SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK ATAS KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

(1)

commit to user

SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK ATAS KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh :

ERVINA DWI JAYANTI E 0007015

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011


(2)

commit to user

PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi)

SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK ATAS KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Oleh

Ervina Dwi Jayanti NIM. E0007015

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 18 April 2011

Pembimbing

Wasis Sugandha, S.H., M.H. NIP.196502131990021001


(3)

commit to user

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN

HAK ATAS KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Oleh:

ERVINA DWIJAYANTI NLM. E0007015

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada:

Hari : Kamis

Tanggal : 28 April 2011 DEWAN PENGUJI


(4)

commit to user PERNYATAAN

Nama : Ervina Dwi Jayanti

NIM : E0007015

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:

SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK ATAS KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN adalah

betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam Penulisan Hukum

(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalamdaftar pustaka. Apabila dikemudian

hari terbukti pernyataan saya tidak benar,maka saya bersedia menerima sanksi akademik

berupa pencabutan PenulisanHukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan

hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 18 April 2011 yang membuat pernyataan

Ervina Dwi Jayanti NIM. E0007015


(5)

commit to user ABSTRAK

Ervina dwi jayanti, E0007015. 2011. SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK ATAS KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Yogyakarta serta dapat tidaknya sertifikasi halal sebagai upaya perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif. Jenis data berupa data primer dan data sekunder, dengan sumber data dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik analisis data yang penulis gunakan adalah metode interpretasi dan silogosme.

Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa : (1) Prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Yogyakarta didasarkan pada SK02/Dir/LPPOM MUI/IXI/07 Tentang Pedoman Mendapat Sertifikat Halal MUI, dimana pelaksanaan sertifikasi halal ini dilakukan untuk memenuhi Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 924/Menkes/SK/VII/1996 Tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan No. 82 Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. (2) Proses sertifikasi halal oleh LPPOM MUI dapat menjadi penunjang serta upaya terwujudnya perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen karena terdapat kewajiban produk yang disertifikasi halal harus lolos uji BPOM


(6)

commit to user

ABSTRACT

Ervina dwi jayanti, E0007015. 2011. HALAL CERTIFICATION AS AN EFFORT TO PROTECTION OF THE RIGHT TO SECURITY AND SAFETY OF CONSUMERS VIEWED FROM LAW NO. 8 / 1999 ON CONSUMER PROTECTION.Faculty of Law Sebelas Maret University.

This study aims at assessing and responding to issues regarding to halal certification procedures undertaken by LPPOM MUI Yogyakarta as well as halal certification as to whether the right to safeguard the security and safety of consumers in terms of Act. 8 / 1999 on Consumer Protection.

Types of research that writer is the normative nature of legal research prescriptive. Type of data in the form of primary and secondary data, with data sources of primary legal materials, secondary and tertiary legal materials. Data analysis techniques used by the writer is a method of interpretation and silogosme.

From the results of research conducted that: (1) halal certification procedure conducted by LPPOM MUI Yogyakarta is based on SK02/Dir/LPPOM MUI/IXI/07 About the Guidelines Get the Halal Certificate MUI, in which kosher certification is done to fulfill the Decree of the Minister of Health Number: 924/Menkes/SK/VII/1996 About Amendment to Decree of the Minister of Health No. 82 Menkes/SK/I/1996 About Imprinting Writing on Label Halal Food. (2) Halal certification process by LPPOM MUI can be a supporter and efforts to the realization of rights protection for the security and safety of consumers in terms of Act. 8 / 1999 on Consumer Protection because one of the requirements of halal certification have already passed tests involving BPOM


(7)

commit to user

Motto dan Persembahan

Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu. Maka alangkah nikmatnya

tempat kesudahan itu. “

( Qs. Ar Ra’d : 24 )

Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia

hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.

Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu.

Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.

( Qs. An-nisa : 58)

Dan tiada keberhasilan tanpa kerja keras, doa, dan usaha

( Penulis )

Karya ini aku persembahan untuk:

Allah Swt

Pemilik hari pembalasan

Keluarga tercinta


(8)

commit to user

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang senantiasa melimpahkan berkah, rahmad dan keajaiban-keajaiban yang tiada terhitung sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum

(skripsi) dengan judul: Sertifikasi Halal Sebagai Upaya Perlindungan Hak atas

Keamanan aan Keselamatan Konsumen Ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Penulisan hukum (skripsi) ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian guna memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa sebagai manusia yang tiada sempurna tentu tidak terlepas dari kekurangan dalam penulisan hukum (skripsi) ini. Oleh karena itu, penulis mohon sedianya pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang dapat digunakan sebagai bahan koreksi atas penulisan hukum (skripsi) ini. Selanjutnya, penyelesaian penulisan hukum (skripsi) ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang juga telah memberikan dukungan, bimbingan, dan doa yang baik untuk penulis. Untuk itu, dalam kesempatan yang baik ini serta dengan kerendahan dan ketulusan hati, penulis hendak mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Allah SWT, atas nikmat dan karunia yang tak henti-hentinya diberikan

kepada penulis. Hamba yang tak pernah luput dari dosa dan khilaf mohon ampunanMu Yaa Rabbi;

2. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret;

3. Bapak Prasetyo Hadi Purwandoko, S.H., M.S. selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penelitian;


(9)

commit to user

4. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H. selaku ketua PPH yang telah

memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini;

5. Ibu Dr. I. Gusti Ayu Ketut RH, S.H., M.M. selaku ketua bagian Hukum

Administrasi Negara yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini;

6. Bapak Wasis Sugandha, S.H., M.H. selaku Pembimbing yang dengan

sabar telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini;

7. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H., dan Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si

selaku dewan penguji skripsi yang telah memberikan tambahan ilmu pada penulis;

8. Ibu Djuwityastuti, S.H. selaku Pembimbing Akademik penulis, atas segala

bimbingan dan pengarahan selama penulis menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitaas Sebelas Maret Surakarta.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu hukum kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;

10.Seluruh karyawan dan karyawati Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta;

11.Bapak Dr. Ir. H. Tridjoko Wisnu Murti,DEA selaku Direktur LPPOM

MUI Yogyakarta yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk melakukan penelitian;

12.Bapak H. E. Zainal Abidin, S.H., M.S., MPA dan mas Arif Burhani, S.Pt

yang telah memberikan informasi dan membantu penulis memperoleh data yang diperlukan sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai;

13.Keluarga besar penulis, Kedua orang tua tercinta, dan kakak, yang telah

memberikan segalanya dalam hidup penulis, baik materiil maupun spiritual. Terimakasih atas doa dan cinta, semoga penulis mampu menjadi kebanggaan dalam keluarga;

14.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah


(10)

commit to user

Akhir kata, penulis berharap semoga penulisan hukum (skripsi) ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membaca dan memerlukan.

Surakarta, April 2011


(11)

commit to user DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ………...……... HALAMAN PERNYATAAN ... ABSTRAK ………. iii iv v ABSTRACT ……… MOTO DAN PERSEMBAHAN ……… vi vii KATA PENGANTAR ………. viii

DAFTAR ISI ……… DAFTAR BAGAN……… xi xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...……...……… 1

B. Rumusan Masalah ……… 9

C. Tujuan Penelitian ………...…... 9

D. Manfaat Penelitian ……….... 10

E. Metode Penelitian ……… 10

F. Sistematika Penulisan Hukum ……….. 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Hukum Perlindungan Konsumen... a. Sejarah Perlindungan Konsumen Di Indonesia... b. Hakekat Perlindungan Konsumen... c. Pengertian Konsumen... d. Hak dan Kewajiban Konsumen... e. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha... 15 15 18 21 23 26 2. Tinjauan Tentang Sertifikasi Halal………... 28


(12)

commit to user

B. Kerangka Pemikiran... 34

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Tentang LPPOM MUI Yogyakarta...

