Pembaharuan Hukum Sebagai Upaya Meningkatkan Eksistensi Balai Harta Peninggalan Dalam Pelayanan Hukum

(1)

PEMBAHARUAN HUKUM SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN

EKSISTENSI BALAI HARTA PENINGGALAN

DALAM PELAYANAN HUKUM

T E S I S

Oleh

RUSTANI JULIAR BERDIKARI HUTASOIT

077005023/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Σ

Ε Κ

Ο Λ Α

Η

Π Α

Σ Χ

Α Σ Α Ρ ϑΑ Ν


(2)

PEMBAHARUAN HUKUM SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN

EKSISTENSI BALAI HARTA PENINGGALAN

DALAM PELAYANAN HUKUM

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RUSTANI JULIAR BERDIKARI HUTASOIT

077005023/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PEMBAHARUAN HUKUM SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN EKSISTENSI BALAI HARTA PENINGGALAN DALAM PELAYANAN HUKUM Nama Mahasiswa : Rustani Juliar Berdikari Hutasoit

Nomor Pokok : 077005023

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 13 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota : 1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum 4. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Lembaga Balai Harta Peninggalan (BHP) berdasarkan Ordonansi 1872 hanya berlaku terhadap golongan penduduk Eropah, Timur Asing China, Timur Asing Bukan China, dan lain-lain dan tidak diberlakukan terhadap golongan pribumi. Pada kenyataannya BHP tidak saja dipergunakan oleh golongan penduduk tertentu (Eropah, Timur Asing China, Timur Asing Bukan China, dan lain-lain), tetapi juga dipergunakan oleh warga negara secara umum (termasuk golongan pribumi). Lahirnya sejumlah perundang-undangan setelah Indonesia merdeka, antara lain: Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Kepailitan, Undang-undang Kewarganegaraan serta Undang-undang Hak Asasi Manusia, akan mempengaruhi Eksistensi Balai Harta Peninggalan sehingga perlu diteliti relevansi Ordonansi 1872 No. 166 dengan perkembangan saat ini.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan analisis kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data primer dan data sekunder (bahan hukum) yang dikumpulkan dengan menggunakan tekhnik wawancara dan studi kepustakaan.

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan perlu dilakukan pembaharuan sebahagian terhadap Ordonansi 1872, dalam hal ruang lingkup pemberlakuan. Balai Harta Peninggalan terhadap seluruh warga negara Indonesia secara umum temasuk golongan pribumi. Dengan lahirnya beberapa perundangan seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Kepailitan, Undang-Undang Kewarganegaraan dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia, setidaknya mempengaruhi ruang lingkup tugas dan fungsi BHP, serta ruang lingkup kedudukan Balai Harta Peninggalan untuk dihidupkan kembali di setiap Ibukota Propinsi sehingga mempermudah masyarakat dalam pengurusan kebutuhannya terhadap Balai Harta Peninggalan, maka Balai Harta Peninggalan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. BHP dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang demikian penting, tetap saja menghadapi hambatan-hambatan, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal bagi BHP dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Hambatan internal berasal dari BHP itu sendiri, berupa perundangan, sumber daya manusia, kendala anggaran serta kendala fasilitas dan sarana kerja. Sedangkan hambatan eksternal antara lain kurangnya pengertian dan pemahaman masyarakat dan instansi terkait dengan tugas dan kewenangan BHP.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka disarankan kepada Pemerintah untuk dapat kiranya segera mengesahkan RUU-BHP menjadi Undang-undang Nasional, kemudian mensosialisasikannya agar seluruh masyarakat dapat memahami atau mengerti tentang eksistensi BHP tersebut. Pemerintah juga diharapkan dapat meningkatkan eselonering BHP setingkat lebih tinggi dan memperhatikan kecukupan anggaran bagi BHP serta memperbaiki sarana dan fasilitas, kerja, agar BHP bisa menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.


(6)

ABSTRACT

The Institution Wesskamer en Boedelkamer on Ordonancy of 1872 just applies to population of Europ, stranger east China, non-stranger east China, and so on and not for group of native. In reality the BHP is not only used by a group of population (Europe, strange east China, non-strange east China, etc), but also used by general citizen (including native). The birth of laws after Indonesia is independent, including: The laws of children protection, liquidity law, citizenship law and Human rights, will effect the existence of property Board, thus it is important to observe the relevance of Ordonancy 1872 No. 166 with recent development.

This research uses the method of normative law research in descriptive nature with qualitative analysis approach. The qualitative analysis is conducted on data of primary and secondary (material of law) that is collected using the technic of interview and study of literature.

Based on the result of research concluded that it needed to make the restoration to some of ordonancy 1872, in the case of application scope. The Property Board to all people of Indonesia generally included the group of natives. With the birth of some laws such as the law for children protection, liquidity law, citizenship law and Human rights, it will at least effect the scope of task and function of BHP, and also the scope of property board status to be revived in each capital town of province so that will effect the peoples in arrangement of the needs on Property Board, so the Property Board can conduct the task and function optimally. BHP in doing the task and function that is very important, will remain to face the problems, either internal or external for BHP in implementation of task and authority. The internal problem derivated from BHP it self, as laws, human power, budget limit and facility or equipments. While the external problem include the less understanding and comprehension of peoples and related infancies with task and authority of BHP.

Based on the result mentioned above, recommended to government to be able ratifying the RUU-BHP to become National Law, and then socialize it so that all people can understand and know about existence of the BHP. Government is also hoped to be able to increase the eselonering BHP a level higher and to notice the sufficiency of budget for BHP to improve the facility and equipment, in order BHP can run the main task and function according to the need of people.

Keywords: Institution of Wesskamer en Boedelkamer, Ordonancy 1872, Law Revision.


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Pembaharuan Hukum Sebagai Upaya Meningkatkan Eksistensi Balai Harta Peninggalan dalam Pelayanan Hukum"

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Humaniora, pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan Penulis. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, kritik yang sehat serta saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk perbaikannya di kemudian hari.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, Penulis sampaikan kepada yang terhormat dan yang amat terpelajar:

1. Rektor Universitas Sumatera, Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) dan para Pembantu Rektor, para Kepala Biro dan Lembaga atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana (S2).

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Wismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Komisi Pembimbing yang selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis baik pada saat mengikuti perkuliahan dan juga dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Anggota Pembimbing yang telah


(8)

memberikan saran, bimbingan dan dukungan penuh membuat penulis terpacu untuk segera menyelesaikan tesis ini. Untuk itu penulis doakan semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan HidayahNya kepada beliau dan keluarganya.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dalam kesibukannya rela meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna serta sabar dalam penyampaian membuat penulis terpacu untuk penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji.

7. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji. 8. Seluruh Dosen penulis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

yang telah banyak memberikan ilmu serta motivasi dalam setiap perkuliahan. 9. Bapak Amri Marjunin, SH, selaku Ketua BHP Medan dan para, ATH yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, serta memberikan data-data dan masukan yang sangat berguna dalam penyelesaian tesis ini.

10. Bapak Mashudi Bc.IP, SH. MM selaku Kepala Kantor Wilayah dan Bapak Drs. Rosman Siregar, SH.MH, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kantor Wilayah Departem Hukum dan HAM Sumatera Utara yang juga telah memberikan masukan dan saran yang sangat berguna dan bermanfaat dalam penyelesaian tesis ini.

11. Orang tua tercinta, Almarhum Ayahanda Muhammad M. Hutasoit, SH dan Almarhum Ibunda, Hj. Asminah Harahap yang oleh karena bimbingan mereka jualah sejak dari kecil sehingga Penulis dapat sukses serta semua saudara-saudari dan segenap keluarga yang selalu memberikan dorongan serta semangat kepada Penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini, terlebih kepada Abanganda Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid Simangunsong, MA.


(9)

12. Teristimewa ucapan terima kasih kepada suami tercinta Daulat Siregar, SH, yang juga bersama-sama dengan Penulis mengikuti Sekolah Pascasarjana di USU dan ananda-ananda tersayang Hakim R.J. Siregar, Putri Rahayu D. Siregar, Nanda Tri D. Siregar dan Anggi Putra A. Siregar, dengan cinta, kasih yang tulus serta pengertian yang tinggi terus mendukung dan rela kehilangan waktu untuk bersama selama masa perkuliahan berlangsung;

13. Rekan-rekan seperjuangan pada kelas kekhususan Hukum dan HAM Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU Angkatan Pertama Tahun 2007, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh dan pantang mundur.

14. Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU atas segala bantuannya berupa pelayanan dan kemudahan yang diberikan, kiranya Allah SWT yang akan membalas segala kebaikan kalian.

Akhirnya, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan terutama bagi Penulis sendiri serta dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum dimasa mendatang. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan anugrahNya kepada kita semua. Amin ya robbal ‘alamin.

