32 dan Tangerang banyak keluarga miskin menanam berbagai jenis komoditas pertanian di lahan yang sempit dipinggir
sungai dan menjualnya setiap hari ke pasar-pasar terdekat, yang merupakan sumber pendapatan mereka satu-satunya.
Tabel 22: Distribusi Keluarga Miskin menurut Pekerjaan UtamaSumber Pendapatan, 1996-2002
Sektor 1996 1998
1999 2000
2001 2002 Pertanian
Industri Jasa
68,5 6,7
24,7 56,7
7,4 35,9
58,4 8,7
32,9 51,7
13,8 34,5
63,0 11,9
25,1 67,4
10,3 22,3
Sumber: BPS
Tabel 23: Distribusi Keluarga Miskin menurut Sektor dan Wilayah: 2002
Sektor Perkotaan Perdesaan
Pertanian Kehutanan
Perikanan Pertambangan
Industri Listrik
Konstruksi Perdagangan
Transportasi Keuangan
Jasa-jasa Lainnya
31,11 0,23
1,48 1,25
12,17 0,10
9,67 14,06
8,94 0,69
8,14 0,04
69,09 1,34
2,23 0,49
4,98 0,02
3,63 5,00
2,73 0,08
2,40 0,06
Sumber: BPS.
Bukti empiris di Tabel 22 dan Tabel 23 merefleksi satu hal yang jelas, yakni penduduk di sektor pertanian pada umumnya selalu lebih miskin dibandingkan penduduk yang sumber pendapatan utamanya dari sektor-sektor
lainnya, terutama industri manufaktur, keuangan, dan perdagangan; walaupun pendapatan bervariasi menurut subsektor atau kelompok usaha di dalam masing-masing sektor tersebut. Sekarang pertanyaannya adalah: kenapa
lebih banyak kemiskinan di pertanian daripada di sektor-sektor lainnya? Tidak sulit untuk mendapatkan jawabannya, diantaranya distribusi lahan yang timpang, pendidikan petani dan pekerja yang rendah, sulitnya
mendapatkan modal, dan nilai tukar petani yang terus menurun.
V.1 Pembagian Lahan Yang Timpang
Satu faktor penyebab kemiskinan di pertanian adalah rendahnya produktivitas di sektor tersebut dan ini disebabkan antara lain oleh distribusi lahan pertanian yang sangat timpang; walaupun Indonesia punya Undang-
undang Agraris yang mengatur pembagian lahan secara adil. Data dari Sensus Pertanian SP menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia didominasi oleh jumlah yang besar dan meningkat terus dari petani skala kecil. SP paling
akhir tahun 2003 menunjukkan bahwa terdapat 25,437 juta petani yang menggunakanmemiliki lahan, 13,663 juta atau hampir 57-nya adalah petani marjinalgurem dengan lahan lebih kecil dari 0,5 hektar atau tanpa lahan. Pada
tahun 1993 jumlah petani yang memiliki lahan tercatat sekitar 20,518 juta orang atau tumbuh 1,8 per tahun, di mana jumlah petani gurem sebanyak 10,804 juta atau bertambah 2,6 per tahun selama periode 1993-2003. Di
Jawa, di mana sebagian besar dari jumlah penduduk Indonesia dan kemiskinan terkonsentrasi, jumlah petani marjinal naik 2,4 per tahun Tabel 24. Petani-petani gurem dan buruh tani petani tanpa memiliki tanah dengan
33 pendapatan terendah di sektor pertanian diidentifikasi sebagai penyebab sebagian besar kemiskinan di perdesaan
Mason dan Baptist, 1996.
Tabel 24: Distribusi Rumah Tangga Petani menurut Luas Lahan: 1983, 1993, 2003
Luas ha
1983 1993
2003 0,1
0,1-0,49 0,50-0,99
≥1,0 8,5
37,7 24,1
29,7 7,0
40,7 22,4
29,9 17,2
39,2 18,4
25,2
Sumber: BPS
Masalah ini diperparah oleh kenyataan bahwa peralihan lahan pertanian ke non-pertanian seperti untuk pembangunan jalan rayatol, perumahanapartemen, lapangan golf, pertokoanplazamall, perkantoran dan pabrik
dalam 10 tahun belakangan ini semakin pesat. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 25, untuk kasus lahan padi, walaupun setiap tahun ada lahan baru untuk pertanian, namun laju penambahannya lebih kecil daripada tingkat
konversinya sehingga setiap tahun jumlah lahan untuk sawah atau ladang padi terus berkurang. Di Jawa selama periode 1999-2003 luas lahan konversi tercatat sebesar 149,1 ribu hektar ha atau dengan tingkat konversi 4,425,
dan di luar Jawa mencapai hampir 424 juta ha atau 5,23.
