangkunegoro IV, Praja Mangkunegaran dibagi menjadi tiga

wilayah admistrasi yaitu: Wonogiri, Karanganyar, dan Baturetno. 26 Perubahan pembagian wilayah dilakukan lagi pada tahun 1891 masa

pemerintahan Mangkunegoro V. Onderregentschap Baturetno dihapuskan dan wilayahnya digabungkan dengan Onderregentschap Wonogiri. 27 Pada tahun 1903

di bawah pemerintahan Mangkunegoro VI terjadi perubahan wilayah yang keempat kalinya, yaitu dibentuk Onderregentschap Kota Mangkunegaran. Dengan demikian daerah Praja Mangkunegaran terbagi menjadi tiga wilayah administrasi yaitu: Kota Mangkunegaran, Wonogiri, Karanganyar, dan ditambah Enclave

Ngawen. 28 Pada masa awal pemerintahan Mangkunegoro VII wilayah administrasi

Praja Mangkunegaran tetap menjadi tiga wilayah, tetapi di tahun 1929 terjadi perubahan wilayah administrasi lagi yang dilakukan dalam rangka penghematan. Hal itu dilakukan oleh Mangkunegoro VII dikarenakan pada saat itu dampak- dampak krisis ekonomi yang terjadi di seluruh penjuru dunia sudah mulai

25 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. halaman 30

26 Daryadi, 2009, “Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII ”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret

Surakarta. halaman 25.

27 Wasino, 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX) ”. Tesis Universitas Gajah Mada Yogyakarta. halaman 54

28 Daerah Onderregentschap disebut daerah Kabupaten. Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1917 No. 331.

dirasakan oleh Praja Mangkunegaran. Oleh karena itu Mangkunegoro VII menghapus Kabupaten Kota Mangkunegaran, dan wilayahnya dimasukkan ke wilayah Kabupaten Karanganyar. Perubahan itu tidak berlangsung lama, setahun kemudian diadakan perubahan lagi yaitu penghidupan lagi Kabupaten Kota Mangkunegaran. Bekas daerah Kabupaten Karanganyar menjadi daerah

Kabupaten Kota Mangkunegaran. 29 Pada tahun 1930 wilayah administrasi Praja Mangkunegaran menjadi dua

wilayah yaitu: Kabupaten Kota Mangkunegaran (meliputi Kawedanan Kota Mangkunegaran, Kawedanan Karanganyar, Kawedanan Karang Pandan, Kawedanan Jumapolo) dan Kabupaten Wonogiri (meliputi Kawedanan Wonogiri, Kawedanan Jatisrono, Kawedanan Wuryantoro, Kawedanan Baturetno).

Istana Mangkunegaran sebagai pusat bagi berkembangnya Praja. Daerah yang berada diluar istana dalam perkembangannya secara konsentris harus mengikuti seperti yang ada di pusat yaitu istana. Jadi Praja Mangkunegaran merupakan pola dasar dan kerangka acuan bagi wilayah yang berada jauh di luar istana.

2. Struktur Penduduk di Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegara VII

Raffles dalam pemerintahannya (1811-1816), memperhitungkan bahwa penduduk pulau Jawa sebanyak 4,5 juta jiwa. Menurut sensus penduduk sekitar

tahun 1930 pertambahan penduduk pulau Jawa telah berjumlah 40 juta jiwa. 30 Pertumbuhan penduduk tidak semata-mata tergantung pada masalah ekologis dan

29 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. halaman 31.

30 Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka. halaman 97.

alamiah serta perkembangan teknologi saja, terlibat pula faktor-faktor sosial- ekonomi lainnya seperti kesehatan, keamanan, dan sebagainya. Semua ini tentunya terpusat pada masalah perbandingan antara kematian dan kelahiran.

Tabel III. Sensus penduduk wilayah Mangkunegaran (Kota

Mangkunegaran, Wonogiri, Ngawen) tahun 1930

No. Golongan / Etnik Jumlah Penduduk (laki-laki dan perempuan)

1. Golongan Bumi Putera 902.780 jiwa

2. Golongan Eropa 1.270 jiwa

3. Golongan Asia 4.268 jiwa

Jumlah

908.318 jiwa

Sumber: T.H. M. Metz, 1939. “Mangkoe-nagaran: Analyse van een Javaanasch Vorstendom”. Terjemahan: R. Tg. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1987. Mangkunegaran: Reksa Pustaka,

halaman 15.

Pertumbuhan penduduk juga terjadi di daerah Mangkunegaran salah satu daerah Swapraja yang wilayahnya tergolong cukup luas diantara daerah Swapraja lainnya. Berdasarkan sensus tahun 1930 (tabel III), menjelaskan jumlah penduduk

Mangkunegaran secara keseluruhan adalah 908.318 jiwa. 31 Jumlah penduduk tersebut tersebar di seluruh wilayah Praja Mangkunegaran. Awal abad XX,

tercatat Praja Mangkunegaran mempunyai wilayah dari arah utara ke selatan. Bagian tengah merupakan kota lama yang didiami oleh beberapa etnik yang tinggal di wilayah tersebut antara lain etnik Jawa, Arab, Cina, dan Eropa yang

semuanya menempati daerah secara terpisah. 32

31 Wasino.1996. op.cit. halaman 31.

32 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Op.cit.halaman 25.

Perkampungan orang-orang Eropa yang meliputi rumah Residen, kantor- kantor, gereja, gedung pertunjukan, gedung-gedung sekolah, toko-toko dan benteng Vastenburg berkedudukan sebagai pusatnya. Perkampungan orang Eropa atau Belanda di sekitar benteng terletak di daerah Loji Wetan, dengan ditandai bangunan yang berbentuk Loji dan menggunakan batu bata. Istana Mangkunegara terletak di sebelah selatan Kali Pepe. Perkampungan orang-orang Eropa atau Belanda di kota Mangkunegaran didaerah sebelah utara Pamedan dinamakan Villapark. Villapark merupakan kampung Belanda yang didalamnya memiliki perencanaan infrastruktur yang baik, sehingga kampung tersebut mempunyai sarana dan prasarana yang memadai bagi penduduknya.

Perkampungan antar etnik lain dipisahkan berdasarkan diskriminasi ras. Namun pada perkembangan berikutnya kota tidak lagi membagi berdasarkan ras (etnis). Dengan adanya pembangunan perumahan, perbaikan ekonomi, mobilitas sosial masyarakat pribumi, telah menjurus pada pemisahan pemukiman berdasarkan kelas sosial. Daerah etnik diurus oleh orang yang di ambil dari ras yang sama. Penunjukan kampung Pecinan untuk orang-orang Cina yang terletak di sekitar Pasar Gedhe. Demikian pula halnya dengan orang-orang Arab, mereka diberi wilayah di sekitar Pasar Kliwon dengan pengurus seorang Arab dengan pangkat Kapten. Perkampungan untuk penduduk pribumi berpencar diseluruh kota. Selama pemerintahan Kolonial Belanda struktur sosial dari orang-orang Eropa (terutama orang Belanda) merupakan status teratas dalam masyarakat. Orang-orang Indo dan Timur Asing menduduki status menengah, dan orang-orang Pribumi (bangsawan maupun rakyat kebanyakan) merupakan kelas terbawah.

Stuktur sosial ini juga berlaku di seluruh daerah kekuasaan Kolonial Belanda, termasuk daerah Praja Mangkunegaran.

Penduduk Praja Mangkunegaran seperti halnya dengan penduduk Jawa Tengah dan sebagian besar Jawa Timur mayoritas berasal dari suku Jawa, dan beragama Islam hal ini sesuai dengan corak kerajaan yang ada di Jawa yaitu kerajaan Islam. Stratifikasi sosial masyarakat Surakarta secara hierarki terbagi dalam tiga kelompok sosial yaitu:

1. Sentana Dalem , meliputi raja dan keluarga raja.

2. Abdi Dalem , meliputi pegawai dan pejabat kerajaan.

3. 33 Kawula Dalem, meliputi rakyat biasa. Untuk menentukan posisi seseorang berada dalam kelompok sosial

tertentu diperlukan dua kriteria. Pertama, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seorang dengan penguasa. Kedua, posisi seseorang dalam hirarki birokrasi. Seseorang yang mempunyai kriteria-kriteria tersebut dianggap termasuk golongan elit. Mereka yang diluar golongan itu dianggap sebagai rakyat

kebanyakan. 34 Struktur penduduk di wilayah kota Mangkunegaran di bagi menjadi empat golongan dan memiliki peranan masing-masing, yakni: (1) Golongan

Bangsawan (Kasatriyan) terdiri dari Adipati Mangkunegoro, putera, menantu, dan ipar Mangkunegoro, serta Sentana Dalem, (2) Golongan Pegawai Sipil (Narapraja) terdiri dari Patih, para wedana dari berbagai departeman, para mantri dari berbagai kemantren, dan para pegawai rendahan atau priyayi rendahan, (3) Golongan Militer (Wirapraja) berdasarkan atas tingkat kepangkatan seseorang

33 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk. Op.Cit. halaman 28.

34 Ibid.

yaitu opsir dan bawahan. Opsir terdiri dari seseorang yang berpangkat mayor sampai kolonel, dan letnan sampai kapten. Bawahan meliputi sersan sampai ajudan opsir bawah, dan fusiler sampai dengan kopral atau anak buah, dan (4) Rakyat (Kawula) terdiri dari tukang-tukang, buruh industri perkebunan, tukang

cukur, pedagang, dan sebagian besar adalah petani . 35 Struktur penduduk itu juga terdapat di daerah-daerah lain di Praja Mangkunegaran.

C. Lingkungan Fisik Istana Mangkunegaran

Praja Mangkunegaran dibangun pada masa Mangkunegara I, sebagai wujud hasil perjuangannya melawan pemerintah Kompeni Belanda. Pendirian keraton Mangkunegaran merupakan konsep mengenai pusat kekuatan kosmis yang dikelilingi oleh kekuatan makhluk hidup dan unsur alam semesta. Keraton didirikan berdasarkan “pangolahing budi”, yaitu pakarti lahiriyah dan pakarti batiniyah . Pakarti lahiriyah mengandung tuntunan bahwa manusia hidup dalam tingkah laku serta ucapan yang tidak menyimpang dari budi luhur. Pakarti batiniyah yakni dengan cara semedi, meditasi, atau bertapa untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Hasil dari pangolahing budi disebut dengan budaya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa budaya keraton merupakan tuntunan hidup

berdasarkan pangolahing budi. 36 Filsafat politik Jawa menjelaskan bahwa negara paling padat di pusat ibukota dan kekuatan raja memancar sampai ke desa-desa.

Kekuatan itu ada karena seluruh kekuatan menjaga keraton dan kekuatan memberikan perlindungan serta memberi keselamatan pada para penghuninya.

35 Th. M. Metz, op.cit. halaman 17.

36 Daryadi, Op.Cit. halaman 65, lihat juga, Yosodipuro, 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat . Surakarta: Makradata. halaman 2.

Pura Mangkunegaran memiliki dua bangunan, yaitu bangunan utama berupa joglo atau limasan dan bangunan disekelilingnya didirikan berdasarkan arsitektur Belanda. Bangunan kedua digunakan sebagai asrama tentara kavaleri. Bangunan yang ada di Pura Mangkunegaran, antara lain:

1. Pamedan yaitu halaman luas yang berfungsi sebagi tempat latihan militer legiun Mangkunegaran.

2. Reksa Wahana yaitu sebagai tempat menyimpan kereta-kereta dan memelihara kuda, terletak di sebelah kanan pamedan.

3. Pendopo Ageng yang terletak di tengah-tengah bangunan utama dan merupakan tempat pertunjukan kesenian, menyimpan gamelan, dan terutama sebagai tempat jamuan dan upacara-upacara resmi.

4. Pringgitan yang disebut juga sebagai beranda dalem, yang letaknya lebih tinggi dari pendopo. Pringgitan ini berbentuk kutuk ngambang dan sering dipakai untuk pertunjukan wayang, tetapi fungsi utamanya sebagai tempat menerima tamu.

5. Panetan merupakan jalan bagi kereta tamu dan terletak diantara pendopo dengan pringgitan.

6. Dalem Ageng yaitu bangunan yang terletak di sebelah dalam pringgitan, merupakan tempat diadakannya upacara-upacara resmi.

7. Dimpil merupakan tempat pemujaan nenek moyang dan menyimpan pusaka.

8. Bale Warni merupakan tempat tinggal permaisuri dan putri-putrinya.

9. Pracimasana merupakan tempat untuk menerima tamu sehari-hari dan tempat tinggal keluarga Pura Mangkunegaran.

10. Bale Peni merupakan tempat tinggal Mangkunegoro dan menerima tamu

laki-laki.

11. Purwosana yang terletak diseputar bale warni dan bale peni merupakan

tempat tinggal para wanita yang mempunyai hubungan keluarga dengan Mangkunegoro yang sudah memerintah.

12. Panti Putra yaitu tempat tinggal putra-putra yang masih ada hubungan

keluarga dengan Mangkunegoro.

13. Prangwedanan merupakan tempat tinggal putra mahkota calon pengganti

Mangkunegoro yang sedang memerintah. Letaknya diantara perkantoran mandrapura dan panti putra.

