PEMETAAN POTENSI KONFLIK SOSIAL DI WILAYAH KABUPATEN TANGGAMUS (Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus)

(1)

(Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus)

(Skripsi)

Oleh

MUHAMMAD MIFTAH ASHSIDDIQI

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(2)

(Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus)

Oleh

MUHAMMAD MIFTAH ASHSIDDIQI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SOSIOLOGI

Pada Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(3)

Penulis dilahirkan di Kampung Purworejo Kecamatan Kotagajah, Lampung Tenggah pada tanggal 26 Juli 1990. Anak kedelapan dari delapan bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak Marzuki. Bs, A. Ma. Pd (Alm) dan Ibu Hasyimah.

Pendidikan taman kanak-kanak pada tahun 1997, pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di Sekolah Dasar Negeri 02 Kotagajah Lampung Tenggah pada tahun 2003, Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama diselesaikan pada tahun 2006 di Madrasah Tsanawiyah 02 Kotagajah Lampung Tenggah, dan Pendidikan Sekolah Menegah Umum diselesaikan pada tahun 2009 di Sekolah Menengah Umum Negeri 01 Seputih Raman Lampung Tenggah. Pada tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung melalui jalur Ujian Masuk Langsung UML. Pada tahun 2013, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sukadana Selatan Kecamatan Sukadana Kabupaten Lapung Timur.


(4)

Penulis dilahirkan di Kampung Purworejo Kecamatan Kotagajah, Lampung Tenggah pada tanggal 26 Juli 1990. Anak kedelapan dari delapan bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak Marzuki. Bs, A. Ma. Pd (Alm) dan Ibu Hasyimah.

Pendidikan taman kanak-kanak pada tahun 1997, pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di Sekolah Dasar Negeri 02 Kotagajah Lampung Tenggah pada tahun 2003, Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama diselesaikan pada tahun 2006 di Madrasah Tsanawiyah 02 Kotagajah Lampung Tenggah, dan Pendidikan Sekolah Menegah Umum diselesaikan pada tahun 2009 di Sekolah Menengah Umum Negeri 01 Seputih Raman Lampung Tenggah. Pada tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung melalui jalur Ujian Masuk Langsung UML. Pada tahun 2013, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sukadana Selatan Kecamatan Sukadana Kabupaten Lapung Timur.


(5)

Inna Sholaati Wanusuki Wamahyaaya Wamamati Lillahi Robbil Alamin ,

Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Rabb Alam

semesta

"Seseorang yang optimis akan melihat adanya kesempatan dalam setiap malapetaka,

sedangkan orang pesimis melihat malapetaka dalam setiap kesempatan (Nabi Muhammad

SAW)"

Learn from the past, live for the today, and plan for tomorrow

Work hard, Play hard

Janganlah memaksakan diri agar kelihatan lebih dari kenyataan yang sebenarnya


(6)

Dengan mengagungkan nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kupersembahkan karya kecilku ini untuk orang-orang yang aku sayangi :

Bapak (Alm) dan Ibu tercinta ;

Marzuki BS, A. Ma. Pd dan Hasyimah yang senantiasa berjuang dan berdo a demi keberhasilan anak-anaknya.

Kakakku tersayang ;

Dra. Afifatul Munawaroh dan Susilo, SH, M.Mahrus dan Siti Choiriyah, S. Ag, M.Kholil dan Asih Mulyani, Fatmawati, S.E dan Rosihan, S.T, M.Ali Ridho, S.T dan Nurlailla Hayati, S.Hi, Hasan Asy ary, S.H, M.H, dan Berty Andriani, S.E, M.M, Fita An nisa dan

Sofyan. Keponakanku ;

Hani Amalia Susilo, Jihan Salwa Fahira, dan Muhammad Farrel Rajendra. Abdullah Zadit Taqwa, M.Zidni Nuron A la, dan M.Ahsin Asanakallah, Neva Fatimatuzzahro dan Meisya Azizah Wulandari. Alya Fadhilla Rofa dan Ghina Aqilla Rofa. Muhammad Rasyid Ridho dan Syafira Rasya Ridho, Azka Pasha Asy ary, Aulia Adhiyaksa Asy ary, dan Muhammad

Arkhan Asy ary.

Terima kasih atas segala cinta, pengorbanan, kesabaran, motivasi, keikhlasan, dan do a yang tiada henti diberikan dalam menanti keberhasilanku.

Sahabat karib masa kecil Ahmad Fukuludin Jalil, teman-teman kuliah yang masih berjuang Panca, Pandu,Tomi, Lanang, Cileng, Kyai, Adri, Ketut, Gerry maupun yang lulus

Sabrina, Muthia, Ratu, Arif, Aziz, Hendro, Aliq, Rezky, Adhanti, Wenny, Monalia, Jani, dan yang lainnya, sahabat-sahabat KKN terimakasih atas semuah bantuan kalian semasa kuliah semoga Allah membalas kebaikan kalian dan yang masih berjuang semoga kalian


(7)

Piji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat Ridho-Nya penulis dapat melalui segala hambatan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemetaan Potensi Konflik Sosial di Wilayah Kabupaten Tanggamus”(Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus), sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi Universitas Lampung.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh penulis, untuk itu penulis dengan senang hati akan menerima saran maupun kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Namun terlepas dari keterbatasan tersebut penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Penulis yakin bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bimbingan, dorongan, nasihat, dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Susetyo, M.Si., Selaku Ketua Jurusan Sosiologi.


(8)

kesabarannya dalam proses penulisan skripsi.

5. Ibu Dewi Ayu Hidayati, S. Sos, M. Si. selaku Pembahas Mahasiswa, yang juga telah banyak memberikan motivasi, petunjuk, pengarahan, serta bimbingan kepada penulis. 6. Ibu Dra. Paraswati Darimilyan selaku Pembimbing Akademik.

7. Seluruh Dosen di Jurusan Sosiologi FISIP Unila. Terimakasih atas semua ilmu yang sudah Bapak dan Ibu Dosen berikan, semoga ilmu yang diberikan selama penulis berkuliah di FISIP Sosiologi bermanfaat di masa depan serta bermanfaat bagi banyak orang.

8. Seluruh Staf Administrasi dan karyawan di FISIP Unila yang telah membantu melayani urusan administrasi perkuliahan dan skripsi.

Bandar Lampung, Desember 2015 Penulis


(9)

Dengan mengagungkan nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kupersembahkan karya kecilku ini untuk orang-orang yang aku sayangi :

1. Bapak (Alm) dan Ibu tercinta ; Marzuki BS, A. Ma. Pd dan Hasyimah yang senantiasa berjuang dan berdo’a demi keberhasilan anak-anaknya. 2. Kakak-Kakaku ; Dra. Afifatul Munawaroh, dan Susilo, SH, Muhammad

Mahrus dan Siti Choiriyah, S. Ag, Muhammad Kholil dan Asih Mulyani, Fatmawati, S.E dan Rosihan, S.T, Muhammad Ali Ridho, S.T dan Ella,

Hasan Asy’ary, S.H, M.H,dan BertyAndriani, S.E, M.M, Fita An’nisa

dan Sofyan, yang senantiasa memberikan semanggat, motivasi, dukungan

dan Do’a.

3. Keponakanku ; Hani Amalia Susilo, Jihan Salwa Fahira, dan Muhammad Farrel Rajendra. Abdullah Zadit Taqwa, Zidni, dan Ahsin, Neva

Fatimatuzzahro dan Meisya Azizah Wulandari. Alya Fadhilla Rofa dan Ghina Aqilla Rofa. Muhammad Rasyid Ridho dan , AzkaPasha Asy’ary, Aulia Adhiyaksa Asy’ary, dan Arkhan yang senantiasa memberikan semanggat, dukungan danDo’a.

4. Sahabat karibku Ahmad Fukuludin Jalil, teman kuliah Panca, Pandu, Lanang, Ardi, Kyai, Dani yang senantiasa memotivasi dan membantu.


(10)

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Tinjauan tentang Pemetaan Sosial ... 7

B. Tinjauan tentang Konflik Sosial... 8

C. Tinjauan tentang Masyarakat Rural dan Urban... 8

D. Kerangka Pemikiran ... 23

II. METODE PENELITIAN... 24

A. Pendekatan Penelitian ... 24

B. Definisi Konseptual ... 24

C. Definisi Operasional ...25

F. Teknik Pengumpulan Data ... 27

G. Analisis Data ... 28

IV. GAMBARAN UMUM LINGKUP PENELITIAN ... 46

4.1. Aspek Geografi dan Demografi ... 46

4.1.1. Karakteristik Lokasi dan Wilayah ... 46

A. Luas dan Batas Wilayah Administrasi ... 46

B. Letak dan Kondisi Geografis ... 51

4.1.2. Demografi ... 52


(11)

1. Pertumbuhan PDRB ... 56

2. Laju Inflasi ... 58

3. PDRB Perkapita ... 58

4. Persentase Penduduk Miskin ... 59

4.2.2. Fokus Kesejahteraan Masyarakat ... 60

A. Pendidikan ... 60

1) Angka Melek Huruf ... 60

2) Rata-Rata Lama Sekolah ... 61

3) Angka Partisipasi Kasar ... 61

4) Angka Partisipasi Murni ... 62

5) Angka Pendidikan yang Ditemukan ... 62

B. Kesehatan ... 62

1) Angka Kematian Bayi ... 62

2) Angka Kematian Ibu ... 63

3) Balita Gizi Buruk ... 65

4) Umur Harapan Hidup (UHH) ... 66

5) Ketenagakerjaan ... 66

4.2.3. Fokus Sumber Daya Manusia ... 68

A. Ketenagakerjaan ... 68

B. Pembangunan Manusia ... 69

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 71

A. Pemetaan Daerah Rawan Konflik Sosial di Kabupaten Tanggamus ... 71

1. Rangkaian Peristiwa Konflik Sosial di Kabupaten Tanggamus Sepanjang Tahun 2014 ... 71

1.1. Kerawanan dan Potensi Konflik di Kabupaten Tanggamus berdasarkan Data Polres Tanggamus Tahun 2014 ... 72

1.2. Kerawanan dan Potensi Konflik di Kabupaten Tanggamus berdasarkan Data Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Tanggamus Tahun 2014 ... 74

1.3. Kerawanan dan Potensi Konflik di Kabupaten Tanggamus berdasarkan Data Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Lampung Tahun 2014 ... 77

B. Pembahasan ... 78

1. Pemetaan Daerah Potensi Konflik pada Wilayah Kategori Rural .... 80

2. Pemetaan Daerah Potensi Konflik pada Wilayah Kategori Urban ... 84


(12)

DAFTAR PUSTAKA ... 90 LAMPIRAN... 91


(13)

Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus) M Miftah Ashsiddiqi

Teuku Fahmi Abstract

This research aims to identify and explain the map of potential social conflict in Tanggamus which refers to the category of rural areas (rural) and urban (urban). In addition, it is expected to get an overview of the current situation regarding the potential for social conflict and their distribution pattern based on urban and rural regions in Tanggamus. the approach used in this research is quantitative with descriptive type. The data used in this study is entirely secondary data. The data used is the data intensity (frequency) that are either still in the form of conflict or potential conflict that has occurred in Tanggamus 2014. The results show that social conflict-prone regions in Tanggamus, when referring to the categorization of rural and urban, there is the intensity frequency a striking difference between the two regions. Seen that for rural areas there are 29 cases, while for urban there were 11 cases. In this case, it can be said, in rural areas tend to have the potential Tanggamus social conflict is higher than for the urban area. Nevertheless, it is not necessarily that of the urban area is not potential social conflict. In looking at the reality, to note also the comparison of rural and urban regions in Tanggamus, where the percentage of rural areas to 85 percent, while the urban area is only 15 percent.