Tabel 25: Perubahan-perubahan Lahan Padi di Indonesia, 1999-2003
Wilayah Luas lahan tetap untuk
padi tahun 1999 juta ha
Luas lahan padi yang hilang
000 ha Luas lahan baru untuk
padi 000 ha Luas lahan konversi
000 ha dari
konversi Jawa
Luar Jawa Indonesia
3,38 4,73
8,11 167,2
396,0 563,2
18,1 121,3
139,3 -149,1
-274,7 -423,9
4,42 5,81
5,23 Sumber: BPS
Socio-economic Accounting Matrix SAM dari BPS memberikan suatu cara lain dalam melihat relasi positif antara tingkat pendapatan dari petani dan luas lahan yang dimiliki oleh petani. Dalam SAM, kelompok-kelompok
rumah tangga pertanian dibagi dalam: buruh tani, petani yang memiliki lahan 0,5 hektar atau kurang, petani dengan lahan dari 0,5 hingga 1 hektar, dan petani dengan lahan lebih dari 1 hektar. Seperti dapat dilihat di Tabel
26, pekerjaburuh tani adalah dari kelompok keluarga tani dengan pendapatan terendah. Ini membuktikan bahwa kemiskinan di Indonesia tidak lepas dari masalah kemiskinan di pertanian, dan yang terakhir ini erat kaitannya
dengan masalah ketidak adilan dalam pembagian lahan pertanian.
Tabel 26: Pendapatan bersih per kapita menurut kelompok rumah tangga pertanian ribu rupiah, 1975-1999
Kelompok rumah tangga tani 1975
1980 1985
1990 1993
1995 1999
Buruh tani Petani dengan 0,5 hakurang
Petani dengan 0,501 – 1,0 ha Petani dengan 1,0 ha
40,1 43,3
57,7 84,4
102,2 133,9
154,8 198,9
238,1 228,7
342,0 553,7
415,3 548,9
656,5 1035,3
468,2 757,6
901,9 1471,8
616,7 934,5
1200,2 1758,8
1629,7 1676,9
2650,5 3422,3
Sumber: BPS
34 Memang, konversi lahan pertanian terjadi di mana-mana, tidak hanya di Indonesia, yang merupakan
konsukuensi langsung dari proses pembangunan ekonomi atau industrialisasi, pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat rata-rata per kapita. Namun demikian, sesuai sistem perekonomian Indonesia
yang berazas Pancasila yang mengedepankan keadilan sosial demi mencapai kesejahteraan masyarakat, pemerintah harus tetap berusaha, di satu sisi, memperlambat laju peralihan lahan pertanian, terutama mencegah
pemusatan kepemilikan tanah oleh keluarga-keluarga kaya atau pemodal-pemodal besar yang hidup di perkotaan untuk tujuan-tujuan non-produktif atau yang tidak menciptakan sumber pendapatan atau kesempatan kerja yang
signifikan bagi masyarakat, dan, di sisi lain, mempermudah petani mendapatkan sertifikat tanah. Jika penguasaan tanah oleh segelintir orang terus dibiarkan, sementara petani, khususnya dari kelompok skala kecil, tetap sulit
mendapatkan sertifikat tanah, akses petani ke tanah dan air akan semakin kecil dan berarti kemiskinan akan meningkat.
Padahal, tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa aksesibilitas atas tanah merupakan persyaratan mutlak bagi kesejahteraan dan keadilan sosial di negara agraris seperti Indonesia. Kata kunci dari aksesibilitas atas tanah
adalah property rights. Ketidak adilan dalam ekonomi dicerminkan salah satunya oleh lemahnya sistem property rights, yang hanya menguntungkan pihak pemilik modal besar. Hak petani atas tanah juga disinggug oleh Amartya
Sen dengan asumsi mengenai entitlement, yaitu tak seorang pun harus lapar, karena di dunia ini tersedia makanan berkecukupan. Mereka yang lapar hanya karena tidak memiliki akses untuk memproduksi makanan Hadar, 2006.
Kesalahan pemerintah Indonesia adalah pada awal pembangunan, atau tidak lama setelah Kemerdekaan 1945 tidak melakukan reformasi pembagian lahan pertanian, yang dikenal dengan sebutan land reform, dan jika
dilakukan saat ini sudah sangat terlambat karena hanya akan menghadapi hambatan-hambatan dari pihak tertentu yang merasa dirugikan oleh kebijakan seperti ini. Padahal sebenarnya reformasi pembagian lahan adalah bagian
dari kewajiban penegakan hak asasi manusia HAM oleh negara, yaitu hak atas makanan. Pemerintah Indonesia seperti pemerintah dari negara-negara lainnya di dunia berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar
ini dengan memberikan akses lahan, bibit, air dan sumber-sumber produktif lainnya kepda masyarakat, atau dalam hal ini petani, agar mereka bisa menyediakan sendiri makananya Hadar, 2006.
