Pengujian Tetrazolium Dan Respirasi Benih Koro Pedang (Canavalia Ensiformis)

i

PENGUJIAN TETRAZOLIUM DAN RESPIRASI BENIH
KORO PEDANG (Canavalia ensiformis)

SILMY FADILLAH RAHMAYANI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengujian Tetrazolium
dan Respirasi Benih Koro Pedang (Canavalia ensiformis) adalah benar karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan disajikan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Silmy Fadillah Rahmayani
NIM A24100092

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada kerja sama yang terkait.

ii

ABSTRAK
SILMY FADILLAH RAHMAYANI. Pengujian Tetrazolium dan Respirasi Benih
Koro Pedang (Canavalia ensiformis). Dibimbing oleh TATIEK KARTIKA
SUHARSI dan MEMEN SURAHMAN.

Koro pedang saat ini dikembangkan sebagai komoditas substitusi kedelai
karena kandungan proteinnya yang cukup tinggi. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menguji viabilitas benih koro pedang dengan pengujian tetrazolium dan
pengujian respirasi benih. Penelitian ini menggunakan tiga lot benih koro pedang
yang berbeda yaitu lot benih A (dipanen bulan Maret 2014 di Bojong Bogor,
disimpan dalam ruang kamar), lot benih B (dipanen bulan November 2013 di
Ciherang Bogor, disimpan dalam ruang ber-AC), dan lot benih C (dipanen bulan
September 2012 di Leuwikopo Bogor, disimpan dalam ruang ber-AC). Penelitian
ini terdiri dari dua percobaan. Percobaan 1 ialah pengujian tetrazolium. Percobaan
2 ialah penguijian respirasi benih. Masing-masing percobaan menggunakan
rancangan acak lengkap dengan pengusangan cepat secara fisik sebagai faktornya,
yang terdiri atas 0, 8, 12, 16, dan 20 jam. Hasil percobaan 1 menunjukkan bahwa
pola topografi pewarnaan tetrazolium benih koro pedang belum bisa digunakan
untuk mengevaluasi mutu fisiologis benih koro pedang. Hasil percobaan 2
menunjukkan bahwa metode pengujian respirasi benih dengan cosmotector belum
bisa digunakan untuk mengevaluasi mutu fisiologis benih koro pedang.
Kata kunci: pengujian respirasi benih, pengujian tetrazolium, viabilitas benih,
vigor benih

ABSTRACT

SILMY FADILLAH RAHMAYANI. Tetrazolium and Seed Respiration Tests of
the Jack Bean Seed (Canavalia ensiformis). Supervised by TATIEK KARTIKA
SUHARSI and MEMEN SURAHMAN.
Recently, jack bean has been developed as the substitution commodity of
soybean because of its high protein content. The aim of this research was to test
the viability of the jack bean seed with tetrazolium testing and seed respiration
testing. This research used three different lots of jack bean seed : seed lot A
(harvested March 2014 in Bojong Bogor, kept in storage with room temperature),
seed lot B (harvested November 2013 in Ciherang Bogor, kept in storage in air
conditioned room), and seed lot C (harvested September 2012 in Leuwikopo
Bogor, kept in storage in air conditioned room). This research consisted of two
experiments. Experiment 1 was tetrazolium test. Experiment 2 was seed
respiration test. Each experiment used Randomized Complete Design with
physical rapid aging as the factor, which consisted of 0, 8, 12, 16, 20 hours. The
result of experiment 1 showed that the tetrazolium coloration topography patterns
of the jack bean seed not usable yet to evaluate fisiology quality of the jack bean
seed. The result of experiment 2 showed that the method of seed respiration test
with cosmotector not usable yet to evaluate fisiology quality of the jack bean seed.
Keywords: seed respiration test, seed viability, seed vigor, tetrazolium test


iii

PENGUJIAN TETRAZOLIUM DAN RESPIRASI BENIH
KORO PEDANG (Canavalia ensiformis)

SILMY FADILLAH RAHMAYANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

iv


v

vi

vii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
yang berjudul Pengujian Tetrazolium dan Respirasi Benih Koro Pedang
(Canavalia ensiformis) ini telah dilaksanakan dari bulan Juli - September 2014 di
Laboratorium Benih dan Laboratorium Pascapanen Departemen Agronomi dan
Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor serta greenhouse Kebun
Percobaan Leuwikopo Darmaga Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Tatiek Kartika Suharsi, MS
dan Bapak Prof Dr Ir Memen Surahman, MScAgr selaku pembimbing skripsi,
serta Dr Ir Suwarto, MS selaku pembimbing akademik atas bimbingan dan
sarannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, keluarga,
serta teman-teman atas segala doa dan bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015
Silmy Fadillah Rahmayani

viii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Tanaman Koro Pedang

2

Pengujian Tetrazolium

3


Pengujian Respirasi Benih

4

METODE

5

Tempat dan Waktu

5

Bahan dan Alat

5

Pengamatan

9


Analisis Data

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

12

Kondisi Awal Lot Benih Koro Pedang

12

Percobaan 1 : Pengujian Tetrazolium Benih Koro Pedang

12

Percobaan 2 : Pengujian Respirasi Benih Koro Pedang

19


SIMPULAN DAN SARAN

23

Simpulan

23

Saran

23

DAFTAR PUSTAKA

23

RIWAYAT HIDUP

26


ix

DAFTAR TABEL

1.
2.
3.

Lot benih koro pedang yang digunakan
Kadar air dan viabilitas awal tiga lot benih koro pedang
Hasil pengujian tetrazolium dan pengujian langsung lima sub lot benih
A
4. Hasil analisis korelasi dan regresi antara pengujian tetrazolium dan
pengujian langsung lot benih A
5. Hasil pengujian tetrazolium dan pengujian langsung lima sub lot benih
B
6. Hasil analisis korelasi dan regresi antara pengujian tetrazolium dan
pengujian langsung lot benih B
7. Hasil pengujian tetrazolium dan pengujian langsung lima sub lot benih
C
8. Hasil analisis korelasi dan regresi antara pengujian tetrazolium dan
pengujian langsung lot benih C
9. Hasil pengujian respirasi dan pengujian langsung lima sub lot benih A
10. Hasil analisis korelasi dan regresi antara pengujian respirasi dan
pengujian langsung lot benih A
11. Hasil pengujian respirasi dan pengujian langsung lima sub lot benih B
12. Hasil analisis korelasi dan regresi antara pengujian respirasi dan
pengujian langsung lot benih B

