Pendahuluan 1. Latar Belakang Pemetaan Potensi Konflik Sosial dan Skenario Pencegahannya : Studi Tentang Model Penyelesaian Konflik Berbasiskan Kearifan Lokal Minangkabau.

Keyword : Konflik, Resolusi Konflik dan Perdamaian Adat Minangkabau

A. Pendahuluan 1. Latar Belakang

Adakah Minangkabau memiliki sebuah negeri yang damai atau memang akar budaya konflik itu menkjalar dalam keseharian masyarakat. Menyimak peta Minangkabau dalam 10 tahun terakhir ini, sesungguhnya banyak kejadian yang menggat rasa kemanusiaan terjadi di Minangkabau. Berbagai peristiwa yang dipertontonkan di media cetak dan elektronik sulit dipahami dengan akal dan jiwa yang sehat seperti bacakak banyak antar kampung di Pasaman, Solok, Sawahlunto, Sijunjung dan Damasraya. Konflik tanah yang tak berkesudahan di Padang, Pasaman, Solok, Pesisir Selatan, dan Damasraya. Demonstrasi buruh di Padang, Solok, dan Pasaman. Pencaplokan tanah oleh penguasa dan pengusaha di Agam, Pasaman dan Damasraya. Penembakan rakyat oleh aparat di Pasaman. Menyuimak perkataan Prof. Dr. M. Syafii Maarif, mantan pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam skala yang makro, ia katakan bahwa bangsa ini sudah nyaris sempurna rusaknya Media Indonesia, 16 Agustus 2006. Sebuah kondisi yng sangat menyedihkan untuk sebuah bangsa dianggap yang ramah. Persoalan utama adalah kenapa orang memiliki nurani membunuh yang tinggi. Pada hal dalam keseharian tidaklah nampak demikian. Bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang sopan- santun dan ramah tamah secara tidak terduga berubah menjadi bangsa yang bringas, sadis, penuh dendam kesumat, dan suka ngamuk. Kesalahan kecil bisa berakibat perang antar kampung, antar etnis ataupun antar agama, sehingga nurani waras seperti terkikis dalam kehidupan masyarakat, mengakibatkan hilangnya rasa aman dalam kehidupan masyarakat Suryadi Radjab, 2002. Dalam setiap konflik yang muncul, dampak langsung bukanlah dirasakan oleh elite politik. Kelompok yang mengalami kerugian dan menjadi korban justru masyarakat, sehingga membuat kehidupan yang sudah susah menjadi semakin parah. Hal yang tidak dapat dihindari adalah semakin memburuknya kondisi masyarakat. Konsekwensi logis adalah terjadinya penurunan kualitas kehidupan. 2 Secara ekonomis, jelas sekali akan mempengaruhi produktifitas kerja, karena energi mereka telah dihabiskan untuk konflik. Hal yang tak dapat dielakkan adalah kemampuan bertahan atau survival masyarakat makin l;ama makin lemah, sehingga akan dapat menimbulkan rasa frustasi baru. Implikasi konkrit dari konflik yang terjadi adalah munculnya beraneka ragam masalah sosial, ekonomi, agama dan krisis kepercayaan dalam masyarakat. Dalam kondisi yang demikian, persoalan kecil saja seperti perkelahian antar pemuda, seggolan ditempat keramaian ataupun pencurian, bisa berakibat fatal pada jiwa, harta dan benda. Bahkan lebih parah lagi, bisa menjadi perang antar etnis, agama atau golongan, yang dapat menelan korban jiwa dan harta Robert Gur, 1971. Tidak diragukan lagi bahwa salah satu organisasi yang menjadi pelaku tindakan kekerasan adalah angkatan bersenjata dan polisi. Langkah untuk mengurangi tindakan kekerasan ini sudah dilakakukan, terutama ketika akhir Orde Baru tentara di tarik kembali ke barak. Artinya, urusan sosial, politik, ekonomi dari ABRI dikurangi, sebagaimana masa Orde Baru, kelompok ini memainkan peranan penting dengan konsep Dwi fungsi ABRI, sehingga kekerasan yang ditimbulkan oleh tentara inipun semakin jauh berkurang. Untuk membebaskan negara dari militer sungguh sangat sulit, karena cengkraman negara di bawah otoriter militer selama 32 tahun, membuat mereka sulit keluar. Martin Shaw dalam bukunya Bebas dari Militer menyatakan bahwa tidak akan mudah menghapus begitu saja peranan militer dari kehidupan masyarakat, karena struktur sosial yang terbangun selama ini menempatkan mereka pada posisi yang kuat Martin Shaw, 2001. Militer inilah yang menjadi salah satu kekuatan dari luar daerah yang memiliki peranan penting di daerah konflik. Hal ini dapat dilihat dari kasus DOM di Aceh, pertikaian Brimob dan Kopasus di Papua, Marinir di Pasuruan dan Brimob di Poso. Pertanyaan besar adalah bagaimana posisi mereka dalam setiap konflik dan kekerasan yang terjadi itu. Skema dibawah ini memcoba memberi gambaran jaringan konflik dan kepentingan berbagai kelompok dalam setiap terjadinya konflik di Indonesia 3 Skema 1 Jaringan Kekerasan Antara Daerah Konflik dengan Pusat Kekuasaan Bagan diatas memperlihat, semua pihak terlibat dalam konflik yang terjadi. Persoalan ada yang membuat konflik dan ada yang mencegah atau menyelesaikan konflik merupakan suatu rangkakain dari sebuah persoalan yang terjadi wilayah konflik itu. Kekuatan yang begitu mengcengkeram dari luar, terutama negara, pengusaha, militer, polisi, dan preman membuat masyarakat semakin terdesak ke dalam jurang kekerasan. Sementara itu, politisi dan LSM juga seringkali memanfaatkan mereka setelah mereka menjadi korban. Tidak dapat dihindarkan, akhirnya mereka terjebak dalam lingkaran kekerasan. 4 Negara ACEH POS O PAPUA MILITER, POLISI, PENGUSAHA, DAN PREMAN LSM, POLITISI. AKADEMISI Dalam setiap konflik yang muncul, dampak langsung bukanlah dirasakan oleh elite politik. Kelompok yang mengalami kerugian dan menjadi korban justru masyarakat, sehingga membuat kehidupan yang sudah susah menjadi semakin parah. Hal yang tidak dapat dihindari adalah memburuknya kondisi masyarakat, sehingga persoalan kecil saja seperti perkelahian antar pemuda, senggolan di tempat ramai, ataupun pencurian, bisa berakibat fatal pada harta benda dan jiwa. Bahkan lebih parah lagi bisa menjadi perang antar etnis, agama atau golongan, yang dapat menelan korban jiwa dan harta. Untuk itu perlu sebuah model pencegahan konflik berbasiskan kearifan Lokal Minangkabau, sehingga konflik kekerasan dapat dicegah.

2. Masalah

Masalah utama dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimana akar dari budaya konflik sosial dalam masyarakat Minangkabau ? 2. Bagaimana peta konflik sosial di Minangkabau ? 3. Bagaimana Penyelesaian konflik berbasiskan perdamaian adat Minangkabau ?

B. Konsep Konflik dan Konflik Kekerasan