(14)

DI WILAYAH KABUPATEN TANGGAMUS

(Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus)

M Miftah Ashsiddiqi ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan peta konflik sosial potensial di Tanggamus yang mengacu pada kategori daerah pedesaan (rural) dan perkotaan (urban). Selain itu, diharapkan untuk mendapatkan gambaran dari situasi saat ini mengenai potensi konflik sosial dan pola distribusi mereka berdasarkan daerah perkotaan dan pedesaan di Tanggamus. pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan tipe deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sepenuhnya data sekunder. Data yang digunakan adalah intensitas data (frekuensi) yang baik masih dalam bentuk konflik atau potensi konflik yang telah terjadi di Tanggamus 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rawan konflik sosial di daerah Tanggamus, ketika mengacu pada kategorisasi pedesaan dan perkotaan , ada frekuensi intensitas perbedaan yang mencolok antara kedua daerah. Terlihat bahwa untuk daerah pedesaan ada 29 kasus, sedangkan untuk perkotaan ada 11 kasus. Dalam hal ini, dapat dikatakan, di daerah pedesaan cenderung memiliki konflik sosial yang potensial Tanggamus lebih tinggi dari untuk daerah perkotaan. Namun demikian, belum tentu bahwa dari daerah perkotaan tidak konflik sosial yang potensial. Dalam melihat kenyataan, untuk dicatat juga perbandingan daerah pedesaan dan perkotaan di Tanggamus, di mana persentase daerah pedesaan untuk 85 persen, sementara daerah perkotaan hanya 15 persen.


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Visualisasi Pohon Konflik Interaksi antara

Faktor Struktural, manifest dan dinamis ... ... 19

2. Operasionalisasi Sensitivitas Konflik ... ... 25

3. Kerangka Pemikiran ... ... 40

4. Peta Wilayah Kabupaten Tanggamus ... ... 47

5. Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tanggamus ... 60

6. Komparasi TPAK dan TPT Antara Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung dan Nasional ... ... 67

7. Peta Daerah Konflik Provinsi Lampung Tahun 2014 ... 77

8. Persentase Wilayah Kecamatan di Kab. Tanggamus berdasarkan kategori Urban dan Rural ... ... 80


(16)

(17)

(18)

(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini kehidupan Bangsa Indonesia tengah mengalami banyak ancaman yang serius berkaitan dengan memanasnya konflik-konflik di masyarakat. Trend konflik ini semakin mengkhawatirkan pasca era reformasi 1998. Pada media 2012, Kemdagri merilis jumlah konflik sosial pada 2010 sebanyak 93 kasus. Kemudian menurun pada 2011 menjadi 77 kasus. Namun kemudian meningkat pada 2012 menjadi 89 kasus hingga akhir Agustus (Antaranews, 2012). Bila ditelusuri lebih lanjut, terjadinya konflik sosial dikala itu cenderung disebabkan oleh lemahnya sharing of understanding and acceptance (berbagai pemahamaan dan penerimaan) meminjam istilah yang dikemukakan (Suharto, 2005) di tengah masyarakat yang menyangkut ruang, kekuasaan, ekonomi, dan kebudayaan.

Staf Ahli Menteri Sosial bidang Kehumasan dan Tatakelola Pemerintah Sapto Waluyo menyampaikan, “daerah rawan konflik sosial disebabkan kondisi ekonomi yang tertinggal”. Ada enam daerah diprediksi paling rawan pada 2014 ini. Meliputi Papua, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah. "Sebagian besar kondisi ekonominya tertinggal dibanding daerah lain. Namun, ada juga daerah maju tapi interaksi


(20)

(hubungan) sosial antarkelompok sangat kaku, sehingga mudah meletup hanya karena masalah kecil," kata Sapto Waluyo. Namun tegasnya, tidak semua daerah tertinggal itu rawan konflik. Ada enam daerah diprediksi sebagai wilayah paling rawan konflik sosial pada 2014. "Indikatornya terlihat sepanjang 2013 daerah tersebut bermunculan aneka konflik," kata Sapto menambahkan, di bawah ini adalah enam daerah yang diprediksi paling rawan pada 2014.

Tabel 1. Prediksi Daerah Paling Rawan Konflik, 2014

Nama Daerah Jumlah Konflik Sosial

Papua (24) Peristiwa

Jawa Barat (24) Peristiwa

Jakarta (18) Peristiwa

Sumatera Utara (10) Peristiwa

Sulawesi Tengah (10) Peristiwa

Jawa Tengah (10) Peristiwa

Sumber: diliris oleh Kementrian Sosial dan JPNN (2014).

Prediksi yang diliris Kementrian sosial dan Jawa Pos Nasional Network (JPNN) menunjukkan bahwa daerah yang paling banyak konflik adalah Papua dan Jawa Barat. Berkaca dari jumlah terjadinya konflik sosial yang begitu sering, pada 2014 lalu, Kemensos juga melancarkan program keserasian sosial di 50 wilayah rawan konflik sosial dan program penguatan kearifan lokal di 30 daerah.


(21)

Bila dilihat dari perspektif multikulturalisme (pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik), keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, pada situasi tertentu, kondisi banyaknya penduduk yang sangat heterogen dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan, jika terdapat kondisi ketimpangan pembangunan, ketidakadilan serta kesenjangan sosial, ekonomi, kemiskinan dan juga dinamika kehidupan politik yang tidak terkendali. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan konflik. Adapun konflik yang mungkin terjadi dapat berupa konflik horizontal maupun vertikal. Konflik horizontal adalah konflik antara individu maupun kelompok yang biasa terjadi diantara individu atau kelompok yang memiliki status sosial yang sama, sedangkan konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan, kewenangan dan status sosial berbeda. Dampak yang dirasakan masyarakat berkenaan dengan konflik sosia cukup kompleks, diantaranya: mengakibatkan hilangnya rasa aman, menciptakan rasa takut masyarakat, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, korban jiwa dan trauma psikologis (dendam, kebencian dan perasaan permusuhan), sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Kementrian sosial dan Jawa Pos Nasional Network (JPNN) merilis daerah rawan konflik sosial, berikut adalah nama-nama daerah di Indonesia yang rawan terjadinya konflik sosial.


(22)

Tabel 2. Daerah Rawan Konflik Sosial di Indonesia, 2014 Sumatera • Riau • Palembang • Lampung • Aceh Jawa • Banten • Tangerang • Jakarta • Sliyeg • Indramayu NTB

• Sumbawa Barat • Bima • Dompu Sulawesi • Poso • Sigi • Palu • Makassar • PolewaliMandar Kalimantan • Banjarmasin • Pontianak • Palangkaraya Papua • Abepura • Jayapura • Manokwari

Sumber: dirilis oleh Kemensos dan JPNN (2014).

Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa hampir setiap daerah di Indonesia terdapat konflik sosia. Beberapa kajian menunjukkan bahwa konflik akan selalu diawali dengan adanya potensi yang mengendap kemudian dapat berkembang memanas menjadi ketegangan emosi dan akhirnya pecah memuncak menjadi konflik fisik akibat adanya faktor pemicu konflik. Contoh konkrit masalah konflik di Indonesia yang cukup serius baik yang bersifat horizontal maupun vertikal antara lain:

1. Konflik yang bernuansa separatisme (gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia): konflik Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).


(23)

2. Konflik yang bernuansa etnis: konflik di Lampung, Kalimantan Tengah, dan Ambon.

3. Konflik yang bernuansa ideologis: isu faham komunis, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI), faham radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

4. Konflik yang benuansa politis: isu kecurangan Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah yang berakibat penyerangan dan pengerusakan.

5. Konflik yang bernuansa ekonomi: konflik antar kelompok nelayan di selat Madura, antar kelompok preman, antar kelompok pengemudi, antar kelompok pedagang.

6. Konflik bernuansa solidaritas: tawuran antar wilayah, antar pendukung sepak bola.

7. Konflik isu agama atau aliran kepercayaan: isu berkaitan dengan Ahmadiyah, isu aliran sesat.

8. Konflik isu kebijakan pemerintah: BBM (Bahan Bakar Minyak), BOS (Bantuan Oprasional Sekolah), LPG (Liquified Petroleum Gas).

Untuk konteks Provinsi Lampung, pada tiga tahun terakhir, Lampung merupakan salah satu provinsi yang mendapat perhatian khusus terkait dengan ekskalasi (pertambahan) dan intensitas konflik sosial yang relatif cukup tinggi. Realitas/kenyataan menunjukkan bahwa dinamika kemajemukan masyarakat Lampung banyak diwarnai oleh konflik-konflik kekerasan baik dalam konflik sosial vertikal maupun horizontal. Jumlah


(24)

frekuensi dan persentase konflik sosial yang cukup tinggi, dapat di lihat melalui tabel di bawah ini.

Tabel 3. Jumlah Kejadian Konflik dan kekerasan di Provinsi Lampung selama tahun 2008-2010

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Konflik berbasis agama/etnis -

-Konflik politik 6 9,5

Konflik antaraparat Negara -

-Konflik sumber daya alam -

-Konflik sumber daya ekonomi 1 1,6

Tawuran 10 15,9

Penghakiman massa 39 61,9

Pengeroyokan 4 6,3

Lain-lain 3 4,8

Total 63 100

Sumber: Tohari et al., 2011.

