Tinjauan Hukum mengenai Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Peralihan Hak atas Tanah terhadap Warga Negara Asing dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(1)

TINJAUAN HUKUM MENGENAI PERAN PEJABAT

PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK

ATAS TANAH TERHADAP WARGA NEGARA ASING

DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG - UNDANG NOMOR 5

TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK -

POKOK AGRARIA

Diajukan untuk Memenuhi Laporan Kerja Praktek Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Komputer Indonesia

Disusun Oleh : Nama : Meiza Soraya K

NIM : 31610008

Program Kekhususan : Hukum Bisnis

Pembimbing : Hetty Hassanah, S.H., M.H

NIP. 4127.3300.005

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

2014


(2)

(3)

(4)

Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 13 Oktober 1991

JenisKelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Cikajang 15 No. 16 Rt 03 Rw 21, Kelurahan Antapani Tengah, Kecamatan Antapani, Kota Bandung

Telepon : 085795091971

Pendidikan Formal :

- SD Negeri Griba 23

- SMP, Pesantren Persatuan Islam No. 1 - SMA Negeri 23 Bandung

Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya tanpa ada rekayasa yang melebih-lebihkan.


(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 13

C. Maksud dan Tujuan ... 13

D. Manfaat Kegiatan ... 13

E. Jadwal Kerja Praktik ... 15

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG KEPEMILIKAN TANAH SERTA BANGUNAN DI ATASNYA OLEH ORANG ASING DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ... 16

A. Tinjauan Hukum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah Terhadap Warga Negara Asing Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ... 16 B. Tinjauan Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998


(6)

Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah ... 41

BAB III LAPORAN KEGIATAN KERJA PRAKTIK ... 55

A. Mengarsipkan Warkah ... 55

B. Menggandakan Dokumen ... 57

C. Mencatat Dokumen Masuk dan Keluar ... 57

D. Membuat dan Mencetak Akta atau Dokumen Lain ... 58

E. Menjahit Akta ... 61

F. Menyerahkan Berkas Ke BPN ... 62

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH TERHADAP WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA ... 64

A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Terhadap Kepemilikan Tanah dan Bangunan Bagi Warga Negara Asing di Indonesia ... 64

B. Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Peralihan Hak Atas Tanah Terhadap Warga Negara Asing di Indonesia Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah ... 77

BAB V PENUTUP ... 89


(7)

vi

B. Saran ... 90


(8)

Atas berkat rahmat, petunjuk dan pertolongan Allah SWT, laporan Kerja Praktik yang berjudul Tinjauan Hukum Mengenai Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Terhadap Warga Negara Asing Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang disidangkan di hadapan dosen penguji pada tanggal 5 Februari 2014. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bila peneliti mengucap syukur alhamdulillah yang tak terhingga kepada-Nya.

Laporan ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu nilai mata kuliah Kerja Praktik yang peneliti lakukan di Kantor PPAT Nina Migiandany dalam menyelesaikan pendidikan Strata 1 Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia. Dalam penelitian ini peneliti menyuguhkan permasalahan yang terjadi dalam peralihan hak atas tanah terhadap warga negara asing, akibat adanya penyelundupan hukum yang terjadi dalam praktik peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh warga negara Indonesia dengan warga negara asing.

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, WNI dibatasi hanya dapat memiliki tanah dengan status Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai. Hak yang diberikan ini kurang diminati warga negara asing karna jangka waktu yang relatif singkat. Oleh karena itu, warga negara asing mencoba untuk mencari celah hukum untuk mendapatkan hak atas tanah dengan membuat kesepakatan dengan warga negara Indonesia. Maka dalam hal ini, peran PPAT


(9)

ii

sangat penting karena sebagai pejabat yang membantu pemerintah dalam pendaftaran tanah, PPAT mempunyai peran untuk memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan dalam peralihan hak atas tanah sebagai dasar pembuatan akta otentik yang nantinya menjadi dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut ke kantor pertanahan. Oleh sebab itu, PPAT harus teliti dalam memeriksa dokumen-dokumen yang menjadi dasar peralihan hak agar kecil kemungkinan celah hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Akhirnya peneliti mengakui dengan kerendahan hati, bahwa laporan penelitian ini bukanlah usaha peneliti seorang diri. Dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan serta dorongan dalam upaya menyelesaikan laporan ini sebagai bentuk pertanggungjawaban peneliti dalam bidang akademik.

Rasa hormat dan cinta dihaturkan kepada kedua orang tua yang telah memberikan do’a serta semangat kepada peneliti untuk terus berusaha dalam menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Juga ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Nina Migiandany, S.H dan staf yang telah memberikan kesempatan juga bimbingan kepada peneliti untuk dapat melakukan kerja praktik di kantor beliau yang luar biasa sangat membantu peneliti dalam menyusun laporan ini. Tidak lupa juga kepada Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H selaku dosen pembimbing atas ilmu, bimbingan juga nasihat yang diberikan kepada peneliti. Selain itu, peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum dan Bapak Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H selaku dosen penguji yang juga memberikan arahan kepada peneliti dalam menyelesaikan laporan ini, juga kepada dosen-dosen Fakultas Hukum yang tidak


(10)

dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi peneliti.

Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya peneliti sampaikan kepada teman-teman Fakultas Hukum terutama angkatan 2010, Wahyu Samsul teman susah senang, Widia yang tak lelah memberikan informasi, Fitria Yanuari yang selalu memberikan masukan, Endang yang tak henti memberikan nasihat dan teman-teman lain yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, yang telah bersama-sama berjuang, memberikan semangat, saling mengingatkan juga saling memberi masukan untuk dapat menyelesaikan laporan ini dengan baik yang peneliti rasa sangat membantu.

Ucapan terima kasih yang khusus dan tulus juga peneliti sampaikan kepada teman yang selalu memberikan inspirasi, motivasi juga dukungan penuh kepada peneliti. Juga ucapan terima kasih dan permohonan maaf kepada berbagai pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah membantu peneliti dalam menyusun hingga menyelesaikan laporan ini.

Harapan peneliti semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi berbagi pihak walau disadari, bahwa penulisan laporan ini masih banyak kekurangan serta masih sangat jauh dari sempurna mengingat segala keterbatasan, kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki peneliti. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang positif sangatlah peneliti harapkan.

Bandung, Februari 2014


(11)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia:Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003.

Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda, Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2004.

Martin Roestamy, Konsep-Konsep Hukum Kepemilikan Properti Bagi Asing, PT. Alumni, Bandung, 2011.

Maria S.W. Sumardjono, Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 1997.

________, Kebijaksanaan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2006.

________, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2002.

Urip Santoso, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2010.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UUD 1945, dan amandemennya.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.


(12)

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Bagi Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing

Peraturan Menteri Agraria/KBPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37/1998 tentang PPAT

Peraturan KBPN Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

SKRIPSI, THESIS, DESERTASI, MAKALAH, HASIL SEMINAR, HASIL WAWANCARA

Agus Setyadi Hadisusilo, Perbandingan Hukum Perolehan Hak Atas Tanah Untuk Orang Asing di Indonesia Khususnya di Pulau Batam dibandingkan Dengan Orang Asing di Negara Malaysia,Tesis Pascasarjana, Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2009.

Alvita Lucia, Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 388/PDT.G/2002/ PN.JKT.BAR, Laporan Praktek Kerja Lapangan, Strata-1 Fakultas Hukum UI, Depok, 2011.

Boedi Djatmiko, Kajian Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Permasalahanya, Notariat Collegium, Maret, 2009.

Farida Patittingi, Keberadaan Jabatan PPAT Bersumber pada UUPA, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pertanahan yang diselenggarakan PP Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah bekerjasama dengan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta, 14 Juli, 2012.

Lovetya, Hak Milik Atas Tanah, Pengaturan Hak Milik Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah, Tugas Mata Kuliah Hukum Agraria,Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 24 Desember, 2008.


(13)

94

Nina Migiandany, wawancara dengan peneliti, di Kantor PPAT Nina Migiandani, Bandung, Oktober, 2013.

Noni Syahputri, Tinjauan Yuridis Alas Hak di Bawah Tangan Sebagai Dasar Pendaftaran Hak Atas Tanah, Tesis Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Medan, 2009.

