Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto)

  

UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA DITINJAU

DARI HUKUM ACARA PIDANA

(Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto)

  

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan

Memenuhi Syarat Dalam Mencapai

  

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Manata Binsar Tua Samosir 050 200 038

  

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

  UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA (Studi Kasus: Polycarpus Budihari Priyanto) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

  Oleh :

  Manata Binsar Tua Samosir 050 200 038 Departemen Hukum Pidana

  Disetujui Oleh : Ketua Departemen Hukum Pidana

  (ABUL KHAIR SH.M.Hum)

  NIP : 131 842 854

  Pembimbing I Pembimbing II

  

ABUL KHAIR SH.M.Hum. RAFIQOH LUBIS SH. M. Hum

NIP : 131 842 854 NIP : 132300076

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

  ABSTRAKSI

  Penulisan skripsi ini berjudul tentang Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi: Polycarpus Budihari Priyanto), skripsi ini mengkaji tentang dimungkinkannya pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh pihak Kejaksaan dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum serta implikasi secara yuridis terhadap dimungkinkannya pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum di Indonesia. Secara teoritik perundangan Peninjauan Kembali merupakan hak terpidana atau ahli warisnya, tetapi dalam praktek peradilan di indonesia pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut umum telah beberapa kali dilakukan.

  Penelitian ini termasuk jenis penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk dalam penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan menggunakan metode pendekatan secara yuridis. Jenis data yang digunakan yakni jenis data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni melalui studi kepustakaan yang mencakup dokumen-dokumen resmi seperti KUHAP, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, buku-buku hasil penelitian dan lain sebagainya data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Jaksa Penuntut Umum menurut KUHAP memang tidak memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Namun dalam praktek dunia peradilan di Indonesia, Mahkamah Agung pernah mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum melalui putusan No. 55PK/Pid/1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan. Majelis Hakim Agung dalam pertimbangan hukumnya menggunakan Pasal 263 KUHAP dan Pasal 21 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang sekarang telah diganti oleh Undang-Undang No. 4 tahun 2004 dengan menafsirkan pihak-pihak berkepentingan dalam perkara pidana adalah Jaksa Penuntut Umum dan terpidana sebagai pihak yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Namun sebenarnya penafsiran tersebut tidak diperbolehkan karena ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang sekarang telah diganti oleh Undang- Undang No. 4 Tahun 2004 telah dijelaskan dalam penjelasan pasalnya bahwa yang dimaksud pihak-pihak berkepentingan adalah terhukum dan ahli warisnya. Dari uraian tersebut dapat dilihat terlihat terdapat pertentangan dasar hukum yang digunakan Mahkamah Agung sehingga putusan Mahkamah Agung RI No.

  55PK/Pid/1996 tidak dapat dijadikan yurisprudensi ke depan. Oleh karena itu pengaturan Jaksa Penuntut umum dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali mengenai boleh atau tidaknya perlu diatur secara tegas, sehungga ke depan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat bisa tercapai. Sementara menunggu revisi KUHAP, Mahkamah Agung dapat menggunakan wewenangnya sesuai Pasal 79 Undang-Undang 5 Tahun 2004 tentang mahkamah Agung dalam memberikan ketentuan mengenai dimungkinkannya Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum.

KATA PENGANTAR

  Pertama-tama penulis panjatkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

  Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka ujian untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

  Adapun judul skripsi ini adalah Upaya Hukum Peninjauan Kembali

  

Oleh Jaksa Ditinjau dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus : Pollycarpus

Budihari Priyanto).”

  Penulis sadar sejak awal hingga akhir penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

  1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  2. Ibu Mariati Zendrato, SH., M.Hum, selaku Dosen Wali penulis.

  3. Bapak Abul Khair, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I.

  4. Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang dengan tulus meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memberi masukan serta pandangan dan nasehat yang berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat selesai.

  5. Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  6. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan sabar mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di almamater ini.

  Secara khusus pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada mereka yang selama ini dekat dan mendapat tempat yang istimewa di hati sanubari penulis, diantaranya :

  1. Kedua orang tua penulis, yang penulis cintai dan kasihi Ayahanda Nelson

  

Samosir, SH, dan Ibunda Rita Nainggolan, yang telah memberikan

  banyak dukungan dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

  2. Buat adikku tersayang Sari dan Tanpi. Terima kasih buat dukungan dan doanya.

  3. Buat keluarga besarku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan yang selalu diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan dari awal hingga selesai penulisan skripsi ini.