14. Mandrapura merupakan perkantoran dimana semua pekerjaan yang berhubungan dengan penataan dan pengaturan administrasi. Letaknya diantara timur dan barat pendopo.

15. Reksa Pustaka yaitu perpustakaan yang terletak di sebelah timur pendopo.

BAB III KABUPATEN KARTI PRAJA MASA MANGKUNEGARA VII

A. Riwayat Hidup Mangkunegara VII

1. Masa Kanak-kanak hingga Dewasa

Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A) Mangkunegara VII yang pada masa kecilnya bernama Bendara Raden Mas (B.R.M) Soeryo Soeparto adalah anak yang ketujuh dan putra yang ketiga dari Mangkunegara V. BRM Soeryo Soeparto dilahirkan dari rahim seorang garwa ampil yang bernama R.R

Poernamaningrum pada tanggal 12 November 1885. 1 Ia dilahirkan didalam lingkungan bangunan Istana Mangkunegaran yang besar dan megah.

Sewaktu kecil perlu diketahui bahwa ketika B.R.M Soeryo Soeparto statusnya sudah diberikan kepada pamannya yaitu adik dari Mangkunegara V

yang bernama R.M. Soenito. 2 RM Soenito ini kemudian menggantikan kedudukan kakaknya menjadi Mangkunegara VI. Pada masa ini Praja Mangkunegaran dapat

dikembangkan mengikuti gaya dan cara yang baru serta pribadi Mangkunegara VI yang tidak meninggalkan pola hidup yang lama. Masa ini pula keadaan Praja mengalami kecerahan sehingga Mangkunegaran tidak hanya dikenal oleh kerabat Mangkunegaran saja melainkan juga banyak dikenal dikalangan masyarakat luas.

1 Bernardial Hilmiyah M.D, 1985. Mengenang BRM. Soerya Soeparto. Surakarta: Rekso Pustoko. halaman 5.

2 Theresia Suharti, 1990 . ”Tari di Mangkunegaran ( Suatu Pengaruh Bentuk dan Gaya Dimensi kultural 1910-1988 )”. Tesis Universitas Gajah Mada Yogyakarta, halaman 35.

Soeparto dibawah asuhan pamannya tumbuh menjadi orang yang rajin, tidak pernah manja, bahkan menunjukan sifat yang mandiri. Hal ini tampak pada penampilannya serta pola hidup sehari-hari yang senantiasa bersahaja dan tidak pernah menunjukkan kesombongan, lebih-lebih yang berkaitan dengan status dirinya sebagai putra seorang Pangeran atau penguasa sebuah pemerintahan. Sepeninggal ayahnya sendiri yaitu Mangkunegara V, muncul keprihatinan dalam dirinya untuk lebih mendorng semangat belajar, sehingga dalam usia 15 tahun

studi Europe Lagere School berhasil dijalani dengan hasil yang menggembirakan. 3 Dengan keberhasilannya itu Soeparto kemudian mengajukan permohonan kepada

pamannya, meminta izin untuk melanjutkan belajar akan tetapi permohonannya tidak dipenuhi pamannya dengan anggapan bahwa seorang Pangeran tidak perlu

berbuat seperti itu. 4 Hal inilah yang menjadi dasar bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai modal kesiapan dalam menghadapi perjuangan hidup. Suatu

masa depan yang yang lebih baik sangat didambakannya daripada suatu kehidupan kehidupan santai dan tak bermakna.

Permohonan Soeparto yang tidak dipenuhi pamannya membuat Soeparto meninggalkan kehidupan Istana dengan maksud untuk mencari pengalaman. Tindakan itu dilakukannya atas rasa tanggung jawab untuk menentukan sendiri jalan hidupnya. Bermula dari sebagai pegawai magang, kemudian dalam waktu

yang tidak begitu lama Soeparto bisa menjadi mantri di Kabupaten Demak 5 ,

3 Ibid. halaman 35.

4 Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa Pustaka. halaman 9.

5 Ringkesan Riwayat Dalem Suwarga Sampeyan Dalem K.G.P.A.A Mangkunegoro VII, 2007. Surakarta: Reksa Pustaka. halaman 1.

dengan usahanya yang keras Soeparto mendapat kesempatan memperdalam ilmu pengetahuan yang ditekuninya secara sungguh-sungguh. Merasakan penderitaan dan pengalaman hidup diluar istana menimbulkan kepekaan terhadap lingkungan sosial yang tentu saja akan mempengaruhi pandangan hidup dan sikapnya dikemudian hari.

Pengalaman bekerja Soeparto berkelanjutan ketika dirinya menjadi pembantu Residen Surakarta, yang pada saat itu sebagai penterjemah dari bahasa

Jawa ke dalam bahasa Belanda. 6 Pekerjaan itu nampaknya memberikan harapan akan kehidupan masa depan yang lebih baik serta lebih banyak mengetahui dan

mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi pada bangsanya. Soeparto adalah orang yang tak dapat berpangku tangan, ia masih sempat memberi perhatian terhadap kesadaran rakyat yaitu dengan jalan membantu dan mendukung Boedi Oetomo cabang Solo (Jawa Tengah) dalam wujud propaganda yang dituangkannya dalam harian berbahasa Jawa Darma Kandha, bahkan Soeparto pernah menjadi ketua pengurus Boedi Oetomo pusat sehingga ia dikenal

sebagai propagandis yang rajin, bermutu dan patut dipuji. 7 Berkat ketekunannya, Soeparto bisa mendapatkan kesempatan untuk

melanjutkan kesempatan pendidikan ke Universitas Leiden di negeri Belanda dengan maksud untuk menambah pengalaman serta memperluas pandangan- pandangan dengan mengikuti kuliah bidang Sastra Timur. Soeparto juga mengikuti latihan kemiliteran sebagai pasukan cadangan. Ketekunannya dalam melaksanakan tugas serta menunjukkan kerajinan selama pendidikan maka dalam

6 Theresia Suharti, op. cit., halaman 37.

7 Bernardial Hilmiyah M.D, op. cit., halaman 20.

waktu beberapa bulan saja Soeryo Soeparto sudah mendapatkan pangkat Letnan Dua. 8 Sekembalinya dari negeri Belanda, Soeparto tidak lagi bekerja sebagai

penterjemah pribumi, melainkan diberi kedudukan yang mempunyai nilai tanggung jawab tinggi yaitu sebagai ajudan kontelir untuk urusan agraria dibawah

naungan Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918). 9 Soeparto tetap selalu menunjukkan sifat kesederhanaan dalam hidupnya. Kehidupannya memberi kesan

bersahaja dan menunjukkan kemauan yang keras dalam bekerja. Beliau bersungguh-sungguh memikirkan pekerjaan demi kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri dan kehidupan seperti ini sangat berbeda sekali dengan kehidupan didalam istana yang bersifat mewah, enak, santai, dan sebagainya.

2. Sekilas Masa Pemerintahan Mangkunegara VII

Pada tahun 1916 ketika Soeryo Soeparto berusia 31 tahun diangkat sebagai Pangeran Adipati Arya Prabu Prangwedana VII di Istana Mangkunegaran Surakarta. Jabatan Prangwedana merupakan jabatan sebagai calon pemimpin pemerintahan istana Mangkunegaran yang biasa dipakai sebelum menggunakan sebutan Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A) Mangkunegara VII

karena usia untuk memegang jabatan itu beliau harus berusia 40 tahun. 10 Sejak Mangkunegara VII bertahta yang perlu diperhatikan diperhatkan bahwa pada

waktu itu penguasa sebelumnya, Mangkunegara VI belum wafat. Hal ini perlu

8 Ibid, halaman 19.

9 G.D. Larson, 1990. Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942 . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. halaman 92.

10 G.P. Rouffaer, Vorstenlanden. Terjemahan R. Tg. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1979. Swapraja. Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran. halaman 24 10 G.P. Rouffaer, Vorstenlanden. Terjemahan R. Tg. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1979. Swapraja. Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran. halaman 24

tentram di Surabaya. 11 Naiknya tahta menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya

Mangkunegara VII tampaknya menjadi suatu kenyataan dari harapan teman- teman dekatnya waktu beliau masih menyandang nama Soeryo Soeparto. Salah satu bukti dari kenyataan itu adalah bahwa dirinya banyak disebut sebagai raja Jawa yang modern, demokratis, berpendirian kuat, serta suka berbuat untuk rakyat. Pendirian yang kuat pada kenyataannya memang sudah dilatihnya melalui beberapa pengalaman dalam perjalanan hidupnya sehingga bisa membentuk kepribadian yang kuat. Mangkunegara VII selama hidupnya dan selama menjadi raja senantiasa bertindak sesuai dengan semboyan mengabdi, sehingga menjadi contoh yang nyata bagi seluruh rakyatnya dan bagi siapa saja yang mengenalnya.

Setelah penobatannya, wakil pemerintah Belanda menekankan kepada Mangkunegara VII untuk memperhatikan dan memperbaiki nasib petani atau rakyat kecil, hal ini karena keadaan kehidupan rakyat kecil pada zamannya sangat

memprihatinkan. 12 Mangkunegara VII dengan kecermelangan pemikirannya maupun kebesaran hatinya diharapkan mampu melakukan tindakan-tindakan yang

bijaksana. Mangkunegara VII tidak saja memperhatikan nasib orang kecil tetapi juga kemakmuran rakyat pada umumnya yang merupakan dasar yang nyata untuk dapat membuat hidup senang bersama-sama dengan golongan-golongan rakyat yang lebih tinggi tingkatannya.

11 Bernardial Hilmiyah M.D, op. cit., halaman 28.

12 A.K. Pringgodigdo, 1987, Sejarah Perusahaan-perusahaan Kerajaan Mangkunegaran, Surakarta: Reksa Poestaka Mangkunegaran. halaman 286.

Pada tanggal 6 September 1920, Mangkunegoro VII menikah dengan putri Hamengkubuwono VII, yang bernama Gusti Kangjeng Ratu Timur. 13

Perkawinan ini dilakukan sebagai gagasan untuk memulihkan keretakan historis dan membawa dampak positif serta memperkuat stabilitas politik antara kedua Swapraja yang dimulai sejak perselisihan antara Mangkubumi (Kasultanan Yogyakarta) dan R.M Said (Pura Mangkunegaran).

Selama pemerintahan Mangkunegara VII selalu menunjukkan hal-hal yang positif dan melakukan kewajiban dengan penuh dedikasi. Dalam memerintah Praja, dianggapnya sebagai tugas yang luhur dengan harus mengerahkan semua pengetahuan dan ketrampilan. Soeryo Soeparto mempunyai pandangan mensejahterakan Praja merupakan tugas suci karena tidak saja menyangkut kesejahteraan jasmani melainkan juga kesejahteraan rohani serta kesejahteraan moral. Beliau merasa pemerintahannya harus dapat dipertanggungjawabkan pada Tuhan Yang Maha Esa. Ketika di masa pemerintahnnya terjadi adanya perubahan sosial politik dan sosial budaya di Hindia Belanda bahkan di Praja Mangkunegaran, beliau bertindak dan selalu berfikir secara bijak terhadap apa yang akan dilakukannya. Perubahan sosial politik menyangkut kebijaksanaan negeri Belanda terhadap daerah jajahan, munculnya organisasi-organisasi kebangsaan dan sikap Sunan terhadap keberadaan Mangkunegaran. Selain itu, perubahan sosial budaya ditandai dengan semakin meresapnya faham dan

gagasan-gagasan barat dalam masyarakat Jawa. 14

13 Ringkasan Riwayat Dalem Suwarga Sampeyan Dalem K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII, op.cit . halaman 4.

14 Wasino, 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX) ”. Tesis Universitas Gajah Mada Yogyakarta. halaman 95.

Hubungan Mangkunegara VII dengan pemerintah Hindia Belanda bersifat kooperatif, dengan hubungan yang baik itulah dapat membantu dan mempermudah pelaksanaan pembaharuan-pembaharuan di dalam Praja dengan tujuan mensejahterakan rakyatnya. Tampak jelas bahwa di dalam dirinya berjiwa kerakyatan dan terbukti Mangkunegara VII telah mempelajari, merasakan kehidupan rakyat jelata dalam masa pengembaraannya.

Kesejahteraan penduduk Praja Mangkunegaran mendapat perhatian penuh dari Mangkunegara VII yaitu dengan cara memajukan negara, meningkatkan derajat bangsa, dan meningkatkan taraf hidup rakyat kecil. Pada masa pemerintahnnya diadakan pengeluaran untuk pembaharuan membangun jembatan, jalan, bangunan irigasi, memberantas penyakit pes, mendirikan rumah pegawai, mengadakan perbaikan peternakan, pembangunan proyek air minum untuk ibukota, pendirian sekolah-sekolah dan penyelenggaraan kursus pertanian, perluasan perpustakaan kerajaan dan sebagainya. Setiap tahun pada hari peringatan pelantikannya beliau mengumpulkan anggota keluarganya, pegawai, perwira, dan tamu dari kalangan rakyat dan memberikan wejangan kepada mereka sambil menguraikan rencana kerja untuk mengadakan perbaikan lanjutan pada

tahun selanjutnya. 15 Mangkunegara VII lebih memusatkan perhatian pada beberapa hal seperi pembangunan jalan-jalan baru dan jembatan, membuka tanah

dan daerah-daerah yang masih terpencil agar ikut serta dalam lalu lintas ekonomi. Mangkunegoro VII menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan keuangan Praja. Pemerintah Praja menyerahkan segala pembaharuan

15 G.D. Larson, op.cit., halaman 102.

dalam bidang pembangunan jalan, jembatan dan sarana umum lainnya kepada Kabupaten Karti Praja (Dinas Pekerjaan Umum), meskipun dalam perkembangannya dinas ini pada tahun 1934 dilakukan penggabungan dengan dinas lainnya (dinas irigasi atau kabupaten Sindumarta) dengan tujuan penghematan anggaran akibat dari terjadinya krisis ekonomi dunia. Pada masa pemerintahannya, Mangkunegara VII melakukan pembaharuan meliputi segala bidang dan tidak lupa dirinya juga melakukan pembaharuan di bidang Birokrasi Pemerintahan. Pembaharuan-pembaharuan ini dilakukannya hanya karena Mangkunegara VII menginginkan seluruh rakyat Praja Mangkunegaran bisa menikmati modernisasi yang dilakukan.