6
12
14
15
16
17
18
19
19
20
20
21

DAFTAR GAMBAR

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Waterbath tipe NTT-120
Cosmotector tipe XP-314
Proses perendaman benih koro pedang dengan tetrazolium
Inkubasi benih koro pedang di dalam toples
Pengujian langsung benih koro pedang
Pola topografi pewarnaan tetrazolium benih koro pedang
Hasil pewarnaan tetrazolium benih koro pedang yang sesuai dengan
pola untuk benih hidup
Hasil pewarnaan tetrazolium benih koro pedang yang sesuai dengan
pola untuk kecambah normal kuat
Hasil pewarnaan tetrazolium benih koro pedang yang sesuai dengan
pola untuk kecambah normal

6

6
7
8
9
13
15
16
18

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Koro pedang (Canavalia ensiformis) saat ini mulai diproduksi dan
dikembangkan sebagai salah satu komoditas substitusi kedelai karena kandungan
proteinnya yang cukup tinggi yaitu 29.8 % (Doss et al. 2011). Puslitbangtan
(2007) menambahkan bahwa produksi benih koro pedang dapat mencapai 4.5 ton
biji kering ha-1.
Salah satu penentu keberhasilan dalam kegiatan produksi benih koro pedang
ialah penggunaan benih bermutu fisiologis tinggi. Mutu fisiologis benih berkaitan
dengan tingkat viabilitas atau daya hidup benih. Informasi mengenai mutu
fisiologis benih diperoleh dari pengujian benih. Indikasi dari pengujian benih ada
dua jenis, yaitu indikasi langsung dan indikasi tidak langsung. Pengujian benih
indikasi langsung ialah dengan mengamati gejala pertumbuhan, sedangkan
pengujian benih indikasi tidak langsung tidak menghasilkan kecambah (Sadjad
1993).
Pengujian benih indikasi tidak langsung di antaranya ialah pengujian
tetrazolium dan pengujian respirasi benih. Menurut ISTA (2014), pengujian
tetrazolium merupakan pengujian secara biokimiawi yang digunakan untuk
mendapatkan nilai viabilitas benih secara cepat menggunakan larutan 2,3,5-trifenil
tetrazolium klorida/bromida. Larutan tetrazolium diimbibisi ke dalam benih lalu
berikatan dengan hidrogen yang dilepaskan oleh enzim dehidrogenase pada proses
reduksi dalam sel-sel yang hidup sehingga menghasilkan endapan trifenil
formazan berwarna merah yang mengindikasikan benih hidup sedangkan pada
benih mati tidak terjadi proses reduksi sehingga benih mati menjadi tidak
berwarna.
Pengujian respirasi benih merupakan pengujian yang dapat mendeteksi laju
respirasi benih dengan mengukur kadar gas CO2 yang dihasilkan dalam proses
respirasi benih. Pengujian respirasi benih telah dilakukan pada beberapa benih
pangan menggunakan cosmotector tipe XP-314 yang berfungsi sebagai alat
pengukur kadar CO2. Pengujian respirasi benih jagung (Zea Mays) oleh Nurfarida
(2011) menghasilkan laju respirasi benih yang berkorelasi nyata dengan parameter
viabilitas dan vigor benih. Hasil pengujian respirasi benih kedelai (Glycine max)
oleh Permatasari (2011) menunjukkan bahwa semakin tinggi laju respirasi benih
maka semakin tinggi pula viabilitas dan vigor benihnya. Menurut Baharizki
(2012), pengujian respirasi benih kacang tanah (Arachis hypogaea) juga
menunjukkan bahwa semakin tinggi laju respirasi benih maka semakin tinggi pula
viabilitas dan vigor benihnya.
Waktu yang diperlukan untuk pengujian tetrazolium ataupun pengujian
respirasi benih pada benih koro pedang kurang dari dua hari, sedangkan pengujian
benih koro pedang dengan indikasi langsung membutuhkan waktu tujuh hari.
Oleh karena itu, pengujian tetrazolium dan pengujian respirasi benih dapat
memberikan informasi mutu fisiologis benih koro pedang dengan waktu yang
lebih cepat. Informasi mutu fisiologis benih yang berasal dari pengujian

2
tetrazolium atau pengujian respirasi benih sebaiknya dikonfirmasikan kembali
dengan pengujian viabilitas benih dengan indikasi langsung sehingga ketepatan
informasinya terjamin.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menguji viabilitas benih koro pedang dengan
pengujian tetrazolium dan pengujian respirasi benih.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Koro Pedang

Koro pedang merupakan salah satu jenis legum yang berasal dari Amerika
selatan. Keberadaan koro pedang telah tersebar secara meluas dan banyak ditanam
di Afrika, Asia, Hindia Barat, Amerika Latin and India (Doss et al. 2011).
Menurut Purwanto (2007), koro pedang di Indonesia dikenal dengan berbagai
macam nama daerah, yaitu kara bedog, kowas bakol, kembang koweh (sunda);
koro bendo (jawa); serta koro ortel, kara wedung (madura).
Tanaman koro pedang berupa perdu, batang tegak, tinggi 50 - 75 cm, dan
berakar tunggang. Daunnya trifoliat berwarna hijau. Bunganya majemuk berwarna
putih keunguan. Polongnya mempunyai panjang 25 - 35 cm, lebar 2.5 - 4 cm,
berwarna hijau saat muda dan berubah menjadi berwarna kuning jerami saat tua.
Bijinya berwarna putih, berbentuk bulat lonjong, panjang 1 – 2 cm, dan panjang
hilumnya sepertiga dari panjang bijinya (Stephens 2012).
Kandungan protein koro pedang cukup tinggi yaitu 29.8 % sehingga dapat
berpotensi sebagai komoditas substitusi kedelai (Doss et al. 2011). Koro pedang
juga mengandung senyawa yang beracun jika dikonsumsi dalam kondisi mentah,
di antaranya ialah HCN dan hemaglutinin. HCN pada koro pedang berupa
glikosianida sianogenik yang akan terurai menjadi asam sianida saat teroksidasi
(Suciati 2012). HCN dalam koro pedang dapat diturunkan kadarnya bahkan
sampai 0 ppm dengan cara perebusan pada suhu 100 oC selama 30 menit dan
perendaman dalam larutan garam 5 % selama 24 jam (Wahjuningsih dan
Saddewisasi 2013). Penelitian pembuatan tempe koro pedang yang dilakukan oleh
Fitriah (2013) menunjukkan bahwa perebusan dan perendaman di dalam larutan
garam menyebabkan penurunan aktivitas hemaglutinin dari 50.76 HU mg-1
protein ekstrak pada biji koro pedang mentah menjadi 9.52 HU mg-1 protein
ekstrak pada tempe koro pedang.
Bagian dari tanaman koro pedang yang biasa dikonsumsi ialah polong muda
dan biji. Polong muda koro pedang biasa disajikan sebagai sayur, sedangkan biji