1. Sejarah Pembentukan LPPOM MUI Yogyakarat...

2. Tugas dan Kewajiban LPPOM MUI Yogyakarta...

3. Susunan Organisasi LPPOM MUI Yogyakarta...

4. Susunan Pengurus LPPOM MUI Yogyakarta...

B. Prosedur Sertifikasi Halal yang Dilakukan oleh LPPOM

MUI Yogyakarta...

C. Sertifikasi Halal Sebagai Upaya Perlindungan Hak atas

Keamanan dan Keselamatan Konsumen Ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen...

37 37 40 40 42

43

58

BAB IV PENUTUP………

A. Simpulan ……...………... 64

B. Saran ………... 65

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(13)

commit to user DAFTAR BAGAN

Gambar 1. Logo Label Halal MUI……… 33

Gambar 2. Kerangka pemikiran ………... 34


(14)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Manusia, dalam kehidupannya sehari-hari tidak bisa terlepas dari suatu kegiatan konsumsi baik barang maupun jasa. Mengkonsumsi merupakan suatu kegiatan menghabiskan nilai guna suatu benda baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Kegiatan konsumsi ini dapat secara langsung diperoleh dari alam atau melalui perantara yakni dengan membeli dari seorang produsen atau distributor. Berkaitan dengan suatu kegiatan konsumsi barang yang masuk kedalam tubuh manusia, terutama konsumsi akan barang-barang olahan akan sangat penting apabila konsumen mengetahui komposisi bahan penyusun barang yang dikonsumsinya. Apakah telah sesuai dengan kesehatan dan tuntutan agamanya atau tidak.

Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang dapat dikatakan berkembang luar biasa. Termasuk juga dalam perkembangan pangan, obat, dan kosmetika. Jika dulu pengolahan bahan baku bersifat sederhana dan tergantung dari alam, maka berbeda dengan sekarang dimana manusia mampu mengolah apa yang terkandung dari alam, sampai yang terkecil sekalipun. Dengan demikian, dalam mengidentifikasi tentang proses dan bahan yang digunakan dalam suatu industri pangan, obat-obatan atau kosmetika tidak lagi menjadi sesuatu yang sederhana. Namun keseluruhannya harus diperiksa secara lebih rinci dan teliti.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sekarang ini yang perlu diperhatikan terhadap suatu produk adalah bahan, dan prosesnya. Ditinjau dari bahan, penetapan status kehalalannya sangat mudah bila bahan yang digunakan merupakan bahan alami tanpa melalui proses pengolahan. Namun diperlukan pengkajian lebih lanjut jika bahan alami tersebut, mengalami proses pengolahan dimana dalam proses pengolahan terkadang diperlukan bahan-bahan tambahan.


(15)

commit to user

Berkaitan dengan kehalalan suatu produk, dalam ajaran agama Islam mewajibkan agar umatnya mengkonsumsi makanan, minuman, serta

obat-obatan yang bersifat halal. Di dalam ajaran Islam banyak peraturan yang

berkaitan dengan makanan, salah satu peraturan yang terpenting ialah larangan mengkonsumsi makanan atau minuman yang haram. Sebagaimana dalam Qur’an surat al-Maidah ayat (88) yang artinya “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. Perintah yang sama juga terdapat dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat (168) yang artinya “Hai sekalian umat manusia, makanlah dari apa yang dibumi ini secara halal dan baik. Dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya itu adalah musuh yang nyata bagi kalian”. Dari ketentuan ayat tersebut dapat dilihat bahwa bagi mereka yang memeluk agama Islam memakan makanan yang halal adalah sebagai salah satu wujud dan cara beriman kepada Allah SWT.

Adanya globalisasi dan modernisasi jaman, sebagian besar telah mempengaruhi masyarakat kita dengan menjadikan konsumsi sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Budaya konsumtif ini secara tidak langsung akan mengurangi prinsip kehati-hatian mereka dalam memilih produk baik dilihat dari komposisinya maupun status halal dan haramnya. Kepedulian umat Islam terhadap kesucian dan kehalalan sesuatu yang akan dikonsumsinya sangat berpengaruh terhadap diterima atau ditolaknya amal ibadah mereka kelak di akhirat. Ditinjau dari sudut pandang Islam, makanan bukanlah sekedar sebagai pemenuh kebutuhan jasmani saja, tetapi juga merupakan bagian dari kebutuhan spiritual yang harus dilindungi (Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009:1-2). Masalah tentang halal dan haram bukanlah suatu persoalan yang sederhana dan dapat diabaikan, melainkan merupakan masalah yang telah mengglobal dan amat penting serta harus mendapatkan perhatian dari ajaran agama secara umum.

Kasus haramnya penyedap rasa Ajinomoto, yang menggemparkan Indonesia pada tahun 2001, tersiarnya kabar penipuan terhadap konsumen restoran di Jawa Barat tahun 2007, dan sejumlah kasus lain yang terjadi pada


(16)

commit to user

industri pangan jelas membawa kerugian yang sangat besar bagi perusahaan baik secara materiil maupun moril (http://halalsehat.com). Banyaknya produk yang beredar dipasaran yang menyertakan label halal tanpa melalui sertifikasi halal ataupun belum melalui pengujian oleh pihak yang berwenang menunjukkan adanya pelecehan terhadap hak-hak yang dimiliki konsumen. Sebagaiman kita ketahui, saat ini banyak produk yang beredar dipasaran ada yang tidak mencantumkan label halal dan ada yang mencantumkan label halal dengan ragam yang berbeda yaitu : label halal berbahasa Indonesia, label halal dalam bahasa Arab, dan label halal dalam bahasa Indonesia dan Arab (Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009:7). Munculnya berbagai ragam logo halal ini jelas akan menyulitkan konsumen dalam menentukan produk manakah yang telah teruji kehalalannya.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini membawa pengaruh yang besar bagi globalisasi ekonomi. Hal ini tentu saja berdampak langsung bagi perdagangan bebas dimana suatu negara bisa langsung mengirimkan barang produksinya ke negara lain dengan sebuah

perjanjian-perjanjian tertentu. Indonesia sebagai salah satu negara anggota World

Trade Organization (WTO) dalam menghadapi perdagangan bebas baik tingkat regional maupun internasional, dikhawatirkan akan dipenuhi produk-produk import baik berupa makanan atau produk-produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Baik dalam pemprosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan seringkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam

(http://infokito.wordpress.com/2007/09/16/pedoman-sertifikasi-halal/). Masalah tentang status kehalalan produk saat ini sepertinya telah menjadi isu dalam skala internasional, nasional maupun lokal. Bukan hanya bagi umat Islam, namun juga bagi umat yang beragama lain, dimana kehalalan suatu produk juga dipandang sebagai upaya peningkatan kualitas kehidupan dari segi kesehatan. Sebagaimana dikutip dalam jurnal

Internasional ”Although, it is well known that consumer groups from


(17)

commit to user

customer satisfaction expectations, the attributes associated with customer segments (Muslim and non Muslim)” (Eurasian Journal of Business and Economics, 2009: 150).

Dalam perdagangan Internasional, telah banyak aturan-aturan

perdagangan yang membahas tentang kehalalan suatu produk sebagai upaya perlindungan konsumen muslim khususnya diseluruh dunia. Misalnya saja

seperti Codex Alimentarius Commission yang merupakan sebuah organisasi

dunia yang secara khusus menangani aspek kehalalan suatu produk dalam sistem perdagangan. Terdapat pula sejumlah organisasi lain diantaranya

Islamic Food and Nutrition Council of Amarica (IFANCA) yang dibentuk komunitas muslim Amerika untuk menangani persoalan pangan halal, dan

Australia Quarantine and Inspection Service (AQIS) yang berdiri dibawah naungan Departemen Industri Primer dan Energi wilayah Australia ( Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009:5). Dalam negara-negara Islam status tentang kehalalan suatu produk adalah multak adanya sebagai salah satu upaya memenangkan persaingan dan merebut pangsa pasar internasional.