B. Perkembangan Kabupaten Karti Praja

Struktur organisasi atau birokrasi merupakan sistem untuk mengatur jalannya pemerintahan dengan salah satu ciri adanya hierarki jabatan antara atasan dan bawahan yang diatur dalam undang-undang. Pembentukan struktur organisasi atau birokrasi merupakan sistem untuk melaksanakan keputusan dan kebijakan. Struktur birokrasi di Praja Mangkunegaran terdiri atas birokrasi yang berdasarkan pangkat (kekuasaan) dan birokrasi yang bedasarkan jabatan (lembaga). Bentuk birokrasi tersebut mempunyai unsur-unsur yang berakar pada budaya politik kejawen yang diwarnai dengan sifat-sifat yang masih tradisional. Hubungan atasan dan bawahan bersifat paternalistik yang dikenal dengan patron dan klien, hubungan antara pejabat dengan rakyat yang dipimpinnya. Patron adalah gusti dan klien adalah kawula. Penggolongan tersebut didasarkan dari segi pertuanan dan penghambaan dari kawula terhadap gusti dan tidak didasarkan pada segi ekonomis Struktur organisasi atau birokrasi merupakan sistem untuk mengatur jalannya pemerintahan dengan salah satu ciri adanya hierarki jabatan antara atasan dan bawahan yang diatur dalam undang-undang. Pembentukan struktur organisasi atau birokrasi merupakan sistem untuk melaksanakan keputusan dan kebijakan. Struktur birokrasi di Praja Mangkunegaran terdiri atas birokrasi yang berdasarkan pangkat (kekuasaan) dan birokrasi yang bedasarkan jabatan (lembaga). Bentuk birokrasi tersebut mempunyai unsur-unsur yang berakar pada budaya politik kejawen yang diwarnai dengan sifat-sifat yang masih tradisional. Hubungan atasan dan bawahan bersifat paternalistik yang dikenal dengan patron dan klien, hubungan antara pejabat dengan rakyat yang dipimpinnya. Patron adalah gusti dan klien adalah kawula. Penggolongan tersebut didasarkan dari segi pertuanan dan penghambaan dari kawula terhadap gusti dan tidak didasarkan pada segi ekonomis

1. Struktur Jabatan dalam Pemerintahan Praja Mangkunegaran

a. 16 Birokrasi berdasarkan Pangkat (Kekuasaan) Birokrasi di Praja Mangkunegaran berdasar pangkat atau kekuasaan merupakan susunan kepangkatan mulai pangkat tertinggi sampai terendah dari kekuasaan yang dipegangnya.

Bagan I. Struktur Birokrasi Berdasarkan Pangkat Adipati

(Kepala Trah Mangkunegaran)

Bupati Patih

16 Serat Wewatoning Para Abdi dalem ageng Alit Ing Nagari Jawi, tanpa tahun, Surakarta: Reksa Puataka Mangkunegaran. Lihat juga, Hari Nur Prasinta, 2009, “Kabupaten

Martanimpoena Di Praja Mangkunegaran Tahun 1942- 1947”. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta, halaman 41.

1). Adipati (Kepala Trah Mangkunegaran) Jabatan ini merupakan jabatan penguasa Praja dan menduduki puncak hierarki dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A).

2). Bupati Patih Jabatan Patih di Mangkunegaran dipegang oleh seorang Bupati yang langsung dibawah dan diangkat oleh Adipati Mangkunegaran. Bupati Patih merupakan pelaksana pertama perintah dari penguasa atau Adipati.

3). Bupati Bupati adalah jabatan yang menguasai Kadipaten. Kedudukannya di bawah kontrol penguasa Bupati Patih Mangkunegaran. 4). Wedana Wedana bertugas melaksanakan perintah dari Bupati secara operasional. Kawedanan merupakan wilayah kekuasaannya. 5). Kaliwon Kaliwon mempunyai tugas meneruskan perintah dari wedana kepada pejabat dibawahnya. Kedudukan Kaliwon dibawah wedana dan diangkat langsung oleh bupati.

6). Panewu Panewu adalah jabatan dibawah kaliwon dan harus bertanggung

jawab kepada jabatan diatasnya. Wilayahnya disebut Kapanewon. 7). Mantri Mantri mempunyai tugas menyampaikan perintah dari Panewu kepada pejabat dibawahnya.

8). Lurah Lurah bertugas menerima perintah dari Kadipaten yang diterima dari mantri untuk diteruskan kepada pejabat dibawahnya. Di Praja Mangkunegaran pangkat lurah dijabat oleh Demang dan Rangga. Demang mempunyai tugas mengurusi pekerjaan di tingkat desa bawahannya. Rangga mempunyai tanggung jawab pada baik buruknya wilayah bawahannya.

9). Bekel Bekel bertugas sebagai penerus perintah dari Lurah kepada pejabat di bawahnya dan bekel bertanggung jawab pada pelaksanaan tugas-tugas di desa.

10). Jajar Jajar adalah jabatan paling rendah dalam birokrasi dan pelaksana perintah dari jabatan di atasnya yaitu dari Bekel.

Para pegawai tersebut ada yang bertempat di dalam kota Mangkunegaran dan pegawai lainnya ada yang berada di daerah atau desa. Adipati dan Bupati patih bertempat di dalam istana. Bupati ditempatkan di Kabupaten, sedangkan yang lainnya seperti Wedana, Kaliwon, Mantri, Lurah, Bekel, dan Jajar berada di daerah-daerah atau kelurahan, mereka merupakan pegawai yang tugasnya berdekatan dengan rakyat.

b. 17 Birokrasi Berdasarkan Jabatan (lembaga) Birokrasi berdasarkan jabatan (lembaga) adalah susunan jabatan dalam pemerintahan Praja Mangkunegaran dan susunan dinas-dinas perkantoran di Praja Mangkunegaran. Pada masa Mangkunegara VII dilakukan pembaharuan- pembaharuan dalam organisasi pemerintahan yang dimuat dalam Rijksblad no.37 tahun 1917 kemudian disusul dengan Rijksblad no.10 tahun 1923. Di dalam Rijksblad dengan kedua Pranatan itu telah terjadi perubahan dalam struktur birokrasi dan jabatan-jabatan yang ada di dalamnya. Perubahan-perubahan itu antara lain: Pertama, pembagian birokrasi reh jaba dan reh jero pada struktur birokrasi dari masa pemerintahan Mangkunegoro IV dihapuskan. Kedua, beberapa jabatan yang semula bernama Kawedanan yang dipimpin oleh seorang wedana kini diubah menjadi Kabupaten yang dipimpin seorang Bupati. Jabatan-jabatan yang diubah meliputi Kawedanan Hamong Praja diubah menjadi Kabupaten Hamong Praja, Kawedanan Mandrapura diubah menjadi Kabupaten Mandrapura, Kawedanan Karti Praja diubah menjadi Kabupaten Karti Praja, Kawedanan Yogiswara diubah menjadi Kabupaten Yogiswara. Naiknya jabatan wedana menjadi bupati membawa konsekuensi naiknya jabatan-jabatan dibawahnya, serta pembentukan jabatan-jabatan baru pada tingkat yang paling bawah. Jabatan yang dulunya hanya kapenewon meningkat menjadi kawedanan, jabatan mantri tingkat

I menjadi penewu, dan seterusnya. 18 Ketiga , adanya penghapusan beberapa Kawedanan lama yang diganti

dengan jabatan-jabatan baru yang fungsinya mirip. Kawedanan yang dihapus

17 Honggopati Tjitrohoepojo, 1930, Serat Najakatama, Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran, halaman 58-61 dan Wasino, op.cit. hal 11

18 Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1923 No. 10.

yakni: Reksa Praja, Reksa Wibowo, Mandrapura, Martapraja dan Purabaksana. Keempat, jabatan-jabatan baru dibentuk sesuai dengan kebutuhan Praja Mangunegaran yang telah mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan masyarakat. Jabatan-jabatan baru itu yakni: Kabupaten Pangreh Praja, Parimpuna, Sindumarto, Wanamarta, Kawedanan Sinatriyo, Paprentahan Pajeg Siti,

Martanimpuna, dan Pasianoan Dusun. 19 Adapun struktur birokrasi berdasarkan jabatan di Praja Mangkunegaran

dan tugas-tugasnya yang telah mengalami pembaharuan pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII adalah sebagai berikut: 1). Kabupaten Hamong Praja (Pemerintahan Pusat)

Dinas ini dibawah pejabat Bupati Patih. Kedudukan dinas ini sebagai pemerintah pusat yang mengawasi segala kegiatan praja. 2). Kabupaten Pangreh Praja (Pemerintah Dalam Negeri)

Dinas ini dibawah pejabat Bupati pangreh Praja yang mengurusi kepangreh-prajaan dan kepolisian. 3). Kabupaten Mandrapura (Dinas Istana)

Dibawah pejabat Kaliwon, yang berugas menangani segala masalah didalam istana.

4). Kabupaten Parimpoena (Dinas Pasar)

19 Wasino, op.cit. halaman 113-114.

Dinas ini di bawah pejabat seorang Kaliwon, yang tugasnya menangani masalah pasar. Didirikan tahun 1917, dinas ini pembentukannya berada dibawah Kabupaten Marta Praja sejajar dengan Kabupaten Martanimpoena. 5). Kabupaten Karti Praja (Dinas Pekerjaan Umum)

Dinas ini dikepalai oleh orang Belanda berpangkat Direktur, dengan tugasnya mengurusi bidang pekerjaan umum atau sebagai pelaksana pembangunan di Praja Mangkunegaran. 6). Kabupaten Sindumarta (Dinas Irigasi Mangkunegaran)

Dinas ini dipimpin seorang inspektur dengan pangkat chef yang tugasnya mengurusi bidang pengairan di Praja Mangkunegaran 7). Kabupaten Wanamarta (Dinas Kehutanan Mangkunegaran)

Dinas ini dikepalai oleh orang Belanda berpangkat Opperhoutvester (kepala hutan) yang tugasnya mengurusi masalah hutan dan seorang pegawai yang bertugas sebagai pengawas (controleur). 8). Kabupaten Jogiswara (Keagamaan)

Dinas ini dikepalai seorang Wedana (pegulu), yang tugasnya mengurusi bidang keagamaan. 9). Kabupaten Kartahusada (Perusahaan Mangkunegaran)

Dinas ini dikepalai oleh orang Belanda berpangkat superintendent yang mempunyai tugas mengurusi perusahaan milik Praja Mangkunegaran. 10). Kabupaten Sinatriya

Dinas ini dibawahi seorang Wedana yang bertugas mengurusi putra sentana. 11). Pemerintahan Bidang pertanahan

Dikepalai seorang Kaliwon yang tugasnya mengatur masalah tanah.

12). Pemerintahan Kedokteran

Dikepalai seorang Dokter dengan sebutan Arts, yang bertugas menjaga kesehatan bagi para putra maupun para narapraja. 13). Pemerintah Martanimpoena

Dinas ini dikepalai serang Kaliwon yang bertugas memeriksa dan meningkatkan pemasukan uang Praja. 14). Pemerintah Legiun

Dinas ini dikepalai seirang Letnan Kolonel kebangsaaan Belanda yang bertugas mengurusi bidang keprajuritan. 15). Paprentahan Pasinaoan Dusun

Dikepalai seorang pejabat utusan Gupremen sebagai pengawas sekolah yang tugasnya mengatur dan memajukan sekolah-sekolah desa.

2. Struktur Organisasi Kabupaten Karti Praja

a. Pendirian Praja Mangkunegaran sebagai daerah swapraja yang mempunyai kewenangan untuk mengurus sendiri administrasi pemerintahannya diluar bidang hukum dan kepolisian maka di daerah ini tidak terdapat Departemen Pekerjaan Umum pemerintah Hindia Belanda ( Departemen van Burgerlijke Openbare Werken/BOW ) sebagai departemen teknis pemerintah bagian pengairan dan sipil pekerjaan umum.