SUMBER ELEKTRONIK

http://coropendekar212.wordpress.com www.google.com


(14)

A. Latar Belakang

Kerja Praktik merupakan suatu proses penerapan disiplin ilmu yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja praktik dilaksanakan. Dalam kerja praktik mahasiswa ditempatkan pada suatu tempat yang berkaiatan dengan bidang ilmu yang ditempuhnya dalam waktu tertentu sehinggga dapat membantu mahasiswa agar lebih memahami bidang studi yang ditekuninya dan mendapatkan gambaran nyata pengimplementasian ilmunya di dunia nyata. Mahasiswa akan belajar mengatasi kesenjangan antara teori yang didapatkan di bangku kuliah dengan permasalahan di lapangan sebenarnya. Kegiatan kerja praktik juga menguji disiplin mahasiswa dalam melaksanakan dan menjalankan tugasnya selama menjalankan kerja praktik, mahasiswa dituntut untuk mampu menyelesaikan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh pihak instansi maupun pihak akademik selama kerja praktik berlangsung.

Kerja praktik membantu mahasiswa dalam pembelajaran secara praktis seperti dalam hal peralihan hak benda tidak bergerak yang banyak terjadi di masyarakat. Benda tidak bergerak yang dimaksud adalah tanah. Tanah dalam sistem hukum benda Indonesia dapat dikategorikan sebagai “benda”. Beberapa sistem hukum menganggap tanah sebagai benda atau


(15)

2

real property, seperti dalam negara-negara yang berlatar belakang sistem hukum Anglo Saxon.1

Boedi Harsono membagi pengertian tanah menjadi permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali, keadaan bumi di suatu tempat, permukaan bumi yang diberi batas dan bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal dan sebagainya).2 Jadi, Objek dari sistem hukum pertanahan adalah hak penguasaan atas tanah itu sendiri.

Kerangka dasar pembangunan hukum tanah haruslah diletakkan dalam upaya mewujudkan cita-cita hukum yaitu, dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 ayat (3) yang menjadi dasar pembentukan hukum agraria nasional. Makna dari kebijakan pertanahan tersebut adalah bahwa berbagai ketentuan yang dibuat itu hendaklah memberikan landasan bagi setiap orang untuk mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menerima bagian manfaat tanah, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya, sehingga dapat memperoleh kehidupan yang layak.3

Secara khusus, penjabaran politik pertanahan meliputi hal-hal sebagai berikut :4

1. Mencegah perbuatan yang bersifat memperkaya diri secara tidak adil bagi sebagian kecil masyarakat;

1

Martin Roestamy, Konsep-Konsep Hukum Kepemilikan Properti Bagi Asing, Alumni, Bandung, 2011, Hlm.48.

2

Ibid., Hlm. 47.

3 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008, Hlm. 20.

4 Ibid., Hlm. 21


(16)

2. Mengupayakan penggunaan tanah secara optimal dan mencegah penelantaran tanah;

3. Menjaga kelayakan harga tanah sehingga terjangkau bagi semua pihak.

4. Menjaga ketersediaan bahan pangan;

5. Melestarikan sumber daya alam berupa tanah dan lingkungannya; 6. Melindungi hak perseorangan dan masyarakat hukum adat serta

memberikan jaminan terhadap kepastian haknya;

7. Memberikan kemungkinan untuk menyediakan tanah bagi kepentingan umum dengan memberikan penghormatan bagi perorangan yang terkena dampak berupa ganti kerugian yang adil, yang meliputi hal-hal yang bersifat fisik/materiil dan nonfisik/immaterial, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Berbagai kegiatan perekonomian tampil tiga pelaku di dalamnya yakni Negara/Pemerintah, pihak swasta dan masyarakat, masing-masing mempunyai posisi tawar yang berbeda karena perbedaan di dalam akses terhadap modal dan akses politik, berkenaan dengan sumber daya alam berupa tanah yang terbatas itu. Kedudukan yang tidak seimbang dalam posisi tawar diantara masyarakat dan pihak swasta lebih dikukuhkan dengan adanya kewenangan pembuat kebijakan untuk merancang kebijakan yang biasa terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat tersebut dalam upaya penguasaan dan pemanfaatan tanah.

Hak-hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi tersebut dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional terkandung dalam dirinya unsur


(17)

4

kebersamaan. Unsur kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap hak atas tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang merupakan hak bersama. Sifat pribadi hak-hak atas tanah yang sekaligus mengandung unsur kebersamaan atau kemasyarakatan tersebut tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA) yang mengatur bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 1 sampai Pasal 3 mengatur bahwa adanya hak bangsa sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Hak bangsa adalah sebutan yang diberikan oleh para ilmuwan hukum tanah pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret dengan bumi, air, ruang angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Undang-Undang Pokok Agraria sendiri tidak memberikannya nama yang khusus. Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam hukum tanah nasional. Hak-hak penguasaan atas tanah yang lain secara langsung atau tidak langsung bersumber padanya. Hak Bangsa mengandung dua unsur yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya. Hak bangsa atas tanah bersama tersebut bukan hak kepemilikan dalam pengertian yuridis. Dengan demikian, dalam rangka mempertahankan hak bangsa, ada hak milik perorangan atas tanah. Tugas kewenangan untuk


(18)

mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada Negara.

Pasal 16 UUPA mengatur bahwa yang termasuk dalam hak-hak atas tanah adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan Pasal 53 UUPA.

Seseorang yang mengaku memiliki hak atas sesuatu harus dapat membuktikan kepemilikannya tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW) yang menegaskan bahwa, segala peristiwa atau kejadian yang menimbulkan hak harus dibuktikan. Seseorang tidak dapat mengaku memiliki hak atas sesuatu tanpa memiliki bukti adanya kepemilikan tersebut. Dalam hal kepemilikan atas sebidang tanah, seseorang tidak dapat mengaku memiliki sebidang tanah tanpa memiliki bukti adanya kepemilikan atas sebidang tanah tersebut.

Pasal 1867 BW menyebutkan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan. Ketentuan dari pasal di atas diketahui bahwa baik tulisan otentik atau tulisan di bawah tangan oleh hukum keduanya diakui sebagai alat bukti tertulis bagi pemegang surat tersebut. Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta. Kemudian akta


(19)

6

dapat dibedakan pula menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan.5 Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 1868 BW bahwa, suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Sementara akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Sehingga kekuatan pembuktian pada akta otentik memiliki kepastian hukum yang lebih dibanding dengan akta di bawah tangan karena pejabatlah yang menerangkan kebenaran dari apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat, sedangkan untuk akta di bawah tangan maka pengakuan dari pihak yang bertanda tangan menjadi kekuatan pembuktian secara formal.6

Akta di bawah tangan juga dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai.

Bukti kepemilikan atas tanah merupakan pembuktian yang sempurna dan harus dibuat dalam akta otentik dihadapan pejabat umum yang berwenang, untuk itu Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) merupakan jabatan yang memang sejak semula dimaksudkan untuk membuat akta mengenai perbuatan hukum dengan

5 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2002, Hlm. 149

6 Noni Syahputri, Tinjauan Yuridis Alas Hak di Bawah Tangan Sebagai Dasar Pendaftaran Hak Atas Tanah, Tesis Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Medan, 2009, Hlm. 6


(20)

objek hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tersebut.

Kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang PPAT (selanjutnya disebut PP No. 37/1998 tentang PPAT), yaitu :

1. Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.

2. PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.

Perbuatan hukum yang dimaksudkan tersebut adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 37/1998 tentang PPAT, yaitu:

1. Jual beli;

2. Tukar-menukar; 3. Hibah;

4. Pemasukan dalam perusahaan (inbreng); 5. Pembagian hak bersama;

6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; 7. Pemberian Hak Tanggungan;


(21)

8

Pengertian akta PPAT menurut Pasal 1 angka 4 PP No. 37/1998 juncto Pasal 1 angka 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN), adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Hak atas tanah meliputi semua hak yang diperoleh langsung dari negara disebut hak primer dan semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada perjanjian bersama, disebut hak sekunder.7 Kedua hak tersebut pada umumnya mempunyai persamaan, di mana pemegangnya berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk dirinya sendiri atau untuk mendapat keuntungan dari orang lain melalui perjanjian dimana satu pihak memberikan hak-hak sekunder pada pihak lain. Tiap-tiap hak mempunyai karakteristik tersendiri dan semua harus didaftarkan menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Pasal 20 UUPA Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Salah satu kekhususan dari Hak Milik ini tidak dibatasi oleh waktu dan diberikan untuk waktu yang tidak terbatas lamanya yaitu selama hak milik ini masih diakui dalam rangka berlakunya UUPA, kecuali ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 UUPA. Pasal 27 UUPA menjelaskan bahwa Hak Milik itu hapus apabila :

1. Tanahnya jatuh kepada negara :

7 Lovetya, Hak Milik Atas Tanah, Pengaturan Hak Milik Atas Tanah dan Pendaftaran

Tanah, Tugas Mata Kuliah Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang,

Desember, 2008, Hlm. 3


(22)

a. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 b. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya c. Karena diterlantarkan

d. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) 2. Tanahnya musnah.

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) Peralihan hak kepada Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA atau orang asing) menjadi dibatasi, karena dalam kepemilikannya WNA hanya dapat memiliki hak pakai atas tanah dan hak sewa atas bangunan.

Kebijakan terhadap orang asing dilandasi pertimbangan, selain demi kepentingan nasional dan melindungi kepemilikan bangsa Indonesia, juga bahwa keberadaan mereka hanya sementara. Untuk tempat tinggal orang asing dapat menyewa rumah milik orang Indonesia atau bila ingin membangun rumah sendiri, dimungkinkan menguasai dan menggunakan tanah yang bersangkutan dengan Hak Sewa ataupun Hak Pakai. Bila menggunakan Tanah Negara dapat dengan Hak Pakai, sedangkan jika tanah yang bersangkutan tanah hak milik orang Indonesia, bisa dengan Hak Sewa untuk Bangunan atau Hak Pakai, sebagaimana diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 44 UUPA. Hak sewa untuk bangunan dan hak pakai menurut hukumnya dapat diberikan dengan jangka waktu sampai 25 tahun, Tanah Hak Pakai dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan.


(23)

10

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian bagi orang asing yang berkedudukan di Indonesia, mengatur bahwa orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tanah tertentu. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia tersebut adalah orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional, yaitu orang yang memiliki dan memelihara kepentingan ekonomi di Indonesia dengan melaksanakan investasi untuk memiliki rumah tempat tinggal atau tempat hunian.

Cara memperoleh rumah tidak dapat dilepaskan dari cara memperoleh hak atas tanah tempat rumah tersebut berdiri. Untuk memperoleh rumah tersebut dapat dilakukan dengan perbuatan-perbuatan hukum sebagai berikut :

a. Orang asing dapat membeli hak pakai atas tanah negara atau hak pakai atas tanah hak milik dari pemegang hak pakai yang bersangkutan beserta rumah yang ada di atasnya atau membeli hak pakai atas tanah negara atau tanah hak milik dan kemudian membangun rumah diatasnya.

b. Orang asing dapat pula memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik atau tanah sewa untuk bangunan atau persetujuan penggunaan tanah dalam bentuk lain dari pemegang Hak Milik. c. Dalam hal rumah hunian atau tempat tinggal yang akan dipunyai

oleh orang asing berbentuk satuan rumah susun, maka orang asing yang bersangkutan harus membeli hak milik atas satuan


(24)

rumah susun yang dibangun di atas hak pakai atas tanah negara. Tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing yaitu terbatas pada rumah yang tidak termasuk klasifikasi rumah sederhana atau rumah sangat sederhana. d. Pembatasan pemilikan rumah/satuan rumah susun oleh orang

asing: Rumah/satuan rumah susun harus dihuni sendiri, harus dihuni selama sekurang-kurangnya 30 hari secara kumulatif dalam satu tahun kalender, rumah dapat disewakan melalui perusahaan Indonesia berdasarkan perjanjian antara orang asing sebagai pemilik rumah dengan perusahaan tersebut.

Akibat terbatasnya WNA untuk mendapatkan status kepemilikan hak atas tanah dan bangunan, banyak saat ini WNA memilih untuk mencari celah hukum agar dapat memiliki hak atas tanah dan bangunan di Indonesia. Sebagaimana kasus yang banyak terjadi saat ini seperti, si a WNA membeli rumah di suatu daerah di Indonesia tetapi dengan menggunakan nama si b yang merupakan Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI atau orang Indonesia) untuk dapat memiliki status hak milik atas tanah yang diatasnya berdiri sebuah bangunan dengan melakukan perjanjian yang dibuat sebelumnya oleh si a dan b tanpa dihadapan pejabat yang berwenang sehingga tidak dicatatkan dalam buku tanah di Badan Pertanahan Nasional. Jadi, walaupun tanah yang didaftarkan atas nama si b, namun pada dasarnya kepemilikan tanah tersebut adalah milik a. Dalam hal ini, peran PPAT sangat penting dalam


(25)

12

menganalisis setiap adanya permohonan peralihan hak akibat perbuatan maupun peristiwa hukum, untuk menjamin kepastian hukum akan hak-hak atas tanah, terutama yang diperuntukan bagi WNA.

Berdasarkan Latar Belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan kerja praktik di kantor P.P.A.T Nina Migiandany, S.H yang beralamat di jalan Muararajeun Nomor 22 Bandung dan melakukan penelitian untuk membuat laporan selama melakukan kerja praktik di tempat tersebut.

Adapun Laporan Kerja Praktik adalah karya tulis yang disusun menurut kaidah keilmuan di bawah pengawasan dan pengarahan dosen pembimbing Kerja Praktik untuk menjadi salah satu persyaratan akademik dalam menyelesaikan program Strata Satu di Jurusan Ilmu Hukum Universitas Komputer Indonesia.

Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian dalam penyusunan laporan berdasarkan latar belakang di atas dengan judul, “Tinjauan Hukum Mengenai Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Terhadap Warga Negara Asing Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria”.


(26)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka identifikasi masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terhadap kepemilikan tanah dan bangunan bagi warga negara asing di Indonesia ?

2. Bagaimana peran PPAT dalam peralihan hak atas tanah terhadap warga negara asing ?

C. Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan penulisan laporan kerja praktek adalah : 1. Untuk menganalisis peraturan tentang kepemilikan tanah

dan bangunan bagi warga negara asing menurut hukum di Indonesia.

2. Untuk mengetahui peran PPAT dalam peralihan hak atas tanah terhadap warga negara asing.

D. Manfaat Kegiatan

1. Manfaat bagi Mahasiswa

a. Dengan mengikuti kerja praktek, mahasiswa diharapkan dapat meningkatkan kemampuan hard skill dan soft skillnya.


(27)

14

b. Mampu melihat hubungan antara dunia kerja dan dunia pendidikan.

c. Mampu menggunakan pengalaman kerjanya untuk mendapatkan kesempatan kerja yang diinginkan setelah menyelesaikan kuliahnya.

d. Memberikan pengalaman kerja awal bagi mahasiswa sebelum terjun langsung ke dunia kerja yang nyata dan wadah untuk menjalin kerjasama yang baik antara lembaga pendidikan dengan pihak instansi yang terkait.

2. Manfaat bagi Akademik

a. Meningkatkan hubungan antara universitas dengan perusahaan. b. Sebagai salah satu alat evaluasi terhadap kurikulum yang berlaku

sehingga nantinya mampu merelevansikan kurikulum mata kuliah dengan kebutuhan dunia kerja.

3. Manfaat bagi Perusahaan

a. Diharapkan perusahaan mampu meningkatkan hubungan kemitraan dengan perguruan tinggi.

b. Memberi kontribusi dalam pelaksanaan pengembangan dan peningkatan Sumber Daya Manusia yang berdaya saing.

c. Mampu melihat kemampuan potensial yang dimiliki mahasiswa peserta KerjaPraktek, sehingga dapat menjadi wadah penyerapan karyawan atau tenaga kerja.


(28)

E. Jadwal Kerja Praktik

Kerja Praktek ini diawali dengan persiapan pada bulan September hingga Oktober dengan melakukan pengecekan ke tempat-tempat yang menjadi referensi untuk dijadikan tempat kerja praktek, dalam hal ini peneliti mencari tempat untuk kerja praktek ke kantor-kantor PPAT.