Semangat yang dapat diambil dari hal tersebut adalah pemerintah harus membuat peraturan yang menyangkut tentang kehalalan produk sebagai salah satu upaya perlindungan konsumen serta sebagai upaya memenangkan persaingan pasar. Mengingat pentingnya masalah kehalalan produk, maka pemerintah telah menetapkan undang-undang yang menyangkut tentang kehalalan. Misalnya dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, yang dalam ketentuan Pasal 30 ayat (2) huruf e menyatakan bahwa label pangan harus memuat sekurang-kurangnya keterangan tentang halal. Sedangkan apabila terbukti memberikan pernyataan atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label, bahwa pangan yang diperdagangkan tersebut telah sesuai menurut persyaratan agama atau kepercayaan tertentu dihukum dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun penjara dan/atau denda Rp 360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah ) sesuai ketentuan dalam Pasal 58 undang-undang ini.


(18)

commit to user

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Pelindungan Konsumen, Pasal 8 ayat (1) huruf h menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. Ketentuan lainnya tentang kehalalan juga dapat kita temukan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yakni dalam Pasal 58. Menurut Pasal 58 pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standarisasi, sertifikasi, dan regristrasi dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal. Dalam pasal tersebut juga mengatur tentang produk hewan yang diproduksi dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikasi veteriner dan sertifikasi halal.

Selain peraturan perundang-undangan, ketentuan tentang halal juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan. Dalam Peraturan Pemerintah ini terdapat tiga pasal yang berkaitan dengan kehalalan produk yaitu dalam Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa pencantuman lebel sekurang-kurangnya memuat nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; serta tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa. Selain itu setiap orang yang memasukkan pangan untuk diperdagangkan dalam wilayah Indonesia diwajibkan untuk mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label dengan memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut di lembaga yang terakreditasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11. Disamping ketentuan-ketentuan seperti yang telah disebutkan di atas, ketentuan tentang halal juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.924/MENKES/SK/VII/1996 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No.82.MENKES/SK/I/1996 tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada label Makanan, yaitu dalam Pasal 8, Pasal 10 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 11 ayat (1) dan (2). Walaupun telah banyak peraturan yang didalamnya menyangkut dan mengatur tentang


(19)

commit to user

kehalalan, namun belum ada satu peraturanpun yang khusus mengatur tentang jaminan kehalalan bagi suatu produk sebagai upaya perlindungan konsumen muslim pada umumnya.

Dalam rangka merebut pangsa pasar dan meningkatkan nilai tambah di pasaran, pelaku usaha dituntut untuk berbisnis dengan memperhatikan etika, moralitas, nilai sosial dan nilai-nilai sakral disekitarnya. Pelaku usaha tidak bisa hanya memproduksi, mendistribusikan, dan menjual barang atau jasa hanya untuk mencari keuntungan semata. Untuk itulah pelaku usaha saling berlomba-lomba dalam meningkatkan mutu produknya ke arah memberikan kenyamanan bagi konsumen. Ditinjau dari kehalalan suatu produk, pelaku usaha memaknai halal sebagai produk yang tidak mengandung bahan-bahan yang secara syariat Islam dilarang. Pelaku usaha memaknai pentingnya pencantuman label halal pada kemasan produknya, karena label halal mengandung arti tanggung jawab pelaku usaha untuk menjaga kualitas produknya agar tidak ditinggalkan konsumen (Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009:34)

Pemberian tanda halal dalam bentuk label halal merupakan upaya perlindungan konsumen muslim yang merupakan konsumen terbesar di Indonesia. Untuk itu, kewajiban pencantuman label halal dapat sangat membantu konsumen muslim untuk memilih produk yang akan dikonsumsinya. Selain itu, bentuk logo halal yang khas dan seragam sangat di dambakan konsumen mengingat saat ini belum ada keseragaman logo halal sehingga dapat membingungkan mana logo halal yang berasal dari lembaga yang berkompeten dan mana yang tidak

(http://www.eramuslim.com/).

Menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika atau lebih dikenal sebagai LPPOM MUI yang didirikan sebagai bagian dari upaya untuk memberikan ketenteraman batin umat, terutama dalam mengkonsumsi pangan, obat dan kosmetika. Lembaga ini bertugas untuk meneliti, mengkaji, menganalisa dan memutuskan apakah


(20)

commit to user

produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan dan kosmetika aman dikonsumsi baik dari sisi kesehatan dan dari sisi kehalalan sehingga layak untuk dikonsumsi bagi umat muslim khususnya di wilayah Indonesia. Selain itu juga memberikan rekomendasi, merumuskan ketentuan dan

bimbingan kepada masyarakat (http://www.HalalMUI.org-Sertifikasi

Halal.htm,).

LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 sesuai dengan surat keputusan nomor 018/MUI/1989 dan telah memberikan peranannya dalam menjaga kehalalan produk-produk yang beredar di masyarakat. Pada awal-awal tahun kelahirannya, LPPOM MUI berulang kali mengadakan seminar, diskusi–diskusi dengan para pakar, termasuk pakar ilmu syariah, dan kunjungan–kunjungan yang bersifat studi banding. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam menentukan standar kehalalan dan prosedur pemeriksaan, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah agama. Pada awal tahun 1994, barulah LPPOM MUI mengeluarkan sertifikat halal pertama yang sangat didambakan oleh konsumen maupun produsen(http://www.republika.co.id/berita/69109/Makanan_Halal_Bagian_ Keimanan_dan_Ketaqwaan).

Sertifikat halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi yang berwenang. Telah adanya LPPOM MUI sebagai lembaga yang sah dalam mengeluarkan sertifikat halal, tidak menjadikannya mempunyai daya paksa agar semua pelaku usaha mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikat halal. LPPOM MUI hanya akan memberikan sertifikat halal apabila ada pelaku usaha yang meminta untuk dilakukan pengkajian dan pengecekan terhadap produknya. Keengganan pelaku usaha untuk mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikat halal yang resmi didukung pula dengan tidak adanya peraturan yang mewajibkan agar pelaku usaha mendaftarkan produknya dan mencantumkan label halal yang resmi dari LPPOM MUI. Sampai saat ini dari sekitar 30.000 produk


(21)

commit to user

makanan yang beredar di Indonesia, baru sebanyak 13.000 produk yang telah tersertifikasi halal resmi dari LPPOM MUI

(http://www.detiknews.com/read/2010/01/06/115554/1272566/10/mui-80-persen-produk-makanan-belum-bersertifikasi-halal).

Berkaitan dengan pentingnya sertifikasi halal ini, masih banyak hal-hal yang perlu diteliti dan dilihat lebih jauh. Mengingat pentingnya pengetahuan mengenai kehalalan suatu produk dimana dalam prakteknya masih banyak beredar produk-produk dengan label halal yang tidak resmi, dan tanpa prosedur sertifikasi halal. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis tertarik dalam penulisan hukum ini dan memfokuskan penelitian

dengan mengambil judul “SERTIFIKASI HALAL SEBAGAI UPAYA

PERLINDUNGAN HAK ATAS KEAMANAN DAN KESELAMATAN KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang dibahas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM

MUI khususnya di wilayah Yogyakarta?

2. Apakah sertifikasi halal dapat menjadi upaya perlindungan hak atas

keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini adalah:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh


(22)

commit to user

b. Untuk mengetahui dapat tidaknya sertifikasi halal sebagai upaya

perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam memperluas

pemahaman arti pentingnya ilmu hukum dalam teori dan praktik, khususnya Hukum Perlindungan Konsumen.

b. Untuk memperoleh data yang lengkap sebagai bahan utama guna

penyusunan penulisan hukum (skripsi) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis

a. Mengetahui prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM

MUI khususnya di wilayah Yogyakarta.

b. Memberikan informasi kepada pembaca dan masyarakat pada

umumnya tentang dapat tidaknya sertifikasi halal sebagai upaya perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

2. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah kontribusi dan

pengembangan bagi ilmu hukum pada umumnya, dan Hukum Perlindungan Konsumen pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan


(23)

commit to user

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2008:43).