Bila berkaca pada kejadian konflik rentang tahun 2008-2010, tidak ada peristiwa konflik yang berbasis agama/etnis pada rentang waktu tersebut. Namun demikian, peristiwa tahun 2012 lalu (konflik Balinuraga di Lampung Selatan), merupakan puncak kejadian konflik antar etnis terbesar di Provinsi Lampung. Disusul konflik selanjutnya pada tanggal 23 Februari 2014 juga terjadi bentrok antar dua desa antara Buminabung utara dan Buminabung Ilir, Lampung Tengah yang dipicu permasalahan sengketa lahan. Puluhan rumah rusak parah serta dua rumah terbakar,dua unit sepeda motor rusak terbakar menurut beberapa warga banyak rumah yang di jarah. Rentang waktu tersebut juga terjadi peristiwa konflik lain pada beberapa wilayah di Provinsi Lampung, mencakup Mesuji, Lampung Tengah, Tanggamus, dan lainnya.


(25)

Mengacu data Sensus BPS (Badan Pusat Statistik) Lampung di tahun 2010, berdasarkan kriteria etnik/bangsa diperoleh data statistik, di Provinsi Lampung terdapat mayoritas Etnik Jawa sebanyak 4.113.731 (61,88 %), Etnik Lampung 792.312 (11,92 %), Etnik Sunda (Banten) 749.566 (11,27 %), Etnik Palembang Semendo 36.292 (3,55%), dan etnik lainnya seperti Bengkulu, Batak, Bugis, Minang, Tionghoa, Bali, Madura, dan lain-lain. Kondisi masyarakat yang begitu beragam dimungkinkan memicu terjadinya gesekan antar kelompok etnik. Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah dengan berbagai keragaman, baik agama, karakter budaya, identitas etnik, pola-pola adat, kondisi geografis, rasa, dan ungkapan bahasa, serta berbagai kategori lainnya.

Kesalahan dalam menyikapi keragaman identitas etnik, budaya, dan agama dalam kehidupan bermasyarakat tercermin padabeberapa kasus kerusuhan sosial di Provinsi Lampung. Pada tingkatan kabupaten, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tanggamus merumuskan peta kerawanan dan ancaman sosial yang dapat memicu terjadinya konflik (Lampost, 2014). Hasil evaluasi (penilaian) dan inventarisasi (pencatatan) diketahui sedikitnya ada 12 indikasi konflik di Bumi Begawi Jejama, Kabupaten Tanggamus. Beberapa titik kerawanan yang dapat memicu konflik tersebut diantaranya lokasi kawasan industri maritim (KIM) di Kecamatan Limau dan Kota Agung Timur terkait permasalahan petani penggarap lahan Pertamina dan LSM Petani Batubalai Bersatu (PBB) dengan Pertamina, PT. Rapindo Jagad Raya dan Pemkab Tanggamus. Kemudian, penganut aliran keagamaan, seperti ahmadiyah di


(26)

Kecamatan Talang Padang, Syi’ai dan Ikhwanul Muslimin di Kecamatan Gisting, Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) di Kecamatan Limau.

Selanjutnya, PT. Tanggamus Indah di Kecamatan Kotaagung Timur, lokasi pertambangan emas PT. Natarang Mining di Kecamatan Bandar Negeri Semoung, lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi di Kecamatan Ulubelu, calon lokasi pembangunan pembangkit listrik tenaga Microhidro di Kecamatan Semaka, perambahan hutan TNBBS di Kecamatan Semaka dan Pematangsawa, kawasan hutan lindung dan hutan kemasyarakatan (HKm).

Konflik nelayan obor dan nelayan yang menggunakan jaring curshing di Kecamatan Kelumbayan, konflik tapal batas Kecamatan Bandar Negeri Semoung dan Bandar Suoh (Lampung Barat), objek-objek vital di Tanggamus dan konflik kriminalitas disepanjang jalan lintas barat (Jalinbar) yang marak pembegalan.

Kasus terakhir adalah kerusuhan di Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus. Sejumlah warga Pekon Way Kerap membakar rumah di Pekon Sukaraja, Kecamatan Semaka. Pembakaran rumah tersebut sebagai aksi serangan balasan atas insiden kekerasan yang menimpa seorang pemuda warga Way Kerap. Pemuda tadi disangka pelaku pencurian sehingga dihajar warga Sukaraja. Aksi main hakim sendiri yang ternyata salah sasaran berbuntut pada kekerasan dan keberutalan warga.

Secara khusus, hampir seluruh wilayah di Kabupaten Tanggamus memiliki potensi konflik yang khas bila mengacu pada kondisi ditiap wilayah. Realitas/ kenyataan ini menujukkan bahwa Kabupaten Tanggamus memiliki potensi


(27)

konflik yang cukup mengkhawatirkan bila tidak dilakukan serangkaian upaya pencegahan konflik.

B. Rumusan Masalah

Melihat situasi kekinian akan potensi konflik sosial yang begitu menonjol, maka diperlukan upaya pemetaan dan identifikasi wilayah rawan konflik di Kabupaten Tanggamus. Gambaran mengenai wilayah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan) di Kabupaten Tanggamus memiliki ciri pembeda yang kontras. Pada aspek ini ditiap wilayah tersebut juga memiliki potensi konflik sosial yang berbeda pula. Berdasarkan pada realitas (kenyataan) tersebut, maka pertanyaan penelitian yang akan diajukan ialah “Bagaimana peta potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus merujuk pada kategori wilayahrural(pedesaan) danurban(perkotaan)?”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan peta potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus yang merujuk pada kategori wilayah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan). Selain itu, diharapkan mendapatkan gambaran mengenai situasi terkini mengenai potensi konflik sosial dan pola persebarannya berdasarkan wilayah rural dan urban di Kabupaten Tanggamus.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, diantaranya yakni:


(28)

a. Manfaat Teoritis

Manfaat penelitian ini bila dilihat dari aspek teoritis, diharapkan nantinya penelitian ini mampu memperkaya literatur atau kajian mengenai pemetaan potensi konflik sosial. Dilihat dari aspek metodologis (ilmu-ilmu/cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran), hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi proses penelitian selanjutnya, khususnya untuk lingkup yang lebih spesifik.

b. Manfaat Praktis

Adapun pada aspek praktisnya yakni diharapkan penelitian ini nantinya dapat memberikan masukan yang berarti bagi para pemangku kepentingan (stakeholders), baik pihak kepolisian daerah, pemerintah daerah, dan dinas-dinas terkait di lingkungan Pemkab Tanggamus, dalam menciptakan situasi rasa aman di tengah masyarakat.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Pemetaan Sosial

Pemetaan sosial (social mapping) kini lazim digunakan sebagai satu pendekatan dalam penanganan masalah sosial. Bila ditelusuri secara harfiah, kata “pemetaan” merujuk pada proses, cara, perbuatan membuat peta, sedangkan kata “sosial” secara sederhana dimaknai berkenaan dengan masyarakat. Adapun secara terminologis, (Suharto, 2005) memberikan penjelasan bahwa pemetaan sosial merupakan proses penggambaran masyarakat yang sistemik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi mengenai masyakat termasuk di dalamnya profile (riwayat) dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut.

Jauh sebelum itu, Netting, Kettner dan McMurty ditahun 1993 telah memberikan gambaran ringkas tentang pemetaan sosial. Mereka mendeksripsikan atau menjelaskan pemetaan sosial sebagai social profiling atau pembuatan profil suatu masyarakat (Suharto, 2005:82). Salah satu wujud atau hasil akhir pemetaan sosial lazimnya berupa suatu peta wilayah yang sudah diformat atau dirancang sesuai dengan fungsionalitasnya mencitrakan suatu image (gambaran) masalah sosial di tengah masyarakat. Bila mengacu


(30)

pada pandangan Netting, Kettner dan McMurty, ada tiga alasan mengapa diperlukan pendekatan yang sistematik dalam melakukan pemetaan sosial (Suharto, 2005:82), diantaranya yakni:

1. Pandangan mengenai “manusia dalam lingkungannya” (the person in-environment). Untuk konteks ini, masyarakat dimaknai sebagai seseorang yang memiliki sosok tertentu, mencakup beragam masalah yang dihadapi, hingga menerakan sumber-sumber apa saja yang tersedia untuk menangani masalah tersebut. Pengembangan masyarakat tidak akan berjalan baik tanpa pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh masyarakat tersebut.

2. Pengembangan masyarakat memerlukan pemahaman mengenai sejarah dan perkembangan suatu masyarakat serta analisis mengenai status masyarakat ini.

3. Masyarakat secara konstan berubah. Individu-individu dan kelompok-kelompok bergerak ke dalam perubahan kekuasaan, struktur ekonomi, sumber pendanaan dan peranan penduduk. Pemetaan sosial dapat membantu dalam memahami dan menginterpretasikan atau menafsirkan perubahan-perubahan tersebut.

B. Tinjauan tentang Konflik Sosial 1. Pengertian Konflik Sosial

Secara umum, konflik merupakan gejala sosial yang selalu hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren, artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu. Dalam kacamata sosial,


(31)

masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi (proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian) yang senantiasa berlangsung. Oleh karenanya, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial.

Kata “konflik” lazim dimaknai sebagai perselisihan atau pertentangan. Namun bila ditelusuri secara etimologis istilah “konflik” berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian, konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihal atau lebih (Setiadi dan Kolip, 2011).

Secara terminologis, (Jones, 2008) menekankan bahwa konflik merupakan perselisihan antara dua pihak atau lebih yang saling terkait dalam usaha mereka memperoleh tujuan. Lebih lanjut, (Jones, 2008) juga mengemukakan bahwa konflik merupakan fenomena sosial yang menyangkut perselisihan antara pihak. Pihak yang terlibat dalam konflik dapat berupa skala individu, kelompok, organisasi, negara, atau bangsa. Semakin banyak pihak yang terlibat konflik, semakin sulit untuk mengelola proses konflik. Hal tersebut akan berimplikasi (terlibat) untuk dihasilkannya sebuah keputusan atau penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak.