Wassalam Medan, Mei 2009

Penulis,

RUSTANI JULIAR BERDIKARI HUTASOIT 077005023/HK


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Rustani Juliar Berdikari Hutasoit

NIM : 077005023

Tempat/Tgl. Lahir : Medan/17 Juli 1965

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Alamat Rumah : Jl. Pemasyarakatan Gg. Girsang No. 14 Tj. Gusta – Medan

Program Studi : Ilmu Hukum

Instansi Studi : Balai Harta Peninggalan Medan Dep. Hukum dan HAM Sumut

Alamat Instansi : Jl. Listrik No. 10 Medan

PENDIDIKAN FORMAL

1. SD : Negeri 113 Medan Tahun 1978

2. SMP : Negeri 12 Medan Tahun 1981

3. SMA : Negeri 2 Medan Tahun 1984

4. S1 (Sarjana) : Universitas Pembangunan Panca Budi Medan Tahun 2001 5. S2 (Pascasarjana) : Universitas Sumatera Utara Medan Tahun 2009

PENDIDIKAN NON FORMAL

1. Diklat Orientasi Pemasyarakatan (Tahun 1997).

2. Diklat Keterampilan Perawatan dan Kesehatan Wanita (Tahun 2002). 3. Diklat Keterampilan Dasar Komputer (Tahun 2004).

4. Diklat Kepemimpinan Tk. IV (Tahun 2004). 5. Diklat Kurator (Tahun 2006).


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR SINGKATAN... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Manfaat Penelitian ... 17

E. Keaslian Penelitian... 18

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 18

1. Kerangka Teori... 18

2. Kerangka Konsepsi ... 23

G. Metode Penelitian... 24

1. Spesifikasi Penelitian ... 25

2. Sumber Data Penelitian... 27

3. Tehnik Pengumpulan Data... 28


(12)

BAB II RELEVANSI DASAR HUKUM PELAKSANAAN TUGAS

BALAI HARTA PENINGGALAN TERHADAP

KEBUTUHAN MASYARAKAT... 30

A. Dasar Hukum Pelaksanaan Tugas Balai Harta Peninggalan Masih Menggunakan Peraturan Produk Kolonial ... 30

B. Peraturan Produk Kolonial Sebagai Dasar Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Balai Harta Peninggalan Tidak Relevan ... 36

C. Prespektif Kedudukan, Tugas dan Fungsi Balai Harta Peninggalan di Masa Akan Datang... 52

BAB III PENGATURAN KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI BALAI HARTA PENINGGALAN YANG SESUAI DENGAN TUNTUTAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT ... 63

A. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Balai Harta Peninggalan... 63

B. Urusan-urusan Masyarakat yang Membutuhkan Balai Harta Peninggalan ... 89

C. Konsep Pengaturan Kedudukan, Tugas dan Fungsi Balai Harta Sesuai dengan Kebutuhan Masyarakat... 95

D. Prospektus Rancangan Undang-Undang dan Urgensinya Menurut Undang-Undang. ... 105

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN HUKUM PADA BALAI HARTA PENINGGALAN... 111

A. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Pelayanan Hukum pada Balai Harta Peninggalan... 111

1. Hambatan-hambatan Internal ... 111

2. Hambatan-hambatan Eksternal ... 123

B. Upaya Penanggulangan ... 126

1. Upaya Internal ... 127


(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 129

A. Kesimpulan ... 129

B. Saran... 133


(14)

DAFTAR SINGKATAN

BHP : Balai Harta Peninggalan

BW : Burgerlijke Wetboek

Dep.Hukum dan HAM : Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

Dirjen AHU : Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum

Kadiv : Kepala Divisi

Kanwil : Kantor Wilayah

Kepmen : Keputusan Menteri

KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

LN : Lembaga Negara

Men PAN : Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara

NAD : Nangroe Aceh Darussalam

PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak

PP : Peraturan Pemerintah

RI : Republik Indonesia

RUU : Rancangan Undang-Undang

SDM : Sumber Daya Manusia

SKHW : Surat Keterangan Hak Waris

SKK : Surat Keterangan Kematian

Stb : Staatsblad

UUD : Undang-Undang Dasar

UUK : Undang-Undang Kepailitan

UPT : Unit Pelaksana Teknis


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat dewasa ini telah memasuki era baru, yaitu era Reformasi. Reformasi pada dasarnya merupakan gerakan moral dan kultural untuk mengaktualisasikan kembali secara konsisten nilai-nilai dasar (core values) negara hukum. Berdasarkan kedua nilai-nilai dasar tersebut akan dibangun masyarakat Indonesia baru, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, lebih berkeadilan, menghargai harkat dan martabat manusia serta yang lebih menempatkan hukum sebagai suatu yang “supreme” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara1.

Masyarakat Indonesia tengah berusaha menegakkan kembali nilai-nilai dasar Negara yang berdasar atas hukum. Supremasi hukum menghendaki bahwa dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi, sistem hukumlah yang harus dijadikan pegangan sebagai satu-satunya ukuran yang tertinggi. Dengan demikian, penegakan supremasi hukum tidak perlu mengabaikan perhatian terhadap aspek pembangunan lainnya.

Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah suatu kondisi dari suatu tingkat yang dianggap kurang baik ke kondisi baru pada tingkat

1 H.A.S. Natabaya, Penegakan Supremasi Hukum, Makalah disampaikan pada Pendidikan

Cakim di PUSDIKLAT Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, tanggal 15 September 2000 (Jakarta: Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2000), hal. 1.


(16)

kualitas yang dianggap baik atau paling baik2. Pembangunan yang dilaksanakan tentu saja pembangunan yang memiliki pijakan hukum yang jelas, bisa dipertanggung-jawabkan, terarah serta proporsional antara aspek fisik (pertumbuhan) dan non fisik.

Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan, bagaimanapun didefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang dipergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur3.

Istilah pembaharuan hukum sebenarnya mengandung makna yang luas mencakup sistem hukum. Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas struktur hukum (structure), substansi/materi hukum (substance), dan budaya hukum (legal

culture).4 Ketika membahas pembaharuan hukum, maka pembaharuan yang dimaksudkan adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan yang meliputi struktur hukum, materi dan budaya hukum.

Dalam prosesnya, pembangunan ternyata ikut membawa konsekuensi terjadinya perubahan-perubahan atau pembaharuan pada aspek-aspek sosial lain termasuk di dalamnya peranan hukum. Artinya, perubahan yang dilakukan (dalam bentuk pembangunan) dalam perjalanannya menuntut adanya perubahan-perubahan dalam bentuk hukum. Perubahan hukum ini memiliki arti yang positif dalam rangka

2 Niniek Suparni, Pelestarian Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992),

hal. 36.

3 Mochtar Kusumaatmadja (1), Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Hukum,

(Bandung: Bina Cipta, 1986), hal. 1.


(17)

menciptakan hukum baru yang sesuai dengan kondisi pembangunan dan nilai-nilai hukum masyarakat.

Bidang hukum diakui memiliki peran yang sangat strategis dalam memacu percepatan pembangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka memenuhi tuntutan pembangunan jangka pendek tetapi juga meliputi pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, walaupun disadari setiap saat hukum bisa berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menghendakinya.

Di negara-negara berkembang pembaharuan hukum merupakan prioritas utama, terlebih jika negara dimaksud merupakan negara yang baru merdeka dari penjajahan bangsa/negara lain. Oleh karena itu, di negara-negara berkembang pembaharuan hukum senantiasa mengesankan adanya peranan ganda, yaitu:

1. Merupakan upaya untuk melepaskan diri dari lingkaran struktur hukum kolonial. Upaya tersebut terdiri atas penghapusan, penggantian, dan penyesuaian ketentuan hukum warisan kolonial guna memenuhi tuntutan masyarakat kolonial.

2. Pembaharuan hukum berperan pula dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara maju, dan yang lebih penting adalah demi peningkatan kesejahteraan masyarakat warga negara.

Saat ini di Indonesia masih terdapat banyak peraturan-peraturan hukum yang sudah tidak up to date namun tetap dipertahankan. Dalam rangka menyongsong era global dan pasar bebas mendatang, jelas peraturan-peraturan hukum tersebut


(18)

memerlukan revisi dan jika perlu diubah total dengan bobot materi yang mencerminkan gejala dan fenomena masyarakat saat ini.

Di Indonesia, pembaharuan hukum itu memang lebih menampakkan wujudnya dalam undang-undang. Walaupun bentuk-bentuk lain juga tidak semestinya diabaikan, seperti putusan pengadilan (yurisprudensi) yang menjadi konsepsi hukum utama yang berlaku di negara-negara Anglo Saxon seperti Amerika. Namun yang pasti, pengembangan konsepsionil dari pada hukum sebagai sarana pembaharuan sosial di Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya dari pada di tempat kelahirannya sendiri (Amerika), karena beberapa hal:

1) Lebih menonjolkan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia, walaupun yurisprudensi juga memegang peranan, berlainan dengan di Amerika Serikat dimana teori Pound itu ditujukan terutama pada peranan pembaharuan yang diharapkan dari keputusan-keputusan pengadilan, khususnya keputusan Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi.

2) Setiap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat menolak aplikasi “mechanistis” dari konsepsi “law as a tool of social engineering”. Aplikasi imekanistis demikian yang digambarkan dengan kata “tool” akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan penerapan yang dalam sejarah hukum di Indonesia (Hindia Belanda) telah ditentang dengan keras. Dalam perkembangannya di Indonesia, maka konsepsi (teoritis) hukum sebagai alat/sarana pembaharuan ini dipengaruhi pula oleh pendekatan-pendekatan filsafat budaya dan Northrop dan pendekatan-pendekatan “policy oriented”

dari Laswell dan Mc. Dougal.5

Jika persoalan-persoalan dalam rangka pembaharuan hukum tidak diatasi, mustahil hukum sebagai sarana yang berfungsi mengkomformikan konflik-konflik sosial masyarakat sebagaimana dikehendaki Pound akan terwujud padahal ke depan menurut Pound, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat kontrol semata melainkan

5 Mochtar Kusumaatmaja (2), Hukum Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional,


(19)

lebih dari itu berfungsi membawa atau menggerakkan masyarakat ke suasana yang lebih baik.