Banyak negara yang melakukan land reform dan hasilnya sangat nyata: kesejahteraan petani di negara-negara tersebut tinggi. Diantaranya adalah Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Hasil dari kebijakan dalam pembagian
lahan pertanian di negara-negara ini menghancurkan hak monopoli dari landlords dan membuat petani yang tadinya sebagai penyewa menjadi pemilik tanah. Keuntungan dari land reform bagi petani dijelaskan oleh Hadar
2006 sebagai berikut, Perubahan status dari penyewa menjadi pemilik, secara politik-ekonomi, berdampak positif karena selain lahan, pemilik baru juga memiliki infrastruktur seperti bangunan dan alat produksi. Mereka
juga sudah mengenal sistem yang berlaku serta telah pengalaman dalam perannya sebagai manager dan pekerja tani halaman 6.
35
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk peningkatan produktivitas, dan peningkatan rasio output-tenaga kerja ini pada gilirannya berkorelasi positif terhadap peningkatan pendapatan riil per pekerja. Dalam
perkataan lain, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau memerangi kemiskinan, peningkatan produktivitas menjadi suatu keharusan, dan untuk mencapai ini, pendidikan yang baik merupakan salah satu
prasyarat. Hal ini juga berlaku di sektor pertanian. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas di atau buruknya kualitas dari sebagian besar hasil pertanian Indonesia selama ini adalah karena pendidikan rata-rata petani dan
buruh tani relatif rendah. Pendidikan menjadi ekstra sangat penting bagi kemajuan dan daya saing pertanian di Indonesia saat ini dan di masa depan dalam era globalisasi dan perdagangan bebas dunia.
Data BPS SP menunjukkan bahwa sebagian besar dari petani di Indonesia berpendidikan hanya sekolah dasar 44,98 dan tidak berpendidikan formal sama sekali 31,62. Hanya sekitar 1,69 dari jumlah petani yang ada
pada tahun 2003 yang mempunyai diploma pendidikan tersier Tabel 27. Tidak diragukan, kondisi ini menjadi salah satu penyebab kemiskinan di sektor pertanian di Indonesia selama ini. Jelas, usaha pemerintah untuk
membuka kesempatan lebih besar bagi pelaku usaha di sektor pertanian untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik adalah suatu langkah konkrit yang sangat diperlukan, dan kebijakan ini bisa membantu untuk mencapai
keadilan ekonomi lintas sektoral.
Tabel 27: Persentase dari Petani menurut Tingkat Pendidikan Formal di Indonesia, 2003
Tingkat Pendidikan Jawa
Luar Jawa Indonesia
Tidak ada pendidikan Hanya pendidikan dasar
Sekunder Tersier
Jumlah 34,44
48,07 15,8
1,69 100,00
28,83 41,93
27,56 1,68
100,00 31,62
44,98 21,71
1,69 100,00
Sumber: BPS
V.3 Akses ke Modal Yang Terbatas Sering dikatakan bahwa salah satu bukti konkrit dari adanya ketidakadilan dalam perekonomian Indonesia
adalah sulitnya mendapatkan kredit perbankan bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Bahkan yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru sangat ironis: di satu sisi, begitu mudahnya pengusaha-pengusaha besar
mendapatkan pinjaman dari bank, termasuk dari Bank Indonesia dalam bentuk BLBI Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang sebagian besar diselewengkan dan pada akhirnya menciptakan kredit macet yang besar yang turut
menyeret ekonomi Indonesia ke krisis 199798, dan, sisi lain, sulitnya pengusaha kecil mendapatkan pinjaman dari bank dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada BLBI tetapi sangat diperlukan untuk meningkatkan atau paling
tidak mempertahankan kelangsungan usaha mereka.
36 Contoh konkrit di atas ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam perekonomian Indonesia terhadap
kelompok masyarakat lemahmiskin, dan petani, khususnya petani marjinalgurem, termasuk di dalamnya. Padahal, sesuai sistem ekonomi nasional berazas Pancasila, semua pelaku usaha berhak memili akses yang sama
ke semua sumber daya produksi termasuk pendanaan; tentu selama dapat dibuktikan bahwa usaha yang akan didanai oleh pinjaman mempunyai prospek bisnis yang baik. Seperti yang dibuktikan oleh data SP, proporsi petani
yang pernah memakai pinjaman bank hanya sekitar 3,06; dan ini kebanyakan pemilik-pemilik lahan perkebunan yang luas seperti di subsektor kelapa sawit, sedangkan petani padi sangat sulit mendapatkan akses ke bank.
Sebagian besar petani memakai uang sendiri dan sekitar 9,7 memakai pinjaman atau bantuan modal dari kawan, tetangga atau keluarga ”lainnya” dalam mendanai kegiatan bertani mereka Gambar 3.
