PENDAHULUAN Daya Juang Pelajar Berprestasi Dengan Keterbatasan Kondisi.

1

PENDAHULUAN
Tingkah laku seseorang mengarah kepada suatu tujuan tertentu karena adanya
suatu kebutuhan. Berdasarkan teori McClelland, kebutuhan dapat menyebabkan adanya
dorongan internal yang menggerakkan seseorang melakukan sesuatu ke arah tercapainya
tujuan (Aminah dan Juniarto, 2013). Dalam konteks pendidikan, keberhasilan siswa juga
dipengaruhi oleh kebutuhan berprestasi yang dimiliki. Kebutuhan berprestasi sebagai
daya dorong yang memungkinkan seseorang berhasil mencapai apa yang diinginkan
walaupun mengalami hambatan dalam meraihnya (Sulastri, 2007).
Keberhasilan anak dalam mencapai prestasi idealnya disertai oleh faktor- faktor
pendukung yang terpenuhi dengan sempurna. Baik dari faktor sekolah, pendidik,
lingkungan rumah, peer group, sampai keadaan internal keluarga. Peran orang tua adalah
faktor terpenting dalam mendampingi keberhasilan anak mencapai prestasi. Pemenuhan
kebutuhan kasih sayang, bekal pendidikan, penyediaan fasilitas pendukung, merupakan
sebagian dari peran orang tua yang berkontribusi mendukung keberhasilan anak.
(Manurung, 2009).
Menjadi hal umum ketika anak berprestasi ditopang sepenuhnya dengan faktor
pendukung tersebut di atas. Tetapi Lain halnya dengan yang terjadi di beberapa sekolah
dimana sebagian siswa yang mendapat predikat siswa berprestasi memiliki keterbatasan
kondisi. Keterbatasan kondisi tersebut antara lain berasal dari keluarga yang

berpenghasilan rendah, anak penyintas KDRT, korban broken home, dan yang berkaitan
dengan kegagalan orang tua dalam mengawasi serta melindungi anak secara layak.
Keterbatasan kondisi yang dialami justru tidak menyurutkan semangatnya untuk
tetap berprestasi. Beberapa anak berprestasi yang dijumpai oleh peneliti ternyata
memiliki latar belakang yang kurang mendukung sebagaimana yang telah disebutkan di
atas. Dalam penelitian pendahuluan, anak - anak dengan keterbatasan kondisi tersebut

2

mampu survive meraih prestasi baik di sekolah maupun di lingkungan di mana mereka
tinggal. Anak - anak tersebut yaitu A. F. A (17 thn), M. N. S (16 thn), R. K (14 thn) dan
M.A.P (20 thn). Dalam tabel 1 disajikan data yang berhasil dihimpun dari keempat
subjek.
Tabel 1. Permasalahan pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi
NO
SUBJEK
PRESTASI
PERMASALAHAN
1


a.

Berasal dari keluarga broken, ayah dan ibu

A.F. A

- Peringkat I di SMP kls. 1

17 tahun

- Peringkat I di SMP kls. 2

bercerai sejak subjek duduk di bangku kelas

SMA Al-Abidin

- Peringkat I di SMP kls. 3

5 SD. Menurut pernyataan subjek, penyebab


Surakarta

- Juara 2 Olimpiade Biologi

perceraian adalah nafkah yang diberikan
ayah

tingkat kabupaten

dirasa

tidak

dapat

memenuhi

kebutuhan hidup sehari- hari. Perlakuan

- Juara 2 lomba LKTI


kasar ayah terhadap ibu. Kekerasan dalam

Pramuka tingkat kabupaten

rumah tangga sering dilakukan ayah.
b. Perasaan

subjek

tertekan

karena

ibu

menikah lagi. Ayah ke-dua berlatar belakang
ekonomi

rendah.


Biaya

Sekolah

dan

kebutuhan lain dibiayai oleh kakek dan
nenek. Sedangkan ayah (pertama) melepas
tanggungjawab menafkahi anak.
2

M. N. S

- Peringkat I di SMP kls. 1

a.