Hal ini bisa dipahami dari pernyataannya yang mengatakan bahwa tugas pokok pemikiran modern mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial, yakni “to construct as efficient a sociaety with minimal friction and waste of resources” (menata masyarakat secara efisien dan baik, di mana kepada setiap

warga masyarakat dijamin pemuasan maksimum dari setiap kepentingan-kepentingannya dengan friksi (pertentangan) dan pemborosan sumber daya seminimal mungkin6.

Reformasi yang diharapkan tersebut adalah reformasi di segala bidang, dan salah satunya di bidang hukum. Reformasi hukum tersebut dapat juga dikatakan sebagai suatu perubahan ataupun pembaharuan hukum. Pembaharuan hukum tersebut dapat juga meliputi beberapa bidang hukum yang ada, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum administrasi negara dan sebagainya. Pembaharuan hukum di bidang hukum administrasi negara belum terlaksana dan salah satunya adalah di Balai Harta Peninggalan.

Lembaga Balai Harta Peninggalan (wesskamer en derboedekamer) adalah merupakan suatu institusi yang didirikan untuk pertama kalinya di Jakarta. Keberadaan BHP di Jakarta dinyatakan dalam ketentuan Pasal 415 KUH-Perdata, yaitu bahwa BHP harus ada di tiap-tiap daerah hukum Raad van Justitie (Pengadilan Negeri) yang dahulu hanya ada dibeberapa tempat seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Padang, Makasar yang kemudian diikuti lagi dengan pendirian-pendirian perwakilannya yang jauh dari ibukota. Selanjutnya disebutkan bahwa di mana terdapat Lembaga Balai Harta Peninggalan maka di sana terdapat pula


(20)

dengan apa yang disebut Lembaga Dewan Perwalian (voogdyraad), Pasal 416 dan Pasal 415 KUPerdata7.

Maksud dan tujuan pembentukan BHP pada mulanya untuk memenuhi kebutuhan orang-orang VOC. Makin meluasnya kekuasaan VOC di Indonesia, maka timbullah kebutuhan bagi para anggotanya, khususnya dalam mengurusi harta-harta yang ditinggalkan oleh mereka bagi kepentingan ahli warisnya yang berada di Nederland, anak yatim piatu dan sebagainya, untuk menanggulangi kebutuhan-kebutuhan itulah oleh Pemerintah Belanda dibentuk suatu lembaga yang diberi nama BHP pada tanggal 1 Oktober 1624 berkedudukan di Jakarta seperti tersebut di atas. Kemudian berkembang dan meluas mencakup mereka yang termasuk golongan Eropah, China dan Timur Asing lainnya.

BHP merupakan unit pelaksana penyelenggara hukum di bidang harga peninggalan, perwalian, kepailitan di lingkungan Departemen Kehakiman yang berada dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan sekarang Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum melalui Direktur Perdata.

Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari ditinjau dari segi teknis, BHP di bawah Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan sekarang Direktorat

7 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2006), hal. 66.


(21)

Administrasi Hukum Umum, sedangkan dari segi fasilitatif di bawah Kantor Wilayah Departemen Kehakiman8 sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Saat ini ada 5 (lima) BHP di Indonesia yang berkedudukan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang dengan wilayah kerja masing-masing sebagai berikut:

1) BHP Jakarta meliputi Propinsi DKI Jakarta, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat.

2) BHP Surabaya meliputi Propinsi Jawa, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

3) BHP Medan meliputi Propinsi Sumatera Utara, D.I. Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Riau, Sumatera Barat dan Bengkulu.

4) BHP Ujung Pandang meliputi Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku.

5) BHP Semarang meliputi Propinsi Irian Jaya, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Adapun perwakilan-perwakilan BHP yang ada di daerah telah dilikuidasi atau dihapus dengan melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02.07.01 Tahun 1986, Nomor: 04-PR.07.01 Tahun 1987 dan Nomor: M.06-PR.07.01 Tahun 1987 dan tanggal 05 September 1987, perwakilan-perwakilan tersebut sebanyak 32 BHP.

8 Kertas Kerja, Sambutan Sekjen Departemen Kehakiman pada Rakernas BHP di Semarang,


(22)

Dengan dihapuskannya perwakilan-perwakilan BHP di daerah, maka segala tugas teknis dikembalikan kepada BHP yang membawahinya dan hal-hal yang berhubungan dengan personil dan inventaris perwakilan tersebut diserahkan kepada Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat (Pasal 2 junto Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01-PR.08.01 Tahun 1987 tanggal 24 Januari 1980 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas BHP pada Perwakilan-perwakilan yang dihapus). Penghapusan beberapa kantor perwakilan BHP sebagaimana tersebut diatas tidak merubah struktur organisasi Balai Harta Peninggalan yang telah ada.

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, BHP didukung oleh peraturan-peraturan yang ada serta kebijaksanaan pemerintah berupa Surat Keputusan Menteri, Instruksi Menteri dan Surat-surat Edaran yang ada dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia9. Bila dilihat dari peraturan dan dasar hukum yang menjadi landasan tugas BHP masih banyak menggunakan peraturan warisan kolonial yang masih berlaku karena belum diganti dan dicabut, walaupun sering kali mungkin tidak diperlukan lagi atau perlu diubah, diperbaharui atau sudah perlu diganti dengan peraturan yang sama sekali baru, agar dapat memenuhi kebutuhan perkembangan zaman.

Dasar pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang ada, khusus produk kolonial yang sampai sekarang ini masih berlaku adalah Pasal II Aturan Peralihan

9 Rapat Dinas Balai Harta Peninggalan se-Indonesia pada tanggal 5-6 Nopember 2001, “Pengembangan Uang Pihak Ketiga yang dikelola/diurus oleh Balai Harta Peninggalan dan Segala Permasalahan”.


(23)

UUD 1945 jo Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945, yang menjelaskan bahwa untuk mengisi kekosongan hukum, maka segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku sebelum diadakan yang baru UUD 1945. hal ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang diciptakan pada zaman kolonial masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana yang dikemukakan oleh mantan Menteri Kehakiman Saharjo yang mengatakan:

“Burgerlijke Wetboek dan Wetboek van Koophandel bukan Kodifikasi lagi

(dikatakannya sudah menjadi “rechants boek”). Dari kedua buku itu yang berlaku ialah pasal-pasal yang betul-betul hidup di Indonesia dengan syarat: a). Tidak bertentangan dengan jiwa UUD 1945; b). Tidak bertentangan dengan keadaan, pasal-pasal yang memenuhi syarat itu berlaku sebagai hukum yang tidak tertulis”.10

Balai Harta Peninggalan berada di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (selanjutnya disebut Dit.Jen AHU) bidang keperdataan yang menggunakan dasar hukum Staatsblad No. 166 Tahun 1872 yang disebut ordonansi tanggal 5 Oktober 1872 yang dalam bahasa aslinya berjudul “Instruktie Voor de Weeskamers in Indonesie atau disebut Instruksi untuk Balai-Balai Harta Peninggalan, di mana ordonansi tersebut mendasarkan pada Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-undang

10 Suhardjo, Pohon Beringin Penganyoman Hukum Pancasila Manipol/Usdek, makalah disampaikan pada penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963.


(24)

Hukum Perdata atau disingkat dengan KUHPerdata).11 Keberadaan BHP dipertegas lagi di lingkungan Dit.Jen AHU dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang menyatakan BHP adalah salah satu unit Pelaksana Tehnis dalam lingkungan Departemen Hukum dan HAM RI, berada dibawah Devisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia, namun secara tehnis bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum12.

Dalam Pasal 2 Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan mengatur tentang Tugas dan Fungsi Balai Harta Peninggalan, ‘Tugas Balai Harta Peninggalan ialah mewakili dan mengurus kepentingan orang-orang yang karena hukum atau Keputusan Hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dalam Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tersebut menyatakan bahwa untuk menjalankan tugas tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2, Balai Harta Peninggalan mempunyai fungsi:

a. Melaksanakan penyelesaian masalah Perwalian, Pengampunan, Ketidak- hadiran dan Harta Peninggalan yang tidak ada Kuasanya dan lain-lain masalah yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.

11 Soeharjo, Sisi Hukum Administrasi Negara tentang Peran dan Kedudukan Balai Harta Peninggalan, Makalah disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional Balai Harta Peninggalan, Departemen Kehakiman Republik Indonesia tanggal 18 Desember 1998 (Semarang: Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1998), hal. 65.

12 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, (Departemen Hukum dan HAM RI,


(25)

b. Melaksanakan Pembukuan dan Pendaftaran Surat Wasiat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

c. Melaksanakan penyelesaian masalah Kepailitan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.13

Secara umum dasar hukum pelaksanaan tugas BHP adalah sebagai berikut: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata L.N 1847 No. 23.

2. Ordonansi Daftar Pusat Wasiat, L.N. 1920 No. 305 jo. 1921 No. 568. 3. Hukum Acara Perdata.

4. Hukum Acara Pidana.

5. Instruksi Untuk Balai, L.N. 1872 No. 166.

6. Peraturan tentang Rumah Tangga Balai dan Budel, Bijblad No. 5849. 7. Peraturan tentang Majelis Pengurus Budel, L.N. 1928 No. 46.