Istilah “Metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”,

namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 2008:5):

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian

2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara untuk memecahkan masalah dengan jalan menemukan, mengumpulkan, menyusun data guna mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang hasilnya dituangkan dalam penulisan ilmiah (skripsi). Adapun metode penelitian dalam penulisan hukum ini meliputi:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang terjadi.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah preskriptif, suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan


(24)

commit to user

untuk mengatasi masalah tertentu (Soerjono Soekanto, 2008:10). Dalam hal ini ada dua permasalahan hukum, yang pertama mengenai prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI, kedua mengenai sertifikasi halal sebagai upaya perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Produk

yang merupakan beschikking/decree yaitu suatu keputusan yang

diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersifat konkret dan khusus (Peter Mahmud Marzuki, 2008 :97).

4. Jenis Dan Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah data sekunder, yaitu menggunakan bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dokumen, buku-buku, laporan, arsip, makalah, dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan terdiri atas :

a. Bahan hukum primer meliputi Peraturan perundang-undangan yaitu

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No.7 tahun 1996 Tentang Pangan; Undang-Undang No.18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1999Tentang Label dan Iklan Pangan; SK Menkes No.924/MENKES/SK/VII/1996 1996 Tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No.82.MENKES/SK/I/1996 tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada label Makanan, SK No.018/MUI/1989 tentang pembentukan

LPPOM MUI, Keputusan Dewan Pimpinan MUI No.

Kep.669/MUI/X/1995 Tentang Ketentuan-ketentuan Pembentukan LPPOM MUI Daerah, dan SK02/Dir/LPPOM MUI/IX/07 Tentang Pedeoman Mendapat Sertifikat Halal.


(25)

commit to user

b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan dokumen resmi meliputi jurnal hukum, buku teks, komentar atas putusan pengadilan, rancangan peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.

c. Bahan hukum tertier, berupa kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif.

5. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis permasalahan hukum, peneliti menggunakan metode interpretasi dan silogisme. Metode interpretasi akan berfungsi sebagai rekonstruksi gagasan yang tersembunyi di balik aturan hukum. Sedangkan metode silogisme deduksi terdiri dari premis mayor dan premis minor.

Sebagai premis mayornya adalah Peraturan perundang-undangan:

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

b. Undang-Undang No.7 tahun 1996 Tentang Pangan.

c. Undang-Undang No.18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan

Kesehatan Hewan.

d. Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1999Tentang Label dan Iklan

Pangan.

e. SK Menkes No.924/MENKES/SK/VII/1996 1996 Tentang

Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.82.MENKES/SK/I/1996 tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada label Makanan.

f. SK No.018/MUI/1989 tentang pembentukan LPPOM MUI.

g. Keputusan Dewan Pimpinan MUI No. Kep.669/MUI/X/1995

Tentang Ketentuan-ketentuan Pembentukan LPPOM MUI Daerah.

h. SK02/Dir/LPPOM MUI/IX/07 Tentang Pedeoman Mendapat

Sertifikat Halal.

Sedangkan premis minornya adalah:

a. Prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI


(26)

commit to user

b. Sertifikasi halal sebagai upaya perlindungan hak atas keamanan dan

keselamatan konsumen

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sitematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baku dalam penulisan hukum, maka penulis menyiapkan suatu sitematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Pendahuluan berisi mengenai latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka akan dijelaskan mengenai hasil kepustakaan yang meliputi dua hal yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori terdiri dari tinjauan tentang hukum perlindungan konsumen, dan tinjauan mengenai sertifikasi halal. Sedangkan kerangka pemikiran disampaikan dalam bentuk bagan dan uraian singkat.

BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian yang membahas tentang sertifikasi halal sebagai upaya perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen


(27)

commit to user

BAB IV : Penutup

Penutup berisi mengenai kesimpulan yang diambil dari hasil penelitian dan memberikan saran-saran kepada pihak-pihak yang terkait


(28)

commit to user

BAB II Tinjauan Pustaka A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Hukum Perlindungan Konsumen.

Perlindungan konsumen, adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen dalam usaha memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut (Janus Sidabalok, 2010: 9-10).

Perlindungan konsumen diberikan karena konsumen berada pada posisi yang lemah sebagai objek aktivitas bisnis untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha. Disamping itu faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya relatif masih rendah. Untuk itulah Undang-undang perlindungan konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

a. Sejarah Perlindungan Konsumen Di Indonesia.

Gerakan perlindungan konsumen mulai mengalami perkembangan yang signifikan di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-1970an. Pada era tersebut di Amerika Serikat telah berhasil melahirkan peraturan-peraturan yang memperkuat kedudukan konsumen. Kemudian pada abad ke-20 mulai lahir gerakan-gerakan yang fokus pada perlindungan konsumen.


(29)

commit to user

Secara umum, sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empat tahapan yakni (Shidarta, 20006:37):

1) Tahapan I (1881-1914)

Pada tahun-tahun ini adalah awal munculnya kesadaran masyarakat terhadap perlindungan konsumen. Hal ini diawali dari

sebuah novel karya Upton Sinclair yang berjudul The Jungle, yang

menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang tidak memenuhi syarat-syarat bagi kesehatan.

2) Tahapan II (1920-1940)

Pada tahap ini muncul pula buku dengan judul Your Money’s

Worth karya Chase dan Schlink yang mampu menggugah

konsumen atas hak-hak mereka dalam jual beli. Pada tahap ini juga

muncul slogan : fair deal, best buy.

3) Tahapan III (1950-60)

Pada tahun 1950-an muncul keinginan konsumen untuk menyatukan gerakan dalam lingkup internasional. Diprakarsai oleh wakil-wakil gerakan konsumen dari Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia, dan Belgia, pada 1 April 1960 berdirilah

International Organization of Consumer Union (IOCU) yang berpusat di Deen Haag lalu pindah ke London pada tahun 1993.

Pada tahun 1995 IOCU mengubah namanya menjadi Consumers

International (CI).

4) Tahapan IV (pasca 1965)

Pasca 1965 merupakan masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen baik di tingkat regional maupun internasional. Sampai saat ini telah terbentuk lima kantor regional yakni di kawasan Amaerika Latin dan Karibia yang berpusat di Cile, kawasan Asia Pasifik berpusat di Malaysia, kawasan Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah berpusat di Inggris, dan negara-negara maju yang berpusat di London.


(30)

commit to user

Di Indonesia gerakan perlindungan konsumen diawali oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai perintis advokasi konsumen. Gerakan ini muncul diawali dari sekelompok anggota masyarakat yang diketuai oleh Lasmidjah Hardi yang mulanya bertujuan mempromosikan hasil produksi Indonesia. Ajang promosi dengan nama Pekan Swakarya ini kemudian melahirkan ide bagi mereka untuk mendirikan wadah gerakan perlindungan konsumen Indonesia. Ide ini kemudian dituangkan dalam anggaran dasar yayasan dihadapan notaris dengan akte Nomor 26, pada 11 Maei 1973.

Setelah munculnya YLKI, kemudian mulai muncul beberapa

organisasi yang sama, misalnya Lembaga Pembinaan dan

Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri pada

Februari 1988 dan pada tahun 1990 bergabung dalam Consumers

Internatioanl (CI). Dewasa ini telah banyak lembaga-lembaga serupa yang menitikberatkan pada kepentingan perlindungan konsumen. Saat ini YLKI telah memiliki cabang-cabang diberbagai propinsi dan mempunyai pengaruh yang cukup besar karena didukung oleh berbagai media massa. Media massa dijadikan YLKI untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya agar diketahui konsumen. Metode kerja YLKI ini ternyata belum bisa mempunyai kekuatan lobi untuk memberlakukan atau mencabut suatu peraturan. Hal ini tentunya dikarenakan YLKI bukanlah badan pemerintah yang memiliki kekuatan publik untuk menerapkan suatu peraturan atau menjatuhkan sanksi.