Tidak bisa menunjukkan sertifikat tanah sering disebut sebagai salah satu hambatan yang dihadapi banyak petani dalam mendapatkan modal pinjaman dari bank. Sulitnya kaum miskin mendapatkan sertifikat atas tanah
yang mereka telah diami lebih dari satu generasi merupakan satu conoth konkrit dari adanya ketidakadilan sosial selama ini di Indonesia. Sebagai satu kasus, pernah diberitakan di harian Kompas Rabu, 15 Maret 2006, bahwa
para transmigran asal pulau Teon, Nila, dan Serua sudah 28 tahun lamanya mendiami dataran Waipia di pulau Seram tetapi tetap saja belum memiliki sertikifat atas tanah yang mereka diami tersebut.
Gambar 3: Persentase dari petani menurut sumber pendanaan, 2003
Sumber: BPS
V.4 Nilai Tukar Petani Yang Merosot.
Secara teori, kesejahteraan petani akan meningkat apabila selisih antara hasil penjualannya dan biaya produksinya bertambah besar, atau nilai tambahnya meningkat. Jadi besar kecilnya nilai tambah petani ditentukan
oleh besar kecilnya nilai tukar petani NTP. Dalam data BPS, NTP ditunjukkan dalam bentuik rasio antara indeks harga yang diterima petani, yakni indeks harga jual outputnya, terhadap indeks harga yang dibayar petani, yakni
Bank: 3,06 Koperasi:
1,79 Lainnya: 9,72
Uang sendiri: 85,43
37 indeks harga input-input yang digunakan untuk bertani, misalnya pupuk, pestisida, tenaga kerja, irigasi, bibit, sewa
traktor, dan lainnya..Berdasarkan rasio ini, maka dapat dikatakan semakin tinggi NTP semakin baik profit yang diterima petani, atau semakin baik posisi pendapatan petani.
Beberapa tahun belakangan ini, NTP di Indonesia cenderung merosot terus, yang membuat tingkat kesejahteraan petani terus merosot, dan perkembangan ini tidak lepas dari pengaruh dari sistem agrobisnis negeri
ini yang menempatkan petani pada dua kekuatan ekplotasi ekonomi. Di sisi suplai yang berhubungan dengan pasar input atau pada, petani menghadapi kekuatan monopolistik. Pada waktu bersamaan, di sisi penawaran yang
berhubungan dengan pasar output, petani menghadapi kekuatan monopsonistis. Menurut data terakhir BPS, pada era pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005, angka NTP merosot 2,39. Pada Desember 2005, NTP tercatat
97,94. Artinya, indeks harga yang harus dikeluarkan petani lebih besar daripada indeks harga yang diterima. Dalam kata lain, angka ini menandakan bahwa petani tekor atau pendapatannya menurun.
Sifat pasar input maupun pasar output ini yang tidak menguntungkan petani dijelaskan oleh Subandriyo 2006 sebagai berikut: Pada usaha tani, nilai tambah yang dinikmati petani diperkecil struktur non-usaha tani yang
bersifat dispersal, asimetris, dan cenderung terdistorsi. Penurunan harga di tingkat konsumen dengan cepat dan sempurna ditransmisi kepada petani. Sebaliknya, kenaikan harga ditransmisi dengan lambat dan tidak sempurna.
Selain itu, informasi pasar, seperti preferensi konsumen, dimanfaatkan untuk mengeksploitasi petani. Terjadilah apa yang disebut paradoks produktivitas......... Porsi terbesar dari nilai tambah peningkatan produktivitas usaha
tani dinikmati mereka yang bergerak di luar usaha tani. Akibatnya, tingkat pendapatan riil petani kian tertinggal jauh dari pendapatan mereka yang ada pada sektor nonusaha tani. halaman 6.
Tabel 28 dan Tabel 29 menyajikan perkembangan NTP rata-rata di, masing-masing, empat 4 propinsi di Jawa dan 10 propinsi di luar Jawa untuk periode 1988-2003. Dapat dilihat bahwa perkembangan NTP berbeda menurut
propinsi karena adanya perbedaan inflasi laju pertumbuhan indeks harga konsumen, sistem distribusi pupuk dan input-input pertanian lainnya dan juga perbedaan titik ekuilibrium pasar untuk komoditas-komoditas pertanian.
Ekuilibrium pasar itu sendiri dipengaruhi oleh kondisi penawaran dan permintaan di wilayah tersebut.
17
Dari sisi penawaran, faktor penentu adalah terutama volume atau kapasitas produksi di sektor pertanian ditambah dengan
impor kalau ada, sedangkan dari sisi permintaan adalah terutama jumlah penduduk serta komposisinya menurut umur dan jenis kelamin dan tingkat pendapatan riil masyarakat rata-rata per kapita.