8. Peraturan tentang Dewan Perwalian, L.N. 1927 No. 28.

9. Petunjuk tentang Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan pada BHP. 10.Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. 11.Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Nomor 37 Tahun 2004.

12.Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006. 13.Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2007 tentang Jenis dan Tarif PNBP

di Departemen Hukum dan HAM RI. 14.Surat Keputusan Menteri Kehakiman. 15.Instruksi Menteri Kehakiman.

16.Instruksi Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum.

17.Surat Edaran Menteri Kehakiman dan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum.

Lebih rinci tugas-tugas BHP beserta dasar hukumnya adalah sebagai berikut: 1. Perwalian, Wali Sementara, Pengawas (UU Perlindungan Anak, Pasal 359

KUHPerdata, Instruksi Balai, Peraturan Rumah Tangga Balai, Penetapan Pengadilan Negeri, PP tentang Jenis dan Tarif PNBP).

2. Pengampunan, Pengampu Kandungan, Pengampu Pengawas (Pasal 348 KUHPerdata, Instruksi Balai, Peraturan Rumah Tangga Balai).

3. Ketidakhadiran/Afwezig (Pasal 463, 464, 465 KUHPerdata, Penetapan PN, Peraturan Rumah Tangga Balai, PP tentang Jenis dan Tarif PNBP, Surat Edaran Menteri Kehakiman No. M.01.HT.05.10 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pengajuan Ijin Prinsip dan Pelaksanaan Penjualan Budel, Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M-02.HT.05.10 Tahun 2005 tentang Ijin Pelaksanaan Penjualan Budel afwezig dan onbeheerde nalatenschap).

13 Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI tanggal 19 Juni 1980, Nomor


(26)

4. Harta Peninggalan Tak Terurus (Pasal 1126, 1127, 1128, 1129 KUHPerdata, Akta Kematian, Instruksi Ijin Prinsip dan Pelaksana Penjualan Budel, Peraturan Menkumham No. M-02.HT.05.10 Tahun 2005 tentang Ijin Pelaksanaan Penjualan Budel afwezig dan onbeheerde nalatenschap, PP tentang Jenis dan Tarif PNBP).

5. Sebagai Kurator dan Pengurus (UU tentang Kepailitan dan PKPU Nomor 37 Tahun 2004, PP tentang Jenis dan Tarif PNBP).

6. Menerima Laporan Salinan Akta Wasiat dari para Notaris (Ketentuan-Ketentuan tentang Pernyataan Berlaku dan Peralihan ke Perundang-undangan Baru).14

Mengenai tugas dan wewenang Balai Harta Peninggalan dapat dilihat dari beberapa aspek hukum keperdataan yang dibagi menurut sistematika Hukum Keluarga, Hukum Benda, Hukum Perjanjian dan Hukum Kepailitan.15

Beberapa pasal di dalam KUHPerdata yang mengatur hukum keluarga yang berkenaan dengan Balai Harta Peninggalan, antara lain:

1. Dalam Pasal 2 KUHPerdata yang menyatakan bahwa orang dewasa ditaruh di bawah pengampuan.

2. Dalam Pasal 61-63 KUHPerdata yang mengatur pencegahan perkawinan yang dapat dilakukan oleh orang tua, wali, wali pengawas, pengampuan dan pengampuan pengawas.

3. Dalam Pasal 26 KUHPerdata yang mengatur tentang pembubaran perkawinan. 4. Dalam Pasal 302 KUHPerdata yang mengatur tentang Kewenangan

Pengadilan Negeri untuk memerintahkan penampungan anak dalam waktu tertentu dalam sebuah Lembaga Negara atau pertikulir yang ditunjuk.

5. Dalam Pasal 306 KUHPerdata yang mengatur tentang perwalian anak-anak luar kawin yang telah diakui sah.

6. Dalam Pasal 331 a KUHPerdata yang mengatur tentang pengangkatan wali. 7. Dalam Pasal 335 KUHPerdata yang mengatur tentang jaminan wali atas

pengurusan mereka terhadap harta kekayaan anak yang belum dewasa.

8. Dalam Pasal 338 KUHPerdata yang mengatur tentang pengurusan harta

14 Syamsuddin Manan Sinaga, Pola Kerja Balai Harta Peninggalan Menyikapi Pemeriksaan

Inspektorat Jenderal BPKP dan BPK”. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Balai Harta Peninggalan Seluruh Indonesia di Medan pada tanggal 4 Mei 2007, hal. 5-6.

15

Mariam Darus Badrulzaman, Aspek Keperdataan Mengenai Lingkup dan Wewenang Balai Harta Peninggalan, Makalah disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional Balai Harta Peninggalan, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 18 Desember 1998 (Semarang: Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1998), hal. 46.


(27)

kekayaan anak belum dewasa.

9. Dalam Pasal 348 KUHPerdata yang mengatur tentang Tugas Balai Harta Peninggalan untuk menjadi pengampu atas bayi yang ada dalam kandungan si istri yang ditinggal mati suaminya.

10.Dalam Pasal 359 KUHPerdata yang mengatur tentang Pengurusan Diri Pribadi Anak di bawah umur selama belum ada wali.

11.Dalam Pasal 259 jo Pasal 360 jo. Pasal 348 KUHPerdata yang mengatur tentang wali sementara.

12.Dalam Pasal 360, Pasal 366, Pasal 370 dan Pasal 418 KUHPerdata yang mengatur tentang wali pengawas (toezeinde curatrice van ander curatele

gestelden).

13.Dalam Pasal 449 KUHPerdata yang mengatur tentang Pengampu Pengawas orang yang berada di bawah pengampuan (toezeinde curatrice van ander

curatele gestelden).

14.Dalam Pasal 463 KUHPerdata yang mengatur tentang pengurus harga kekayaan dan kepentingan orang yang tiada di tempat (beheerde en

waarnemer van goederen en belangen van afwezigen). 16

Beberapa pasal di dalam KUHPerdata yang mengatur hukum benda yang berkenaan dengan Balai Harta Peninggalan, antara lain:

1. Dalam Pasal 942 KUHPerdata jo Pasal 42 O.V yang mengatur tentang Surat Wasiat kepada BHP.

2. Dalam Pasal 1046 KUHPerdata yang mengatur tentang ketidak-bolehan perempuan yang telah bersuami, anak yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan untuk menerima warisan apabila tidak mengindahkan peraturan mengenai orang tersebut.

3. Dalam Pasal 1072 KUHPerdata yang mengatur mengenai kehadiran BHP dalam hal pemisahan harta peninggalan.

4. Dalam Pasal 1126-1129 KUHPerdata yang mengatur tentang pengurus/ pengelola harta peninggalan yang terurus (Onbeheerde natalenschappen)17 Selain hukum keluarga dan hukum benda, maka ada juga beberapa pasal di dalam KUHPerdata yang mengatur hukum perjanjian yang berkenaan dengan Balai Harta Peninggalan, antara lain:

16 Ibid, hal. 46-48. 17 Ibid, hal. 48-49.


(28)

1. Dalam Pasal 1446 KUHPerdata yang mengatur tentang perbuatan hukum dalam melakukan pembuatan perikatan yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa diletakkan di bawah pengampuan adalah batal demi hukum. 2. Dalam Pasal 1448 KUHPerdata yang mengatur tentang acara-acara yang

ditentukan untuk sahnya sementara perbuatan yang dilakukan oleh wali atau pengampu.

3. Dalam Pasal 1454 KUHPerdata yang mengatur tentang jangka waktu untuk berlakunya suatu perikatan yang telah dilakukan oleh orang yang belum dewasa dan orang yang di bawah pengampuan.

4. Dalam Pasal 1798 KUHPerdata yang mengatur tentang pemberian kuasa kepada orang yang belum dewasa dan orang perempuan.

5. Dalam Pasal 1852 KUHPerdata yang mengatur tentang wali-wali dan pengampu-pengampu yang tidak dapat melakukan tindakan perdamaian dalam suatu perkara atau mencegah terjadinya perkara.18

Sebagaimana yang telah diketahui saat ini di seluruh Indonesia hanya ada 5 (lima) Kantor Balai Harta Peninggalan dan berkedudukan di Ibukota Propinsi, yaitu Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makasar. Mengingat hanya ada 5 (lima) kantor BHP di Indonesia, maka dalam prakteknya 5 (lima) kantor BHP yang sekarang ada inilah yang melayani penggunaan jasa BHP di seluruh Indonesia sehingga 1 (satu) kantor BHP wilayah kerjanya mencakup beberapa wilayah Propinsi, melebihi wilayah kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI,19 contoh BHP Medan wilayah kerjanya mencakup 6 Propinsi yaitu Propinsi D.I Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Pekan Baru, Kepulauan Riau dan Bengkulu. Oleh karena itu dengan luasnya wilayah kerja dari 1 (satu) BHP secara rasio jumlah Kantor BHP masih relatif kecil, sehingga dimungkinkan dalam pelayanan terhadap masyarakat umum kurang efektif.