Setelah menemukan kantor yang dapat menerima mahasiswa yang akan melakukan kerja praktek di kantor tersebut, dibuatlah surat permohonan kepada kepala kantor tersebut untuk dapat melakukan kerja praktek di tempat tersebut. Kemudian, pada bulan Oktober peneliti memulai aktifitas di kantor PPAT untuk kerja praktek dan berakhir hingga bulan November dengan waktu kerja selama 100 jam.

Aktifitas yang dilakukan di kantor PPAT dimulai dari pengenalan peran PPAT yang kemudian diperlihatkan pula macam-macam akta yang dibuat oleh PPAT. Selanjutnya, penelitibelajar membuat akta, dari mulai menerima permohonan client, mengumpulkan warkah yang dibutuhkan untuk melengkapi persyaratan pembuatan akta, kemudian membuat akta dengan komparisi yang sesuai dengan warkah. Setelah itu, peneliti juga berkesempatan untuk mendengarkan pembacaan akta oleh PPAT kepada para pihak yang menghadap dan mengajukan permohonan balik nama ke BPN.

Selama melakukan kerja praktek, peneliti juga melakukan persiapan untuk membuat laporan kerja praktek pada bulan November yang dimulai dengan analisis dan penyusunan laporan selama kerja praktek berlangsung dan kemudian dibuat laporan dari hasil kerja praktek tersebut yang dibimbing oleh dosen pembimbing.


(29)

BAB II

ASPEK HUKUM TENTANG KEPEMILIKAN TANAH

SERTA BANGUNAN DI ATASNYA OLEH ORANG ASING DI

INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5

TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR

POKOK-POKOK AGRARIA DAN PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PEJABAT

PEMBUAT AKTA TANAH

A. Tinjauan Hukum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah Terhadap Warga Negara Asing Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

1. Tinjauan Hukum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah

Obyek tanah begitu strategis bagi bangsa Indonesia, sehingga hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 Ayat (3) yang mengatur bahwa,

“Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Secara mendasar, tanah adalah segala hal yang terkandung didalamnya adalah milik Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Untuk mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut, maka diterbitkanlah UUPA. Sebelum


(30)

undangkannya UUPA, terdapat dualisme bahkan pluralisme di bidang pertanahan baik mengenai hukumnya, hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah.

Dualisme dalam hukum tanah bukan disebabkan karena para pemegang hak atas tanah berbeda hukum perdatanya, melainkan karena perbedaan hukum yang berlaku terhadap tanahnya.8 Hal tersebut merupakan akibat dari politik hukum pemerintah Kolonial Belanda sehingga Hukum Tanah sama halnya dengan Hukum Perdata berstruktur ganda atau dualistik bahkan cenderung pluralistik, yaitu dengan diberlakukannya Hukum Tanah Adat yang bersumber dari Hukum Adat yang tidak tertulis bersamaan dengan Hukum Tanah Barat yang terdapat dalam ketentuan Buku II BW yang merupakan hukum tertulis yang menganut konsepsi individualistik.9

Konsepsi individualistik tersebut berpangkal dan berpusat pada hak individu atas tanah yang bersifat pribadi semata-mata. Hal tersebut tercermin pada rumusan Hak Individu tertinggi yang dalam Pasal 570 BW disebut Hak Eigendom.10

Hak Eigendom merupakan hak individu tertinggi sekaligus juga merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam Hukum Tanah Barat. Selain Hak Eigendom, Hak Atas Tanah menurut Hukum Barat antara lain Hak Opstal dan Hak Erfpacht.

8

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, Hlm.53

9 Agus Setyadi Hadisusilo, Perbandingan Hukum Perolehan Hak Atas Tanah Untuk Orang Asing di Indonesia Khususnya di Pulau Batam dibandingkan Dengan Orang Asing di Negara Malaysia,Tesis Pascasarjana, Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, Hlm. 26

10 Boedi Harsono, Op. Cit., Hlm. 60


(31)

18

Hak-hak atas tanah hasil konversi tersebut berakhir pada 24 September 1980 dan tanahnya menjadi Tanah Negara, sehingga untuk pengaturan lebih lanjut diatur sesuai dengan UUPA dan aturan-aturan pelaksanaannya.11

a. Hak Atas Tanah Adat

Berlakunya Hukum Tanah Adat bagi golongan pribumi merupakan wujud aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat, di mana dalam berlakunya tergantung dari lingkungan masyarakat yang mendukungnya, yaitu masyarakat itu sendiri, sehingga dalam kenyataannya berlakunya Hukum Tanah Adat dipengaruhi oleh kekuatan yang terdapat dalam masyarakat tersebut.12

Kekuatan yang terdapat dalam masyarakat terjadi sama halnya dengan Hukum Tanah Barat, Hukum Tanah Adat juga mengatur mengenai hukumnya, hak-hak atas tanah. Hak tanah-tanah adat antara lain Hak Ulayat, Hak Milik Adat, Hak Golongan dan Hak Memungut Hasil/Hak Menikmati.

Hukum Tanah Adat berkonsep mewujudkan semangat gotong royong dan kerkeluargaan yang diliputi suasana religius. Tanah merupakan tanah bersama kelompok teritorial. Hak-hak perserorangan atas tanah secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak bersama.13 Oleh karena itu, biarpun sifatnya

11 Agus Setyadi Hadisusilo, Op. Cit., Hlm. 27 12

Ibid., Hlm. 31

13 Boedi Harsono, Op. Cit., Hlm. 202


(32)

pribadi, dalam arti penggunaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya namun sekaligus terkandung unsur kebersamaan.

Sejak berlakunya UUPA hak-hak tersebut telah dikonversi menjadi salah satu hak yang diatur dalam UUPA. Hak Milik Adat, Hak Golongan/Sanggan dan hak-hak lainnya yang sejenis berdasarkan Pasal II Ketentuan Konversi menjadi Hak Milik (Pasal 20 UUPA),14 sedangkan untuk Hak Ulayat masih tetap dipertahankan/diakui dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 UUPA, yaitu :

“….pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

b. Hak Atas Tanah Menurut UUPA

UUPA mengatur sekaligus menetapkan mengenai urutan hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional antara lain yaitu :15

1) Hak Bangsa Indonesia; 2) Hak Menguasai dari Negara;

3) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; 4) Hak-hak Perorangan/Individu.

Seluruh hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang yang bermacam-macam, kewajiban 14

Agus Setyadi Hadisusilo, Loc. Cit 15 Ibid., Hlm. 32


(33)

20

dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.16 “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi suatu pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. Dengan adanya Hak Menguasai dari negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu bahwa :

“Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itupada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh masyarakat”.

Atas dasar ketentuan tersebut, negara berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan.17

Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa:

“Atas dasar Hak Menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepadadan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.

16

Boedi Harsono, Op. Cit., Hlm. 24

17 Agus Setyadi Hadisusilo, Op. Cit., Hlm. 33


(34)

Berdasarkan bunyi Pasal tersebut, maka negara menentukan hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu:

1. Hak Milik;

2. Hak Guna Usaha; 3. Hak Guna Bangunan; 4. Hak Pakai;

5. Hak Sewa;

6. Hak Membuka Tanah; 7. Hak Memungut Hasil Hutan;

8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam Pasal 53.

1) Hak Milik:

Menurut Pasal 20 UUPA yang dimaksud dengan Hak Milik adalah:

“Hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat fungsi sosial, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.


(35)

22

Subjek Pemegang Hak Milik Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, maka yang dapat mempunyai Hak Milik adalah:18

1. Warga Negara Indonesia. 2. Badan-badan hukum yang

telah ditentukan oleh Pemerintah Indonesia;

Berdasarkan ketentuan PP Nomor 63 Tahun 1963 disebutkan bahwa Badan-badan hukum yang dapat memegang hak milik atas tanah terdiri dari:19

1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara) yang dibatasi memiliki hak milik sebatas:

a) Tempat bangunan-bangunan yang diperlukan guna menunaikan tugasnya serta untuk perumahan bagi pegawai-pegawainya;

b) Tanah hak milik yang berasal dari pembelian

18

Indonesia Investment Law, Pengalihan Hak Atas Tanah, http://coropendekar212.wordpress.com, Diakses pada hari Minggu, 3 November 2013, pukul 19.08 WIB

19 Ibid


(36)

dalam pelelangan umum sebagai eksekusi dari Bank yang bersangkutan, dengan ketentuan, bahwa jika Bank sendiri tidak memerlukannya untuk keperluan tempat usaha atau perumahan bagi pegawainya, dalam waktu satu tahun sejak diperolehnya, tanah itu harus dialihkan kepada pihak lain yang dapat mempunyai hak milik.