  4. Terimakasih buat sahabatku Sondang, B’Yos dan teman-teman satu parlemen, yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

  Akhirnya penulis berharap dan berdoa semoga apa yang penulis sajikan dalam skripsi ini ada manfaatnya. Dan semoga ilmu yang penulis peroleh di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dapat juga berguna bagi agama, nusa dan bangsa, Amin.

  Medan, Maret 2009 Penulis

  Manata Binsar Tua Samosir

  

DAFTAR ISI

  Halaman

  ABSTRAKSI .................................................................................... i KATA PENGANTAR ...................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ...........................................................

  1 A. Latar Belakang............................................................

  1 B. Perumusan Masalah ....................................................

  4 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ....................................

  4 D. Keaslian Penulisan ......................................................

  5 E. Metode Penelitian .......................................................

  6 F. Tinjauan Pustaka ........................................................

  7 G. Sistematika Penulisan ................................................

  27 BAB II PENGATURAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN

  KEMBALI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

INDONESIA ...................................................................

  29 A. Putusan Pengadilan yang Dapat Dimintakan Upaya Hukum Peninjauan Kembali ............................

  29 B. Dasar dan Pihak yang Dapat Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali ............................

  32 C. Beberapa Asas yang Ditemukan Dalam Upaya Hukum Penijauan Kembali ..............................

  46

  BAB III DASAR HUKUM JAKSA PENUNTUT UMUM DAPAT MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN

KEMBALI ......................................................................

  51 A. Hak Penuntut Umum Dalam Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali ....................................................

  51 B. Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Sebagai Upaya Menembus Kekakuan Legalistik ...................................................

  59 BAB IV UPAYA PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA

  DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

109 PK/PID/2007 ............................................................

  63 A. Kasus Posisi ................................................................

  63 1. Kronologis ............................................................

  63 2. Pemeriksaan Tingkat Pengadilan Negeri ...............

  64

  3. Pemeriksaan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi)

  66 4. Pemeriksaan Kasasi (Mahkamah Agung) ..............

  68

  5. Pemeriksaan Permohonan Peninjauan Kembali (Mahkamah Agung) ..............................................

  69 B. Analisa Kasus .............................................................

  70 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................

  96 A. Kesimpulan .................................................................

  86 B. Saran ...........................................................................

  89 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................

  90

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan zaman sekarang ini yang berkembang dengan pesat dan

  mengakibatkan berbagai macam perilaku manusia sehingga diperlukan satu perangkat hukum yang dapat mengatur dan dapat mencegah tindak kejahatan dan pelanggaran Pidana, yang oleh karenanya harus ada kepastian hukum agar tercipta keadilan di bidang hukum bagi semua masyarakat. Salah satu masalah hukum yang akhir – akhir ini dipermasalahkan adalah masalah upaya hukum Peninjauan Kembali yang sampai sekarang ini dinilai oleh berbagai kalangan masih belum memiliki kepastian dalam prakteknya sehingga menimbulkan kebingungan di dalam ber praktek Hukum Acara Pidana. Berbagai contoh ketidak pastian Upaya Hukum Peninjauan Kembali yakni Kasus Mochtar Pakpahan yang Peninjauan Kembali nya diajukan oleh Jaksa, yang jelas – jelas dalam UU No.8 Tahun 1981

  Pasal 263 ayat (1) yang berbunyi : Bahwa terhadap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan Hukum Tetap, kecuali Putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Kasus Mochtar Pakpahan inilah yang membuat Upaya Hukum Peninjauan Kembali menjadi Kontroversi

   dikalangan penegak hukum, pakar hukum maupun masyarakat di Indonesia. 1 Karni Ilyas, 1997, Herziening atau Peninjauan Kembali Masalah peninjauan kembali (PK) perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, belakangan menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Pemikiran Moh. Mahfud MD dan M. Khoidin yang dimuat di dalam Republika edisi 2 Desember 1996, memunculkan perbedaan yang mencolok tentang penafsiran isi Pasal 263 KUHAP. Sementara Achmad Ali, dekan Fakultas Humas Universitas Hasanuddin, meninjau isi Pasal 263 KUHAP dari segi

   pengetahuan hukum dan ilmu hukum.

  Setelah kasus Mochtar Pakpahan ini masih banyak perkara di Mahkamah Agung yang Peninjauan Kembali nya diajukan oleh jaksa dan yang baru- baru ini terjadi adalah kasus Pollicarpus yang juga Peninjauan Kembali nya diajukan oleh Jaksa. Yang menimbulkan kontroversi adalah dalam Putusan Kasasi nya, Pollicarpus diputus bebas pada tingkat Mahkamah Agung, hal inilah yang membuat Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali. Pada saat Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali tersebut Mahkamah Agung kemudian mengabulkan permintaan Peninjauan Kembali oleh Jaksa, padahal di tingkat Kasasi Mahkamah Agung sudah memutus bebas Pollicarpus. Hal ini menimbulkan kontroversi kembali yang diduga adanya campur tangan Politik ke dalam lembaga Yudikatif khususnya Mahkamah Agung.