18 Ibid, hal. 49-50. 19 Ibid, hal. 5.


(29)

Dari hal tersebut di atas maka, Balai Harta Peninggalan diharapkan berperan dalam memberikan pelayanan secara optimal sehingga sesuai dengan adanya tuntutan reformasi dan demokratisasi sejak tahun 1997 yang memasyarakatkan perubahan paradigma kepemerintahan, pembaharuan sistem kelembagaan dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang mengacu pada terselenggaranya pemerintahan yang baik yaitu mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa serta transparan (good

governance).20

Namun setidaknya terdapat beberapa alasan yang menyebabkan penelitian ini diperlukan, antara lain tugas dan kewenangan Balai Harta Peninggalan masih diatur dalam peraturan produk kolonial sehingga sangat dimungkinkan peraturan-peraturan tersebut tidak relevan lagi dengan kebutuhan perkembangan masyarakat saat ini.

Perkembangan masyarakat dewasa ini banyak membutuhkan keterkaitan dengan tugas dan kewenangan Balai Harta Peninggalan. Terlebih ketika terjadinya peristiwa bencana alam gempa bumi dan tsunami tanggal 26 Desember 2004 dan gempa bumi selanjutnya pada tanggal 28 Maret 2005 di Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Propinsi Sumatera Utara yang telah mengakibatkan korban jiwa dan harta benda. Berbagai urusan-urusan masyarakat dewasa ini terkait dengan eksistensi Balai Harta Peninggalan, sementara produk peraturan yang ada tidak tegas mengatur dari kewenangan Balai Harta Peninggalan.


(30)

Masih terdapatnya sejumlah hambatan-hambatan yang menyebabkan kurang optimalnya pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan di masyarakat, yaitu hambatan-hambatan dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM) kendala sarana dan prasarana serta kendala ego sektoral.

Selanjutnya saat ini Indonesia sedang menyusun Rancangan Undang-Undang Balai Harta Peninggalan sehingga perlu melihat konsep-konsep pengembangan Balai Harta Peninggalan di masa depan yang kemudian dapat terpenuhinya layanan hukum sesuai kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan uraian yang telah peneliti kemukakan di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti masalah Eksistensi Balai Harta Peninggalan dan menuangkannya dalam bentuk tesis yang berjudul: “Pembaharuan Hukum Sebagai Upaya Meningkatkan Eksistensi Balai Harta Peninggalan dalam Pelayanan Hukum.”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan antara lain sebagai berikut:

1. Apakah peraturan perundang-undangan kolonial sebagai dasar hukum pelaksanaan tugas dan wewenang Balai Harta Peninggalan masih relevan pada saat ini?

2. Bagaimanakah pengaturan tugas dan kewenangan Balai Harta Peninggalan dalam pelayanan hukum terhadap masyarakat yang memenuhi kebutuhan


(31)

masyarakat saat ini?

3. Hambatan-hambatan apa sajakah yang terjadi dalam pelaksanaan pelayanan hukum pada Balai Harta Peninggalan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diutarakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan Balai Harta Peninggalan sebagai dasar hukum pelaksanaan tugas dan wewenang Balai Harta Peninggalan.

2. Untuk mengetahui pengaturan tugas dan kewenangan Balai Harta Peninggalan dalam pelayanan hukum terhadap masyarakat.

3. Untuk mendapatkan solusi terhadap hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pelayanan hukum pada Balai Harta Peninggalan.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan untuk bidang hukum administrasi negara pada khususnya yang berhubungan dengan pembaharuan hukum sebagai upaya meningkatkan eksistensi Balai Harta Peninggalan dalam pelayanan hukum.


(32)

2. Secara prakteknya sangat bermanfaat dan membantu bagi semua pihak, baik itu para pegawai di Kantor Balai Harta Peninggalan dan masyarakat yang melakukan pengurusan di Balai Harta Peninggalan menjadi lebih efektif, efisien dan akurat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran informasi yang dilakukan peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian dengan judul “Pembaruan Hukum Sebagai Upaya Meningkatkan Eksistensi Balai Harta Peninggalan Medan dalam Pelayanan Hukum”, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

a) Teori Pembaharuan Hukum

Berbicara masalah pembaharuan hukum, maka hal tersebut identik dengan perubahan. Dalam pembahasan mengenai pembaharuan hukum sebagai upaya meningkatkan eksistensi Balai Harta Peninggalan, teori utama yang digunakan adalah teori hukum pembangunan. Teori ini dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan bahwa, “Hukum yang dibuat harus sesuai dan harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Hukum tidak boleh menghambat modernisasi. Hukum


(33)

agar dapat berfungsi sebagai sarana pembaruan masyarakat hendaknya harus ada legalisasi dari kekuasaan negara”.21

Hal ini berhubungan dengan adagium yang dikemukakannya “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman”, supaya ada kepastian dalam hukum maka hukum harus dibuat secara tertulis sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan ditetapkan oleh negara.

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa jika kita artikan dalam arti yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaedah-kaedah itu dalam kenyataan. Dengan lain perkataan bahwa yang normatuf semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila kita hendak melakukan pembinaan dan perubahan hukum secara menyeluruh.22

Lebih lanjut Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum sebagai kaedah sosial tidak lepas dari nilai (value) yang berlaku di suatu masyarakat sebagaimana konsep hukum yang bersumber pada “law as a tool sosial engineering”

dalam jangkauan dan ruang lingkup yang lebih luas.23

Di satu pihak pembaruan hukum berarti suatu penetapan prioritas tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan mempergunakan hukum sebagai sarana. Oleh karena hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses dalam masyarakat, maka pembaruan hukum tidak mungkin lepas secara mutlak dari masyarakat. Salah satu hal yang harus dihadapi adalah kenyataan sosial dalam arti yang luas.

21

Mochtar Kusumaatmadja (3), Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional (Bandung: Bina Cipta, 1970), hal. 10.

22 Ibid, hal. 11.


(34)

Sehubungan dengan hal ini maka perubahan yang direncanakan hendaknya dilakukan secara menyeluruh.

Dengan demikian, maka perubahan di bidang hukum akan menjalin kepada bidang-bidang kehidupan yang lain dan sebagai sarana untuk perubahan masyarakat yang telah ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang telah terjadi di masa lalu. Maka ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Di satu pihak mungkin dapat terjadi faktor pendukung akan tetapi di pihak lain mungkin menjadi penghalang bagi berprosesnya hukum secara fungsional dan efektif.24

Kemudian teori pendukung untuk meneliti pembaruan hukum sebagai upaya meningkatkan eksistensi Balai Harta Peninggalan adalah teori pragmatic Legal

Realism. Teori ini dikemukakan oleh Rescoe Pound yang mengatakan bahwa,

“Hukum dilihat dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (Law as a tool of engineering). Hukum dapat berperan di depan memimpin perubahan dalam kehidupan masyarakat, mewujudkan perdamaian dan ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Hukum berada di depan untuk mendorong pembaruan dari tradisional ke modern. Hukum yang dipergunakan sebagai sarana pembaruan ini dapat berupa undang-undang dan yurisprudensi atau kombinasi keduanya, namun di Indonesia yang lebih menonjol adalah tata perundangan. Supaya dalam pelaksanaan untuk pembaruan itu dapat berjalan dengan baik, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran Sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat, sebab jika ternyata tidak,

24 Soejono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hal. 242.


(35)

maka akibatnya secara efektif dan akan mendapat tantangan. b) Teori Pragmatic Legal Realism

Teori pendukung untuk meneliti pembaharuan hukum sebagai upaya meningkatkan eksistensi Balai Harta Peninggalan adalah teori Pracmatic Legal

Realism. Teori ini dikemukakan oleh Roscoe Pound yang mengatakan bahwa hukum

dilihat dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (Law

as a tool of engineering). Hukum dapat berperan sebagai alat di depan memimpin

perubahan dalam kehidupan masyarakat, mewujudkan perdamaian dan ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Hukum berada di depan untuk mendorong pembaharuan dari tradisional ke modern.

Hukum yang dipergunakan sebagai sarana pembaharuan ini dapat berupa Undang-undang dan yurisprudensi atau kombinasi keduanya, namun di Indonesia yang lebih menonjol adalah perundang-undangan. Agar pelaksanaan pembaharuan dapat berjalan dengan baik, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran

sociological yurisprudence yaitu hukum yang baik adalah hukum yang hidup

dalam masyarakat, sebab jika ternyata tidak, maka akibatnya secara efektif dan akan mendapat tantangan.25

c) Teori Sociological Jurisprudence

Teori Sociological Jurisprudence ini adalah suatu teori yang mempelajari pengaruh hukum terhadap masyarakat dan sebagainya dengan pendekatan dari hukum ke masyarakat. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaruan hukum dengan perundang-undangan

25 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hal. 19.


(36)

dengan kesadaran untuk memperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan-kenyataan tersebut dinamakan “living law dan just law yang merupakan “inner order” dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Jika ingin diadakan perubahan hukum, maka nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Jika ingin diadakan perubahan hukum, maka hal yang patut harus diperhatikan didalam membuat suatu undang-undang yang dibuat itu dapat berlaku secara efektif di dalam masyarakat adalah memperhatikan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat tersebut.

Kesadaran hukum masyarakat adalah nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tentang hukum, yang meliputi mengetahui pemahaman, penghayatan, kepatuhan atau ketaatan kepada hukum. Dengan demikian kesadaran hukum itu sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Di sini penekanannya adalah nilai-nilai masyarakat fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat. Jadi nilai-nilai itu merupakan konsepsi mengenai hal yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Dengan kata lain bahwa adalah konsepsi abstrak dalam diri manusia tentang keserasian antara keterkaitan dengan ketentraman yang dikehendaki dengan melihat kepada indikator-indikator tertentu. Indikator-indikator ini dapat dijadikan ukuran atau patokan dalam penyusunan atau pembentukan hukum baru yang hendak dilakukannya. Dalam penulisan ini bahwa permasalahan akan dianalisis dengan Teori Pembaharuan Hukum.