Untuk tetap dapat mempunyai hak milik, diperlukan izin Menteri Pertanian Agraria. Jangka waktu satu tahun tersebut diatas, jika diperlukan atas permintaan Bank yang bersangkutan dapat diperpanjang Menteri Pertanian/Agraria atau pejabat lain yang ditunjuk.20

2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan

20 Ibid


(37)

24

Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958;

Perkumpulan Koperasi Pertanian dapat mempunyai hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari batas maksimum yang ditentukan.21

3. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria;

Badan-badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha keagamaan dan Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.22

Pembatasan untuk orang asing

Menurut Pasal 21 ayat (3) UUPA, menentukan bahwa :

“Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh Hak

21 Ibid 22 Ibid


(38)

Milik, karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu, di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu, Hak Milik tersebut tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum, dengan ketentuan Hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”.

Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan harus memenuhi ketentuan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 21 ayat (3) UUPA tersebut.

2) Hak Guna Usaha (HGU);

Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA HGU adalah : “Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan”.

Ketentuan luas, berdasarkan Pasal 28 ayat (2) adalah:

“Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik,


(39)

26

sesuai dengan perkembangan zaman”.

Hak guna usaha ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang HGU dengan cara jual-beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan atau dapat pula dengan warisan bagi pemegang HGU perseorangan.23

Jangka Waktu:

Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.24

Menurut Pasal 30 UUPA juncto Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, Subjek Pemegang HGU adalah:25

1. Warga Negara Indonesia;

23 Martin Roestamy, Op. Cit., Hlm. 58 24

Indonesia Investment Law, Loc. Cit 25 Ibid


(40)

2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat diatas, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka satu tahun haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 UUPA.26

3) Hak Guna Bangunan (HGB)

Yang dapat menjadi pemegang HGB berdasarkan Pasal 36 UUPA adalah:

1. Warga Negara Indonesia;

2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Pemegang HGB yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana disebutkan diatas dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada pihak lain yang

26 Ibid


(41)

28

memenuhi syarat. Apabila dalam jangka satu tahun haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum.27

HGB dapat diberikan diatas tanah dengan status lain sesuai dengan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yaitu:28

1. Tanah Negara;

2. Tanah Hak Pengelolaan 3. Tanah Hak Milik:

HGB atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun. Atas kesepakatan antara pemegang HGB dengan pemegang Hak Milik, HGB atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan hak tersebut wajib didaftarkan.29

Jangka Waktu Kepemilikan HGB:

HGB diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun. Sesudah jangka

27 Ibid 28

Ibid 29 Ibid


(42)

waktu HGB dan perpanjangannya berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan HGB di atas tanah yang sama.30

Syarat perpanjangan HGB:

Permohonan perpanjangan jangka waktu HGB atau pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGB tersebut atau perpanjangannya.

HGB diatas tanah Negara, atas permohonan pemegang hak dapat diperpanjang atau diperbaharui, jika memenuhi syarat :31

a) Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;

b) Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan

c) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang HGB.

d) tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan.

30 Ibid 31 Ibid


(43)

30

e) HGB atas tanah Hak Pengelolaan diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang HGB setelah mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan.

4) Hak Pakai;

Berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (1) UUPA yang dimaksud dengan Hak Pakai adalah :

“Hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejbat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini”. Subjek yang dapat memegang Hak Pakai sesuai dengan ketentuan Pasal 42 UUPA adalah:

1. Warga Negara Indonesia;

2. Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia;

3. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;


(44)

4. Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Ketentuan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah menyatakan bahwa yang berhak menjadi subyek Hak Pakai adalah:32

1. Warga Negara Indonesia;

2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; 3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non

Departemen, dan Pemerintah Daerah; 4. Badan-badan keagamaan dan sosial;

5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; 6. Badan hukum asing yang mempunyai

perwakilan di Indonesia;

7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.

Pemegang Hak Pakai yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana disebutkan diatas dalam waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu pada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu satu tahun haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan

hak-32 Agus Setyadi Hadisusilo, Op. Cit., Hlm. 38


(45)

32

hak pihak lain yang terkait di atas tanah tersebut tetap diperhatikan.33

Obyek Hak Pakai menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai adalah:

1. Tanah Negara;

2. Tanah Hak Pengelolaan; 3. Tanah Hak Milik

Jangka Waktu Hak Pakai:

Hak Pakai diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.34 Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai atas tanah yang sama, sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, namun demikian selama tanah tersebut dipakai untuk keperluan yang berkaitan dengan kepentingan subyek Hak Pakai, maka jangka waktunya tidak terbatas.35 Artinya jangka waktu tersebut akan berakhir apabila sudah 33 Indonesia Investment Law, Loc. Cit.

34 Ibid 35 Ibid


(46)

tidak digunakan untuk kepentingan subyek Hak Pakai tersebut dan dengan sendirinya Hak Pakai tersebut akan hapus.

Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu diberikan kepada :36

a. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;

b. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional;

c. Badan keagamaan dan badan sosial.

Untuk kepastian hukum atas Hak Pakai, peralihan hak pakai wajib didaftarkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut KBPN) setempat. Untuk pengaturan tentang hapusnya Hak Pakai, Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai menentukan beberapa faktor penyebab, yakni :37

1. Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya;

36 Ibid

37 Martin Roestamy, Op. Cit., Hlm. 61-62


(47)

34

2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktu berakhir, karena:

a) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam Hak Pakai; b) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau

kewajiban-kewajiban pemegang hak dan yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Pakai dengan pemilik tanah atau hak pengelolaan;

c) Putusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang

haknya sebelum jangka waktunya berakhir; 4. Hak pakainya dicabut;

5. Diterlantarkan; 6. Tanahnya musnah;

7. Pemegang Hak Pakai tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai.

Untuk menjamin kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah di Indonesia, pemerintah diwajibkan untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Perbuatan hukum pendaftaran tanah merupakan suatu


(48)

peristiwa yang sangat penting, karena menyangkut dengan hak keperdataan seseorang atau badan hukum. Hak keperdataan merupakan hak asasi seorang manusia atau badan hukum yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh sesama manusia lainnya yang bertujuan untuk adanya kedamaian dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan yang dilakukan pemilik terhadap hak atas tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun pemberian dan pengakuan hak baru, kegiatan pendaftaran tersebut memberikan suatu kejelasan status terhadap tanah. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan :

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah

secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi

pengumpulan pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematis dan sporadis yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua bidang tanah di suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, baik tanah yang dimiliki dengan suatu hak atas tanah maupun tanah negara.


(49)

36

Alas hak atas tanah merupakan persoalan yang sangat penting bagi masyarakat, di mana alas hak merupakan dasar bagi seseorang untuk dapat memiliki hak atas tanah. Pendaftaran tanah merupakan bagian dari masalah keagrariaan. Masalah keagrariaan memang tidak hanya terdiri dari pendaftaran tanah, melainkan juga meliputi: pengaturan hak-hak atas tanah atau rights on land atau land ownership. Penatagunaan tanah atau land use control, dan pengaturan penguasaan tanah atau land tenure/and occupation.38 Berdasarkan keempat fungsi keagrariaan tersebut pendaftaran tanah memang yang paling menonjol, baik di negara-negara belum maju maupun di negara-negara sudah maju, karena hal tersebut merupakan institusi negara satu-satunya yang mempunyai otoritas untuk memberikan legalitas bagi setiap pemilikan/penguasaan tanah. Dengan melakukan pendaftaran tanah maka masyarakat perorangan maupun badan hukum akan memperoleh sertifikat hak atas tanah. Sesuai ketentuan Pasal 32 ayat (1) UUPA,

“Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat dalam arti selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya harus diterima sebagai yang benar."