Beberapa definisi di atas telah memberikan gambaran bahwa konflik dapat dimaknai sebagai suatu sikap tidak sependapat, sebagai tindakan kompetisi


(32)

(saling berhadapan), atau sebagai hadirnya kepentingan-kepentingan yang saling tidak selaras. Uraian yang penting dari penggambaran konflik tersebut yakni didasarkan pada interaksi. Konflik diwujudkan dan dipelihara oleh perilaku masing-masing pihak yang terlibat dan reaksi di antara mereka.

Pertama, di dalam perilaku konflik masing-masing pihak merasa bahwa tujuan atau kepentingannya tidak saling berkesesuaian dan sama-sama menganggap pihak lain sebagai sumber penghambat di dalam mencapai tujuannya itu. Kata kuncinya adalah“anggapan” yang bersifat subjektif, yang mengarah pada unsur “merasakan (perceive)”. Tanpa memperhatikan apakah tujuan-tujuannya itu secara nyata tidak berkesesuaian, jika masing-masing pihak mempercayai bahwa hubungan di antara mereka dalam mencapai tujuan masing-masing menjadi tidak sesuai, maka kondisi tersebut sudah mengarah pada konflik. Jadi, interpretasi (penafsiran) dan kepercayaan masing-masing pihak memainkan peranan kunci di dalam konflik. Kedua, interaksi di dalam situasi konflik diwarnai oleh “saling ketergantungan (interdependence)” di antara masing-masing pihak. Untuk memunculkan konflik, perilaku salah satu pihak atau kedua belah pihak harus memiliki konsekuensi terhadap pihak yang lainnya.

2. Akar Penyebab Konflik

Menelaah perihal penyebab terjadinya konflik tidaklah mudah. Namun demikian, para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial, dan kekuasaan (power) yang


(33)

jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian tidak merata di masyarakat (Setiadi dan Kolip, 2011). Ketidakmerataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu berjuang untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan aset sosialnya relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian aset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga menambahnya. Pihak yang cenderung mempertahankan atau menambah disebut sebagai status quo (tetap) dan pihak yang berusaha mendapatkannya disebut sebagai statusneed(perlu) Berdasarkan gambaran tersebut, penyebab konflik dapat disederhanakan menjadi dua aspek, yaitu:

1. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, seperti suku bangsam agama, ras, dan majemuk secara sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi. Kemajemukan horizontal-kultural menimbukan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara dan gerakan separatisme (paham atau gerakan untuk memisahkan diri). Jika situasi ini terjadi, maka masyarakat tersebut akan mengalami disintegrasi (perpecahan). 2. Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang


(34)

kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial karena ada sekelompok kecil masyrakat yang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Polarisasi masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik sosial. Singkat kata, distribusi (pembagian) sumber-sumber nilai di dalam masyarakat yang pincang akan menjadi penyebab utama timbulnya konflik.

Lebih lanjut, beberapa pakar lain berpendapat perihal akar penyebab konflik secara lebih luas. Mereka berpendapat bahwa beberapa hal yang lebih mempertegas akar dari timbulnya konflik diantaranya:

1. Perbedaan antar-individu; diantaranya perbedaan pendapat, tujuan, keinginnan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan.

2. Benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik.

3. Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya menimbulkan kerawanan konflik.

4. Perbedaan kebudayaan yang mengakibatkan adanya perasaan in group (di dalam kelompok) dan out group (di luar kelompok) yang biasanya diikuti oleh sikap etnosentrisme kelompok, yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah paling baik, ideal, beradab di antara kelompok lain.

Namun demikian, para pakar tersebut memandang bahwa empat gejala sosial tersebut di atas bukanlah faktor penyebab utama terjadinya konflik sosial. Empat faktor tersebut adalah faktor pemicu terjadinya konflik, sedangkan pandangan penganut perspektif konsensus, penyebab utama (akar persoalan)


(35)

dari konflik sosial adalah disfungsi sosial. Disfungsi sosial disini bermakna nilai dan norma sosial yang ada di dalam struktur sosial masyarakat tidak lagi ditaati, pranata sosial (sistem tata kelakuan dalam hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam masyarakat) dan sistem pengendaliannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Pandangan lain dikemukakan oleh para penganut teori konflik dimana penyebab utama konflik ialah adanya perbedaan atau ketimpangan hubungan dalam masyarakat yang memunculkan diferensiasi (proses) kepentingan. Menurut Turner ada beberapa faktor yang memicu terjadinya konflik sosial (Setiadi dan Kolip, 2011:363), diantaranya yakni:

1. Ketidakmerataan distribusi (pembagian) sumber daya yang sangat terbatas di dalam masyarakat.

2. Ditariknya kembali legitimasi (pengesahan) penguasa politik oleh masyarakat kelas bawah.

3. Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara mewujudkan kepentingan.

4. Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas bawah serta lambatnya mobilitassosial ke atas.

5. Melemahnya kekuasaan negara yang disertai dengan mobilisasi (perpindahan) masyarakat bawah oleh elite.

6. Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideologi radikal (perubahan).


(36)

3. Tahapan Konflik

Ditinjau dari tahapan, konflik sosial secara sederhana dapat dibagi menjadi dua, yaitu konfliklatentdanmenifest. Konflik latentsering dimaknai sebagai konflik terpendam atau konflik potensial. Konflik pada tahap ini masih berada di bawah permukaan, tetapi gejala-gejala permusuhan sudah tampak. Sikap dan perilakunya mengekspresikan perasaan-perasaan yang bersifat kontra produktif, seperti kesal, dengki, benci, tidak puas, tidak setuju, dan sebagainya. Sedangkan konflik manifest sering disebut dengan konflik terbuka, yang diekspresikan dalam perilaku nyata dalam bentuk protes, perlawanan, penyerangan, penentangan, dan sejenisnya. Pada konflik terbuka ini dilihat dari tindakan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkannya, secara sederhana dapat dibagi dua, yaitu tanpa kekerasan dan dengan kekerasan. Konflik tanpa kekerasan termasuk konflik terbuka yang tidak menimbulkan kerugian dalam bentuk korban jiwa, harta benda, serta mengganggu keamanan dan merusak tatanan sosial dalam masyarakat. Sedangkan konflik kekerasan adalah yang menimbulkan kerugian semua itu. Konflik sosial menurut UURI No.7 Tahun 2012 adalah yang termasuk kategori konflik kekerasan.

Fisher et al. (2000) menjelaskan tentang tahapan konflik lebih rinci yang diurutkan menjadi empat tahapan, yaitu:

1. Prakonflik: tahap awal terjadinya konflik, adanya ketidaksesuaian sasaran di antara pihak-pihak yang berkonflik, misalnya memunculkan sikap tidak senang dan emosi.


(37)

2. Konfrontasi: konflik semakin terbuka disertai aksi-aksi kekerasan tingkat rendah, misalnya menyusun kekuatan.

3. Krisis: aksi-aksi kekerasan meningkat menyerupai periode perang, misal menyandera.

4. Akibat: aksi kekerasan menurun, ditandai oleh adanya negosiasi atau usaha untuk mengentikan konflik, misal satu pihak mundur akibat perlawanan yang tidak seimbang, tidak ada negosiasi.

Pascakonflik upaya pihak-pihak berkonflik untuk mengakhiri berbagai aksi kekerasan. Jika tidak ada upaya penyelesaian dengan baik, maka akan kembali pada tahap prakonflik. Gambar di bawah ini merupakan visualisasi “Pohon Konflik “ Interaksi antara Faktor Struktural, manifest dan dinamis. Gambar 1.Visualisasi “Pohon Konflik “ Interaksi antara

Faktor Struktural, manifest dan dinamis.


(38)

Pohon konflik adalah sarana visualisasi, menggambarkan interaksi antara faktor-faktor struktural, manifest dan dinamis. Akar sebagai pondasi melambangkan faktor struktural penyebab konflik yang terdiri dari; cultural discriminationatau diskriminasi (perbedaan) budaya,weak statesatau negara yang lemah, elite politics atau pemegang kekuasaan politik dan group histories atau sejarah kelompok masyarakat. Batang merupakan masalah nyata, yang menghubungkan faktor struktural dengan faktor dinamis terdapat land alienation (keterasingan lahan), dan refugee camp (tempat pengungsi). Daun yang bergerak dengan angin tersebut, merupakan faktor dinamis, terdiri dari; miscommunication atau salah paham, strike atau pemogokan, coups

d’etatatau kudeta (perebutan kekuasaan), religion(agama), fear(rasa takut).

Faktor dinamis meliputi bentuk komunikasi, tingkat eskalasi (kenaikan), aspek hubungan dan lain-lain. Bekerja dengan faktor dinamis melibatkan waktu yang singkat; reaksi terhadap intervensi (campur tangan) yang cepat dan pada waktu yang tak terduga. Contoh: intervensi diplomatik, atau transformasi (perubahan) multi-konflik berhadapan langsung dengan bentuk interaksi antara pihak-pihak konflik.

Lebih lanjut, pakar lainnya mengemukakan terdapat lima tahapan konflik yang dapat disajikan secara berurutan, yaitu: latent conflict, perceived conflict, felt conflict, manifest conflict, dan conflict aftermath (Husman, 1985).

1. Latet conflict. Menggambarkan suatu situasi di mana di dalamnya terdapat kondisi-kondisi persaingan di dalam memperoleh sumberdaya


(39)

langka, dorongan untuk mengelolanya sendiri, atau adanya perbedaan dalam mencapai tujuan.

2. Perceived conflict. Terjadi di mana masing-masing pihak menganggap adanya kondisi-kondisi konflik, dan di antara mereka juga tidak memahami posisinya masing-masing secara benar.

3. Felt conflict. Ini menggambarkan suatu tahapan di mana anggota kelompok yang berkonflik tidak hanya menyadari adanya kondisi konflik, mereka juga mengalami ketegangan karena konflik itu. Dengan kata lain, kondisi konflik tersebut telah mempengaruhi mereka.

1. Manifest conflict. Ini terjadi pada tahapan di mana ketegangan-ketegangan yang sudah terjadi di antara mereka sudah disalurkan (diungkapkan) melalui agresi secara terbuka atau melalui cara-cara tersembunyi (covert means).

2. Conflict aftermath. Tahapan ini menunjukkan hasil setelah konflik. Pada tahapan ini kondisi-kondisi konflik latent dapat menjadi konflik yang lebih besar apabila tidak ditekan dan diselesaikan.