Keberadaan YLKI tidak sekedar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga mengadakan upaya advokasi langsung melalui pengadilan. Karena dedikasinya, gerakan konsumen Indonesia yang diprakarsai YLKI

telah berhasil membawa naskah akademik Undang-Undang

Perlindungan Konsumen ke DPR, yang selanjutnya rancangan ini disahkan menjadi Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dengan adanya undang-undang ini maka


(31)

commit to user

terjadi perkembangan baru dalam perlindungan konsumen di Indonesia yakni dengan disahkannya Undang-Undang No. 7 pada tahun 1994

tentang Agreement Establishing the World Trade Organization

(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mana dengan ini Indonesia wajib mengikuti standar-standar hukum yang berlaku dan diterima luas oleh negara-negara WTO, salah satu caranaya adalah dengan adanya eksistensi dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Shidarta, 2006:48-52).

b. Hakekat Perlindungan konsumen

Rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.

Sekurang-kurangnya terdapat empat alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi (Janus Sidabalok, 2010: 6):

1) Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh

bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

2) Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari

dampak negatif penggunaan teknologi.

3) Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia

yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku

pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional.


(32)

commit to user

4) Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana

pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

1) Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala

upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;

2) Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;

3) Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan

keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spirituil;

4) Asas keamanan dan keselamatan dimaksudkan untuk memberikan

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;

5) Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Tujuan perlindungan konsumen merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, tujuan perlindungan konsumen adalah:

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen


(33)

commit to user

2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung

unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan

pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta

mempertahankan atau membela hak-haknya, apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.

Pemberdayaan konsumen dengan meningkatkan kesadaran,

kemampuan, dan kemandiriannya melindungi diri sendiri mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari ekses negatif pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya.

c. Pengertian Konsumen.

Istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain


(34)

commit to user

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Ketentuan lain mengenai konsumen juga terdapat dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Definisi konsumen menurut undang-undang ini yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.

Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang

berkembang, konsumen diartikan sebagai, “The person who obtains

goods or services for personal or family purposes”. Dari definisi itu terkandung dua unsur, yaitu (1) konsumen hanya orang, dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya. Sedangkan di Spanyol, pengertian konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakir. Konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.

Berbeda dengan di Australia, ketentuannya ternyata jauh lebih

moderat. Dalam Trade Practices Act 1974 yang sudah berkali-kali

diubah, konsumen diartikan sebagai, “Seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan harganya tidak melewati 40.000 dollar Australia”. Artinya, sejauh tidak melewati jumlah uang di atas, tujuan pembelian barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan. Jika jumlah uangnya sudah melebihi 40.000 dollar, keperluannya harus khusus (Shidarta, 2006:1-5).

Dari berbagai pengertian tersebut, pengertian konsumen dapat terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas ( Adrian Sutedi, 2008:10) :

1) Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau

pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu;

2) Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat


(35)

commit to user

dan/atau jasa lain untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial (sama dengan pelaku usaha);

3) Konsumen akhir adalah pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat

barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangakan kembali.

Begitu banyak definisi tentang konsumen menunjukkan begitu beragamnya pengertian tentang konsumen. Namun yang perlu kita pahami adalah bahwa konsumen itu tidak hanya terbatas pada orang perseorangan dengan suatu hubungan kontraktual. Artinya seseorang dapat menjadi konsumen walaupun tidak membeli secara langsung, tetapi karena ia telah mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa. Disamping itu, dalam ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa yang dimaksud dengan konsumen adalah seorang konsumen akhir dimana ia memakai barang dan/atau jasa tersebut untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen seorang konsumen antara bukanlah konsumen yang dimaksud dalam undang-undang ini.

d. Hak Dan Kewajiban Konsumen.

Hukum perlindungan konsumen, selalu berkaitan dengan perlindungan hukum yang diberikan pada konsumen. Adapun perlindungan yang dapat diberikan bukan hanya perlindungan fisik, namun juga menyangkut hak-hak konsumen yang bersifat abstrak. Secara umum dikenal empat hak dasar konsumen yang diakui secara internasional yang dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F.Kennedy, yaitu (Shidarta, 2006:22-27):

1) Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)

Konsumen berhak mendapatkan keamanan atas barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa tidak boleh


(36)

commit to user

membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani atau rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan pertama karena konsumen adalah pihak yang wajib berhati-hati.

2) Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang atau jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti cara lisan kepada konsumen melalui iklan di berbagai media, atau pencantuman dalam kemasan produk (barang).

3) Hak untuk memilih (the right to choose)

Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli.

4) Hak untuk didengar (the right to be heard)

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan informasi yang diberikan kepada pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu, konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut. Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21, dan Pasal 26 yang oleh

Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of

Consumers Union -IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu (Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, 2004:39) :


(37)

commit to user

1) Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;

2) Hak untuk memperoleh ganti rugi;

3) Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

4) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, hak-hak konsumen secara khusus diatur dalam Pasal 4 yang meliputi :

1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa;

4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

8) Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang

lain.

Bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu (Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, 2004:46-47):

1) Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian,


(38)

commit to user

2) Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang

wajar;

3) Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap

permasalahan yang dihadapi.

Hak-hak konsumen harus dapat dipenuhi oleh pemerintah maupun pelaku usaha agar kepentingan konsumen benar-benar dilindungi. Dengan pemenuhan hak-hak konsumen maka akan melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek. Disamping hak-hak konsumen yang dijamin dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur kewajiban yang harus dilakukan konsumen agar terhindar dari kerugian yang merugikan dirinya sendiri, diantaranya:

1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan/atau jasa;

3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

e. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.


(39)

commit to user

Untuk memberikan kepastian hukum sebagai bagian dari tujuan perlindungan konsumen penting juga kiranya untuk memberikan hak dan kewajiban pelaku usaha sebagaimana pentingnya hak dan kewajiban konsumen. Adanya hak dan kewajiban pelaku usaha tersebut dimaksudkan untuk menciptakan pola hubungan yang seimbang antara pelaku usaha dan konsumen.

Adapun hak dan kewajiban pelaku usaha, diantaranya yaitu: 1) Hak pelaku usaha adalah:

a) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan

kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan

konsumen yang beritikad tidak baik;

c) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum

bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya.

2) Kewajiban pelaku usaha adalah:

a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif;

d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,


(40)

commit to user

jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas

kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

2. Tinjauan Tentang Sertifikasi Halal

Secara umum, halal artinya boleh. Jadi makanan halal ialah makanan yang dibolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syariat Islam.

Sebagaimana dikutip dari Faculty Journal of Business and Accountancy ,

pengertian halal adalah

One of the most important concepts in Islam is the concept of halal, which means “permissible”. Halal covers the aspects of slaughtering, storage, display, preparation, hygiene and sanitation. It covers food as well as non-food category of products. Given the speed of trade globalization, the advancement is science and technologi, and the on-going initiatives to simplify manufacturing processes, it is essential that the halal concept be fully understood by marketers (Halal certification: an internasional maketing issues and challenges,http://www.ctw-ngress.de/ifsam/download/track_13/pap00 226).

Segala sesuatu, baik tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, ataupun binatang, pada dasarnya halal dimakan kecuali ada nash dalam Al-Qur’an atau hadist yang mengharamkannya. Syarat-syarat kehalalan produk diantaranya meliputi (http://www.HalalMUI.org - Sertifikasi Halal.htm,) :

a. Tidak mengandung babi dan bahan-bahan yang berasal dari babi;

b. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti; bahan yang


(41)

commit to user

c. Semua bahan yang berasal dari hewan yang disembelih dengan syariat

Islam;

d. Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan dan

transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi; jika pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat;

e. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.

Faktor lain yang menyebabkan makanan menjadi haram adalah apabila mendatangkan kejelekan bagi manusia, seperti racun, makanan kotor, menjijikan, dan sebagainya (Abdul Mu’in, 2008:34). Kehalalan akan suatu produk sangat dianggap penting bagi umat muslim pada khususnya. Makanan bagi umat Islam bukanlah sekedar alat pemenuh kebutuhan jasmani saja, tetapi juga merupakan bagian dari kebutuhan spiritual yang harus dilindungi. Bukan hanya bagi umat Islam saja, namun juga bagi umat yang beragama lain dimana kehalalan suatu produk juga dipandang sebagai upaya peningkatan kualitas kehidupan dari segi kesehatan.