3
koro pedang biasa dikonsumsi sebagai camilan ringan. Penelitian mengenai
produk olahan koro pedang saat ini terus dikembangkan. Produk tempe berbahan
dasar koro pedang berdasarkan hasil penelitian Abdalla (2013) memiliki karakter
yang sama dengan tempe kedelai dari segi bentuk dan tekstur secara visual, tapi
terdapat perbedaan tingkat keempukan antara tempe koro pedang dan tempe
kedelai pada pengujian secara objektif. Rata-rata nilai keempukan tempe koro
lebih tinggi yaitu 126.42 (kg det-1) 10-1 mm division dibandingkan nilai
keempukan tempe kedelai yaitu 96.05 (kg det-1) 10-1 mm division. Menurut Istiani
(2010), produk tempe koro pedang berpotensi dalam upaya pemanfaatan sebagai
antioksidan alami karena aktivitas antioksidannya lebih tinggi (77.32 %)
dibandingkan dengan β-karoten (43.25 %) dan tidak berbeda nyata dengan
vitamin C (75.62 %) dan α-tokoferol (76.41 %).
Produk lainnya ialah yoghurt berbahan dasar koro pedang. Hasil penelitian
Suryaningrum dan Kusuma (2013) melaporkan bahwa bakteri Streptococcus
thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus dapat tumbuh dalam media koro
pedang putih sebagai bahan baku pembuatan yoghurt. Koro pedang juga dapat
diolah menjadi protein rich flour (PRF) dengan sifat fisik, kimia, dan fungsional
teknis yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku makanan. Menurut
Windrati et al. (2010), PRF koro pedang memiliki kandungan protein 37.61 %,
lemak 4.49 %, pati 36.70 % (amilosa 31.12 % dan amilopektin 68.88 %), dan
asam glutamat (asam amino terbesar dalam PRF koro pedang) sebesar 5.47 %.
Nafi’ (2007) menambahkan bahwa PRF koro pedang mengandung isoleusin
tertinggi yaitu 74 %, dibandingkan PRF koro kratok (Phaseolus lunatus) yaitu
41 % dan koro komak (Lablab purpureus) yaitu 63 %.

Pengujian Tetrazolium

Pengujian tetrazolium merupakan pengujian secara biokimiawi yang
digunakan untuk mendapatkan nilai viabilitas benih menggunakan larutan 2,3,5trifenil tetrazolium klorida/bromida yang tidak berwarna sebagai indikator untuk
mengindikasikan proses reduksi yang terjadi dalam sel-sel hidup. Larutan
tetrazolium diimbibisi ke dalam benih lalu berikatan dengan hidrogen yang
dilepaskan oleh enzim dehidrogenase pada proses reduksi dalam sel-sel yang
hidup sehingga menghasilkan trifenil formazan. Trifenil formazan merupakan
endapaan berwarna merah, stabil, dan tidak larut dalam air. Endapan formazan
menyebabkan benih berwarna merah sehingga mengindikasikan benih hidup
sedangkan pada benih mati tidak terjadi proses reduksi sehingga benih mati
menjadi tidak berwarna (ISTA 2014).
Kelebihan pengujian tetrazolium ialah dapat menentukan viabilitas lot benih
secara cepat ketika dibutuhkan misalnya saat benih harus ditanam segera setelah
panen, dapat menentukan viabilitas benih yang mengalami dormansi, dapat
menentukan viabilitas lot benih yang menunjukkan perkecambahan yang lambat
serta dapat menentukan viabilitas benih segar tidak tumbuh pada pengujian
indikasi langsung (ISTA 2014). Kelemahan pengujian tetrazolium ialah
membutuhkan kemahiran penguji yang berpengalaman sehingga dapat menilai

4
dengan tepat, tidak dapat membedakan benih dorman dan benih tidak dorman,
mikroorganisme yang berbahaya bagi perkecambahan tidak dapat terdeteksi, dan
harga tetrazolium yang relatif mahal (Patil dan Dadlani 2009).
Pengujian tetrazolium telah banyak dilakukan secara meluas pada berbagai
benih tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Hasil pengujian tetrazolium
pada benih kedelai (G. max) yang dilakukan oleh Dina et al. (2007) ialah terdapat
pola topografi pewarnaan tetrazolium yang mempunyai korelasi yang tinggi
dengan pertumbuhan dan hasil produksi tanaman kedelai. Penelitian Deminicis et
al. (2014) menunjukkan bahwa skarifikasi menggunakan ampelas, perendaman di
dalam air selama 18 jam pada suhu 25˚C, dan penggunaan konsentrasi larutan
tetrazolium 1 % selama 150 menit pada suhu ruang ialah metode pengujian
tetrazolium terbaik untuk mengevaluasi viabilitas benih koro benguk hitam
(Stizolobium aterrimum). Pramoedinata (2007) melaporkan bahwa benih pepaya
(Carica papaya) genotipe IPB 7 dan 8 yang telah mengalami perlakuan
pengeringan masih memiliki viabilitas yang cukup tinggi yaitu 66.63 % dan
52.17 %. Pengujian tetrazolium pada benih kayu kuku (Pericopsis mooniana)
dilakukan oleh Muis et al. (2004) dengan kriteria benih hidup ialah bagian
radikula 100 % berwarna merah sedangkan bagian kotiledon yang tidak
berdekatan dengan poros embrio minimal tidak terwarnai 30 %. Hasil analisis
regresi antara pengujian daya berkecambah dan pengujian tetrazolium pada benih
kayu kuku (P. mooniana) menghasilkan nilai koefisien determinan yang paling
tinggi (99.66 %) dibandingkan dengan pengujian cepat lainnya (pengujian
hidrogen peroksida = 98.50 %; pengujian belah = 98.47 %; dan pengujian eksisi
embrio = 98.33 %)