Peneliti lain mencoba menggambarkan lebih lanjut lima tahapan konflik secara berurutan, yaitu: latent conflict, initiation, balancing of power, balance of power, dan disruption. Latent conflict, terjadi di mana masing-masing pihak saling menjaga perbedaan disposisi atau sikap yang membawa potensi konflik. Perbedaan nilai-nilai, tujuan, pandangan adalah hadir dan sebagai dasar perilaku mendatang. Inisiation (inisiasi) terjadi ketika terdapat “pemicu” konflik. Pada situasi ini perbedaan-perbedaan potensial menjadi dasar terjadinya interaksi. Balancing power (kekuatan penyeimbang) terjadi


(40)

di mana masing-masing pihak saling menilai kapabilitas pihak lain dan berkehendak untuk menggunakan kekuatan, ancaman, dan sebagainya, dan mereka secara nyata mengkonfrontasikan isu ketika mereka sampai pada penyelesaian. Balance of power (keseimbangan kekuasaan) terjadi ketika masing-masing pihak sampai pada suatu pemahaman konsekuensi (pendirian) dari resolusi (sesuatu yang hendak dicapai) dan belajar untuk menyesuaikan diri dengan hasil yang dicapai. Disruption (gangguan) terjadi ketika masing-masing pihak menyadari bahwa keadaan seperti itu dapat memunculkan konflik potensial dan pada akhirnya terjadi konfrontasi (permusuhan). Kondisi ini mengalami siklus menjadi inisiation sampai akhirnya konflik tersebut terselesaikan.

4. Penyelesaian dan Penanganan Pasca Konflik

John Galtung melihat konflik dari sisi subyektif dan obyektif yang dapat dikelola melalui ketiga strategi yang saling berhubungan, yaitu peace-keeping, peace making, dan peace building (Ryan, 1990). Pada dasarnya gagasan Galtung yang berhubungan dengan konflik ada tiga yaitu perbedaan antara kekerasan langsung (pembunuhan), kekerasan struktural (kemiskinan dan mati kelaparan), dan kekerasan budaya (apapun yang membutakan atau yang membenarkan kekerasan). Kekerasan langsung dapat diselesaikan dengan perubahan perilaku politik, kekerasan struktural dengan memindahkan kontradiksi (pertentangan) struktural dan ketidakadilan, dan kekerasan budaya dengan mengubah sikap.

Sedangkan pada pengelolaan konflik, para pakar mengajukan beberapa alternatif, yaitu bertanding (contending), mengalah (yielding), pemecahan


(41)

masalah (problem solving), menarik diri (withdrawing), dan diam (inaction). Hal ini juga dapat dilakukan dengan melalui intervensi (campur tangan) pihak ketiga. Pendapat lain menyatakan bahwa pihak ketiga tersebut bisa menyangkut fungsi, perilaku, struktur dan sumbangan yang diberikan.

Model penyelesaian konflik yang paling banyak dilakukan dimasyarakat adalah berbentuk intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud tersebut menyangkut fungsi, perilaku, struktur dan sumbangan yang diberikan. Bercovitch mengajukan model kombinasi antara sumber konflik, intensitas konflik dan keterlibatan pihak luar dalam menanganan konflik. Terlibat atau tidaknya pihak luar dalam proses konflik ini diklasifikasikan sebagai bentuk endogenous (variabel yang mempunyai anak panah menuju kearah variabel tersebut) dan exogenous (semua variabel yang tidak ada penyebab-penyebab eskplisitnya atau dalam diagram tidak ada anak panah yang menuju kearahnya). Keduanya merupakan penyelesaian konflik baik pada tingkat konflik terpendam maupun terbuka, dengan menggunakan cara-cara tersendiri sesuai dengan jenis keterlibatan dan intensitasnya. Di bawah ini merupakan kerangka acuan resolusi konflik sosial.

Tabel 2.1 Kerangka Acuan Resolusi Konflik Masalah Dituju Strategi

Penyelesaian

Kelompok Sasaran

Perilaku Kekerasan Peace-keeping (aktivitas militer)

Armed groups (‘warriors’) (kelompok bersenjata)


(42)

Kepentingan dirasa tidak berkesesuaian

Peace-making (aktivitas politik)

Para pengambil keputusan (pemimpin) Sikap negatif dan

struktur sosio-ekonomi

Peace-building (aktivitas

sosio-ekonomi)

Warga masyarakat biasa (‘pengikut’) Sumber: Ryan, 1990.

Di dalam kondisinya yang berkelanjutan itu ada tiga mekanisme pengelolaan konflik, yaitu model kultural, tradisional dan rasional. Semakin terbuka wujud konflik maka semakin mengarah pada model pengelolaan rasional. Pengelolaan konflik model kultural dilakukan untuk mencegah munculnya konflik terpendam agar tidak muncul ke permukaan. Mekanisme (cara kerja) pengelolaan konflik model tradisional agar tidak berkelanjutan, dilakukan dengan melalui kelembagaan lokal (atau lembaga adat) setempat.

Mekanismenya dilakukan dalam bentuk upacara, mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik, musyawarah kekeluargaan atau melalui pengadilan adat setempat. Kelemahan utama model ini adalah cenderung tidak dapat mengakomodasikan (memenuhi kebutuhan) masalah yang timbul sebagai akses dari kehidupan moderen yang majemuk, dan secara resmi tidak mempunyai kekuatan hukum atau dianggap bertentangan dengan hukum resmi. Pada model rasional, penyelesaian konflik yang dilakukan oleh negara melalui jalur lembaga peradilan atau lewat jalur lain yang memiliki kekuatan hukum tetap. Selain itu, negara yang mempunyai kekuatan memaksa yang memang dibentuk untuk tujuan penjagaan keamanan negara. Ada dua


(43)

kemungkinan menggunakan model ini, yaitu atas kesadaran rakyat sendiri yang berkonflik atau atas keputusan pemerintah setempat.

Pendekatan sensitif konflik melibatkan pemahaman yang baik dari interaksi dua arah antara kegiatan dan konteks serta bertindak untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif dari intervensi (campur tangan) konflik, dalam memberikan prioritas organisasi. Ada tiga komponen utama sensitivitas konflik:

1. Konflik, untuk memastikan pemahaman yang baik tentang konteks konflik;

2. Analisis interaksi potensial antara program dan konflik;

3. Aksi untuk memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif terhadap konflik.

Pendekatan tersebut dirangkum dalam gambar di bawah ini. Gambar 2. Operasionalisasi Sensitivitas Konflik


(44)

Konflik Sensitivitas Konsorsium bertujuan untuk memahami apa artinya "sensitivitas konflik" dalam hal sistem organisasi serta desain, implementasi (pelaksanaan), monitoring (pengawasan) dan evaluasi (penilaian) intervensi tertentu. Konsorsium terdiri dari beragam lembaga dan bertujuan untuk berbagi temuannya dalam hal kemanusiaan, sektor pembangunan perdamaian dan pembangunan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan menerapkan pendekatan sensitif konflik.

Pengelolaan hubungan antar kelompok berarti menangani sebab-sebab terjadinya konflik dan berusaha membangun hubungan yang bisa bertahan lama di antara beberapa pihak-pihak yang berkonflik (Fisher, dkk, 2001). Pengelolaan ini penting dilakukan terutama apabila telah terjadi konflik terbuka, dan disini diperlukan upaya perdamaian. Meningkatkan kedamaian melalui pengelolaan konflik merupakan suatu proses penyesuaian multidimensional, karena dimensi konflik tersebut bersifat cair. Artinya, konflik secara inheren bersifat dinamis dan oleh karena itu penyelesaiannya harus terlibat dengan pergeseran berbagai faktor yang kompleks tersebut. Memang diakui, bahwa peningkatan kualitas hubungan antar kelompok pada titik tertentu bisa terjadi peleburan identitas kelompok, dan pada sisi lain menjaga keberagaman eksistensi kelompok dipandang sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat yang hakiki, harus dipelihara keberadaanya dan diperkuat secara berkelanjutan. Pada sisi lain, dengan memelihara dan memperkuat identitas kelompok masing-masing pada titik tertentu dapat menjadikan konflik potensial berkembang menjadi konflik terbuka.


(45)

Upaya menyelesaikan konflik antar kelompok banyak yang dilakukan dengan menggunakan mekanisme (cara kerja) tradisional. Memperhatikan pentingnya faktor sosio-kultural, proses penyelesaian konflik dengan bantuan pihak ketiga dilakukan dengan menggunakan cara mediasi. Mekanisme penyelesaian secara tradisional cukup beragam karena lebih bersifat kasuistik. Cara ini termasuk dalam pendekatan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) yang lazim disingkat dengan ADR. Pentingnya pendekatan ini karena, pertama, sebagai mekanisme penyelesaian yang lebih mudah menyesuaikan diri dan responsif (cepat menanggapi) bagi kebutuhan masing-masing pihak berkonflik. Kedua, memperhatikan partisipasi aktif para anggota kelompok yang berkonflik. Ketiga, memperluas akses yang setara untuk mencapai hasil penyelesaian konflik yang berkeadilan. Keempat,dilihat dari beberapa kasus menunjukkan bahwa pendekatan tradisional ini bersifat kasuistik dengan menghasilkan beberapa alternatif penyelesaian yang tidak sama. Artinya, setiap konflik secara spesifik memiliki ciri-ciri tersendiri dan ketika tidak sesuai menggunakan alternatif penyelesaian yang satu, maka terbuka kemungkinan digunakan alternatif penyelesaian lain yang sesuai, sehingga para pihak dapat memilih mekanisme penyelesaian yang terbaik.

Penyelesaian konflik antar kelompok melalui cara mediasi, di dalamnya tidak mengabaikan proses negosiasi. Pada prinsipnya cara mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga sebagai penegah (mediator). Tanpa negosiasi maka tidak akan ada mediasi, karena mediasi merupakan perluasan dari proses negosiasi sebagai mekanisme penyelesaian konflik melalui mediator.


(46)

Di dalam mediasi yang berperan aktif adalah mediator, yang bersifat netral dan tidak memihak (imparsial) serta dapat menolong masing-masing pihak berkonflik untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang, dalam forum musyawarah (perundingan) untuk mencapai suatu kesepakatan damai.