16 tahun


- Peringkat I di SMP kls. 2

rendah. Ayah bekerja sebagai penjual karcis

SMA N 1

- Peringkat I di SMP kls 3

di sebuah Perusahaan Otomotif swasta.

Sukoharjo

- Peringkat 10 besar di SMA

Dengan pendapatan tidak menentu setiap

- Juara 1 mengarang CerPen

harinya. Ibu sebagai penjual es dan makanan


di UNS

berpenghasilan

ibu sebagai buruh cuci.

cermat tingkat kabupaten

- Juara 4 lomba rumpun IPA

keluarga

depan rumah. Penghasilan sampingan dari

- Juara 2 lomba Cerdas

tingkat kecamatan

dari


ringan di warung kecil yang terletak di

tingkat kabupaten

- Juara 2 Olimpiade Sains

Berasal

b.

Subjek bersekolah dengan bantuan beasiswa
dari BSM (Beasiswa Siswa Miskin) dan
beasiswa At- Taqwa dari suatu OrMas di
daerahnya.

3

Tabel 1. Lanjutan
3
R. K

14 tahun
SMP N 1 Baki
Sukoharjo

- Peringkat III pada semester

a.

dengan pekerjaan Ayah sebagai satpam di

1

suatu

- Peringkat II pada semester

Instansi

pelayanan


masyarakat.

Perolehan gaji per-bulan 1 juta. Ibu sebagai

2

ibu rumah tangga tanpa penghasilan.

- Peringkat I (kls. 2 SMP)
- Juara 2 Lomba kaligrafi

Berlatar belakang keluarga kurang mampu,

b.

Uang saku 2000 per-hari, tanpa diberi
tambahan uang untuk kebutuhan lain (pulsa,

tingkat kecamatan


infaq wajib, iuran kas kelas, iuran study

- Juara 3 Lomba kaligrafi

tour). Menjual sticker di sekolah untuk

tingkat kabupaten

menambah ekonomi keluarga.

- Guru TPA
c.

Hasil

observasi

menunjukkan,

subjek

memakai sepatu yang pada bagian depan
dan samping robek. Subjek membantu guru
dan penjaga sekolah mencuci piring dan
gelas setiap ada pengajian guru.
4

M. A. P.

- IPS (indeks Pestasi

a.

Ayah bekerja sebagai penjual mie ayam

20 tahun

Sementara) per semester

keliling di Jakarta dengan penghasilan ±1

Universitas

tidak pernah di bawah 3,6

juta per-bulan (tidak menentu). Kembali ke

- Evaluator (Pendampingan

Solo 1-2 bulan sekali untuk berkumpul

Muhammadiyah
Surakarta
(Fakultas agama
Islam- Semester
4)

bersama keluarga.

Pembinaan Baca Al-QuranLPIK)

b.

Ibu membantu menopang ekonomi keluarga

- Mentor di UMS

dengan

- Pengurus karangTaruna di

Pendapatan

order

50ribu

batik

tulis.

per-potong

kain.

Sedangkan satu potong kain diselesaikan ±1

desa Polokarto

minggu.

- Pengurus Naisiyatul
Aisiyah di desa Polokarto

menerima

c.

Penghasilan kedua orang tua yang tidak
menentu, menafkahi 3 orang anak yang

- Menjadi guru les SD

sedang duduk di bangku sekolah dengan

(semua mata pelajaran)

berbagai macam kebutuhan.

- Pengajar TPA

d. Subjek menempuh pendidikan di perguruan
tinggi dengan bantuan beasiswa “mahasiswa
miskin” dari Univeristas.

