Bahwa Pasal 11 ayat (2) UU Migas menyatakan bahwa “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara

8. Bahwa Pasal 11 ayat (2) UU Migas menyatakan bahwa “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara

tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.

Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20A menyatakan “(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur didalam pasal- pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas; (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur didalam undang-undang”. Berdasarkan konstruksi yang demikian itu, maka KKS merupakan tergolong

ke dalam perjanjian internasional lainnya yang sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yakni yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara harus mendapatkan persetujuan DPR. Pengaturan yang terdapat di dalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas telah mengingkari Pasal 1 ayat (2) dikarenakan kedaulatan rakyat harus dilaksanakan berdasarkan UUD, sedangkan posisi DPR yang hanya dijadikan sebagai tembusan dalam setiap KKS maka jelas telah mengingkari kedaulatan rakyat Indonesia. Selain itu, dengan sekadar pemberitahuan tertulis kepada DPR tentang adanya Kontrak Kerja Sama dalam Minyak dan Gas Bumi yang sudah ditandatangani, tampaknya hal itu telah mengingkari keikutsertaan rakyat sebagai pemilik kolektif sumber daya alam, dalam fungsi toezichthoudensdaad yang ditujukan dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber- sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Karena tiap kesepakatan mengandung di dalamnya potensi penyimpangan dalam tiap tahapan transaksi dan kenyataan tidak adanya informasi yang memadai menyangkut aspek-aspek mendasar dalam kontrak karya atau perjanjian bagi hasil maupun kontrak kerja sama bidang migas, jika hanya dengan metode pemberitahuan tertulis saja kepada DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas, maka pasal tersebut telah tidak bersesuaian dengan Pasal 20A dan Pasal

33 ayat (3) UUD 1945. Berdasarkan kepada yang diungkapkan di atas, maka sampai pada

kesimpulan bahwa UU Migas telah mendegradasikan kedaulatan negara, kedaulatan ekonomi, dan telah ”mempermainkan’ kedaulatan hukum sehingga menjadikan suatu UU yang tidak adil terhadap bangsa Indonesia sendiri. Migas yang merupakan salah satu sumber energi yang sejak dahulu diharapkan untuk dapat memberikan kesejahteraan umum, dan dipergunakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi dikerdilkan dengan dogma ’pacta sunct survanda’. Negara seharusnya berdaulat atas kekayaan mineral dalam perut bumi Indonesia ternyata harus tersandera dan terdikte oleh tamu yang seharusnya patuh dengan aturan tuan rumah. Kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah dengan korporasi- korporasi internasional tak ubahnya seperti membentuk konstitusi di atas UUD

1945 yang merupakan konstitusi bagi seluruh bangsa Indonesia. Apabila DPR dan Presiden hanya mampu diam dan membuat rakyat menunggu datangnya UU Migas yang lebih bercorak ”merah putih” adalah suatu kenisbian, maka para Pemohon berharap bahwa palu yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah palu yang diharapkan untuk dapat membatalkan UU yang bertentangan dengan UUD 1945.