(37)

2. Kerangka Konsepsi

Dalam penelitian ini dipergunakan sejumlah konsep hukum. Untuk menghindari terjadinya kesalahan pengertian mengenai konsep hukum yang dipergunakan, maka perlu ditegaskan definisi operasional atas konsep hukum-konsep hukum tersebut, antara lain:

a) Pembaharuan hukum adalah suatu usaha untuk meningkatkan dan menyempurnakan hukum nasional melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru dan penyempurnaan peraturan perundang-perundang-undangan yang telah ada, sehingga sesuai dengan kebutuhan baru di bidang-bidang bersangkutan.26

b) Balai Harta Peninggalan adalah lembaga yang mempunyai tugas untuk mewakili dan mengurusi kepentingan orang-orang yang karena hukum atau keputusan hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.27

c) Pelayanan hukum adalah pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah di bidang hukum secara merata dan adil.

d) Tugas dan wewenang Balai Harta Peninggalan adalah tugas dan fungsi Balai Harta Peninggalan berdasar Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia (No. M.01.Pr.070.01-08).

26 Ibid, hal. 15.

27 Direktorat Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Himpunan


(38)

e) Eksistensi adalah keberadaan Balai Harta Peninggalan Medan dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan, keberadaan di sini meliputi tugas dan lingkup kewenangan serta sarana dan prasarana pendukung.28

f) Hambatan pelaksanaan pelayanan hukum adalah hambatan yang terjadi dalam hal Balai Harta Peninggalan melaksanakan tugas dan fungsinya, yaitu keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan sarana dan prasarana dan kurangnya keharmonisan informasi antara instansi yang terkait dengan Balai Harta Peninggalan seperti Kantor Catatan Sipil dan Pengadilan Negeri.

G. Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam suatu penelitian pada dasarnya ditujukan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses penelitian diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan, sebagaimana diungkapkan oleh Soejono Soekanto mengenai penelitian hukum sebagai berikut:

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.29

28 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 112.


(39)

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kebenaran yang dapat dipercaya, sebuah penelitian harus menggunakan cara-cara yang metodologis, sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam bagian ini akan diuraikan aspek metodologis penelitian, yang meliputi spesifikasi penelitian, data penelitian, tehnik pengumpulan data, alat pengumpulan data dan analisis data.

1. Spesifikasi Penelitian

Dalam spesifikasi penelitian akan diuraikan mengenai jenis penelitian, sifat penelitian dan pendekatan penelitian yang dipergunakan dalam menganalisis gejala hukum terkait dengan perlunya pembaharuan hukum sebagai upaya meningkatkan eksistensi Balai Harta Peninggalan dalam pelayanan hukum.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif). Sebagaimana diuraikan oleh Ronald Dworkin bahwa penelitian hukum normatif atau disebut juga penelitian doktrinal (doctrinal research), menganalisis baik hukum sebagai “law as it written in the book”, maupun hukum sebagai “law as it by the judge through judicial process”.30 Maka penelitian ini ditujukan untuk menganalisis

bahan-bahan hukum normatif khususnya peraturan perundang-undangan (law as it

written in the book) yang relevan dengan masalah yang dirumuskan.

Dengan demikian pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statutory approach) dengan fokus kegiatan mengumpulkan peraturan perundang-undangan terkait dengan keberadaan Balai Harta Peninggalan

30 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Majalah


(40)

dan perkembangan pelayanan hukum yang diberikan oleh lembaga tersebut kepada masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini.

Fokus utama kajian diarahkan terhadap Stbl. No. 166 Tahun 1872 atau yang biasa disebut dengan Ordonansi 5 Oktober 1872 tentang Balai Harta Peninggalan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang masih dipergunakan sebagai payung hukum keberadaan Balai Harta Peninggalan di Indonesia.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis. Dengan sifat yang demikian, maka penelitian dioperasionalisasikan selain untuk menggambarkan fakta-fakta hukum mengenai keberadaan Balai Harta Peninggalan dalam pelayanan hukum yang diberikannya kepada masyarakat, juga ditujukan untuk menganalisis keberadaan lembaga tersebut dewasa ini dan pelayanan hukum yang diberikannya kepada masyarakat yang terus berkembang. Pada akhirnya diharapkan diperoleh suatu kesimpulan tentang perlu tidaknya pembaharuan hukum terhadap eksistensi Balai Harta Peninggalan terutama kaitannya dengan perkembangan hukum yang semakin maju dan terkait dengan keberadaan lembaga tersebut.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kebenaran yang dapat dipercaya, sebuah penelitian harus menggunakan cara-cara yang metodologis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam bagian ini akan diuraikan aspek metodologi penelitian, yang meliputi spesifikasi penelitian, data penelitian, tehnik pengumpulan data, alat pengumpulan data, dan analisis data.


(41)

2. Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data sekunder, yang meliputi:31 a. Bahan hukum primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang relevan

dengan masalah penelitian, antara lain Staatblad No. 166 Tahun 1872 tanggal 5 Oktober 1872 tentang Balai Harta Peninggalan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia No. M.01-HT.05.10 Tahun 2005 tentang Tugas dan Kewenangan Pengurus dalam Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Peraturan Terkait Lainnya yang Dipandang Relevan.

b. Bahan hukum sekunder seperti: hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya dari kalangan pakar hukum.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau suatu kabar sepanjang informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.


(42)

3. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui: a) Studi Kepustakaan (Library Research)

Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, dokumen dan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang eksistensi Balai Harta Peninggalan dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian.

b) Wawancara

Disamping studi kepustakaan, data pendukung juga diharapkan diperoleh dengan melakukan wawancara. Untuk menjamin ketepatan dan keabsahan hasil wawancara, maka wawancara dilakukan dengan narasumber yang memiliki kompetensi keilmuan dan otoritas yang sesuai, yakni:

1. Ketua Balai Harta Peninggalan Medan.

2. Anggota Teknis Hukum (ATH) Balai Harta Peninggalan Medan. 3. Kanwil Departemen Hukum dan HAM Propinsi Sumatera Utara. 4. Analisis Data

Terhadap bahan hukum dan hasil wawancara yang telah dikumpulkan, selanjutnya diolah dan dianalisis berdasarkan metode analisis data kualitatif.

Adapun proses analisis data dilakukan sebagai berikut: Pertama, dilakukan inventarisasi seluruh peraturan perundang-undangan dan bahan hukum-bahan hukum sekunder yang relevan untuk menjawab permasalahan penelitian. Kedua, dilakukan


(43)

abstraksi untuk menemukan makna atau konsep-konsep yang terkandung dalam bahan hukum (konseptualisasi). Konseptualisasi ini dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum berupa kata-kata dan kalimat-kalimat. Ketiga, mengelompokkan konsep-konsep yang sejenis atau berkaitan (kategorisasi). Keempat, menemukan hubungan di antara berbagai kategori. Kelima, hubungan di antara berbagai kategori diuraikan dan dijelaskan. Penjelasan ini dilakukan dengan menggunakan perspektif pemikiran teoritis para sarjana. Keenam, hasil wawancara diuraikan untuk mendukung analisis terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.


(44)

BAB II

RELEVANSI DASAR HUKUM PELAKSANAAN TUGAS BALAI HARTA PENINGGALAN TERHADAP

KEBUTUHAN MASYARAKAT

A. Dasar Hukum Pelaksanaan Tugas Balai Harta Peninggalan Masih Menggunakan Peraturan Produk Kolonial

Lembaga Balai Harta Peninggalan (Wess en boedelkamer) adalah suatu lembaga yang berasal dari Pemerintah Belanda. Untuk mengetahui apa latar belakang dari Pembentukan Balai Harta Peninggalan tersebut kiranya perlu dilihat jauh ke belakang beberapa ratus tahun yang lalu yaitu masuknya Bangsa Belanda ke Indonesia. Menurut sejarah Bangsa Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596, dan pada mulanya mereka datang sebagai pedagang tetapi karena pada waktu mereka datang di Indonesia bersaing dengan pedagang Cina, Inggris, dan Portugis yang mempunyai armada-armada yang besar maka kemudian untuk menghadapi persaingan tersebut orang-orang Belanda mendirikan suatu perkumpulan dagang yang disebut “Vereenigde Oost Indische Compagnie” disingkat VOC oleh bangsa kita disebut “Kompeni”.32

V.O.C. didirikan pada tahun 1602, serta diperbolehkan oleh Pemerintah Belanda untuk memiliki angkatan perang untuk berperang dan memerintah daerah yang ditaklukkannya. Demikianlah, V.O.C di samping berdagang juga mempunyai

32 Mengenai Sejarah BHP ini disadur dari Buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan

Balai Harta Peninggalan, Buku I, tanpa tahun, diterbitkan oleh Direktorat Jenderal hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman, hal. 9-13.


(45)

maksud lain yaitu melakukan penjajahan terhadap daerah-daerah yang ditaklukkannya.