  Dari beberapa kasus yang Upaya Hukum Peninjauan Kembali nya diajukan Jaksa Penuntut Umum inilah penulis merasa tertarik untuk membahas

2 Bachtiar Sitanggang, Senin, 3 Februari 1997, Hakikat Peninjauan Kembali atas Suatu

  

Perkara Pidana, INDONESIA-P Kompas Online,www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/

.htmi-21k.

  020027 masalah Upaya Hukum Peninjauan Kembali ini. Penulis juga merasa tertarik untuk membahas masalah Upaya Hukum Peninjauan Kembali ini karena dengan adanya ketidakpastian Hukum dari Peninjauan Kembali ini mengakibatkan banyak perkara – perkara yang eksekusi hukuman nya seharusnya bisa dilaksanakan menjadi tertunda karena terganjal dalam Upaya Hukum Peninjauan Kembali ini. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa yang hanya dapat mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali adalah Terdakwa atau Ahli Warisnya. Tetapi yang terjadi dalam beberapa kasus malah berlawanan dari ketentuan Hukum ini Yang sepatutnya oleh Mahkamah Agung sendiri sebagai Lembaga yang paling bisa menilai pelaksanaan Hukum Acara Pidana ini Khususnya Peninjauan Kembali dapat bertindak tegas dan adil dalam melaksanakan Hukum Acara Pidana agar terjadi kepastian hukum dalam sistem Peradilan Indonesia.

  Perdebatan boleh tidaknya jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) masih saja mengemuka. Kali ini, perdebatan yang cukup usang ini terjadi di luar persidanga Munir. Istri terdakwa Pollycarpus, Yosepha Hera Iswandari, mempertanyakan PK yang diajukan oleh Kejaksaan. Serta dalam kasus Pollycarpus, dimana hakim

   mengabulkan upaya hukum yang diajukan jaksa penuntut umum.

  3 . Harian Kompas, Wewenang Jaksa Mengajukan PK Kembali Dipersoalkan, Edisi 12- Agustus-2008, Jakarta.

  Dari uraian fakta tersebut diatas mendorong penulis untuk meneliti dan menulis skripsi perihal Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi Kasus : Polycarpus Budihari Priyanto)

  B. Perumusan Masalah

  Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

  1. Bagaimana Pengaturan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia ?

  2. Dasar Hukum Jaksa Penuntut Umum Dapat Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali

  3. Upaya Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 109 PK/PID/ 2007

  C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan Tujuan Penelitian

  Dari penelitian itu diharapkan nantinya akan dapat dikemukakan mengenai hal- hal yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya Hukum Pidana, yaitu :

  1. Untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan upaya hukum peninjauan kembali dalam hukum acara pidana Indonesia.

  2. Dan untuk mengetahui dasar jaksa penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.

  3. Serta untuk mengetahui dasar hakim mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa dalam kasus pollycarpus.

  Manfaat Penelitian

  Adapun penulisan skripsi ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut :

  1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana khususnya mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali dalam Hukum Acara Pidana Indonesia.

  2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan khususnya bagi Jaksa Penuntut Umum ketika mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.

D. Keaslian Penulisan

  Penulisan karya ilmiah ini berjudul “Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana (Studi: Polycarpus Budihari Priyanto)“, yang pada prinsipnya penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada, baik melihat literatur yang penulis peroleh dari perpustakaan, dan dari media masa baik cetak maupun elektronika. Sehingga dapat penulis pastikan tidak ada judul skripsi yang sama setelah melakukan penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan apabila di kemudian hari ternyata ada maka penulis akan mempertanggungjawabkannya.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

  Jenis Penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan metode pendekatan yuridis normative, yaitu dengan pengumpulan data-data serta studi kepustakaan yang berkaitan dengan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Hukum acara Pidana Indonesia.

  2. Jenis Data dan Sumber Data

  Jenis data yang dibutuhkan dalam Penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari : b. Bahan Hukum Primer ; yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa Undang-undang,

  Peraturan Pemerintah, dan lain-lain.

  c. Bahan Hukum Sekunder ; yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau merupakan hasil kajian dari berbagai media seperti Koran, majalah, artikel-artikel yang dimuat di berbagai website diinternet.

  d. Bahan Hukum Tersier ; yaitu semua dokumen yang berisikan konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia.