(Tabulasi data penelitian pendahuluan pada 5 Maret 2015)

Berdasarkan data di atas, subjek A.F.A mengalami berbagai tekanan hidup.
Tanggungjawab seorang ayah kandung dan ayah tiri sebagai tulang punggung keluarga
terutama dalam kebutuhan ekonomi tidak dirasakan dan didapat oleh subjek. KDRT

4

(Kekerasan Dalam Rumah Tangga) kerap terjadi, namun keadaan stressful yang
dirasakan subjek dimanage menjadi sebuah motivasi untuk berprestasi. Begitupun subjek
M. N. S dan M. A. P. yang tetap percaya diri dan berprestasi walaupun memiliki
keterbatasan kondisi baik ekonomi maupun sosial. Ibu atau ayah bekerja sebagai penjual
keliling, tidak membuatnya malu atau canggung dalam bersosial dan meraih prestasi.
Sedangkan subjek R.K dengan keterbatasan penghasilan orang tua, tetap bisa menerima
dan ikut perihatin membantu perekonomian keluarga dengan menjual stiker di sekolah,
membantu penjaga sekolah, membantu menjadi guru TPA dan tidak merasa minder
dengan penampilannya. Keempat subjek di atas merubah keterbatasan menjadi sebuah
peluang untuk tetap produktif dan berprestasi.
Hal serupa dialami oleh siswa - siswa di SMK IT Smart Informatika Surakarta,
yang

didirikan

oleh

yayasan

Solo

Peduli,

ikut

berperan

aktif

di

berbagai championship baik tingkat regional maupun nasional. Sekolah yang notabene
seluruh siswanya berlatar belakang keluarga yang tidak mampu, mereka dapat bersaing
bahkan menorehkan prestasi. Beberapa prestasi yang baru saja diraih diantaranya adalah
juara II olimpiade Matematika Jateng, Juara II English Speech Contest SMK Jateng,
Juara I dan II merakit Komputer se-Surakarta (Catatan lapangan penelitian pendahuluan
pada 4 Februari 2015).
Hasil penelitian awal yang dilakukan peneliti tersebut sejalan dengan hasil
penelitian dalam jurnal ilmiah yang dilakukan oleh Suryaningrum dan Ramadhanu
(2104) pada individu difabel yang mampu meraih kesuksesan dan dapat berkarir di
tengah keterbatasan dan hambatan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif
dengan pemberian skala pada individu difabel berkategori tuna daksa sebanyak 29 orang.
Bumi (2013) juga menyatakan hal yang serupa di dalam penelitiannya mengenai
fenomena akademik siswa miskin yang bersekolah di kalangan Elite. Penelitian ini

5

menghasilkan

upaya

para

siswa

miskin

untuk

tetap

mempertahankan

dan

mengembangkan prestasinya dengan t indakan rasionalitas dan tradisional. Tindakan
rasionalitas dilakukan mengacu pada kesadaran individu yang ingin meraih prestasi sesuai
dengan cita-cita dan harapannya. Sedangkan, latar belakang atas keinginan mereka untuk
masuk pada sekolah favorit menunjukkan adanya tindakan tradisional dimana dorongan dan
dukungan dari orang tua untuk mencapai keinginan dari orang tua.

Bukan menjadi hal mudah bagi individu yang mendapat tekanan di lingkungan
keluarga dapat survive dengan kondisi tersebut. Kesulitan keadaan yang mereka alami di
lingkungan keluarga tidak menjadi hambatan untuk tetap berkarya, berprestasi demi
mengangkat derajat hidup mereka.
Departemen Pendidikan Nasional (2007) & Chin & Hung (2013) menjelaskan
bagaimana individu beradaptasi dengan hambatan dan masalah yang dihadapi, sehingga
mampu mengubah tantangan menjadi peluang. Konsep ini disebut dengan Daya Juang.
Stoltz (2007) menyebut daya juang sebagai kecerdasan adversitas (Adversity Quotient/
AQ). Adversity Quotient merupakan kemampuan yang dimiliki individu dalam
menghadapi dan berusaha keras mengatasi kesulitan, sehingga tidak berdampak secara
mendalam pada usaha individu dalam menjalani kehidupannya. Individu yang dapat
mempergunakan kecerdasan itu secara optimal, kemungkinan besar akan mampu
menggapai cita- cita dan tujuan yang ingin diraih. Hal inilah yang menjadi perhatian
besar bagi peneliti untuk menggali lebih dalam bagaimana daya juang pelajar berprestasi
tetapi memiliki latar belakang keterbatasan kondisi. Berdasarkan latar belakang
permasalahan dan sesuai dengan penelitian pendahuluan diatas, maka permasalahan yang
dirumuskan adalah bagaimana daya juang pada pelajar berprestasi dengan keterbatasan
kondisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menjelaskan daya juang pada
pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi.