Seseorang yang mengaku memiliki hak atas sesuatu harus dapat membuktikan kepemilikannya tersebut. Hal ini sesuai

38 Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda, Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2004, Hlm. 131


(50)

dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1865 BW yang menegaskan bahwa,

“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”

Berdasarkan isi pasal di atas maka segala peristiwa atau kejadian yang menimbulkan hak harus dibuktikan. Seseorang tidak dapat mengaku memiliki hak atas sesuatu tanpa memiliki bukti adanya kepemilikan tersebut. Dalam hal kepemilikan atas sebidang tanah, seseorang tidak dapat mengaku memiliki sebidang tanah tanpa memiliki bukti adanya kepemilikan atas sebidang tanah tersebut.

Pasal 1867 BW menyebutkan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan. Ketentuan dari pasal di atas diketahui bahwa baik tulisan otentik atau tulisan di bawah tangan oleh hukum keduanya diakui sebagai alat bukti tertulis bagi pemegang surat tersebut. Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta. Kemudian akta dapat dibedakan pula menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan.39 Berdasarkan bunyi pasal 1868 BW yang menyatakan bahwa,

“Akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang

39 Sudikno Mertokusumo, Loc., Cit


(51)

38

oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.”

Untuk itu PPAT merupakan jabatan yang memang sejak semula dimaksudkan untuk membuat akta mengenai perbuatan hukum dengan objek hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tersebut.

2. Pengertian Orang Asing

Dalam sebuah negara, akan terdapat warga negara dan orang asing. Warga Negara mempunyai hak dan tanggung jawab yang besar, dibandingkan orang asing. Warga negara, dimanapun berada akan tetap mempunyai hubungan dengan negaranya, selama Warga Negara tersebut tidak melepaskan kewarganegaraannya.40 Sedangkan orang asing, hanya memiliki hubungan dengan negara selama orang asing tersebut berdomisili di negara tempat tinggalnya.41

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dijelaskan mengenai orang asing, yaitu:

“Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing.”

40

Agus Setyadi Hadisusilo, Op. Cit., Hlm. 43 41 Ibid


(52)

Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dijelaskan bahwa WNI adalah:42

1) Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah RI dengan negara lain sebelum Undang – Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia. 2) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang

ayah dan ibu Warga Negara Indonesia.

3) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing.

4) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia.

5) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.

6) Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia.

42 Ibid., Hlm. 44


(53)

40

7) Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia.

8) Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.

9) Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.

10) Anak yang lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.

11) Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya. 12) Anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik

Indonesia dari seorang ayah dan ibu warga Negara Indonesia yang karena dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.

13) Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah


(54)

atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

B. Tinjauan Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah

1. Pengertian Tentang Jabatan PPAT

PPAT maupun Notaris dalam perundang-undangan merupakan "pejabat umum" yang diberikan kewenangan membuat "akta otentik" tertentu. Yang membedakan keduanya adalah landasan hukum yang mengatur keduanya. Peran PPAT diatur dalam UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Peraturan KBPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sedangkan peran Pejabat Notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Perbedaan tersebut terlihat dengan jelas lembaga hukum yang bertanggung jawab untuk mengangkat dan memberhentikan, tugas dan kewenangannya dalam rangka pembuatan akta-akta otentik tertentu, serta system pembinaan dan pengawasannya.


(55)

42

Pejabat Notaris yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM dan dibawah pembinaan dan pengawasan ada pada pejabat yang ada dibawah kementerian tersebut yakni Pengadilan negeri. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh KBPN, sedangkan pembinaan dan pengawasannya ada pada pejabat yang ditunjuk dalam tingkat daerah kabupaten/kota dalam hal ini Kepala Kantor Pertanahan setempat.

Produk hukum yang dihasilkan adalah akta otentik, namun berbeda jenisnya. Didalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pejabat Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik dan sebagainya, sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Disamping itu dikatakan dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, notaris berwenang pula antara lain :

"membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan"

Jabatan PPAT sebagaimana yang tercantum dalam UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37/1998 tentang PPAT juncto Peraturan Menteri Agraria/KBPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37/1998 tentang PPAT, merupakan pejabat umum yang diberikan


(56)

kewenangan untuk membuat akta-akta otentik sebagai bukti telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang terletak diwilayah kerjanya yang ditentukan oleh pemerintah (kompetensi absolute) yakni kabupaten atau kota satu wilayah dengan wilayah kerja Kantor Pertanahan.

Jabatan PPAT dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 19 UUPA, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dengan nama PPAT, tetapi hanya disebut sebagai Pejabat, namun jika melihat cakupan kewenangan dari Pejabat yang ditentukan dalam peraturan pemerintah tersebut semuanya terkait dengan perbuatan hukum mengenai tanah.43 Sehingga dapat ditafsirkan bahwa Pejabat yang dimaksud adalah Pejabat yang bertugas dan berwenang membuat akta tanah atas perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang bersangkutan.44

Kedudukan PPAT termasuk akta-akta yang dilahirkannya, bentuk dan blangko aktanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana sejak semula telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Peraturan

43 Farida Patittingi, Keberadaan Jabatan PPAT Bersumber pada UUPA, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pertanahan yang diselenggarakan PP Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanahbekerjasama dengan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta, 14 Juli, 2012

44 Ibid


(57)

44

Pemerintah tersebut dikenal dengan istilah pejabat dengan lingkup kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19.

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur mengenai Pejabat, yaitu:45

1) Pasal 19 :

"Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah. menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut sebagai Pejabat). Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria".

2) Pasal 38 :

"Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 19 wajib menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya, menurut bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Agraria serta wajib pula menyimpan asli akta-akta yang dibuatnya”.

Penunjukan Pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961

45 Ibid


(58)

tentang Pendaftaran Tanah tersebut, disebutkan bahwa yang dapat diangkat sebagai Pejabat adalah:46

a. Notaris

b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Departeman Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan-peraturan Pendaftaran Tanah dan peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah;

c. Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas seorang pejabat;

d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang dilakukan oleh Menteri Agraria.

Penyebutan secara eksplisit pertama kali ditemukan dalam Surat Edaran Menteri Pertanian dan Agraria No 10 Tahun 1961:47

"...apabila untuk suatu kecamatan belum ditunjuk seorang pejabat khusus, maka Asisten Wedana "ambsthalve" menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah...".

Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 sebagai peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 didalamnya diatur secara detail tentang pelaksanaan pembuatan akta di

46 Ibid 47 Ibid


(59)

46

hadapan "pejabat".48 Setiap pembuatan akta di hadapan "pejabat", harus menggunakan formulir-formulir yang tercetak atau formulir yang diketik dengan ukuran kertas tertentu dan harus mendapat persetujuan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah dan formulir-formulir tecetak hanya dapat dibeli di kantor-kantor pos.

Peraturan tersebut dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa pada saat itu sebagian besar PPAT dijabat oleh Camat yang karena jabatannya (ex officio) menjalankan sementara Jabatan PPAT, agar dapat memudahkan pelaksanaan jabatannya termasuk petunjuk pengisian formulir atau blangko akta tersebut.49 Peraturan tersebut berlaku berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/KBPN Nomor 3 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.50 Menurut peraturan ini disebutkan bahwa akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dibuat dengan menggunakan blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional yang telah dicetak lebih dahulu. Artinya PPAT tidak boleh membuat bentuk akta sendiri karena harus menggunakan blangko yang sudah disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Namun, sejak tanggal 1 April 2013 ketentuan tersebut diubah sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor

48 Ibid 49

Ibid 50 Ibid


(60)

3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.51

Pada pasal 96 ayat (1) Peraturan KBPN Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dikatakan bahwa bentuk akta yang dipergunakan didalam pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 ayat (1) dan ayat (2), dan tatacara pengisian dibuat sesuai dengan lampiran peraturan ini yang terdiri dari :

a. Akta Jual Beli; b. Akta Tukar Menukar; c. Akta Hibah;

d. Akta Pemasukan Kedalam Perusahaan; e. Akta Pembagian Hak Bersama;

f. Akta Pemberian Hak Tanggungan;

g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Tanah Hak Milik;

h. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Kemudian, Pasal II.1.b Peraturan KBPN Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, mengatakan bahwa blangko akta PPAT yang masih tersedia di kantor BPN atau,

masing-51

Nina Migiandany, wawancara dengan peneliti, di Kantor PPAT Nina Migiandani, Bandung, pada tanggal 2 Oktober 2013, pukul 10.45 WIB