Tabel 28: Indeks Harga yang Diterima Petani IT, Indeks Harga yang Dibayar Petani IB, dan Nilai Tukar Petani
NTP di 4 Propinsi di Jawa Nilai Rata-Rata Per Bulan, 1988-2003 1983=100
Jawa Barat Jawa Tengah
Yogyakarta Jawa Timur
Tahun IT IB
NTP IT IB NTP IT IB NTP IT IB
NTP
17
Dimisalkan tidak ada ekspor permintaan dari luar wilayah: propinsi lain atau luar negeri dan tidak ada impor penawaran dari luar wilayah.
38
2002 2003
95 102
106 101
104 101
101 106
109 133
139 179
99 95
100 105
109 104
94 94
92 102
127 130
97 108
109 112
115 131
130 116
126 127
136 166
99 94
102 106
107 113
105 115
104 115
122 120
Keterangan:=rata-rata dan dibulatkan; : Desember. Sumber: BPS.
Secara teoritis, dapat diduga bahwa di pusat-pusat produksi beras, misalnya Krawang Jawa Barat, pada saat musim panen pasar beras di wilayah tersebut cenderung mengalami kelebihan stok beras, sehingga harga beras per
kilo di pasar lokal cenderung menurun. Sebaliknya, pasar beras di wilayah bukan pusat produksi beras, misalnya Kalimantan, cenderung mengalami kekurangan, sehingga harga beras per kilo di pasar setempat naik.
18
Tetapi, ini bukan berarti bahwa NTP di Krawang selalu harus lebih rendah daripada di Kalimantan. Rendah tingginya NTP juga
ditentukan oleh indeks harga input-input pertanian di masing-masing wilayah. Bisa saja, misalnya harga beras di Kalimantan tinggi karena persediaan terbatas namun harga pupuk di sana juga tinggi karena kekurangan stok akibat
produksi lokalnya mandek atau ada distorsi dalam distribusi, sehingga NTP di wilayah tersebut rendah.
Tabel 29: Nilai Tukar Petani NTP di 10 Propinsi Luar Jawa Nilai Rata-Rata Per Bulan, 1990-2003 1987=100
Provinsi 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996
1997 1998 1999 2000 2001 2002
2003 Aceh
Sumut Sumbar
Sumsel Lampung
Bali NTB
Kalsel Sulut
Sulsel 102
100 105
103 103
120 105
108 113
113 104
96 113
103 103
111 103
106 104
106 99
94 112
103 95
107 101
100 102
105 96
85 107
98 87
104 107
96 97
100 102
89 108
104 88
110 103
94 95
105 98
91 115
120 89
119 113
99 96
108 99
87 109
100 79
118 116
107 98
113 95
86 122
105 76
120 124
107 102
116 85
81 116
122 73
130 142
107 94
126 82
82 114
111 75
151 179
117 88
123 92
89 95
93 80
128 87
118 144
111 90
93 86
76 80
145 89
112 192
109 121
97 89
77 78
161 93
112 113
121 139
102 92
71 73
143 82
105 87
117
Keterangan: =rata-rata dan dibulatkan; : Desember Sumber: BPS
VI. Pengangguran Adalah merupakan bagian dari HAM bahwa setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan
yang bisa memberikan kehidupan layak baginya. Oleh karena itu, keadilan sosial dalam pengertian Pancasila adalah termasuk menciptakan kesempatan kerja yang sama kepada setiap warga negara Indonesia. Masalah
18
Terkecuali, bila impor beras dilakukan dalam jumlah yang cukup untuk menutupi kelebihan permintaan tersebut, sehingga pasar lokal bisa kembali ekuilibrium pada tingkat harga semula sebelum naik.
39 kemiskinan erat kaitannya dengan masalah pengangguran, dan kaitan ini bisa dijelaskan dengan memakai asumsi
dari Amartya Sen mengenai entitlement, yaitu mereka yang miskin hanya karena tidak memiliki akses untuk mendapatkan uang, atau kesempatan kerja.