Pemerintah Praja Mangkunegaran mempunyai departemen atau dinas pekerjaan umum Karti Praja. Karti berarti pekerjaan, Praja berarti negara. Dinas

pekerjaan umum Karti Praja mempunyai tugas untuk mengelola dan membangun proyek pekerjaan berkaitan dengan sarana irigasi, jembatan, jalan, bangunan pasar, dan taman di seluruh wilayah Praja terutama di negara atau ibukota Mangkunegaran dan daerah-daerah sekitarnya. Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran sudah ada sejak masa pemerintahan Mangkunegara IV, yang pada mulanya bernama Kawedanan Karti Praja yang mempunyai tugas mengadakan perbaikan di dalam kota dan di luar kota. Akan tetapi, Kawedanan ini terjadi perubahan nama menjadi Kabupaten Karti Praja. Hal ini berkaitan dengan perubahan pada tahun 1917 yaitu status kawedanan-kawedanan yang merupakan lembaga-lembaga pemerintahan yang penting milik Mangkunegaran menjadi bentuk kabupaten atau dinas. Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran yang disebut Kabupaten ini khusus menangani dan melakukan pekerjaan dibidang sarana-sarana umum di Praja Mangkunegaran.

b. Peralihan Organisasi Kabupaten Karti Praja Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran atau Kabupaten Karti Praja telah melakukan berbagai pembangunan yang digunakan untuk kepentingan umum. Pada masa Mangkunegoro VII, dinas ini telah banyak mengerjakan beberapa fasilitas-fasilitas umum yang bermanfaat bagi rakyat Mangkunegaran. Menurut perkembangannya, mulai tahun 1934 terjadi penggabungan antara Dinas Irigasi (Kabupaten Sindumarta) dengan Dinas Pekerjaan Umum (Kabupaten Karti Praja ) menjadi sebuah lembaga pemerintahan baru yang disebut Kabupaten

Sindupraja 20 (Rijkswaterstaat). Penggabungan ini ada kaitanya dengan makin

20 Muzaini , 1996. “Pembangunan Irigasi Di Praja Mangkunegaran (1916-1942)” Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. halaman 65.

menipisnya keuangan Praja sebagai akibat krisis ekonomi dunia yang sangat memukul dari sektor perkebunan pada fluktuasi harga komoditi di pasar dunia dan mempengaruhi sumber pendapatan Praja yang pada waktu sebelumnya merupakan keuntungan dari operasi perkebunan milik Praja Mangkunegaran.

Pemerintah Praja Mangkunegaran lebih bersikap realistis terhadap kondisi yang seperti itu, dengan mengurangi pembangunan-pembangunan yang berskala besar sehingga pemerintah Praja mampu melakukan penghematan anggaran dari penggabungan kedua dinas tersebut. Mulai saat itu Praja Mangkunegaran lebih banyak melakukan kegiatan pemeliharaan dan pemanfaatan jika dibandingkan dengan mengadakan proyek pembangunan baru.

Kabupaten Sindupraja mempunyai beberapa tugas yang berkaitan dengan urusan pekerjaan umum dan irigasi. Tugas-tugas itu sebagai berikut:

1. Pekerjaan pembangunan dan pemeliharaan dan pelurusan jalan, jembatan, dan pembelian material yang digunakan.

2. Assainering atau perbaikan di bidang kesehatan umum, baik di ibukota atau di daerah-daerah lainnya.

3. Irigasi (pengairan) yang meliputi sawah-sawah dan pengeringan tanah dalam arti urusan pembuangan airnya dan penanggulangan banjir, terutama di kota Mangkunegaran.

4. Pembangunan dan pemeliharaan gedung-gedung pemerintah.

5. Pemadam kebakaran.

6. Penerangan untuk jalan-jalan di kota dan perkampungan.

7. Pemasangan air leiding atau air minum di Wonogiri, Jatisrono, dan Tawangmangu.

8. Perikanan.

9. 21 Urusan lain-lain.

c. Struktur Pegawai Kabupaten Sindupraja Struktur kepegawaian Kabupaten Sindupraja disesuaikan dengan tugas- tugas yang harus dilaksanakan. Proses pengangkatan dan penggajian, para pegawai diangkat dan diberhentikan oleh pihak pemerintah Praja. Para pegawai dan petugas di dalam kantor dinas pemerintahan ini dikelompokkan sesuai dengan tugasnya masing-masing. Mereka ditempatkan berada di kantor pusat yaitu Kota Mangkunegaran dan ada yang bertugas di kantor daerah yaitu di wilayah Wonogiri dan Karanganyar.

Bagan II. Struktur Pegawai Kabupaten Sindupraja

21 Th. M. Metz, 1939. op.cit., halaman 56.

Direktur Sindupraja

Teknisi Pegawai Urusan Pembukunan

Pengawas Dinas Umum

Urusan Pembukuan Pusat

Urusan Pembukuan Daerah

1 Orang Pembantu Pengawas Pekerjaan

1 Orang Pegawai

Pembukuan

2 Orang Juru Tulis

1 Orang Mantri Juru Borong

1 Orang Mantri Pembukuan

3 Orang Pembantu Juru Tulis

2 Orang Juru Borong-Juru Gambar

2 Orang Juru Ketik

2 Orang Juru Borong

4 Orang Juru Tulis

Petugas Keamanan

Penjaga Malam

Sumber: Uitgewerkte en Toelichtende Staat der Begrooting van Uitgaven en Ontvangsten van het Mangkoenagorosche Rijk voor het Dienstjaar 1934. Mangkunegaran: Reksa Pustaka, halaman 246- 248. Lihat juga Muzaini, 1996. “Pembangunan Irigasi di Praja Mangkunegaran (1916-1942)” Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. halaman 66-68.

Berdasarkan bagan I di atas, di kantor pusat terdapat Direktur Sindupraja atau Rijkswaterstats. Pegawai ini mempunyai tugas melakukan koordinasi dalam urusan pekerjaan umum dan irigasi. Dibawah Direktur Sindupraja terdapat pegawai dan beberapa petugas antara lain: (1) Para Teknisi yang bertugas

melakukan perencanaan dan pembangunan proyek-proyek pekerjaan umum dan irigasi. Selain juga juga terdapat pegawai yaitu seorang Pengawas Dinas Umum, seorang Pembantu Pengawas Pekerjaan, seorang Mantri Juru Borong, 2 orang Juru Borong-Juru Gambar , dan 2 orang Juru Borong. Para pegawai ini banyak melakukan persiapan-persiapan pembangunan proyek-proyek pekerjaan umum dan pada tahun-tahun itu persiapan untuk proyek-proyek irigasi hanya sedikit sekali jumlahnya. (2) Para pegawai dan petugas urusan pembukuan, dibagi dua kelompok kerja yaitu urusan pembukuan pusat dan urusan pembukuan daerah. Petugas di kantor pusat terdapat seorang Pegawai Pembukuan, sorang Mantri Pembukuan, 2 orang Juru Ketik , dan 4 orang Juru Tulis. Di samping itu, di kantor pusat terdapat seorang Petugas Keamanan dan seorang Penjaga Malam. Adapun para pegawai dan petugas urusan pembukuan di kantor daerah adalah 2 orang Juru Tulis, dan 3 orang Pembantu Juru Tulis.

Bagan III. Struktur Pegawai kantor Kabupaten Sindupraja Daerah Wonogiri

Kepala Bagian

Kepala Seksi

3 Orang Pembantu Pengawas

1 Orang Juru Borong-Juru

Urusan Pembukuan

Gambar

Daerah

1 Orang Mantri Pengairan

5 Orang Mandor Kepala

Urusan Pengelolaan dan Pemeliharaan

23 Orang Mandor

Sumber: Uitgewerkte en Toelichtende Staat der Begrooting van Uitgaven en Ontvangsten van

het Mangkoenagorosche Rijk voor het Dienstjaar 1934. Mangkunegaran: Reksa Pustaka, halaman 246-248. Lihat juga Muzaini, 199 6. “Pembangunan Irigasi di Praja Mangkunegaran (1916-1942)”

Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. halaman 66-68.

Para pegawai Kabupaten Sindupraja dikelompokkan sesuai dengan tugas di kantornya. Kantor daerah Wonogiri juga terdapat para pegawai dan petugas untuk Kabupaten Sindupraja yang mengurusi pekerjaan umum dan irigasi. Berbeda dengan yang terdapat di Kota Mangkunegaran atau pusat para pegawai dan petugas hanya menangani urusan pekerjaan umum. Berdasarkan bagan II, susunan pegawai daerah Wonogiri terdapat seorang Kepala Bagian Pegawas Wonogiri , dan Kepala Seksi Pengawas Wonogiri. Pegawai tersebut bertugas melakukan koordinasi dalam urusan pekerjaan umum dan irigasi. Pegawai kepala Para pegawai Kabupaten Sindupraja dikelompokkan sesuai dengan tugas di kantornya. Kantor daerah Wonogiri juga terdapat para pegawai dan petugas untuk Kabupaten Sindupraja yang mengurusi pekerjaan umum dan irigasi. Berbeda dengan yang terdapat di Kota Mangkunegaran atau pusat para pegawai dan petugas hanya menangani urusan pekerjaan umum. Berdasarkan bagan II, susunan pegawai daerah Wonogiri terdapat seorang Kepala Bagian Pegawas Wonogiri , dan Kepala Seksi Pengawas Wonogiri. Pegawai tersebut bertugas melakukan koordinasi dalam urusan pekerjaan umum dan irigasi. Pegawai kepala

BAB IV PERANAN KABUPATEN KARTI PRAJA BAGI PERKEMBANGAN PRAJA MANGKUNEGARAN

Setelah Mangkunegara VII berhasil menduduki kursi penguasa dan berhasil melakukan pembenahan birokrasi pemerintahan dan pengelolaan keuangan Praja, kondisi pemerintahan Praja menjadi lebih baik. Kondisi yang demikian membuat pemerintah Praja Mangkunegaran berusaha untuk melakukan pembangunan-pembangunan dalam bidang lainnya di luar sektor pemerintahan. Adapun pembangunan-pembangunan itu dilaksanakan antara lain pembangunan dalam bidang infrastruktur, pembangunan bidang sosial, pembangunan bidang kesehatan, dan pembangunan dalam bidang ekonomi. Pelaksanaan pembangunan dibeberapa bidang tersebut pelaksanaannya diatur oleh Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran.

Praja Mangkunegaran telah berusaha sendiri dalam mengadakan pembaharuan dan pembangunan di wilayahnya, namun para penguasa Mangkunegaran masih terikat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sehubungan hal itu, banyak pembangunan yang dilaksanakan di Praja Mangkunegaran masih mendapat bantuan atau bimbingan dari Pemerintah Kolonial. Hal semacam ini sejalan dengan strategi politik dari pengageng Mangkunegaran yang memilih jalan menganut politik dekat dengan Belanda yang tujuannya untuk kelangsungan kerajaannya. Terbukti dengan strategi itu Praja Mangkunegaran mampu bertahan sampai runtuhnya Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.

A. Pembangunan Bidang Infrastruktur

1. Pembangunan Jalan dan Jembatan

Pembangunan sarana dan infrastruktur menjadi langkah awal Mangkunegara VII melaksanakan kebijakan pembangunan dengan menambah sarana perhubungan yang berupa pembangunan jalan dan jembatan. Pembangunan ini dilakukan karena Praja Mangkunegaran jika ditinjau dari segi teknik lalu lintas terletak pada kondisi yang kurang baik dengan ibukotanya menjadi salah satu titik persilangan jalur-jalur kereta api terpenting di pulau Jawa. Jalur kereta api SS ( Staats Spoorwegen ) dari Jakarta, Bandung ke Surabaya lewat Yogyakarta dan Surakarta, dan NIS ( Nederlandsch Indische Spoorweg ) dari Semarang ke

Yogyakarta melalui Surakarta. 1 Keadaan lalu lintas yang kurang menguntungkan, mengharuskan Praja untuk memusatkan perhatiannya pada pembaharuan jaringan

jalan raya dengan maksud membuka daerah demi kelancaran lalu lintas, karena dengan lalu lintas yang lancar membawa proses pembangunan di Praja Mangkunegaran menjadi lebih cepat. Pelaksanaan pembangunan jalan dan jembatan oleh pemerintahan Praja diserahkan seluruhnya kepada Kabupaten Karti Praja (Dinas Pekerjaan Umum Kerajaan).

Pada tradisi pemerintahan sebelum masa Mangkunegara VII, raja kurang memperhatikan kesejahteraan dan kepentingan umum seperti pembangunan jalan. Jalan-jalan dibuat dan dikerjakan hanya ala kadarnya dengan pemanfaatan tenaga kerja rodi. Masa Mangkunegara IV sekalipun kondisi ekonomi Praja mengalami surplus, kebijakan raja lebih mengalokasikannya untuk kepentingan istana.

1 Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa Pustaka. halaman 68.

