commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia, dalam kehidupannya sehari-hari tidak bisa terlepas dari suatu kegiatan konsumsi baik barang maupun jasa. Mengkonsumsi merupakan
suatu kegiatan menghabiskan nilai guna suatu benda baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.
Kegiatan konsumsi ini dapat secara langsung diperoleh dari alam atau melalui perantara yakni dengan membeli dari seorang produsen atau
distributor. Berkaitan dengan suatu kegiatan konsumsi barang yang masuk kedalam tubuh manusia, terutama konsumsi akan barang-barang olahan akan
sangat penting apabila konsumen mengetahui komposisi bahan penyusun barang yang dikonsumsinya. Apakah telah sesuai dengan kesehatan dan
tuntutan agamanya atau tidak. Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang dapat
dikatakan berkembang luar biasa. Termasuk juga dalam perkembangan pangan, obat, dan kosmetika. Jika dulu pengolahan bahan baku bersifat
sederhana dan tergantung dari alam, maka berbeda dengan sekarang dimana manusia mampu mengolah apa yang terkandung dari alam, sampai yang
terkecil sekalipun. Dengan demikian, dalam mengidentifikasi tentang proses dan bahan yang digunakan dalam suatu industri pangan, obat-obatan atau
kosmetika tidak lagi menjadi sesuatu yang sederhana. Namun keseluruhannya harus diperiksa secara lebih rinci dan teliti.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sekarang ini yang perlu diperhatikan terhadap suatu produk adalah bahan, dan
prosesnya. Ditinjau dari bahan, penetapan status kehalalannya sangat mudah bila bahan yang digunakan merupakan bahan alami tanpa melalui proses
pengolahan. Namun diperlukan pengkajian lebih lanjut jika bahan alami tersebut, mengalami proses pengolahan dimana dalam proses pengolahan
terkadang diperlukan bahan-bahan tambahan.
commit to user Berkaitan dengan kehalalan suatu produk, dalam ajaran agama Islam
mewajibkan agar umatnya mengkonsumsi makanan, minuman, serta obat- obatan yang bersifat halal.
Di dalam ajaran Islam banyak peraturan yang berkaitan dengan makanan, salah satu peraturan yang terpenting ialah
larangan mengkonsumsi makanan atau minuman yang haram. Sebagaimana dalam Qur’an surat al-Maidah ayat 88 yang artinya “Dan makanlah dari
apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.
Perintah yang sama juga terdapat dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 168 yang artinya “Hai sekalian umat manusia, makanlah dari apa yang dibumi
ini secara halal dan baik. Dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya itu adalah musuh yang nyata bagi kalian”. Dari
ketentuan ayat tersebut dapat dilihat bahwa bagi mereka yang memeluk agama Islam memakan makanan yang halal adalah sebagai salah satu wujud
dan cara beriman kepada Allah SWT. Adanya globalisasi dan modernisasi jaman, sebagian besar telah
mempengaruhi masyarakat kita dengan menjadikan konsumsi sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Budaya konsumtif ini secara tidak langsung
akan mengurangi prinsip kehati-hatian mereka dalam memilih produk baik dilihat dari komposisinya maupun status halal dan haramnya. Kepedulian
umat Islam terhadap kesucian dan kehalalan sesuatu yang akan dikonsumsinya sangat berpengaruh terhadap diterima atau ditolaknya amal
ibadah mereka kelak di akhirat. Ditinjau dari sudut pandang Islam, makanan bukanlah sekedar sebagai pemenuh kebutuhan jasmani saja, tetapi juga
merupakan bagian dari kebutuhan spiritual yang harus dilindungi Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009:1-2. Masalah tentang halal dan
haram bukanlah suatu persoalan yang sederhana dan dapat diabaikan, melainkan merupakan masalah yang telah mengglobal dan amat penting
serta harus mendapatkan perhatian dari ajaran agama secara umum. Kasus haramnya penyedap rasa Ajinomoto, yang menggemparkan
Indonesia pada tahun 2001, tersiarnya kabar penipuan terhadap konsumen restoran di Jawa Barat tahun 2007, dan sejumlah kasus lain yang terjadi pada
commit to user industri pangan jelas membawa kerugian yang sangat besar bagi perusahaan
baik secara materiil maupun moril http:halalsehat.com. Banyaknya produk yang beredar dipasaran yang menyertakan label halal tanpa melalui
sertifikasi halal ataupun belum melalui pengujian oleh pihak yang berwenang menunjukkan adanya pelecehan terhadap hak-hak yang dimiliki
konsumen. Sebagaiman kita ketahui, saat ini banyak produk yang beredar dipasaran ada yang tidak mencantumkan label halal dan ada yang
mencantumkan label halal dengan ragam yang berbeda yaitu : label halal berbahasa Indonesia, label halal dalam bahasa Arab, dan label halal dalam
bahasa Indonesia dan Arab Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009:7. Munculnya berbagai ragam logo halal ini jelas akan menyulitkan konsumen
dalam menentukan produk manakah yang telah teruji kehalalannya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini membawa
pengaruh yang besar bagi globalisasi ekonomi. Hal ini tentu saja berdampak langsung bagi perdagangan bebas dimana suatu negara bisa langsung
mengirimkan barang produksinya ke negara lain dengan sebuah perjanjian- perjanjian tertentu. Indonesia sebagai salah satu negara anggota World
Trade Organization WTO dalam menghadapi perdagangan bebas baik tingkat regional maupun internasional, dikhawatirkan akan dipenuhi produk-
produk import baik berupa makanan atau produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Baik dalam pemprosesan, penyimpanan,
penanganan, dan pengepakan seringkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur
haram yang dilarang dalam agama Islam http:infokito.wordpress.com20070916pedoman-sertifikasi-halal.