  3. Tehnik Pengumpulan Data

  Untuk mengumpulkan data didalam memecahkan permasalahan penulisan skripsi dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilaksanakan dengan cara menelaah buku-buku, karangan ilmiah dan peraturan Perundang-undangan yang ada hubungannya dengan permasalahan pada skripsi ini. Selain itu penelitian juga diarahkan terhadap artikel-artikel ilmiah yang dimuat di Koran maupun majalah baik yang dimuat di berbagai media massa maupun yang dimuat di website-website internet.

4. Analisis Data

  Dalam penulisan skripsi ini, segala data yang telah diperoleh oleh penulis kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menjawab segala permasalahan didalam skripsi ini, yang kemudian analisis deskriptif kualitatif tersebut akan membantu penulis membuat suatu kesimpulan yang benar.

F. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana Indonesia

  Hukum acara pidana merupakan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana atau menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus

   dilaksanakan.

  Hukum acara pidana disebut juga hukum formil yaitu bagaimana cara alat pemerintah melaksanakan hukum materil (penerapan isi). Pengertian Hukum Acara Pidana adalah bagaiamana cara negara melalui alat alat kekuasaannya menentukan kebenaran tentang terjadinya suatu pelanggaran hukum pidana.

  Menurut Simon, hukum acara pidana adalah mengatur bagaimana Negara dengan alat-alat pemerintahannya menggunakan hak-haknya untuk memidana. Sedangkan menurut De bos kemper hukum acara pidana adalah sejumlah asas dan peraturan 4 Andi Hamzah, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta.

  Hal 4. undang-undang yang mengatur bagaimana Negara menggunakan hak-haknya untuk memidana. Secara umum Hukum Acara Pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU Nomor

5 Asas dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:

  8 Tahun 1981.

  Hukum Acara Pidana di Indonesia saat ini telah diatur dalam satu undang- undang yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Undang-Undang No.8 Tahun 1981, berlaku sejak 31 Desember 1981.

  

  1. Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.

  2. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (Pasal 50 KUHAP).

  3. Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (Pasal 54 KUHAP).

  4. Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (Pasal 64 KUHAP). 5 Ibid. 6 Ibid. Hal 10.

  5. Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.

  Hukum acara pidana adalah merupakan salah satu pelaksanaan dari Hak Asasi Manusia dalam Negara Republik Indonesia. Demikian dikemukakan dalam pertimbangan (konsideran) yang mendahului Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan demikian, maka negara Republik Indonesia khususnya dengan hukum acara pidananya itu telah secara tegas mengakui prinsip-prinsip hak asasi manusia yang bersifat universal tersebut. Pengakuan itu dipertegas kemudian dalam pedoman Pelaksanaan KUHAP.

  KUHAP hadir menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebagai payung hukum acara di Indonesia . Kitab yang disebut karya agung bangsa Indonesia ini mengatur acara pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, acara pemeriksaan, banding di Pengadilan Tinggi, serta

   kasasi dan PK ke Mahkamah Agung.

  Harus diakui, bahwa kehadiran KUHAP dimaksudkan oleh pembuat Undang-undang untuk “mengoreksi” pengalaman praktek peradilan masa lalu yang tidak sejalan dengan penegakan hak asasi manusia di bawah aturan HIR, sekaligus memberi legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum. Tak jarang didengar rintihan pengalaman di masa HIR seperti penangkapan yang berkepanjangan tanpa akhir, penahanan tanpa surat perintah dan tanpa penjelasan kejahatan yang dituduhkan.

7 Ibid . Hal. 4.

   Demikian juga dengan “pemerasan” pengakuan oleh pemeriksa (verbalisant).

  Memang KUHAP telah mengangkat dan menempatkan tersangka atau terdakwa dalam kedudukan yang “‘berderajat”, sebagai makhluk Tuhan yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh. Tersangka atau terdakwa telah ditempatkan KUHAP dalam posisi his entity and dignity as a human being, yang

   harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.

  KUHAP telah menggariskan aturan yang melekatkan integritas harkat harga diri kepada tersangka atau terdakwa, dengan jalan memberi perisai hak-hak yang sah kepada mereka. Pengakuan hukum yang tegas akan hak asasi yang melekat pada diri mereka, merupakan jaminan yang menghindari mereka dari perlakuan sewenang-wenang. Misalnya KUHAP telah memberi hak kepada tersangka atau terdakwa untuk segera mendapat “pemeriksaan” pada tingkat penyidikan maupun putusan yang seadil-adilnya. Juga memberi hak untuk

   memperoleh “bantuan hukum” pemeriksaan pengadilan.