(61)

48

masing PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara, atau PPAT Khusus masih dapat dipergunakan. Blangko akta PPAT jika PPAT tersebut tidak menggunakannya lagi wajib dikembalikan ke kantor pertanahan setempat paling lambat 31 Maret 2013. Jadi, sejak 1 April PPAT tidak menggunakan blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional yang telah dicetak lebih dahulu, tetapi PPAT mencetak sendiri bentuk aktanya dengan tatacara pengisian yang telah diatur dalam Peraturan KBPN Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Pelaksanaan tugas pembuatan akta otentik atas perbuatan – perbuatan hukum yang merupakan bagian dari kegiatan pendaftaran tanah, didalam ketentuan pasal 54 Peraturan KBPN Nomor 1 tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37/1998 tentang PPAT menentukan kewajiban yang harus dilakukan PPAT pada saat pembuatan akta yang wajib dipenuhi oleh PPAT:52

1) Sebelum pembuatan akta atas perbuatan hukum, PPAT wajib melakukan pengecekan/pemeriksaan keabsahan sertifikat dan catatan lain pada kantor pertanahan setempat dan menjelaskan maksud dan tujuannya.

2) Dalam pembuatan akta tersebut tidak diperbolehkan memuat kata-kata "sesuai atau menurut keterangan para pihak" kecuali didukung oleh data formil.

52 Boedi Djatmiko., Loc. Cit.


(62)

3) PPAT berwenang menolak pembuatan akta yang tidak didasari data formil. PPAT tidak diperbolehkan membuat akta atas perbuatan hukum dimaksud atas sebagian bidang tanah yang sudah terdaftar atau tanah milik adat, sebelum diukur oleh Kantor pertanahan dan diberikan Nomor Identifikasi Bidang Tanah ( NIB).

4) Dalam pembuatan akta, PPAT wajib mencantumkan NIB atau nomor hak atas tanah, nomor Surat Pemberitahuan Pajak terutang (SPPT) PBB, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keadaan lapangan.

PPAT dalam melaksanakan tugasnya wajib mengikuti aturan, ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38, pasal 39 dan pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan administrasi berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.53

Selanjutnya, dalam peraturan jabatan PPAT pasal 10 PP No. 37/1998 tentang PPAT juncto Peraturan KBPN Nomor 1 tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37/1998 53 Ibid


(63)

50

tentang PPAT, menjelaskan ada dua klasifikasi pemberhentian dari jabatan PPAT, diberhentikan dengan hormat dan diberhentikan dengan tidak hormat.54

PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. permintaan sendiri; b. tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan menteri atau pejabat yang ditunjuk; c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; d. diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI;55

Sedangkan PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena: a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.56 Berdasarkan ketentuan pertanahan, pelanggaran dibedakan menjadi 2 jenis yang menjadi dasar pemberhentian PPAT.57

Pelanggaran ringan antara lain:

1) Memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundang-undangan;

54 Ibid 55 Ibid 56

Ibid 57 Ibid


(64)

2) Dalam waktu 2 bulan setelah berakhirnya cuti tidak melaksanakan tugasnya kembali;

3) Tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya;

4) Merangkap jabatan.

Pelanggaran berat antara lain:

1) Membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;

2) Melakukan pembuatan akta sebagai permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; 3) Melakukan pembuatan akta diluar daerah kerjanya kecuali

yang dimaksud dalam pasal 4 dan 6 ayat (3);

4) Memberikan keterangan yang tidak benar didalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan; 5) Membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk

lainnya yang terletak diluar dan atau di dalam daerah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 46;

6) Melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;

7) Pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan tidak hadir dihadapannya;

8) Pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang oleh PPAT yang


(65)

52

bersangkutan diketahui masih dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan tidak berhak untuk melakukan perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta;

9) PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya; 10) PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang tidak

berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya;

11) PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau dalam keadaan cuti dan; 12) Ketentuan lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan

Pertanahan Nasional.

2. Sejarah PPAT Nina Migiandany, S.H

Kerja Praktik yang dilakukan di Kantor PPAT Nina Migiandany, S.H.,bertujuan untuk meneliti tentang peralihan hak atas tanah terhadap warga negara asing yang berkaitan dengan tugas PPAT sebagai pejabat yang berwenang dalam pembuatan akta tanah, selain itu juga peneliti mencari informasi mengenai sejarah Nina Migiandani yang menjabat sebagai PPAT di Kota Bandung. Informasi yang didapat salah satunya menggunakan metode wawancara. Dalam wawancara, Nina Migiandani memaparkan mengenai sejarahnya yang lahir di Malang, 28 Juli 1963 dan saat ini bertempat tinggal di


(66)

jalan Muararajeun Nomor 22 Bandung. Nina Migiandani menjalani pendidikan Strata-1 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, lulusan tahun 1987 pada bulan Oktober. Setelah lulus pernah menjadi Asisten di Kantor Pengacara Ronggur Hutagalung, S.H pada bulan Oktober tahun 1987 sampai dengan bulan Oktober tahun 1988.58

Nina Migiandani melanjutkan pendidikan Kenotariatan di universitas yang sama dan lulus pada tahun 1992 dibulan Maret. Sebelum lulus, Nina sempat magang di Kantor Notaris Kota Bandung Muchlis Munir, S.H pada tahun 1991 sampai dengan Maret 1992 sebagai syarat kelulusan untuk mendapatkan gelar Notarisnya.59

Sebelum memulai karirnya, pada bulan Juni 1995 Nina Migiandani terlebih dahulu menjadi Notaris Pengganti di Kantor Notaris Tetu Suhartati, S.H yang berada di Kotamadya Sukabumi. Barulah pada bulan Oktober 1998 Nina Migiandanidiangkat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Subang dan dilanjutkan dengan pengangkatannya sebagai Notaris di wilayah kerja yang sama pada tahun 1999. Tahun 2002 Nina Migiandani mengajukan surat pindah dari wilayah kerja Kabupaten Subang, ke wilayah kerja Kota Bandung. Hingga akhirnya, pada tahun tersebut Nina Migiandani diangkat kembali menjadi Notaris dengan SK Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor : C-774.HT.03.02.Th 2002, dan PPAT dengan SK Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 17-X-2002, yang kemudian disumpah sebagai Notaris dan PPAT di wilayah kerja Kota

58

Nina Migiandani, Loc. Cit.

59 Ibid


(67)

54

Bandung pada tahun yang sama dan masih menjabat hingga saat ini. Sejak September 2005 Nina Migiandani juga telah terdaftar sebagai Notaris Pembuat Akta Koperasi Kota Bandung.60

60 Ibid


(68)

A. Mengarsipkan Warkah

Pembuatan akta merupakan hal terpenting dalam peralihan hak, karena merupakan bukti telah terjadinya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah. Pejabat yang berwenang untuk pembuatan akta tersebut adalah PPAT sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 37/1998 tentang PPAT dan Peraturan KBPN Nomor 1 tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37/1998 tentang PPAT. PPAT dalam membuat akta untuk keperluan peralihan hak atas tanah harus berdasarkan warkah yang telah dilengkapi oleh para pihak. Warkah yang harus dilengkapi para pihak tersebut berupa:61

1. Bagi Pihak yang Mengalihkan (Pihak Pertama) a. KTP Pihak Pertama

b. Kartu Keluarga c. Surat Nikah d. KTP Suami/Isteri

e. Surat Persetujuan Isteri/Suami f. Sertifikat

g. SSP h. PBB i. NPWP

61

Ibid

55


(69)

56

2. Bagi Pihak yang Menerima (Pihak Kedua) a. KTP Pihak Kedua

b. Surat Permohonan untuk Balik Nama c. Surat Kuasa Pengurusan

d. Surat Pernyataan e. Kuitansi

f. Bukti Pengecekan Sertifikat g. SSB

h. NPWP

3. Bila peralihan hak karena waris, maka syarat tambahan yang wajib dipenuhi adalah :

a. Surat Kematian

b. Surat Pernyataan Ahli Waris c. Surat keterangan Ahli Waris d. Akta Kelahiran

Persyaratan tersebut di atas, wajib dipenuhi para pihak yang melakukan permohonan pembuatan akta peralihan hak atas tanah kepada PPAT, baik karena perbuatan hukum maupun peristiwa hukum. Bila persyaratan tersebut belum dapat dipenuhi oleh para pihak, maka pembuatan akta belum dapat dilakukan.Oleh sebab itu, pengarsipan warkah menjadi penting karena perlunya kehati-hatian dan ketelitian agar tidak ada warkah yang terlewat, sehingga bila terdapat kekeliruan dapat dibuktikan dengan warkah tersebut.