Masalah tentang status kehalalan produk saat ini sepertinya telah menjadi isu dalam skala internasional, nasional maupun lokal. Bukan hanya
bagi umat Islam, namun juga bagi umat yang beragama lain, dimana kehalalan suatu produk juga dipandang sebagai upaya peningkatan kualitas
kehidupan dari segi kesehatan. Sebagaimana dikutip dalam jurnal Internasional ”Although, it is well known that consumer groups from
different cultures and religious backgrounds are likely to have different
commit to user customer satisfaction expectations, the attributes associated with
customer segments Muslim and non Muslim” Eurasian Journal of Business and Economics, 2009: 150.
Dalam perdagangan
Internasional, telah
banyak aturan-aturan
perdagangan yang membahas tentang kehalalan suatu produk sebagai upaya perlindungan konsumen muslim khususnya diseluruh dunia. Misalnya saja
seperti Codex Alimentarius Commission yang merupakan sebuah organisasi dunia yang secara khusus menangani aspek kehalalan suatu produk dalam
sistem perdagangan. Terdapat pula sejumlah organisasi lain diantaranya Islamic Food and Nutrition Council of Amarica IFANCA yang dibentuk
komunitas muslim Amerika untuk menangani persoalan pangan halal, dan Australia Quarantine and Inspection Service AQIS yang berdiri dibawah
naungan Departemen Industri Primer dan Energi wilayah Australia Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009:5. Dalam negara-negara Islam
status tentang kehalalan suatu produk adalah multak adanya sebagai salah satu upaya memenangkan persaingan dan merebut pangsa pasar
internasional. Semangat yang dapat diambil dari hal tersebut adalah pemerintah harus
membuat peraturan yang menyangkut tentang kehalalan produk sebagai salah satu upaya perlindungan konsumen serta sebagai upaya memenangkan
persaingan pasar. Mengingat pentingnya masalah kehalalan produk, maka pemerintah telah menetapkan undang-undang yang menyangkut tentang
kehalalan. Misalnya dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, yang dalam ketentuan Pasal 30 ayat 2 huruf e menyatakan bahwa
label pangan harus memuat sekurang-kurangnya keterangan tentang halal. Sedangkan apabila terbukti memberikan pernyataan atau keterangan yang
tidak benar dalam iklan atau label, bahwa pangan yang diperdagangkan tersebut telah sesuai menurut persyaratan agama atau kepercayaan tertentu
dihukum dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun penjara danatau denda Rp 360.000.000,00 tiga ratus enam puluh juta rupiah sesuai ketentuan
dalam Pasal 58 undang-undang ini.
commit to user Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Pelindungan Konsumen,
Pasal 8 ayat 1 huruf h menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi danatau memperdagangkan barang danatau jasa yang tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. Ketentuan lainnya tentang kehalalan juga
dapat kita temukan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yakni dalam Pasal 58. Menurut Pasal 58
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standarisasi, sertifikasi, dan regristrasi
dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal. Dalam pasal tersebut juga mengatur tentang produk hewan yang diproduksi
danatau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikasi veteriner dan sertifikasi halal.
Selain peraturan perundang-undangan, ketentuan tentang halal juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan
Iklan Pangan. Dalam Peraturan Pemerintah ini terdapat tiga pasal yang berkaitan dengan kehalalan produk yaitu dalam Pasal 3 ayat 2 yang
menyatakan bahwa pencantuman lebel sekurang-kurangnya memuat nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan
alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; serta tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa. Selain itu
setiap orang yang memasukkan pangan untuk diperdagangkan dalam wilayah Indonesia diwajibkan untuk mencantumkan keterangan atau tulisan
halal pada label dengan memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut di lembaga yang terakreditasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 dan Pasal
11. Disamping ketentuan-ketentuan seperti yang telah disebutkan di atas, ketentuan tentang halal juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.924MENKESSKVII1996 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No.82.MENKESSKI1996 tentang
Pencantuman tulisan “Halal” pada label Makanan, yaitu dalam Pasal 8, Pasal 10 ayat 1, 2, 3, dan Pasal 11 ayat 1 dan 2. Walaupun telah
banyak peraturan yang didalamnya menyangkut dan mengatur tentang
commit to user kehalalan, namun belum ada satu peraturanpun yang khusus mengatur
tentang jaminan kehalalan bagi suatu produk sebagai upaya perlindungan konsumen muslim pada umumnya.