6

Diharapkan penelitian ini memberikan manfaat antara lain; Secara teoritik hasil
penelitian ini memungkinkan dalam melengkapi teori yang ada, yaitu perihal daya juang
(adversity quotient) terutama di dunia pendidikan, sehingga dapat memberikan
sumbangan dalam pengembangan ilmu Psikologi dan pendidikan. Sedangkan secara
praktis, sebagai bahan acuan orangtua, instansi pendidikan, guru bimbingan konseling
atau psikolog untuk melakukan tindakan atau intervensi dalam rangka membangun
kecerdasan daya juang (AQ) anak atau peserta didik. Sebagai salah satu bahan
pembelajaran bagi anak dengan keluarga berekonomi rendah, anak penyintas kekerasan,
anak dengan kebutuhan kasih sayang yang tidak terpenuhi, atau anak terlantar lainnya
dalam mengubah masalah atau hambatan sebagai sebuah tantangan dan peluang untuk
mencapai sukses. Sebagai rujukan bagi peneliti berikutnya dalam mengkaji lebih dalam
masalah kecerdasan daya juang (AQ) anak.
Studi mengenai daya juang telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti hasil
penelitian daya juang dan penerimaan diri pada penderita lupus, yang dilakukan oleh
Novianty (2014) meggunakan wawancara, observasi dan dokumen tertulis dalam
memperoleh data. Santos (2012) juga melakukan penelitian mengenai keefektifan
program Adversity Quotient di Sekolah luar biasa. Metode yang digunakan adalah
eksperimen, dengan mengontrol perilaku dengan memberlakukan format AQ dalam
beberapa pekan. Format AQ yang digunakan adalah pertanyaan atau quotes motivasi,
membaca kualitas input, checking kompre, aplikasi personal, reinforcement, dan
pemberian tugas.
Penelitian yang dilakukan oleh Akbar, Supriyono dan Ramli (2014) mengenai
peran EQ dan AQ terhadap kecemasan menghadapi dunia kerja pada siswa SMK.
Penelitian bersifat kuantitatif dengan metode statistik linier berganda. Sedangkan
Markman, Baron dan Balkin (2003) meneliti tentang perbandingan ketekunan individu

7

(pegawai) di perusahaan yang sudah lama berdiri dengan pegawai yang baru merintis
suatu usaha. Hasil penelitian menunjukkan pegawai di sebuah perusahaan baru memiliki
skor yang lebih tinggi dalm efikasi diri dan adversity quotient.
Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya antara lain:
judul maupun variabel yang digunakan tidak sama, karakteristik tempat maupun subjek
yang digunakan, sebagian penelitian dilakukan di luar negeri sehingga generalisasi
kesimpulan juga berbeda, perbedaan lain pada metode yang digunakan, sebagian
penelitian menggunakan analisis kuantitatif pada ranah industri organisasi, sedangkan
penelitian ini menggunakan kualitatif studi kasus, dan menekankan pada lingkup
pendidikan. Adapun persamaan antara lain sama-sama menekankan atau mengungkap
fenomena daya juang (AQ).
Daya Juang
Permasalahan yang berat mampu dihadapi jika memiliki ketahanan dan daya
juang untuk terus berusaha. Kemampuan berjuang atau bisa juga disebut daya juang
merupakan kemampuan mempertahankan atau mencapai sesuatu yang dilakukan dengan
gigih. Daya juang adalah kemampuan dalam menghadapi kesulitan atau ketahanan
terhadap situasi yang menekan (Susanti, 2013).
Leman (2007) menambahkan daya juang sebagai kemampuan seseorang baik
fisik maupun psikis untuk menghadapi masalah. Senada dengan pernyataan tersebut,
Departemen Pendidikan Nasional (2007) dan hasil penelitian Chin & Hung (2013),
Markman, Robert dan Balkin (2003) dan Nashori (2007), mengartikan adversity quotient
sebagai “daya juang”, yaitu kemampuan mempertahankan atau mencapai sesuatu yang
dilakukan dengan gigih.

8

Daya juang pertama kali diperkenalkan oleh Paul. G. Stoltz dengan istilah
kecerdasan adversity (Adversity Quotient), yaitu kecerdasan individu dalam menghadapi
rintangan atau kesulitan dengan gigih dan ketekunan seraya tetap berpegang teguh pada
prinsip dan impian. Salah satu rahasia untuk mengatasi tantangan atau kesulitan bagi
setiap individu yaitu dengan meningkatkan AQ - Adversity Quotient (Stoltz, 2003).
Dalam konsep daya juang, individu dengan daya juang yang tinggi, akan
cenderung merasa bertanggung jawab atas masalah yang dihadapinya saat berada dalam
kesulitan, mampu mengontrol masalah, lihai dalam mencari pemecahan masalah dan
fokus terhadap solusi (Stoltz, 2007).
Hasil penelitian Bukhari, Saeed, Nisar (2011) berkontribusi dalam menerangkan
peran Aversity Quotient atau daya juang dan akhlaq (dalam Islam) dalam mempengaruhi
hasil kerja karyawan. Ketika karyawan memiliki daya juang yang tinggi dalam
menghadapi stressor di tempat kerja, mereka akan berupaya menjadi pribadi yang
amanah dalam menyelesaikan permasalahan tersebut dan gigih dalam meningkatkan
kualitas kerjanya.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa daya juang
(adversity quotient) adalah kemampuan, ketahanan dan kegigihan individu dalam
menghadapi kesulitan, mengubah hambatan menjadi sebuah tantangan dan kesempatan
untuk meraih tujuan yang diharapkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya juang menurut Stoltz (2007) adalah
sebagai berikut :
a. Daya saing
Daya juang menjadi rendah dikarenakan tidak adanya daya saing ketika menghadapi
kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan untuk menciptakan peluang dalam
kesulitan yang dihadapi (Bennu, 2012).

9

b. Produktivitas
Berbagai penelitian telah dilakukan baik di dunia pendidikan maupun dunia kerja.
Diantara hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif
antara kinerja karyawan atau prestasi siwa dengan respon yang diberikan terhadap
kesulitan yang sedang dihadapi (Ramadhanu dan Suryaningrum, 2014). Artinya
respon konstruktif yang diberikan seseorang terhadap kesulitan akan membantu
meningkatkan kualitas belajar atau kinerja menjadi lebih baik, dan sebaliknya respon
yang destruktif mempunyai kinerja yang rendah.
c. Motivasi
Motivasi yang kuat mampu menciptakan peluang dalam kesulitan (Chao Ying,
2014), artinya seseorang dengan motivasi yang kuat akan berupaya menyelesaikan
kesulitan dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki.
d. Mengambil resiko
Penelitian yang dilakukan oleh Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz, 2000)
menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai daya juang tinggi lebih berani
mengambil resiko dari tindakan yang dilakukan. Hal itu dikarenakan seseorang
dengan daya juang tinggi merespon kesulitan secara lebih konstruktif.
e. Perbaikan
Seseorang dengan daya juang tinggi senantiasa berupaya mengatasi kesulitan dengan
langkah konkrit (Novianty, 2014), yaitu dengan melakukan perbaikan dalam berbagai
aspek agar kesulitan tersebut tidak menjangkau bidang-bidang yang lain.
f. Ketahanan atau ketekunan
Individu yang merespon kesulitan dengan baik akan senantiasa survive dengan
keadaannya dan menjadikan kesulitan sebagai tantangan yang harus dihadapi.