Labelisasi produk dengan menggunakan stiker halal merupakan salah satu fenomena penting yang tidak hanya menandai bangkitnya kesadaran nilai-nilai etika dan spiritual dalam ranah bisnis dan perilaku bisnis produsen, tetapi juga menunjukkan adanya kepedulian produsen terhadap kebaikan konsumen. Label halal juga mengandung aspek yuridis untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Artinya secara hukum

mencantumkan label halal berarti melindungi konsumen dan

melaksanakan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009: 5, 73).

Hak-hak perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjadikan label halal memiliki arti dan nilai penting secara sosial, berupa perlindungan

dan pengurangan keraguan bagi konsumen muslim terhadap

ketidakhalalan produk yang dikonsumsinya. Pencantuman label halal mengandung konsekuensi hak atas kenyamanan dan keamanan konsumen


(42)

commit to user

dalam mengkonsumsi produk. Jaminan keamanan atau keselamatan konsumen ditetapkan secara sejajar dengan jaminan keselamatan atau keamanan diri serta keluarga produsen. Produk yang disajikan kepada konsumen secara luas, pada hakikatnya juga menjadi produk yang saat bersamaan dapat dikonsumsi oleh produsen. Dan ini bisa menjadi salah satu ukuran paling sederhana untuk menilai etika bisnis produsen (Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009: 74).

Berdasarkan jajak pendapat tentang produk halal yang dilakukan “Indohalal.com”, yayasan “Halalan Thoyyibah” dan LPPOM MUI akhir tahun 2002 menunjukkan 77,8 % responden menjadikan jaminan kehalalan sebagai pertimbangan pertama dalam berbelanja produk makanan, minuman, kosmetik dan resto. Sebanyak 93,9 % responden menyetujui bila produk mencantumkan label dan nomor sertifikasi halal, dan 86 % responden menghendaki wajibnya produsen mencantumkan label halal (Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009: 6). Dari hasil polling tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebutuhan konsumen yang mayoritas muslim terhadap produk yang halal tidak diimbangi dengan kepedulian produsen untuk memasarkan produk yang bersertifikat halal. Dari sekitar 30.000 produk makanan yang beredar di Indonesia, baru 20 % produk yang mendapatkan sertifikat halal resmi dari MUI, hal ini berarti masih banyak produk-produk yang belum tersertifikasi atau hanya sekedar ada tanda halal dalam produknya.

Salah satu cara untuk mendapatkan label halal yang legal dan berstandart adalah dengan melalui sertifikasi halal. Sertifikasi halal adalah proses pemeriksaan yang meliputi bahan, proses dan produk yang dilakukan LPPOM MUI untuk memeriksa apakah terkontaminasi unsur haram atau tidak. Sedangkan yang dimaksud sertifikat halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat mutlak untuk mencantumkan label halal pada kemasan produk dari instansi yang berwenang, yang dalam hal ini menjadi kewenangan LPPOM MUI. Sertifikasi halal merupakan jaminan kehalalan produk dalam hal makanan,


(43)

commit to user

minuman, obat-obatan, dan kosmetika untuk memberikan keyakinan kepada umat Islam di Indonesia bahwa yang mereka konsumsi dalam kesehariannya itu terjamin, baik secara substansi maupun proses.

Di era globalisasi seperti saat ini permasalahan tentang kehalalan telah menjadi kompleks sebagai akibat dari perkembangan teknologi yang

begitu pesat. Oleh karena itu, dalam penentuan fatwa tentang halal atau

haramnya suatu produk para ahli fiqih harus bekerjasama dengan para

ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. Apabila tidak, maka dapat menyebabkan fatwa yang kurang proporsional dan menyulitkan implementasi di dunia industri. Oleh sebab itu, lembaga yang berhak menjadi lembaga sertifikasi halal harus memiliki kriteria antara lain (http://www.HalalMUI.org-Sertifikasi Halal.htm,) :

a. Harus mewakili aspirasi umat Islam dan anggotanya hanya terdiri dari

orang Islam saja, tidak ada yang beragama lain, untuk menghindari

adanya bias dan conflict of interest. Perlu diingat bahwa masalah

kehalalan berkaitan dengan keimanan sehingga sebenarnya bukan hanya anggotanya orang Islam saja, akan tetapi juga harus terdiri dari orang-orang yang beriman dengan benar.

b. Memiliki dua kelompok keahlian, yaitu kelompok keahlian yang

berkaitan dengan teknologi pangan seperti ahli teknologi pangan, kimia, biokimia, dll, dan kelompok keahlian di bidang hukum Islam (ulama/lembaga fatwa).

c. Bersifat nonprofit oriented (tidak mencari keuntungan). Walaupun

diperlukan biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen untuk menghidupi kegiatan lembaga ini dan melengkapi sarananya, akan tetapi biaya tersebut tidak boleh berlebihan sehingga akhirnya justru akan memberatkan konsumen.

d. Mempunyai jaringan yang luas yang melingkupi seluruh wilayah

Indonesia agar dapat melayani semua produsen yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

e. Independen, tidak mewakili atau dipengaruhi oleh produsen maupun


(44)

commit to user

peraturan yang mempunyai kekuatan hukum (seperti peraturan pemerintah) dan pengawasan, akan tetapi pemerintah tidak perlu terlibat langsung dalam proses sertifikasi karena di samping akan

memperpanjang birokrasi, juga dapat saja terjadi conflict of interest

apabila unsur pemerintah masuk kedalam lembaga pemeriksa tersebut mengingat pemerintah juga mempunyai kepentingan terhadap produsen, misalnya dalam hal pemasukan uang negara.

Berdasarkan kriteria yang telah disebutkan di atas, tampak jelas bahwa MUI merupakan satu-satunya lembaga sertifikasi halal di Indonesia, sedangkan LPPOM merupakan perangkat lembaga sertifikasi yang berperan sebagai lembaga pemeriksa yang terdiri dari para ahli dibidang pangan, kimia, biokimia dan kelompok keahlian di bidang hukum Islam

(ulama/lembaga fatwa). Komisi fatwa, sebagai perangkat MUI yang terdiri

dari para ahli fiqih berperan memberikan fatwa terhadap produk hasil

pemeriksaan dan penelitian LPPOM. Adanya kerjasama antara ulama dan ilmuwan dalam tubuh MUI merupakan satu kekuatan tersendiri dalam penentuan kehalalan suatu produk, sehingga akan semakin menguatkan posisinya

(http://infokito.wordpress.com/2007/09/16/Pedoman-sertifikasi-halal/). Sertifikat halal dapat digunakan untuk pembuatan label halal pada kemasan produk yang bersangkutan. Penempelan logo halal pada suatu produk harus mengikuti aturan dari LPPOM MUI. Pemegang sertifikat halal LPPOM MUI wajib bertanggung jawab untuk memelihara kehalalan produk yang diproduksinya, dan sertifikat halal ini tidak dapat dipindah tangankan. Secara sederhana masyarakat dapat mengetahui kehalalan suatu produk dengan memperhatikan label halal pada kemasan. Jika terdapat tanda logo halal berwarna hijau berbentuk lingkaran dengan tulisan Majelis Ulama Indonesia diikuti angka (no. Sertifikat) maka logo


(45)

commit to user

ini merupakan label halal resmi dari LPPOM MUI (LPPOM MUI, 2011). Logo halal dari MUI dapat dilihat seperti gambar dibawah ini:

Gambar 1. Logo Label halal MUI

Adanya sertifikasi halal yang dilakukan LPPOM MUI bukanlah suatu yang bersifat kewajiban, karena belum ada aturan yang mewajibkan produsen untuk melakukan sertifikasi halal terhadap produknya. Tetapi hal ini lebih pada kemauan produsen untuk melakukan sertifikasi halal guna mendapatkan label halal yang resmi. Pencantuman label halal yang resmi ini dilakukan produsen sebagai salah satu upaya kepedulian produsen terhadap keselamatan konsumen.