Pengujian Respirasi Benih

Respirasi merupakan proses katabolisme atau penguraian senyawa organik
menjadi senyawa anorganik. Proses respirasi merombak glukosa dan
menghasilkan CO2 serta energi (Andhi et al. 2012). Pengujian respirasi benih
dapat mendeteksi laju respirasi benih dengan mengukur kadar CO2 yang
dihasilkan benih dalam proses respirasi dengan menggunakan cosmotector tipe
XP-314. Pengujian respirasi benih jagung (Z. Mays) yang dilakukan oleh
Nurfarida (2011) dengan menggunakan cosmotector tipe XP-314 menghasilkan
bahwa laju respirasi benih berkorelasi nyata dengan parameter viabilitas dan vigor
benih. Permatasari (2011) melakukan pengujian respirasi benih kedelai (G. max)
dan hasilnya ialah semakin tinggi laju respirasi benih maka semakin tinggi pula
viabilitas dan vigor benih. Begitu pula dengan hasil pengujian respirasi benih oleh
Baharizki (2012) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi laju respirasi benih
kacang tanah (A. hypogaea) maka semakin tinggi pula viabilitas dan vigor
benihnya.
Kadar air benih merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi respirasi
benih. Hasil penelitian Tatipata et al. (2004), benih kedelai (G. max) berkadar air
12 % menghasilkan respirasi yang lebih tinggi (0.75 mg CO2 kg benih-1 jam-1)
dibandingkan dengan benih kedelai berkadar air 8 % (0.70 mg CO2 kg benih-1

5
jam-1). Lesilolo (2012) menyatakan bahwa semakin rendah kadar air benih maka
laju respirasinya juga semakin rendah sehingga benih dapat disimpan lebih lama
karena laju deteriorisasinya lambat. Penyimpanan terbuka (bulk storage) benih
karet (Hevea brasiliensis) dengan kadar air tinggi juga memicu peningkatan laju
respirasi benih berdasarkan hasil penelitian Samjaya et al. (2010).
Respirasi benih juga dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Respirasi benih
pada suhu rendah berjalan lebih lambat dibandingkan dengan suhu tinggi,
sehingga viabilitas benih dapat dipertahankan lebih lama. Laju respirasi benih
kedelai yang disimpan 90 hari pada musim hujan (suhu rata-rata penyimpanan
26.15 oC) lebih rendah dibandingkan laju respirasi benih kedelai yang disimpan
90 hari pada musim kemarau (suhu rata-rata penyimpanan 26.78 oC) berdasarkan
hasil penelitian Hartawan (2011). Menurut Anto dan Jayaram (2010), suhu
berperan dalam meningkatkan laju respirasi benih yang diproduksi pada musim
hujan dan disimpan pada musim kemarau.
Laju respirasi benih ortodoks berbeda dengan laju respirasi benih
rekalsitran. Laju respirasi benih kedelai (ortodoks) cenderung turun selama
penyimpanan berdasarkan hasil penelitian Hartawan (2011), sedangkan laju
respirasi benih karet (rekalsitran) selama penyimpanan cenderung naik (Hartawan
dan Nengsih 2012). Peningkatan laju respirasi benih karet (H. brasiliensis) dalam
penyimpanan disebabkan oleh kadar air benih karet yang tinggi (> 50 %) dan
kondisi penyimpanan yang lembab sehingga memacu benih karet untuk
berespirasi.

METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan dalam penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - September
2014. Percobaan dalam penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Benih dan
Laboratorium Pascapanen Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor serta Greenhouse Kebun Percobaan
Leuwikopo Darmaga Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah tiga lot benih koro
pedang yang berbeda waktu dan tempat panen serta kondisi ruang
penyimpanannya, yaitu lot benih A, lot benih B, dan lot benih C (Tabel 1). Bahan
lain yang digunakan dalam penelitian ini ialah 2,3,5 Trifenil Tetrazoliumklorida,
aquades, pasir, kertas alumunium, selotip, dan label.

6
Tabel 1 Lot benih koro pedang yang digunakan
Benih
A
B
C

Waktu
Panen
Maret
2014
November
2013
September
2012

Tempat
Panen
Bojong,
Bogor
Ciherang,
Bogor
Leuwikopo,
Bogor

Kondisi
Ruang Simpan
Ruang Kamar
(suhu 25-30 oC; RH 60 -75 %)
Ruang Ber-AC
(suhu 20 - 23 oC; RH 30 - 33 %)
Ruang Ber-AC
(suhu 20 - 23 oC; RH 30 - 33 %)

Kemasan
Simpan
Karung
Kain
Kantong
Plastik
Karung
Plastik

Alat yang digunakan untuk mendevigorasikan lot benih koro pedang pada
penelitian ini ialah waterbath tipe NTT-1200 (Gambar 1). Selain itu, penelitian ini
juga menggunakan cosmotector tipe XP-314 untuk mengukur respirasi benih
(Gambar 2), oven, toples inkubasi, timbangan digital, boks plastik, gelas kaca,
desikator, cawan, gunting pangkas, pinset, dan sudip.

Gambar 1 Waterbath tipe NTT-120

Gambar 2 Cosmotector tipe XP-314

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan. Percobaan pertama ialah pengujian
tetrazolium benih koro pedang. Percobaan kedua ialah pengujian respirasi benih
koro pedang. Pengujian benih koro pedang dengan indikasi langsung dilakukan
sebagai pembanding pengujian tetrazolium dan pengujian respirasi benih.
Lot benih koro pedang didevigorasi dengan pengusangan cepat secara fisik
dengan tujuan untuk mendapatkan sub lot benih koro pedang yang lebih beragam
viabilitasnya. Pengusangan cepat secara fisik menggunakan waterbath tipe NTT1200 bersuhu 40 oC dan RH ≈ 100 % dengan lima taraf penderaan (0, 8, 12, 16,
dan 20 jam) sehingga masing-masing lot benih menghasilkan lima sub lot benih.
Setiap taraf penderaan diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 15 satuan
percobaan untuk masing-masing lot benih. Satu satuan percobaan menggunakan
75 butir benih yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian pertama untuk
pengujian tetrazolium sebanyak 25 butir benih, bagian kedua untuk pengujian
respirasi benih sebanyak 25 butir benih, dan bagian ketiga untuk pengujian
langsung sebanyak 25 butir benih.