Bersamaan dengan munculnya Politik Etis pada awal abad XX mengharuskan pemerintah Praja Mangkunegaran memperhatikan kepentingan rakyatnya. Pada tahun 1912 pemeliharaan jalan dari Nambangan-Wonogiri-Kakap sampai perbatasan Pacitan yang semula pengerjaannya menggunakan tenaga rodi diganti dengan tenaga bayaran. Setelah Praja Mangkunegaran mempunyai dana yang cukup, kemudian melakukan perbaikan dan pemeliharaan jalan dari Palur- Karanganyar-Karangpandan. Jalan-jalan tersebut diperbaiki karena dipergunakan

untuk lalu lintas pengangkutan menuju Pabrik Gula Tasik Madu. 2 Pembangunan jalan dan jembatan semakin intensif dilakukan ketika

Mangkunegara VII berkuasa. Pembangunan jalan dan jembatan yang dilaksanakan di daerah Wonogiri, mendapat perhatian penuh jika dibandingkan dengan daerah- daerah lain. Hal itu disebabkan di daerah Wonogiri masih banyak daerah yang terisolir dengan dunia luar. Pembangunan jalan yang terpenting adalah jalan dari Wonogiri ke Jatisrono kemudian ke perbatasan Praja Mangkunegaran dengan

Madiun. 3 Di daerah Karanganyar, jalan yang melewati Jumapolo dan jalan dari

Mojogedang ke Batujamus lewat Kemuning diperbaiki. Pembangunan jalan baru ke Tawangmangu juga dilakukan sehingga daerah ini menjadi sangat populer

dengan pariwisatanya. 4 Pada tahun 1922-1924 dibangun jalan dari Jurug-Palur dan tahun 1924-1927 dilakukan proyek pengaspalan jalan kota. Selain itu,

perbaikan jalan dilaksanakan di daerah-daerah yang meliputi jalan di sepanjang

2 Wasino, 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX- Pertengahan Abad XX)”. Tesis Universitas Gajah Mada Yogyakarta. halaman

208. 3 Wasino, ibid.,halaman 209.

4 Th. M. Metz, op.cit., halaman 70.

ibukota distrik Simo menuju Salam-Karanggede dengan membangun jembatan melalui Kali Butak dan Kali Cemoro. Perbaikan jalan kemudian dilanjutkan dari Karanggagede melalui Wonosegoro sampai distrik Telawah (distrik Juwangi) dan

pembangunan jembatan besar melalui Kali Serang. 5 Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII pembangunan jalan dan

jembatan tidak hanya di jalan-jalan utama (protokol) dan jembatan-jembatan besar saja, tetapi juga dilakukan daerah-daerah perkampungan, seperti mengadakan pelebaran jalan dan pengerasan jalan serta pembangunan jembatan yang

menghubungkan antara kampung satu dengan kampung yang lainnya. 6 Jalan perkampungan yang diperbaiki antara lain jalan di kampung Nayu, Bibis, dan

Gilingan. Perbaikan jembatan dilakukan di kampong Gondang dan Pringgading. Pembangunan jalan dan jembatan merupakan hasil inspeksi berkuda Mangkunegoro VII beserta perwira dan keluarga serta abdi dalem yang dilakukan secar teratur, sehingga ia mengetahui bagaimana keadaan jalan dan jembatan yang

ada di kampung-kampung di kota Mangkunegaran. 7 Usaha-usaha Mangkunegara VII dalam pembangunan jalan dan jembatan

telah membawa hasil yang memuaskan. Sebelum tahun 1916 daerah Mangkunegaran terdapat 433 km jalan kuda yang diperlebar, 60 km jalan yang tidak dikeraskan, dan 7 km jalan makadam (masih berbatu terjal). Kondisi ini

5 Nina Astiningrum, 2006. “Kebijakan Mangkunegoro VII Dalam Pembangunan Perkotaan di Praja Mangkunegaran ”. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas

Maret.halaman 89.

6 Sejarah Perjuangan K.G.P.A.A. Prabu Prangwedana ke VII, 1993. Surakarta: Reksa Pustaka. Halaman 294.

7 Pernyataan R.M. Gondosubariyo, 1939. Tri Windu Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Halaman 56.

mengalami perubahan ketika tahun 1931, terdapat 530 km jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor. 8 Pada tahun 1931, Mangkunegara VII merencanakan

pembangunan jalan aspal sepanjang 70 km, sehingga Praja untuk 20 tahun yang akan datang tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk pemeliharaan jalan tersebut. Akan tetapi karena waktu itu terjadi krisis, Praja melakukan penghematan anggaran keuangan sehingga pelaksanaan pembangunan itu menjadi terlambat. Pada tahun 1940, ketika situasi menjadi panas menjelang PD II, pembangunan jalan yang berskala besar sudah tidak dilakukan lagi di Praja Mangkunegaran. Pembangunan jalan dan jembatan yang dilaksanakan oleh Kabupaten Karti Praja pada pemerintahan Mangkunegara VII sangat besar pengaruhnya bagi kepentingan dan kemajuan Praja. Pembangunan infrastruktur ini ditujukan untuk menciptakan transportasi yang lancar dan untuk mempermudah masyarakat untuk bisa saling berinteraksi.

Pembangunan infrastruktur di Praja Mangkunegaran telah mengeluarkan anggaran yang cukup besar yang semuanya disediakan untuk pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Anggaran untuk pembangunan infrastruktur baru dimulai tahun 1918 (lihat tabel IV di bawah) dan terus mengalami perubahan dari tahun ke tahun sesuai dengan banyak sedikitnya pembangunan yang dilakukan.

8 Wasino, 2008, Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara, halaman 264

Tabel IV. Anggaran Pekerjaan Umum Praja Mangkunegaran 1916 – 1933

Tahun

Seluruh Anggaran

(f)

Anggaran Pekerjaan Umum

Luar Biasa (f)

Sumber : Wasino, 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir

Abad XIX- Pertengahan Abad XX)”. Tesis Jurusan Humaniora Universitas Gajah Mada

Yogyakarta. halaman 213.

Berdasarkan tabel IV dapat dilihat bahwa anggaran luar biasa dari pekerjaan umum yang paling besar pada tahun 1918 yaitu sebesar 662.820 gulden, kemudian tahun 1923 dengan 359.577 gulden, dan tahun 1924 sebesar 275.070 gulden. Pada tahun-tahun itu anggaran luar biasa menjadi sangat besar dikarenakan tahun tersebut Praja Mangkunegaran sedang dilakukan pembangunan-pembangunan proyek besar yang berupa bangunan irigasi. Anggaran mengalami penurunan sangat drastis setelah tahun 1932, hal ini sebagai Berdasarkan tabel IV dapat dilihat bahwa anggaran luar biasa dari pekerjaan umum yang paling besar pada tahun 1918 yaitu sebesar 662.820 gulden, kemudian tahun 1923 dengan 359.577 gulden, dan tahun 1924 sebesar 275.070 gulden. Pada tahun-tahun itu anggaran luar biasa menjadi sangat besar dikarenakan tahun tersebut Praja Mangkunegaran sedang dilakukan pembangunan-pembangunan proyek besar yang berupa bangunan irigasi. Anggaran mengalami penurunan sangat drastis setelah tahun 1932, hal ini sebagai

2. Pembangunan Irigasi

a. Pembangunan Waduk

Sejak pertengahan abad 19, di wilayah Praja Mangkunegaran mempunyai bangunan irigasi dalam hal ini adalah waduk. Pembangunan sarana irigasi ini hanya untuk kepentingan pengairan sawah-sawah di daerah perkebunan tebu untuk bahan dasar bagi pengolahan di pabrik Gula Colomadu dan pabrik Gula Tasikmadu. Tujuan pembangunan waduk semata-mata untuk kepentingan pabrik gula dan sedikit bermanfaat bagi keperluan rakyat Mangkunegaran. Setelah Mangkunegara VII memegang pemerintahan, pembangunan irigasi menjadi perhatian penuh dan merupakan kebutuhan yang penting bagi rakyatnya. Pada tahun pertama memegang jabatan, Mangkunegara VII mengemukakan bahwa pembangunan sarana irigasi menjadi prioritas utama yang akan dilaksanakan

didalam pemerintahannya. 9 Pembangunan-pembangunan irigasi ini memaksa Praja Mangkunegaran

untuk mengeluarkan sejumlah uang yang dibiayai melalui anggaran Praja maupun bantuan langsung dari pabrik gula. Sejak tahun 1916 hingga tahun 1939 dikeluarkan sejumlah f .2.222.228,71 dan berhasil mengairi 20.446 ha. sawah, yakni 10.447 ha sawah di Kabupaten Wonogiri, 4.800 ha sawah di Kabupaten

Karang Anyar, dan 5.619 ha di areal Pabrik Gula Mangkunegaran. 10 Pada Masa

9 Wasino, op.cit., halaman 199.

10 ibid., halaman 203.

Mangkunegoro VII telah dibangun lima buah waduk yang berfungsi sebagai saluran irigasi. Waduk-waduk tersebut, antara lain:

Tabel V. Waduk-Waduk di Mangkunegaran

Keterangan Waduk

Nama Isi

Luas Dalam

yang diairi

(ha)

Kedung 712.500 15,40

800 Dibangun th. 1917 Uling

selesai th. 1918 Biaya pembangunan: f.142.650 Biaya Perbaikan: f.169.430

Plumbon 1.200.000

15 815 Dibangun th. (1918 – 1919), (1924 – 1929) Biaya Pembangunan:

f. 93.500 + f. 271.500 =

f. 365.000 Tirto

16 12.700 Dibangun 1920 – Marto

1924, biaya: f. 64.400

Cengklik 11.000.000 301,20

9 950 Dibangun 1930 – 1932, biaya f. 425.600

Jombor 400.000

2.300 Dibangun 1925 – 1926, biaya: f. 116.000

Sumber : R.M. Notodhiningrat, 1939. Pengairan Di Mangkunegaran Selama Tiga Windu. dalam

Supplement Triwindoe GedenkboekMangkunegara VII. Surakarta; Rekso Pustaka.halaman 226.

Berdasarkan tabel V di atas dapat dilihat bahwa waduk-waduk dibangun pada masa pemerintahan Mangkunegara VII. (1) Waduk Kedung Uling yang dibangun pada tahun 1918 dengan biaya pembangunan sebesar f 142.650, kemudian diperbaiki pada masa selanjutnya dengan biaya f 169.430. Waduk ini mempunyai luas 15,40 hektar dengan kedalaman rata-rata 9,70 m berisi 712.500 m³ air dan dapat mengaliri 800 hektar sawah. (2) Waduk Plumbon dibangun Berdasarkan tabel V di atas dapat dilihat bahwa waduk-waduk dibangun pada masa pemerintahan Mangkunegara VII. (1) Waduk Kedung Uling yang dibangun pada tahun 1918 dengan biaya pembangunan sebesar f 142.650, kemudian diperbaiki pada masa selanjutnya dengan biaya f 169.430. Waduk ini mempunyai luas 15,40 hektar dengan kedalaman rata-rata 9,70 m berisi 712.500 m³ air dan dapat mengaliri 800 hektar sawah. (2) Waduk Plumbon dibangun

20 hektar dengan kedalaman rata-rata 9 m ini berisi 11.000.000 m³ air yang dapat mengairi 950 hektar sawah. (5) Waduk Jombor dibangun pada tahun 1925-1926 dengan biaya f 116.000. Waduk ini luasnya hanya 16 hektar dengan kedalaman 4,50 m berisi 400.000 m³ air yang dapat mengairi 2,300 hektar sawah.

Mangkunegara VII menunjuk F.E. Wolf, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang sebelumnya telah banyak merencanakan pembangunan bangunan-

bangunan irigasi di Begelen untuk menata irigasi di wilayah Praja. 11 Wolf melalui penyelidikannya berhasil memulai pembangunan-pembangunan proyek besar di

Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Kota Mangkunegaran dan Karanganyar. Pada tahun 1926 Wolf berhenti dari jabatannya sebagai Pimpinan Dinas Irigasi Kerajaan (Rijkswaterstaat) digantikan Ir. Sarsito Mangoenkoesoemo. Ir. Sarsito lebih banyak menyelesaikan bangunan-bangunan lama, karena setelah krisis tahun 1930-an pendapatan Praja mengalami penurunan sehingga sudah tidak ada lagi pembangunan bendungan baru.

Untuk menopang biaya pembangunan irigasi dan sarana-sarana pendukungnya, telah dianggarkan dalam anggaran Praja Mangkunegaran setiap

11 Ibid., halaman 201.

tahunnya semenjak Mangkunegara VII memegang pemerintahan. Anggaran yang digunakan dalam pengelolaan urusan irigasi antara tahun 1916 - 1933 dapat dilihat pada tabel VI.

Tabel VI. Anggaran Irigasi Praja Mangkunegaran 1916 – 1933

Tahun

Seluruh Anggaran

(f)

Anggaran Irigasi

Luar Biasa (f)

Sumber : Wasino, 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir

Abad XIX- Pertengahan Abad XX)”. Tesis Jurusan Humaniora Universitas Gajah Mada Yogyakarta. halaman 205.