  Demikian juga mengenai “pembatasan” jangka waktu setiap tingkat pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan penangkapan dan penahanan, ditentukan secara limitatif bagi semua instansi dalam setiap tingkat pemeriksaan. Bahkan untuk setiap penangkapan atau penahanan yang dikenakan, wajib diberitahukan kepada keluarga mereka. Dengan demikian tersangka atau terdakwa maupun keluarga mereka, akan mendapat kepastian atas segala bentuk tindakan penegakan hukum. Ini sejalan dengan tujuan KUHAP sebagai sarana 8 9 Ibid.

  M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Pembahasan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Bandung. Hal. 1. 10 Ibid. pembaruan hukum, yang bermaksud hendak melenyapkan kesengsaraan masa lalu.

  Lahirnya hukum acara pidana nasional yang modern sudah lama didambakan oleh semua orang. Masyarakat menghendaki hukum acara pidana yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dan selaras dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. KUHAP boleh dikatakan telah membangkitkan optimisme harapan yang lebih baik dan manusiawi dalam pelaksanaan penegakan hukum. Tentunya kelahiran KUHAP untuk mencari Kebenaran Materil dan mencari keterkaitan antara niat, perbuatan dan keadaan diri si pelaku (unsur-unsur tindak pidana) yang berbeda dengan yang berlaku di dalam hukum acara perdata, mencari kebenaran formil (bukti-bukti tertulis).

  Namun, memasuki usia 20 tahun lebih berlakunya KUHAP muncul keinginan agar KUHAP segera direvisi karena tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan sebagaimana pada saat diundangkan.

  Didalam pedoman pelaksanaan KUHAP dijelaskan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah “untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

  

  menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.” 2.

   Pengertian dan Dasar Hukum Peninjauan Kembali Herziening atau Peninjauan Kembali adalah suatu putusan pengadilan

  yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas suatu perkara 11 Ibid . Hal. 13. pidana, berhubungan dengan ditemukannya fakta-fakta yang dulu tidak diketahui

   oleh Hakim, yang akan menyebabkan dibebaskannya terdakwa dari tuduhan.

  Dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP mengatur pengajuan PK ditentukan dasar

  

  sebagai berikut:

  a. Apabila terdapat keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau Penuntut Umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan Pidana yang lebih ringan;

  b. Apabila dalam pelbagai Putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan Putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c. Apabila Putusan Hakim itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

  Untuk pengaturan pihak yang berhak untuk mengajukan PK telah diatur pada Pasal 263 (1) KUHAP, yang berbunyi: "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan 12 Bachtiar Sitanggang, Senin, 3 Februari 1997, Hakikat Peninjauan Kembali atas Suatu

  

erkara Pidana , INDONESIA-P Kompas Online,www.hamline.edu /apakabar/ basisdata/ 1997/02/

020027 .htmi- 21k. 13 R. Soenarto Soerodibroto, 2003, KUHP dan KUHAP Edisi kelima, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 472.

  permintaan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA).

  Menurut pengertian sehari-hari, kalau kalimat tersebut dibaca dalam keseluruhan dan kaitan antara satu dengan yang lain, jelas bahwa dalam hal hakim menyatakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka terpidana atau ahli warisnya tidak boleh mengajukan permintaan PK.

  Larangan yang sama berlaku juga bagi orang lain, seperti korban, jaksa atau penuntut umum atau LBH. Terpidana atau ahli warisnya hanya dapat mengajukan permintaan PK, hanya kalau terpidana dijatuhi pidana dalam tingkat

   kasasi oleh MA.

  Menurut kalimat Pasal 263 (1) KUHAP tersebut hanyalah terpidana atau ahli warisnya yang dapat meminta PK. Seandainya orang atau instansi tertentu diperbolehkan mengajukan permohonan demikian, maka pembuat undang-undang

  

  pasti akan mencantumkan kata-kata antara lain di depan kalimat "terpidana ", atau di belakang kata-kata "ahli warisnya" akan disusul dengan kata "dan".

  Misalnya "dan penuntut umum, korban, atau siapa saja.

  Kalimat berbahasa Indonesia tersebut sudah jelas sekali maksudnya, sehingga tidak dapat diartikan lain. Jelas bahwa PK itu diberikan hanya kepada terpidana atau ahli warisnya secara terbatas. Mengapa perlu ditinjau suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena telah terjadi kesalahan menghukum orang. Kesalahan itu sesungguhnya berawal dari kesalahan menangkap orang yang dilakukan penyidik. Kesalahan itu dilanjutkan penutut 14 M Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

  

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua,

Sinar Grafika, Cetakan 8, Jakarta. Hal. 615. 15 Ibid.

  umum karena menuntut orang yang bersalah, kemudian di pengadilan pun akhirnya salah menjatuhkan hukuman. Dengan demikian upaya hukum PK adalah upaya meminta maaf dari negara dan pemerintah kepada masyarakat dan orang bersangkutan, karena dijatuhkan hukum kepada orang yang tidak berbuat seperti apa yang dituduhkan.Hakim sebagai pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili yaitu menegakkan hukum dan memberi keadilan serta memelihara kepastian hukum, memang harus memberikan keadilan, bila perlu melakukan terobosan. Namun terobosan itu tidak bisa melampaui batas yang ada, yaitu undang-undang.