7
Percobaan 1 : Pengujian Tetrazolium Benih Koro Pedang
Percobaan ini diawali dengan pembuatan pola topografi pewarnaan
tetrazolium benih koro pedang setelah diperoleh sub lot benih hasil pengusangan
secara fisik. Masing-masing lima sub lot benih A, B, dan C sebanyak 10 butir
direndam dalam aquades selama 12 jam. Kulit benih koro pedang dikupas dan
keping kotiledon dibuka tapi tidak sampai terpisah. Benih koro pedang direndam
dengan larutan tetrazolium 1 %, 0.5 %, dan 0.1 %. dalam gelas kaca kedap cahaya
yang telah dibungkus dengan kertas alumunium, lalu dimasukkan ke dalam oven
bersuhu 30 oC selama 18 jam. Larutan tetrazolium dengan konsentrasi 1 %, 0.5 %,
dan 0.1 % tidak menunjukkan adanya perbedaan dari segi intensitas pewarnaan
sehingga konsentrasi 0.1 % dipilih untuk digunakan pada tahap selanjutnya dalam
pengujian tetrazolium benih koro pedang karena lebih ekonomis.
Pengamatan pola yang terbentuk dilakukan dengan mengacu pada pola
topografi pewarnaan tetrazolium benih kedelai dan penilaiannya terhadap bagianbagian esensial benih yang terwarnai dan tidak terwarnai. Hasilnya diperoleh
sembilan pola topografi pewarnaan tetrazolium benih koro pedang. Pola topografi
yang terbentuk digambar lalu dikelompokkan menjadi benih hidup, benih mati,
kecambah normal kuat, kecambah normal, dan kecambah abnormal.
Pengujian tetrazolium benih koro pedang dilakukan setelah pola topografi
pewarnaan selesai dibuat. Benih koro pedang sebanyak 25 butir per satu satuan
percobaan direndam dalam aquades selama 12 jam. Kulit benih koro pedang
dikupas dan keping kotiledon dibuka tapi tidak sampai terpisah. Benih koro
pedang direndam dengan larutan tetrazolium 0.1 % dalam gelas kaca kedap
cahaya yang telah dibungkus dengan kertas alumunium, lalu dimasukkan ke
dalam oven bersuhu 30 oC selama 18 jam (Gambar 3).

Gambar 3 Proses perendaman benih koro pedang dengan tetrazolium

Pengamatan dilakukan dengan mencocokkan topografi pewarnaan pada
benih koro pedang yang telah direndam dalam larutan tetrazolium dengan pola
topografi pewarnaan tetrazolium benih koro pedang yang telah dibuat penguji,
sehingga didapat nilai benih hidup, kecambah normal kuat, dan kecambah normal.
Selanjutnya, nilai benih hidup, kecambah normal kuat, dan kecambah normal
dibandingkan dengan nilai PTM, DB, dan KST hasil pengujian benih koro pedang
dengan indikasi langsung.

8
Pengujian Respirasi Benih Koro Pedang
Lima sub lot benih koro pedang yang dihasilkan dari pengusangan fisik diuji
viabilitas dengan pengujian respirasi benih. Pengujian respirasi benih koro pedang
diawali dengan perendaman 25 butir benih koro pedang per satu satuan percobaan
dalam aquades selama 12 jam sebagai perlakuan awal agar respirasi benih
meningkat dan konsentrasi CO2 dapat terdeteksi oleh cosmotector tipe XP-314.
Benih koro pedang dimasukkan ke dalam toples inkubasi, ditutup rapat dan
direkatkan dengan isolasi agar tidak terjadi kebocoran (Gambar 4). Toples
disimpan selama 24 jam dalam suhu ruang kamar. Setelah itu, kadar CO2 dalam
toples inkubasi diukur menggunakan cosmotector tipe XP-314. Hasil pengukuran
konsentrasi CO2 dimasukkan ke dalam rumus laju respirasi benih, yaitu :
L=
keterangan :
L
= laju respirasi benih (mg CO2 kg benih-1 jam-1)
V
= volume udara bebas dalam toples (Vtoples – Vbahan) dalam mL
K
= kadar CO2 sesudah inkubasi – kadar CO2 awal (0.03 %)
W
= waktu inkubasi (jam)
B
= bobot bahan (kg)
Nilai 1.76 merupakan konstanta gas
Nilai laju respirasi benih koro pedang dibandingkan dengan nilai PTM, DB, IV,
KST, dan KCT hasil pengujian langsung benih koro pedang.

Gambar 4 Inkubasi benih koro pedang di dalam toples

Pengujian Langsung Benih Koro Pedang
Pengujian viabilitas dan vigor benih koro pedang secara langsung dilakukan
dalam greenhouse dengan 27 - 29 oC dan RH 60 - 70 % menggunakan media pasir
dengan metode penanaman in sand (Gambar 5). Setiap satu satuan percobaan
ditanam 25 butir benih. Pengujian dilakukan selama 7 hari dengan hitungan
pertama pada hari ke-5 dan hitungan kedua pada hari ke-7. Parameter pengamatan
terdiri dari PTM, DB, IV, KST, dan KCT.

9

Gambar 5 Pengujian langsung benih koro pedang

Pengamatan
Pengujian Tetrazolium Benih Koro Pedang
1.

Benih Hidup (%)
Benih hidup diamati dengan menghitung persentase benih yang
berpotensi menjadi kecambah normal dan abnormal. Persentase benih hidup
dihitung dari gabungan persentase yang dihasilkan pola 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7.

2.

Kecambah Normal (%)
Kecambah normal diamati dengan menghitung persentase benih yang
berpotensi menjadi kecambah normal. Persentase kecambah normal dihitung
dari gabungan persentase yang dihasilkan pola pola 1, 2, 3, dan 4.

3.

Kecambah Normal Kuat (%)
Kecambah normal kuat diamati dengan menghitung persentase benih
yang berpotensi menjadi kecambah normal kuat. Persentase kecambah normal
kuat dihitung dari gabungan persentase yang dihasilkan pola pola 1 dan 2.

Pengujian Respirasi Benih Koro Pedang
4.

Laju respirasi Benih
Pengujian respirasi benih dilakukan dengan mengukur kadar CO2 yang
dilepaskan benih dalam inkubasi selama 24 jam. Hasil pengukuran kadar CO2
dimasukkan ke dalam rumus laju respirasi benih, yaitu:
L=
keterangan :
L = laju respirasi benih (mg CO2 kg benih-1 jam-1)
V = volume udara bebas dalam toples (Vtoples – Vbahan) dalam mL
K = kadar CO2 sesudah inkubasi – kadar CO2 awal (0.03 %)

10
W = waktu inkubasi (jam)
B = bobot bahan (kg)
Nilai 1.76 merupakan konstanta gas

Pengujian Viabilitas Benih Koro Pedang secara Langsung
5.

