Analisis daya saing ekspor karet alam Indonesia di pasar internasional

(1)

ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM

INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL

EKA RATNAWATI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

QS. Al Hujuraat (49): 10







Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu

damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu

itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat

rahmat.


(3)

RINGKASAN

EKA RATNAWATI. Analisis Daya Saing Ekspor Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional. Dibimbing Oleh ADI HADIANTO

Menghadapi era perdagangan bebas saat ini penting artinya untuk melihat keunggulan dan daya saing yang dimiliki setiap negara, mengingat globalisasi menuntut adanya persaingan. Karet alam merupakan salah satu produk andalan ekspor Indonesia. Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki areal karet alam terbesar didunia. Meskipun demikian, Indonesia hanya menjadi eksportir terbesar kedua setelah Thailand.

Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat perkembangan ekspor karet alam Indonesia serta untuk mengetahui struktur pasar yang terbentuk pada komoditas karet alam di pasar internasional. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat apakah Indonesia, sebagai salah satu negara pengekspor karet alam terbesar memiliki keunggulan untuk produk tersebut, baik secara komparatif maupun kompetitif. Struktur pasar yang terbentuk pada perdagangan karet alam di pasar internasional dilakukan dengan menggunakan analisis Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR), sedangkan analisis daya saing ekspornya dilakukan dengan menggunakan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk melihat status keunggulan komparatif dan Export Competitiveness Index (ECI) untuk melihat status keunggulan kompetitif negara eksportir karet alam.

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menyatakan bahwa struktur pasar yang terbentuk pada perdagangan karet internasional adalah struktur pasar yang berbentuk oligopoly, yang mana pasar dikuasai oleh tiga eksportir utama karet alam, yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Pangsa pasar rata-rata yang dikuasai oleh ketiga negara ini dalam kurun waktu 2001-2009 adalah sebesar 78%, yang mana hal ini berarti dalam kurun waktu tersebut, ketiga negara eksportir utama karet alam internasional menguasai 78% pasar karet alam internasional. Perhitungan mengenai keunggulan komparatif negara-negara eksportir karet alam menyatakan bahwa masing-masing negara eksportir utama tersebut memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terlihat dari nilai RCA yang lebih besar dari 1. Berbeda dengan perhitungan tersebut, perhitungan mengenai keunggulan kompetitif negara ekspotir utama karet alam dengan menggunakan analisis ECI menyatakan bahwa hingga tahun 2008, hanya Indonesia yang memiliki keunggulan kompetitif, sedangkan Thailand dan Malaysia tidak memiliki keunggulan ini. Hal tersebut dilihat dari nilai ECI yang lebih kecil dari 1. Perhitungan tersebut memberikan gambaran bahwa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar dalam perdagangan (ekspor) karet alam. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari keunggulan yang dimiliki Indonesia dalam perdagangan karet alam, sehingga daya saing yang dimiliki Indonesia perlu untuk dipertahankan bahkan ditingkatkan.


(4)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Januari 2011 Eka Ratnawati NIM: H44061590


(5)

ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM

INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL

EKA RATNAWATI H44061590

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(6)

Judul Skripsi : Analisis Daya Saing Ekspor Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional

Nama : Eka Ratnawati NIM : H44061590

Menyetujui, Pembimbing,

Adi Hadianto, SP, M.Si NIP: 19790615 200501 1 004

Mengetahui, Ketua Departemen,

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP: 19660717 199203 1 003


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan resmi ibu Titi Ariyati dan ayah M. Jamhari. Penulis dilahirkan dengan selamat di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur pada hari Rabu tanggal 15 Juli 1987.

Pendidikan formal dijalani penulis sejak tahun 1992 di Taman Kanak-Kanak Merpati, Sangasanga. Pendidikan kemudian dilanjutkan di Sekolah Dasar Negeri 009 Sangasanga, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Sangasanga, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sangasanga. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat atas pada tahun 2006, penulis menerima bantuan dana pendidikan dari Pemda Kabupaten Kutai Kartanegara berupa Beasiswa Utusan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara untuk melanjutkan pendidikan S1 pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.


(8)

PRAKATA





Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan umat, Nabi Besar Muhammad SAW yang menjadi teladan bagi umatnya dan membawa perubahan menuju peradaban yang lebih baik.

Skripsi yang berjudul “Analisis Daya Saing Ekspor Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional” ini dimaksudkan untuk melengkapi syarat penyelesaian studi jenjang Strata 1 (S1) di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dapat terselesaikan berkat kerja keras, do’a, dorongan, dan bantuan yang luar biasa dari berbagai pihak.

Terimakasih utamanya penulis sampaikan kepada mama tercinta, Titi Ariyati yang senantiasa berjuang dengan kesabaran serta do’a yang tiada putus -putusnya, dan adikku, Nur Ratih atas dorongan dan semangat yang diberikan. Tak lupa penulis juga menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak Pemda Kutai Kartanegara atas bantuan dana yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S1 dengan baik. Terimakasih kepada bapak dan seluruh keluarga besar, baik yang berada di Sangasanga, Samarinda, Balikpapan, maupun di Haruai yang senantiasa memberikan do’a dan dukungan, Ninuk dan keluarga di Tenggarong yang terus memberikan do’a dan secercah harapan. Kepada seluruh guru yang telah mengajar penulis sejak Taman Kanak-Kanak sampai dengan jenjang Perguruan Tinggi (apresiasi dan terimakasih yang tiada habisnya pada bapak dan ibu semua).

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada dosen pembimbing, Bapak Adi Hadianto yang telah memberikan ilmu, motivasi, masukan, dan bimbingan terbaik bagi penulis. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada dosen penguji


(9)

utama, Bapak Ujang Sehabudin, serta kepada dosen penguji wakil departemen, Bapak Novindra atas masukan yang diberikan. Kepada pengurus perpustakaan balai penelitian karet penulis juga mengucapkan terimakasih atas informasi-informasi yang telah diberikan. Juga kepada mba Aam atas bantuan yang diberikan.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada sahabat seperjuangan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Riana Ekawati (terus semangat untuk mengukir kembali mimpi kita bu), sahabat 99, Yunita Mukti Noor Yanti, Harli Septian, Rafik Albar, Hairika Maulani, Agustya Lutfiani, dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu (semoga persahabatan tetap menyatukan kita). Kepada teman-teman di Pondok RIZQI, Yanti (yanti???), mba Ummi (begadang lagi mba?), mba Peni, mba Wage, Isma, Reni, dan semuanya atas bantuan dan semangat yang diberikan. Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para sahabat dan semua teman semasa TK, SD, SLTP, SMA, TPB (B01_ers), teman-teman di FM BUD KUKAR, organisasi, kepanitiaan, serta teman-teman di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu (kalian semua telah memberikan warna dalam hidup saya).

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis berharap penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pengetahuan bagi semua pihak yang berkepentingan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bogor, Januari 2011 Eka Ratnawati


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Peran Sektor Pertanian... 11

2.2. Perkebunan ... 12

2.3. Konsep Keunggulan dan Daya Saing Ekspor ... 15

2.4. Ekspor sebagai Sumber Devisa ... 16

2.5. Karet Alam ... 18

2.5.1. Perbedaan Karet Alam dengan Karet Sintetis ... 20

2.5.2. Jenis-Jenis Karet Alam ... 21

2.5.3. Manfaat Karet ... 25

2.6. Bentuk Kerjasama Antar Negara Produsen Karet Alam ... 27

2.7. Penelitian Terdahulu ... 29

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 33

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 39

4.1. Jenis dan Sumber Data ... 39

4.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 39

4.2.1. Analisis Struktur Pasar ... 40

4.2.2. Analisis RCA ... 43

4.2.3. Analisis ECI ... 44

V. GAMBARAN UMUM KARET ALAM ... 46

5.1. Sejarah Karet Dunia dan Indonesia ... 46

5.2. Permintaan dan Penawaran Karet Alam ... 49

5.3. Perkembangan Produksi Karet Alam Indonesia dibandingkan Thailand dan Malaysia sebagai Produsen Utama Karet Alam Dunia ... 51

5.4. Sentra Produksi Karet Indonesia ... 58

5.5. Kemajuan Pemuliaan Karet Indonesia ... 62

5.5.1. Produktivitas Karet ... 62

5.5.2. Pertumbuhan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) ... 63


(11)

x

5.5.3. Pertumbuhan Tanaman Menghasilkan (TM) ... 64

5.5.4. Tipe Keunggulan Klon ... 65

VI. PERKEMBANGAN EKSPOR KARET ALAM INDONESIA ... 67

6.1. Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Karet Alam Indonesia ... 67

6.2. Tujuan Ekspor Karet Alam Indonesia ... 70

6.3. Perkembangan Ekspor Karet Alam Negara Pesaing ... 73

VII. STRUKTUR PASAR KARET ALAM DI PASAR INTERNASIONAL ... 77

7.1. Pangsa Pasar Karet Alam ... 77

7.2. Herfindahl Index dan Concentration Ratio ... 79

VIII. DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM ... 82

8.1. Analisis Revealed Comperative Advantage ... 83

8.2. Analisis Export Competitiveness Index ... 86

IX. KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

9.1. Kesimpulan ... 90

9.2. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(12)

xi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kontribusi Ekspor Sektor Pertanian terhadap Ekspor NonMigas

Tahun 2000-2009 (Juta US$) ... 2

2. Kontribusi Ekspor Karet Alam terhadap Ekspor NonMigas (Juta US$) ... 3

3. Ranking Global Competitiveness Indeks (GCI) ... 5

4. Kelompok Karet dan Barang-Barang Karet... 20

5. Standard Indonesian Rubber (SIR) ... 24

6. Perkembangan Nilai dan Produksi Karet Alam Negara Eksportir Utama... 56

7. Rata-Rata Penguasaan Lahan Petani Karet Rakyat per KK (Ha/KK) ... 60

8. Pengelompokkan Klon Karet berdasarkan Laju Pertumbuhan TBM ... 63

9. Pengelompokkan Klon Karet berdasarkan Pertumbuhan Batang TM ... 64

10.Tipe Klon Unggul berdasarkan Pola Produksi Karet Kering dan Laju Pertumbuhan Batang ... 65

11.Nilai Ekspor Karet Alam Dunia ... 67

12.Nilai Ekspor Karet Alam Indonesia ... 68

13.Volume Ekspor Karet Alam Indonesia ... 69

14.Kuantitas Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama ... 70

15.Nilai Ekspor Karet Alam Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama... 72