Di dalam paradigma ekonomi makro, jalur utama lewat mana pertumbuhan ekonomi mempengaruhi kemiskinan adalah yang disebut efek kesempatan kerja dari perubahan output: jika output turun maka kesempatan
kerja juga berkurang sehingga mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat yang selanjutnya jumlah orang miskin bertambah, dan, visa versa.. Horton dan Mazumdar 2001, misalnya, menyimpulkan bahwa pendapatan
dari kelompok miskin yang berkurang selama krisis ekonomi 199798 tidak hanya disebabkan oleh tingkat upah riil yang menurun tetapi juga sebagai suatu akibat dari tingkat pengangguran yang lebih tinggi. Seperti yang
diilustrasikan di Gambar 4, selama periode 1982-1996 persentase kemiskinan menunjukkan suatu tren pertumbuhan yang negatif, sementara tingkat pengangguran terbuka resmi kurang lebih stabil sekitar 2 hingga
2,5 rata-rata per tahun, dan mulai naik sejak 1993 dan mencapai tingkat sekitar 7,2 tahun 1995. Selama krisis, tingkat pengangguran terbuka sekitar 5,5 atau naik dari sekitar 4 juta pekerja tahun 1997 ke lebih dari 5 juta
orang tahun 1998; sedangkan tingkat kemiskinan naik sangat signifikan pada periode yang sama. Waktu itu diperkirakan bahwa pada tahun 1998 total pengangguran jauh lebih tinggi dari data resmi tersebut 5,5.
Gambar 4: Pengangguran Terbuka dan Kemiskinan di Indonesia, 1981-2002
Sumber: BPS
Prediksi resmi dari BAPPENAS mengenai perkembangan pasar tenaga kerja di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai sekitar 10,22 dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2005.
Sedangkan prediksi dari BPS berdasarkan data SAKERNAS memberi suatu gambaran yang sedikit berbeda. Tingkat pengangguran terbuka pada bulan Oktober 2005 sekitar 11,6 juta orang dan mencapai 12 atau lebih
dari jumlah angkatan kerja pada akhir tahun 2005. Prediksi jumlah orang yang menganggur pada bulan Oktober 2005 tersebut lebih banyak 700,000 orang daripada pada 7 bulan sebelumnya yang diperkirakan sebanyak 10,9
5 10
15 20
25 30
82 84
86 88
90 92
94 96
98 00
02 Kemiskinan
Pengangguran
40 juta jiwa atau 10,26 dari jumlah angkatan kerja sebanyak 105,8 juta orang dalam periode tersebut.
terakhir terhadap prediksi jumlah pengangguran terbuka dari BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2005 jumlah orang yang menganggur mencapai 10.854.254 orang Gambar 5.
Banyak faktor yang membuat besarnya pengangguran di suatu ekonomi. Diantara faktor-faktor tersebut, pendidikan merupakan yang terpenting. Banyak orang tidak bisa mendapatkan pekerjaan di sektor formal karena
pendidikannya rendah. Ini artinya masalah kesempatan kerja adalah juga masalah akses ke pendidikan. Seperti halnya akses ke tanah dan kesempatan kerja, akses ke pendidikan juga merupakan bagian dari HAM dan keadilan
sosial, atau keadilan dalam ekonomi. Memberikan kesempatan yang sama ke pendidikan yang baik berarti memberikan kesempatan sama untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang baik.
Gambar 5: Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia, 2001-2005 orang
8005031 9132104
9820011 10251351
10854254
2000000 4000000
6000000 8000000
10000000 12000000
2001 2002
2003 2004
2005
Source: BPS
Data BPS menunjukkan bahwa sebagian besar dari orang yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal pengangguran terbuka adalah dari golongan angkatan kerja berpendidikan rendah, yakni yang tidak tamat
sekolah dasar SD, hanya memiliki diploma sekolah dasar SD, dan lulusan sekolah menengah pertama SMP dan sekolah menengah atas SMA. Selama periode 2001-2005, porsi dari kelompok ini mencapai lebih dari 90.
Di dalam kelompok ini sendiri, subkategori yang paling dominan adalah lulusan SMP dan SMA yang persentasenya meningkat dari hampir 59 pada tahun 2001 menjadi sekitar 60,7 pada tahun 2005. Struktur ini
konsisten dengan struktur pendidikan dari angkatan kerja di Indonesia, yang mana porsi dari yang lulus SMP dan SMA semakin besar, sedangkan yang mendaftarkan ke pasar tenaga kerja dari lulusan SD atau yang tidak
memiliki diploma SD semakin kecil. Ini menandakan bahwa kebijakan pemerintah dalam wajib sekolah 9 tahun selama ini berhasil, namun belum memberi jaminan kesempatan kerja bagi yang lulus.
Gambar 5: Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Pendidikan di Indonesia, 2001-2005 dari jumlah pengagguran perbuka
19
Prediksi BAPPENAS di Table 30 tersebut belum memasukkan efek negatif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja dari misalnya pengurangan subsidi BBM Oktober 2005 lalu.