Berdasarkan tabel VI dapat dilihat bahwa selain anggaran biasa atau anggaran rutin dari Dinas Irigasi Mangkunegaran, juga terdapat anggaran luar biasa atau anggaran pembangunan dan perbaikan. Anggaran luar biasa baru diadakan pada tahun 1917. Anggran luar biasa dibuat berdasarkan kemampuan keuangan Praja dan ada tidaknya pembangunan-pembangunan sarana irigasi di wilayah Praja Mangkunegaran. Ketika ada pembangunan irigasi dengan biaya Berdasarkan tabel VI dapat dilihat bahwa selain anggaran biasa atau anggaran rutin dari Dinas Irigasi Mangkunegaran, juga terdapat anggaran luar biasa atau anggaran pembangunan dan perbaikan. Anggaran luar biasa baru diadakan pada tahun 1917. Anggran luar biasa dibuat berdasarkan kemampuan keuangan Praja dan ada tidaknya pembangunan-pembangunan sarana irigasi di wilayah Praja Mangkunegaran. Ketika ada pembangunan irigasi dengan biaya

Anggaran luar biasa mengalami fluktuasi pada tahun 1922 sampai dengan 1926, dalam tahun-tahun tersebut dilaksanakan pembangunan waduk-waduk seperti Jombor, Plumbon, dan Tirtomarto. Anggaran luar biasa mengalami penurunan tahun 1931, dan akibatnya banyak rencana pembangunan sarana-sarana irigasi yang baru dimulai tidak dapat dilaksanakan. Penurunan ini sebagai dampak terjadinya depresi ekonomi tahun 1930 yang mempengaruhi kondisi keuangan Praja Mangkunegaran. Pembangunan waduk-waduk dilaksanakan pemerintah dengan tujuan menyimpan air dan mengalirkannya untuk kepentingan pertanian basah. Irigasi ini sekaligus berguna sebagai pemupukan, karena air yang mengalir itu membawa lumpur yang subur. Hal semacam ini membawa pengaruh kepada semakin meningkatnya hasil dibidang pertanian.

b. Pembangunan Saluran Pembuangan Air

Wilayah Surakarta secara geografis merupakan wilayah yang rawan dari bencana banjir. Mangkunegara VII menyadari bahwa saluran pembuangan air di Praja Mangkunegaran perlu adanya perbaikan. Saluran pembuangan air merupakan salah satu komponen infrastruktur yang sangat penting karena kemajuan sebuah kota dinilai dari kondisi sistem pembuangan airnya. Adanya limbah cair rumah tangga baik dari hasil cucian ataupun cairan limbah yang Wilayah Surakarta secara geografis merupakan wilayah yang rawan dari bencana banjir. Mangkunegara VII menyadari bahwa saluran pembuangan air di Praja Mangkunegaran perlu adanya perbaikan. Saluran pembuangan air merupakan salah satu komponen infrastruktur yang sangat penting karena kemajuan sebuah kota dinilai dari kondisi sistem pembuangan airnya. Adanya limbah cair rumah tangga baik dari hasil cucian ataupun cairan limbah yang

Mengingat kondisi yang seperti itu, langkah Mangkunegara VII yaitu melakukan pembangunan saluran-saluran khusus untuk mengatur pembuangan limbah di sekeliling Pura Mangkunegaran. Saluran air ini digunakan untuk menyerap air kotor agar tidak mengenang di daerah permukiman perkampungan di kota Mangkunegaran. Pemerintah Praja kemudian membangun saluran pembuangan air dari Pura Mangkunegaran yang dialirkan ke sungai Toklo yang dibuka pukul 8.30 pagi sampai 6.30 sore. Pembangunan saluran dilanjutkan di daerah Gilingan yang setiap musim penghujan sering digenangi air. Selain itu, dibangun saluran induk dengan pintu-pintu air yang sewaktu-waktu bisa dibuka dan ditutup. Pembuatan saluran air hujan juga dilakukan di kampung Stabelan

yang menghabiskan dana sekitar f 8000. 12 Saluran air tersebut dibuat untuk menghindari luapan serta genangan air hujan dan limbah rumah tangga, sehingga

air kotor dapat mengalir dengan lancar dan tidak menyebabkan munculnya bibit penyakit sehingga menciptakan kondisi masyarakat yang bersih dan sehat. 13

12 “Anggaran Pembuatan Saluran Air”. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode H. 204.

B. Pembangunan Bidang Sosial

1. Pembangunan Taman Kota

a. Taman Tirtonadi

Taman yang dibangun pada masa Mangkunegara VII dengan latar belakang pembangunannya untuk memanfaatkan air kali Pepe yang terjun melalui pintu air Kali Anyar atau banjir kanal. Taman Tirtonadi dibuat dengan menggunakan konsep taman air (water castle) dengan memanfaatkan air dari banjir kanal. Pemanfaatan air ini dilakukan karena sebelum tanggul dibangun, pada musim hujan air dari kali Pepe sering meluap sehingga menyebabkan banjir. Untuk mengatasi banjir tersebut, pada tahun 1903 diadakan proyek pembangunan banjir kanal dengan rute pengerjaan langsung mengarah ke Bengawan Solo. Bersamaan dengan proyek tersebut juga dibangun sebuah tanggul dari utara Balekambang menuju daerah Kandangsapi. Pembangunan-pembangunan tersebut

diselesaikan pada tahun 1911. 14 Selain terdapat taman air, Taman Tirtonadi juga tersedia obyek wisata lainnya yaitu Partimah Park dan telaga yang diberi nama

Minopadi. 15

b. Partimah Park

Partimah Park dibangun pada zaman Mangkunegara VII yang merupakan taman rekreasi untuk anak-anak dan terletak satu komplek dengan Taman Tirtonadi. Pemberian nama ini disesuaikan dengan nama puteri bungsu dari Mangkunegara VII yaitu B.R.A. Partimah. Partimah Park terdapat sarana

14 Suryadu. 1983. “Kota Solo Masa Silam “Tirtonadi dan Minopadi” Obyek Wisata Yang Kian Merana ”, dalam Suara Merdeka edisi Sabtu 19 Maret 1983, halaman III.

15 Minopadi merupakan telaga buatan di komplek Taman Tirtonadi yang fungsinya sebagai sarana bersampan dan memancing ikan.

permainan yang berupa kolam renang, jungkat-jungkit/timbangan, ayunan dan lapangan terbuka sebagai tempat anak-anak bermain. 16 Selain itu, kawasan ini

semakin lengkap dengan didirikanya restaurant yang pembangunannya menghabiskan biaya sekitar f. 500. 17 Hal yang semacam ini dimaksudkan agar

kawasan Partimah Park bisa lebih dinikmati oleh masyarakat Praja Mangkunegaran.

c. Kusumawardhani Plein

Kusumawardhani Plein merupakan sebuah lapangan yang dibangun Mangkunegara VII untuk memperingati kelahiran putrinya, yaitu B.R.A. Siti Nurul Kamaril Ngarasati Retno Kusumawardhani atau disebut Gusti Nurul. Lapangan ini berfungsi sebagai sarana olahraga bagi anggota Legiun Mangkunegaran.

d. Partini Tuin dan Partinah Bosch

Partini Tuin atau taman Partini dibangun Mangkunegara VII sebagai hadiah untuk putrinya, B.R.A. Partini ketika menikah dengan Prof. Husein

Joyoningrat. 18 B.R.A. Partini adalah putri tertua Kangjeng Gusti Adipati Mangkunegara VII. Taman Partini adalah area taman dengan koleksi bermacam

tanaman langka dan juga merupakan sarana rekreasi yang dilengkapi dengan lapangan olahraga dan pemandian. Tempat ini sekarang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Bale Kambang (rumah yang mengapung di tengah telaga buatan) dan telah selesai direnovasi dan semakin menjadi lebih menarik.

16 Nina Astiningrum, op.cit., halaman 86.

17 Autorisatie begrooting van kosten 1941. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka.

18 Nina Astiningrum, loc. Cit.

Partinah Bosch atau Taman Air Partinah, dibangun sesuai dengan nama puterinya B.R.A. Partinah. Partinah Bosch merupakan hutan kecil yang terdiri dari berbagai macam pepohonan. Hutan ini memiliki keistimewaan tersendiri jika dilihat dari fungsinya, yaitu setiap nama-nama ilmiah pohon yang ditanam di taman Partinah dapat dijadikan sebagai media pengenalan dan pendidikan bagi anak-anak dengan tujuan merangsang pertumbuhan kecerdasan anak. Tempat ini masih tetap ada dan berfungsi sebagai hutan kota dan daerah resapan air hujan.

Konsep pembangunan taman kota oleh Mangkunegara VII difungsikan sebagai sarana public space sekaligus sebagai jantung kota yang pengaruhnya dapat langsung dinikmati oleh masyarakat umum. Selain itu, pembangunan taman-taman ini juga bertujuan untuk memperindah wajah kota Mangkunegaran.

2. Pembangunan Gedung-Gedung

a. Pembangunan Gedung SOOS (Societed)

Perkembangan politik di Hindia Belanda mendorong perubahan dalam berbagai bidang di kehidupan masyarakat. Perubahan ditandai dengan munculnya organisasi modern, para priyayi yang tergabung dalam organisasi-organisasi yang sering berkumpul di suatu tempat pertemuan tertentu. Tempat pertemuan ini oleh orang Belanda lebih dikenal dengan nama Soos, kata yang diambil dari Societeit yang berarti tempat pertemuan bagi bangsa Belanda yang bersifat eksklusif. Soos selain dipakai untuk kepentingan rapat, juga digunakan sebagai tempat pertemuan publik seperti keperluan pesta, tempat hiburan, dan lain sebagainya. Selain itu, bangunan Soos menjadi sangat penting bagi perkembangan budaya, karena di tempat inilah timbul kontak antara kebudayaan orang pribumi dengan kebudayaan orang Belanda.

Bangunan Soos merupakan pencerminan dari kebutuhan ruang yang mendukung bagi kegiatan yang dilakukan oleh para pendukung kebudayaan. Dengan keadaaan yang seperti itu, mengharuskan Mangkunegara VII membangun sebuah gedung Soos (societeit) di wilayah Mangkunegaran. Pada tahun 1918, pembangunan gedung Soos mulai diadakan, pertama dibangun gedung Soos Mangkunegaran (sekarang gedung Monumen Pers), pembangunan gedung ini diserahkan pada arsitek pribumi bernama Aboekasan Atmodirono yang berasal

dari Semarang. 19 Soos Mangkunegaran digunakan untuk pertemuan para pegawai sipil selain itu, juga dibangun gedung Soos Militer (sekarang menjadi kantor

Pramuka Surakarta) yang digunakan untuk petemuan bagi para bintara. Pembangunan gedung Soos oleh Mangkunegara VII dimaksudkan sebagai perwujudan kebutuhan tempat untuk berbagai macam kegiatan dan aktifitas pertemuan di wilayah Mangkunegaran. Selain itu, pembangunan Soos membawa dampak pada peralihan gaya hidup dari tradisional menjadi modern mengikuti budaya Eropa sejalan dengan lahirnya budaya perkotaan di Surakarta.

b. Pembangunan Bale Kampung/Gedung Kelurahan

Bale Kampung adalah kantor dinas dari Lurah dan para Punggawa Kampung. Bale kampung digunakan sebagai tempat untuk mengurusi masalah intern yang ada dikampung, seperti: masalah administrasi, perpajakan, pengadilan, dan lain sebagainya. Pada masa Mangkunegoro VII melakukakan pembangunan bale kampung yang dianggap tidak layak sebagai tempat kerja. Pada pemerintahan Mangkunegoro VII telah dibangun tiga buah bale kampung, yang antara lain: Bale

19 Monument Pers Nasional Ing Sala, dalam Harian Jayabaya, halaman 9, edisi 8 Februari 1987. halaman 9. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode MN 872.

Kampung Kestalan, Punggawan, dan Manahan. 20 Tanah beserta bangunan yang digunakan untuk pembangunan bale kampung adalah tanah milik rakyat, yang

telah mendapatkan ganti rugi yang berupa komisi dari pemerintah Praja Mangkunegaran. Pembangunan bale kampung ini berpengaruh terhadap kehidupan rakyat yaitu semakin intensifnya pelayanan dalam mengurusi masalah- masalah intern di masyarakat.

c. Pembangunan Gedung-Gedung Sekolah

Pembaharuan dalam bidang pendidikan oleh penguasa Mangkunegaran terutama Mangkunegara VII dipandang sebagai kebutuhan yang penting karena, perkembangan dunia menuntut masyarakat mengikuti perkembangan zaman. Dalam hal ini pembangunan dalam bidang pendidikan sangat diperlukan jika didukung dengan adanya pemberian motivasi untuk bersekolah dan penyediaan sarana dan prasarana sekolah. Mangkunegara VII sangat memperhatikan kwalitas pendidikan rakyatnya dengan membangun tiga gedung sekolah yang besar yaitu gedung sekolah HIS Siswo (sekarang telah menjadi SMP Negeri 5 Surakarta), gedung sekolah HIS Sisworini (sekarang tidak digunakan lagi dan tempatnya berada di sebelah timur Akademi Seni Mangkunegaran) dan sebuah gedung

sekolah gadis tingkat SD (kopschool) 21 . Selain sekolah untuk kalangan elite tersebut, pemerintah Praja juga mendirikan sekolah untuk rakyat atau Sekolah

Desa (Volksschool) yang mana penyelenggaraan sekolah ini ditanggung sepenuhnya oleh Praja Mangkunegaran.

20 “Pembangunan Bale Kampung Kestalan, Punggawan, dan Manahan”. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode H. 159, P. 2607, dan P. 258

21 Th. M. Metz, op.cit., halaman 71.

Berkat perhatian Mangkunegara VII terhadap pendidikan, secara kwantitatif jumlah sekolah di Praja Mangkunegaran mengalami peningkatan.