  Masalah PK ini muncul kembali karena Majelis PK MA melalui majelis Hakim Agung Soerjono, Sarwata, dan Palti Raja Siregar, mengabulkan gugatan PK (Peninjauan Kembali) jaksa penuntut umum Havid Abdul Latif dari Kejaksaan Negeri Medan pada Selasa 19 Nopember 1996. Dalam putusannya Majelis Hakim menyatakan menerima permohonan dari Kejaksaan dan mengadili serta menjatuhkan hukuman bagi Muchtar Pakpahan. Yang menjadi persoalan, bukan berat ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada Muchtar Pakpahan atau terbukti tidaknya ia melakukan penghasutan, tetapi pokok masalah, apakah KUHAP memungkinkan Kejaksaan mengajukan permohonan PK atas suatu perkara pidana. Hal itu memang tidak diatur secara tegas, apalagi yang

   melarang Kejaksaan mengajukan PK tidak ada dalam KUHAP.

  Dimungkinkan tidaknya kejaksaan mengajukan permintaan PK dalam kaitannya dengan kasus Muchtar Pakpahan perlu dikaji KUHAP sebagai dasar 16 Bachtiar Sitanggang, OpCit, Hal 1. penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 263 ayat 1 menentukan "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperbolehkan kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan peninjauan kembali kepada

17 Mahkamah Agung".

  Dalam Pasal ini ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama, yaitu kata-kata "kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum", berarti kalaupun jaksa dimungkinkan untuk mengajukan permintaan PK, akan tetapi karena putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum seharusnya ditolak majelis majelis Hakim Agung Soerjono, Sarwata, dan Palti Raja Siregar. Kedua, bila disimak dengan penafsiran a contrario Pasal 263 (1) ".... terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung", berarti selain terpidana atau ahli warisnya tentu "tidak dapat" mengajukan permintaan PK.

  Barangkali karena tidak diatur secara tegas itulah, maka Majelis Hakim Agung Soerjono, Sarwata, dan Palti Raja Siregar memiliki alasan untuk menerima permintaan PK dan membatalkan Putusan Adi di tingkat Kasasi. Tetapi kalau melalui Majelis Hakim Agung Soerjono, Sarwata, dan Palti Raja Siregar, menggunakan lubang kemungkinan pada ayat 1 di atas, sebenarnya ayat 2 tidak boleh diingkari. Secara terbatas alasan PK ditentukan atas tiga dasar.

  Pertama, apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih 17 Ibid berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Kedua, apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar atau alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. Dan ketiga, apabila putusan itu dengan jelas

   memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatukekeliruan yang nyata.

  Dari ayat 2 ini jelas bahwa alasan-alasan untuk mengajukan permintaan PK itu terbatas. Ia hanya diperuntukkan bagi kepentingan terpidana dan bertujuan untuk melindungi hak terpidana dari kesalahan menerapkan hukum atau salah menghukum orang. Ini terlihat pada butir pertama, "hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan" sama sekali tidak disebutkan untuk memberatkan hukuman.

  Memang pembentuk KUHAP tidak secara tegas menentukan ayat 3 Pasal yang sama termasuk manfaatnya. Ayat 3 tersebut menentukan, "Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetapi dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan".

18 M Yahya Harahap Edisi Kedua, OpCit, Hal. 615.

  Pasal 244 KUHAP jelas hanya menyebut terdakwa atau penuntut umum, sehingga tidak boleh menambahnya dengan korban, penasehat hukum, atau siapa saja. Hal itu pun dibatasi, hanyalah jikalau terdakwa tidak diputus bebas, dengan kata lain kasasi hanya dapat dilakukan dalam hal terdakwa diputus 'dilepaskan dari tuntutan hukum' atau dipidana.

  Ditinjau dari segi logika, maka kasasi dapat dilakukan oleh penuntut umum dalam hal terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum, sebab berarti bahwa terdakwa tidak akan menjalani pidana. Logis pula kalau terdakwa dapat

   memohon kasasi kalau ia dipidana, karena ia tidak mau masuk penjara.