(46)

commit to user

B. Kerangaka Pemikiran 1. Bagan Kerangka Pemikiran

Gambar 2. Bagan Kerangka Berfikir Masalah Kehalalan Dalam Produk-produk

Yang Dikonsumsi Konsumen

Peraturan-peraturan yang menyangkut tentang kehalalan produk (UU No.7 tahun 1996 Pasal 30 ayat (2) huruf e dan Pasal 58; UUPK Pasal 8 ayat (1) huruf h; UU No.18 Tahun 2009 Pasal 58; PP No.69 Tahun 1999 Pasal 3 ayat (2), Pasal 10 dan Pasal 11; SK Menkes

No.924/MENKES/SK/VII/1996 Pasal 8, Pasal 10 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 11 ayat (1) dan (2).

Surat keputusan nomor 018/MUI/1989 tentang

Pembentukan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan

Kosmetika(LPPOM MUI) yang bertugas meneliti, mengkaji, menganalisa,dan mengeluarkan setifikat halal

Sebagai lembaga yang memiliki legalitas dan berwenang melakukan dan mengeluarkan sertifikasi halal.

Dapat tidaknya sertifikasi halal sebagai upaya perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen Prosedur pelaksanaan sertifikasi halal di LPPOM MUI Yogyakarta Hanya mengatur tentang kewajiban

pencantuman label halal tanpa adanya ketentuan pembentukan lembaga yang memiliki legalitas mengeluarkan label halal, sehingga tidaka ada keseragaman bentuk dan model label halal


(47)

commit to user

2. Keterangan

Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai sertifikasi halal sebagai upaya perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Diawali dengan berbagai masalah yang muncul pada produk-produk yang beradar di pasaran, dimana konsumen dihadapkan pada ketidaktahuan apakah produk yang mereka konsumsi merupakan produk yang halal dan layak dikonsumsi ataukah merupakan produk yang haram, yang mana bagi umat muslim khususnya terdapat larangan untuk mengkonsumsi produk yang haram. Menyadari hal itu pemerintah melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM MUI) yang bertugas untuk meneliti, mengkaji, menganalisa dan memutuskan apakah produk-produk aman dan halal untuk dikonsumsi bagi umat Muslim khususnya di wilayah Indonesia.

LPPOM MUI merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki legalitas untuk melakukan sertifikasi halal yang kemudian dari sertifikasi halal tersebut, produsen akan mendapatkan suatu label halal yang resmi. Label halal yang resmi ini diharapkan mampu digunakan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan akan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen. Untuk itu kemudian penulis ingin mengetahui bagaimana prosedur pelaksanaan sertifikasi halal di LPPOM MUI Yogyakarta, serta apakah sertifikasi halal mampu menjadi upaya perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan ditinjau dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Disamping dengan membentuk LPPOM MUI, pemerintah juga mengeluarkan peraturan hukum yang berhubungan dengan masalah kehalalan produk diantaranya Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Pasal 30 ayat (2) huruf e dan Pasal 58; Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Pelindungan Konsumen, Pasal 8


(48)

commit to user

ayat (1) huruf h; Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 58; Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, Pasal 3 ayat (2), Pasal 10 ayat (1) dan (2) dan Pasal 11 ayat(1),(2),dan (3) ; dan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.924/MENKES/SKVII/1996 Tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82.MENKES /SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan, Pasal 8, Pasal 10 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 11 ayat (1) dan (2). Namun dalam berbagai peraturan tersebut hanya mengatur mengenai kewajiban pencantuman label halal. Tidak ada peraturan yang mengatur tentang pembentukan lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikat halal sebagi syarat pencantuman label halal. Dengan tidak adanya peraturan tersebut, dikhawatirkan produsen akan berbuat seenaknya sendiri dalam pencantuman label halal. Dengan pertimbangan bahwa produsen telah menunaikan kewajibannya untuk mencantumkan label halal, tanpa memberikan jaminan apakah produknya benar-benar halal atau tidak.

Terkait dengan kewenangan LPPOM MUI untuk melakukan sertifikasi halal, agar kemudian produsen mendapatkan suatu label halal yang resmi, respon konsumen dalam menanggapi adanya sertifikasi halal ini terbilang cukup baik. Hal ini terbukti sebanyak 93,9% responden menyetujui bila produk mencantumkan label dan nomor sertifikat halal (Muhammad dan Ibnu Elmi As Pelu, 2009: 6). Hal inilah yang kemudian dapat penulis simpulkan bahwa sertifiksi halal sebagai upaya perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.


(1)

commit to user

b. Daging yang digunakan berasal dari hewan halal yang

disembelih menurut tata cara Syariat Islam.

c. Tidak mengandung bahan-bahan yang berasal dari organ

manusia, darah, maupun kotoran-kotoran.

2. Aspek proses

Aspek proses meliputi kegiatan proses produksi, penyimpanan, penanganan, dan pegepakan barang. Dalam proses ini, auditor dari LPPOM MUI akan memeriksa apakah dalam menjalankan kegiatan produksi ini perusahaan telah berpedoman pada sistem jaminan halal dan prosedur baku pelaksanaan (SOP). Harus dapat dipastikan bahwasanya dalam proses produksi sampai tahap pengepakan semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan dan tempat transportasi tidak digunakan untuk babi atau barang tidak halal lainnya. Tempat-tempat tersebut harus terlebih dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut Syariat Islam.

3. Aspek Produk

Pemeriksaan terhadap produk yang sudah jadi dilakukan untuk mengetahui apakah sebuh produk yang sudah jadi terkontaminasi unsur haram atau tidak. Adakalanya ketika suatu bahan diproses dan menjadi barang jadi mengalami suatu perubahan sehingga perlu pula mengetahui status kehalalannya.

LPPOM MUI dalam melakukan proses auditing ini, sangat mempermasalahkan prosentase unsur haram yang mengkontaminasi baik

dalam bahan baku pada saat processing bahkan ketika telah menjadi

sebuah produk. Seberapa kecilnya unsur haram yang mencemari, LPPOM MUI akan menyatakan bahwa produk tersebut tidak halal. Dalam pelaksanaan sertifikasi halal ini terdapat koordinasi antara LPPOM MUI dengan BPOM setempat. Kooordinasi yang terjadi adalah bahwasanya LPPOM MUI baru akan melakukan prosedur sertifikasi halal apabila perusahan yang bersangkutan telah mendapatkan sertifikat keamanan pangan dan nomor registrasi MD dari BPOM. Sedangkan


(2)

commit to user

labelisasi halal yang dilakukan oleh BPOM dengan logo halal dari MUI baru akan diberikan saat pelaku usaha telah mendapatkan sertifikat halal. Pencantuman label halal yang berasal dari sertifikasi halal dan tidak melalui sertifikasi halal jelas mempunyai perbedaan. Perbedaannya yaitu apabila tidak melalui sertifikasi halal terlebih dahulu, maka pelaku usaha wajib membuat laporan yang mencantumkan proses pengolahan dan komposisi bahan yang digunakan, untuk disampaikan kepada Departeman Kesehatan. Selanjutnya pengawasan terhadap suatu produk tersebut dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan pada Departemen Kesehatan RI cq. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan.

Pelaksanaan sertifikasi halal oleh LPPOM MUI memang pada dasarnya memiliki koordinasi dengan lembaga lain yakni BPOM. Namun teknis pelaksanaanya dilakukan secara terpisah oleh para auditor dan tenaga ahli dari masing-masing lembaga. Dalam hal ini LPPOM MUI menjalankan tugasnya dengan mengaudit dari segi kehalalan berdasarkan kaidah agama. Sedangkan BPOM, melakukan audit dari aspek keamanan pangan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kesehatan dan keamanan konsumsi bagi masyarakat.