Pendirian sekolah desa dimulai dari tahun 1918 dengan jumlah sekolah 19 buah, pada tahun 1927 jumlahnya meningkat menjadi 53 buah dan pada tahun 1930 jumlahnya menjadi 79 buah naik empat kali lipat dari pendirian awalnya. Setahun kemudian jumlah tersebut meningkat lagi menjadi 81 sekolah, 30 sekolah berada di kota Mangkunegaran dan sisanya berada di daerah Wonogiri. Pada masa depresi ekonomi dunia tahun 1930 pembangunan sekolah desa mengalami goncangan akan tetapi sekolah desa tersebut bisa bertahan dan pada tahun 1935 jumlah sekolah desa milik Mangkunegaran menjadi 103 buah, 81 sekolahan milik Praja Mangkunegaran dan 22 lainnya merupakan pelimpahan dari sekolah-sekolah

Gubermen. 22 Mangkunegara VII melaksanakan modernisasi pendidikan dengan

memperjuangkan bangsa dan rakyatnya agar menjadi pandai dan mempunyai keahlian sebagai modal persiapan di kemudian hari. Modernisasi pendidikan yang dilakukan Mangkunegara VII sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan terciptanya pendidikan maju di Mangkunegaran. Hal yang semacam ini sekaligus dijadikan wujud strategi dalam perjuangan bangsa dengan tersedianya sumber daya manusia yang handal bagi Praja Mangkunegaran dan juga memungkinkan rakyatnya mampu melakukan mobilitasi dalam jenjang sosial diseluruh Hindia Belanda.

22 Wasino, 1996. “Politik Etis Dan Modernisasi Pendidikan di Mangkunegaran 1900- 1945” Laporan Penelitian Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Institut Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Semarang. Halaman 43-44.

C. Pembangunan Bidang Kesehatan

1. Pembangunan Kakus Umum/WC Umum

Pembangunan sarana umum ini salah satu kebijakan di masa Mangkunegara VII yang ditujukan kepada penduduk di perkampungan agar tidak membuang hajat disembarang tempat yang dapat menggangu kesehatan maupun kebersihan lingkungan. Pembangunan juga dimaksudkan untuk menghilangkan

jumbleng 23 . Pembangunan kakus umum diletakkan di tempat-tempat yang strategis dan bersifat umum.

Lahan yang digunakan untuk membangun kakus umum ini merupakan lahan milik rakyat tanpa diberikan ganti rugi, kemudian dibuatkan kakus pribadi untuk rakyat. Pembangunan sarana umum ini dikerjakan dengan biaya f. 3000, dilakukan di kampung-kampung di Kota Mangkunegaran, seperti: kampung

Ngebrusan, Grogolan, Ngentak, Manahan, Stabelan, dan Cinderejo. 24 Sebagai contoh proyek penanganan dari pembangunan kakus umum di kampung

Ngebrusan dipercayaakan Mangkunegara VII kepada Ir. Thomas Karsten. Bangunan kakus umum ini dibuat sangat indah dengan bahan bangunan pilihan

dan perencanaan kerja yang matang. 25 Model dari bangunannya sendiri bergaya tradisional, yang terinspirasi dari bentuk miniatur candi sementara dengan

kontruksi bangunan yang kokoh dan tegas menggunakan kontruksi beton. Selain

23 Jumbleng yaitu tempat pembuangan hajat tradisional dengan menggali tanah dan telah dipakai secara turun-temurun.

24 “Anggaran Untuk Membuat Kakus Umum dan Pancuran di Mangkunegaran. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode L. 436

25 Lantai dan dindingnya terbuat dari beton sehingga keadaannya masih utuh sampai sekarang. Instalasi listrik juga dialirkan untuk tempat ini serta pembagian kamar mandi

berdasarkan jenis kelamin (ada di dua sisi belakang kanan dan kiri). Arsip kode H. 257, namun tempat ini sekarang kurang terawat sehingga kondisinya sangat memprihatinkan.

itu, pembangunan tetap mengadaptasi gagasan-gagasan modern untuk segi hygienitas dan privasi. Peresmian terhadap berdirinya bangunan ini terjadi pada tanggal 1 Januari 1939 bersamaan dengan peresmian Rukun Kampung Manahan

dan pemasangan batu pertama Pasar Legi. 26 Pembangunan kakus umum ini berdampak pada perubahan pola hidup masyarakat Mangkunegaran yang rapi,

sehat dan bersih.

2. Pembangunan Pancuran Umum

Air merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sehari-harinya, baik sebagai air minum maupun untuk kepentingan lainnya, yakni mandi dan mencuci. Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat penting diperlukan dan harus dipenuhi secara mutlak. Pemenuhan kebutuhan air bersih oleh pemerintah Praja Mangkunegaran membagun pancuran umum disetiap kalurahan yang ada di Kota Mangkunegaran. Pembangunan pancuran ini dilaksanakan di kampung Cinderejo,

Kusumodiningratan, Manahan, Kestalan, Stabelan, Grogolan, dan Turisari. 27 Pembangunan pancuran umum ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air

bersih bagi masyarakat. Usaha ini agak mengalami hambatan karena penduduk diperkampungan kurang membutuhkan air pancuran, hal ini dikarenakan mereka

telah memiliki sumur sendiri. 28 Pemenuhan air bersih di Surakarta semakin intensif bersamaan dengan didirikannya perusahaan air minum pada tahun 1931,

26 Acara Mangkunegara VII tertanggal 1 Januari 1939, Surakarta: Reksopustoko Mangkunegaran, Arsip Mangkunegara VII kode P. 2589.

27 Anggaran Untuk Membuat Kakus Umum dan Pancuran di Mangkunegaran. Op. cit. Kode L. 436

28 Daryadi, 2009, “Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII ”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret

Surakarta. halaman 73.

yang merupakan inisiatif dari Residen Surakarta. Perusahaan air minum ini diberi nama N.V. Hoodgruk Water Leiding Hoofdplaats Surakarta en Omstreken (PT Air Minum Bertekanan Tinggi di Ibukota Surakarta dan Sekitarnya). Sumber air bersih yang digunakan oleh perusahaan air minum ini berasal dari daerah

Cakratulung. 29 Pembangunan perusahaan minum ini berpengaruh pada masyarakat Mangkunegaran yang telah diperkenalkan pada penggunaan air

minum yang hiegenis dan menciptakan kesadaran akan kesehatan.

3. Pembangunan Rumah Sakit Dan Poliklinik

Untuk keperluan kesehatan masyarakat dibangun beberapa rumah sakit. Pada tahun 1921 dibangun rumah sakit pusat Ziekenzorg di Mangkubumen, merupakan rumah sakit yang pertama di Surakarta. Rumah sakit yang pembangunannya mendapat subsidi dari Pemerintah Swapraja dan mendapat subsidi setiap tahunnya sebesar f. 5.000. Rumah sakit ini yang pada awalnya dipimpin oleh tiga orang dokter, mantri, pembantu mantra, bidan, dan juru

rawat. 30 Selain itu, pada tahun 1924 juga dibangun poliklinik sebanyak 8 buah dan tahun 1939 pembangunan poliklinik bertambah menjadi 19 buah. 31

Peningkatan kualitas tenaga medis merupakan salah satu syarat berhasilnya pembangunan kesehatan. Untuk meningkatkan kualitas dokter maka Bupati Anom Dokter Mangkunegaran menetapkan kunjungan dokter setiap seminggu sekali ke poliklinik daerah. Kunjungan ini mampu memantau baik buruknya kesehatan rakyat di Praja Mangkunegaran. Selain itu ahli-ahli medis

29 Heri Dwiyanto, 1995. “Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII ”. Skripsi Jurusan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. halaman 79.

30 Ibid.

31 Wasino, op.cit., halaman 212 31 Wasino, op.cit., halaman 212

Soejoedhana, dr. RM. Soekasno dan dr R. Soewarso. 32 Pemerintah Praja juga berusaha memperbanyak jumlah perawat, bidan

maupun penyuluh kesehatan di setiap poliklinik paling sedikit dua orang perawat. Begitu juga dengan penyuluh kesehatan, di setiap kawedanan ditugaskan seorang

penyuluh kesehatan yang bertugas memberi penyuluhan di desa-desa. 33 Adanya peningkatan jumlah pembangunan rumah sakit dan tenaga medis ini dimaksudkan

agar masyarakat di seluruh daerah Mangkunegaran dapat menikmati pelayanan kesehatan.

4. Perbaikan Rumah Kumuh

Adanya wabah pest yang melanda di seluruh Jawa Tengah ternyata juga sampai menyebar ke daerah Praja Mangkunegaran. Penyakit pest yang disebabkan oleh kutu yang dibawa oleh tikus dan kemudian menyerang manusia lewat baju atau barang yang ada di dalam rumah, dimana kondisi kebersihannya masih sangat memprihatinkan. Rumah-rumah yang rata-rata terbuat dari alang-alang dan kayu sederhana serta berlantai tanah sangat mendukung untuk berkembangnya penyakit yang dibawa oleh binatang tersebut. Melalui Dinas Kesehatan Mangkunegaran, pemerintah menganjurkan kepada rakyatnya untuk menciptakan perumahan yang sehat sesuai dengan kriteria rumah sehat antara lain kondisi

32 Heri Dwiyanto, 1995, op.cit. halaman. 83.

33 Ibid. halaman 84.

lantai yang kering, pintu dan jendela, ventilasi, di sekitar rumah tidak ada air yang mengenang, sumur dibuat penghalang di setiap pinggirnya agar tidak tercemari air kotor, dan bagi masyarakat yang mampu dianjurkan untuk membuat kakus di

setiap rumahnya. 34 Pemerintah Praja juga memberikan bantuan berupa pinjaman uang bagi

rakyat yang ingin memperbaiki rumahnya. Dalam anggaran belanja praja tahun 1918, disediakan dana sebesar f. 66.000 untuk perbaikan rumah rakyat dan f.

25.000 untuk biaya pembangunan kampung-kampung. 35 Selain memberikan bantuan berupa pinjaman uang untuk perbaikan rumah dan kampung, pemerintah

juga memberikan vaccin otten yang telah ditemukan pada tahun 1935, untuk penderita penyakit pes dan juga melakukan penyemprotan obat serta pembasmian

tikus. 36 Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VII tersebut sangat berpengaruh dalam membantu program pemberantasan penyakit menular,

khususnya penyakit pes di Praja Mangkunegaran. Program itu juga diharapkan menciptakan masyarakat yang sehat. Usaha-usaha pemberantasan penyakit menular merupakan suatu bukti bahwa pemerintah tidak menginginkan rakyatnya menderita akibat adanya penyakit menular yang mengancam jiwa mereka. Mangkunegoro VII juga menyadari bahwa keselamatan dan kelangsungan hidup rakyat menjadi tanggung jawabnya.

34 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1925. No. 11. Bab 24. Surakarta: Reksa Pustaka

35 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No.3. Bab 55,56. Surakarta: Reksa Pustaka.

36 Ratih Widayati, 19 98. “Yatna Nirmala: Dinas Kesehatan Praja Mangkunegaran Tahun 1943-1953 ”. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret. halaman 87.

D. Pembangunan Bidang Ekonomi (Pasar)

Pasar merupakan suatu simbol yang menandai kemajuan perekonomian masyarakat pada daerah tertentu. Munculnya pasar karena bersamaan dengan adanya kegiatan dan kebutuhan yang dilakukan manusia. Dengan demikian, pasar merupakan tempat untuk melakukan kegiatan tukar menukar barang dan jasa sebagai pemenuh kebutuhan bagi masyarakat yang lebih dikenal dengan sistem jual-beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli. Sebelum pasar terbentuk, kegiatan tukar menukar sudah lama dilakukan masyarakat yang lebih dikenal dengan barter. Kegiatan ini dilakukan karena adanya rasa saling membutuhkan barang atau jasa antara anggota masyarakat. Naik turunnya pendapatan pasar ditentukan oleh jumlah pelaku transaksi di pasar. Banyaknya transaksi dipengaruhi oleh daya beli masyarakat sedangkan daya beli dipengaruhi oleh tingkat pendapatan setiap orang. Seiring dengan bertambahnya kebutuhan mareka maka diperlukan suatu tempat tertentu untuk bertemu antara penjual dan pembeli

barang mereka, maka kemudian terjadilah suatu pasar. 37 Wilayah Mangkunegaran terdapat beberapa pasar tradisional. Pasar

tersebut antara lain Pasar Legi, Pasar Pon, dan Pasar Triwindu.

1. Pasar Legi Pasar Legi merupakan pasar tradisional hasil gagasan pemerintahan Mangkunegara . Sesuai dengan namanya, pasar ini ramai pada hari pasaran Legi. Banyak pedagang berdatangan dari desa-desa. Pada tahun 1930 pasar legi masih merupakan pasar dengan wujud los sederhana dengan komoditi yang beragam dan pasar ini juga diibaratkan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan duniawi dalam

37 Soetardjo Kartohadikusumo, 1965, Desa, Jakarta: PN. Sumur Bandung, halaman 6.

hal ini pasar Legi mampu mendukung mobilisasi kehidupan di masyarakat. Pasar ini memiliki pendapatan besar di antara pasar-pasar yang ada di Praja Mangkunegaran. Pada tahun 1936 Mangkunegaran VII merenovasi pasar secara modern sehingga pasar menjadi lebih rapi, indah dan tertib.