  Pasal 263 (1) KUHAP hanya memperkenankan terpidana atau ahli warisnya mengajukan permohonan Peninjauan Kembali jika ia dijatuhi pidana. Kesimpulan itu penulis ambil dengan menggunakan uraian a contarrio, sebab kalimat "kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan" di dalam Pasal 263 (1) KUHAP. Kebalikan putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum adalah dipidana.

  Ditinjau dari segi logika, adalah masuk akal kalau terpidana atau ahli warisnya tidak boleh mengajukan PK kalau ia tidak dijatuhi pidana. PK barulah dapat dilakukan kalau terdakwa dikenai pidana. Maka sangat tidak logis kalau dikatakan bahwa penuntut umum (karena tidak diatur di dalam KUHAP) dapat mengajukan permohonan PK. 19 Dalam Pasal 263 (2) KUHAP tersebut secara implisit yang dimaksudkan

  Andi Zainal Abidin, 1997, Opini: Seputar Peninjauan Kembali Perkara Pidana, http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/01/18/0119.html. dapat mengajukan PK ialah terpidana atau ahli warisnya, karena ia telah dijatuhi pidana. Padahal andaikata hakim yang telah memutuskan perkaranya telah mengetahui adanya keadaan yang dapat membebaskan terdakwa, atau melepaskannya dari segala tuntutan hukum, atau seharusnya menyatakan tuntutan penuntut umum niet ontvankelijk atau seharusnya menjatuhkan pidana yang lebih ringan daripada yang dijatuhkannya, maka ia akan menetapkan putusan salah satu jenis putusan yang disebut secara limitatif di dalam Pasal 263 (2) KUHAP.

  Lamintang secara panjang lebar menguraikan sejarah pranata hukum PK. Hukum ini, katanya berasal dari Undang-undang tanggal 14 Juli 1899, staatsblad Tahun 1899 No. 159 yang mengubah Wetboek van Strafvordering Nederland dan

  

Reglement op de Strafvordering . Menurut Lamintang (halaman 544) sebagian di

  antaranya kemudian dimasukkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia yang sudah telanjur dipuji sebagai "karya agung"yang seolah- olah tidak ada celanya. Isi ketentuan Pasal 263 KUHAP Indonesia bolehlah dikatakan sama atau mirip sekali dengan Artikel 457 Wetboek van Strafvordering Nederland Van Bemmelen (1950:454). Keduanya menyatakan bahwa herziening atau PK hanya dapat dilakukan dalam hal putusan terakhir menyatakan terdakwa dipidana, terdapat pernyataan pembuktian yang saling bertentangan dalam dua

   atau lebih putusan hakim, dan terdapat novum.

  3. Wewenang Jaksa Dalam Sistem Peradilan

  20 Lamintang, 1984 , Hukum pidana Indonesia , Sinar Baru, Jakarta. Hal 544-551.

  Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penuntutan tertinggi di bidang hukum mempunyai peran utama dalam penegakan supremasi hukum dan mewujudkan keadilan bagi seluruh bangsa di negeri ini. Sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, dan sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, peran kejaksaan sebagai garda depan penegakan hukum demikian penting dan

   strategis.

  Sebagai institusi peradilan, kewenangan kejaksaan dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum, peran kejaksaan diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.

  Sistem peradilan pidana terpadu adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem penegakan hukum. Dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat empat sub- sistem yakni: (1) kekuasaan penyidikan; (2) kekuasaan penuntutan; (3) kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana; dan (4) kekuasaan pelaksanaan

   putusan / pidana.

  Kejaksaan sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana memiliki fungsi di bidang penuntutan dan memegang peranan yang sangat krusial dalam proses penegakan hukum. Sebagai institusi peradilan, maka kewenangan kejaksaan dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu peran Kejaksaan 21 Mewujudkan Doktrin ”Tri Krama Adhyaksa, Harian Sinar Harapan, Senin, 21 Juli

  2003, 22 Memantapkan Langkah Reformasi Kejaksaan, Komisi Hukum Nasional 17 April

2004,http://www.komisihukum.go.id./index.php?option=com_rubberdoc&view=doc&id=2&forma t=raw&itermid=84&lang=in sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

  Eksistensi Kejaksaan telah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

  Dalam sistem peradilan pidana, Jaksa merupakan institusi penegak hukum yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat. Seluruh komponen sistem peradilan pidana, termasuk pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan.

  Meski demikian, tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa (pada tahap prajudisial)

   dan pengadilan (pada tahap judisial).