Dengan semakin luasnya kekuasaan V.O.C di Indonesia, maka timbullah kebutuhan untuk mengurus harta kekayaan yang ditinggalkannya oleh anggotanya khususnya untuk kepentingan ahli waris yang berada di Nederland, anak-anak yatim piatu dan sebagainya. Dan untuk menanggulangi kebutuhan seperti itulah oleh pemerintah Belanda dibentuk suatu lembaga yang diberi nama Wees-en Boedelkamer (Balai Harta Peninggalan) pada tanggal 1 Oktober 1624, berkedudukan di Jakarta (Weltevreden atau disebut juga Batavia Centrum).33

Sebagai penuntut dalam menjalankan tugasnya sehari-hari diberikan suatu instruksi dan sepanjang sejarahnya Balai Harta Peninggalan itu telah lahir sebanyak 4 (empat) instruksi, yaitu:

1. 16 Juli 1625, terdiri dari 49 pasal yang mengatur organisasi dan tugas-tugas Balai Harta Peninggalan.

2. Tahun 1962, pada perlakuan modifikasi pertama hukum Indonesia, yang isinya kira-kira sama dengan yang pertama.

3. Stbl. 1818 No. 72, yang dibuat setelah pemulihan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia sesudah pemerintah tentara Inggris, juga dalam hal ini tidak banyak perbedaan dengan yang terdahulu.

4. Stbl. 1872 No. 166 yang didasarkan pada berlakunya perundang-undangan baru di Indonesia pada tahun 1848 dan masih berlaku sampai sekarang.


(46)

Di samping instruksi-instruksi yang disebutkan diatas, Balai Harta Peninggalan juga mempunyai aturan rumah tangga atau peraturan jabatan yang disebut “Huishoudelyke Regeling of Dienstreglement” dan hingga kini masih berlaku, ditetapkan dengan besluit pada tanggal 30 Maret 1903 No. 14, Bijblad No. 5849. peraturan mengenai keuangan bagi Balai Harta Peninggalan diatur dalam Stbl. 1987 No. 231 yaitu guna mengatur pelaksanaan pengurusan terhadap segala uang yang berada dalam pengurusannya, yaitu “Vereeniging tot eene massa van de kassen der Weeskamers en der Boeldelkamers en regeling van het beheer dier kassen”, atau terjemahannya “Penyatuan masa dari kas-kas Balai-Balai Harta Peninggalan dan Balai-balai Budel dan ditetapkan dengan ordonansi tanggal 19 September 1897 dan berlakunya mulai tanggal 1 Januari 1898.

Pendirian Balai Harta Peninggalan diberbagai wilayah Indonesia tergantung kepada kemajuan yang dicapai V.O.C di Indonesia. Dapat dicatat bahwa Balai Harta Peninggalan di Banda sudah ada tahun 1678, di Ambon tahun 1694, di Ternate tahun 1695, di Ujung Pandang tahun 1696, di Semarang didirikan tanggal 17 Mei 1763, di Padang tahun 1739, di Surabaya tahun 1809. perwakilan Balai Harta Peninggalan diketahui sudah ada di Palembang tahun 1691, di Jepara tahun 1727, di Banten tahun 1725, di Cirebon tahun 1739, di Timor tahun 1764 dan di Bengkulu tahun 1827.

Kemudian dengan besluit Kerajaan Belanda tanggal 4 Juli 1921 No. 60 (Stbl. 1921 No. 489) ditetapkan bahwa dalam daerah hukum dari tiap-tiap Raad van Justitie dibentuk sebuah Balai Harta Peninggalan yang tempat kedudukan dan wilayah kerjanya diatur oleh Gubernur Jenderal (sekarang Menteri Kehakiman). Menurut Stbl.


(47)

1926 No. 41 jo. No. 127, Balai Harta Peninggalan ada di Jakarta, Semarang, Surabaya, Padang, Makasar dan Medan. Balai Harta Peninggalan Bandung, Jogyakarta dan Malang didirikan dengan Stbl. 1921 No. 575 dan dihapuskan pada tanggal 1 Juni 1926 di mana ditetapkan bahwa Balai Harta Peninggalan di Jakarta, Semarang dan Surabaya masing-masing dalam wilayah kerjanya meneruskan pekerjaan Balai Harta Peninggalan di Bandung, Jogyakarta dan Malang yang telah dihapuskan itu. Selanjutnya dengan Stbl. 1934 No. 28 diperintahkan kepada Balai Harta Peninggalan Medan guna melaksanakan tugas-tugas Balai Harta Peninggalan di Padang. Dengan demikian hingga kini di Indonesia terdapat 5 (lima) Balai Harta Peninggalan yaitu yang berkedudukan di Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makasar.

Kemudian berdasarkan hal tersebut diatas, maka mengenai tugas-tugas Balai Harta Peninggalan dapat diperinci sebagai berikut:34

a. Pengurusan diri pribadi dan harta kekayaan anak-anak yang belum dewasa selama belum ditunjuk seorang wali atas mereka (Pasal 359 BW).

b. Sebagai wali pengawas (Pasal 366 BW).

c. Mewakili kepentingan anak-anak dewasa dalam hal ada pertentangan dengan kepentingan wali (Pasal 370 BW).

d. Pengurusan harta kekayaan anak-anak belum dewasa dalam hal pengurusan itu dicabut dari wali mereka (Pasal 370 BW).

e. Pengampuan atas anak yang masih dibawah dalam kandungan (Pasal 348 dan 942 BW).

f. Pendaftaran dan pembukuan surat-surat wasiat (Pasal 41 dan 42 O.V. dan 937 dan 942 BW).

g. Pengurusan harta peninggalan yang tak ada kuasanya (onbeheerde

nalatenschappen) (Pasal 1126, 1127 dan 1128 BW), demikian pula

pengurusan barang-barang peninggalan dari penumpang-penumpang dan


(48)

awak kapal yang meninggal dunia, hilang atau tertinggal pada kapal-kapal Indonesia (Stbl. 1886 No. 131).

h. Pengurusan budel-budel dari orang-orang yang hadir (boedels van afwezigen) (Pasal 463 BW).

i. Pengurusan harta kekayaan orang-orang yang berada dibawah pengampuan karena sakit jiwa atau pemboros. Dalam hal ini BHP adalah bertugas selaku pengampu pengawas (Pasal 449 BW), akan tetapi bila pengurusan dicabut dari pengampunya, langsung menjadi pengurus harta kekayaan orang yang berada di bawah pengampuan (Pasal 452 jo. Pasal 338 BW).

j. Pengurusan harta-harta kekayaan orang-orang yang dinyatakan pailit (Pasal 13 Peraturan Kepailitan, Stbl. 1905 No. 217).

k. Selanjutnya pada awal perang dunia ke UU kepada Balai Harta Peninggalan dibebani tugas untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan pribadi kaula-kaula musuh yang diatur dalam Stbl. 1940 No. 135 (Beslui Commissie

Rechtsverkeen in Oorlogstijd tanggal 15 Mei 1940 No. 56/CRO). Tugas

berakhir dengan selesainya persoalan-persoalan yang timbul dalam perang dunia II itu.

l. Semasa Pemerintah Republik Indonesia kepada Balai Harta Peninggalan dibebani tugas untuk mewakili pemilik-pemilik tanah partikelir yang tidak diketahui pemiliknya atau tempat tinggal pemiliknya dalam hal likuidasi tanah-tanah partikeler tersebut (Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1958, Lembaran Negara 1958 No. 2).

m. Pekerjaan Dewan Perwalian (Voogdijraad) yang dibentuk dengan besluit

Gouverneur General van Nederlandsch-Indie tanggal 25 Juli 1927 No. 8 Stbl.

1927 No. 382, mulai berlaku tanggal 5 Agustus 1927.

n. Jabatan (fungsi) dari Collehe van Boedelmeesteren menurut penetapan

Governeur General van Nederlandsch-Indie dari tanggal 31 Mei 1828 No. 30

Stbl. 1828 No. 46 yang dengan Stbl 1873 No. 148 art. 1 diubah dengan Stbl. 1895 No. 99 diserahkan kepada Balai Harta Peninggalan dan Perwakilan Balai Harta Peninggalan di Indonesia.

o. Pembuatan Surat Keterangan tentang hak Waris Bangsa Timur Asing,35 kecuali Tiong hoa, ditentukan pada ayat 1 dalam fatsal 14 dari Instruksi voor de Gougverement Landmeters dalam Stbl. 1916 No. 517.36

Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut diatas, Balai Harta Peninggalan mengenakan leges dan upah dalam pengurusannya. Mengenai leges dan upah tersebut

35 Untuk menerbitkan Surat Keterangan Hak Waris bagi orang-orang yang termasuk golongan

Timiur Asing bukan China yang beragama Islam (Arah, Pakistan, dll) BHP akan memakai Hukum Islam dan bila ternyata orang-orang yang termasuk kedalam golongan Timur Asing bukan China itu bukan Islam, maka BHP akan menerbitkannya menurut Hukum Agama dan kebiasaan yang berlaku bagi mereka (Stbl. 1924 No. 556).


(49)

diatur dalam “Afgemen tarief voor de belooningen de Weeskamers in Indonesie”, yang ditetapkan dengan besluit Gubernur Jenderal tanggal 21 Nopember 1924, mulai berlaku tanggal 1 Desember 1924 (Stbl. 1924 No. 523 jo. 524). Mengenai tarif upah tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan, yaitu dengan Stbl. 1929 No. 210, kemudian dengan Stbl. 1949 No. 450 jo. 456, kemudian dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 17 Tahun 1960 No. 51) dan terakhir Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 26 Juni 1972 No. J.S. 5/5/16.