Potensi Tumbuh Maksimum (PTM)
PTM merupakan tolok ukur parameter viabilitas total yang dihitung pada
hari terakhir pengamatan (hari ke-7) berdasarkan jumlah kecambah normal
dan abnormal yang tumbuh. Persentase PTM dihitung dengan rumus:
PTM (%) =
keterangan :
∑ KN
= jumlah kecambah normal
∑ KAN = jumlah kecambah abnormal

6.

Daya Berkecambah (DB)
Persentasi DB dihitung berdasarkan jumlah persentase kecambah normal
pada pengamatan pertama yang dilakukan pada hari ke-5 dan pengamatan
kedua pada hari ke-7 (Febriyanti 2013). DB dihitung dengan rumus :
DB (%) =
keterangan :
∑ KN I = jumlah kecambah normal pada hari ke-5
∑ KN II = jumlah kecambah normal pada hari ke-7

7.

Indeks Vigor (IV)
IV merupakan persentase kecambah normal pada hari ke-5. IV dihitung
dengan rumus :
IV (%) =
keterangan:
∑ KN I = jumlah kecambah normal pada hari ke-5

8.

Keserempakan Tumbuh (KST)
KST benih diukur berdasarkan kecambah normal kuat pada hari di antara
hitungan pertama dan hitungan kedua (hari ke-6). Kecambah normal kuat
adalah kecambah yang memiliki kinerja tumbuh kuat di antara kecambah
yang tumbuh normal. KST dihitung dengan rumus :
KST (%) =

× 100%

11
9.

Kecepatan Tumbuh (KCT)
KCT diukur berdasarkan jumlah tambahan perkecambahan setiap hari
atau etmal (24 jam) selama kurun waktu perkecambahan. KCT dihitung
dengan rumus:
KCT (% per etmal) =
keterangan :
t = waktu pengamatan (etmal)
N = persentase kecambah normal setiap pengamatan
tn = waktu akhir pengamatan

Analisis Data

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan. Percobaan pertama ialah pengujian
tetrazolium lot benih A, lot benih B, dan lot benih C. Percobaan kedua ialah
pengujian respirasi lot benih A, lot benih B, dan lot benih C. Masing-masing
percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor
perlakuan yaitu pengusangan cepat secara fisik.
Pengolahan data dianalisis dengan sidik ragam (Uji F) pada taraf 5%
menggunakan aplikasi SAS (Statistical Analysis System). Parameter pengamatan
yang menunjukan pengaruh nyata, diuji lanjut dengan menggunakan DMRT
(Duncan Multiple Range Test). Model linier aditif yang digunakan ialah:
Yij = μ + α + ∑ij
keterangan :

i
j
Yij

= 0, 8, 12, 16, dan 20 jam
= 1, 2, dan 3
= nilai parameter pada perlakuan pengusangan cepat secara
fisik ke-i dan kelompok ke-j
μ
= nilai tengah populasi
αi
= pengaruh perlakuan pengusangan cepat secara fisik pada
taraf ke-i
∑ij
= pengaruh acak pada perlakuan pengusangan cepat secara
fisik ke-i dan kelompok ke-j
Data hasil pengujian tetrazolium dan pengujian respirasi dibandingkan
dengan data hasil pengujian langsung dengan cara dianalisis korelasi pearson dan
regresi linier sederhana. Nilai koefisien korelasi mendekati 1 (r  1)
menggambarkan adanya keeratan hubungan atau korelasi. Persamaan analisis
regresi, yaitu :
y = a + bx
keterangan :

y = tolok ukur pengujian tetrazolium atau pengujian respirasi
a = titik potong garis dengan sumbu y
b = kemiringan garis
x = tolok ukur pengujian langsung

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Awal Lot Benih Koro Pedang

Kadar air dan viabilitas awal lot benih koro pedang ditunjukkan pada Tabel
2. Lot benih A memiliki kadar air diatas 14 %, sedangkan lot benih B dan lot
benih C memiliki kadar air dibawah 12 %. Menurut (Distan 2013), kadar air yang
aman untuk benih tanaman pangan (ortodoks) ialah maksimal 12 %.
Masing-masing lot benih memiliki viabilitas dengan tolok ukur DB yang
masih cukup tinggi yaitu diatas 80 %, sesuai dengan standar DB untuk benih
tanaman pangan yaitu diatas 80 % (Distan 2013).

Tabel 2 Kadar air dan viabilitas awal tiga lot benih koro pedang
Tolok Ukur
Lot
Benih
A
B
C

KA
(%)
14.99
11.73
9.41

PTM
(%)
96.00
97.33
98.67

DB
(%)
90.67
88.00
97.33

IV
(%)
36.00
49.33
60.00

KST
(%)
61.33
65.33
76.00

KCT
(% etmal-1)
15.71
16.06
17.71

KA : kadar air; PTM : potensi tumbuh maksimum; DB : daya berkecambah; IV : indeks vigor;
KST : keserempakan tumbuh; KCT : kecepatan tumbuh.

Percobaan 1 : Pengujian Tetrazolium Benih Koro Pedang

Percobaan 1 diawali dengan pembuatan pola topografi pewarnaan
tetrazolium benih koro pedang dengan mengacu pada pola topografi pewarnaan
tetrazolium benih kedelai dan penilaiannya terhadap bagian-bagian esensial benih
yang terwarnai dan tidak terwarnai. Sub lot benih A, B, dan C hasil pengusangan
secara fisik selama 0, 8, 12, 16, dan 20 jam direndam dalam larutan tetrazolium
1 %, 0.5 %, dan 0.1 %. Larutan tetrazolium dengan konsentrasi 1 %, 0.5 %, dan
0.1 % tidak menunjukkan adanya perbedaan dari segi intensitas pewarnaan
sehingga konsentrasi 0.1 % dipilih untuk digunakan pada tahap selanjutnya dalam
pengujian tetrazolium benih koro pedang karena lebih ekonomis. Hasil yang
diperoleh didapatkan sembilan pola topografi pewarnaan tetrazolium benih koro
pedang (Gambar 6).
Pola 1 ialah benih berwarna merah terang secara merata. Pola 2 ialah benih
berwarna merah terang dengan sedikit warna merah tua pada kotiledon. Pola 3
ialah benih berwarna merah agak tua dan masih ada bagian yang berwarna merah
terang. Pola 4 ialah benih berwarna merah terang dengan sebagian kotiledon
berwarna putih tapi tidak pada bagian yang menghubungkan dengan poros embrio.

