DAYA JUANG PELAJAR BERPRESTASI DENGAN KETERBATASAN KONDISI Daya Juang Pelajar Berprestasi Dengan Keterbatasan Kondisi.

DAYA JUANG PELAJAR BERPRESTASI DENGAN KETERBATASAN KONDISI

NASKAH PUBLIKASI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai
Gelar Magister Psikologi

Oleh :
ISNAYA ARINA HIDAYATI
S 300120021

PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

DAYA JUANG PELAJAR BERPRESTASI DENGAN KETERBATASAN KONDISI

NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Kepada Program Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai

Gelar Magister Psikologi

Diajukan oleh :
ISNAYA ARINA HIDAYATI
S 300120021

PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

DAYA JUANG PELAJAR BERPRESTASI DENGAN KETERBATASAN
KONDISI
Isnaya Arina Hidayati1
Magister Psikologi Sekolah Pascasarjana UMS
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menjelaskan dinamika daya juang,
faktor pendukung dan faktor penghambat pelajar berprestasi dengan keterbatasan kondisi.
Karakteristik informan dalam penelitian ini adalah pelajar tingkat SMP, SMA dan
perguruan tinggi yang tercatat sebagai pelajar berprestasi namun memiliki latar belakang

keluarga yang berketerbatasan (ekonomi rendah, penyintas KDRT atau korban broken
home). Informan berjumlah 3 orang dan melibatkan 9 informan pendukung yaitu
orangtua, guru kelas dan teman dekat. Metode pengambilan data yang digunakan adalah
wawancara. Hasil penelitian; 1) Informan mengontrol kesulitan ekonomi dengan perilaku
hidup hemat, sikap prihatin dengan membantu meringankan beban ekonomi orangtua.
Regulasi diri yang baik dalam mengendalikan situasi sulit agar tidak melebar dan
mempengaruhi dimensi pendidikan. Kompensasi yang dilakukan adalah dengan tetap
belajar dan meningkatkan prestasi. Perilaku resiliensi atau kemampuan untuk bangkit dan
memperbaiki keadaan lebih terlihat pada informan korban broken home dan penyintas
KDRT. Adanya rasa syukur, menjadikan informan semakin bersemangat bangkit dari
keterpurukan untuk meraih hidup yang lebih baik, disertai motivasi yang kuat dan efikasi
relasional antara ibu dan informan. 2) Faktor pendukung pelajar berprestasi dengan
keterbatasan kondisi berasal dari faktor internal yaitu daya saing, perilaku coping dan
kemampuan untuk bangkit melakukan perbaikan (resiliensi), kesadaran diri dan
kemampuan berfikir positif disertai rasa syukur, sedangkan faktor eksternal lebih kepada
dukungan sosial dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. 3) Faktor
penghambat daya juang adalah regulasi emosi yang kurang stabil, faktor keuangan, krisis
keberfungsian keluarga dan adanya masalah fatherless. Kesimpulan penelitian ini adalah
pelajar berketerbatasan kondisi melakukan kompensasi dengan pencapaian prestasi
disertai daya juang yang baik dalam menghadapi situasi sulit. Dunia pendidikan baik

dalam lingkup keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat selayaknya berperan aktif
dalam membentuk kualitas generasi penerus dengan membekali kecerdasan daya juang
sejak dini, agar memiliki mental yang tangguh dalam menghadapi berbagai permasalahan
hidup di masa mendatang.
Kata kunci; daya juang, prestasi, keterbatasan kondisi

1

Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

xi

DAYA JUANG PELAJAR BERPRESTASI DENGAN KETERBATASAN
KONDISI
Isnaya Arina Hidayati
Program Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRACT
This study aims to explore and explain the dynamics of the striving force namely, the
supporting and inhibiting factors of high achieving students striving force with

necessitous condition. The informant characteristics of this study are high achieving
students with necessitous condition (students who are needy with the broken home
family and experiencing violence from their family) who attend junior and senior high
school and college students. There are 3 informants and 9 informants complementary,
with interview method. The results of this study are; 1) The Informant controlled
difficult situations with a positive response. It is embodied by informant through selfacceptance ignorance of inferiority feeling with a good attitude. A good self-regulation
being their way to limit difficult situation so that doesn’t affect on educational
dimension. It is compensated through study hard to improve achievement. Behavioral
resilience or ability to get up and fix problems. The informants show their self-awareness
of the importance of achieving their future. Gratitude and acceptance of the situation
make informants increasingly resilient to rise from adversity to achieve a better life.
There is a relational efficacy aspect come from interaction between mother and
informants. 2) Supporting factor is derived from internal factors such as the
competitiveness, coping behavior and the ability of improvement (resilience), visionary
and strong internal motivation, self-awareness and the ability to think positively with
gratitude. While external factors mostly come from social support of family, other
students and community. 3) Inhibiting factors namely are the problem of emotionregulation such as less stable emotional state, poverty, dysfunction of families role and
the problem of Fatherless families. It is concluded that high achieving students with
necessitous condition indeed compensate their condition with good striving force to face
difficult situations. Education either in the family area, school and social environment

should actively take role in shaping the quality of the next generation by supplying
striving force since early stage, so that mentally tough in dealing with various problems
of life in the future.
Keywords: Striving force, high achieving students, necessitous condition
(Aminah & Juniarto, 2013). Dalam
konteks pendidikan, keberhasilan siswa
juga
dipengaruhi
oleh
kebutuhan
berprestasi yang dimiliki. Kebutuhan
berprestasi sebagai daya dorong yang
memungkinkan
seseorang
berhasil
mencapai apa yang diinginkan walaupun