10

g. Belajar
Anak-anak dengan respon pesimis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan
berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki rasa optimis. Seorang
siswa memiliki banyak rintangan dalam pencapaiannya menuju cita-cita dan
impiannya. Dengan adanya daya juang dan keuletan dalam belajar diharapkan siswa
mampu meraih prestasi belajar yang baik.
Novianty (2014) menambahkan “merangkul perubahan” sebagai salah satu faktor
yang mempengaruhi daya juang. Ketika perubahan terjadi sebagai sebuah peristiwa,
bagaimana individu dapat mengelola perubahan sebagai peluang. Menerima perubahan
dan belajar cara memanfaatkannya ntuk membuat kehidupan yang lebih baik. Istilah
“keluar dari zona nyaman” nampaknya dapat menggambarkan kondisi individu yang
merangkul perubahan.
Lain halnya dengan pendapat Zainuddin (2010), Menurutnya, sejumlah faktor
yang mempengaruhi daya juang antara lain;
a. Pengaruh lingkungan keluarga
Cara orang tua mendidik akan sangat berpengaruh terhadapat AQ anak. Pola asuh
yang baik dimana orang tua memberikan bimbingan dan mengajarkan ketrampilanketrampilan dalam menghadapi kesulitan hidup sebagai bekal anak dalam
menghadapi masa depannya.
b. Pengaruh lingkungan sekolah
Sekolah merupakan wadah untuk mencari ilmu. Tidak hanya itu, sekolah juga
mampu memberikan masukan baik dalam membentuk karakter anak. Karena di
sekolah anak menemukan berbagai macam hal yang bisa mempengaruhi dirinya.

11

c. Pengaruh lingkungan masyarakat
Dapat berupa lingkungan tetanga maupun lingkunan tempat tinggal. Apabila
lingkungan yang diterimanya baik, maka baik pula pengaruhnya.
Sejumlah pendapat mengenai faktor-faktor daya juang di atas, dapat ditarik
kesimpulan terdapat faktor internal dan eksternal mempengaruhi daya juang. Faktor
internal antara lain: motivasi, ketahanan atau ketekunan, mengambil resiko,
produktivitas, perbaikan, merangkul perubahan. Sedangkkan faktor eksternal yaitu: daya
saing dan pengaruh lingkungan. Faktor lingkungan berupa (1) keluarga meliputi pola
asuh, pola pendidikan. (2) Sekolah meliputi belajar, pendidikan formal di dalam kelas
dan informal di luar kelas. (3) lingkungan masyarakat di mana individu itu tinggal.
Terdapat empat dimensi atau aspek dalam daya juang yang sering disingkat
dengan CO2RE yaitu (C) control atau kendali, (O2) origin dan ownership atau asal usul
dan pengakuan, (R) reach atau jangkauan, (E) endurance atau daya tahan (Stoltz, 2000):
a. Control (C)
Dimensi ini mempertanyakan seberapa besar kendali yang dirasakan individu
terhadap situasi yang sulit. Individu yang memiliki tingkat daya juang tinggi akan
berpikir bahwa selalu ada cara menghadapi masalah (Susanti, 2013), proaktif dalam
pendekatan mereka terhadap situasi yang merugikan dan tidak merasa putus asa saat
berada dalam situasi sulit (Chin & Hung, 2013).
b. Origin dan Ownership:
1) Origin
Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan.
Dimensi ini berkaitan dengan rasa bersalah. Santos (2012) dan Kitch (2002)
menyatakan Individu yang memiliki daya juang rendah cenderung untuk
menyalahkan diri sendiri atas peristiwa buruk yang menimpanya. Jika daya juang

12

tinggi,

maka

cenderung

mempertimbangkan

kemungkinan-kemungkinan

eksternal yang berpengaruh.
2) Ownership
Menurut Akbar, Supriyono dan Ramli (2014) dimensi ini mempertanyakan
sejauh mana individu bersedia mengakui akibat yang ditimbulkan dari situasi
yang sulit. Hal ini mencerminkan sikap tanggung jawab (ownership). Individu
berdaya juang tinggi mampu bertanggung jawab dan siap dengan segala resiko,
serta tidak akan menyalahkan orang lain (Ying Shen, 2014).
c. Reach (R)
Dimensi ini mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan
mempengaruhi bagian atau sisi lain dari kehidupan individu (Markman, Baron dan
Balkin, 2003). Individu berdaya juang tinggi akan memperhatikan kegagalan dan
tantangan yang mereka alami, tidak membiarkannya mempengaruhi keadaan
pekerjaan dan kehidupan mereka, begitupun sebaliknya (Huijouan, 2009).
d. Endurance (E)
Dimensi yang mempertanyakan berapa lama situasi sulit akan berlangsung. (Ying
Shen, 2014) menyatakan, individu yang memiliki respon yang rendah pada dimensi
ini akan memandang kesulitan sebagai peristiwa yang berlangsung terus menerus dan
menganggap peristiwa – peristiwa positif sebagai sesuatu yang bersifat sementara.
Sedangkan individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi memiliki
kemampuan yang luar biasa untuk tetap memiliki harapan dan optimis (Markman,
Baron dan Balkin, 2003).
Dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari daya juang adalah (C) control atau
kendali yaitu seberapa besar kendali individu menghadapi masalah, (O2) origin dan

13

ownership atau asal usul dan pengakuan yaitu apa penyebab masalah dan bagaimana
akibatnya terkait dengan diri sendiri, (R) reach atau jangkauan yaitu bagaimana suatu
masalah mempengaruhi dimensi lain dari kehidupan, (E) endurance atau daya tahan
yaitu respon waktu berlangsungnya permasalahan.
Pelajar Berprestasi dengan Keterbatasan Kondisi
Pelajar adalah sekelompok orang dengan usia tertentu yang belajar baik secara
kelompok atau perorangan, memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menyerap
informasi (Nasution, 2004). Pelajar pada dasarnya adalah konsumen dari jasa yang
diberikan oleh pengajar (Sudjana, 2003). Sedangkan Utomo (2013) mengartikan pelajar
sebagai anak didik yang selalu mengikuti aturan-aturan yang di tetapkan oleh institusi di
mana dia berada atau pengajar yang mendidiknya dan selalu mempunyai kewajiban apa
yang telah menjadi tugasnya sebagai peserta didik untuk menjunjung tinggi harkat dan
martabatnya sebagai pelajar.
Azwar (2005), Maslihah (2011) dan Suryabrata (2002) menyatakan bahwa siswa
atau pelajar berprestasi akademik adalah seluruh hasil yang telah dicapai (achievement)
yang diperoleh melalui proses belajar akademik (academic achievement) yang dapat
dipakai sebagai ukuran untuk mengetahui sejauh mana para siswa menguasai bahan
pelajaran yang diajarkan dan dipelajari. Lain halnya dengan pelajar berprestasi tidak
hanya dalam bidang akademik, melainkan prestasi secara keseluruhan, mereka adalah
gambaran pelajar yang berprestasi ideal, yaitu sukses dalam tugas akademik maupun
kehidupan non akademiknya; menguasai bidang ilmu yang ditekuninya, mencapai nilai hasil
belajar yang sangat baik, dapat meningkatkan keterampilan, mengembangkan minat serta
mengasah bakat dan potensi dirinya dengan aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler
(Dirjen Dikti, 2010). Disempurnakan oleh Rushdie dan Isnawati (2009) bahwa prestasi