41
34,29 58,96
6,75 35,28
59,03
5,69 35,53
59,9
4,57 31,99
62,3
5,71 32,74
60,74
6,52 10
20 30
40 50
60 70
2001 2002
2003 2004
2005
Primer Sekunder
Tersier
Source: BPS
VII. Pendidikan
Tidak bisa dibantah bahwa rendahnya produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu sumber penyebab kemiskinan, yang artinya kemiskinan tidak sepenuhnya disebabkan oleh pengangguran. Banyak orangkeluarga
miskin memiliki pendapatan, bahkan pendapatan tetap namun masuk dalam kategori miskin sesuai garis kemiskinan yang berlaku karena pendapatan mereka sangat rendah. Diantara sejumlah faktor penyebab, rendahnya
tingkat produktivitas itu sendiri dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, dan dua hal ini disebabkan oleh terbatasnya akses bagi kelompok miskin ke pendidikan dan pelayanan kesehatan dengan kualitas
baik. Pendidikan dan kesehatan merupakan dua sumber utama untuk pengembangan manusia; oleh sebab itu
merupakan dua komponen penting dari Indeks Pengembangan Manusia IPM atau human development indeks HDI. Walaupun tidak mempengaruhi secara langsung, HDI yang baik sangat penting bagi usaha memerangi
kemiskinan. Hipotesisnya adalah sebagai berikut: perbaikan HDI di suatu wilayah berdampak positif terhadap peningkatan kesempatan kerja danatau peningkatan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan
pendapatan di daerah tersebut. Di dalam literatur dikatakan bahwa penurunan kemiskinan yang berkelanjutan membutuhkan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan juga berkelanjutan. Pada umumnya masyarakat miskin mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan tersebut juga membuat permintaan pasar meningkat terhadap pekerja
berpendidikan rendah dengan upah murah dan outputjasa dengan harga murah yang dihasilkan oleh masyarakat miskin seperti produk-produk dari usaha mikro dan kesil. Tetapi hanya mengandalkan jasa tenaga kerja dan
harga barang murah, efek dari pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan tidak akan besar atau akan makan waktu yang lama hingga efeknya terrealisasi. Oleh karena itu, untuk mempercepat proses pengurangan kemiskinan
atau memperbesar efek positif dari pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan, perbaikan pendidikan dari masyarakat miskin adalah suatu keharusan Danielson, 2001. Selama ini negara-negara miskin di
Afrika merupakan wilayah paling penting bagi penelitian-penelitian pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Laporan-laporan dari Bank Dunia World Bank, 1999a,b dan tulisan-tulisan dari banyak
42 pengamatpeneliti menyatakan secara eksplisit bahwa untuk mendapatkan efek penurunan kemiskinan yang
signifikan dan cepat dari pertumbuhan ekonomi di Afrika, perbaikan pendidikan kaum miskin harus menjadi prioritas utama.
20
Juga banyak studi lainnya yang mendukung pendapat bahwa pendidikan tidak hanya merupakan suatu input yang krusial bagi proses pembangunan ekonomi,
21
tetapi pendidikan juga sangat penting bagi peningkatan potensi pendapatan dan mobilitas ekonomi bagi individu
22
Kombinasi antara peran pendidikan di dalam pembangunan ekonomi dan di dalam peningkatan potensi pendapatan serta mobilitas ekonomi individu membuat pendidikan
sebagai suatu alat yang paling efektif bagi program-program pemerintah dalam memerangi kemiskinan. Namun demikian, peran optimum dari pendidikan dalam membantu mengurangi kemiskinan tergantung pada
akses bagi masyarakat miskin ke pendidikan yang baik yang sangat menentukan kemampuan mereka nanti dalam bersaing di pasar buruh; seperti yang dikatakan oleh Mason dan Rozelle 1998 sebagai berikut: The effectiveness
of education in helping to reduce poverty, however, depends on the poor obtaining sufficient levels of quality education to compete in labor or product markets. Obtaining such education depends both on the availability of
adequate educational facilities and on the will and financial ability of families to send their children to school. This latter issue is particularly important in less-developed countries where systems of universal, compulsory, and
low-cost education do not exist or are limited only to a few grades. Poor families often find the costs of sending children to school prohibitive or at least unacceptably high relative to expected future benefits hal.12.
Dengan memakai data propinsi, hasil regresi parsial menunjukkan bahwa memang HDI berkorelasi negatif dan secara statistik signifikan dengan kemiskinan P Gambar 6, atau berkoreasi positif dan secara statistik signifikan
dengan pendapatan Y Gambar 7. Dapat dilihat bahwa kemiskinan di Indonesia terkonsentrasi di wilayah bagian timur dengan Papua sebagai propinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi, walaupun PDRB-nya bukan yang
terendah di Indonesia. Pada zaman orde baru, pemerintah berusaha memperbaiki tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia melalui
berbagai cara, yang diantaranya yang terpenting adalah kebijakan wajib belajar 9 tahun. Sebagai salah satu hasil dari kebijakan ini adalah menurunnya jumlah penduduk yang buta huruf dan meningkatnya tingkat partisipasi
sekolah secara drastis selama periode 1970an-1990an. Data SUSENAS menunjukkan bahwa persentase penduduk yang bisa membaca dan menulis dengan baik untuk kelompok umur 15-24 tahun meningkat dari hampir 96,6
tahun 1992 ke hampir 98,7 tahun 2002 Gambar 8. Sisa persentase mewakili orang-orang yang memang mengalami kesulitan untuk mengikuti pendidikan karena antara lain lokasi tempat tinggal mereka terpencil jauh
dari letak sekolah terdekat, atau secara kondisi fisikkesehatan memang tidak memungkinkan. Menurut laporan resmi dari pemerintah, tingkat buta huruf yang hampir 0 di dalam kelompok umur ini adalah hasil nyata dari
peningkatan akses anak-anak ke pendidikan dasar dan perbaikan dalam jumlah anak-anak yang berhasil sampai ke
20
Lihat misalnya Rahmato dan Kidanu 1999, Kunfaa 1999, Khalila, dkk. 1999 dan Naraya 1997.
21
Lihat misalnya Psacharopoulos dan Woodhall 1985; Ogawa dkk. 1993; dan World Bank 1993b.
22
Lihat misalnya Mincer 1974; Becker 1975; Schultz 1988 dan Psacharopoulos 1994.
43
66 66
70
68,8 67,5
69,1 67,1
66,2 65,8
65,4 75,6
65,8 66,3
70,8 64,1
66,6 67,5
57,8 60,3
62,9 69,1
64,3 71,3
64,4 65,3
64,1 64,1
66,5 65,8
60,1
29,8 15,8
11,6 13,7
13,2 22,3
22,7 24,1
11,6 14
3,4 13,4
23,1 20,1
21,9 9,2
6,9 27,8
30,7 15,5
11,9 8,5
12,2 11,2
24,9 15,9
24,2 32,1
34,8 41,8
10 20
30 40
50 60
70 80
D.I. Aceh Sumbar
Jambi Bengkulu
Bangka Belitung Jabar
D.I. Yogyakarta Banten
NTB Kalbar
Kalsel Sulut
Sulsel Gorontalo
Maluku Utara
HDI Kemiskinan
kelompok masyarakat kaya dan miskin dalam akses ke pendidikan, termasuk pendidikan dasar, walaupun kesenjangan tersebut telah mengecil sejak 1995. Selain itu, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan masih relatif
kecil, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga Gambar 9.
Data SUSENAS 1992-2002 juga menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai tingkat tertinggi dalam akses ke pendidikan dasar untuk anak-anak umur 7-12 tahun. Rasio pendaftaran neto NER meningkat dari 88,7 tahun 1992 ke
antara 92-93 tahun 2002 Gambar 10. Data dari Menteri Pendidikan MP menunjukkan NER yang sedikit lebih tinggi, yakni 94 tahun 2002.
23
Akses ke pendidikan sekunder awal SMP juga meningkat sejak 1994, menyusul dilaksanakannya program wajib belajar 9 tahun. NER pada tingkat sekunder awal meningkat dari hampir 42 pada tahun 1992 ke hampir
62 tahun 2002.
Gambar 6: Korelasi antara Kemiskinan dan HDI, berdasarkan data propinsi 2002
23
Perbedaan dalam sistemmetode pengumpulan data menjelaskan perbedaan sedikit antara kedua sumber tersebut. SUSENAS memakai data pengeluaran konsumsi rumah tanggakeluarga, sedangkan MP memakai data sekolah, yang memungkinkan terjadinya suatu
penghitungan ganda, sejak ada anak-anak yang pergi ke lebih dari satu sekolah. Juga data yang digunakan oleh MP dikumpulkan pada suatu awal tahun ajaran, sedangkan data SUSENAS tidak selalu begitu.
44
P = 127,201 – 0,625HDI 25,593 -4,236 = nilai t
Gambar 7: Korelasi antara Pendapatan dan HDI, berdasarkan data propinsi 2002
Y = -121,527 + 0,412HDI -2,015 2,393
66 66
70
25 17
68,8 67,5
69,1 67,1
66,2 65,8
65,4 75,6
65,8 66,3
70,8 64,1
66,6 67,5
57,8 60,3
62,9 69,1
64,3 71,3
64,4 65,3
64,1 64,1
66,5 65,8
60,1
30,5 23,6
17,1 20,5
12,7 17,7
11,9 10,9
20,8 16,8
13,4 15,8
16,4 27,3
22,9 7,6
19,8 23,2
20,9 20,5
13,4 9,5
11,2 9,5
10,9 41,8
77,1 92,4
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
D.I. Aceh Sumbar
Jambi Bengkulu
Bangka Belitung Jabar
D.I. Yogyakarta Banten
NTB Kalbar
Kalsel Sulut
Sulsel Gorontalo
Maluku Utara
HDI PDRB riil p.k. Rp00.000
45
95.5 96