PENGANTAR
Tingkah laku seseorang mengarah
kepada suatu tujuan tertentu karena

adanya suatu kebutuhan. Berdasarkan
teori McClelland, kebutuhan dapat
menyebabkan adanya dorongan internal
yang menggerakkan seseorang melakukan
sesuatu ke arah tercapainya tujuan
1

mengalami hambatan dalam meraihnya
(Sulastri, 2007).
Keberhasilan
anak
dalam
mencapai prestasi idealnya disertai oleh
faktor- faktor pendukung yang terpenuhi
dengan sempurna. Baik dari faktor
sekolah, pendidik, lingkungan rumah,
peer group, sampai keadaan internal
keluarga. Peran orang tua adalah faktor
terpenting
dalam

mendampingi
keberhasilan anak mencapai prestasi.
Pemenuhan kebutuhan kasih sayang,
bekal pendidikan, penyediaan fasilitas
pendukung, merupakan sebagian dari
peran orang tua yang berkontribusi
mendukung
keberhasilan
anak.
(Manurung, 2009).
Menjadi hal umum ketika anak
berprestasi ditopang sepenuhnya dengan
faktor pendukung tersebut di atas. Tetapi
Lain halnya dengan yang terjadi di
beberapa sekolah dimana sebagian siswa
yang mendapat predikat siswa berprestasi
memiliki
keterbatasan
kondisi.
Keterbatasan kondisi tersebut antara lain

berasal dari keluarga yang berpenghasilan
rendah, anak penyintas KDRT, korban
broken home, dan yang berkaitan dengan
kegagalan orang tua dalam mengawasi
serta melindungi anak secara layak.
Bukan menjadi hal mudah bagi
individu yang mendapat tekanan di
lingkungan keluarga dapat survive dengan
kondisi tersebut. Kesulitan keadaan yang
mereka alami di lingkungan keluarga
tidak menjadi hambatan untuk tetap
berkarya, berprestasi demi mengangkat
derajat hidup mereka.
Departemen Pendidikan Nasional
(2007), Chin dan Hung (2013)
menjelaskan
bagaimana
individu
beradaptasi dengan hambatan dan
masalah yang dihadapi, sehingga mampu

mengubah tantangan menjadi peluang.
Konsep ini disebut dengan Daya Juang.
Stoltz (2007) menyebut daya juang
sebagai kecerdasan adversitas (Adversity
Quotient/ AQ). Adversity Quotient
merupakan kemampuan yang dimiliki

individu dalam menghadapi dan berusaha
keras mengatasi kesulitan, sehingga tidak
berdampak secara mendalam pada usaha
individu dalam menjalani kehidupannya.
Individu yang dapat mempergunakan
kecerdasan
itu
secara
optimal,
kemungkinan
besar
akan
mampu

menggapai cita- cita dan tujuan yang
ingin diraih. Hal inilah yang menjadi
perhatian besar bagi peneliti untuk
menggali lebih dalam bagaimana daya
juang pelajar berprestasi tetapi memiliki
latar belakang keterbatasan kondisi.
Berdasarkan permasalahan diatas,
maka
pertanyaan
penelitian
yang
dirumuskan adalah (1) Bagaimana
dinamika daya juang pelajar berprestasi
dengan keterbatasan kondisi? (2) Faktorfaktor apa yang mendukung daya juang
pelajar berprestasi dengan keterbatasan
kondisi? (3) Faktor-faktor apa yang
menghambat
daya
juang
pelajar

berprestasi dengan keterbatasan kondisi?
Daya Juang
Permasalahan yang berat mampu
dihadapi jika memiliki ketahanan dan
daya juang untuk terus berusaha.
Kemampuan berjuang atau bisa juga
disebut
daya
juang
merupakan
kemampuan
mempertahankan
atau
mencapai sesuatu yang dilakukan dengan
gigih. Daya juang adalah kemampuan
dalam menghadapi kesulitan atau
ketahanan terhadap situasi yang menekan
(Susanti, 2013).
Leman (2007) menambahkan daya
juang sebagai kemampuan seseorang baik
fisik maupun psikis untuk menghadapi
masalah. Senada dengan pernyataan
tersebut,
Departemen
Pendidikan
Nasional (2007) dan hasil penelitian
Markman, Robert dan Balkin (2003),
Nashori (2007), Chin & Hung (2013)
mengartikan adversity quotient sebagai
“daya
juang”,
yaitu
kemampuan
mempertahankan atau mencapai sesuatu
yang dilakukan dengan gigih.
Daya
juang
pertama
kali
diperkenalkan oleh Paul. G. Stoltz dengan
2

istilah kecerdasan adversity (Adversity
Quotient), yaitu kecerdasan individu
dalam menghadapi rintangan atau
kesulitan dengan gigih dan ketekunan
seraya tetap berpegang teguh pada prinsip
dan impian. Salah satu rahasia untuk
mengatasi tantangan atau kesulitan bagi
setiap
individu
yaitu
dengan
meningkatkan AQ - Adversity Quotient
(Stoltz, 2003).
Dalam konsep daya juang,
individu dengan daya juang yang tinggi,
akan cenderung merasa bertanggung
jawab atas masalah yang dihadapinya saat
berada
dalam
kesulitan,
mampu
mengontrol masalah, lihai dalam mencari
pemecahan masalah dan fokus terhadap
solusi (Stoltz, 2007). Dapat disimpulkan
bahwa daya juang (adversity quotient)
adalah kemampuan, ketahanan dan
kegigihan individu dalam menghadapi
kesulitan, mengubah hambatan menjadi
sebuah tantangan dan kesempatan untuk
meraih tujuan yang diharapkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
daya juang menurut Stoltz (2007) adalah
sebagai berikut: (a) Daya saing. Daya
juang menjadi rendah dikarenakan tidak
adanya daya saing ketika menghadapi
kesulitan,
sehingga
kehilangan
kemampuan untuk menciptakan peluang
dalam kesulitan yang dihadapi (Bennu,
2012), (b) Produktivitas. Diantara hasilhasil penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa terdapat korelasi
positif antara kinerja karyawan atau
prestasi siwa dengan respon yang
diberikan terhadap kesulitan yang sedang
dihadapi (Ramadhanu dan Suryaningrum,
2014), (c) Motivasi yang kuat mampu
menciptakan peluang dalam kesulitan
(Ying Shen, 2014), artinya seseorang
dengan motivasi yang kuat akan berupaya
menyelesaikan
kesulitan
dengan
menggunakan kemampuan yang dimiliki,
(d) Mengambil resiko, penelitian yang
dilakukan oleh Satterfield dan Seligman
(dalam Stoltz, 2000) menunjukkan bahwa
seseorang yang mempunyai daya juang

tinggi lebih berani mengambil resiko dari
tindakan yang dilakukan. Hal itu
dikarenakan seseorang dengan daya juang
tinggi merespon kesulitan secara lebih
konstruktif, (d) Perbaikan, seseorang
dengan daya juang tinggi senantiasa
berupaya mengatasi kesulitan dengan
langkah konkrit (Novianty, 2014), yaitu
dengan melakukan perbaikan dalam
berbagai aspek agar kesulitan tersebut
tidak menjangkau bidang-bidang yang
lain, (e) Ketahanan atau ketekunan,
individu yang merespon kesulitan dengan
baik akan senantiasa survive dengan
keadaannya dan menjadikan kesulitan
sebagai tantangan yang harus dihadapi, (f)
Belajar, anak-anak dengan respon pesimis
terhadap kesulitan tidak akan banyak
belajar dan berprestasi jika dibandingkan
dengan anak-anak yang memiliki rasa
optimis. Seorang siswa memiliki banyak
rintangan dalam pencapaiannya menuju
cita-cita dan impiannya. Dengan adanya
daya juang dan keuletan dalam belajar
diharapkan siswa mampu meraih prestasi
belajar yang baik.
Lain halnya dengan pendapat
Zainuddin (2010), Menurutnya, sejumlah
faktor yang mempengaruhi daya juang
antara lain; (a) Pengaruh lingkungan
keluarga. Cara orang tua mendidik akan
sangat berpengaruh terhadapat AQ anak.
Pola asuh yang baik dimana orang tua
memberikan bimbingan dan mengajarkan
ketrampilan-ketrampilan
dalam
menghadapi kesulitan hidup sebagai bekal
anak dalam menghadapi masa depannya.
(b) Pengaruh lingkungan sekolah. Sekolah
merupakan wadah untuk mencari ilmu.
Tidak hanya itu, sekolah juga mampu
memberikan masukan baik dalam
membentuk karakter anak. Karena di
sekolah anak menemukan berbagai
macam hal yang bisa mempengaruhi
dirinya,
(c)
Pengaruh lingkungan
masyarakat. Dapat berupa lingkungan
tetanga maupun lingkunan tempat tinggal.
Apabila lingkungan yang diterimanya
baik, maka baik pula pengaruhnya.
3

Terdapat empat dimensi atau
aspek dalam daya juang yang sering
disingkat dengan CO2RE yaitu (C)
control atau kendali yaitu seberapa besar
kendali individu menghadapi masalah,
(O2) origin dan ownership atau asal usul
dan pengakuan yaitu apa penyebab
masalah dan bagaimana akibatnya terkait
dengan diri sendiri, (R) reach atau
jangkauan yaitu bagaimana suatu masalah
mempengaruhi
dimensi
lain
dari
kehidupan, (E) endurance atau daya tahan
yaitu respon waktu berlangsungnya
permasalahan (Stoltz, 2000; Ying Shen,
2014; Markman, Baron & Balkin, 2003;
Huijouan, 2009; Akbar, Supriyono &
Ramli, 2014; Santos, 2012; Kitch, 2002;
Chin & Hung, 2013).
Pelajar
Berprestasi
dengan
Keterbatasan Kondisi
Azwar (2005), Maslihah (2011)
dan Suryabrata (2002), menyatakan
bahwa siswa atau pelajar berprestasi
akademik adalah seluruh hasil yang telah
dicapai (achievement) yang diperoleh
melalui
proses
belajar
akademik
(academic achievement) yang dapat
dipakai sebagai ukuran untuk mengetahui
sejauh mana para siswa menguasai bahan
pelajaran yang diajarkan dan dipelajari.
Lain halnya dengan pelajar berprestasi
tidak hanya dalam bidang akademik,
melainkan prestasi secara keseluruhan,
mereka adalah gambaran pelajar yang
berprestasi ideal, yaitu sukses dalam tugas
akademik
maupun
kehidupan
non
akademiknya; menguasai bidang ilmu yang
ditekuninya, mencapai nilai hasil belajar
yang sangat baik, dapat meningkatkan
keterampilan, mengembangkan minat serta
mengasah bakat dan potensi dirinya dengan
aktif
dalam
berbagai
kegiatan
ekstrakurikuler (Dirjen Dikti, 2010).
Disempurnakan oleh Rushdie & Isnawati
(2009) bahwa prestasi tidak hanya melihat
segi
kognitif
saja,
tetapi
juga
memperdulikan aspek-aspek lain seperti
aspek afektif, behavioral dan spiritual.
Maka yang dimaksud dengan pelajar

berprestasi adalah peserta didik dengan
usia tertentu yang menuntut ilmu di
sebuah institusi tertentu dan memiliki
prestasi dalam segi kognitif, afektif,
behavioral, spiritual, baik dalam bidang
akademik maupun non-akademik.
Kesejahteraan adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual
dan sosial warga negara agar dapat hidup
layak dengan keamanan, keselamatan dan
ketenteraman
serta
mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya. Dimensi
kesejahteraan manusia yaitu; memiliki
ilmu dan pengetahuan, interaksi sosial
yang baik, diri yang diakui, integritas,
kesehatan, jaminan ekonomi, kebebasan,
kasih sayang dan harta (Undang-undang
No 11, 2009; Rooyen & Hartell, 2002).
Merujuk pada PERMENSOS RI
no. 8 dalam pusat data dan informasi
kesejahteraan sosial (2011), seseorang
yang tidak terpenuhi atau dalam
“keterbatasan kondisi” beberapa dimensi
kesejahteraan tersebut di atas, maka dapat
disebut dengan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS). PMKS
adalah seseorang, keluarga atau kelompok
masyarakat yang karena suatu hambatan,
kesulitan, atau gangguan tidak dapat
melaksanakan fungsi sosialnya sehingga
tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya baik
jasmani, rohani, maupun sosial secara
memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan,
atau gangguan tersebut dapat berupa
kemiskinan, ketidak harmonisan dalam
keluarga,
ketelantaran,
kecacatan,
ketunaan
sosial,
keterbelakangan,
keterasingan/ketertinggalan, dan bencana
alam maupun bencana sosial.
Dapat
diambil
kesimpulan
bahwasannya keterbatasan kondisi di sini
adalah keterpurukan keadaan atau kondisi
serba kekurangan dalam keluarga, baik
dalam segi keuangan sehingga kebutuhan
primer dan sekuder tidak tercukupi,
maupun dari segi sosial meliputi
kebutuhan kasih sayang dalam keluarga
yang tidak terpenuhi, seperti penelantaran
4