16.Kuantitas Ekspor Negara Pesaing Utama Karet Alam Dunia ... 73

17.Nilai Ekspor Negara Pesaing Utama Karet Alam Dunia ... 74

18.Harga Ekspor Karet Alam Negara Eksportir Utama (US$/ton) .... 75

19.Hasil Perhitungan Herfindahl Index dan Concentration Ratio Negara Eksportir Karet Alam ... 79


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. World Economic Forum: 12 Pillars of Competitiveness ... 6 2. Diagram Alur Kerangka Pemikiran ... 38 3. Perbandingan Luas Areal Tanam dan Produktivitas Karet Alam

Negara Produsen Utama ... 53 4. Perkembangan Produktivitas Lahan Karet alam Indonesia

berdasarkan Status Pengusahaan ... 55 5. Perkembangan Luas Lahan Tanaman Menghasilkan terhadap

Luas Lahan Total Karet Alam Indonesia ... 61 6. Persentase Volume Ekspor Karet Alam Indonesia ke Beberapa

Negara Tujuan Ekspor Utama ... 71 7. Penguasaan Pasar Eksportir Utama Karet Alam ... 78 8. Perbandingan Nilai RCA Negara Eksportir Utama Karet Alam... 83 9. Hasil Perhitungan ECI Negara Eksportir Karet Alam ... 87


(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Luas Areal Karet Perkebunan Rakyat Menurut Provinsi di Indonesia (Ha) ... 100 2. Produksi Karet Perkebunan Rakyat Menurut Provinsi di

Indonesia (ton) ... 101 3. Perhitungan Penguasaan Pasar Negara Eksportir Karet Alam

Dunia ... 103 4. Hasil Perhitungan RCA Negara Eksportir Karet Alam ... 110


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan sektor ini dapat mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian periode 2003-2010 sebesar 42,75%, meskipun kontribusi sektor ini terhadap PDB nasional hanya sekitar 15% (Badan Pusat Statistik, 2010). Kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan devisa negara tergolong cukup besar, terutama subsektor perkebunan Sektor pertanian Indonesia pada neraca perdagangan periode 2006-2008 menunjukkan nilai yang positif (surplus). Menurut data BPS (2009), pada tahun 2006 neraca perdagangan sektor pertanian mengalami surplus sebesar 8,9 juta US$. Nilai ini meningkat pada tahun 2007 menjadi 13,3 juta US$ dan tahun 2008 sebesar 12,4 juta US$.

Surplus yang terjadi pada neraca perdagangan sektor pertanian dikarenakan nilai ekspor komoditas pertanian yang cenderung mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar 2,7 milyar US$ pada tahun 2000 menjadi 4,6 milyar US$ pada tahun 2008. Besaran nilai ekspor sektor pertanian periode 2000-2008 diperlihatkan pada Tabel 1. Peningkatan nilai ekspor ini mengindikasi perbaikan yang terjadi di bidang pertanian terhadap ekspor nonmigas. Pada Tabel 1 terlihat kontribusi ekspor sektor pertanian terhadap ekspor nonmigas selama periode 2000-2008 berkisar antara 4-5%.


(16)

2

Tabel 1. Kontribusi Ekspor Sektor Pertanian terhadap Ekspor Nonmigas Tahun 2000-2008 (Juta US$)

Tahun Ekspor

Pertanian

Ekspor Nonmigas

Kontribusi Ekspor Pertanian terhadap Ekspor Nonmigas

2000 2 709,1 47 757,4 5,67%

2001 2 438,5 43 684,6 5,58%

2002 2 568,3 45 046,1 5,70%

2003 2 526,2 47 406,6 5,33%

2004 2 496,2 55 939,3 4,46%

2005 2 880,3 66 428,5 4,34%

2006 3 364,9 78 589,1 4,28%

2007 3 657,8 92 012,3 3,98%

2008 4 584,6 107 894,1 4,25%

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah), 2003-2009

Melihat besaran kontribusi ekspor sektor pertanian terhadap ekspor nonmigas di atas, maka pengembangan sektor pertanian diharapkan dapat menjadi pendorong pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang. Hal ini salah satunya dapat dilakukan dengan pengembangan komoditas unggulan pertanian. Dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014 terdapat 39 komoditas pertanian yang ingin dipacu produksinya. Dari jumlah tersebut terdapat 14 komoditas yang pengembangannya bukan untuk pemenuhan kebutuhan pangan tetapi lebih kepada substitusi impor, pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dalam negeri, serta pengembangan ekspor. Karet merupakan salah satu komoditas unggulan yang menjadi target pengembangan karena memiliki potensi pasar yang cukup luas, terutama di pasar ekspor.

Pengutamaan ekspor bagi Indonesia sudah digalakkan sejak tahun 1983 (Basri, 2002). Bahkan sejak tahun 1988, sumber utama perolehan devisa Indonesia bertumpu pada penerimaan ekspor nonmigas (Dumairy, 1996). Dalam perkembangannya, ekspor memiliki peranan yang penting dalam perekonomian nasional, terlebih sejak digulirkannya perundingan WTO menuju perdagangan dunia tanpa hambatan. Perekonomian Indonesia saat terjadinya krisis moneter


(17)

3 yang menimbulkan guncangan sosial dan politik dapat terselamatkan salah satunya oleh kinerja ekspor pertanian (Basri, 2002).

Kinerja ekspor pertanian Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, khususnya hasil perkebunan. Salah satu ekspor komoditas yang menjadi andalan Indonesia adalah komoditas karet dan barang karet, di samping CPO yang tetap menjadi primadona ekspor Indonesia. Kontribusi nilai ekspor karet alam Indonesia terhadap ekspor nonmigas diperlihatkan pada Tabel 2. Persentase ekspor karet alam Indonesia terhadap ekspor non migas cenderung meningkat, yaitu dari 1,8% pada tahun 2001 menjadi 5,61% pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistik, 2009). Pertumbuhan yang secara signifikan mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kinerja yang cukup baik dari komoditas ini (Parhusip, 2008).

Tabel 2. Kontribusi Ekspor Karet Alam terhadap Ekspor Nonmigas (Juta US$)

Tahun Ekspor

Nonmigas

Ekspor Karet Alam

Persentase Ekspor Karet Alam Thd Ekspor Non Migas

2001 43 684,6 787 1,80%

2002 45 046,1 1 038 2,31%

2003 47 406,6 1 495 3,15%

2004 55 939,3 2 181 3,90%

2005 66 428,5 2 584 3,89%

2006 78 589,1 4 322 5,50%

2007 92 012,3 4 871 5,29%

2008 107 894,1 6 058 5,61%

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009

Indonesia merupakan negara dengan luas areal perkebunan karet terbesar di dunia (Food and Agriculture Organization, 2010). Meskipun demikian, hal tersebut tidak menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor karet terbesar. Indonesia menduduki posisi kedua produksi dan ekspor karet alam setelah Thailand (United Nation Comtrade, 2010). Pentingnya komoditas karet alam menyebabkan perlu penanganan yang tepat dalam pengembangan daya saing


(18)

4 ekspor sehingga komoditas ini kemudian dapat dijadikan sebagai salah satu penopang perekonomian nasional.

Dalam rangka menjalin hubungan dagang secara internasional, Indonesia turut serta dalam penerapan kebijakan-kebijakan dagang. Awal pelaksanaan pembangunan jangka panjang kedua banyak tantangan yang dihadapi oleh Indonesia. Tantangan tersebut antara lain keikutsertaan Indonesia dalam organisasi perdagangan dunia berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing WTO (World Trade Organization) (Sukarmi, 2002). Indonesia yang termasuk dalam anggota ASEAN membuka jalan perdagangannya dengan berpartisipasi dalam perjanjian perdagangan bebas dengan anggota-anggota ASEAN lain. Bentuk hubungan kerjasama ini dikenal dengan nama AFTA (ASEAN Free Trade Area). AFTA dibentuk pada KTT ASEAN IV di Singapura pada tahun 1992. Pembentukan ini didasarkan tujuan membentuk kawasan bebas perdagangan ASEAN dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi regional ASEAN.

Kondisi globalisasi yang terjadi menyebabkan perlunya perhatian lebih terhadap daya saing produk domestik mengingat bahwa globalisasi menuntut adanya persaingan. Konsep daya saing tidak saja dilihat dari keunggulan komparatif tetapi lebih didasarkan pada keunggulan kompetitif produk. Globalisasi membuat pasar antarnegara menjadi semakin luas. Negara yang memiliki keunggulan kompetitif cenderung semakin dapat memperkaya negaranya dan negara yang tidak siap dalam menghadapi persaingan di pasar global akan semakin terpuruk (Oktaviani dan Novianti, 2009). World Economic Forum (WEF) yang merupakan sebuah lembaga pemeringkat daya saing ternama


(19)

5 mendefinisikan daya saing sebagai himpunan kelembagaan, kebijakan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara (Daryanto, 2009).

Laporan Daya Saing Global atau Global Competitiveness Report yang merupakan laporan tahunan dari WEF membahas mengenai masalah kemampuan negara-negara untuk menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya. Tabel 3 memperlihatkan perbandingan peringkat keunggulan kompetitif beberapa negara pada periode 2010-2011 dan perbandingan dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan pada tabel tersebut terlihat bahwa pada periode 2010-2011, Indonesia berada pada peringkat 44 dari 139 negara yang disurvei, meningkat 10 peringkat dari periode sebelumnya.

Tabel 3. Ranking Global Competitiveness Indeks (GCI)

No Negara GCI

2010-2011 Rank

GCI 2009-2010 Rank

GCI 2008-2009 Rank

GCI 2007-2008 Rank

1 Indonesia 44 54 55 54

2 Thailand 38 36 34 28

3 Singapore 3 3 5 7

4 Vietnam 59 75 70 68

5 Malaysia 26 24 21 21

6 India 51 49 50 48

7 China 27 29 30 34

8 Philippines 85 87 71 71

Sumber: Schwab, 2010

Peningkatan terhadap posisi daya saing global Indonesia dipengaruhi oleh berbagai indikator. Pendorong utama dalam peningkatan ini adalah perbaikan pada pilar makroekonomi1. WEF mencatat perbaikan Indonesia terhadap kondisi makroekonominya relatif baik, yang mana hal ini ditunjukkan oleh peningkatan peringkat daya saing pada indikator tersebut sebanyak 17 peringkat sejak terjadinya krisis moneter (Schwab, 2010).

1 Peringkat Indonesia pada persyaratan dasar yang menjadi indikator dalam penentuan peringkat


(20)

6 Penentuan indeks daya saing global tersebut menggunakan 12 pilar utama yang mempengaruhi daya saing, yang mana penentunya terbagi atas tiga kelompok besar, yaitu kelompok persyaratan dasar, kelompok peningkat efisiensi, serta kelompok inovasi dan kecanggihan. Pengelompokan pilar-pilar tersebut terlihat sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1. Pilar makroekonomi menjadi salah satu penilaian dalam kelompok persyaratan dasar.

Sumber: Schwab, 2010 (World Economic Forum: Global Competitiveness Report 2010-2011)

Gambar 1. World Economic Forum: 12 Pillars of Competitiveness

Dalam indeks makroekonomi, kinerja ekspor merupakan salah satu variabel utama. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peningkatan daya saing suatu negara sangat ditentukan oleh kinerja ekspornya (Hadianto, 2010). Atas dasar konsep ini maka analisis terhadap daya saing ekspor karet alam sebagai salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia penting untuk dilakukan. Hal ini sebagai salah satu faktor yang diharapkan dapat meningkatkan

Basic requirements  Institution

 Infrastructure

 Macroeconomic stability

 Helth and primary education

Key for

Factor-driven

economies

Eficiency Enhancers

 Higher education and training

 Goods market efficiency

 Labor market efficiency

 Financial market sophistication

 Technological readiness

 Market size

Innovation and sophistication factors  Business sophistication

 innovation

Key for

Efficiency-driven

economies

Key for

Innovation-driven


(21)

7 posisi daya saing Indonesia di lingkup global, mengingat prospek pengembangan ekspor karet alam Indonesia masih sangat besar.

1.2. Perumusan Masalah

Pertumbuhan produksi karet alam Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari tumbuhnya produksi karet dari 1,63 juta ton pada tahun 2002 menjadi 2,77 juta ton pada 2010 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Angka ini merupakan angka produksi terbesar ke dua dunia setelah Thailand (Food and Agriculture Organization, 2010). Jumlah produksi yang demikian besar kemudian dihadapkan pada kondisi penetrasi pasar di mana Indonesia harus bersaing dengan negara-negara produsen lain, serta adanya fluktuasi harga (Parhusip, 2008).

Harga karet alam pada perdagangan internasional cenderung fluktuatif (International Rubber Concortium Limited, 2010). Hal ini merupakan salah satu ciri yang berkelanjutan. Fluktuasi harga tersebut berdampak pada arus perdagangan karet alam dan upaya pengembangan ekspor karet alam Indonesia dalam rangka meningkatkan devisa negara yang memiliki konsekuensi pada perubahan lingkungan ekonomi atau kebijakan perdagangan yang secara signifikan mempengaruhi distribusi pendapatan.

Dalam era perdagangan bebas, pengembangan komoditas karet menghadapi berbagai tantangan. Semakin terbukanya pasar mengakibatkan persaingan (kompetisi) yang terjadi terhadap ekspor komoditas karet alam menjadi semakin ketat. Kondisi pasar terbuka menyebabkan semakin minimnya kekuatan pengendalian pasar sehingga tidak ada yang dapat menghalangi


(22)

8 masuknya pesaing-pesaing baru dalam perdagangan. Sebagai gambaran, pertumbuhan ekspor karet alam oleh negara Vietnam yang semakin baik mempengaruhi jumlah penawaran karet alam global. Peningkatan jumlah penawaran ini pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pembentukan harga (International Trade Statistics, 2010).

Atas dasar tersebut analisis terhadap perkembangan ekspor karet alam menjadi sangat penting sebagai informasi awal untuk menjelaskan kondisi daya saing komoditas karet alam Indonesia di pasar ekspor. Untuk mengetahui posisi daya saing karet alam Indonesia, perlu juga diketahui perkembangan komoditas tersebut pada negara lain yang menjadi pesaing dalam pasaran internasional. Informasi-informasi ini berguna untuk melihat seberapa besar penguasaan pasar oleh eksportir karet alam di lingkup global yang pada akhirnya akan menentukan kondisi pasar yang terbentuk dari pangsa pasar tersebut.

Kondisi struktur pasar yang terbentuk secara langsung memiliki pengaruh terhadap daya saing produk. Tingkat daya saing suatu negara penting diketahui untuk dapat menilai kinerja suatu komoditas dalam perkembangannya di dunia perdagangan. Dengan mengetahui kondisi struktur pasar yang terbentuk pada komoditas karet alam, maka kebijakan yang akan diterapkan terhadap komoditas tersebut akan dapat dirumuskan secara tepat guna pengembangan daya saing ekspor komoditas terkait di pasaran internasional. Berdasarkan hal tersebut, masalah-masalah yang akan diuraikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan ekspor komoditas karet alam Indonesia?

2. Bagaimana struktur pasar karet alam di pasar internasional?


(23)

9

1.3. Tujuan Penelitian

Perumusan masalah yang telah disebutkan di atas kemudian melahirkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Adapun tujuan dari perumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis perkembangan ekspor komoditas karet alam Indonesia. 2. Mengidentifikasi struktur pasar karet alam di pasar internasional. 3. Menganalisis daya saing karet alam Indonesia di pasar internasional.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi:

1. Bahan informasi dasar dalam penyusunan dan penentuan arah kebijakan perkaretan nasional.

2. Tambahan informasi mengenai posisi daya saing ekspor karet alam Indonesia di pasar internasional.

3. Tambahan bagi khasanah penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian dari studi mengenai “Analisis Daya Saing Ekspor Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional” ini adalah sebagai berikut:

1. Komoditas karet alam yang dimaksud dalam penelitian ini berdasarkan pada komoditas karet alam dengan kode HS 4001, yaitu kelompok karet alam, balata, getah perca, guayule, chicle dan getah alam semacam itu, dalam bentuk asal atau pelat, lembaran atau strip.


(24)

10 3. Analisis daya saing ekspor karet alam dilakukan pada tiga negara eksportir

utama karet alam, yaitu Indonesia, Thailand, dan Malaysia.

4. Identifikasi struktur karet alam di pasar internasional dilakukan dengan metode Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR), sedangkan analisis daya saing dilakukan dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export Competitiveness Index (ECI).


(25)

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peran Sektor Pertanian

Sektor pertanian merupakan salah satu penopang perekonomian suatu negara, khususnya di negara agraris seperti Indonesia. Peranan sektor ini dapat dikatakan cukup besar bagi perkembangan perekonomian negara yang bersangkutan. Mengikuti analisis klasik dari Kuznets (1964) dalam Tambunan (2003), pertanian di LDCs dapat dilihat sebagai suatu sektor ekonomi yang sangat potensial dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu sebagai berikut:

1) Ekspansi dari sektor-sektor ekonomi lainnya sangat tergantung pada pertumbuhan output di sektor pertanian, baik dari sisi permintaan sebagai sumber pemasokan makanan yang kontinu mengikuti pertumbuhan penduduk, maupun dari sisi penawaran sebagai sumber bahan baku bagi keperluan produksi di sektor-sektor lain seperti industri manufaktur (misalnya industri makanan dan minuman) dan perdagangan. Kuznets menyebut ini sebagai kontribusi produk.

2) Di negara-negara agraris seperti Indonesia, pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestik bagi produk-produk dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi pasar. 3) Sebagai suatu sumber modal untuk investasi di sektor-sektor ekonomi

lainnya. Selain itu, menurut teori penawaran tenaga kerja (L) tak terbatas dari Arthur Lewis dan telah terbukti dalam banyak kasus, bahwa dalam proses pembangunan ekonomi terjadi transfer surplus L dari pertanian (pedesaan) ke


(26)

12 industri dan sektor-sektor perkotaan lainnya. Kuznets menyebutnya kontribusi faktor-faktor produksi.

4) Sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan (sumber devisa), baik lewat ekspor hasil-hasil pertanian maupun dengan peningkatan produksi pertanian dalam negeri menggantikan impor (substitusi impor). Kuznets menyebutnya kontribusi devisa.

2.2. Perkebunan

Perkebunan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 didefinisikan sebagai segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Pelaksanaan perkebunan diselenggarakan antara lain dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara, penyedia lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi, serta pengoptimalan sumberdaya secara berkelanjutan. Pada pasal 4 disebutkan bahwa usaha perkebunan memiliki fungsi secara ekonomi, ekologi, dan sosial budaya.

Tanaman perkebunan merupakan pendukung utama sektor pertanian dalam menghasilkan devisa. Ekspor komoditas pertanian kita yang utama adalah hasil-hasil perkebunan. Hasil-hasil-hasil komoditas perkebunan yang selama ini telah menjadi komoditas ekspor konvensional terdiri atas karet, kelapa sawit, teh, kopi dan tembakau (Badan Pusat Statistik, 2009). Masih ada beberapa jenis tanaman


(27)

13 perkebunan yang diekspor, namun porsinya relatif kecil. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kakao telah berkembang menjadi salah satu komoditas penting di dalam jajaran ekspor komoditas perkebunan. Meskipun demikian, penghasil devisa utama dari subsektor perkebunan masih dipegang oleh komoditas karet dan kopi.

Pengusahaan tanaman perkebunan di Indonesia berlangsung dualitis. Sebagian besar diselenggarakan oleh rakyat secara orang perorangan, dengan teknologi produksi dan manajemen usaha yang tradisional. Sebagian lagi diusahakan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, baik milik pemerintah maupun swasta, dengan teknologi produksi yang modern serta manajemen usaha yang profesional. Karena tanaman perkebunan didominasi oleh perkebunan rakyat, maka kondisi perkebunan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan perkebunan negara lain.

Pembangunan perkebunan dilaksanakan melalui empat pola pengembangan, yaitu (Dumairy, 1996):

1) Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR)

2) Pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) 3) Pola Swadaya; dan

4) Pola Perusahaan Perkebunan Besar

Pola PIR dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan usaha antara perkebunan rakyat sebagai plasma dan perkebunan besar sebagai inti, dalam suatu sistem pengelolaan yang menangani seluruh rangkaian kegiatan agribisnis. Pelaksanaannya dilakukan dengan memanfaatkan perkebunan besar untuk mengembangkan perkebunan rakyat pada areal bukaan baru. Pola UPP adalah


(28)

14 pola pengembangan atas asas pendekatan terkonsentrasi pada lokasi tertentu, yang menangani keseluruhan rangkaian proses agribisnis. Pelaksanaan pola ini ditempuh melalui pengembangan perkebunan rakyat oleh suatu unit organisasi proyek yang beroperasi di lokasi perkebunan yang sudah ada. Pola swadaya ditujukan untuk mengembangkan swadaya masyarakat petani/pekebun yang sudah ada di luar wilayah kerja PIR dan UPP. Sedangkan pola perkebunan besar diarahkan untuk meningkatkan peranan pengusaha untuk mengembangkan perusahaan perkebunan besar, baik berupa perusahaan negara (BUMN), perusahaan swasta nasional maupun swasta asing.

