14
dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Apabila bertujuan demi kepentingan umumNegara maka jaksa diberikan wewenang untuk mengajukan upaya
hukum peninjauan kembali Herziening.
B. Pandangan Pakar Hukum Tentang Praktek Pengajuan Upaya Hukum
Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Bebas
Menurut Indriyanto Seno Adjie, dengan adanya peninjauan kembali yang diajukan oleh JaksaPenuntut Umum terhadap perkara pidana yang
diputus bebas atau diputus lepas dari tuntutan hukum memang menimbulkan implikasi hukum yang mungkin bertentangan dengan beberapa ketentuan
yang terdapat dalam KUHAP. Akan tetapi dalam praktiknya Mahkamah Agung menerima dan mengabulkan upaya JaksaPenuntut Umum tersebut
dengan berdasarkan asas keadilan, meskipun dari sisi kepastian hukum bahwa peninjauan kembali yang diajukan oleh JaksaPenuntut Umum tersebut tidak
searah dengan pendekatan historis dan yuridis yang justru memberikan limitasi subyek dan obyek peninjauan kembali.
Mardjono Reksodiputro, mengatakan peninjauan kembali yang diajukan oleh JaksaPenuntut Umum terhadap perkara pidana yang diputus
bebas atau diputus lepas dari tuntutan hukum, adalah sah-sah saja dikarenakan tugas Mahkamah Agung adalah harmonisasiunifikasi hukum
dengan cara menafsirkan dengan mempersempit atau memperluas, selain itu Mahkamah Agung dapat melakukan interpretasi yang nantinya dapat atau
untuk dijadikan undang-undang sehingga dapat mengikuti perkembangan dan tidak kontemporer.
Selanjutnya Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, boleh juga dilakukan terhadap
hukum formilhukum acara termasuk juga masalah peninjauan kembali yang diajukan oleh JaksaPenuntut Umum. Interpretasi penafsiran oleh
Mahkamah Agung dilakukan untuk keadilan dan kepastian hukum. Mardjono
15
Reksodiputro juga mengutarakan bahwa kepastian hukum ada dua, yang pertama adalah setiap orang yang sama-sama bersalah harus dibawa
semuanya ke pengadilan, dan yang kedua adalah bagaimana hakim, khususnya Mahkamah Agung dalam memberikan keadilan. Dengan demikian
kepastian hukum tidak hanya yang terdapat dalam ketentuan undang-undang, melainkan dapat diambil dari hukum internasional ataupun bisa juga dari
pendapat guru besar. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Jaksa Agung Muda Pidana
Khusus RI, Dr. Marwan Effendi, S.H., bahwa jaksa tidak berhak mengusulkan peninjauan kembali terhadap putusan hakim dalam sebuah
perkara. “Apabila seseorang telah diputuskan bebas dalam peradilan maka tidak diperlukan lagi Peninjauan Kembali, yang berhak mengajukan
Peninjauan Kembali adalah terpidana ataupun ahli warisnya, bukan jaksa,”
6
Jaksa harus diberikan hak untuk melakukan upaya hukum luar biasa PK dalam perkara pidana sebagai upaya penegakan hukum, keadilan, dan
perlindungan kepentingan umum. Di samping hal tersebut, juga dibutuhkan adanya ketentuan perundang-undangan yang mengatur secara limitatif hak
jaksa untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali untuk menghindari timbulnya polemik. “Produk legislasi yang mengatur tentang
masalah peninjauan kembali harus disinkronkan supaya tidak menimbulkan multitafsir karena bersifat ambigu,”
Sementara itu, Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum, staf pengajar Fakultas Hukum UGM, mengatakan terdapat dua persoalan utama yang perlu
dikritik terkait dengan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum. Yang pertama, mengenai putusan bebas itu sendiri. Jika seseorang
diputus bebas oleh pengadilan berarti perbuatan yang dituduhkan terhadapnya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Terhadap putusan bebas ini tidak
dapat diajukan upaya hukum apapun, baik banding maupun kasasi, demi kepentingan hukum ataupun Peninjauan Kembali. Apabila putusan bebas yang
6
Effendy, Marwan, 2005, Hukum Acara Pidana. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Hal 98
16
dijatuhkan adalah semata-mata kekeliruan hakim, tidak sepantasnya kekeliruan hakim itu ditanggung oleh terdakwa yang diputuskan bebas.
7
Lebih lanjut dituturkan Eddy, permasalahan yang kedua tentang hakikat peninjauan kembali berdasar ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHP adalah
hak terpidanaahli warisnya jika terdapat bukti baru, adanya pertentangan antara pertimbangan dan putusan hakim, dan adanya kekhilafan yang nyata
dari putusan hakim. Tidak disebutkannya jaksa dalam pasal ini sebagai pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali ini menimbulkan persepsi jaksa
tidak dilarang untuk mengajukan Peninjauan Kembali.
8
Bagi penganut aliran positivisme atau analytical positivism atau rechtsdogmatiek, yang cenderung melihat bahwa hukum sebagai suatu yang
otonom, tujuan hukum tidak lain dari sekedar mencapaiterwujudnya kepastian hukum. Dalam pandangan positivisme, penyimpangan terhadap undang-
undang juga dianggap telah meniadakan kepastian hukum. Kesimpulan dari pendekatan ini adalah bahwa satu-satunya hukum yang diterima sebagai
hukum merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah dapat dipastikan kenyataannya.
9
Berkaitan dengan tugas hakim, yaitu mengadili perkara-perkara yang dihadapkannya, hakim akan selalu dihadapkan pada peristiwa-peristiwa
konkrit. Peristiwa konkrit tersebut tidak jarang muncul tidak dapat diselesaikan oleh peraturan perundang-undangan yang telah ada, karena belum
ada ketentuan yang mengaturnya. Bahkan dalam keadaan tertentu terjadi kekosongan hukum atau hukumnya tidak jelas.
7
Eddy O.S. Hiariej, Legal Opinion, Permohonan Pengujian Pasal 10 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Newslette Komisi Hukum
Nasional, Vol. 10 No.6 Tahun 2010
8
Ibid
9
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, selanjutnya disebut Theo Huijbers I, h. 128
17
C. Analisa Kasus