19
kemiskinan internasional Negara
survei Tingkat kemiskinan
Di bawah US1hari Di bawah US2hari
Albania Argentina
Bangladesh Bolivia
Brazil Cambodia
Cameroon Chile
China Costa Rica
Egypt El Savador
Guatemala India
Indonesia Korea, Rep.
Lao PDR Malaysia
Mexico Nicaragua
Panama Peru
Philippines Thailand
Tunisia Uruguay
Vietnam 2002
1998 2000
1999 1990
1997 2001
1998 1998
1992
1999-00 1992
2000 1999-00
2004 1997-98
1989 1988
1998 1997
1997 1997
1992 1995
1993 25,4
29,9 49,8
62,7 17,4
36,1 40,2
17,0
4,6 22,0
16,7 48,5
56,2 28,6
16,6
.. 38,6
15,5 10,1
47,9 37,3
49,0 36,8
13,1
7,6 ..
50,9 2002
2001 2000
1999 2001
1997 2001
2000 2001
2000 2000
2000 2000
1999-00 2002
1998 1997-98
1997 2000
2001 2000
2000 2000
2000 2000
2000 1998
2,0 3,3
36,0 14,4
8,2 34,1
17,1 2,0
16,6
2,0 3,1
31,1 16,0
34,7 7,5
2,0 26,3
2,0 9,9
45,1 7,2
18,1 14,6
2,0 2,0
2,0 17,7
11,8 14,3
82,8 34,3
22,4 77,7
50,6
9,6 46,7
9,5 43,9
58,0 37,4
79,9 52,4
2,0 73,2
9,3 26,3
79,9 17,6
37,7 46,4
32,5
6,6 3,9
22,9 Keterangan: = data BPS dalam laporan Bank Dunia ini, data Indonesia untuk tahun 1999 dengan tingkat kemiskinan 27,1.
= perkotaan Sumber: Bank Dunia database
IV.2.1 Kesenjangan
Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif.
7
Karena data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi pendapatan di dalam banyak studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia selama ini didekati dengan penggunaan data pengeluaran rumah
tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional SUSENAS. Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan proksi untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini
sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius: data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang
7
Ada empat cara yang umum digunakan untuk mengukur ketimpangan dalam distribusi pendapatan, yakni koefisien Gini, ukuran Bank Dunia, Indeks Theil dan Indeks-L. Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran atau pendapatan
kumulatif yang membandingkan distribusi dari pengeluaranpendapatan dengan distribusi seragam yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Koefisien Gini punya nilai antara 0 dan 1. Nilai 0 artinya pemerataan sempurna, sedangkan nilai 1 artinya ketimpangan
sempurna. Sedangkan Indeks Theil dan Indeks-L masuk dalam famili ukuran ketimpangan ”generalized enthropy”. Nilai dari kedua indeks tersebut vervariasi antara 0 dan
∞ tidak terhingga dengan 0 mewakili distribusi pendapatan yang merata dan nilai di atas itu mewakili tingkat ketimpangan. Semakin tinggi nilainya berarti semakin tinggi tingkat ketimpangan. Bedanya antara Indeks Theil dan
Indeks –L adalah nilai α di dalam penghitungan indeks-indeks tersebut. Nilai α yang paling umum digunakan adalah 0 dan 1. Dengan α =
0, disebut Indeks Theil, dan α = 1 disebut Indeks-L, yakni ukuran deviasi log rata-rata karena ukuran tersebut memberikan standar deviasi
dari log pendapatan. Sedangkan ukuran Bank Dunia adalah pembagian penduduk menurut kelompok pendapatan, yakni 40 terendah, 40 menengah, dan 205 terendah.
20 tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya. Jumlah
pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bisa lebih besar atau lebih kecil. Misalnya, pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsinya juga
besar, karena ada tabungan. Sedangkan, jika jumlah pendapatannya rendah tidak selalu berarti jumlah konsumsinya juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi
tertentu, misalnya untuk beli rumah dan mobil, dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan untuk liburan. Demikian pula, pengertian pendapatan, yang artinya pembayaran yang didapat karena bekerja, atau menjual
jasa, tidak sama dengan pengertian kekayaan. Kekayaan seseorang bisa jauh lebih besar daripada pendapatannya. Atau, seseorang bisa saja tidak punya pekerjaan pendapatan tetapi ia sangat kaya karena ada warisan keluarga.
Banyak pengusaha-pengusaha muda di Indonesia kalau diukur dari tingkat pendapatan mereka tidak terlalu berlebihan tetapi mereka sangat kaya karena perusahaan di mana mereka bekerja adalah milik mereka atau orang
tua mereka.
8
Kalau dilihat pada tingkat agregat dengan memperhatikan perkembangan sejumlah variabel-variabel ekonomi makro selama Orde Baru hingga krisis ekonomi terjadi, seperti misalnya laju pertumbuhan produk domestik bruto
PDB rata-rata per tahun, peningkatan pendapatan nasional PN per kapita, diversifikasi ekonomi, dan pangsa ekspor non-migas, diakui ada keberhasilan daripada pembangunan ekonomi selama periode tersebut. Akan tetapi,
keberhasilan suatu pembangunan ekonomi tidak dapat hanya diukur dari laju pertumbuhan output atau peningkatan pendapatan secara agregat atau per kapita. Tetapi, bahkan lebih penting, harus dilihat juga dari pola
distribusi dari peningkatan pendapatan tersebut. Menjelang pertengahan 1997, beberapa saat sebelum krisis ekonomi muncul, tingkat pendapatan per kepala di Indonesia sudah melebihi 1000 dollar AS, dan tingkat ini jauh
lebih tinggi jika dibandingkan 30 tahun yang lalu. Namun, apa artinya kalau hanya 10 saja dari jumlah penduduk di tanah air yang menikmati 90 dari jumlah PN.
9
Sedangkan, sisanya 80 hanya menikmati 10 dari PN. Atau, kenaikan PN selama masa itu hanya dinikmati oleh kelompok 10 tersebut, sedangkan pendapatan dari
kelompok masyarakat yang mewakili 90 dari jumlah penduduk tidak mengalami perbaikan yang berarti. Pemerintahan Orde Baru hingga pemerintahan sekarang memang berusaha memperbaiki ketimpangan dalam
distribusi pendapatan. Hasil dari upaya pemerintah selama Orde Baru untuk meningkatkan pemerataan pendapatan bisa dilihat pada perkembangan koefisien Gini sejak 1965 hingga 1999 dengan memakai data SUSENAS. Selama
1965-70, rata-rata laju pertumbuhan PDB di Indonesia masih sangat rendah sekitar 2,7, dan koefisien Gini rata-rata per tahun sebesar 0,35. Selama 1971-80 laju pertumbuhan PDB jauh lebih besar, rata-rata 6 per tahun
dengan koefisien Gini rata-rata per tahun sedikit di atas 0,4. Ini berarti selama periode itu, pertumbuhan memang sangat baik namun kesenjangan pendapatan yang diukur dengan distribusi pengeluaran konsumsi semakin
memburuk. Sedangkan, selama 1981-90 pertumbuhan PDB 5,4 per tahun dan koefisien Gini rata-rata per tahun
8 Lihat pembahasan lebih dalam mengenai isu ini dari Hasibuan 1978, 1980, 1995.
9 Berarti dapat dibayangkan secara sederhana: 10 persen dari penduduk menikmati 0,90 x US1080 x jumlah penduduk.
21 sedikit di atas 0,3. Walaupun ada variasi antara tahun-tahun tertentu, perubahan koefisien Gini tersebut
menandakan bahwa dalam periode 1980-an, dibandingkan 1960-an hingga 1970-an, tingkat ketidak-merataan pembagian pendapatan di tanah air menunjukkan penurunan. Sebagaimana negara-negara Asia Timur dan Asia
Tenggara lainnya, koefisien Gini di Indonesia juga meningkat selama awal 1990-an, tetapi kemudian menurun lagi secara tajam menjadi 0,32 tahun 1998, dan naik sedikit menjadi 0,33 tahun 1999 dan relatif stabil hingga awal
tahun 2000-an. Pada tahun 2005, koefisien Gini tercatat 0.34. Menurut daerah, pada era 60-an tingkat kesenjangan pengeluaran konsumsi di perdesaan lebih besar daripada
di perkotaan. Baru sejak 1970-an ada perbaikan: angka Gini di perdesaan setiap tahun lebih rendah daripada di perkotaan. Selama 1980-1999 nilai rasio Gini di perdesaan berkisar antara 0,26 terendah dan 0,31 tertinggi,
sedangkan di perkotaan rata-rata 0,33. Pada tahun 2004, indeks Gini di perdesaan tercatat sekitar 0,27 dan diperkotaan 0,35 Gambar 1 Kalau perubahan nilai Gini tersebut memang memberi gambaran yang
sebenarnya,
10
maka bisa dikatakan ada perbaikan dalam distribusi pendapatan di perdesaan. Gambar 1: Tren jangka panjang dari perkembangan koefisien gini dari pengeluaran konsumsi di
Indonesia menurut wilayah perdesaan dan perkotaan, 1965-2004
5 10
15 20
25 30
35 40
1965 1970 1976 1980 1986 1990 1995 1998 2002 2003 2004 2005 Perkotaan
Perdesaan
Sumber: BPS
Tabel 10 menunjukkan Indeks Theil dan Indeks-L di perkotaan dan Perdesaan dan pada tingkat nasional selama periode 1996-2005. Dapat dilihat bahwa Indeks Theil dan Indeks-L mengalami penurunan selama periode
1996-1999 Februari. Antara periode 1999-2002, Indeks Theil di perkotaan sedikit meningkat dari 0,1044 ke 0,1891 sedangkan di perdesaan menurun dari 0,1177 menjadi 0,1164. Sedangkan Indeks-L pada periode yang
sama cenderung menurun baik di perkotaan maupun di perdesaan, masing-masing, dari 0,1762 ke 0,1616 dan dari 0,1044 menjadi 0,1017. Pada periode 2002-2005, kedua indeks tersebut mengalami peningkatan baik di perkotaan
maupun di perdesaan, yang mengindikasikan adanya ketimpangan pengeluaran penduduk yang semakin besar pada tahun 2005 dibandingkan pada tahun 2002.
10
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan memakai data pengeluaran konsumsi rumah tangga sebagai proksi daripada pendapatan, informasi yang didapat mengenai tingkat pendapatan dan distribusinya bisa tidak sama seperti keadaan sebenarnya. Dalam perkataan lain, dengan memakai data konsumsi tingkat kesenjangan lebih rendah,
dibandingkan kalau menggunakan data pendapatan. Sebagai suatu contoh, kalau seorang kaya sangat pelit dalam pngeluaran; lebih suka menabung daripada beli pakaian atau makanan yang banyak, jumlah pengeluaran konsumsinya bisa relatif sama dengan jumlah konsumsi dari seorang yang tidak kaya yang membelanjakan semua gajinya untuk
pembelian makanan dan pakaian.
22
Tabel 10: Indeks Theil dan Indeks-L di Indonesia, 1996-2005
Indeks Theil Indeks-L
Tahun Perkotaan Perdesaan Nasional Perkotaan Perdesaan Nasional
1996 1999
2002 2005
0,264 0,104
0,189 0,218
0,150 0,118
0,116 0,123
0,261 0,151
0,149 0,167
0,224 0,176
0,162 0,187
0,133 0,104
0,102 0,112
0,216 0,133
0,128 0,147
Sumber: BPS
Tabel 11 menunjukkan ukuran Bank Dunia mengenai ketimpangan distribusi pengeluaran di Indonesia untuk periode 1996-2005. Kelompok 40 terendah adalah bagian dari populasi termiskin; kelompok 40 menengah
adalah yang sering disebut sebagai kelas masyarakat menengah; dan 20 teratas adalah bagian dari populasi terkaya. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan di suatu wilayah dianggap tinggi jika pengeluaran
konsumsi dari 40 penduduknya dengan pengeluaran konsumsi terendah kurang dari 12 dari total pengeluaran dari seluruh penduduk di wilayah tersebut. Jika porsi dari kelompok 40 ini antara12 hingga 17 dari total
pengeluaran dari seluruh penduduk, tingkat ketimpangan dianggap sedang. Apabila rasionya di atas 17, tingkat ketimpangan rendah. Dari tabel tersebut terlihat bahwa selama periode 1996-2005, tingkat pemerataan distribusi
pendapatan di perdesaan relatif lebih baik dibandingkan di perkotaan yang ditunjukkan oleh lebih besarnya persentase pendapatan rata-rata per tahun yang dinikmati oleh kelompok penduduk 40 berpenghasilan paling
rendah di perdesaan daripada di perkotaan. Tabel ini juga menunjukkan bahwa selama periode tersebut, terjadi peningkatan persentase pengeluaran pada kelompok 40 terendah bersamaan dengan penurunan di kelompok
20 teratas di perkotaan dan perdesaan. Perkembangan ini mengindikasikan bahwa di Indonesia selama periode tersebut terjadi perbaikan dalam distribusi pendapatan, yang dalam hal ini diwakili oleh data pengeluaran.
11
Pada tahun 2002 Februari persentase pengeluaran dari kelompok 40 terendah kembali meningkat dan dari kelompok 20 teratas menurun, dan ini terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan. Perkembangan ini
menandakan bahwa pada tahun 1999-2002 ketimpangan di Indonesia mengalami penurunan. Sementara itu, pada periode 2002-2005 terjadi kebalikannya, yakni persentase pengeluaran dari kelompok 40 terendah menurun dan
dari kelompok 20 teratas meningkat di perkotaan dan perdesaan, yang menandakan pada periode tersebut distribusi pendapatan yang diwakili oleh distribusi pengeluaran di Indonesia kembali memburuk. Namun
demikian, secara keseluruhan, berdasarkan kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan di Indonesia baik di perdesaan maupun di perkotaan tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh porsi pengeluaran dari kelompok 40
termiskin di Indonesia jauh di atas 12. Tabel 11: Distribusi Pengeluaran Penduduk di Indonesia Menurut Pengukuran Bank Dunia, 1996-2005
Daerah Kelompok Penduduk
1996 1999
2002 2005
11
Menurut BPS 2005, penurunan ini lebih merupakan fenomena peningkatan pengeluaran dari golongan atas akibat harga dan tingkat suku bunga yang menurun pada periode tersebut; jadi bukan fenomena peningkatan pendapatan sepenuhnya.
23
19,03 36,93
44,04
23,18 38,99
37,83
20,25 35,05
44,70 20,52
37,74 41,74
24,59 39,53
35,88
21,50 37,35
41,15 21,34
37,43 41,23
24,97 39,27
35,75
22,83 38,19
38,98 20,38
36,86 42,75
24,19 39,13
36,68
21,84 37,73
40,43 Sumber: BPS
Selain ukuran-ukuran di atas, BPS 2005 juga mengukur ketimpangan dengan persentase pembagian pengeluaran menurut kuantil 1-5. Berdasarkan persentase pembagian pengeluaran pada kuantil 1 dan 2,
ketimpangan pendapatan di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Hal ini juga dapat dilihat dari rasio Q5Q1 di perkotaan yang lebih besar dibandingkan di perdesaan Tabel 12. Penemuan ini konsisten dengan
penemuan-penemuan sebelumnya dengan koefisien Gini, Indeks Theil dan Indeks-L.
Tabel 12: Persentase Pembagian Pengeluaran Menurut Kuantil di Indonesia, 2005
Kuantil Perkotaan Perdesaan Nasional
Q1 Q2
Q3 Q4
Q5 Rasio Q5Q1
8,22 12,16
15,63 21,24
42,75
5,20 10,22
13,96 17,27
21,86 36,68
3,59 8,99
12,85 16,26
21,48 40,43
4,50 Sumber: BPS
Ketimpangan distribusi pendapatan juga terjadi antar propinsi. Seperti yang dapat diduga sebelumnya, data BPS mengenai produk domestik regional bruto PDRB dari 27 propinsi menunjukkan bahwa sebagian besar dari PDB
nasional berasal dari propinsi-propinsi di pulau Jawa, khususnya propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Selama dekade 90-an propinsi-propinsi tersebut menyumbang lebih dari 60 terhadap pembentukan PDB Indonesia. Di
pulau Jawa sendiri terjadi ketimpangan, terutama antara Jakarta dan wilayah di luar Jakarta. DKI Jakarta dengan luas wilayah hanya sekitar l0,03 dari luas tanah air daratan dan dengan jumlah penduduk hanya sekitar 5 dari total
populasi di Indonesia menikmati antar 15 hingga 16 lebih dari PDB nasional, sedangkan Jawa Timur misalnya paling tinggi hanya sekitar 15 pada tahun 1996 dan 1997, atau Jawa Tengah sekitar 10. Memang dilihat dari data
BPS sejak 1980-an hingga saat ini dan dibandingkan dengan 1970-an dan periode sebelumnya, diperoleh suatu gambaran adanya dekonsentrasi dari DKI Jakarta ke daerah-daerah lain di sekitar DKI Jakarta. Hal ini tampaknya
dipengaruhi oleh penyebaran kegiatan-kegiatan ekonomi, khususnya industri dan jasa, ke daerah Jabotabek yang masuk dalam kawasan Jawa Barat. Walaupun demikian, DKI Jakarta masih tetap merupakan pusat pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
24 Salah satu fakta yang memprihatinkan adalah bahwa, jika output agregat dihitung tanpa minyak dan gas migas,
kontribusi PDB dari wilayah-wilayah yang kaya migas seperti D.I Aceh, Riau dan Kalimantan Timur lebih kecil lagi. Sebagai suatu ilustrasi empiris, Tabel 13 menunjukkan bahwa pada tahun 1995, D.I Aceh menyumbang sekitar 3
terhadap PDB Indonesia; tanpa gas hanya menyumbang sekitar 50-nya. Ini artinya, 50 dari perekonomian D.I Aceh, relatif terhadap perekonomian nasional, tergantung pada sektor gas. Riau dan Kalimantan Timur juga
demikian; dengan minyak kedua propinsi tersebut pada tahun 1995 menyumbang sekitar 5 terhadap PDB Indonesia; tanpa minyak, peran dari masing-masing propinsi hanya 2 dan 2.9.. Pada tahun 2000, kontribusi
output regional yang dihasilkan oleh D.I. Aceh dan Kaltim dengan dukungan sektor migas terhadap PDB nasional menurun menjadi masing-masing 2.5 dan 1.6; sedangkan dari Riau meningkat menjadi 5,4. Hal ini memberi
kesan bahwa sektor migas bukan suatu jaminan bagi kinerja ekonomi dari suatu wilayah yang kaya akan migas. Yang paling menyolot dari data di Tabel 13 adalah bahwa DKI Jakarta yang sama sekali tidak punya SDA
memiliki saham PDB nasional jauh lebih besar daripada D.I Aceh, Riau dan Kalimantan Timur. Satu hal yang pasti sebagai penyebabnya adalah bahwa perekonomian DKI Jakarta jauh lebih produktif dibandingkan perekonomian
dari tiga propinsi yang kaya SDA tersebut, karena DKI Jakarta memiliki SDM dan infrastuktur yang jauh lebih banyak dengan kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan yang ada di tiga propinsi tersebut.
Sejak 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan pengkajian mengenai pembangunan ekonomi regional di Indonesia yang memfokuskan pada ketimpangan ekonomi antar propinsi. Dapat dikatakan bahwa
pelopor dari studi-studi tersebut adalah Esmara yang melakukan penelitian tahun 1975, disusul kemudian oleh antara lain Hughes dan Islam 1981, Uppal dan Handoko 1988, Islam dan Khan 1986, Akita 1988, Akita
dan Lukman 1995 Tambunan 1996, 2001, Takeda dan Nakata 1998, Garcia dan Soelistyaningsih 1998, Sjafrizal 1997,2000, dan Booth 2000. Walaupun data yang dipakai sama, yakni PDRB per kapita, namun
pendekatan yang digunakan bervariasi antarstudi. Misalnya, Sjafrizal menganalisis ketimpangan antara Indonesia kawasan barat IKB dan Indonesia kawasan timur IKT dan perbedaan dalam ketimpangan antarpropinsi antara
kedua kawasan tersebut dengan memakai indeks Williamson yang disebut weighted coefficient of variation WCV.
12
Nilai indeks ini antara 0 dan 1. Bila mendekati 0 berarti distribusi PDB menurut propinsi sangat merata atau variasi PDRB per kapita antar propinsi sangat kecil, dan sebaliknya bila mendekati 1 berarti tingkat
disparitas sangat tinggi.
13
Tabel 13: Distribusi PDRB dengan dan tanpa Migas menurut Propinsi atas dasar harga konstan 1993: 1995-2000
12
Penghitungan WCV didasarkan pada coeffisient of variation CV, yakni pembagian rata-rata dari standar deviasi. Williamson 1965 memodifikasi penghitungan CV ini dengan menimbangnya dengan proporsi populasi menurut wilayahNi
N.
13
Williamson 1965 menemukan bahwa dalam tahap awal pembangunan ekonomi disparitas dalam distribusi pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayah- wilayah tertentu yang pada awalnya sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur dan SDM. Kemudian pada tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih
besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan. Penemuan ini sesuai hipotesa dari Kuznets yang dikenal dengan hipotesa U terbalik: pada tahap awal dari suatu proses pembangunan ekonomi nasional, perbedaan dalam laju pertumbuhan regional yang besar antar propinsi mengakibatkan
kesenjangan dalam distribusi pendapatan antar propinsi. Tetapi, pada jangka panjang, pada saat kondisi ekonomi mencapai tingkat kedewasaan maturity dan dengan asumsi mekanisme pasar bebas dan mobilitas semua faktor-faktor produksi antar propinsi tanpa sedikitpun rintangan atau distorsi, maka perbedaan dalam laju pertumbuhan output antar
propinsi cenderung mengecil bersamaan dengan tingkat pendapatan per kapita dan laju pertumbuhannya rata-rata yang semakin tinggi di setiap propinsi, yang akhirnya menghilangkan kesenjangan ekonomi regional Kuznets, 1957. Lihat juga Kuznets 1976, dan Easterlin 1960.
25
1995 1996 1997 1998 1999 2000 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Aceh
Sumut Sumba
Riau Jambi
Sumsel Bengkulu
Lampung Jakarta
Jabar Jateng
Yogyakarta Jatim
Kalbar Kalteng
Kalsel Kaltim
Sulut Sulteng
Sulsel Sultengg
Bali NTB
NTT Maluku
Irian Jaya
Σ Propinsi 3,0
5,8 1,9
5,0 0,8
3,3 0,4
1,7
16,1 16,6
10,4 1,3
14,1 1,6
1,0 1,4
4,9 0,9
0,6 2,5
0,5 1,8
0,9 0,9
0,8 1,6
100,0 2,8
5,8 1,9
4,9 0,8
3,3 0,4
1,7
16,2 16,5
10,2 1,3
15,1 1,6
1,0 1,5
5,1 0,9
0,5 2,3
0,4 1,7
0,8 0,7
0,7 1,7
100,0 2,7
5,8 1,9
4,8 0,8
3,3 0,4
1,7
16,3 16,7
10,1 1,3
15,3 1,7
1,0 1,5
4,8 0,9
0,5 2,3
0,4 1,8
0,8 0,7
0,7 1,7
100,0 2.8
5.9 2,0
5,2 0,8
3,5 0,4
1,8
15,2 15,6
10,4 1,3
14,4 1,9
1,8 1,1
1,6 5,4
1,0 2,6
2,5 0,4
0,9 0,7
0,8 2,1
100,0 2,6
6,0 2,0
5,3 0,8
3,6 0,4
1,8
15,0 15,7
10,3 1,3
14,4 1,9
1,8 1,1
1,6 5,6
1,0 0,6
2,5 0,4
0,9 0,7
0,6 2,1
100,0 2,5
6,0 2,0
5,4 0,8
3,7 0,4
1,8
14,9 15,8
10,2 1,3
14,4 1,9
1,8 1,0
1,6 5,5
1,0 0,6
2,5 0,4
1,1 0,7
0,5 2,1
100,0 1,7
6,1 2,0
2,0 0,8
3,1 0,5
1,9
17,7 17,4
10,8 1,4
16,6 1,8
1,1 1,6
2,9 1,0
0,6 2,6
0,4 1,9
0,9 0,7
0,8 1,8
100,0 1,7
6,2 2,0
2,1 0,8
3,1 0,5
1,9
17,7 17,3
10,7 1,4
16,5 1,8
1,1 1,6
2,9 1,0
0,6 2,5
0,4 1,9
0,9 0,7
0,8 1,8
100,0 1,7
6,3 2,0
2,2 0,8
3,1 0,5
1,8
17,8 17,3
10,5 1,4
16,6 1,8
1,1 1,6
2,9 1,0
0,6 2,5
0,4 1,9
0,9 0,7
0,8 1,8
100,0 1,8
6,4 2,2
2,5 0,8
3,3 0,5
2,0
16,7 16,1
10,4 1,4
15,8 2,1
2,0 1,2
1,7 3,2
1,0 0,6
2,7 0,5
1,0 0,8
0,8 2,4
100,0 1,7
6,5 2,2
2,5 0,8
3,3 0,5
2,0
16,4 16,4
10,6 1,4
15,8 2,1
2,0 1,2
1,7 3,3
1,1 0,7
2,7 0,5
1,0 0,8
0,6 2,3
100,0 1,6
6,6 2,2
2,6 0,8
3,2 0,5
1,9
16,3 16,6
10,5 1,4
15,8 2,1
2,0 1,1
1,7 3,1
1,1 0,7
2,8 0,5
1,2 0,8
0,6 2,3
100,0
Keterangan: tidak lagi termasuk Timor Timur dan belum memasukan propinsi-propinsi baru seperti propinsi Banten dsb.nya. Sumber: BPS 2001.
Dengan memakai data PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1993, hasil studinya memperlihatkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi antarpropinsi di IKB ternyata lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan
ekonomi rata-rata di Indonesia. Indeks ketimpangan ekonomi daerah di IKB selama periode yang diteliti adalah antara 0,179 paling rendah hingga 0,392 paling tinggi. Disamping itu, sejak 1990 mulai terlihat adanya tendensi
menurun. Sedangkan indeks ketimpangan untuk IKT berkisar antara terendah 0,396 hingga tertinggi 0,544 dan cenderung terus meningkat. Hasil studi ini manandakan bahwa ketimpangan ekonomi di IKT lebih tinggi dan
cenderung memburuk dibandingkan di IKB. Didasarkan atas PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1998, hasil studinya yang lain menunjukkan bahwa
indeks ketimpangan ekonomi antarpropinsi berkisar antara 0,4-0,7. Angka ini diduga lebih tinggi dibandingkan indeks rata-rata untuk NSB. NSB lain yang indeksnya juga hampir sama dengan Indonesia adalah Brasil, Kolumbia
dan Filipina. Berdasarkan perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa ketimpangan ekonomi antarpropinsi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan rata-rata NSB. Selain itu, hasil studi ini juga menunjukkan adanya tendensi
peningkatan ketimpangan ekonomi antarpropinsi di Indonesia sejak awal 1970an. Sedangkan tingkat ketimpangan menunjukkan sedikit penurunan dari 0,671 pada tahun 1997 menjadi 0,605 pada tahun 1998. Menurut studi ini,
penurunan indeks tersebut diperkirakan sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi di mana banyak daerah-daerah maju dengan tingkat konsentrasi industri yang tinggi seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang sangat
tajam. Sedangkan propinsi-propinsi yang kurang maju pada umumnya adalah daerah-daerah pertanian, seperti
26 misalnya Sulawesi, dan sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan merupakan satu-satunya sektor yang
cukup mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Hal ini membuat perekonomian propinsi-propinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi.
Tadjoeddin dkk. 2001 menganalisa ketimpangan regional pada tingkat yang lebih disagregat dengan memakai data kabupatenkota tahun 1996. Mereka menemukan bahwa dari jumlah kabupatenkota yang ada pada
tahun itu, ada sejumlah kabupatenkota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi yang menjadikan daerah-daerah itu sebagai daerah-daerah kantong enclave, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas,
atau SDA lainnya. Menurut mereka, dilihat dari sebaran PDRB per kapita, daerah-daerah kantong ini bisa ditempatkan sebagai data pencilan out layers. Hasil penghitungan Tadjoeddin dkk. 2001 menunjukkan bahwa
PDRB dari tujuh daerah pusat produksi migas, yakni Aceh Utara Aceh, Kepulauan Riau dan Bengkalis Riau, Kutai, Bulungan dan Balik Papan Kalimantan Timur, dan Fak-Fak Papua menguasai 72 dari PDB migas
nasional. Tujuh daerah ini ditambah dengan 13 kabupatenkota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi tersebut di atas, menghasilkan 19 daerah kantong, karena kabupaten Kutai yang tetap memiliki PDRB per kapita
yang sangat tinggi setelah dikurangi dengan penghasilan dari migas termasuk di dalam kedua kategori tersebut. Hasil penghitungan mereka menunjukkan bahwa semua daerah kantong itu dengan jumlah penduduk hanya sekitar
9 dari total populasi Indonesia menyumbang sekitar 33 dari PDB nasional.
14
Selain itu, Tadjoeddin dkk. 2001 juga melakukan analisis dekomposisi ketimpangan pendapatan regional ke dalam dua komponen, yakni ketimpangan pendapatan antar individu di dalam propinsi dan ketimpangan
pendapatan antar propinsi, dengan indeks Theil dan indeks L Hasilnya di Tabel 14 juga menunjukkan kecenderungannya yang sama, yakni adanya migas dan daerah kantong memperparah ketimpangan regional di
Indonesia. Selanjutnya, di Tabel 15 diperlihatkan bahwa berdasarkan dua indeks ini, kontribusi dari daerah kantong terhadap total indeks ketimpangan regional mencapai 60 hingga 70.
Tabel 14: Beberapa Indeks Ketimpangan Regional dalam PDRB per kapita atas harga konstan 1993 menurut KabupatenKota: 1993-1998
1993 1994 1995 1996 1997 1998
Gini
Total Tanpa Migas
Tanpa Migas dan Daerah Kantong
Theil
Total Tanpa Migas
Tanpa Migas dan Daerah Kantong
L
Total Tanpa Migas
0,412 0,363
0,248
0,342 0,263
0,102
0,274 0,213
0,411 0,366
0,251
0,339 0,268
0,104
0,273 0,217
0,411 0,371
0,256
0,336 0,275
0,108
0,270 0,222
0,415 0,378
0,267
0,338 0,282
0,119
0,277 0,230
0,415 0,381
0,271
0,339 0,288
0,122
0,277 0,234
0,407 0,363
0,257
0,345 0,266
0,109
0,268 0,212
14
Yang menarik dari studi mereka adalah jika out layers tersebut tidak dimasukkan di dalam analisa, ketimpangan PDRB per kapita antar propinsi menjadi sangat rendah. Tanpa migas dan daerah kantong, nilai Gini dari distribusi PDB nasional per kapita menurut
kabupatenkota selama 1993-1998 berkisar antara 0,24 dan 0,27. Jika daerah kantong juga diperhitungkan, koefisien Gini naik sampai sekitar 0,36-0,38, dan tambah tinggi lagi menjadi sekitar 0,41 jika migas juga diikut sertakan
27
WCV
Total Tanpa Migas
Tanpa Migas dan Daerah Kantong 0,096
1,076 0,923
0,483 0,098
1,067 0,938
0,489 0,102
1,070 0,962
0,511 0,110
1,073 0,966
0,526 0,114
1,080 0,982
0,534 0,103
1,165 0,965
0,501
Sumber: Tadjoeddin dkk 2001.
Hal lain yang menarik dari studi Tadjoeddin dkk. 2001 ini adalah mengenai ketimpangan di dalam propinsi. Dengan memakai data pengeluaran dan Indeks Theil dan Indeks-L, hasil analisis mereka menunjukkan bahwa
ketimpangan dalam pengeluaran di dalam propinsi jauh lebih besar daripada ketimpangan antar propinsi. Pada tahun 1990, ketimpangan di dalam propinsi menyumbang sekitar 83 terhadap ketimpangan pengeluaran
konsumsi pada tingkat nasional. Sedang sisanya 17, disebabkan oleh ketimpangan antarpropinsi. Pada tahun 1999 distribusinya sedikit perubah, namun kontribusi dari ketimpangan di dalam propinsi tetap dominan dalam
penciptaan ketimpangan nasional. Penemuan ini menunjukkan dengan jelas bahwa masalah pembangunan ekonomi yang timpang di Indonesia selama ini tidak hanya mengakibatkan ketimpangan antar daerah tetapi juga
ketimpangan antara kaum kaya dengan kaum miskin di setiap daerah Tabel 16.. Tabel 15: Persentase Perubahan Indeks-Indeks Ketimpangan antar KabupatenKota setelah dikurangi Migas
Dan Daerah Kantong: 1993-1998
Indeks 1993 1994
1995 1996
1997 1998
Gini Theil
L WCV
40 70
65 55
39 69
64 54
38 68
62 52
36 65
60 51
35 64
59 51
37 68
62 57
Sumber: Tadjoeddin dkk. 2001
Studi lain yang juga dengan indeks Theil adalah dari Akita dan Alisjahbana 2002. Dengan memakai data output dan populasi pada tingkat kabupatenkota untuk periode 1993-1998, mereka melakukan analisis dekomposisi
ketimpangan regional ke dalam tiga komponen, yakni antar-wilayah yakni Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan ‘lainnya’, antar propinsi, dan di dalam propinsi. Studi ini menunjukkan bahwa antara 1993 dan 1997,
ketika Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun lebih dari 7, ketimpangan pendapatan regional mengalami suatu peningkatan yang cukup signifikan, dari 0,262 tahun 1993 ke 0,287 tahun 1997. Hasil analisis
dekomposisi ketimpangan dengan indeks Theil menunjukkan bahwa kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh suatu kenaikan ketimpangan di dalam propinsi, terutama di Riau, Jakarta, dan Jawa Barat dan Jawa Timur. Tahun
1997, komponen ketimpangan di dalam propinsi menyumbang sekitar 50 dari ketimpangan regional di Indonesia. Penyebaran dari efek dari krisis ekonomi, yang mengakibatkan merosotnya PDB per kapita ke tingkat tahun 1995,
ternyata tidak merata lintas propinsi dan kabupatenkota. Pada tahun 1998 ketimpangan pendapatan regional menurun ke tingkat 1993-94. Berbeda dengan periode 1993-97, sekitar ¾ dari penurunan tersebut diakibatkan oleh
suatu perubahan dalam ketimpangan antar propinsi, dengan wilayah Jawa-Bali memegang suatu peran yang dominan.
28
Tabel 16: Ketimpangan Pengeluaran Konsumsi di dalam Propinsi dan antarpropinsi dengan Indeks Theil dan Indeks-L, 1990-1999
Theil L 1990 1993
1996 1998 1999 1990
1993 1996 1998
1999 Total
Antar propinsi Di dalam propinsi
antar propinsi di dalam propinsi
0,245 0,041
0,204 17
83 0,266
0,050 0,216
19 81
0,261 0,053
0,208 20
80 0,215
0,043 0,172
20 80
0,230 0,050
0,180 22
78 0,223
0,030 0,193
13 87
0,239 0,036
0,203 15
85 0,216
0,045 0,171
21 79
0,172 0,038
0,134 22
78 0,190
0,040 0,150
21 79
Sumber: Tabel 2 di Tadjoeddin dkk. 2001.
Bukti empiris diatas memberi kesan kuat bahwa pemerintah selama ini berhasil menahan tingkat ketimpangan paling tidak tetap rendah, dan rendahnya tingkat kesenjangan tersebut memperbesar efek positif dari pertumbuhan
ekonomi yang tinggi terhadap pengurangan jumlah orang miskin, terutama pada era Orde Baru. Secara teoritis, perubahan pola distribusi pendapatan di perdesaan dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:
1. Akibat arus penduduktenaga kerja dari perdesaan ke perkotaan yang selama Orde Baru berlangsung sangat pesat. Sesuai teori A. Lewis 1954, perpindahan orang dari perdesaan ke perkotaan memberi suatu dampak
positif terhadap perekonomian di perdesaan: kesempatan kerja produktif, tingkat produktivitas dan pendapatan rata-rata masyarakat di perdesaan meningkat. Sedangkan, ekonomi perkotaan pada suatu saat akhirnya tidak
mampu menampung suplai tenaga kerja yang meningkat terus setiap tahunnya, yang sebagian besar adalah pendatang dari perdesaan, yang akhirnya berakibat pada peningkatan pengangguran, di satu pihak, dan
menurunnya laju pertumbuhan tingkat upahgaji, di pihak lain. 2. Struktur pasar dan besarnya distorsi yang berbeda di perdesaan dengan di perkotaan. Di perdesaan jumlah sektor
relatif lebih kecil dibandingkan di perkotaan, dan sektor-sektor yang ada di perdesaan lebih kecil dilihat dari jumlah unit usaha di dalam dan output yang dihasilkan oleh sektor dibandingkan sektor-sektor yang sama di
perkotaan. Perbedaan ini ditambah dengan tingkat pendapatan per kapita di perdesaan yang lebih rendah daripada di perkotaan membuat struktur pasar di perdesaan jauh lebih sederhana daripada di perkotaan.
Struktur pasar yang sederhana ini membuat distorsi pasar juga relatif lebih kecil kesempatan berusaha bagi individu lebih besar di perdesaan dibandingkan di perkotaan.
3. Dampak positif dari proses pembangunan ekonomi nasional. Dampak tersebut bisa dalam beragam bentuk, diantaranya:
a. semakin banyak kegiatan-kegiatan ekonomi di perdesaan di luar sektor pertanian, seperti industri
manufaktur kebanyakan dalam skala kecil, atau industri rumah tangga, perdagangan, perbengkelan dan jasa lainnya, dan bangunan. Diversifikasi ekonomi perdesaan ini tentu menambah jumlah kesempatan
kerja di perdesaan dan juga menambah pendapatan petani; b.
tingkat produktivitas dan pendapatan riil tenaga kerja di sektor pertanian meningkat, bukan saja akibat arus manusia dari sektor tersebut ke sektor-sektor lainnya di perkotaan seperti di dalam teori A. Lewis, tetapi
juga akibat penerapanpemakaian teknologi baru dan penggunaan input-input yang lebih baik, seperti
29 misalnya pupuk hasil pabrik, dan permintaan pasar domestik dan ekspor terhadap komoditas-komoditas
pertanian meningkat; c.
potensi SDA yang ada di perdesaan semakin baik dimanfaatkan oleh penduduk desa pemakaian semakin optimal.
Tentu prestasi Indonesia mengenai keberhasilannya menahan tingkat ketimpangan tetap rendah dalam proses pembangunan yang pesat atau pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti pada masa pra-krisis 199798 tidak bisa
diukur secara absolut, tetapi harus dilihat secara relatif dibandingkan di banyak negara lainnya, khususnya dari kelompok NSB. Untuk ini, Tabel 17 menyajikan data mengenai kesenjangan dalam distribusi pendapatan
pengeluaran dengan kriteria Bank Dunia dari sejumlah NSB. Dilihat dari porsi dalam total pengeluaran dari kelompok 20 termiskin, dapat dikatakan bahwa Indonesia relatif baik dibandingkan banyak negara lainnya.
Tabel 17. Ketimpangan Pendapatan di Sejumlah NSB
Persentase bagian dari pendapatan atau konsumsi Negara
Tahun survei
Indeks Gini 20 Terendah
20 Tertinggi Albania
Argentina Bangladesh
Bolivia Brazil
Cambodia Cameroon
Chile China
Costa Rica Egypt
El Savador Guatemala
India Indonesia
Korea, Rep. Lao PDR
Malaysia Mexico
Nicaragua Panama
Peru Philippines
Thailand Tunisia
Uruguay Vietnam
2002 2001
2000 1999
1998 1997
2001 2000
2001 2000
1999 2000
2000
1999-00 2002
1998 1997
1997 2000
2001 2000
2000 2000
2000 2000
2000 1998
28,2 52,2
31,8 44,7
59,1 40,4
44,6 57,1
44,7 46,5
34,4 53,2
48,3 32,5
34,3 31,6
37,0 49,2
54,6 55,1
56,4 49,8
46,1 43,2
39,8 44,6
36,1 9,1
3,1 9,0
4,0 2,0
6,9 5,6
3,3 4,7
4,2 8,6
2,9 2,6
8,9 8,4
7,9 7,6
4,4 3,1
3,6 2,4
2,9 5,4
6,1 6,0
4,8 8,0
37,4 56,4
41,3 49,1
64,4 47,6
50,9 62,2
50,0 51,5
43,6 57,1
64,1 41,6
43,3 37,5
45,0 54,3
59,1 59,7
60,3 53,2
52,3 50,0
47,3 50,1
44,5
Sumber: World Bank 2005a.
V. Kemiskinan di Pertanian
Kemiskinan adalah suatu fenomena atau proses multidimensi, yang artinya kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor World Bank, 2000. Namun, di Indonesia kemiskinan merupakan suatu fenomena yang erat
30 kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi di perdesaan pada umumnya dan di sektor pertanian pada khususnya.
Oleh sebab itu, fenomena kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami fenomena kemiskinan di perdesaan atau di sektor pertanian. Pernyataan ini didukung oleh banyak fakta. Fakta pertama
adalah bahwa sektor terbesar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia selama ini adalah pertanian.
15
Walaupun tren perkembangan jangka panjangnya menurun, pertanian tetap paling banyak menyerap tenaga kerja Tabel 18.
Pada awal dekade 70-an, sekitar 67 dari jumlah angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor ini, dan pada tahun 2003 menurun menjadi sekitar 46,3. Penurunan daya serap pertanian terhadap pertumbuhan tenaga kerja ini juga
terjadi di banyak negara lainnya, yang merupakan salah satu ciri utama dari proses transformasi ekonomi yang terjadi seiring dengan proses pembangunan ekonomi yang berkelanjutan Gambar 2.
Tabel 18: Kesempatan Kerja menurut Sektor di Indonesia, 1990-2003
Sektor 1971 1980 1985 1990
1995 2000
2003 Pertanian
Industri Pertambangan
Lainnya 67,04
6,92 0,21
25,83 56,3
9,14 0,76
33,80 54,66
9,28 0,67
35,39 55,87
10,14 0,7
33,29 43,98
12,64 0,8
42,58 45,28
12,96 0,58
41,18 46,26
12,04 0,98
40,72 Sumber: BPS
Gambar 2: Pangsa Pertanian dalam Jumlah Tenaga Kerja yang Bekerja di Negara-Negara Tertentu di Asia []: 1985-2003
10 20
30 40
50 60
70 80
1985 1990
1995 2000
2003 Indonesia
China Thailand
Vietnam
Sumber: BPS dan ADB database
Data berikut yang disajikan di Tabel 19 sd Tabel 21 memperkuat bukti empiri bahwa posisi pertanian memang sangat krusial bagi pertumbuhan kesempatan kerja atau sumber pendapatan di Indonesia. Dapat dilihat bahwa
sebagian besar dari jumlah kesempatan kerja terdapat di daerah perdesaan, yang pada tahun 2003 tercatat 60 dari jumlah angkatan kerja yang bekerja, berkurang dari 75 pada awal dekade 90-an Tabel 19. Sebagian besar dari
tenaga kerja yang bekerja di daerah perdesaan bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani Tabel 20. Pada awal dekade 90-an, sektor ini menyerap sekitar 70, dan sedikit menurun ke 68 pada tahun
15
Itu sebabanya kenapa ada suatu kepercayaan umum bahwa Indonesia sebagai suatu ekonomi agraris yang besar, hanya intervensi pemerintah di sektor pertanian yang bisa berdampak besar terhadap pengurangan kemiskinan di tanah air, atau seperti argumen dari
Mason dan Baptist 1996, bahwa cara-cara langsung untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia dari sisi kebijakan adalah lewat penyempurnaan kerjamekanisme pasar atau menghilangkan distorsi-distorsi pasar terutama untuk output, tanah, dan modal.
31 2003. Sedangkan yang bekerja di sektor industri sangat kecil porsinya, karena memang sebagian besar industri di
Indonesia, terutama yang sifatnya footloose seperti elektronik, mesin, dan tekstil dan pakaian jadi berada di daerah perkotaan atau dipinggir kota-kota besar seperti Jabotabek, Surabaya, Medan, Semarang dan Makassar.
Industri-industri seperti ini lebih tergantung pada pasar output daripada lokasi sumber daya alam, dan untuk kebutuhan tenaga kerja mereka bisa dengan mudah didapat di daerah perkotaan. Sumber pendapatan satu-satunya
atau utama bagi sebagian besar rumah tangga RT di perdesaan berasal dari bertani, yang tercatat sebesar 46,3; sedangkan di perkotaan sebaliknya, hanya sekitar 6. Jumlah RT di perdesaan yang salah satu sumber
pendapatannya di pertania juga cukup besar, yakni sekitar 13,2. Bahkan sekitar 2,6 dari jumlah RT di perkotaan juga sangat tergantung pada pertanian Tabel 21.
.Tabel 19: Distribusi Kesempatan Kerja menurut Daerah di Indonesia, 1990-2003
Sektor 1990 1995 2000 2003
Perdesaan Perkotaan
75 25
67 33
62 38
60 40
Sumber: BPS
Tabel 20: Kesempatan Kerja di Perdesaan menurut Sektor di Indonesia, 1990-2003
Sektor 1990 1995 2000 2003
Pertanian Industri
Jasa 70
9 22
60 11
29 66
10 24
68 9
24 Source: BPS
Tabel 21: Pendapatan Keluarga menurut Sumber di Indonesia, 1995
Sumber Nasional
Perdesaan Perkotaan
Semua: -
Pertanian -
Non-pertanian Kombinasi
- Sebagian besar pertanian
- Sebagian besar non-pertanian
24,9 52,5
22,6 9,9
12,7 46,3
27,4 26,3
13,2 13,1
6,0 84,0
10,0 2,6
7,4 Sumber: BPS
Fakta kedua adalah bahwa sebagian besar dari penduduk miskin di Indonesia bekerja di pertanian, seperti yang ditunjukkan oleh data SUSENAS di Tabel 22. Pada tahun 1996, tercatat hampir 69 dari jumlah keluarga miskin di
Indonesia memiliki sumber pendapatan di pertanian, baik sebagai petani dengan lahan atau tanpa lahan sendiri maupun buruh lepas atau kontrak, dan pada tahun 2002 porsinya sekitar 67.
16
Bahkan, satu hal yang menarik seperti yang ditunjukka di Tabel 23 adalah bahwa kegiatan pertanian mempunyai suatu peran yang dominan sebagai
sumber pendapatan bagi banyak keluarga miskin di daerah perkotaan. Bisa dilihat di pinggiran kota Jakarta, Bekasi
16
Satu hal yang menarik dari Tabel 8 adalah bahwa pada tahun 1998 walaupun jumlah keluarga miskin di pertanian meningkat, seperti juga terjadi di sektor-sektor lain pada masa krisis ekonomi, namun secara relatif menurun. Distribusi dari peningkatan kemiskinan menurut sektor
pada tahun 1998 ini membuktikan bahwa pertanian bukanlah sektor yang paling menderita karena krisis. Pandangan ini juga didukung oleh studi dari Pradhan dkk. 2000 yang menganalisis peningkatan kemiskinan menurut sektor semasa krisis. Berdasarkan data SUSENAS
Februari 1996-Februari 1999, hasil estimasi mereka menunjukkan bahwa walaupun tingkat kemiskinan di pertanian juga mengalami peningkatan selama periode tersebut, namun menurun sebagai suatu persentase dari jumlah orang miskin di Indonesia.
32 dan Tangerang banyak keluarga miskin menanam berbagai jenis komoditas pertanian di lahan yang sempit dipinggir
sungai dan menjualnya setiap hari ke pasar-pasar terdekat, yang merupakan sumber pendapatan mereka satu-satunya.
Tabel 22: Distribusi Keluarga Miskin menurut Pekerjaan UtamaSumber Pendapatan, 1996-2002
Sektor 1996 1998
1999 2000
2001 2002 Pertanian
Industri Jasa
68,5 6,7
24,7 56,7
7,4 35,9
58,4 8,7
32,9 51,7
13,8 34,5
63,0 11,9
25,1 67,4
10,3 22,3
Sumber: BPS
Tabel 23: Distribusi Keluarga Miskin menurut Sektor dan Wilayah: 2002
Sektor Perkotaan Perdesaan
Pertanian Kehutanan
Perikanan Pertambangan
Industri Listrik
Konstruksi Perdagangan
Transportasi Keuangan
Jasa-jasa Lainnya
31,11 0,23
1,48 1,25
12,17 0,10
9,67 14,06
8,94 0,69
8,14 0,04
69,09 1,34
2,23 0,49
4,98 0,02
3,63 5,00
2,73 0,08
2,40 0,06
Sumber: BPS.
Bukti empiris di Tabel 22 dan Tabel 23 merefleksi satu hal yang jelas, yakni penduduk di sektor pertanian pada umumnya selalu lebih miskin dibandingkan penduduk yang sumber pendapatan utamanya dari sektor-sektor
lainnya, terutama industri manufaktur, keuangan, dan perdagangan; walaupun pendapatan bervariasi menurut subsektor atau kelompok usaha di dalam masing-masing sektor tersebut. Sekarang pertanyaannya adalah: kenapa
lebih banyak kemiskinan di pertanian daripada di sektor-sektor lainnya? Tidak sulit untuk mendapatkan jawabannya, diantaranya distribusi lahan yang timpang, pendidikan petani dan pekerja yang rendah, sulitnya
mendapatkan modal, dan nilai tukar petani yang terus menurun.
V.1 Pembagian Lahan Yang Timpang