Berdasarkan data-data tersebut, diketahui bahwasanya proses sertifikasi halal hanya terbatas memeriksa baik bahan, proses, dan produk yang mengandung unsur haram atau tidak. LPPOM MUI dalam menjalankan tugasnya tidak meneliti komposisi bahan yang digunakan, apakah sesuai takaran kesehatan, membahayakan kesehatan atau tidak. Karena kewenangan memeriksa komposisi bahan dan menguji dari sisi kesehatan dilaksanakan oleh BPPOM. LPPOM MUI hanya memeriksa ada tidaknya unsur haram yang terkandung didalamnya. Sehingga sertifikasi halal selain untuk jaminan halal juga dapat digunakan sebagai salah satu upaya melindungi hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Pelindungan Konsumen. Karena sertifikasi halal yang dilakukan oleh


(3)

commit to user

LPPOM MUI dengan mengaudit baik bahan maupun proses dari segi kehalalan, memiliki syarat utama bahwasanya suatu produk yang akan disertifikasi harus terlebih dahulu lolos dari ketentuan BPOM.

Pemahaman pelaku usaha terhadap ketentuan halal pada dasarnya dimaknai sebagai suatu pembebasan, yakni bebasnya produk dari unsur-unsur yang dilarang syariat Islam. Dalam konteks ini berarti harus ada jaminan halal dari pelaku usaha bahwa produk yang mereka produksi adalah bebas dari unsur-unsur haram sehingga dapat pula membebaskan konsumen dari keragu-raguan dalam mengkonsumsi suatu produk. Dengan adanya label halal, maka ada jaminan kehalalan yang diberikan pelaku usaha kepada konsumen. Adanya kewajiban pencantuman label halal, diharapkan tidak hanya dijadikan pelaku usaha sebagai suatu formalitas demi menguntungkan diri sendiri. Dengan adanya jaminan

halal dari pelaku usaha, berarti pelaku usaha tidak hanya profit oriented

tetapi juga ikut mengakomodasi kepentingan spiritual konsumen. Karena itu sangat relevan apabila ketentuan halal dalam suatu produk menjadi

sebuah langkah awal dan hal yang dapat meningkatkan produktivitas

produk di pangsa pasar.

Sertifikasi halal disamping dapat sebagai upaya melindungi hak atas keamanan dan keselamatan konsumen, juga mempunyai manfaat baik bagi pelaku usaha maupun konsumen. Adapun manfaat sertifikasi halal adalah :

1. Bagi Pelaku Usaha

Melalui sertifikasi halal produk halal yang beredar akan lebih diminati konsumen sehingga hal ini akan meningkatkan citra produk dan mampu memperluas jaringan pasar serta dapat dijadikan sebagai cara merebut pangsa pasar. Disamping itupula akan tumbuh hubungan yang baik antara pelaku usaha dan konsumen karena pelaku usaha dinilai telah mampu mengakomodasi kepentingan konsumen dalam hal ini adalah dengan memberikan ketentraman


(4)

commit to user

batin sehingga konsumen akan terus-menerus mengkonsumsi produk yang sama.

2. Bagi Konsumen

Adanya label halal yang diperoleh melalui sertifikasi halal akan dijadikan dasar bagi konsumen untuk membeli suatu produk. Disamping itu adanya lebel halal yang diperoleh melalui sertifikasi halal dapat dijadikan konsumen sebagai standart menentukan jaminan halal dari pelaku usaha. Hal ini akan menumbuhkan rasa kepercayaan konsumen kepada pelaku usaha karena telah memberikan produk yang terbaik. Sedangkan bagi umat Islam pada khususnya sertifikasi halal ini mampu memberikan ketentraman batin dalam menjalankan perintah agamanya

Sertifikasi halal yang dilakukan mengandung makna bahwa hak atas keamanan dan keselamatan konsumen bisa terpenuhi. Karena dalam hal ini terdapat koordinasi antara LPPOM MUI dengan BPOM dimana LPPOM MUI hanya memeriksa dari segi kehalalan baik bahan, proses, maupun produk seedangkan pemeriksaan dari segi kesehatan dan kelayakan konsumsi dilakukan oleh BPOM. Walaupun pemeriksaan tersebut dilakukan secara terpisah namun syarat utama sebelum pengajuan sertifikasi halal adalah suatu produk harus terlebih dahulu telah diperiksa oleh BPOM. Makna lain yang terkandung dari sertifikasi halal ini adalah adanya informasi yang dibutuhkan konsumen terkait dengan kehalalan suatu produk yang akan dikonsumsi. Dengan adanya label halal yang diperoleh melalui sertifikasi halal maka akan terjamin kehalalan dari suatu produk.


(5)

commit to user

BAB IV PENUTUP A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan sertifikasi halal sebagai upaya perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Prosedur Sertifikasi Halal Yang Dilakukan LPPOM MUI Yogyakarta

Prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Yogyakarta didasarkan pada SK02/Dir/LPPOM MUI/IX/07 Tentang Pedoman Mendapat Sertifikat Halal. Pelaksanaan sertifikasi halal ini dilakukan

untuk memenuhi Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:

924/Menkes/SK/VII/1996 Tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan No. 82 Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Prosedur sertifikasi halal yang dilakukan

LPPOM MUI Yogyakarta mempunyai standart operating porcedur

(SOP) yang baku dan harus dilakukan secara ketat. Dengan demikian prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Yogyakarta memiliki aspek kepastian hukum yang kuat. Penerapan prosedur sertifikasi halal yang kuat secara langsung dapat memberikan manfaat bagi pelaku usaha dan konsumen yakni :

a. Bagi pelaku usaha, dapat meningkatkan citra produk dan mampu

memperluas jaringan pasar serta dapat dijadikan sebagai cara merebut pangsa pasar.

b. Bagi Konsumen, dapat dijadikan dasar bagi konsumen untuk

membeli suatu produk serta sebagai standart menentukan jaminan halal dari pelaku usaha. Sedangkan bagi umat Islam pada khususnya sertifikasi halal ini mampu memberikan ketentraman batin dalam menjalankan perintah agamanya


(6)

commit to user

2. Sertifikasi Halal Sebagai Upaya Perlindungan Hak atas Keamanan dan

Keselamatan Konsumen Ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI dapat menjadi penunjang terwujudnya perlindungan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen karena salah satu syarat sertifikasi halal adalah bahwa produk yang diajukan sertifikasi halal sudah lolos uji BPOM yang menyangkut aspek kadar bahan yang digunakan dan tata cara produksi. Pemeriksaan suatu produk yang dilakukan meliputi pemeriksaan bahan, proses, dan produk guna mengetahui ada tidaknya kontaminasi unsur haram dapat dijadikan sebagai salah satu upaya memberikan ketentraman batin serta mewujudkan hak atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam menjalankan Syariat agama khusunya bagi umat Islam

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang didapat penulis, pada akhirnya penulis dapat mengajukan saran kepada para pihak yang terkait diantaranya sebagai berikut :

1. Agar prosedur sertifikasi halal mempunyai kekuatan hukum yang lebih

tinggi, pemerintah perlu menetapkan dalam sistem perundang-undangan tentang petunjuk teknis prosedur sertifikasi halal sehingga pelaksanaan sertifikasi halal dapat dipaksakan bagi pelaku usaha yang menyatakan bahwa produk yang diproduksinya halal. Bagi pelaku usaha yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut dapat diberi sanksi, karena selama ini pelaksanaan sertifikasi halal hanya bersifat sukarela.

2. Perlu adanya peraturan pelaksana mengenai sertifikasi halal suatu

produk yang secara tegas mensyaratkan bahwa sertifikasi halal hanya bisa dilakukan apabila produk tersebut telah lolos uji BPOM yang menyangkut aspek kadar bahan yang digunakan dan tata cara produksi. Karena selama ini syarat tersebut hanya berdasarkan SK02/Dir/LPPOM MUI/IX/07 Tentang Pedoman Mendapat Sertifikat Halal.