Dalam rangka merebut pangsa pasar dan meningkatkan nilai tambah di pasaran, pelaku usaha dituntut untuk berbisnis dengan memperhatikan etika,
moralitas, nilai sosial dan nilai-nilai sakral disekitarnya. Pelaku usaha tidak bisa hanya memproduksi, mendistribusikan, dan menjual barang atau jasa
hanya untuk mencari keuntungan semata. Untuk itulah pelaku usaha saling berlomba-lomba dalam meningkatkan mutu produknya ke arah memberikan
kenyamanan bagi konsumen. Ditinjau dari kehalalan suatu produk, pelaku usaha memaknai halal sebagai produk yang tidak mengandung bahan-bahan
yang secara syariat Islam dilarang. Pelaku usaha memaknai pentingnya pencantuman label halal pada kemasan produknya, karena label halal
mengandung arti tanggung jawab pelaku usaha untuk menjaga kualitas produknya agar tidak ditinggalkan konsumen Muhammad dan Ibnu Elmi
As Pelu, 2009:34 Pemberian tanda halal dalam bentuk label halal merupakan upaya
perlindungan konsumen muslim yang merupakan konsumen terbesar di Indonesia. Untuk itu, kewajiban pencantuman label halal dapat sangat
membantu konsumen muslim untuk memilih produk yang akan dikonsumsinya. Selain itu, bentuk logo halal yang khas dan seragam sangat
di dambakan konsumen mengingat saat ini belum ada keseragaman logo halal sehingga dapat membingungkan mana logo halal yang berasal dari
lembaga yang berkompeten dan mana yang tidak http:www.eramuslim.com.
Menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi masyarakat Majelis Ulama Indonesia MUI mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-
obatan, dan Kosmetika atau lebih dikenal sebagai LPPOM MUI yang didirikan sebagai bagian dari upaya untuk memberikan ketenteraman batin
umat, terutama dalam mengkonsumsi pangan, obat dan kosmetika. Lembaga ini bertugas untuk meneliti, mengkaji, menganalisa dan memutuskan apakah
commit to user produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan dan kosmetika
aman dikonsumsi baik dari sisi kesehatan dan dari sisi kehalalan sehingga layak untuk dikonsumsi bagi umat muslim khususnya di wilayah Indonesia.
Selain itu juga memberikan rekomendasi, merumuskan ketentuan dan bimbingan
kepada masyarakat
http:www.HalalMUI.org-Sertifikasi Halal.htm,.
LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 sesuai dengan surat keputusan nomor 018MUI1989 dan telah memberikan peranannya dalam
menjaga kehalalan produk-produk yang beredar di masyarakat. Pada awal- awal tahun kelahirannya, LPPOM MUI berulang kali mengadakan seminar,
diskusi–diskusi dengan para pakar, termasuk pakar ilmu syariah, dan kunjungan–kunjungan yang bersifat studi banding. Hal ini dilakukan untuk
mempersiapkan diri dalam menentukan standar kehalalan dan prosedur pemeriksaan, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah
agama. Pada awal tahun 1994, barulah LPPOM MUI mengeluarkan sertifikat halal pertama yang sangat didambakan oleh konsumen maupun
produsenhttp:www.republika.co.idberita69109Makanan_Halal_Bagian_ Keimanan_dan_Ketaqwaan.
Sertifikat halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat halal ini merupakan
syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi yang berwenang. Telah adanya LPPOM MUI sebagai
lembaga yang sah dalam mengeluarkan sertifikat halal, tidak menjadikannya mempunyai daya paksa agar semua pelaku usaha mendaftarkan produknya
untuk mendapatkan sertifikat halal. LPPOM MUI hanya akan memberikan sertifikat halal apabila ada pelaku usaha yang meminta untuk dilakukan
pengkajian dan pengecekan terhadap produknya. Keengganan pelaku usaha untuk mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikat halal yang
resmi didukung pula dengan tidak adanya peraturan yang mewajibkan agar pelaku usaha mendaftarkan produknya dan mencantumkan label halal yang
resmi dari LPPOM MUI. Sampai saat ini dari sekitar 30.000 produk
commit to user makanan yang beredar di Indonesia, baru sebanyak 13.000 produk yang
telah tersertifikasi halal resmi dari LPPOM MUI http:www.detiknews.comread20100106115554127256610mui-80-
persen-produk-makanan-belum-bersertifikasi-halal. Berkaitan dengan pentingnya sertifikasi halal ini, masih banyak hal-hal
yang perlu diteliti dan dilihat lebih jauh. Mengingat pentingnya pengetahuan mengenai kehalalan suatu produk dimana dalam prakteknya masih banyak
beredar produk-produk dengan label halal yang tidak resmi, dan tanpa prosedur sertifikasi halal. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut,
penulis tertarik dalam penulisan hukum ini dan memfokuskan penelitian
dengan mengambil judul “SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK ATAS KEAMANAN DAN KESELAMATAN
KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”.
B. Rumusan Masalah