Peningkatan produksi perkebunan diupayakan terutama melalui peningkatan produktivitas lahan serta perbaikan efisiensi pengolahan. Sasaran utamanya adalah peningkatan produksi perkebunan rakyat, mengingat produktivitas per hektar dan mutu hasilnya masih rendah, padahal sebagian besar hasil perkebunan berasal dari perkebunan rakyat. Untuk menunjang kenaikan produksi perkebunan rakyat dimaksud, dibangun unit-unit pelayanan pengembangan (UPP). Unit-unit ini memberikan pembinaan dalam hal teknik agronomi, membantu pembiayaan, pemasaran, dan pengembangan fasilitas pengolahannya. Sementara itu usaha ekstensifikasi perkebunan dilaksanakan melalui pola PIR, dimana perusahaan inti bertugas membina plasma-plasmanya (pekebun-pekebun rakyat) dalam hal teknik agronomi, pengolahan, dan pemasaran hasil.

Sejalan dengan usaha-usaha tersebut, produksi beberapa tanaman perkebunan utama meningkat secara cukup berarti. Kenaikan produksi terutama disebabkan oleh meningkatnya luas areal produktif dari hasil peremajaan dan


(29)

15 perluasan, serta upaya rehabilitasi dan intensifikasi. Ekspor berbagai jenis tanaman perkebunan juga berkembang, antara lain berkat dilaksanakannya Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE).

2.3. Konsep Keunggulan dan Daya Saing Ekspor

Daya saing ekspor memiliki pengertian kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk bertahan dalam pasar itu. Daya saing suatu komoditi dapat diukur atas dasar perbandingan pangsa pasar komoditi tersebut pada kondisi pasar yang tetap. Dalam hal ini berarti suatu produk dikatakan memiliki daya saing apabila produk tersebut mampu bertahan dalam suatu pasar meskipun dengan mengalami guncangan (Amir, 2004).

Untuk dapat melakukan perdagangan antar negara, maka suatu komoditas perlu memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Ricardo menyatakan bahwa manfaat dari perdagangan akan tetap dapat diperoleh oleh suatu negara meskipun negara tertentu tidak memiliki keunggulan apapun, selama rasio harga antarnegara masih berbeda (Hady, 2004). Jika tidak ada perdagangan, setiap negara akan memiliki keunggulan komparatif, yaitu kemampuan untuk menemukan barang-barang yang dapat diproduksi pada tingkat biaya ketidakunggulan relatif yang lebih rendah (dimulai dari awal dibukanya perdagangan) daripada barang lainnya. Barang-barang inilah yang seharusnya diekspor untuk ditukar dengan barang lainnya. Hukum keunggulan komparatif Ricardo menyatakan bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif dalam sesuatu dan memperoleh manfaat dengan memperdagangkannya untuk ditukar dengan barang yang lain.


(30)

16 Menurut Porter (1998) dalam Abdmoulah dan Laabas (2010) keunggulan bersaing suatu negara sangat tergantung pada tingkat sumberdaya yang dimilikinya. Keunggulan kompetitif dapat dilihat dari sumberdaya lokal yang dimiliki suatu negara/wilayah. Keunggulan ini dapat dibuat dan dipertahankan melalui suatu proses internal yang tinggi. Perbedaan dalam struktur ekonomi nasional, nilai kebudayaan, kelembagaan dan sejarah turut serta dalam menentukan keberhasilan kompetitif.

2.4. Ekspor sebagai Sumber Devisa

Setiap negara berbeda dengan negara lainnya, baik ditinjau dari sudut sumber alam, iklim, letak geografis, penduduk, keahlian, tenaga kerja, tingkat harga, serta keadaan struktur ekonomi dan sosialnya. Perbedaan itu menimbulkan pula perbedaan barang yang dihasilkan, biaya yang diperlukan, serta mutu atau kualitasnya. Hal inilah yang kemudian mendorong suatu negara untuk menjalin hubungan dagang dengan negara lain guna memenuhi kebutuhan dalam negeri yang belum ataupun tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri.

Kelebihan produksi dalam negeri akan mendorong terjadinya ekspor. Pengertian ekspor menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 182/MPP/Kep/4/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dan jasa dari daerah kepabeanan suatu negara. Adapun daerah kepabeanan sendiri didefinisikan sebagai wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Pass


(31)

17 (1997) dalam Novianti dan Hendratno (2008) menyatakan bahwa ekspor penting dalam dua hal utama yaitu: a) bersama-sama dengan impor dalam menghasilkan neraca pembayaran (balance of payment) dari suatu negara; b) ekspor menghasilkan devisa yang memberikan peningkatan pendapatan nasional dan pendapatan riil. Secara matematis, ekspor dapat dituliskan sebagai fungsi berikut:

���= − � + −1

Dimana:

Xt = Jumlah ekspor komoditas tahun t

Qt = Jumlah produksi domestik tahun t

Ct = Jumlah konsumsi domestik tahun t

St-1 = Stok tahun sebelumnya (t-1)

Pembelian barang ataupun pembayaran jasa dari luar negeri yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mengharuskan setiap negara berusaha untuk memiliki atau menguasai alat-alat pembayaran luar negeri. Alat pembayaran luar negeri, atau juga disebut sebagai Foreign Exchange Currency atau devisa dapat dianggap sebagai tagihan terhadap luar negeri yang dapat dipergunakan untuk melunasi hutang yang terjadi dengan luar negeri. Sumber devisa dapat berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Umumnya sumber devisa dari suatu negara adalah sebagai berikut (Amir, 1984):

1) Hasil-hasil dari ekspor barang maupun jasa;

2) Pinjaman yang diperoleh dari luar negeri, baik dari pemerintah suatu negara, badan-badan keuangan internasional, ataupun dari swasta;

3) Hadiah atau Grant dari negara asing;

4) Keuntungan dari penanaman modal di luar negeri; 5) Hasil-hasil dari pariwisata internasional.


(32)

18

2.5. Karet Alam

Karet adalah polimer hidrokarbon yang terbentuk dari emulsi kesusuan (dikenal sebagai latex), di getah pada beberapa jenis tumbuhan tetapi dapat juga diproduksi secara sintetis. Sumber utama barang dagang dari latex yang digunakan untuk menciptakan karet adalah pohon karet Para, Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae). Pengambilan getah dilakukan dengan cara melukai kulit pohon sehingga pohon akan memberikan respon yang menghasilkan lateks lebih banyak (Departemen Perindustrian, 2007). Pohon tersebut menurut Undri (2004) pertama kali ditemukan di lembah Amazone oleh tim ekspedisi dari Perancis. Kemudian ekspedisi tersebut berhasil menemukan pohon karet yang dapat diambil getahnya tanpa harus menebang pohonnya, cukup dengan melukai kulit batang tanaman karet tersebut. Penemuan tersebut menyebabkan pengembangan penggunaan lateks semakin pesat, apalagi setelah ditemukannya proses vulkanisasi oleh Good Year tahun 1839, maka pengembangan perkebunan karet mulai berkembang secara komersil. Setelah percobaan berkali-kali oleh Henry Wickham, pohon tersebut berhasil dikembangkan di Asia Tenggara, dimana sekarang ini tanaman ini banyak dikembangkan. Menjelang tahun 1940, Indonesia dan Malaysia akhirnya menjadi produsen utama karet dunia. Upaya pengembangan tanaman karet secara perkebunan baru mulai pada akhir abad ke-19 (Undri, 2004). Lebih dari setengah karet yang digunakan sekarang ini adalah sintetik, tetapi beberapa juta ton karet alami masih diproduksi setiap tahun dan masih merupakan bahan penting bagi beberapa industri termasuk otomotif dan militer (Suciati, 2006).

Saat ini, karet alam merupakan komoditi perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia karena merupakan salah satu komoditas ekspor andalan.


(33)

19 Indonesia bahkan pernah menjadi produsen karet alam nomor satu di dunia. Sebagian besar tanaman ini diusahakan oleh perkebunan rakyat.

Kedudukan Indonesia sebagai produsen utama karet alam dunia kini telah digeser oleh Thailand, akibat areal luas yang dimiliki tidak diiringi dengan produksi besar dan mutu yang baik. Namun demikian, karet masih merupakan penghasil devisa utama di jajaran komoditas ekspor perkebunan. Produksi karet alam Indonesia pada tahun 2007 sebesar 2,76 juta ton dimana 2,44 juta ton atau 88,4% dari produksi karet alam tersebut diekspor dengan nilai US$ 4,36 milyar, hanya 13,3% atau 355.717 ton yang digunakan untuk kebutuhan industri dalam negeri (Association of Natural Rubber Producing Countries, 2010). Pasar utama ekspor karet alam tertuju ke Amerika Serikat (40%) dan Singapura (30%). Selebihnya ke Jepang dan Eropa Barat, serta beberapa negara lain dalam porsi kecil (International Trade Statistics, 2010). Jenis yang diekspor terdiri atas lateks, karet sheets, karet crepe, dan karet SIR (Standard Indonesia Rubber). Jenis yang paling banyak diekspor adalah karet SIR. Selain getah karet yang berguna sebagai bahan baku berbagai produk industri, kayu karet juga layak ekspor. Jepang, Taiwan, dan beberapa negara Eropa mengimpor kayu karet dari Indonesia.

Karet dan barang karet dapat diklasifikasikan menurut The Harminized Commodity Descreption and Coding System (HS) dan kelompok barang lapangan industri (KBLI). Pengelompokkan tersebut sebagaimana yang dapat diperlihatkan pada Tabel 4 di bawah ini.


(34)

20

Tabel 4. Kelompok Karet dan Barang-Barang Karet

No. No. HS KBLI Uraian Barang

1. 40011-13 Karet Alam

4002 Karet Sintetis

2. 4003-4009 25192 Barang dari karet untuk industri:

- Benang karet - Tabung, pipa, selang

3. 4010 25192 Belt conveyor

4. 4010 25192 Belt Transmission

5. 4011-13 25111-25112 Ban (Roda 4, Roda 2, Sepeda)

6. 4015 25199 Sarung tangan

7. 4016-17 25191 Lain-lain

Sumber: Departemen Perindustrian, 2009

2.5.1 Perbedaan Karet Alam dengan Karet Sintetis

Karet alam memiliki keunggulan-keunggulan jika dibandingkan dengan karet sintetis. Keunggulan-keunggulan tersebut antara lain (Nazaruddin dan Paimin, 2006):

 Memiliki daya elastik atau daya lenting yang sempurna;

 Memiliki plastisitas yang baik sehingga pengolahannya mudah;  Mempunyai daya aus yang tinggi;

 Tidak mudah panas (low heat build up); dan

 Memiliki daya tahan yang tinggi terhadap keretakan (groove cracking resistance).

Meski demikian, karet sintetis juga memiliki kelebihan seperti tahan terhadap berbagai zat kimia, dan harganya yang cenderung dapat dipertahankan sehingga tetap stabil. Hal ini berbeda dengan karet alam yang mana harganya selalu mengalami fluktuasi, yang terkadang bahkan bergejolak (International Rubber Concortium Limited, 2010). Suatu kebijakan politik entah dari pihak pengusaha maupun pemerintah memiliki pengaruh yang besar terhadap usaha perkaretan alam secara luas.


(35)

21

2.5.1. Jenis-Jenis Karet Alam

Jenis karet alam yang dikenal luas adalah (Nazaruddin dan Paimin, 2006) :  Bahan olah karet (lateks kebun, sheet angin, slab tipis, dan lumb segar),  Karet konvensional (ribbed smoked sheet, white crepes, dan pale crepe, estate

brown crepe, compo crepe, thin brown crepe remills, thick blanked crepe ambers, flat bark crepe, pure smoke blanket crepe, dan off crepe),

 Lateks pekat,

 Karet bongkah atau block rubber,

 Karet spesifikasi teknis atau crumb rubber,  Karet siap olah atau tyre rubber, dan  Karet reklim atau reclaimed rubber.

1) Bahan Olah Karet

Bahan olah karet adalah lateks kebun serta gumpalan lateks kebun yang diperoleh dari pohon karet Havea brasiliensis. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa bahan olah karet bukan produksi perkebunan besar, melainkan merupakan bokar (bahan olah karet rakyat) karena biasanya diperoleh dari petani yang mengusahakan kebun karet. Menurut pengolahannya bahan olah karet dibagi menjadi 4 macam: lateks kebun, sheet angin, slap tipis, dan lump segar.

a. Lateks kebun adalah cairan getah yang didapat dari bidang sadap pohon karet. Cairan getah ini belum mengalami penggumpalan.

b. Sheet angin adalah bahan olah karet yang dibuat dari lateks yang sudah disaring dan digumpalkan dengan asam semut, berupa karet sheet yang sudah digiling tetapi belum jadi.


(36)

22 c. Slap tipis adalah bahan olah karet yang terbuat dari lateks yang sudah

digumpalkan dengan asam semut.

d. Lump segar adalah bahan olah karet yang bukan berasal dari gumpalan lateks kebun yang terjadi secara alamiah dalam mangkuk penampung. 2) Karet Alam Konvensional

Terdapat beberapa macam karet olahan yang tergolong karet alam konvensional. Jenis itu pada dasarnya hanya terdiri dari golongan karet sheet dan crepe. Jenis karet alam olahan yang tergolong konvensional adalah sebagai berikut.

a. Ribbed smoked sheet atau RSS adalah jenis karet berupa lembaran sheet

yang mendapat proses pengasapan dengan baik. RSS terdiri dari beberapa kelas, yaitu X RSS, RSS 1, RSS 2, RSS 3, RSS 4, dan RSS 5. b. White crepe dan pale crepe merupakan crep yang berwarna putih atau

muda. White crepe dan pale crepe juga ada yang tebal dan tipis.

c. Estate brown crepe merupakan crepe yang berwarna coklat. Disebut estate brown crepe karena banyak dihasilkan oleh perkebunan-perkebunan besar atau estate. Jenis ini dibuat dari bahan yang kurang baik seperti yang digunakan untuk pembuatan off crepe serta dari sisa lateks, lump atau koagulum yang berasal dari prakoagulasi, dan scrap atau lateks kebun yang sudah kering di atas bidang penyadapan. Brown crepe yang tebal disebut thick brown crepe dan yang tipis disebut thin brown crepe.

d. Combo crepe adalah jenis crepe yang dibuat dari bahan lump, scrap pohon, potongan-potongan sisa dari RSS, atau slep basah.


(37)

23 e. Thin brown crepe remills merupakan crepe cokelat yang tipis karena jenis ini merupakan jenis karet yang digiling ulang. Bahan yang digunakan sama dengan jenis brown crepe yang lain, hanya saja dalam prosesnya jenis ini mengalami penggilingan ulang untuk memperoleh ketebalan seperti yang telah ditetapkan.

f. Thick blanket crepes ambers merupakan jenis crepe blanket yang berwarna cokelat dan tebal, dan biasanya terbuat dari slab basah, sheet tanpa proses pengasapan, dan lumb serta scrap dari perkebunan atau kebun rakyat yang baik mutunya.

g. Flat bark crepe merupakan jenis karet tanah atau earth rubber, yaitu jenis crepe yang dihasilkan dari scrap karet alam yang belum diolah, termasuk scrap tanah yang berwarna hitam.

h. Pure smoked blanket crepe merupakan crepe yang diperoleh dari

penggilingan karet asap yang khusus berasal dari RSS, termasuk didalamnya block sheet atau sheet bongkah atau sisa dari potongan RSS. i. Off crepe yang tidak tergolong dalam bentuk baku atau standar. Biasanya

dibuat dari contoh sisa penentuan kadar karet kering, lembaran RSS yang tidak bagus penggilingannya sebelum diasapi, busa-busa dari lateks, bekas air cucian yang banyak mengandung lateks, serta bahan-bahan lain yang tidak bagus, bukan dari proses pembekuan langsung dari bahan lateks yang masih segar.


(38)

24 3) Lateks Pekat

Lateks pekat adalah jenis karet yang berbentuk cairan pekat. Lateks pekat yang diperdagangkan di pasar ada yang dibuat melalui proses pendadihan (creamed lateks) dan melalui proses pemusingan (centrifuged lateks). Jenis ini biasanya banyak digunakan untuk pembuatan bahan-bahan karet yang tipis dan bermutu tinggi.

4) Karet Bongkah atau Block Rubber

Karet bongkah adalah jenis karet remah yang telah dikeringkan dan dikilang menjadi bandela-bandela dengan ukuran yang telah ditetapkan. Karet bongkah ada yang berwarna muda dan setiap kelasnya mempunyai kode warna tersendiri. Standar mutu jenis ini tercantum dalam SIR (Standard Indonesian Rubber) sebagaimana disajikan pada Tabel 5 berikut..

Tabel 5. Standard Indonesian Rubber (SIR)

SIR 5L SIR 5 SIR 10 SIR 20 SIR 50 Kadar kotoran maksimum 0,05% 0,05% 0,10% 0,20% 0,50% Kadar abu maksimum 0,50% 0,50% 1,75% 1,00% 1,50% Kadar zat asiri maksimum 1.0% 1,0% 1,0% 1,0% 1,0%

PRI minimum 60 60 50 40 30

Plastisitas-Po minimum 30 30 30 30 30

Limit warna (skala livibond)

maksimum 6 - - - -

Kode warna Hijau Hijau - Merah Kuning

Sumber: Thio Goan Loo, 1980 dalam Nazaruddin dan Paimin, 2006 5) Karet Spesifikasi Teknis atau Crumb Rubber

Karet spesifikasi teknis adalah karet alam yang dibuat khusus sehingga terjamin mutu teknisnya. Penetapan mutunya juga didasarkan pada sifat-sifat teknisnya. Warna atau penilaian visual yang menjadi dasar penentuan golongan mutu pada jenis karet sheet, crepe, maupun lateks pekat tidak berlaku untuk jenis yang satu ini.


(39)

25

6) Tyre Rubber

Tyre rubber adalah bentuk lain dari dari karet alam yang dihasilkan sebagai barang setengah jadi sehingga bisa langsung digunakan oleh konsumen, baik untuk pembuatan ban atau barang lain yang menggunakan bahan baku karet alam. Tyre rubber sudah dibuat di Malaysia sejak tahun 1972. Pembuatannya dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing karet alam terhadap karet sintetis. Jika dibandingkan dengan karet konvensional, tyre rubber adalah bahan pembuat yang lebih baik untuk ban atau produk karet lain. Kelebihan yang dimiliki karet jenis ini adalah memiliki daya campur yang baik sehingga mudah digabung dengan karet sintesis.

7) Karet Reklim atau Reclaimed Rubber

Karet reklim merupakan jenis karet yang diolah kembali dari barang-barang karet bekas, terutama ban-ban mobil bekas. Karena itu dapat dikatakan bahwa karet reklim adalah suatu hasil pengolahan scrap yang sudah divulkanisir.

2.5.2. Manfaat Karet

Karet banyak digunakan dalam kehidupan. Penggunaan bahan baku karet telah dikembangkan dengan basis industri. Umumnya alat-alat yang dibuat dari bahan karet sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari maupun dalam industri seperti penggunaannya pada mesin-mesin penggerak.

Barang yang dapat dibuat dari karet alam antara lain adalah ban kendaraan (mulai dari sepeda, motor, traktor, hingga pesawat terbang), sepatu karet, sabuk penggerak mesin besar dan mesin kecil, pipa karet, kabel, isolator, serta bahan-bahan pembungkus logam. Selain itu bahan-bahan karet juga banyak digunakan untuk


(40)

26 membuat perlengkapan seperti sekat. Pembuatan jembatan pun menggunakan karet sebagai penahan getarannya.

Manfaat karet sangat beragam. Pemanfaatannya melingkupi hampir seluruh dari kegiatan kehidupan manusia. Peralatan rumah tangga kebanyakan terbuat dari bahan dasar karet. Begitupun dengan peralatan kantor, seperti kursi, lem perekat barang, selang air, kasur busa, serta peralatan tulis menulis seperti karet penghapus. Tambang-tambang besar yang mengolah bijih besi dan batubara menggunakan belt yang sangat panjang dan terbuat dari karet untuk pengangkutannya. Bangunan-bangunan besar semakin banyak yang menggunakan bahan karet. Tak hanya itu, bahkan peralatan dan kendaraan perang juga banyak bagiannya yang terbuat dari bahan dasar karet.

Selain karet alam, karet sintetis juga banyak digunakan dalam pembuatan berbagai jenis barang. Hal ini dikarenakan karet sintetis memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh karet alam. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa manfaat karet bagi kehidupan manusia jauh lebih banyak lagi dibanding dengan yang telah disebutkan. Karet memiliki pengaruh besar terhadap bidang transportasi, komunikasi, industri, pendidikan, kesehatan, hiburan, dan banyak bidang kehidupan lain yang vital bagi kehidupan manusia. Manfaat secara tidak langsung pun banyak yang dapat diperoleh dari barang yang dibuat dari karet.

Hingga saat ini, pengembangan usaha perkebunan karet tidak hanya fokus pada prospek pengembangan dan produksi lateks saja, tetapi lebih terhadap nilai lain yang lebih tinggi dan mulia. Perkembangan karet sintetis dewasa ini mengakibatkan perlunya melihat manfaat lain dari karet alam. Berbeda dengan produksi karet sintetis yang menghasilkan buangan berupa gas karbon dioksida,


(41)

27 karet alam justru menghasilkan oksigen. Menurut data yang diperoleh dari IRSG, dalam sehari produksi O2 pada perkebunan karet mencapai 1000 ton (Bastari,

1998). Selain itu, biji karet juga dapat menghasilkan minyak yang berguna bagi industri, disamping kayu karet yang juga memiliki prospek cerah kedepannya.

2.6. Bentuk Kerjasama Antar Negara Produsen Karet Alam

Perdagangan multilateral yang mana saat ini mengarah ke dalam perdagangan yang lebih terbuka menawarkan peluang sekaligus tantangan bagi tiap negara untuk meningkatkan daya saing bagi produk yang dimilikinya maupun membentuk berbagai jenis kerjasama multilateral antar negara. Kepentingan Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar dari karet alam memberikan landasan yang cukup besar untuk berpartisipasi aktif menjadi salah satu anggota kerjasama dunia yang mengelola permasalahan tersebut. Berbagai organisasi multilateral telah terbentuk sejak lama yang mana hal ini mendorong para produsen untuk juga membentuk organisasi yang menangani masalah karet alam dunia.

Organisasi multilateral karet alam yang pertama kali didirikan pada tahun 1980 dengan nama International Natural Rubber Organization (INRO), yang tujuan utamanya adalah untuk menstabilkan harga karet alam. Anggota dari INRO terdiri dari negara-negara produsen karet alam (eksportir) yaitu Malaysia, Indonesia, Thailand, Sri Lanka, dan Nigeria, serta negara konsumen (importir) yaitu China, Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. INRO kemudian dibubarkan secara resmi pada tanggal 13 Oktober 1999. Sejak itu, tidak ada lagi organisasi yang berfungsi sebagai stabilitator. Alasan pembubaran INRO karena


(42)

28 pada saat itu, INRO tidak dapat mengatasi kemerosotan harga. Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) yang berdiri sejak tahun 1970 dan terdiri dari negara-negara produsen karet alam, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai pengganti sebagian dari fungsi INRO tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Bubarnya INRO membawa dampak psikologi terhadap pasar. Hal ini dapat dilihat dari semakin merosotnya harga karet alam di pasar internasional. Berdasarkan pada latar belakang pemerosotan harga karet alam sejak terjadinya krisis moneter tahun 1997 dan dibubarkannya INRO, maka tiga negara produsen utama karet alam yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia sepakat mengadakan kerjasama di bidang perdagangan karet alam. Dalam upaya mengatasi merosotnya harga karet alam, pemerintah Thailand, Indonesia, dan Malaysia sepakat mendirikan perusahaan patungan karet alam yang bernama “International Rubber

Consortium Limited (IRCo)”. Kesepakatan pendirian perusahaan patungan IRCo ini telah tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) yng ditandatangani oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI, Menteri Agriculture and Cooperatives Thailand, dan Menteri Primary Industries Malaysia pada tanggal 8 Agustus 2002 di Bali. IRCo berfungsi sebagai pelengkap dari skema penstabil harga yang lain, yaitu Supply Managemant Scheme (SMS) dan Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) sebagaimana yang telah disepakati dalam “Joint Ministerial Declaration (Bali Declaration) 2001”, yaitu melaksanakan kegiatan strategic marketing yang meliputi pembelian dan penjualan karet alam (Zebua, 2008).


(43)

29

2.7. Penelitian Terdahulu

Penelitian terkait komoditas karet alam telah banyak dilakukan. Soekarno (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Keunggulan Komparatif Karet Alam Indonesia Tahun 2003-2007” menyatakan bahwa pertumbuhan daya saing karet alam Indonesia di pasar dunia semakin mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) yang mengalami peningkatan dari 28,403 pada tahun 2003 menjadi 37,388 pada tahun 2007. Peningkatan nilai RCA ini tidak terlepas dari semakin besarnya nilai ekspor karet alam Indonesia di pasar dunia. Selain itu, Soekarno juga menyatakan bahwa hal tersebut terkait dengan semakin gencarnya program revitalisasi perkebunan karet di Indonesia yang membawa harapan pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai penghasil karet alam terbesar di dunia pada tahun 2010.

Karet sintetik yang merupakan produk komplementer maupun substitusi dari karet alam semestinya memiliki peranan dalam pembentukan harga karet alam. Atas dasar pemikiran ini, maka dalam analisis yang menggunakan metode impulse response function dan variance decompotition, Zebua (2008) memakai harga karet sintetis dan nilai tukar Rupiah dalam menelusuri respon variabel dependent terhadap guncangan variabel independent sebesar satu standar deviasi. Hasil yang didapat menyatakan bahwa pengaruh dari guncangan harga karet sintetik terhadap harga karet RSS dan TSR20 pada jangka pendek memberikan dampak yang positif terhadap harga ekspor karet RSS di Indonesia, sedangkan dampak nilai tukar Rupiah adalah negatif. Hal ini mencerminkan bahwa keragaman harga ekspor karet alam Indonesia, khususnya RSS dan TSR20 dipengaruhi oleh keragamannya sendiri, sedangkan pengaruh dari harga karet


(44)

30 sintetik dan nilai tukar Rupiah hanya memberikan kontribusi yang berkisar 0-12% saja.

Penelitian yang dilakukan oleh Sunandar (2007) mengenai analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan komoditi tanaman karet alam di Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih, Sumatera Selatan dengan menggunakan metode analisis PAM (Policy Analysis Matrix) memperoleh hasil bahwa usahatani yang dijalankan oleh petani karet alam Kecamatan Cambai mempunyai daya saing. Ini terlihat dengan indikator keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif (PCR dan DCR) yang lebih kecil dari satu (<1), serta keuntungan sosial dan juga keuntungan privat (finansial) yang positif. Hasil yang diperoleh untuk nilai PCR (Private Cost Ratio) sebesar 0,43% dan keuntungan finansial sebesar Rp 6.903,94/kg. sedangkan nilai DRC (Domestic Resource Cost Ratio) sebesar 0,77% dan keuntungan sosial sejumlah Rp 2.791,39/kg. Hasil dari nilai PCR yang lebih kecil dari DCR merupakan indikator yang memiliki arti bahwa komoditi usahatani karet alam (bokar) terhadap kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi dalam berproduksi. Dampak kebijakan yang diberlakukan pemerintah terhadap output menyebabkan nilai transfer output bernilai negatif (Rp 2.094,94/kg bokar) sehingga harga output di pasar domestik Kecamatan Cambai lebih rendah dibandingkan harga di pasar internasional. Analisis sensitivitas yang digunakan yaitu dengan menurunkan harga output sebesar 6%, kenaikan input (pupuk) sebesar 6%, dan analisis gabungan dengan faktor lain tidak berpengaruh, menunjukkan hasil bahwa perhitungan dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan pada komoditi tanaman karet alam menunjukkan bahwa usahatani tersebut tetap mempunyai daya saing. Indikator daya saing


(45)

31 tersebut dilihat dari nilai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang menunjukkan nilai lebih kecil dari satu, sedangkan dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output yang dilihat dengan nilai EPC yang terjadi mengalami perubahan menjadi 1 (EPC=1).

Prabowo (2006) menggunakan model ekonometrika dinamis untuk menganalisis tren perdagangan karet alam antara Indonesia dengan negara-negara importir utama karet alam yaitu Amerika Serikat dan Jepang. Penelitian tersebut menghasilkan suatu kesimpulan bahwa pada kurun waktu 1995-2003 produksi karet alam Indonesia cenderung mengalami peningkatan yaitu dari 1.467 juta ton menjadi 1.798 juta ton atau meningkat sebesar 22,56%. Namun peningkatan tersebut kurang berarti jika dibandingkan dengan Thailand dan India yang dapat meningkatkan produksinya hingga dua kali lipat lebih besar dari Indonesia. Hal yang sama terjadi pada ekspor karet alam. Ekspor karet alam Indonesia meningkat dari 1.324 juta ton pada tahun 1995 menjadi 1.453 juta ton di tahun 2001. Meskipun demikian, nilai tersebut kontras dengan persentase ekspor terhadap ekspor dunia, dimana pangsa ekspor karet alam justru mengalami penurunan dari 31,2% terhadap ekspor dunia pada tahun 1995 menjadi 28,2% pada tahun 2001. Sebaliknya, Thailand mengalami peningkatan pangsa pasar dari 38,5% pada tahun 1995 menjadi 39,6% pada tahun 2001. Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa ekspor dan produksi karet alam dunia masih didominasi oleh Thailand, Indonesia, dan Malaysia, serta Vietnam yang mulai diperhitungkan dalam jajaran eksportir utama karena terus mengalami peningkatan produksi dan ekspor. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi permintaan impor karet alam Amerika Serikat adalah pendapatan


(46)

32 domestik brutonya dengan respon yang elastik. Hal tersebut berbeda dengan Jepang yang permintaannya terhadap karet alam tidak responsif terhadap perubahan pendapatan domestik bruto maupun perubahan harga impor karet alam. Namun, secara umum distorsi pasar akibat kebijakan perdagangan dan perubahan lingkungan ekonomi mempengaruhi volume perdagangan karet alam.


(47)

33

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Ekonomi Internasional pada umumnya diartikan sebagai bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari dan menganalisis transaksi dan permasalahan ekonomi internasional (ekspor dan impor) yang meliputi perdagangan dan keuangan/moneter serta organisasi (swasta/pemerintah) dan kerjasama ekonomi antar negara (internasional). Permasalahan pokok yang dihadapi dalam ekonomi internasional juga tidak berbeda dengan yang dihadapi oleh ekonomi pada umumnya, yaitu masalah kelangkaan (scarcity) produk dan masalah pilihan (choice) produk. Masalah tersebut muncul karena adanya permintaan atau demand serta adanya penawaran atau supply yang berasal dari dalam maupun luar negeri (Hady, 2004).

Oktaviani dan Novianti (2009) mendefinisikan perdagangan internasional sebagai perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antar individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Perdagangan internasional yang tercermin dari kegiatan ekspor dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) dari sisi pengeluaran suatu negara. Peningkatan ekspor bersih suatu negara menjadi faktor utama dalam peningkatan PDB negara tersebut.

Konsep perdagangan internasional pada hakikatnya telah terjadi selama ribuan tahun (seperti Jalur Sutra dan Amber Road). Meskipun demikian, dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional juga turut mendorong


(48)

34 industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional (Oktaviani dan Novianti, 2009).

Dalam perdagangan domestik, para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian juga halnya dengan perdagangan internasional. Suatu negara terlibat dalam perdagangan internasional, menurut Krugman da Obstfeld (2000) dalam Prabowo (2006) didasarkan pada dua alasan, yang mana setiap alasan tersebut memberikan kontribusi dalam mendatangkan manfaat bagi negara yang melakukan perdagangan. Pertama, suatu negara terlibat dalam perdagangan karena setiap negara berbeda dengan negara lainnya. Sebagaimana layaknya individu, suatu negara dapat memperoleh manfaat dari perbedaan dengan melakukan kesepakatan untuk menghasilkan sesuatu yang dapat dihasilkan dengan baik, dengan kata lain melakukan spesialisasi. Kedua, suatu negara melakukan perdagangan untuk mencapai skala ekonomi dalam produksi. Jika setiap negara hanya menghasilkan beberapa jenis produk tertentu, maka setiap negara dapat menghasilkan produk dalam skala yang lebih besar dan lebih efisien dari pada jika mencoba untuk menghasilkan semua produk.

Saat ini kajian mengenai perdagangan internasional semakin penting karena pengaruh globalisasi ekonomi dunia yang dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut (Hady, 2004):

1) Keterbukaan ekonomi terutama dengan adanya liberalisasi pasar dan arus uang serta transfer teknologi secara internasional;


(49)

35 2) Keterkaitan dan ketergantungan ekonomi, keuangan, perdagangan, dan industri antar negara atau perusahaan yang ditunjukkan oleh adanya pembentukan perusahaan multinasional dan kecenderungan integrasi ekonomi regional; dan

3) Persaingan yang semakin ketat antar negara ataupun perusahaan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas yang optimal.

Menghadapi era globalisasi saat ini, manusia dengan ide, bakat, IPTEK, serta barang dan jasa dapat dengan mudah melewati batas negara. Pergerakan yang relatif bebas ini ternyata tidak hanya menimbulkan saling keterkaitan dan ketergantungan, tetapi juga telah menimbulkan persaingan global yang semakin ketat (Oktaviani dan Novianti, 2009). Globalisasi membuat pasar antar negara menjadi semakin luas. Negara yang memiliki keunggulan kompetitif semakin dapat memperkaya negaranya dan negara yang tidak siap dalam menghadapi persaingan di pasar global akan semakin terpuruk.

Melihat dari segi ilmu ekonomi dan dari pengertian yang digunakan sehari-sehari, permintaan memiliki pengertian yang berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari permintaan diartikan secara absolut sebagai jumlah barang yang dibutuhkan. Pengertian ini berangkat atas dasar bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang mana kebutuhan ini kemudian melahirkan permintaan. Permintaan yang hanya didasarkan pada kebutuhan seperti ini dalam ilmu ekonomi disebut sebagai kebutuhan absolut atau potensial. Pada hakikatnya permintaan tidak hanya didasarkan pada kebutuhan. Permintaan terkait erat dengan harga, sehingga permintaan baru memiliki arti apabila didukung oleh daya beli oleh peminta. Permintaan yang didukung oleh daya beli ini disebut sebagai


(50)

36 permintaan efektif (Sudarsono, 1995). Dengan demikian, maka permintaan dapat didefinisikan sebagai sejumlah barang yang dibeli atau diminta pada suatu harga dan waktu tertentu.

Permintaan pasar (market demand) untuk suatu barang adalah kuantitas total suatu barang tersebut oleh seluruh pembeli potensial. Permintaan pasar tidak lebih merupakan efek kombinasi dari berbagai pilihan ekonomi konsumen. Kurva permintaan pasar menggambarkan jumlah permintaan dari sejumlah permintaan tertentu konsumen potensial untuk sebuah barang tertentu (Nicholson, 2002).

Berangkat dari konsep tersebut, maka dapat dilihat bahwa ekspor suatu komoditas merupakan dampak yang terjadi akibat adanya permintaan global. Permintaan ini yang kemudian mendorong kegiatan ekonomi dalam konteks pasar. Penelitian yang bertujuan untuk melihat struktur pasar yang terbentuk pada komoditas karet alam di pasar internasional serta melakukan analisis terhadap daya saing produk, baik pada keunggulan kompetitif maupun komparatifnya ini menggunakan nilai ekspor sebagai dasar bagi perhitungan yang dilakukan. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai konsep dasar atau informasi awal dalam menetapkan kebijakan dalam rangka pengembangan daya saing produk, khususnya karet alam.

Guna mencapai tujuan yang diharapkan maka digunakan beberapa metode analisis yang mendukung penelitian ini. Alat analisis yang digunakan untuk mengetahui struktur pasar karet alam yang terbentuk di pasar internasional dilakukan dengan menggunakan metode Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR). HI digunakan untuk melihat ukuran besar kecilnya perusahaan-perusahaan dalam suatu industri dan digunakan sebagai indikator jumlah


(51)

37 persaingan diantara perusahaan tersebut. Nilai yang diperoleh menggambarkan nilai penguasaan pasar oleh suatu perusahaan dalam suatu industri. Dengan kata lain, HI menggambarkan kecenderungan struktur industri menuju bentuk persaingan atau bentuk yang bersifat monopoli. Hal ini berbeda dengan CR yang menggambarkan persentase penguasaan pasar dalam suatu industri secara lebih jelas (Jaya, 2001). Koefisien CR yang semakin kecil menggambarkan struktur yang semakin bersaing sempurna. Struktur pasar yang menggunakan analisis CR dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk yaitu persaingan sempurna, monopolistik, oligopoli, dan monopoli.

Metode analisis yang digunakan untuk mengukur tingkat daya saing komoditas karet alam di pasar internasional adalah Revealed Comparatif Advantage (RCA) dan Export Competitiveness Index (ECI). RCA merupakan indeks yang mengukur kinerja ekspor suatu komoditas dari suatu negara dengan mengevaluasi peranan ekspor suatu komoditas dalam ekspor total negara tersebut, dibandingkan dengan pangsa komoditas tersebut dalam perdagangan dunia (Basri, 2002). RCA digunakan untuk menjelaskan kekuatan daya saing komoditas ekspor Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain (Astuty dan Zamroni, 2000).

ECI (Export Competitiveness Index) merupakan gambaran trend perkembangan daya saing suatu komoditas suatu negara. ECI menunjukkan rasio pangsa ekspor suatu negara di pasar dunia untuk suatu komoditas tertentu pada periode tertentu dengan rasio pangsa ekspor komoditi tersebut pada periode sebelumnya. Suatu komoditas dikatakan menghadapi trend daya saing yang meningkat apabila nilai ECI komoditas tersebut lebih besar dari satu.


(52)

38 Mengacu pada konsep-konsep di atas, maka terbentuklah suatu alur berfikir yang mendasari penelitian ini sebagaimana tergambar sebagai berikut.

Keterangan: : dianalisis dalam penelitian : tidak dianalisis dalam peneitian

Gambar 2. Diagram Alur Kerangka Pemikiran

Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan devisa

negara

Ekspor Komoditas Perkebunan: Karet

Alam Perkembangan Ekspor

Karet Alam Indonesia

Identifikasi Struktur Pasar Karet Alam di pasar internasional

Herfindahl Index dan

Concentration Ratio

Daya Saing Ekspor Karet Alam Indonesia

di Pasar Internasional

Analisis Keunggulan

Komparatif

Analisis Keunggulan

Kompetitif

Perumusan Kebijakan untuk Peningkatan Daya Saing

Export Competitiveness

Index Revealed

Comparative Advantage


(1)

106

Egypt 1,13E-05 2,27E-06 6,63E-06 0 0 0 0 9,1E-05 1,24E-05

Gibraltar 1,13E-05 2,25E-05 0 0 0 0 0 0 1,23E-05

New Zealand 9,53E-06 7,26E-06 2,11E-06 2,06E-06 8,21E-06 1,46E-05 3,51E-05 2,44E-06 1,06E-05 Bulgaria 9,53E-06 0,000233 1,25E-05 8,58E-06 9,21E-06 2,9E-06 1,88E-05 5,49E-06 1,05E-05

European Union Nes 9,23E-06 0 0 0 0 0 0 0 1,02E-05

United Republic of

Tanzania 7,45E-06 4,54E-07 2,22E-05 6,63E-06 3,6E-06 3,47E-05 7,09E-05 1,42E-05 9,84E-06 Honduras 7,15E-06 0 1,51E-06 0 1E-07 6,59E-08 7,87E-07 2,64E-06 8,51E-06 Chile 6,55E-06 9,07E-06 1,69E-05 1,29E-05 2,43E-05 4,35E-06 8,54E-05 1,69E-05 6,29E-06 Namibia 5,96E-06 2,2E-05 1,9E-05 5,44E-05 1,3E-06 1,32E-06 1,21E-07 4,99E-07 6,11E-06 El Salvador 5,66E-06 9,07E-07 0 1,14E-07 1E-07 6,59E-08 0 9,98E-08 5,14E-06

Serbia and

Montenegro 5,66E-06 7,26E-06 0 1,3E-05 4,15E-05 0 0 0 4,79E-06

Finland 5,06E-06 2,04E-06 2,26E-06 2,17E-06 2,6E-06 0,000266 0,000931 0,00159 4,08E-06 Venezuela 4,47E-06 2,04E-06 2,56E-06 5,86E-05 2E-07 1,32E-07 0 1,55E-06 3,99E-06 Estonia 3,87E-06 3,65E-05 2,03E-05 0 1,6E-06 1,78E-06 2,18E-06 4,94E-06 3,9E-06

Kenya 3,28E-06 9,75E-06 1,73E-05 1,17E-05 1,11E-05 4,94E-06 9,08E-07 4,49E-07 3,63E-06

Mauritius 2,98E-06 6,8E-07 0 1,14E-07 1E-07 0 0 0 3,37E-06

Afghanistan 2,98E-06 0 0 0 0 0 0 0 3,37E-06

Croatia 2,68E-06 1,59E-06 1,51E-07 1,37E-06 0 6,59E-08 1,27E-06 1,75E-06 2,75E-06

Belize 2,38E-06 7,26E-06 1,66E-06 0 0 0 0 0 2,66E-06

Democratic People s

Republic of Korea 2,09E-06 1,36E-05 1,13E-05 1,03E-06 1E-07 7,9E-07 7,26E-07 3,49E-07 2,39E-06 Peru 1,49E-06 1,07E-05 3,23E-05 4,69E-06 9,81E-06 2,95E-05 9,81E-06 6,98E-06 1,86E-06 Belarus 1,19E-06 4,15E-05 4,79E-05 9,38E-06 1E-07 0 0 6,98E-07 1,6E-06 Lebanon 1,19E-06 3,63E-06 4,52E-06 1,03E-06 3,2E-06 3,95E-07 1,27E-06 1,5E-07 1,6E-06