Upah-upah yang diterima oleh Balai Harta Peninggalan dalam pengurusan atau penyelesaian suatu budel disetorkan ke Kas negara, sehingga dengan demikian Balai Harta Peninggalan juga merupakan salah satu sumber pendapatan bagi Negara, yang nampaknya setiap tahunnya makin meningkat.

Melihat dan memperhatikan tugas-tugas Balai Harta Peninggalan sampai saat ini adalah beraneka ragam, tetapi kesemuanya itu dapat dikatakan mengandung unsur-unsur sosial. Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan pembentukan Balai Harta Peninggalan pada mulanya hanyalah untuk memenuhi kebutuhan orang-orang VOC yang kemudian semakin berkembang dan meluas mencakup mereka yang termasuk golongan Eropah, Cina dan Timur asing lainnya. Bahkan dengan perkembangan hukum di Indonesia dewasa ini dan makin pesatnya kemajuan dalam bidang ekonomi dan perdagangan, telah menarik banyak orang-orang dari golongan pribumi menundukkan diri secara sukarela kepada Hukum Perdata Barat dan melaksanakan hubungan-hubungan hukum yang merupakan materi yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


(50)

B. Peraturan Produk Kolonial Sebagai Dasar Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Balai Harta Peninggalan Sudah Tidak Relevan

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 19 Juni 1980 Nomor M.01.PR.07.01-80 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan, instansi Balai Harta Peninggalan hingga dengan saat ini masih mempedomani produk hukum Hindia Belanda dalam melaksanakan tugasnya terkecuali dalam hal Kurator dalam kepailitan yang sudah menggunakan produk hukum nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Adapun Undang-undang produk Hukum Hindia Belanda yang masih dipedomani dalam pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Balai Harta Peninggalan, antara lain adalah:

1. Instruksi untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia (Ordonansi tanggal 5 Oktober 1872) Lembaran Negara Tahun 1872 Nomor 166 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1873.

2. Penyatuan masa dari Kas-Kas Balai Harta Peninggalan dan Balai-Balai Budel dan Pengaturan tentang Kas-Kas itu (Ordonansi tanggal 19 September 1897) Lembaran Negara Tahun 1897 Nomor 231 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1898.


(1)

orang bangsa Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara.

c. Kedudukan, Susunan Organisasi, dan wilayah hukum Balai Harta Peninggalan ditetapkan dengan Peraturan Presiden dengan menentukan berdasarkan skala prioritas serta dengan memperhatikan adanya pemekaran wilayah propinsi di Indonesia.

d. Balai Harta Peninggalan berwenang membuat Surat Keterangan Hak Waris terhadap seluruh warga negara Indonesia sehingga terciptanya keseragaman dalam pembuatan Surat Keterangan Hak Waris.

3. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pelayanan hukum pada Balai Harta Peninggalan.

a. Wilayah kerja yang sangat luas yang meliputi lintas propinsi, sehingga menyulitkan bagi Balai Harta Peninggalan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik, lebih lagi tidak adanya sarana kenderaan operasional untuk menjangkau wilayah kerja tersebut. Kesulitan bagi masyarakat yang membutuhkan jasa hukum dari Balai Harta Peninggalan yang berada di wilayah-wilayah sehingga mengakibatkan volume pekerjaan menjadi berkurang.

b. Kurangnya dukungan instansi-instansi lain yang ada hubungan kerja dengan Balai Harta Peninggalan seperti dari Kantor Dinas Kependudukan, Pengadilan Negeri, Notaris, dan Badan Pertahanan Nasional, sedangkan Undang-Undang telah mengatur hubungan kerja tersebut.


(2)

c. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat untuk menaati peraturan yang berkaitan dengan tugas dan fungsinya Balai Harta Peninggalan. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang Tugas dan Fungsi Balai Harta Peninggalan sebagai instansi yang memberikan pelayanan hukum, karena sebagian besar peraturan-peraturan mengatur tugas dan fungsi Balai Harta Peninggalan adalah peraturan yang dibuat pada zaman Belanda.

d. Kurangnya personil dengan Sumber Daya Manusia yang memadai dan anggaran yang sangat minim dengan luasnya wilayah kerja serta kurangnya sarana dan prasarana dalam menunjang pelaksanaan tugas dan kewenangan Balai Harta Peninggalan.

B. Saran

Berdasarkan permasalahan yang ada, akan diberikan saran yang berkaitan dengan permasalahan yang ada, yaitu:

1. Segera menindak lanjuti RUU BHP dan mensahkannya menjadi Undang-Undang Balai Harta Peninggalan secara Nasional dan merevisi sebahagian Instructie voor de Weeskamers in Indonesia Stb. 1872/166 dengan memperhatikan muatan materi Stb. 1872/166 yang masih relevan dengan kondisi saat sekarang terhadap perluasan pemberlakuan, tugas dan kewenangan serta kedudukan BHP tersebut. Kemudian Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 19 Juni 1980 Nomor M.01.PR.07.01-80 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan, disesuaikan atau diganti dengan Susunan Organisasi dan Tata


(3)

Kerja Balai Harta Peninggalan yang baru dengan memperhatikan rencana pemberlakuan RUU-BHP terhadap perluasan pemberlakuan, tugas dan kewenangan serta kedudukan Balai Harta Peninggalan untuk dihidupkan kembali dengan memfungsikannya di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI di bawah Divisi Pelayanan Hukum dan HAM yang membawahinya.

2. Pemerintah diharapkan untuk pemerintah diharapkan segera menambah personil pada Balai Harta Peninggalan yang bersumber daya manusia yang memadai dan berkualitas serta menambah anggaran juga sarana dan prasarana untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi Balai Harta Peninggalan kedepan, kemudian meningkatkan esselonering pejabat struktural pada Kantor Balai Harta Peninggalan setingkat lebih tinggi dari yang sekarang untuk menjaga keseimbangan dalam hubungan kerja dengan instansi-instansi lain yang terkait dengan tugas Balai Harta Peninggalan.

3. Pemerintah diharapkan segera setelah menciptakan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang BHP menjadi Undang-Undang Nasional untuk melakukan sosialisasi dengan penyuluhan hukum melalui Devisi Pelayanan Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia masing-masing agar seluruh warga negara Indonesia mengetahui dan memahami tentang tugas pokok dan kewenangan Balai Harta Peninggalan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Djamin, Djanius dan Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata, Medan: Akademi Keuangan dan Perbankan Perbanas, 1992.

Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1970.

---, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Putra Bardin, 1976.

---, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1986.

Lawrence M. Friedman, American Law, New York: W.W. Norton & Company, 1930. Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media,

2006,

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Majalah Hukum, Medan: Fakultas hukum Universtias Sumatera Utara, 2003. Satrio, J., Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1999.

Simorangkir, J.C.T., Kamus Umum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1981.

---, dan Abdullah, Mustafa, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali Press, 1987.

Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Suparni, Niniek, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

Syafe’I, Sofyan, Balai Harta Peninggalan dan Beberapa Tugas Pokoknya, Jakarta: Rajawali Press, 1994.

Wacks, Raymond, Jurisprudensi, London: Blacstone Perss Limited, 1995.


(5)

Tesis dan Makalah

Adlin, Mukhlis, Ketua BHP Jakarta, “Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Balai Harta Peninggalan Medan” Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Balai Harta Peninggalan se-Indonesia di Medan pada tanggal 4-5 Mei 2007.

Badrulzaman, Mariam Darus, Aspek Keperdataan mengenai Lingkup dan Wewenang Balai Harta Peninggalan, Makalah disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional Balai Harta Peninggalan, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 18 Desember 1998 Semarang: Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1998.

Margono Bambang, Hubungan Kerja Antara Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumut dengan Balai Harta Peninggalan, Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Balai Harta Peninggalan se-Indonesia, tanggal 4 Mei 2009 Medan: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007.

Natabaya, H.A.S., Penegakan Supremasi Hukum, Makalah disampaikan pada Pendidikan Cakim di PUSDIKLAT Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Tanggal 15 September 2000 Jakarta: Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2000.

Ramadhany, Siti Hafsah, Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan Selaku Wali Pengawas terhadap Anak di bawah Umur (Studi Mengenai Eksistensi BHP Medan Sebagai Wali Pengawas), Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004.

Sinaga, Syamsuddin Manan, “Pola Kerja Balai Harta Peninggalan Menyikapi Pemeriksaan Inspektorat Jenderal, BPKP dan BPK, Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Balai Harta Peninggalan Seluruh Indonesia diMedan pada tanggal 4 Mei 2007.

Soeharjo, Sisi Hukum Administrasi Negara tentang Peran dan Kedudukan Balai Harta Peninggalan, Makalah disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional Balai Harta Peninggalan, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1998.

Internet

Dikutip dari http://loeriset blogspot.com/2009/09/pengaruh-motivasi kerjadan suasana hlm.1.Diakses tanggal 19 April 2009.


(6)

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Departemen RI, Departemen Hukum dan HAM RI, 2005.

Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Tanggal 19 Juni 1980, Nomor: M.01.PR.07.01-80 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan.

Direktorat Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Balai Harta Peninggalan, Buku I.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.