(70)

Belajar mengumpulkan warkah merupakan kegiatan peneliti saat Kerja Praktek pada tanggal 9 Oktober 2013 di kantor PPAT Nina Migiandany, jalan Muararajeun Nomor 22 Bandung.

B. Menggandakan Dokumen

Kegiatan menggandakan dokumen atau biasa disebut fotocopy,merupakan kegiatan rutin yang dilakukan penelitiselama Kerja Praktek di Kantor PPAT Nina Migiandany, jalan Muararajeun Nomor 22 Bandung yang dimulai pada tanggal 9 Oktober sampai dengan tanggal 13 November. Kegiatan tersebut dilakukan untuk menggandakan dokumen-dokumen penunjang seperti warkah para pihak yang nantinya akan dibuat menjadi beberapa dokumen untuk diserahkan kepada dinas-dinas terkait seperti BPN. Dokumen yang digandakan wajib diberi stempel/capPPAT dan ditandatangani oleh PPAT sebagai bukti bahwa dokumen tersebut sesuai dengan aslinya.

C. Mencatat Dokumen Masuk dan Keluar

Pencatatan dokumen masuk dan keluarmerupakan proses pengarsipan yang dilakukan untuk mengetahui dokumen-dokumen yang sedang diproses maupun yang baru masuk untuk diproses. PPAT harus membuat daftar akta yang telah dibuatnya dalam satu buku daftar akta, yang di dalamnya dicantumkan berurutan nomor semua akta yang dibuat berikut data lain yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya. Diisi setiap hari kerja PPAT dan ditutup setiap hari kerja yang sama oleh PPAT dengan garis tinta hitam dan diparaf oleh PPAT yang bersangkutan pada kolom terakhir


(1)

86

“PPAT… (nama PPAT yang bersangkutan) … telah minta pengecekan sertifikat”

kemudian diparaf dan diberi tanggal pengecekan.

4. Sertifikat yang sudah diperiksa kesesuaiannya dengan daftar-daftar di Kantor Pertanahan tersebut dikembalikan kepada PPAT yang bersangkutan.

Pelaksanaan pembuatan Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan, yaitu Pemberi Hak Pakai dan Penerima Hak Pakai dan/atau orang yang dikuasakan oleh para pihak tersebut dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.72 Pada saat pembuatan akta tersebut harus disaksikan oleh

sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum. Para saksi tersebut memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut

oleh para pihak yang bersangkutan.73 Akta Pemberian Hak Pakai Atas

Tanah Hak Milik dibuat sebanyak 2 (dua) lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar lagi disampaikan kepada

72

Ibid., Hlm. 86

73 Ibid


(2)

Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, sedangkan

kepada pihak-pihak yang bersangkutan diberikan salinannya.74

Setelah pembuatan Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, PPAT wajib menyampaikan Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran peralihan hak kepada Kantor Pertanahan, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatanganinya Akta Pemberian

Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik.75 Adapun dokumen-dokumen yang

harus diserahkan oleh PPAT untuk keperluan pendaftaran peralihan hak

adalah sebagai berikut:76

1. Surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya;

2. Surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hak;

3. Akta tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang bersangkutan yang dibuat oleh PPAT yang pada waktu pembuatan akta masih menjabat dan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan;

4. Bukti identitas pihak yang mengalihkan hak; 5. Bukti identitas penerima hak;

6. Sertifikat hak atas tanah yang dialihkan;

7. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

74 Ibid 75


(3)

88

8. Bukti pelunasan pembayaran PPh.

Pendaftaran peralihan hak tersebut, Kantor Pertanahan wajib memberikan tanda penerimaan atas penyerahan permohonan pendaftaran beserta Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik dan dokumen-dokumen yang diterima oleh PPAT. Setelah itu, PPAT memberitahukan kepada penerima hak mengenai telah diserahkannya permohonan pendaftaran peralihan hak beserta Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik dan dokumen-dokumen kepada Kantor Pertanahan dengan menyerahkan tanda terima tersebut kepada penerima hak.


(4)

A. Simpulan

1. UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan warga negara asing dan badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Warga negara asing dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia tetapi terbatas, yakni hanya boleh dengan status Hak Pakai. Ketentuan UUPA tentang WNA, dan dalam rangka memberikan kepastian hukum mengenai pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian untuk orang asing, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemillikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996 dan Peraturan Menetri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 1996. Penguasaan HPTN dan HP diatas tanah Hak Milik oleh WNA berakhir apabila yang bersangkutan tidak memenuhi syarat lagi sebagai pemegang HPTN dan HP diatas tanah Hak Milik dan wajib melepaskan/mengalihkan hak atas rumah dan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat.


(5)

90

2. Peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT). Sebagaimana yang tercantum dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, PP Nomor 37 Tahun 1998 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor 3 tahun 1997. WNA dapat memiliki rumah yang berdiri sendiri di atas bidang tanah Hak Pakai atas Tanah Negara atau di atas bidang tanah yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996, perjanjian yang secara hukum sah mendasari pemilikan rumah tempat tinggal bagi WNA di Indonesia adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

B. Saran

1. Diperlukan pengaturan yang lengkap terhadap kepemilikan tanah oleh orang asing agar disatu sisi keberadaannya bermanfaat bagi pembangunan dan disisi lain keberadaan orang asing juga

mendapat jaminan kepastian hukum (legal certainty).

2. Diperlukan adanya ketelitian dan kecermatan dari seorang PPAT apakah peralihan hak atas tanah itu sudah sesuai dengan peraturan dan tidak melanggar hukum, khususnya peralihan hak terhadap Warga Negara Asing

3. Perlunya pengawasan oleh pemerintah terhadap kepemilikan tanah bagi WNA.


(6)

4. Penerapan sanksi administratif dan pidana bagi pelanggar peraturan yang menyangkut kepemilikan atas tanah bagi warga negara asing.


Dokumen yang terkait

ANALISA YURIDIS HAK MENGUASAI DARI NEGARA ATAS TANAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (Lembaran Negara 1960. Nomor : 104, Tambahan Lembaran Negara 2043 )

0 34 17

ANALISA YURIDIS HAK MENGUASAI DARI NEGARA ATAS TANAH MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (Lembaran Negara 1960. Nomor : 104, Tambahan Lembaran Negara 2043 )

0 15 13

KAJIAN YURIDIS TENTANG TANAH TERLANTAR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

0 3 18

KAJIAN YURIDIS TENTANG TANAH TERLANTAR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

1 5 6

Analisis Hukum Tentang Asas Perlekatan Vertikal dalam Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria

16 77 57

PEMBATALAN HIBAH TERHADAP HAK ATAS TANAH YANG DIBERIKAN MELALUI WASIAT MENURUT HUKUM ISLAM DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA DAN KHI.

0 1 2

TINJAUAN HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN TANAH ULAYAT MASYARAKAT KAMPUNG NAGA DALAM SUDUT PANDANG UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA.

0 0 1

STATUS HUKUM TANAH BENGKOK DI DESA CIMENYAN KECAMATAN CIMENYAN KABUPATEN BANDUNG DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA DAN UNDANG UNDANG.

0 1 1

KEDUDUKAN HUKUM PERJANJIAN PENGUASAAN HAK ATAS TANAH KEPADA WARGA NEGARA ASING DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUK.

0 0 2

TINJAUAN YURIDIS HAK ATAS TANAH PENANAMAN MODAL ASING DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK AGRARIA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL.

0 0 1