anak, ketidak harmonisan orang tua,
kekerasan dalam rumah tangga, yang
berpengaruh pada dimensi kesejahteraan
hidup individu.
METODE
Penelitian
ini
menggunakan
metode kualitatif tinjauan studi kasus,
melibatkan 2 jenis informan, yaitu primer
dan sekunder. Informan primer adalah
pelajar berjumlah 3 orang, tercatat
berprestasi
di
sekolah
dengan
keterbatasan kondisi yaitu keluarga
berpenghasilan rendah (miskin) atau anak
penyintas KDRT atau korban broken
home atau yang berkaitan dengan
kegagalan orang tua dalam mengawasi
serta melindungi anak secara layak.
Informan
sekunder
adalah
pendamping/orang tua, guru dan teman
dekat dari informan primer. Pemilihan
informan dilakukan secara purposive
sampling, yaitu pemilihan berdasarkan
karakteristik yang ditentukan oleh
peneliti.
Pengumpulan data menggunakan
interview yang mendalam (in depth
interview). Interview yang dilakukan bisa
lebih dari sekali terhadap satu orang
informan. Proses pengumpulan data
menurut Creswell (2010) mengikuti pola
zig-zag, yaitu peneliti ke lapangan
mencari
informasi,
kemudian
menganalisis data yang diperoleh,
kembali lagi ke lapangan untuk
mendapatkan lebih banyak informasi,
menganalisis data lagi, dan seterusnya.
Data yang valid dapat diperoleh
dengan melakukan uji keabsahan data
atau uji kredibilitas terhadap data hasil
penelitian. Pada penelitian ini teknik
keabsahan data yang digunakan adalah
perpanjangan pengamatan dan melakukan
diskusi
dengan
teman
sejawat.
Perpanjangan
pengamatan
dalam
penelitian ini dilakukan dalam proses
pengumpulan data, peneliti seringkali
berkunjung ke sekolah atau rumah untuk
menemui subjek, membangun kedekatan,
rasa nyaman dan aman. Diskusi dengan

teman sejawat mencakup pemberian
saran, kritik dan arahan.
Langkah-langkah yang peneliti
lakukan dalam menganalisis data adalah
sebagai berikut; (1) Reduksi data (2)
Pengkodean data (3) Menghubungkan
tema-tema dituang dalam bentuk narasi
(4) Interpretasi data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Informan pertama berinisial MNS,
berasal dari keluarga berlatar belakang
ekonomi rendah. Ayah bekerja sebagai
penjual karcis di sebuah Perusahaan
Otomotif swasta. Dengan pendapatan
tidak menentu setiap harinya. Ibu sebagai
penjual es dan makanan ringan di warung
kecil yang terletak di depan rumah.
Penghasilan sampingan dari ibu sebagai
buruh cuci. Saat ini MNS bersekolah
dengan bantuan beasiswa dari BSM
(Beasiswa Siswa Miskin) dan beasiswa
At- Taqwa dari suatu OrMas di
daerahnya. Informan MNS selalu
menduduki peringkat pertama semenjak
SMP kelas VII sampai kelas IX. MNS
juga menjadi siswa dengan nilai Ujian
Nasional terbaik se- Sukoharjo. Bukan
hanya dalam hal akademik, MNS juga
aktif di berbagai lomba dengan prestasi
antara lain; Juara 1 mengarang CerPen
tingkat kabupaten, juara 2 lomba cerdas
cermat tingkat kabupaten, juara 2
olimpiade Sains tingkat kecamatan, juara
4 lomba rumpun IPA yang diadakan oleh
Universitas sebelas maret (UNS).
Informan kedua berinisial AFA
berjenis kelamin perempuan, berlatar
belakang keluarga yang tidak harmonis
(Broken Home). Orangtua bercerai dan
kekerasan dalam rumah tangga pun kerap
terjadi. Ketika AFA berusia ±15 tahun,
ibu menikah lagi, dan dari sinilah timbul
permasalahan baru dengan keadaan
emosionalnya, yang berdampak pada
kehidupan sehari-hari. Ayah kandung
melepaskan
tanggung
jawabnya
menafkahi
anak,
sedangkan
ayah
sambung berlatar belakang ekonomi
rendah dengan pekerjaan sebagai
5

pengrajin kayu pacul. Ketika informan
AFA duduk di bangku SMP, selalu
memperoleh peringkat pertama dari kelas
1 sampai 3. Saat ini AFA bersekolah di
salah satu SMA favorit di Surakarta
melalui jalur undangan yang notabene
diperuntukkan
bagi
siswa-siswa
berprestasi. AFA seringkali mengikuti
beberapa perlombaan olimpiade mewakili
sekolahnya, baik akademik maupun nonakademik. AFA juga mendapat bantuan
beasiswa atas prestasi yang telah diraih di
sekolahnya.
Informan ketiga berinisial RRR
berjenis kelamin perempuan, berasal dari
keluarga berlatar belakang ekonomi
rendah. Ayah bekerja sebagai buruh
sablon harian dengan penghasilan ±100
ribu-150 ribu perhari, dahulu ayah pernah
bekerja membantu tetangga merapikan
jilid buku, dihargai 300 rupiah - 500
rupiah perkilo. Ibu pernah bekerja sebagai
buruh pabrik, pembantu rumah tangga,
karyawan laundry, sampai akhirnya dapat
membuka jasa laundry sendiri di rumah.
Saat ini RRR bersekolah di perguruan
tinggi negeri ternama di Jogjakara, UGM
(Universitas Gajah Mada) dengan dana
bantuan beasiswa dari Bidikmisi atas
prestasi yang telah diraih masa SMA.
Semenjak duduk di bangku SMP,
SMA hingga Perguruan Tinggi RRR
sudah mendapat beasiswa atas pencapaian
prestasinya. Informan RRR seringkali
mendapat peringkat 1 semenjak SMP
sampai SMA, memperoleh Indeks prestasi
akademis yang cukup tinggi di bangku
kuliah, memperoleh juara 1 nilai tertinggi
Ujian Nasional baik di SMP maupun
SMA. RRR aktif mengikuti berbagai
perlombaan-perlombaan
akademis
mewakili sekolah, diantaranya adalah
Juara 3 lomba olimpiade fisika tingkat
provinsi, Juara 2 lomba bahasa Indonesia
tingkat kabupaten, Lomba bahasa Inggris
tingkat kabupaten, juara 3 siswa
berprestasi tingkat kabupaten. RRR
mendapat beasiswa semenjak duduk di
bangku SMP, SMA sampai di perguruan

tinggi atas prestasi yang telah diraih.
Informan RRR diberi kepercayaan untuk
menjadi departemen pembelajaran di
development community di organisasi
kampus, menjadi fasilitor dalam sebuah
unit kegiatan kampus, dan aktif di
berbagai organisasi mahasiswa lainnya.
Dinamika
daya
juang
pelajar
berprestasi
dengan
keterbatasan
kondisi
Berdasarkan hasil analisa kasus
pada ketiga informan (MNS, AFA, RRR)
diketahui dimensi “Control” muncul
pada informan. Dalam konsep daya juang
dimensi “Control” yang menunjukkan
seberapa
besar
individu
dapat
mengendalikan situasi sulit. Individu
berdaya
juang
tinggi
mampu
mengendalikan,
proaktif
dalam
pendekatan mereka terhadap situasi yang
merugikan dan tidak merasa putus asa
saat berada dalam situasi sulit (Chin &
Hung, 2013; Stoltz, 2000).
Ketiga Informan mengendalikan
keterbatasan
kondisi
ekonomi
keluarganya dengan berperilaku hidup
hemat dan sikap yang mandiri. Perilaku
coping yang terlihat pada Informan AFA
dalam meredam rasa kesal dan kecewa
dengan
permasalahan
keluarganya,
menunjukkan control yang sangat baik.
Strategi coping mengacu pada cara-cara
untuk menangani stres dan kesulitan
dalam beberapa keadaan. Hal ini juga
termasuk upaya untuk memecahkan
masalah
dan
menghadapi
situasi
problematis (Lee, 2012).
Informan
MNS
mampu
mengabaikan rasa malu dengan sikap
penerimaan diri yang baik, sedangkan
informan RRR yang berlatar belakang
keluarga kurang mampu, namun informan
dapat
menerima
keadaan
dan
mengendalikan kesulitan tersebut dengan
meningkatkan potensi diri. Kebutuhan
akan pendidikan dapat teringankan
dengan adanya beasiswa atas prestasiprestasi yang diraihnya baik akademis
maupun non-akademis. Menerima diri
6

menurut
Cronbach
berarti
telah
menyadari, memahami dan menerima apa
adanya dengan disertai keinginan dan
kemampuan
untuk
selalu
mengembangkan diri sehingga dapat
menjalani hidup dengan baik dan penuh
tanggung jawab (Novianty, 2014).
Dalam situasi sulit yang dialami,
ketiga informan dapat mengontrol
keterpurukan tersebut agar tidak melebar
dan mempengaruhi dimensi lain dari
kehidupannya, yaitu dimensi pendidikan.
Informan mencari celah lain untuk dapat
meningkatkan harga diri dengan meraih
dan mempertahankan prestasinnya. Hal
ini sesuai dengan konsep daya juang
Stoltz (2000), terdapat aspek “Reach”
yaitu sejauh mana kesulitan yang dihadapi
akan mempengaruhi dimensi atau sisi lain
dari kehidupan individu (Markman, Baron
& Balkin, 2003).
Pada konsep daya juang, terdapat
dimensi
“Endurance”,
yaitu
mempertanyakan berapa lama situasi sulit
akan berlangsung (Stoltz, 2000; Ying
Shen, 2014). Individu yang memiliki
respon rendah pada dimensi ini akan
memandang kesulitan sebagai peristiwa
yang
berlangsung
terus
menerus.
Sedangkan individu yang berdaya juang
tinggi akan tetap memiliki harapan dan
optimisme (Markman, Baron & Balkin,
2003). Informan AFA bangkit dan
berusaha
menyikapi
permasalahan
hidupnya dengan respon positif dan
produktif.
The
American
Psychological
Association
menggunakan
istilah
“resiliensi” untuk mengutarakan suatu
proses adaptasi atau kemampuan individu
untuk pulih dari kesulitan, trauma,
tragedi,
ancaman.
Artinya bahwa
resiliensi adalah "daya lenting" dari
pengalaman yang sulit (Lee, Cheung &
Kwong, 2012; Masten, 2009). Stoltz
berpendapat Adversity quotient (daya
juang) menjadi tolak ukur resiliensi dan
kemampuan bertahan individu dalam
menghadapi perubahan konstan, berbagai

tekanan dan kesulitan (Canivel, 2010).
Sadar akan pentingnya masa depan dan
membahagiakan orangtua adalah suatu
semangat tersendiri bagi informan MNS
dan AFA untuk tidak terlalu lama
berlarut-larut meratapi keterpurukannya.
Aspek motivasi tak luput dari daya
juang para informan untuk tetap
berprestasi, Selain berasal dari dalam diri
yang kuat, motivasi eksternal juga
berpengaruh besar. Sosok ibu adalah
motivator terbesar dalam menghadapi
kesulitan hidup sekaligus menjadi aspirasi
pendidikan yang tinggi bagi para
informan untuk berjuang meraih prestasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Xu,
Benson, Camino dan Steiner (2010)
menyatakan bahwa keterlibatan orangtua
memiliki hubungan dengan belajar
berdasar reguasi diri dan meningkatkan
prestasi pada anak.
Motif
terkuat
yang
melatarbelakangi para informan dalam
meraih prestasi adalah sosok ibu.
Terdapat “efikasi relasional” pada ketiga
infroman
yaitu
kemampuan
dan
keyakinan seseorang untuk mengelola
relasi (kedekatan emosi) dengan orangorang terdekat serta dukungan sosial dari
hubungan kekeluargaan untuk mencapai
suatu hasil yang diharapkan bersama serta
kemampuan
untuk
menghadapi
permasalahan
dan
dampak
dari
permasalahan tersebut (Kim & Park,
2006).
Hasil
penelitiannya
juga
menyatakan bahwa dukungan sosial dari
orangtua memiliki pengaruh yang kuat
pada performa akademik siswa.
Daya juang informan dalam
mempertahankan
prestasi
meskipun
memiliki
masalah
dalam
lingkup
keluarganya dikuatkan dengan rasa
syukur serta sikap menerima keadaan
yang terlihat pada ketiga informan. Dalam
konsep daya juang terdapat dimensi
Origin dan Ownership yang berkaitan
dengan rasa bersalah dan sikap
tanggungjawab. Individu berdaya juang
tinggi bersedia menerima keadaan dan
7

akibat dari situasi sulit, bertanggungjawab
dan tidak akan menyalahkan orang lain
(Akbar, supriyono & Ramli, 2014; Kitch,
2002; Stoltz, 2000; Santos, 2012; Ying
Shen, 2014).
Rasa syukur dan penerimaan diri
yang baik pada diri informan didapat dari
figur Ibu yang selalu memberi pelajaran
hidup semenjak kecil, ibu memberi
nasehat dan cerita tentang bagaimana
perjuangan bertahan hidup, untuk selalu
bersyukur dan menerima keadaan,
sehingga Informan lebih dewasa dan
terampil dalam menyikapi situasi sulit.
Hal ini sejalan dengan pendapat
Zainuddin (2010) yaitu cara orang tua
mendidik akan sangat berpengaruh
terhadapat daya juang anak. Pola asuh
yang baik dimana orang tua memberikan
bimbingan dan mengajarkan ketrampilanketrampilan dalam menghadapi kesulitan
hidup sebagai bekal anak dalam
menghadapi masa depannya akan
mempengaruhi perilaku yang efektif.
Faktor pendukung daya juang pelajar
berprestasi
dengan
keterbatasan
kondisi
Berdasarkan analisa kasus informan
MNS, AFA dan RRR ditemukan faktorfaktor yang mendukung informan dalam
pencapaian prestasinya meskipun dengan
keterbatasan kondisi yang dialami, yakni:
(1) Dorongan internal.
Keterbatasan kondisi justru menjadi
pendorong
para
informan
untuk
berpendidikan tinggi dan meraih prestasi.
Motivasi dan keyakinan yang kuat
menjadikan informan tetap bertahan
menghadapi
kesulitan.
Motivasi
merupakan daya penggerak psikis dalam
diri pelajar yang menimbulkan kegiatan
belajar, menjamin kelangsungan belajar
demi mencapai satu tujuan. Selain itu
motivasi juga sangat penting dalam
memberikan gairah, semangat dan rasa
senang dalam belajar. Motivasi yang kuat
mampu menciptakan peluang dalam
kesulitan artinya seseorang dengan
motivasi yang kuat akan berupaya

menyelesaikan
kesulitan
dengan
menggunakan kemampuan yang dimiliki
dan lebih efektif dalam proses
pencapaiannya (Stoltz, 2007; Ying Shen,
2014).
Informan memiliki strategi untuk
meningkatkan prestasi belajarnya, yaitu
mengamati dan meniru gaya belajar
teman-teman yang pintar sebagai role
modelnya dalam meraih prestasi. Daya
saing (jiwa kompetitor) adalah salah satu
faktor yang mempengaruhi daya juang
individu, adanya daya saing individu
dapat menciptakan peluang dalam
menghadapi permasalahan (Bennu, 2012;
Stoltz, 2007).
Kesadaran diri akan pentingnya masa
depan, dan mengingat nasehat ibu untuk
tetap berfikir positif, menerima dan
bersyukur dengan apa yang dihadapi
merupakan semangat tersendiri bagi
informan untuk tetap bertahan dan kuat
menghadapi masalah yang dialaminya.
Sesuai dengan pendapat Stoltz (2007)
bahwa ketahanan dan ketekunan menjadi
salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap daya juang. Individu yang
senantiasa survive dengan keadaan yang
sulit akan menjadikan keadaan tersebut
sebagai tantangan yang harus dihadapi.
(2)Dukungan Sosial; a) Lingkungan
keluarga, yaitu faktor keberfungsian
keluarga, dukungan materi dan emosional
dari orang tua, apresiasi (reward) atas
pencapaian prestasi. Menurut Zainuddin
(2010) cara orangtua mendidik, pola asuh
dalam keluarga, mempengaruhi daya
juang individu. Dukungan emosional atau
penghargaan dapat melindungi seseorang
dari emosi negatif dengan konskuensi
stress (Sarafino, 2006). Sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Xu,
Benson, Camino dan Steiner (2010) dan
Vahedi, mostafafi, Mortazanad (2009)
yang menyatakan bahwa kehangatan dan
keberfungsian
keluarga
memiliki
hubungan dengan belajar berdasar reguasi
diri dan meningkatkan prestasi pada anak.
b) Lingkungan Sekolah, mengarah kepada
8

dukungan moral dan emosional yang
diberikan dari teman-teman dan guru,
seperti perhatian, motivasi, memberi
arahan dan membantu meringankan
kesulitan. Sekolah bukan hanya wadah
untuk mencari ilmu tetapi sekolah juga
mampu memberikan masukan baik dalam
membentuk karakter anak. Karena di
sekolah anak menemukan berbagai
macam hal yang bisa mempengaruhi
dirinya (Zainuddin, 2010). c) Lingkungan
masyarakat, yaitu seperti bantuan
beasiswa, penghargaan atau uang
pembinaan dari lembaga atau kelompok
organisasi masyarakat. Bantuan fasilitas
pendukung belajar juga diberikan dari
tetangga atau saudara. Lingkungan
masyarakat dapat berupa lingkungan
tetanga, orang yang dianggap dekat yang
berada di sekitar inividu, maupun
lingkungan tempat tinggal. Apabila
lingkungan yang diterimanya baik, maka
baik pula pengaruhnya (Zainuddin, 2010).
Menurut Sarafino (2006) dukungan sosial
bisa didapat karena kehadiran mereka
yaitu dukungan sosial yang bersifat secara
langsung misalnya bantuan peralatan,
pekerjaan dan keuangan.
Faktor penghambat daya juang pelajar
berprestasi
dengan
keterbatasan
kondisi
1) Regulasi Emosi. Keadaan emosi yang
kurang stabil menghadapi pesaing dalam
hal prestasi, seringkali menjadikan
informan patah semangat jika mendapat
nilai yang tidak sesuai dengan harapannya
dan minder jika melihat teman yang
mendapat nilai lebih tinggi darinya. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Susanto
(2006) menunjukkan hubungan yang
signifikan antara regulasi diri dengan
prestasi belajar, dimana keberhasilan
seseorang dalam menjalankan proses
pendidikannya tidak hanya ditentukan
oleh tingkat intelegensi, melainkan juga
aspek metakognisi, motivasi dan perilaku
yang merupakan bagian dari regulasi diri.
2) Ketiadaan Dana. Keuangan menjadi
kendala informan dalam melengkapi

proses belajarnya. Informan tidak
membeli buku-buku penunjang dan
mengurungkan niat untuk mengikuti les
atau kursus tambahan, karena orangtua
tidak
mampu
membiayai.
Ketidakmampuan keluarga dalam hal
ekonomi mempengaruhi minat dan
motivasi anak dalam belajar. Sulitnya
pemenuhan
kebutuhan
primer,
menyebabkan terabaikannya kebutuhan
sekunder yang merupakan kebutuhan
masa depan keluarga, dalam hal ini adalah
kebutuhan akan pendidikan (Dewi, Zukhri
& Dunia, 2014).
3) Fatherless dan krisis keberfungsian
keluarga.
Menurut
Lerner
(2011)
ketiadaan peran-peran penting dari Ayah
akan berdampak pada rendahnya harga
diri (self- esteem), adanya perasaan marah
(anger ), malu (shame). Kehilangan peran
ayah juga menyebabkan seorang anak
akan merasakan kesepian (loneliness),
kecemburuan (envy), kedukaan (grief) dan
kehilangan (lost) yang amat sangat, yang
disertai pula oleh rendahnya kontrol diri
(self- control), inisiatif, keberanian
mengambil
resiko
(risk
taking),
dan psychology
well-being,
serta
kecenderungan
memiliki
neurotic.
Keberfungsian keluarga menurut Lubow,
Beevers, bishop dan miller (2009)
mengacu pada bagaimana seluruh anggota
dari suatu keluarga dapat berkomunikasi
satu sama lain, melakukan pekerjaan
secara bersama-sama, saling bahu
membahu dalam memenuhi kebutuhan
anggotanya, dimana hal tersebut memiliki
pengaruh bagi kesehatan fisik dan
emosional antar aanggota keluarga.
Keberfungsan
keluarga
dapat
meningkatkan regulasi diri. Hasil analisis
korelasi parsial pada sebuah penelitian
menunjukkan
bahwa
keberfunsian
keluarga memilik hubungan yang
signifikan dengan belajar berdasar
regulasi diri (herawaty & wulan, 2013).
4) Kemandirian. Kemampuan daya juang
pada umumnya berhubungan dengan pola
asuh yang diterapkan. Orangtua yang
9

telanjur memberikan banyak kemudahan
atau fasilitas cenderung menimbulkan
berkurangnya
kemandirian
dan
kedewasaan anak dalam bertindak dan
menghadapi masalah (Bennu, 2012).
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Musdalifah (2007) menunjukkan bahwa
hambatan perkembangan kemandirian
pada
individu
disebabkan
karena
ketergantungan pada orangtua, pola asuh
permisif, kurangnya perhatian atau
bimbingan dari orangtua untuk menguasai
tugas perkembangan yang berkaitan
dengan kemandirian, serta kurangnya
motivasi untuk mandiri.
Keunikan penelitian ini dengan beberapa
penelitian sebelumnya adalah munculnya
aspek Relational Efficacy (efikasi
relasional) antara ibu dan informan dalam
pencapaian prestasi, ditemukan pula
fatherless pada permasalahan setiap
informan yang juga menjadi salah satu
faktor penghambat dan adanya rasa
syukur yang diinternalisasikan oleh
informan pada dinamika daya juang
dalam
mempertahankan
prestasi
meskipun memiliki keterbatasan kondisi.
Setelah melakukan penelitian, analisis dan
pembahasan, maka
peneliti dapat
memberikan
keterbatasan
dalam
penelitian ini, yaitu; pada salah satu
informan jenjang pendidikan perguruan
tinggi, peneliti tidak dapat bertemu dan
melakukan wawancara kepada informan
pendukung yaitu dosen atau pengajar.
Peneliti hanya bisa mewawancarai guru
informan di SMA. Hal ini menyebabkan
data yang diperoleh kurang eksploratif
dan tidak aktual sesuai dengan jenjang
pendidikan yang sedang ditempuh.
KESIMPULAN
Dinamika daya juang pelajar
berprestasi dengan keterbatasan kondisi
adalah: Informan mengontrol kesulitan
ekonomi dengan perilaku hidup hemat,
sikap prihatin dan menerima keadaan
dengan membantu meringankan beban
ekonomi orangtua. Regulasi diri yang
baik dalam mengendalikan situasi sulit

agar tidak melebar dan mempengaruhi
dimensi lain dari kehidupan yaitu dimensi
pendidikan. Kompensasi yang dilakukan
adalah dengan tetap belajar dan
meningkatkan prestasi. Perilaku resiliensi
atau kemampuan untuk bangkit dan
memperbaiki keadaan lebih terlihat pada
informan korban broken home dan
penyintas KDRT. Kesadaran diri akan
pentingnya masa depan merupakan
semangat tersendiri bagi ketiga informan
untuk mencapai prestasi. Adanya rasa
syukur, menjadikan informan semakin
bersemangat bangkit dari keterpurukan
untuk meraih hidup yang lebih baik,
disertai motivasi yang kuat dan efikasi
relasional antara ibu dan informan untuk
dapat mencapai hasil yang diharapkan
bersama.
Faktor pendukung daya juang
pelajar berprestasi dengan keterbatasan
kondisi adalah 1) Faktor Internal antara
lain; Adanya daya saing (jiwa kompetitor)
yang dimiliki informan, perilaku coping
dan
kemampuan
untuk
bangkit
melakukan
perbaikan
(resiliensi),
memiliki tujuan dan motivasi internal
yang kuat untuk tetap produktif mencapai
pendidikan tinggi dan meraih prestasi.
Kesadaran diri dan kemampuan berfikir
positif disertai rasa syukur. 2) Dukungan
sosial a) Lingkungan keluarga, yaitu
faktor keberfungsian keluarga, dukungan
materi dan emosional dari orang tua,
apresiasi (reward) atas pencapaian
prestasi.
b)
Lingkungan
Sekolah,
mengarah kepada dukungan moral dan
emosional yang diberikan dari temanteman dan guru, seperti perhatian,
motivasi, memberi arahan dan membantu
meringankan kesulitan. c) Lingkungan
masyarakat, yaitu seperti bantuan
beasiswa, penghargaan atau uang
pembinaan dari lembaga atau kelompok
organisasi masyarakat. Bantuan fasilitas
pendukung belajar juga diberikan dari
tetangga atau saudara.
Faktor penghambat daya juang
pelajar berprestasi dengan keterbatasan
10

kondisi adalah regulasi emosi yang
kurang stabil dalam menghadapi kesulitan
dan mengakibatkan penurunan prestasi.
Faktor keuangan keluarga yang kurang
bisa memenuhi kebutuhan pendidikan
informan, Krisis keberfungsian keluarga
dan adanya masalah fatherless dari ketiga
informan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2005) Tes prestasi dan
pengukuran
prestasi
belajar .
Yogyakarta: Pustaka pelajar
Akbar, Y. R., Supriyono, Y. & Ramli, A.
H. (2014)
Peran
Emotional
Quotient dan Adversity Quotient
Terhadap Kecemasan Menghadapi
Dunia Kerja Pada Siswa SMK.
(Research).
Retrieved
from
http//psikologi.ub.ac.id/wp.content/u
ploads/2014/09/Jurnal.pdf
Bennu, S. (2012) Adversity Quotient:
Kajian
Kemungkinan
Pengintegrasiannya
dalam
Pembelajaran Matematika. Jurnal
AKSIOMA, 01 (01), 55 – 62.
Chin, PL. & Hung, ML. (2013)
Psychological Contract Breach And
Turnover Intention The Moderating
Roles of Adversity Quotient And
Gender. Social Behavior and
Personality Journal. 41 (5), 843860. http://dx.doi.org/10.2224/sbp.
Creswell, John W. (2010) Research
Design
Pendekatan
Kualitatif,
Kuantitatif, dan Mixed.Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Canivel,
L.D.
(2010)
Principals’
Adversity
Quotient:
Styles,
Performance
And
Practice.
Disertation, The faculty of the
College Education University of
Philippines, Quezon City.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(2010) Pedoman Umum Pemilihan
Mahasiswa
Berprestasi.
Departemen Pendidikan Nasional
Indonesia .
Dewi, N.A.K., Zukhri, A. & Dunia, K.
(2014)
Analisis
Faktor-faktor