13
Pola 5 ialah benih berwarna merah terang dengan ujung radikula berwarna putih.
Pola 6 ialah benih berwarna merah terang dengan plumula berwarna putih. Pola 7
ialah benih berwarna meah terang dengan sebagain radikula dan sebagian
kotiledon berwarna putih. Pola 8 ialah benih berwarna merah muda. Pola 9 ialah
benih berwarna putih atau tidak berwarna.
Pola yang dibuat dikelompokan menjadi benih hidup, benih mati, kecambah
normal kuat, kecambah normal, dan kecambah abnormal. Pola untuk benih hidup
ialah pola 1 - 7, sedangkan pola untuk benih mati ialah pola 8 – 9. Pola untuk
kecambah normal kuat ialah pola 1 – 2, pola untuk kecambah normal ialah pola 1
– 4, sedangkan pola untuk kecambah abnormal ialah pola 5 – 7. Bagian peralihan
antara radikula dan kotiledon, ujung radikula, serta persentase bagian yang hidup
dari kotiledon menjadi dasar pengelompokan tersebut.

Gambar 6 Pola topografi pewarnaan tetrazolium benih koro pedang

14
Lot Benih A
Pengusangan cepat secara fisik lot benih A berpengaruh secara nyata
terhadap tolok ukur kecambah normal, tapi tidak berpengaruh secara nyata
terhadap tolok ukur benih hidup dan kecambah normal kuat. Hasil pengujian
tetrazolium lima sub lot benih A menunjukkan nilai benih hidup berkisar 98 100 %, nilai kecambah normal berkisar 33.33 - 56 %, dan nilai kecambah normal
kuat berkisar 18.67 - 30.67 % (Tabel 3). Menurut Muis et al. (2004), semakin
lama waktu pengusangan maka pola warna merah pada pengujian tetrazolium
benih kayu kuku (Pericopsis mooniana) juga semakin menurun.
Tolok ukur PTM, DB, dan KST pada lot benih A tidak dipengaruhi secara
nyata oleh pengusangan cepat secara fisik. Hasil pengujian langsung lima lot
benih A menunjukkan nilai PTM berkisar 93.33 - 98.67 %, nilai DB berkisar
73.33 - 90.67 %, dan nilai KST berkisar 36 - 64 % (Tabel 3).
Tabel 3 Hasil pengujian tetrazolium dan pengujian langsung lima sub lot benih A
Pengujian Tetrazolium
Sub Lot
Benih

Benih
Hidup
(%)

Kecambah
Normal
(%)

A1
A2
A3
A4
A5

98.67
100.00
100.00
100.00
98.67

56.00a
46.67ab
38.67b
33.33b
36.00b

Kecambah
Normal
Kuat
(%)
30.67
30.00
28.00
18.67
24.00

Pengujian Langsung
PTM
(%)

DB
(%)

KST
(%)

96.00
93.33
98.67
93.33
98.67

90.67
81.33
73.33
78.67
85.33

61.33
64.00
44.00
36.00
50.67

Pengusangan 0 jam (A1), 8 jam (A2), 12 jam (A3); 16 jam (A4), 20 jam (A5); PTMTTZ : potensi
tumbuh maksimum pada pengujian tetrazolium; DBTTZ : daya berkecambah pada pengujian
tetrazolium; KST.TTZ : keserempakan tumbuh pada pengujian tetrazolium; PTM : potensi tumbuh
maksimum; DB : daya berkecambah; KST : keserempakan tumbuh; Angka-angka pada kolom yang
sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (uji selang
berganda Duncan).

Korelasi antara tolok ukur kecambah normal dan DB serta korelasi antara
tolok ukur kecambah normal kuat dan KST pada lot benih A memiliki arah yang
positif atau searah, sedangkan korelasi antara tolok ukur benih hidup dan PTM
memiliki arah yang negatif atau berlawanan arah (Tabel 4). Pola pewarnaan
tetrazolium yang dibuat kurang sensitif dalam mendeteksi PTMTTZ pada lot benih
A. Kisaran pola 1 - 7 diduga terlalu longgar untuk dikelompokkan sebagai benih
hidup (Gambar 7).
Pola 7 yang merupakan pola benih yang berpotensi menjadi kecambah
abnormal dengan ciri-ciri sebagian radikula dan sebagian kotiledon yang
berdekatan dengan poros embrio tidak berwarna, pada pengujian langsung
mungkin tidak dapat berkecambah atau termasuk ke dalam kelompok benih mati.
Menurut Leist (2004), area kotiledon yang berdekatan dengan radikula adalah area

15
penting sehingga tidak terwarnainya daerah ini menunjukkan terjadinya kerusakan
yang menyebabkan benih tidak dapat berkecambah.

Gambar 7 Hasil pewarnaan tetrazolium benih koro pedang sesuai dengan pola
benih hidup (a: pola 1; b: pola 2; c: pola 3; d: pola 4; e: pola 5; f: pola 7)

Nilai koefisien korelasi (r) tidak nyata pada semua tolok ukur, tapi, nilai
koefisien korelasi antara tolok ukur kecambah normal kuat dan KST pada lot benih
A paling erat, yaitu 0.84 (Tabel 4). Nilai koefisien determinasi (R2) antara tolok
ukur kecambah normal kuat dan KST mencapai 70.90 % (Tabel 4).
Tabel 4 Hasil analisis korelasi dan regresi antara pengujian tetrazolium dan
pengujian langsung lot benih A
Tolok Ukur
(y)

Tolok Ukur
(x)

Benih Hidup
Kecambah
Normal
Kecambah
Normal Kuat

PTM

Koefisien
Korelasi
(r)
- 0.46tn

Koefisien
Determinasi
(R2)
20.80

Persamaan
Regresi
y = 111.00 - 0.12x

DB

0.64tn

41.50

y = - 31.80 + 0.90x

KST

0.84tn

70.90

y = 7.95 + 0.36x

PTM : potensi tumbuh maksimum (%); DB : daya berkecambah (%); K ST : keserempakan tumbuh
(%); tn : tidak nyata pada taraf uji 5 %.