  Untuk menghindari kesimpang-siuran tugas, penyalahgunaan kewenangan, tumpang tindihnya kewenangan, serta kegagalan mencapai tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi di masyarakat, perlu ada suatu hukum yang di dalamnya antara lain memuat siapa aparat penegak hukum yang oleh negara diberikan tugas penegakan hukum pidana, bagaimana tatacara penegakannya, apa saja tugas dan kewajibannya, serta apa sanksi bila ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan cara atau tugas dan kewenangannya. Hukum tersebut dikenal 23 Topo Santoso (Universitas Indonesia), Polisi Dan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia,5 September 2001. sebagai hukum pidana formal atau hukum acara pidana. Wirjono Prodjodikoro merumuskan hukum acara pidana ini sebagai suatu rangkaian peraturan- peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan

   negara dengan mengadakan hukum pidana.

  Hukum acara pidana menjadi pegangan bagi jaksa dan polisi serta hakim (bahkan termasuk penasihat hukum) di dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan dan pemeriksaan di pengadilan. Para pelaksana hukum itu dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh menyimpang dari asas-asas hukum acara pidana. Di dalam hukum acara pidana diatur dengan jelas apa tugas dan kewenangan masing-masing alat negara yang bekerja dalam sistem peradilan pidana.Dalam sejarah hukum acara pidana di Indonesia tercatat bahwa dari tanggal 17 Desember 1945 hingga 31 Desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam Reglement Indonesia yang diperbaharui (RIBS. 1941 No. 44). Setelah 31 Desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

25 Acara Pidana.

  Pada dua periode berlakunya hukum acara pidana tersebut, terdapat perbedaan penting. Perbedaan tersebut antara lain dapat dilihat dari aspek penyidikan tindak pidana (baik tindak pidana umum maupun penyidikan tindak pidana khusus) serta kewenangan dari lembaga polisi

  24 25 Ibid Ibid.

  dan kejaksaan. Terdapat perbedaan pola hubungan antara polisi dan jaksa dalam dua periode tersebut dalam soal penyidikan tindak pidana.

  Sebelum KUHAP diberlakukan, wilayah tersebut secara tradisional "dikuasai" oleh kejaksaan. Dengan kata lain, bidang penyidikan adalah kewenangan pihak kejaksaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi "mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinir alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara".

  Penjelasan Pasal tersebut menyatakan, untuk kesempurnaan tugas penuntutan, jaksa perlu sekali mengetahui sejelas-jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam bidang penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai akhir yang seluruhnya itu harus dilakukan atas dasar hukum.

  Perbedaan kewenangan penyidikan sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP akan jelas sekali terlihat dengan mengetahui siapa yang dimaksud dengan penyidik menurut ketentuan acara pidana sebelum KUHAP. Menurut Reglement Indonesia yang dibaharui (S.1941 No. 44) Pasal 53 (1) yang dimaksud penyidik ialah Kepala Distrik, Kepala Onderdistrik, polisi umum yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu inspektur polisi dan pegawai polisi yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Jadi sangat jelas bahwa pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, jaksa

  

  mempunyai bidang kewenangan yang luas sebagai berikut:

  1.Didalam bidang penuntutan dilakukan penuntutan dalam perkara-perkar pidana pada pengadilan yang berwenang.

  2. Dalam bidang penyidikan diadakan lanjutan serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik dalam hal ini termasuk penyidik dari kepolisian.

  Dengan demikian, pimpinan dalam penyidikan pada periode sebelum berlakunya KUHAP adalah kejaksaan yang bertugas mengawasi dan mengkoordinasikan penyidikan yang dilakukan oleh pihak-pihak lain, termasuk polisi.

  Berbeda dengan kondisi tersebut, setelah berlakunya KUHAP terjadi perubahan yang sangat penting. Perubahan yang dibawa oleh KUHAP

  

  mengakibatkan pembagian kewenangan sebagai berikut;

  a. Kepolisian

  1. Kepolisian dalam bidang penyidikan kepolisian mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana umum.

  2. Kepolisian mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tambahan.

  3. Kepolisian berperan sebagai koordinator dan pengawas Penyidik

  b. Kejaksaan

  1. Di bidang penyidikan kejaksaan mendapat porsi sebagai penyidik tindak pidana khusus yang meliputi tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi, walaupun ini sifatnya sementara. 26 27 Ibid.

  M Yahya Harahap Edisi Kedua. OpCit, Hal. 103.

  2. Untuk penyidikan tindak pidana umum, polisi memegang kewenangan penyidikan penuh, sedangkan jaksa tidak berwenang.

  Meskipun demikian, dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor

  16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 30 ayat (1) diakui bahwa kejaksaan mempunyai kewenangan untuk melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan.