Ahli Dr. Ir. Rachmat Sudibyo

1. Ahli Dr. Ir. Rachmat Sudibyo

 Bahwa dalam Undang-Undang Migas, kuasa pertambangannya dipegang oleh pemerintah dan tidak diberikan kepada pelaku usaha, dengan demikian yang mempunyai kuasa untuk menguras kekayaan alam ini  Bahwa dalam Undang-Undang Migas, kuasa pertambangannya dipegang oleh pemerintah dan tidak diberikan kepada pelaku usaha, dengan demikian yang mempunyai kuasa untuk menguras kekayaan alam ini

 Badan pelaksana memang memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai syarat-syarat atau ketentuan dari kontrak kerja sama berdasarkan pengalaman yang mereka miliki dari sekian ratus kontrak kerja sama yang ada. Kemudian, untuk melaksanakan pengendalian tersebut, badan pelaksana menandatangani kontrak kerja sama. Peran pelaku usaha disini sangat minim, karena pelaku usaha tidak mempunyai kendali manajemen operasi. Apabila mereka mau mengembangkan suatu lapangan, mereka tidak dapat menentukan sendiri harus mendapat persetujuan dari badan pelaksana, dan sebagainya. Para pelaku usaha hanya menikmati economy right, mereka tidak memiliki mineral right. Dalam sistem yang dianut Indonesia selama ini adalah kontrak bagi hasil, yaitu imbalan dari keringat yang dikeluarkan oleh pelaku usaha adalah hasil produksi, baik berupa in kind yang selama ini diterapkan di dalam kontrak bagi hasil ataupun kontrak lain.

 Bentuk kontrak kerjasama di dalam Undang-Undang Migas adalah kontrak bagi hasil yang sudah diterapkan sejak tahun 1968 dan kemungkinan ada bentuk kontrak kerjasama lain. Kontrak bagi hasil ini adalah prinsip kontrak yang membagi hasil produksi secara in kind, pemerintah sama sekali tidak pernah mengeluarkan cash bahkan cost recovery, pengeluaran biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor itu dibayar juga dengan in kind. Bagaimana menghitung volume in kind dengan cost- nya tentu dengan harga standar pemerintah, yaitu Indonesian Crude Price.

 Bahwa Pasal 6 ayat (2) adalah pasal yang paling penting di dalam Undang-Undang Migas dalam rangka menjaga penguasaan negara sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pertama, kepemilikan sumber daya alam harus tetap ditangan pemerintah, tentu sampai titik ekspor. Kedua, pengendalian manajemen harus ada di tangan pemerintah c.q. badan pelaksana. Kontraktor tidak mempunyai hak untuk mengendalikan, semua harus mendapat persetujuan. Artinya, ada work programing budget, plan of development, bahkan di dalam Peraturan Pemerintah juga ada otoritation for expenditure untuk setiap proyek yang lebih besar dari $5.000.000,00. Ketiga, modal dan risiko harus ditanggung oleh kontraktor bukan oleh pemerintah.

 Bahwa terkait dengan satu wilayah kerja (range fencing), menurut ahli, pertama, hal tersebut diatur agar pelaku usaha pertambangan tidak boleh menggunakan uang yang didapat dalam satu wilayah kerja untuk eksplorasi di wilayah kerja yang lain, karena akan mengurangi penerimaan negara, terutama penerimaan pemerintah daerah dimana wilayah kerja tersebut berada. Jika pelaku usaha ingin memiliki lebih dari satu wilayah kerja, hal itu boleh saja tetapi harus membentuk badan hukum berlainan, misalnya PT. Cevron Riau atau PT. Cevron Selat Makasar. Pengaturan yang demikian justru mengamankan penerimaan negara dari kegiatan ekplorasi dan eksploitasi sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kedua, aturan tersebut dibuat karena sudah disepakati bahwa negara tidak tidak boleh membiayai dan tidak boleh menanggung risiko. Jika pasal a quo dibatalkan maka akan menjadi kacau, yaitu negara akan menanggung semua biaya dan menanggung semua resiko dalam kegiatan penambangan minyak;

 Bahwa mengenai usaha hulu dan usaha hilir, Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengaturnya, yaitu terkait hulu menyangkut kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedangkan hilir adalah cabang-cabang produksi. Demikian halnya dengan BBM, maka kegiatan di hulu adalah dikuasai oleh negara dalam hal ini oleh pemerintah. Tetapi di hilir tidak dimiliki. Artinya, hanya dilakukan pembinaan dan pengawasan yang diatur sesuai dengan  Bahwa mengenai usaha hulu dan usaha hilir, Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengaturnya, yaitu terkait hulu menyangkut kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedangkan hilir adalah cabang-cabang produksi. Demikian halnya dengan BBM, maka kegiatan di hulu adalah dikuasai oleh negara dalam hal ini oleh pemerintah. Tetapi di hilir tidak dimiliki. Artinya, hanya dilakukan pembinaan dan pengawasan yang diatur sesuai dengan

 Bahwa menurut ahli, usaha minyak dan gas bumi bukan dipecah-pecah, menurut Undang-Undang a quo, badan atau pelaku usaha yang ingin mempunyai semuanya diperbolehkan meminta dengan izin yang dibuat sekaligus. Tetapi kalau ada pelaku usaha yang tidak mempunyai modal besar dan hanya mempunyai modal untuk transportasi maka dapat berpartisipasi dalam industri hilir;

 Bahwa Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Migas mengatur, Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh:

a. badan usaha milik negara;

b. badan usaha milik daerah;

c. koperasi; usaha kecil;

d. badan usaha swasta. Pengaturan tersebut berbeda dengan sebelumnya yang secara de jure

hanya memperbolehkan satu BUMN yang melakukan kegiatan dalam minyak dan gas bumi meskipun secara de facto ada pelaku usaha yang melakukan kegiatan dalam minyak dan gas bumi. Ketentuan tersebut justru membuka peluang pelaku usaha untuk bersaing dengan BUMN dalam mengelola kegiatan minyak dan gas bumi;