Penyebab Anak Putus Sekolah Usia
Pendidikan Dasar di Kecamatan
Gerokgak
Tahun
2012/2013.
Ejournal.Unidiksha.ac.id. 4 (1)
2014.
Huijouan, Z. (2009) The Adversity
Quotient
and
Academic
Performance
Among
College
Students AT ST. Joseph’s College
Quezon City. Thesis. Faculty of The
Departments of Arts And Sciences.
Herawaty, Y. & Wulan, R. (2013)
Hubungan Antara Keberfungsian
Keluarga dan Daya Juang Dengan
Belajar Berdasar Regulasi Diri Pada
Remaja. Jurnal Psikologi, 9 (2);
138-147
Kitch, S. L. (2002) Claiming success:
From adversity to responsibility in
women's studies. NWSA Journal;
Spring, 14 (1), 160 – 181 ProQuest
Kim, U., & Park, Y. S. (2006).
Indigenous psychological analysis
of academic achievement in Korea:
The influence of self-efficacy,
parents, and culture. International
Journal of Psychology. 41(4), 287292.
Leman (2007) The Best of Chinese Life
Philosophies. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Lee, T. K., Cheung, C. K & Kwong, W.
M. (2012). Resilience as a Positive
Youth Development Construct: A
Conceptual Review. The Scientific
World Journal. 2012, 1-9. doi:
10.1100/2012/390450.
Lerner, Harriet (2011) Losing a Father
Too Early. Dipublikasikan pada 27
November 2011 oleh Harriet Lerner
dalam The Dance of Connection.
http://www.psychologytoday.com/bl
og/the-dance-connection. Diakses
17 Desember 2015
Manurung, R. (2009). 12 Juta Anak
Indonesia Putus Sekolah. [Online].
Diunduh
dari
http://ayomerdeka.wordpress.com
11

Markman, G. D., Baron, R. A & Balkin,
D. B. (2003) Adversity Quotient:
Perceived Perseverance and New
Venture Formation. Colaborative
Reasearch
Maslihah, S. (2011) Studi Tentang
Hubungan
Dukungan
Sosial,
Penyesuaian Sosial Di Lingkungan
Sekolah Dan Prestasi Akademik
Siswa Smpit Assyfa Boarding
School Subang Jawa Barat. Jurnal
Psikologi Undip, 10 (2), 103 - 114.
Masten, A. S. (2009). Ordinary Magic:
Lessons from research on resilience
in human development. Education
Canada , 49(3), 28-32.
Novianty, M. E. (2014) Penerimaan Diri
Dan Daya Juang Pada Wanita
Penderita
Systhemic
Lupus
Erythematosus (SLE). Ejournal
psikologi, 2 (2): 171 – 181.
Nashori (2007) Pelatihan Adversity
Intellegence untuk Meningkatkan
Kebermaknaan Hidup Remaja Panti
Asuhan. Jurnal Psikologi No.23
Thn. XII.
Ramadhanu, M. & Suryaningrum, C.
(2014) Adversity Quotient Ditinjau
dari Orientasi Locus of Control
Pada Individu Difabel. Jurnal
ilmiah psikologi terapan, dalam
ejournal.umm.ac.id..
Rooyen, L.V & Hartell, C. G. (2002)
Health of The Street Child: The
Relation
Between
Life-Style,
Immunity and HIV/AIDS A
Synergy of Research. South African
Journal of Education, 22 (3) 188192.
Stoltz, P. G. (2007) Adversity Quotient @
Work (Alih Bahasa: Drs. Alexander
Sindoro). Batam: Interaksara
Santos, M. C. J. (2012) Assesing The
Effectiveness of The Adapted
Adversity Quotient Program In A
Special Education School. Journal
of Arts Science & Commerce.
International Refereed Research
Journal, III, Issue 4 (2), 13 – 23,

ISSN
2231-4172
www.researchersworld.com
Sulastri, T. (2007) Hubungan Motivasi
Berprestasi dan Disiplin dengan
Kinerja Dosen. Jurnal Optimal, 1
(1), 13 – 21.
Sarafino, E.P. (2006) Health Psychology
Biopsychosocial Interaction. Fifth
ed. USA: John Wiley & Sons.
Susanti, N. (2013) Hubungan Antara
Dukungan Sosial Dan Daya Juang
Dengan Orientasi Wirausaha Pada
Mahasiswa
Program
Profesi
Apoteker
Universitas
Ahmad
Dahlan Yogyakarta. EMPATHY
journal Fakultas Psikologi, Vol. 2
(1), 2013
Suryabrata,
S.
(2002)
Psikologi
pendidikan.Yogyakarta: PT. Raja
grafindo persada
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor
11
Tahun
2009.
Kesejahteraan Sosial
Vahedi, s. Mostafifi, f., mortazanajad,H.,
(2009) Self Regulation And
Dimensions Of Parenting Styles
Predict
Psychological
Procrastination Of Undergraduate
Students. Iran Journal Psychiatry,
4, 147-154
Xu, M., Benson, K.N.S., Camino, M.R.,
Steiner,
P.R
(2010)
The
Relationship Between Parental
Involvement,
Self
Regulated
Learning
And
Reading
Achievement Of Fifth Graders.
Journal social psychology of
educaton, 13 (2) 237-269
Ying Shen, C. (2014) The Relative Study
of Gender Roles and Job Stress and
Adversity Quotient. The Journal of
Global Business Management, 10
(1) 19 – 32.
Zainuddin. (2010). Pentingnya Adversity
Quotient Dalam Meraih Prestasi
Belajar, Pontianak: Universitas
Tanjungpura.
Jurnal
Guru
Membangun.
26
(2).
2011.
Jurnal.untan.ac.id.
12