2. Pasar Pon

Pasar Pon juga berada di wilayah Mangkunegaran. Sesuai dengan namanya, pasar ini ramai pengunjung setiap pasaran Pon. Untuk menuju ke Pasar Pon, kebanyakan para pedagang yang berasal dari dalamkota menggunakan alat transportasi tradisional berupa Gerobak atau Andong. Bagi pedagang yang berasal dari luardesa atau luarkota, mereka bisa menggunakan Kereta Api Kluthuk turun di depan Pasar Pon, karena Kereta Api Kluthuk jurusan Boyolali - Wonogiri melewati depan Pasar Pon. Barang-barang yang diperdagangkan di Pasar Pon adalah berbagai macam kebutuhan sehari-hari, seperti: sayuran, buah-buahan, bumbon dan lain-lain.

Sejak tahun 1929, keadaaan pasar berubah menjadi pertokoan dan kios- kios kecil yang berjualan kelontong (barang-barang rumah tangga) dan terletak di tepi jalan depan Pura Mangkunegaran. Para pedagang pasar ini kebanyakan adalah pengusaha dari Etnis Thionghoa.

3. Pasar Triwindu Pasar Triwindu terletak di sebelah selatan Pura Mangkunegaran. Menurut namanya Tri berarti tiga dan Windu berarti delapan. Triwindu berarti dua

puluh empat . Jadi, pasar ini dibangun untuk memperingati 24 tahun kenaikan tahta Mangkunegoro VII dan pasar ini diresmikan pada tahun 1939. Barang yang puluh empat . Jadi, pasar ini dibangun untuk memperingati 24 tahun kenaikan tahta Mangkunegoro VII dan pasar ini diresmikan pada tahun 1939. Barang yang

selesai direnovasi dan berganti nama menjadi Pasar Windu Jenar. Di kota Mangkunegara selain pasar-pasar yang disebutkan di atas masih ada beberapa pasar kecil yang tersebar di seluruh kalurahan, antara lain: Pasar Ngapeman, Pasar Nongko, Pasar Nusukan, Pasar Umbul, Pasar Joglo, dan Pasar Ngemplak.

Pasar yang berada di wilayah Mangkunegaran merupakan salah satu perusahaan milik Praja Mangkunegaran, Praja membangun gedung-gedungnya

dan 39 menyewakan petak-petaknya. Munculnya pasar-pasar di Praja Mangkunegaran berpengaruh pada terbukanya lapangan pekerjaan bagi

masyarakat. Mereka memperoleh pekerjaan dari pasar sebagai pedagang, pembantu pedagang (membantu melayani pembeli), dan kuli atau buruh gendong. Pasar-pasar yang ada di Praja Mangkunegaran sangat memungkinkan menjadi media alternatif penurunan angka pengangguran dan keberadaan pasar tradisional berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi yang memberikan lapangan pekerjaan yang layak serta mampu meningkatkan taraf ekonomi bagi masyarakat Praja Mangkunegaran.

38 Nina Astiningrum, Op.Cit. halaman. 101.

39 Th. M. Metz, 1939. Op.cit. halaman 80.

BAB V KESIMPULAN

Mangkunegoro VII menggantikan kedudukan Mangkunegoro VI pada tahun 1916. Keberhasilan yang diraih Mangkunegoro VI salah satunya adalah mampu memperbaiki kondisi keuangan Praja yang kembali menjadi baik setelah adanya kemunduran kondisi keuangan pada masa Mangkunegara V. Mangkunegara VII menjadi penguasa pada tahun 1916, ternyata memiliki keunggulan dalam memerintah jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Segala keunggulannya dimanfaatkan untuk mengantarkan Praja Mangkunegaran menuju masa depan. Keunggulan itu tentu saja tidak dapat dilepaskan dari peranan para pendahulunya yang memerintah sesuai dengan zamannya.

Pembangunan merupakan usaha yang secara sadar dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Pembangunan yang dilakukan oleh Mangkunegara VII memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat Praja Mangkunegaran. Berkat inovasi dan kreativitasnya, Mangkunegara VII mampu membuat kondisi keuangan Praja mengalami surplus sehingga melakukan pembaharuan adalah kunci untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya.

Keberadaan Kabupaten Karti Praja sebagai dinas pelaksana pembangunan di Praja Mangkunegaran mempunyai peranan besar terhadap masyarakat Mangkunegaran. Beberapa peranannya dalam pembangunan antara lain pembangunan bidang sarana dan infrastruktur yang ditandai dengan adanya pembangunan jalan dan jembatan yang memberikan manfaat bagi masyarakat untuk saling berinteraksi. Selain itu, juga dilaksanakan pembangunan irigasi serta Keberadaan Kabupaten Karti Praja sebagai dinas pelaksana pembangunan di Praja Mangkunegaran mempunyai peranan besar terhadap masyarakat Mangkunegaran. Beberapa peranannya dalam pembangunan antara lain pembangunan bidang sarana dan infrastruktur yang ditandai dengan adanya pembangunan jalan dan jembatan yang memberikan manfaat bagi masyarakat untuk saling berinteraksi. Selain itu, juga dilaksanakan pembangunan irigasi serta

1. Arsip-Arsip

Anggaran Untuk Membuat Kakus Umum dan Pancuran Umum Di Mangkunegaran. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Anggaran Pembuatan Saluran Air. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka

Anggaran Pembangunan Bale Kampung Punggawan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka

Pembukaan Bale Kampung Manahan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka

Perumahan Yang Akan Dibuat Bale Kampung Kestalan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka..

Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No. 23 (Bab Mengenai Pasar) dan No. 331 (Bab Mengenai Perubahan wilayah Administrasi Mangkunegaran).

Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No. 37 (Bab Mengenai Perubahan Pangkat dan Perubahan Kawedanan menjadi Kabupaten).

Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No. 2 (Bab Mengenai Dana Untuk Perbaikan Rumah dan Kampung).

Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1923. No 10 (Bab Mengenai Perubahan Struktur Birokrasi Mangkunegaran).

Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1925. No. 11 (Bab Mengenai Kriteria Rumah Sehat).

2. Buku-Buku

Bernardinal Hilmiyah M.D. 1985. Mengenang Soerya Soeparto. Surakarta: Reksa Pustaka.

Darsiti Soeratman. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830 – 1939. Yogyakarta: Taman Siswa.

Dudung Abdurrrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia

Gondosubariyo R.M. 1939. Tri Windu Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka

Gottshalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.

Honggopati Tjitrohoepojo. 1930. Serat Najakatama, Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran

Houben, V.J.H. 2002. Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870, Yogyakarta: Bentang Budaya.

Krisnina Maharani A. Tandjung. 2007. 250 Tahun Pura Mangkunegaran. Jakarta: Yayasan Warna Warni Indonesia.

Larson G.D. 1990. Masa Menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942 . Yogyakarta: Gajah Mada University Perss.

Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.

Metz Th.M. 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Rotterdam: NV Nijgh dan Van Ditmar.

Moedjanto G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram . Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Muhammad Husodo Pringgokusumo. 1987. Pidato Gubernur Surakarta M.J.J. Treur Pada Pesta Peringatan Penobatan Sri Paduka pangeran Adipati Ario Mangkunegara VII . Surakarta: Reksa Pustaka.

Muhlenfeld A. 1916. Buku Kenang-Kenangan Pada Jumenengan R.M Soeparto. Surakarta: Reksa Pustaka.

Nugroho Notosusanto. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: yayasan Indayu.

Pringgodigdo. 1987. Sejarah Perusahaan-Perusahaan Kerajaan Mangkunegaran. Surakarta: Reksopustaka, Mangkunegaran. Ringkasan Riwayat Dalen Suwarga Sampeyan Dalen K.G.P.A.A Mangkunegoro ke VII , 2007. Surakarta: Reksa Pustaka

Rouffer G.P. Vorstenlanden. Terjemahan: R.Tg. Muhammad Pringgokusumo. 1979. Swapraja. Surakarta: Reksa Pustaka.

“Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat”, Jakarta: PT. Gramedia.

Sejarah Perjuangan K.G.P.A.A Prabu Prangwedana VII , 1993. Surakarta: Reksa Pustaka.

Soetardjo Kartohadikusumo. 1965. Desa, Jakarta: PN. Sumur Bandung.

Suwaji Bustomi, 1997. Karya-Karya Budaya KGPAA Mangkunegara I – VIII. IKIP Semarang.

Uitgewerkte en Toelichtende Staat der Begrooting van Uitgaven en Ontvangsten van het Mangkoenagorosche Rijk voor het Dienstjaar . 1934. Mangkunegaran: Reksa Pustaka.

Wasino. 2008. Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Yosodipuro. 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Makradata

3. Karya-Karya Ilmiah

Daryadi. 2009. “Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII ”. Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS.

Hari Nur Prasinta. 2009. “Kabupaten Martanimpoena Di Praja Mangkunegaran Tahun 1942-194 7”. Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS.

Heri Dwiyanto. 1995 . “Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII ”. Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS.

Himawan Prasetyo. 2001. “Wajah Kauman Surakarta 1910-1930”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Ismu Sadiyah. 1998. ”Keraton Mangkunegaran Sebagai Obyek Wisata Yang Menarik di Jawa Tengah ”. Karya Tulis. Bandung: ABA Bandung.

Muzaini. 1996. “Pembangunan Irigasi Di Praja mangkunegaran (1916-1942)”. Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS.

Di Praja Mangkunegaran ”. Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS.

Ratih Widayati. 1998. “Yatma Nirmala: Dinas Kesehatan Praja Mangkunegaran Tahun 1943-1953 ”. Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS.

Sutrisno Adiwardoyo. 1974. ”Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai

Masuknya Ke Provinsi Jawa Tengah ”. Skripsi. Surakarta: IKIP Surakarta.

Theresia Suharti. 1990. ”Tari di Mangkunegaran ( Suatu Pengaruh Bentuk dan Gaya

Dimensi kultural 1910-1988) ”. Tesis. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Wasino. 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX )”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

. 1996. “Politik Etis dan Modernisasi Pendidikan di Mangkunegaran (1900- 1945) ”. Laporan Penelitian. Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang.

.1996. “Politik Etis, Pembangunan Sarana Irigasi dan Perkembangan Produksi Beras di Karesidenan Surakarta (1900- 1942)”. Laporan penelitian Institut

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang.

4. Majalah dan Artikel

“Monumen Pers Nasional Ing Sala”, dalam Harian Jayabaya, halaman 9, edisi 8 Februari 1987.

Notodhiningrat. 1939. “Pengairan Di Mangkunegaran Selama Tiga Windu” Supllement Triwindoe Gedenkboek Mangkunegara VII. Surakarta: Reksa Pustaka.

Suryadu. 1983. “Kota Solo Masa Silam “Tirtonadi dan Minopadi” Obyek Wisata Yang Kian Merana ”, dalam Suara Merdeka edisi Sabtu 19 Maret 1983.

LAMPIRAN 1

Foto K.G.P.A.A Mangkunegoro VII Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

LAMPIRAN 2

Gambar-Gambar Hasil Pembangunan di Mangkunegaran Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 1 WC Umum dan Pemandian Umum, di kampung Ngebrusan. Sekarang di kenal dengan nama Monumen Jamban Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 2 Pancuran di daerah Villa Park (sekarang telah berubah menjadi Monumen 45 Banjarsari)

Gambar 3 Bale Kampung Manahan Sumber: Arsip Foto Rekso Pustoko

Gambar 4 Pembangunan Jalan di Gilingan Sumber: Arsip Foto Rekso Pustoko

Gambar 5 Perkampungan Sebelum Adanya Pembangunan Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 6 Perkampungan Setelah Adanya Pembangunan Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 7 Pasar Legi Pada Tahun 1930 Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 8

Pasar Legi 1935 Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 9 Gedung Pertemuan (SOOS) Tahun 1920 (sekarang Gedung Monumen Pers)

Gambar 10 Pasar Pon 1935 Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 11 Gedung sekolah HIS Sisworini

(sekarang tidak digunakan lagi)

Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 12 Gedung sekolah HIS Siswo

(sekarang SMP Negeri 5 Surakarta)

Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 13 Jalan Tawangmangu – Karangpandan Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 14

Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 15 Kawasan Kusumawrdhani Plein Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 16 Kawasan Partini Tuin

Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 17 Poliklinik di Kota Mangkunegaran Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 18 Peresmian Waduk Tirtomarto Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

LAMPIRAN 3

Rijksblad Mangkunegaran tahun 1917 No. 37 Sumber: Reksa Pustaka Mangkunegaran

LAMPIRAN 4

Surat tentang Pengairan di Mangkunegaran Selama 3 Minggu Sumber: Reksa Pustaka Mangkunegaran

LAMPIRAN 5

Anggaran Pembuatan Kakus Umum dan Pancuran Umum Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran kode L. 436

LAMPIRAN 6

Anggaran Pembuatan Saluran Pembuangan Air Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran Kode H. 204

Anggaran Pembuatan Bale Kampung Punggawan Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran kode P. 2607

Acara Peresmian Kamar Mandi Umum Ngebrusan, tertera dalam Acara Mangkunegara VII tertanggal 1 Januari 1939 , Surakarta: Reksopustoko Mangkunegaran, Arsip Mangkunegara VII kode P. 2589

LAMPIRAN 9

Autorisatie Begrooting van Kosten 1941 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran