Etika Bisnis dan Keadilan.

Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 2 Dari uraian singkat diatas didapat suatu gambaran yang jelas bahwa keadaban publik dilihat dari aspek ekonominya adalah menyangkut pendistribusian secara adil barang dan jasa ke semua orang sesuai proporsinya masing-masing. Ketidakadilan dalam ekonomi terjadi dalam berbagai aspek, mulai dari ketimpangan dalam pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian hingga kesempatan mendapatkan pendidikan. Semua ini akhirnya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan dalam ekonomi erat kaitannya dengan masalah kemiskinan dan kesenjangan. Adalah mustahil untuk mengatakan bahwa suatu bangsa sangat beradab apabila di negara tersebut sebagian besar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebagian besar petaninya adalah petani gurem, dan banyak industri mengerjakan buruh anak-anak yang dibayar sangat murah eksploitasi anak-anak.

II. Etika Bisnis dan Keadilan.

Bisnis adalah kegiatan ekonomi, atau ekonomi adalah kegiatan bisnis. Dari sudut pandang ekonomi, bisnis yang baik adalah yang selalu menghasilkan keuntungan besar. Di dalam teori produsen teori ekonomi mikro, dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari keuntungan sebesar mungkin dengan biaya seminimum mungkin. Maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini merupakan cita-cita, atau dasar dari perkembangan kapitalisme liberal yang tumbuh pesat sejak era merkantilisme pada abad ke 18 lalu. Ini juga yang mendorong negara-negara di Eropa Barat melakukan ekspansi ke Afrika, Timur Tengah dan Asia, seperti halnya Belanda ke Indonesia yang diawali dengan misi dagang dari V.O.C. yang akhirnya menjajah Indonesia. Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, maka dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Karena, setiap perusahaanpengusaha akan berproduksi dengan cara mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; kalau bisa tidak mengeluarkan satu senpun biaya yang berarti buruh- buruhnya tidak digaji. Hingga saat ini banyak sekali kasus yang dapat dilihat yang merefleksikan dasar pemikiran bisnis kapitalis. Beberapa contoh dapat disebut di sini. Pertama, salah satu atau bahkan dapat dikatakan sebagai motivasi utama dari perusahaan-perusahaan di negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang adalah mencari tenaga kerja murah. Kedua, banyak perusahaan di Indonesia lebih suka memakai buruh lepas atau kontrakan daripada pegawai tetap demi keuntungan perusahaan. Ketiga, banyak perusahaan-perusahaan di sektor industri manufaktur di Indonesia dan dibanyak negara lainnya melakukan subcontracting dengan pemasok-pemasok skala kecil, bukan karena ingin berbagi keuntungan dengan mereka melainkan untuk mengurangi biaya produksi dan sekaligus menggeser resiko bisnis akibat perubahan pasar secara tiba-tiba ke para pemasok-pemasok tersebut. Sedangkan dari sudut pandang moral, bisnis yang selalu membuat keuntungan besar tidak selalu dianggap sebaga bisnis yang bagus, apabila keuntungan tersebut didapat dengan cara ketidakmanusiaan seperti misalnya Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 3 membayar upah yang sangat murah atau dengan cara penipuan, misalnya memakai bahan baku yang rendah kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, seperti dalam kasus tahu dengan memakai bahan pengawet formalin. Kasus formalin ini merupakan satu contoh konkrit dari suatu sikap pengusahapelaku bisnis yang telah melanggar etika dalam bisnis atau yang umum disebut etika bisnis. Tetapi apakah etika bisnis itu sendiri? Menurut Keraf 1998 etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yang luas, Keraf mengatakan bahwa etika ..........dapat dirumuskan sebagai refleksi krisis dan rasional mengenai: a nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia; dan mengenai b masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima. hal.15. Jadi, secara sederhana etika bisnis dapat dirumuskan sebagai cara-cara yang baik, yang manusiawi dalam melakukan bisnis, atau melakukan bisnis sesuai norma-norma moral yang umum diterima. 1 Masalah etika bisnis tidak hanya pada tingkat pengusahaperusahaan secara individu, tetapi juga pada tingkat nasional, baik yang dilakukan oleh masyarakat secara umum atau pemerintah. Yang dilakukan oleh masyarakat, misalnya penjualan dan pembelian kaset bajakan seperti yang terjadi dalam kasus kaset musik hasil Live Aid yang dipimpin oleh Bob Geldof dan diselenggarkan serentak di stadion F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat, dan di stadion Wembley di London, Inggris, pada 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan untuk mengumpulkan dana untuk membantu korban kelaparan di Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu kemudian muncul kaset-kaset rekaman konser tersebut di sejumlah negara di Timur Tengah dan juga di Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset tersebut mencantumkan made in Indonesia, dan bahkan ada yang memakai pita cukai Indonesia. Menurut berita dari Tempo 14 dan 12 Desember 1985, diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman di Indonesia yang terlibat di dalam pembajakan kaset tersebut. Sedangkan pelanggaran etika bisnis yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini bisa dilihat misalnya adalah dalam kasus pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia memiliki Undang-Undang Agraria dan UUD 1945 Pasal 33 menekankan keadilan dalam ekonomi, sejak pemerintahan Orde Baru hingga saat ini tidak ada usaha mencegahan terhadap “perampasan” tanah milik petani oleh masyarakat kaya. Akibatnya, seperti yang akan dibahas nanti, berdasarkan Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 paling akhir, jumlah keluarga tani tanpa lahan atau dengan lahan kurang dari 0,5 hektar disebut petani gurem meningkat terus. 1 Menurut Keraf 1998, ada tiga norma umum. Pertama, norma sopan santun, atau yang juga disebut norma etiket, adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah manusia, misalnya menyangkut sikap dan perilaku seperti bertamu, makan dan minum, bicara, berpakaian, dll. Kedua, norma hukum, yakni norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, norma moral, yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia yang baik dan adil. Norma moral ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai baik buruknya atau adil tidaknya suatu sikap atau tindakan manusia di dalam suatu masyarakat. Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 4 Jadi, dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan bisnis yang tidak merugikan salah satu pihak atau menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Keraf 1998, ada tiga sasaran dan lingkup pokok etika bisnis. Pertama, etika bisnis sebagai etika profesi 2 membahas berbagai prinsip, kondisi, dan masalah yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Sasaran kedua dari etika bisnis adalah untuk menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas sebagai pemilik aset umum seperti lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapa pun juga. Ketiga, etika bisnis pada tingkat makro, yakni berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Secara konktrit, etika bisnis ini atau disebut juga etika ekonomi berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, dan semacamnya yang snagat mempengaruhi tidak saja sehat-tidaknya suatu ekonomi tetapi juga baik tidaknya praktek-praktek bisnis di suatu negara. Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa etika bisnis sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan, dan dalam hal ini adalah keadilan distributif. Menurut Bertens 2003, berdasarkan keadilan ini negara atau pemerintah harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. Konkritnya dalam aspek sosial- ekonomi adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan dengan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”. Ketidakadilan muncul apabila misalnya pemerintah mengistimewakan orang-orang tertentu yang tidak mempunyai hak khusus, seperti misalnya dalam mendapatkan proyek-proyek pembangunan atau izin impor seperti banyak terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Nepotisme adalah salah satu cara untuk melanggar keadilan distributif. Sedangkan menurut Keraf 1998, prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan distributive menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil pembangunan. hal. 142. Tetapi sekarang pertanyaannya adalah: apa yang menjadi dasar pembagian yang adil itu, apakah sama rata atau sesuai peran dan sumbangan masing- masing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens 2000 melihat pada beberapa teori keadilan distributif. Pertama, teori egalitarianisme yang mengatakan bahwa pembagian bisa dikatakan adil jika semua orang mendapat bagian yang sama. Jadi, dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa membagi dengan adil berarti membagi rata. Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini juga merupakan keyakinan umum masyarakat Perancis dalam revolusinya menumbangkan monarki absolut dan feodalisme pada abad ke 18 dan revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence pada tahun 1776 yang menegaskan ”All men are created equal”. Pemikiran ini juga yang melandasi sistem pemilihan umum dibanyak 2 Keraf 1998 menjelaskan ada empat prinsip etika profesi. Pertama, prinsip tanggung jawab, baik terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya, maupun atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Kedua, prinsip keadilan, yakni dalam melakukan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya. Ketiga, prinsip otonom, yaitu kalangan profesional diberikan kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Keempat, prinsip integritas moral, yakni kalangan profesional dituntut untuk melakukan tugas profesinya sesuai norma-norma yang ada seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 5 negara-negara maju dengan sistem ”one person one vote”. Kedua, teori sosialistis yang memilih prinsip kebutuhan setiap orang sebagai dasar pemikirannya. Menurut teori ini, kehidupan masyarakat adil, jika kebutuhan semua warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Secara konkret, sosialisme terutama memikirkan masalah-masalah pekerjaan bagi kaum buruh dalam konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal dua prinsip, yakni bagaimana beban atau hal-hal yang berat harus dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan dari semua warga masyarakat, dan bagaimana hal-hal yang enak untuk diperoleh harus diberikan sesuai kebutuhan. Contoh dari prinsip pertama tersebut misalnya adalah setiap warga punya hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, termasuk orang-orang cacat, namun orang-orang yang menyandang cacat badan harus diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuan mereka, tidak seberat beban yang diberikan kepada pekerja-pekerja dengan kondisi tubuh yang prima. Sedangkan contoh dari prinsip kedua itu adalah misalnya gaji atau upah dikatakan adil jika sesuai dengan kebutuhan pekerja. Ketiga, teori liberalistis yang menganggap pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yang tidak adil. Menurut teori ini, pembagian harus didasarkan pada usaha-usaha bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak mempunyai hak pula untuk memperoleh sesuatu. Jadi yang bekerja keras mendapat lebih banyak dibandingkan yang malas bekerja. Jadi, penekanan dari teori ini adalah prestasi yang dilihat sebagai perwujudan pilihan bebas seseorang. Tentu ada masalah serius dengan teori ini, pada saat seseorang tidak bisa berprestasi karena cacat atau orang yang menganggur diluar kemauannya sendiri, dan sebagainya. Dua teori pertama tersebut dalam prakteknya mempunyai masalah, terutama dalam ekonomi. Dalam teori pertama, ini artinya upah yang diterima seorang buruh pabrik sama dengan pendapatan dari pimpinan perusahaan. Walaupun seseorang berprestasi jauh lebih bagus dibandingkan orang lain, gaji mereka tetap sama, dan ini tentu sesuatu yang tidak adil. Demikian juga masalah dengan teori kedua. Keadilan distributif yang dianut oleh ekonomi sosialis adalah di mana semua orang dijamin kebutuhan ekonominya secara relatif sama terlepas dari sumbangan dan peran atau prestasinya bagi kehidupan bersama atau perusahaan. Ini pun sistem distribusi yang tidak adil, karena setiap warga akan diberi jatah sesuai dengan kebutuhan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat rendah. Jadi, sistem pembagian sama rata malahan menimbulkan ketidakadilan. 3 Keadilan distributif sering juga dianggap sebagai kata lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang tidak sependapat dengan ini. Misalnya, von Hayek 1995 menolak pemakaian istilah “keadilan sosial”. Menurutnya, keadilan sosial harus dibedakan dengan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno 1986, 87 dan Brrtens 1997, 2000, cara yang paling baik untuk menguraikan keadilan sosial adalah membedakannya dengan keadilan individual. Dua macam keadilan ini berbeda, karena pelaksanaannya berbeda. Bertens 2000 menjelaskan sebagai berikut: Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang atau bisa juga 3 Lihat lebih lanjut pembahasan mengenai adil tidaknya keadilan distributif berdasarkan pembagian sama rata di Keraf 1993, 1998. Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id 6 beberapa orang saja. Dalam pelaksanaan keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung dari struktur-struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Keadilan sosial tidak terlaksana, kalau struktur-struktur masyarakat tidak memungkinkan. Karena itu di sini orang berbicara juga tentang ketidakadilan struktural dan kemiskinan struktural. hal.92. Menurut Bertens 1997, 2000, jika keadilan artinya adalah memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, bila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terlaksana, bila hak-hak individual terpenuhi. Lebih lanjut, Bertens 2000 menjelaskan Keadilan individual sering kali dapat dilaksanakan dengan sempurna. Karena kompleksitas masyarakat modern, keadilan sosial tidak pernah dapat dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan dalam masyarakat, seperti misalnya dinaikkannya pajak, bisa mengakibatkan ketidakadilan struktural untuk golongan tertentu. ............Keadilan sosial merupakan cita-cita yang bisa dihampiri semakin dekat, tapi tidak pernah bisa direalisasikan dengan sempurna. hal.93-94. Jadi yang dimaksud di sini adalah bahwa di satu masyarakat atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik dari pada di masyarakat lain, seperti misalnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yang pelayanan sosialnya sangat baik. Tetapi praktis tidak ada satu masyarakat atau negara pun di mana tidak ada masalah keadilan sosial.

III. Ekonomi Berazas Pancasila