Jadi, peran mediator adalah terbatas memberikan bantuan substantif dan prosedural kepada pihak-pihak berkonflik untuk menyelesaikan masalahnya. Kelemahannya adalah mediator terbatas hanya memberi saran, tidak memiliki kewenangan untuk memutus atau menerapkan suatu kesepakatan penyelesaian damai. Pihak-pihak berkonfliklah yang sebenarnya mempunyai otoritas dalam membuat keputusan berdasarkan consensus (kesepakataan) bersama.

Proses perundingan melalui mediasi dikatakan ideal manakala memenuhi tiga kepuasan, yaitu : kepuasan substantif, prosedural dan psikologis. Kepuasan substantif berhubungan dengan kepuasan khusus dari para pihak yang berkonflik. Misalnya, terwujudnya penggantin kerugian ataupun karena jalannya perundingan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif tepat dan singkat. Kepuasan prosedural terjadi apabila para pihak mendapatkan kesempatan yang sama dalam menyampaikan gagasannya selama berlangsungnya perundingan atau karena adanya kesepakatan yang diwujudkan ke dalam perjanjian tertulis untuk dilaksanakan. Sedangkan kepuasan psikologis menyangkut tingkat emosi para pihak berkonflik yang terkendali, saling menghargai, penuh keterbukaan serta dilakukan dengan sikap positif dalam memelihara hubungan pada masa-masa mendatang.


(47)

Mediasi mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan jalur pengadilan. Kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya, membuatnya sebagai pilihan terakhir. Mediasi perasaan persamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir yang dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Sumarjono, Ismail, & Isharyanto (2008) mengungkapkan upaya untuk mencapai win-win solutionitu ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya:

1. Proses pendekatan obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima dan memberikan hasil yang saling menguntungkan, jika menitikberatkan pada kepentingan sumber konflik, bukan pada posisi para pihak.

2. Kemampuan yang seimbang dalam negosiasi atau musyawarah. Perbedaan kemampuan tawar-menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak satu terhadap pihak yang lainnya.

Ada berbagai keuntungan lain menggunakan mediasi. Beberapa diantaranya adalah :

1. Ada dua azas penting.Pertama, menghindari menang “kalah” (win-lose), melainkan “sama-sama menang” (win-win solution). Ini tidak saja dalam arti ekonomi atau keuangan, melainkan juga kemenangan moril, reputasi (nama baik dan kepercayaan). Kedua, putusan tidak mengutamakan pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar kesejajaran kepatutan dan rasa keadilan;


(48)

2. Mempersingkat waktu penyelesaian dari pada melalui pengadilan. Lamanya waktu penyelesaian dalam berperkara selain menyebabkan beban ekonomi keuangan dan beban psikologis yang mempengaruhi berbagai sikap dan kegiatan pihak yang berperkara.

3. Berperkara menimbulkan efek sosial yaitu putusnya persaudaraan atau hubungan sosial. Ini dapat meluas sampai kepada hubungan kekerabatan. Hal ini dapat terjadi karena suatu perkara bukan saja menjadi kepentingan dan “harga diri” yang dapat merambat pada kerabat. Suatu perkara bukan hanya melukai pihak-pihak melainkan juga kerabat. Mediasi dapat menghindarkan semua itu, dan hubungan yang retak dapat direkatkan kembali;

4. Sangat sesuai dengan dasar pergaulan sosial masyarakat Indonesia yang mengutamakan dasar kekerabatan, paguyuban, kekeluargaan dan gotong-royong. Dasar-dasar tersebut telah membentuk tingkah laku toleransi, mudah memaafkan, dan mengedepankan sikap mendahulukan kepentingan bersama. Merupakan instrumen yang baik menyelesaikan sengketa untuk menjaga dasar-dasar kekerabatan, paguyuban atau kekeluargaan;

5. Merupakan gejala global. Menyadari peliknya berperkara, maka mediasi sebagai alternatif cara penyelesaian sengketa telah berkembang secara global. Baik sebagai keluarga bangsa-bangsa maupun sebagai bagian dari tata cara hubungan hukum secara internasional, merupakan cara yang tepat menyelesaikan sengketa;


(49)

6. Dari sudut penyelenggaraan peradilan ada beberapa keuntungan mediasi. Pertama, makin banyak sengketa diselesaikan, mengurangi jumlah perkara yang masuk ke pengadilan. Kedua, pada tingkat kepercayaan sosial yang rendah terhadap hakim, mediasi merupakan salah satu alat penangkal, karena penyelesaiannya ditentukan oleh pihak-pihak. Ketiga, secara bertahap berperkara di pengadilan dapat lebih diarahkan pada persoalan-persoalan hukum (bukan nilai perkara) yang kompleks dan mendasar yang akan mempengaruhi perkembangan hukum.

Meskipun demikian, mediasi yang berpangkal pada cooperative paradigm (paradigma koperatif) atau kepentigan masyarakat dan kepentingan negara juga mengandung kelemahan. Pertama, kemungkinan terjadinya kolusi (perbuatan tidank jujur) di antara salah satu pihak yang bersengketa karena sifat mediasi yang voluntary (sukarela) dan bukannya mandatory (perintah). Kedua,terhadap kesepakatan yang dicapai mungkin tidak dapat dilaksanakan sebab tidak adanya kekuatan. Ketiga, kesepakatan mediasi bisa disalahgunakan.

Upaya mediasi memang lebih dekat dengan ruang kehidupan masyarakat tradisional dan didukung nilai-nilai budaya setampat. Hanya saja, penyelesaian sengketa melalui musyawarah lebih ditekankan untuk menjaga keharmonisan kehidupan kelompok dan kadang-kadang dapat mengabaikan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa. Pada kasus tertentu, mediasi merupakan cara penyelesaian yang dipandang lebih efektif.


(50)

5. Konflik Sosial dan Masyarakat Multikultural

Sebagaimana dikemukakan dalam paparan pada subbab sebelumnya, konflik sering diasumsikan sebagai bentuk keadaan yang negatif seperti, perselisihan, disintegrasi (perpecahan) penyimpangan, destruktif (merusak), dan sebagainya. Pada aspek ini konflik sering pula identik dengan kekerasan atau peperangan yang berdarah-darah. Pernyataan tersebut mendapat respon skeptis (ragu-ragu) seperti yang diungkapkan (Suharto, 2005), “padahal konflik merupakan keniscayaan dalam masyarakat sejalan dengan proses pemenuhan kebutuhan komunitas dan perubahan sosial”(Suharto, 2005: 222) juga menambahkan bahwa konflik selalu terjadi dalam setiap komunitas karena perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumber daya senantiasa dijumpai dalam masyarakat, terlebih dalam masyarakat multikultural yaitu masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan.

Pakar lainnya juga menegaskan bahwa konflik berfungsi sebagai penyatuan masyarakat dan sebagai sumber perubahan. Selain itu, konflik juga berfungsi menghilangkan unsur-unsur pegganggu dalam hubungan. Dalam hal ini, konflik berfungsi sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang bertentangan mempunyai kedudukan penstabil dan menjadi komponan pemersatu hubungan.

Pembahasan pada beberapa konsepsi di atas, memberikan gambaran bahwa potensi konflik akan selalu ada di tengah masyarakat, tidak hanya pada komunitas yang multikultur. Dalam hal ini diperlukan upaya untuk mengenali potensi konflik yang ada di tengah masyarakat tersebut. Konsepsi yang lazim gunakan dalam mengenali situasi tersebut biasa dinyatakan sebagai upaya


(51)

deteksi dini. Deteksi dini konflik merujuk pada penemuan dan pengenalan gejala dan sumber-sumber yang dianggap berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman yang dapat berakibat munculnya konflik atau kemungkinan munculnya konflik lanjutan (Rudito & Famiola, 2008). Dalam pendeteksian dini, sangat diperlukan pengetahuan tentang hubungan sosial antar-kelompok atau golongan sosial yang terjadi. Didalamnya terkandung juga pengetahuan tentang anggapan dan prasangka yang ada dalam satu kelompok atau golongan sosial terhadap kelompok atau golongan lainnya.

C. Tinjauan tentang MasyarakatRuraldanUrban

Pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia yaitu, Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suatu kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar


(52)

interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.

Desa adalah bentuk pemerintahan terkecil yang ada di negeri ini. Luas wilayah desa biasanya tidak terlalu luas dan dihuni oleh sejumlah keluarga. Mayoritas penduduknya bekerja di bidang agraris dan tingkat pendidikannya cenderung rendah. Karena jumlah penduduknya tidak begitu banyak, maka biasanya hubungan kekerabatan antarmasyarakatnya terjalin kuat. Para masyarakatnya juga masih percaya dan memegang teguh adat dan tradisi yang ditinggalkan para leluhur mereka. Menurut UU No. 5 Tahun 1979 desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat dan hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagian besar warga masyarakat pedesaan memiliki mata pencaharian sebagai petani. Pekerjaan-pekerjaan yang di luar pertanian merupakan pekerjaan sambilan yang biasa mengisi waktu luang. Masyarakat pedesaan di Indonesia bersifat homogen (sejenis), seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat, dan sebagainya. Selain itu, kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia identik dengan dengan istilah gotong-royong yang merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka.


(53)

Kerja bakti itu ada dua macam, yaitu kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbul dari inisiatif warga masyarakat itu sendiri, dan kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya tidak dari inisiatif warga itu sendiri.

Secara umum kota adalah tempat bermukimnya warga kota, tempat bekerja, tempat kegiatan dalam bidang ekonomi, pemerintah dan lain-lain. Dengan kata lain, Kota adalah suatu ciptaan peradaban budaya umat manusia. Kota sebagai hasil dari peradaban yang lahir dari pedesaan, tetapi kota berbeda dengan pedesaan, karena masyarakat kota merupakan suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya, dan juga merupakan suatu kelompok terorganisasi yang tinggal secara kompak di wilayah tertentu dan memiliki derajat interkomuniti yang tinggi.

Dilihat dari kenyataan yang tampak pada saat ini dalam sudut pandang geografi, kota merupakan suatu daerah yang memiliki wilayah batas administrasi dan bentang lahan luas, penduduk relatif banyak, adanya heterogenitas penduduk, sektor agraris sedikit atau bahkan tidak ada, dan adanya suatu sistem pemerintahan.