14

tidak hanya melihat segi kognitif saja, tetapi juga memperdulikan aspek-aspek lain
seperti aspek afektif, behavioral dan spiritual.
Maka yang dimaksud dengan pelajar berprestasi adalah peserta didik dengan usia
tertentu yang menuntut ilmu di sebuah institusi tertentu dan memiliki prestasi dalam segi
kognitif, afektif, behavioral, spiritual, baik dalam bidang akademik maupun nonakademik.
Kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan
sosial warga negara agar dapat hidup layak dengan keamanan, keselamatan dan
ketenteraman serta mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosialnya. Dimensi kesejahteraan manusia yaitu; memiliki ilmu dan pengetahuan,
interaksi sosial yang baik, diri yang diakui, integritas, kesehatan, jaminan ekonomi,
kebebasan, kasih sayang dan harta (Undang-undang No 11, 2009; Rooyen dan Hartell,
2002).
Merujuk pada PERMENSOS RI no. 8 dalam pusat data dan informasi
kesejahteraan sosial (2011), seseorang yang tidak terpenuhi atau dalam “keterbatasan
kondisi” pada beberapa dimensi kesejahteraan tersebut di atas, maka dapat disebut
dengan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). PMKS adalah seseorang,
keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau
gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga tidak terpenuhi kebutuhan
hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosisal secara memadai dan wajar. Hambatan,
kesulitan, atau gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, ketidak harmonisan dalam
keluarga,

ketelantaran,

kecacatan,

ketunaan

sosial,

keterbelakangan,

keterasingan/ketertinggalan, dan bencana alam maupun bencana sosial.
Dapat diambil kesimpulan bahwasannya keterbatasan kondisi di sini adalah
keterpurukan keadaan atau kondisi serba kekurangan dalam keluarga, baik dalam segi

15

keuangan sehingga kebutuhan primer dan sekuder tidak tercukupi, maupun dari segi
sosial meliputi kebutuhan kasih sayang dalam keluarga yang tidak terpenuhi, seperti
penelantaran anak, ketidak harmonisan orang tua, kekerasan dalam rumah tangga, yang
berpengaruh pada dimensi kesejahteraan hidup individu.
Berbagai fenomena terjadi mengenai keluarga dengan kondisi yang tidak layak.
Kondisi tersebut umumnya akan menimbulkan dampak negatif bagi anak. Seperti yang
dikemukakan oleh Dewi, Zukhri dan Dunia (2014), anak yang dibesarkan di dalam
kondisi orang tua tidak harmonis atau dari keluarga berpenghasilan rendah, anak akan
merasa kasih sayang orang tua yang didapatkan tidak utuh, anak akan mencari perhatian
dari orang lain atau bahkan merasa malu, minder, dan tertekan. Selain itu juga anak
kehilangan hak untuk bergembira, bermasyarakat dan mendapatkan kepuasan. Anakanak tersebut umumnya mencari pelarian dan tidak jarang yang akhirnya terjerat dengan
pergaulan bebas, kurang pendidikan bahkan tak jarang anak terpaksa putus sekolah.
Namun ditemukan sejumlah pelajar dengan keterbatasan kondisi justru dapat
survive dengan kondisi tersebut. Kesulitan keadaan yang mereka alami di lingkungan
keluarga tidak menjadi hambatan untuk tetap berkarya, meningkatkan potensi, bahkan
mendapat predikat “berprestasi” demi mengangkat derajat hidup mereka.
Berdasarkan penjelasan dan uraian mengenai daya juang pelajar berprestasi dan
keterbatasan kondisi maka diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana dinamika daya juang pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi?
2. Faktor-faktor apa yang mendukung daya juang pelajar berprestasi dengan
keterbatasan kondisi?
3. Faktor-faktor apa yang menghambat daya juang pelajar berprestasi dengan
keterbatasan kondisi?