(2)

107 Swaziland 8,94E-07 2,27E-07 7,54E-07 4,57E-07 3E-07 3,1E-06 0 0 1,51E-06

Israel 5,96E-07 1,81E-06 3,66E-05 1,83E-05 2,02E-05 1,5E-05 2,15E-05 1,17E-05 1,33E-06 Europe Othr. Nes 2,98E-07 0,000103 4,52E-07 2,74E-06 5,11E-06 1,82E-05 0,00095 4,55E-05 1,33E-06

Panama 2,98E-07 1,79E-05 0 0 0 0 0 0 1,24E-06

Guyana 2,98E-07 2,04E-06 2,64E-05 0 0 0 0 0 8,86E-07

Chinese Taipei 0 3,47E-05 1,1E-05 3,24E-05 0,000127 0,000221 0,000132 0,000339 5,32E-07 Colombia 0 2,27E-07 1,99E-05 8,01E-07 2,8E-06 1,32E-06 1,87E-05 7,25E-05 4,43E-07

Dominican Republic 0 3,4E-06 1,81E-06 0 0 0 4,06E-05 1,15E-06 4,43E-07

Uruguay 0 6,8E-07 1,51E-07 1,03E-06 0 0 0 0 3,54E-07

Jordan 0 4,76E-05 0 1,14E-06 7,01E-07 2,44E-06 1,21E-07 3,49E-07 3,54E-07

Madagascar 0 1,59E-06 4,52E-07 0 0 0 0 2E-07 2,66E-07

Republic of Moldova 0 0 0 0 0 7,25E-07 0 0 2,66E-07

Macao (SARC) 0 0 0 0 0 0 0 0 1,77E-07

Azerbaijan 0 0 0 9,15E-07 0 0 0 0 1,77E-07

Bolivia 0 0 0 0 1E-07 0 0 0 1,77E-07

Iceland 0 0 0 0 0 3,29E-07 0 0 1,77E-07

Latvia 0 8,84E-06 7,99E-06 5,15E-06 4,7E-06 0 4,24E-07 3,99E-07 8,86E-08

Niger 0 0 0 0 0 0 0 0 8,86E-08

Paraguay 0 0 0 0 0 0 0 0 8,86E-08

Zambia 0 6,8E-07 5,27E-06 4,69E-06 4,4E-06 5,27E-07 1,21E-07 1,75E-06 0

Qatar 0 2,27E-07 0 0 0 3,29E-07 1,15E-06 2E-07 0

Nigeria 0 8,16E-06 0,000224 0 0 0,001125 0,01171 0,020996 0

Nicaragua 0 0 0 1,03E-06 0 0 0 1,41E-05 0

Mozambique 0 0 0 4,69E-06 0 0 0 0 0

Oman 0 3,63E-06 0 0 0 0 0 0 0


(3)

108

Malta 0 2,04E-06 0 0 5,51E-06 9,88E-07 0 0 0

Syrian Arab Republic 0 0 1,81E-06 0 1,49E-05 2,17E-06 0 1,6E-06 0

Trinidad and Tobago 0 0 0 0 1E-07 6,59E-08 6,05E-08 2,49E-07 0

Tunisia 0 0 0 1,21E-05 0 5,65E-05 8,9E-06 6,98E-07 0

Uganda 0 4,54E-07 0 0 2E-06 1,98E-07 6,05E-08 0 0

Ukraine 0 2,27E-07 0,000135 1,09E-05 1,31E-05 6,59E-08 0 2E-07 0

The former Yugoslav Republic of

Macedonia

0 0 7,54E-07 0 0 0 0 0 0

Zimbabwe 0 1,81E-06 0 0 0 3,95E-07 0 0 0

Sudan 0 0 0 0 0 1,98E-07 0 0 0

Senegal 0 0 0 0 1,1E-06 0 0 0 0

Seychelles 0 0 1,51E-07 0 0 0 0 0 0

Kazakhstan 0 0 0 0 5,51E-06 0 0 5,99E-05 0

Kuwait 0 1,47E-05 0,001027 0 0 3,21E-05 0 2,64E-06 0

Iran (Islamic Republic

of) 0 1,77E-05 0 0 9,41E-06 6,13E-06 2,24E-06 1,1E-06 0

Guinea 0 0,000522 0,001505 0,001111 0,001345 0,000774 0,000783 0,001158 0

Botswana 0 1,72E-05 5,27E-06 2,29E-07 5E-07 0 4,84E-07 0 0

Barbados 0 0 1,66E-06 0 0 0 0 0 0

Algeria 0 0 0 0 6,01E-07 1,32E-07 0 0 0

Cuba 0 0 0 0 0 0 2,42E-07 2E-07 0

Cyprus 0 0 0 0 3E-07 6,59E-08 0 0 0

Central African

Republic 0 0 0 0 0 8,37E-06 2,72E-06 2,49E-06 0

Yemen 0 0 0 0 8,01E-07 3,95E-07 0 0 0


(4)

109 United States Minor

Outlying Islands 0 0 0 0 3,88E-05 4,48E-06 0 0 0

Guinea-Bissau 0 0 1,19E-05 0 0 1,09E-05 2,36E-06 3,1E-05 0

Timor-Leste 0 0 0 0 0 1,65E-06 0 0 0

America not elsewhere

specified 0 0 0 0 0 0 0 1,9E-06 0

Pakistan 0 0 0 1,03E-05 0 0 4,84E-07 2,49E-07 0

Morocco 0 4,54E-07 0 3,43E-07 5,15E-05 1,42E-05 1,65E-05 3,49E-07 0

Nauru 0 0 0 0 0 2,7E-06 0 0 0

Tokelau 0 2,49E-06 0 0 0 2,63E-06 0 0 0

Ship stores and

bunkers 0 0 0 0 1E-07 0 0 0 0

Somalia 0 0 0 0 0 5,81E-05 0 0 0

Suriname 0 5,9E-06 2,86E-06 0 0 0 0 2,05E-06 0

St. Pierre and

Miquelon 0 0 0 0 2,5E-06 7,77E-06 9,08E-06 0 0

Serbia 0 0 0 0 6,81E-06 8,37E-06 1,57E-05 1,89E-05 0

Lesotho 0 0 0 0 0 0 0 2,1E-06 0

Eritrea 0 0 0 0 3,1E-06 0 0 0 0

Fiji 0 0 1,51E-07 0 0 1,98E-07 0 0 0

Ghana 0 0 0,001349 0,001128 0,001412 0,000801 0,001073 0,001184 0

Haiti 0 0 0 0 0 0 1,82E-07 0 0

Bosnia and

Herzegovina 0 0 0 1,14E-07 0 3,69E-06 1,21E-07 6,48E-07 0

British Indian Ocean

Territories 0 3,17E-06 0 0 0 0 0 0 0


(5)

110

Brunei Darussalam 0 0 0 0 0 0 9,11E-05 3,6E-05 0

Bahrain 0 0 0 0 2E-07 6,59E-08 7,26E-07 9,13E-06 0

Bangladesh 0 0 1,05E-06 1,37E-05 1,54E-05 2,44E-06 2,47E-05 2,45E-05 0

Bermuda 0 0 0 0 2,5E-06 0 0 0 0

Angola 0 0 0 5,38E-06 0 0 0 0 0

Sumber: ITC (diolah), 2010

Lampiran 4. Hasil Perhitungan RCA Negara Eksportir Karet Alam

Tahun RCA

Thailand Indonesia Malaysia

2001 36,7824 25,2444 10,1957

2002 36,9389 26,3007 10,0937

2003 39,115 27,4983 10,1154

2004 37,0104 31,7892 11,2967

2005 34,8757 31,3535 11,2176

2006 33,0682 34,0973 11,1186

2007 30,7482 35,7353 10,1479

2008 30,4816 35,2738 9,7544

2009 30,4425 29,9715 8,67677


(6)

RINGKASAN

EKA RATNAWATI. Analisis Daya Saing Ekspor Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional. Dibimbing Oleh ADI HADIANTO

Menghadapi era perdagangan bebas saat ini penting artinya untuk melihat keunggulan dan daya saing yang dimiliki setiap negara, mengingat globalisasi menuntut adanya persaingan. Karet alam merupakan salah satu produk andalan ekspor Indonesia. Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki areal karet alam terbesar didunia. Meskipun demikian, Indonesia hanya menjadi eksportir terbesar kedua setelah Thailand.

Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat perkembangan ekspor karet alam Indonesia serta untuk mengetahui struktur pasar yang terbentuk pada komoditas karet alam di pasar internasional. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat apakah Indonesia, sebagai salah satu negara pengekspor karet alam terbesar memiliki keunggulan untuk produk tersebut, baik secara komparatif maupun kompetitif. Struktur pasar yang terbentuk pada perdagangan karet alam di pasar internasional dilakukan dengan menggunakan analisis Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR), sedangkan analisis daya saing ekspornya dilakukan dengan menggunakan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk melihat status keunggulan komparatif dan Export Competitiveness Index (ECI) untuk melihat status keunggulan kompetitif negara eksportir karet alam.

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menyatakan bahwa struktur pasar yang terbentuk pada perdagangan karet internasional adalah struktur pasar yang berbentuk oligopoly, yang mana pasar dikuasai oleh tiga eksportir utama karet alam, yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Pangsa pasar rata-rata yang dikuasai oleh ketiga negara ini dalam kurun waktu 2001-2009 adalah sebesar 78%, yang mana hal ini berarti dalam kurun waktu tersebut, ketiga negara eksportir utama karet alam internasional menguasai 78% pasar karet alam internasional. Perhitungan mengenai keunggulan komparatif negara-negara eksportir karet alam menyatakan bahwa masing-masing negara eksportir utama tersebut memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terlihat dari nilai RCA yang lebih besar dari 1. Berbeda dengan perhitungan tersebut, perhitungan mengenai keunggulan kompetitif negara ekspotir utama karet alam dengan menggunakan analisis ECI menyatakan bahwa hingga tahun 2008, hanya Indonesia yang memiliki keunggulan kompetitif, sedangkan Thailand dan Malaysia tidak memiliki keunggulan ini. Hal tersebut dilihat dari nilai ECI yang lebih kecil dari 1. Perhitungan tersebut memberikan gambaran bahwa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar dalam perdagangan (ekspor) karet alam. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari keunggulan yang dimiliki Indonesia dalam perdagangan karet alam, sehingga daya saing yang dimiliki Indonesia perlu untuk dipertahankan bahkan ditingkatkan.