Secara sosiologis penekanannya pada pola hubungan serta kesatuan masyarakat industri, bisnis, dan wirausaha lainnya dalam struktur yang lebih kompleks. Sedangkan secara fisik, kota dinampakkan dengan adanya gedung-gedung yang menjulang tinggi, hiruk pikuknya kendaraan, pabrik, kemacetan, kesibukan warga masyarakatnya, persaingan yang tinggi, polusinya, dan sebagainya. Masyarakat di perkotaan secara sosial


(54)

kehidupannya cendrung heterogen, individual, persaingan yang tinggi yang sering kali menimbulkan pertentangan atau konflik. Munculnya sebuah asumsi yang menyatakan bahwa masyarakat kota itu pintar, tidak mudah tertipu, cekatan dalam berpikir, dan bertindak, dan mudah menerima perubahan, itu tidak selamanya benar, karena secara implisit dibalik semua itu masih ada masyarakatnya yang hidup di bawah standar kehidupan sosial.

Karakteristik masyarakat desa pada umumnya kehidupannya tergantung pada alam, ini disebabkan oleh lokasi geografis pedesaan dan anggotanya saling mengenal, sifat gotong royong erat, penduduknya sedikit perbeda an penghayatan dalam kehidupan religi lebih kuat. Karakteristik masyarakat perkotaan yaiitu hubungan suasana yang saling memepengaruhi, keprcayaan yang kuat akan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai sarana masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraan dalam kehidupan, masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesi yang dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata, hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks.

Menurut Max Weber mengenai “kota”, para ahli kemasyarakatan telah menekankan perbedaan-perbedaan antara masyarakat kota dan desa (Weber,1977). Pandangan yang berlaku dahulu bahwa kota adalah “modernt”, bahwa wilayah perkotaan merupakan pusat-pusat perubahan sosial, sedangkan masyarakat selalu terbelakang dan “tradisional”, tidak lagi berlaku. Begitu banyak telah memperlihatkan bukti empiris, bahwa istilah


(55)

tradisional atau modernt tidak harus sejalan berbarengan dengan wilayah pedesaan atau perkotaan. Sebuah kota merupakan suatu system kapitalis dunia, sedangkan wilayah pedesaan tetap terikat pada ekonomi subsistem prakapitalis, tetap diragukan. (Hans-Dieter Evers, 1979). Perbedaan masyarakat pedesaan (rural) da masyarakat perkotaan (urban) yaitu:

1. Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam, Masyarakat perdesaan berhubungan kuat dengan alam, karena lokasi geografisnya di daerah desa. Penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan dan hukum alam. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di kota yang kehidupannya “bebas” dari realitas alam.

2. Pekerjaan atau Mata Pencaharian, Pada umumnya mata pencaharian di dearah perdesaan adalah bertani tapi tak sedikit juga yang bermata pencaharian berdagang, sebab beberapa daerah pertanian tidak lepas dari kegiatan usaha.

3. Ukuran Komunitas, Komunitas perdesaan biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan.

4. Kepadatan Penduduk, Penduduk desa kepadatannya lebih rendah bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk kota, kepadatan penduduk suatu komunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota itu sendiri.

5. Homogenitas dan Heterogenitas, Homogenitas atau persamaan ciri-ciri sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku nampak pada masyarakat perdesaan bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Di kota sebaliknya penduduknya heterogen, terdiri


(56)

dari orang-orang dengan macam-macam perilaku, dan juga bahasa, penduduk di kota lebih heterogen.

6. Diferensiasi Sosial, Keadaan heterogen dari penduduk kota berindikasi pentingnya derajat yang tinggi di dalam diferensiasi Sosial.

7. Pelapisan Sosial, Kelas sosial di dalam masyarakat sering nampak dalam bentuk “piramida terbalik” yaitu kelas-kelas yang tinggi berada pada posisi atas piramida, kelas menengah ada diantara kedua tingkat kelas ekstrim dari masyarakat.

Masyarakat pedesaan dan perkotaan memiliki kesamaan yaitu, sama-sama mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara, adil dimata hukum, sama rata tidak ada diskriminasi (perbedaan perlakuan secara tidak adil), sama-sama wajib membela dan mempertahankan negara, sama-sama-sama-sama wajib bahu-membahu dalam membuat Indonesia menjadi lebih makmur.

Dalam hal keburukan suatu komunitas, kota menempati urutan pertama dalam tingkat kesadaran masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakatnya yang beragam dan kondisi sosial dari lingkungan kota itu sendiri, dengan berbagai pengaruh yang berasal dari berbagai sumber serta bidang yang menyertainya. Sisi negative dari kota dapat dilihat dari kebersamaan masyarakatnya yang kurang dan biasanya akan tercipta kelompok-kelompok tertentu yang memiliki perbedaan pandangan, kepedulian yang makin berkurang diantara sesama juga merupakan salah satu hal yang seharusnya perlu dihindari. Hal-hal tersebutlah yang biasanya akan menyebabkan pertikaian diantara kelompok tertentu dengan mengrsampingkan


(57)

norma-norma yang ada. Sedangkan di pedesaan hal negative yang dapat terlihat adalah masyarakat desa yang kurang dalam mendapat informasi aktual dan disusul dengan keterlambatan mereka dalam menerima informasi karena kondisi wilayah atau geografis desa mereka, serta pemahaman mereka mengenai hal baru yang ada di dunia.

Pada kenyataannya tidak semua masyarakat membentuk sebuah harmonisasi. Pada kondisi-kondisi tertentu hubungan antara masyarakat diwarnai berbagai persamaan. Namun sering juga didapati perbedaan-perbedaan, bahkan pertentangan dalam masyarakat. Hal-hal seperti itulah yang menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah Pertentangan sosial dan integritas masyarakat. Ada pun di bawah ini yang merupakan bagian dari faktor penyebab konflik :

1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. 2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk

pribadi-pribadi yang berbeda.

3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.

4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarak

D. Kerangka Pemikiran

Sebagaimana yang telah dibahas pada bagian awal, banyak wilayah di Kabupaten Tanggamus yang memiliki potensi konflik sosial. Menariknyaa, potensi konflik sosial yang ada ditiap wilayah tersebut, memiliki ciri yang


(58)

khas. Gambaran ini menujukkan bahwa Kabupaten Tanggamus memiliki potensi konflik yang cukup mengkhawatirkan bila tidak dilakukan serangkaian upaya pencegahan konflik. Wilayah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan), dengan segala karakteristiknya, juga harus mampu dipetakan dengan baik sebagai upaya deteksi dini konflik, sebagaimana yang telah dikemukakan (Rudito & Famiola, 2008).

Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Husman (1985) tentang tahapan konflik, latent conflict (konflik laten), perceived conflict (konflik yang dirasakan), felt conflict (merasa konflik), manifest conflict (konflik manifest), dan conflict aftermath (setelah konflik). Nantiya dengan teori tersebut akan coba digambarkan potensi konflik sosial yang mengacu pada kategori wilayahruraldanurbandi Kabupaten Tanggamus.

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

Potensi Konflik Sosial

latent conflict,perceived conflict,felt conflict, manifest conflict, dan

conflict aftermath

Rural Urban


(59)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Mengingat penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh, mendalam dan lengkap, maka tipe penelitian yang sangat memungkinkan untuk mendukung hal tersebut di atas adalah tipe penelitian deskriptif. Penggunaan tipe penelitian deskriptif ini, juga diharapkan mampu untuk mengetahui dan menjelaskan peta potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus yang merujuk pada kategori wilayah rural(pedesaan) dan urban (perkotaan).

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kuantitatif. Data yang digunakan ialah data intensitas (frekuensi) baik yang sifatnya masih berupa potensi konflik ataupun konflik yang telah terjadi di Kabupaten Tanggamus Tahun 2014. Kajian komparatif dalam penelitian ini berupa komparatif deskriptif (descriptive comparative) sebagaimana yang dikemukakan Ulber (2009), yakni membandingkan dua gejala atau lebih. Penggunaan komparatif deskriptif bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan peta potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus yang merujuk pada kategori wilayah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan). Untuk selanjutnya, kajian komparasi yang dilakukan akan menemukan


(60)

persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus pada wilayahrural(pedesaan) danurban(perkotaan).

B. Definisi Konseptual

Guna memudahkan dalam penafsiran berbagai teori yang ada dalam penelitian ini, maka ditentukan beberapa definisi konsep yang berhubungan dengan apa yang akan diteliti. Untuk konteks ini definisi konseptual yang dikaji dalam penelitian ini merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Husman (1985) tentang pentahapan konflik, diantaranya yakni:

1. Latent conflict. Menggambarkan suatu situasi di mana di dalamnya terdapat kondisi-kondisi persaingan di dalam memperoleh sumberdaya. 2. Perceived conflict. Terjadi di mana masing-masing pihak menganggap

adanya kondisi-kondisi konflik.

3. Felt conflict. Ini menggambarkan suatu tahapan di mana anggota kelompok yang berkonflik tidak hanya menyadari adanya kondisi konflik. 4. Manifest conflict. Ini terjadi pada tahapan di mana ketegangan-ketegangan

yang sudah terjadi di antara mereka sudah disalurkan (diungkapkan) melalui agresi secara terbuka atau melalui cara-cara tersembunyi (covert means).


(61)

C. Definisi Operasional

Adapun operasionalisasi konseptual guna mengukur variabel yang dikaji dalam penelitian ini secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini:

Variabel Indikator

Latet conflict

• Kondusifitas wilayah tempat tinggal responden • Pola interaksi masyarakat di wilayah sekitar

tempat tinggal responden

Perceived conflict

• Isu tertentu yang dimungkinkan menjadi penyebab/potensi konflik sosial

Felt conflict

• Gambaran eksalasi isu potensi konflik, dari prakonflik hingga menuju konflik nyata

Manifest conflict

• Rangkaian kejadian konflik terbuka, mencakup: lokasi, waktu, pihak yang terlibat, dan dampak yang ditimbulkan

Conflict aftermath

• Peran stakeholders dalam menyikapi potensi konflik yang ada ditengah masyarakat • Pihak mana saja yang terlibat dalam

menyelesaikan konflik

D. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk mendapatkan gambaran sebagaimana yang menjadi tujuan penelitian, maka penelitian ini membatasi diri dengan lingkup penelitian yang hanya untuk mengetahui dan menjelaskan peta potensi konflik sosial di Kabupaten


(62)

Tanggamus yang merujuk pada kategori wilayah rural(pedesaan) dan urban (perkotaan). Identifikasi wilayahruraldanurbanmerujuk pada kategori yang ditetapkan oleh Kepolisisan Daerah (Polda) Lampung. Penelitian ini merupakan penelitian kolaboratif yang diselenggarakan secara bersamaan dengan kegiatan “Pemetaan Daerah Rawan Konflik Sosial di Kabupaten Tanggamus” oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tanggamus. Oleh karenanya, lingkup penelitian yang mencakup seluruh kabupaten yang ada di Tanggamus memungkinkan untuk dilakukan.

E. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sepenuhnya data sekunder. Data tersebut diperoleh dari lembaga pemerintah daerah Kabupaten Tanggamus. Untuk lingkup ini, ada beberapa lembaga pemerintah daerah Kabupaten Tanggamus yang merilis data konflik sosial di tahun 2014, diantaranya yakni: Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kab. Tanggamus dan Kepolisian Resort Tanggamus. Selain itu, digunakan juga data sekunder yang bersumber dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Lampung.

F. Analisis Data

Data penelitian yang telah diperoleh dari lapangan, dianalisis agar data tersebut dapat digunakan sebagai landasan empirik dalam menjawab rumusan


(63)

masalah penelitian. Adapun teknik pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini meliputi: (1) pengeditan data (editing), pada tahap ini dilakukan dengan pemeriksaan atau koreksi data yang telah dikumpulkan. Hal ini dapat juga untuk melengkapi kekurangan atau menghilangkan kesalahan yang terdapat pada data sekunder yang telah diperoleh, dan; (2) interpretasi data, pada tahap ini dilakukan dengan memberikan penafsiran atas hasil penelitian untuk dicari makna yang lebih luas dengan menghubungkan jawaban yang diperoleh dengan data lain. Penyajian data secara deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran umum hasil jawaban pertanyaan yang diajukan kepada responden. Lingkup penyajian data secara deskriptif meliputi penyajian data secara komparatif guna memperoleh gambaran mengenai potensi konflik ditiap wilayah, baik rural (pedesaan) maupun urban (perkotaan). Analisis lanjutan akan menelusuri lebih jauh tentang persamaan dan perbedaan terkait dengan potensi konflik sosial pada kedua kategori wilayah tersebut.


(64)

IV. GAMBARAN UMUM LINGKUP PENELITIAN

4.1 Aspek Geografi dan Demografi 4.1.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah A. Luas dan Batas Wilayah Administrasi

Kabupaten Tanggamus merupakan salah satu dari 15 (lima belas) Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Lampung yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1997 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten Daerah Tingkat II Tanggamus, yang diundangkan pada tanggal 3 Januari 1997 dan diresmikan menjadi Kabupaten pada tanggal 21 Maret 1997.

Kabupaten Tanggamus memiliki luas wilayah 4.654,96 Km2 yang terdiri dari daratan 2.855,46 Km2 dan lautan 1.799,50 Km2 dengan batas-batas wilayah administratif sebagai berikut :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Pringsewu.

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.  Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pringsewu.  Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Barat.

Wilayah Tanggamus dimasuki oleh penjajah Belanda pada tanggal 24 Agustus 1682 melalui ekspedisi perdagangan VOC. Hal ini terjadi akibat


(65)

imbas dari berkuasanya Sultan Haji sebagai pengganti Sultan Ageng Tirtayasa. Dari tahun 1682 sampai 1799 perlawanan terhadap Belanda masih berlangsung namun sejak tahun 1856 perlawanan terhadap pemeritahan Belanda mulai surut selanjutnya di wilayah Tanggamus dibentuk Onder Afdeling yang dipimpin oleh seorang Controlir di Kota Agung. Pada saat itu Pemerintahan telah dilaksanakan oleh Pemerintahan Adat yang disebut Marga yang masing-masing dipimpin oleh seorang Pasirah yang membawahi beberapa Kampung, 5 (lima) Marga tersebut adalah :

1) Marga Gunung Alip, 2) Marga Benawang 3) Marga Belunguh,

4) Marga Pematang Sawa, dan 5) Marga Ngarip.

Gambar 4.1 Peta Wilayah Kabupaten Tanggamus


(1)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, beberapa kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian ini diantaranya:

1. Kabupaten Tanggamus memiliki cakupan wilayah yang cukup luas antara satu wilayah dengan wilayah lain. Kondisi tersebut dapat menjadi peluang dan atau penghambat, bahkan dapat juga menjadi ancaman dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk itu, penyediaan infrastuktur fisik dan non fisik yang mudah dijangkau/digunakan oleh masyarakat mesti menjadi perhatian khusus bagi kalangan stakesholders Pemkab Tanggamus.

2. Terkait dengan daerah rawan konflik sosial di Kabupaten Tanggamus, bila merujuk kategorisasi rural dan urban, secara intensitas frekuensi terdapat perbedaan yang mencolok antara kedua wilayah tersebut. Terlihat bahwa untuk wilayah rural terdapat 29 kasus sedangkan untuk urban terdapat 11 kasus. Dalam hal ini, dapat dikatakan, wilayah rural di Kabupaten Tanggamus cenderung memiliki potensi konflik sosial yang lebih tinggi dibandingkan untuk wilayah urban. Meskipun demikian, tidak serta merta bahwa untuk wilayah urban tidak berpotensi konflik sosial. Dalam melihat


(2)

realitas tersebut, perlu diperhatikan juga perbandingan jumlah wilayah rural dan urban yang ada di Kabupaten Tanggamus, dimana persentase wilayah rural sampai dengan 85 persen, sedangkan wilayah urban hanya 15 persen saja. Sesuai dengan kodratnya masyarakat pedesaan adalah manusia-manusia yang mempunyai sifat-sifat sebagai manusia biasanya yang antara lain mempunyai saingan dengan manifestasi sebagai sifat ini. Oleh karena itu maka wujud persaingan itu bisa positif dan bisa negatif. Positif bila persaingan wujudnya saling meningkatkan usaha untuk meningkatkan prestasi dan produksi atau output (hasil). Sebaliknya yang negatif bila persaingan ini hanya berhenti pada sifat iri, yang tidak mau berusaha sehingga kadang-kadang hanya melancarkan fitnah-fitnah saja, yang hal ini kurang ada manfaatnya sebaliknya menambah ketegangan dalam masyarakat.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa saran sebagai berikut:

1. Orientasi pembangunan daerah perlu mengedepankan model pembangunan partisipatif. Hal ini dimaksudkan agar disparitas/perbedaan antar wilayah di Kabupaten Tanggamus dapat diminimalisir. Dalam hal ini, Pemkab Tanggamus perlu meningkatkan investasi sosial dan pendistribusian pelayanan sosial dasar yang lebih luas, adil dan merata.

2. Bila melihat beragamnya bidang/lingkup konflik sosial yang ada di Kab. Tanggamus, maka pemerintah daerah dinilai perlu memfasilitasi dan meningkatkan peran lembaga sosial yang ada di tengah masyarakat dalam


(3)

upaya menciptakan suasana damai. Pada aspek ini Pemkab memberikan tawaran program pengembangan masyarakat yang merangkul beragam elemen entitas yang ada. Tujuan dari program tersebut nantinya mampu meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merealisasikan kepentingan-kepetingannya dengan memperhatikan keragaman/multikultur yang ada.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Kabupaten Tanggamus. 2014. Data daerah potensi rawan konflik Kabupaten Tanggamus Tahun 2014. Kota Agung: Kesbangpol Kab. Tanggamus.

Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2010. Lampung dalam angka 2010. Bandar Lampung: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung.

Eriyanto. 1999. Metodologi polling memberdayakan suara rakyat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Fisher et al. 2000. Mengelola konflik: ketrampilan dan strategi untuk bertindak. Jakarta: The British Council.

Hasan, M. Iqbal. 2008. Pokok-pokok materi statistik 2 (statistik inferensif). Jakarta: PT Bumi Aksara.

Husman, R.C. 1985.Reading in interpersonal and organizational communication. Boston: Holbrook Press, Inc.

Mason, A.S. & Rychard, S. 2005.Conflict analysis tools. Bern: Swiss Agency for Development and Cooperation SDC.

Tohari et al. 2011. Dinamika konflik dan kekerasan di Indonesia. Jakarta: Institut Titian Perdamaian.


(5)

Jones, T.S. 2008. "Conflict" encyclopedia of educational psychology. Ed. Neil J. Salkind, Thousand Oaks, CA.: SAGE Publications. Inc.

Ryan, S. 1990. Ethnic conflic and international relations. USA: Darmouth Publishing Company Limited.

Rudito, B. & Famiola, M. 2008. Social mapping, metode pemetaan sosial, teknik memahami suatu masyarakat atau komuniti. Bandung: Rekayasa Sains.

Setiadi, E.M. & Kolip, U. 2011. Pengantar sosiologi, pemahaman fakta dan gejala permasalahan sosial: teori, aplikasi, dan pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Suharto, Edi. 2005. Membangun masyarakat memberdayakan rakyat, kajian strategis pembangunan kesejahteraan sosial & pekerjaan sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

Sumarjono, M.S.W, Ismail, N & Isharyanto. 2008. Mediasi sengketa tanah potensi penerapan alternatif penyelesaian sengketa ADR di bidang pertanahan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Ulber, Silalahi. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.

Internet:

Antaranews. 2012. Konflik sosial di Indonesia semakin meningkat. Tanggal akses:19Februar2015. http://www.antaranews.com/berita/335047/konflik-sosial-di-indonesia-semakin-meningkat

Conflict Sensitivity Consortium. n.d..Conflict-sensitive approaches to development, humanitarian assistance and peacebuilding: resource pack.Tanggal akses: 19 Februari 2015. http://www.conflictsensitivity.org/


(6)

publications/conflict-sensitive-approaches-development-humanitarian-assistance-and-peacebuilding-res

JPNN. 2014, April 15.Inilah daerah rawan konflik sosial di Indonesia. Tanggal akses: 19 Februari 2015.

http://www.jpnn.com/read/2014/04/15/228539/Inilah-Daerah-Rawan-Konflik-

Sosial-di-Indonesia-Lampost.2014. Pemkab Tanggamus petakan indikasi terjadinya konflik. Tanggal akses: 19 Februari 2015. http://lampost.co/berita/pemkab-tanggamus-petakan-indikasi-terjadinya-konflik

Gerald85joshua. 2015. Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan & Pertentangan Sosial dan Integrasi Masyarakat. Tanggal akses 01 Oktober 2015. http://missthiny.blogspot.co.id/2015/01/ruang-lingkup-desa-dan-kota-serta.html