Lot Benih B
Pengusangan cepat secara fisik pada lot benih B tidak berpengaruh secara
nyata terhadap semua tolok ukur pengujian tetrazolium. Hasil pengujian
tetrazolium lima sub lot benih B menunjukkan nilai benih hidup yang stagnan
100 %, nilai kecambah normal berkisar 92 - 98 %, dan nilai kecambah normal
kuat berkisar 61.33 - 90.67 % (Tabel 5).

16
Tolok ukur PTM, DB, dan KST pada lot benih B tidak dipengaruhi secara
nyata oleh pengusangan cepat secara fisik. Hasil pengujian langsung lima lot
benih B menunjukkan nilai PTM berkisar 92 - 100 %, nilai DB berkisar 86.67 96 %, dan nilai KST berkisar 56 - 77.33 % (Tabel 5).
Pengusangan cepat secara fisik sampai 20 jam belum cukup menyebabkan
keragaman viabilitas lot benih B. Hal ini diduga karena benih koro pedang
mempunyai kulit (testa) yang keras sehingga permeabilitasnya rendah. Menurut
Ma et al. (2004), permeabilitas kulit benih ditentukan oleh jaringan palisade yang
di dalamnya terdapat sebuah lapisan (light line) yang diduga berfungsi sebagai
pengatur proses imbibisi ke dalam benih. Krisnawati dan Adie (2008) juga
melaporkan bahwa light line pada kulit benih legum yang keras memiliki sifat
impermeabilitas yang tinggi.

Tabel 5 Hasil pengujian tetrazolium dan pengujian langsung lima sub lot benih B
Pengujian Tetrazolium
Sub Lot
Benih

Benih
Hidup
(%)

Kecambah
Normal
(%)

B1
B2
B3
B4
B5

100.00
100.00
100.00
100.00
100.00

98.67
98.67
98.67
98.67
92.00

Kecambah
Normal
Kuat
(%)
90.67
72.00
62.67
72.00
61.33

Pengujian Langsung
PTM
(%)

DB
(%)

KST
(%)

97.33
97.33
93.33
100.00
92.00

88.00
94.67
92.00
96.00
86.67

65.33
77.33
69.33
56.00
70.67

Pengusangan 0 jam (B1), 8 jam (B2), 12 jam (B3); 16 jam (B4), 20 jam (B5); PTM : potensi
tumbuh maksimum; DB : daya berkecambah; K ST : keserempakan tumbuh.

Korelasi antara tolok ukur kecambah normal dan DB pada lot benih B
memiliki arah yang positif atau searah, sedangkan korelasi antara tolok ukur
kecambah normal kuat dan KST memiliki arah yang negatif atau berlawanan arah
(Tabel 6). Pola pewarnaan tetrazolium yang dibuat kurang sensitif dalam
mendeteksi kecambah normal kuat pada lot benih B. Kisaran pola 1 - 2 sebagai
pola untuk kecambah normal kuat (Gambar 8) diduga terlalu longgar.

Gambar 8 Hasil pewarnaan tetrazolium benih koro pedang yang sesuai dengan
pola KST.TTZ (a: pola 1; b: pola 2)

17
Pola 2 yang merupakan pola benih yang berpotensi menjadi kecambah
normal kuat dengan ciri-ciri ada warna merah agak tua pada sebagian kotiledon,
pada pengujian langsung mungkin tidak dapat berkecambah normal kuat atau
hanya dapat berkecambah normal. Hal ini didukung oleh Leist (2004) yang
menyatakan bahwa benih dikotil bervigor tinggi memiliki ciri-ciri yaitu seluruh
bagian kotiledon terwarnai dengan warna merah yang cerah dan merata.
Nilai koefisien korelasi (r) tidak nyata pada semua tolok ukur, tapi, nilai
koefisien korelasi antara tolok ukur kecambah normal dan DB pada lot benih B
paling erat, yaitu 0.66 (Tabel 6). Nilai koefisien determinasi (R2) antara tolok ukur
kecambah normal dengan DB hanya mencapai 43.50 % (Tabel 6).

Tabel 6

Hasil analisis korelasi dan regresi antara pengujian tetrazolium dan
pengujian langsung lot benih B

Tolok Ukur
(y)
Kecambah
Normal
Kecambah
Normal
Kuat

Tolok Ukur
(x)

Koefisien
Korelasi
(r)

Koefisien
Determinasi
(R2)

Persamaan
Regresi

DB

0.66tn

43.50

y = 53.10 + 0.48x

KST

- 0.25tn

6.10

y = 96.70 - 0.37x

DB : daya berkecambah (%); KST : keserempakan tumbuh (%); tn : tidak nyata pada taraf uji 5 %.

Lot Benih C
Pengusangan cepat secara fisik lot benih C tidak berpengaruh secara nyata
terhadap tolok ukur pengujian tetrazolium. Hasil pengujian tetrazolium lima sub
lot benih C menunjukkan nilai benih hidup yang stagnan 100 %, nilai kecambah
normal berkisar 94.67 - 100 %, dan nilai kecambah normal kuat berkisar 69.33 68 % (Tabel 7).
Tolok ukur PTM, DB, dan KST pada lot benih D tidak dipengaruhi secara
nyata oleh pengusangan cepat secara fisik. Hasil pengujian langsung lima lot
benih D menunjukkan nilai PTM berkisar 84 - 100 %, nilai DB berkisar 80 97.33 %, dan nilai KST berkisar yaitu 64 - 96 % (Tabel 7).
Nilai kecambah normal kuat cenderung lebih rendah (49.33 - 68 %)
dibandingkan nilai KST yang berkisar 64 - 96 % (Tabel 7). Hal ini terjadi diduga
karena adanya keragaman kondisi fisik pada lot benih D. Menurut Zanzibar dan
Herdiana (2010), keragaman kondisi fisik pada lot benih dapat menyebabkan
terjadinya keragaman proses reduksi yang dapat menghambat penetrasi garam
tetrazolium sehingga pewarnaan menjadi kurang cerah. Oleh karena itu, benih
yang berpotensi menjadi kecambah normal kuat pada pengujian tetrazolium
menjadi berkurang.

18
Tabel 7 Hasil pengujian tetrazolium dan pengujian langsung lima sub lot benih C
Pengujian Tetrazolium
Sub Lot
Benih

Benih
Hidup
(%)

Kecambah
Normal
(%)

C1
C2
C3
C4
C5

100.00
100.00
100.00
100.00
100.00

100.00
98.67
94.67
94.67
98.67

Kecambah
Normal
Kuat
(%)
68.00
61.33
54.67
53.33
49.33

Pengujian Langsung
PTM
(%)

DB
(%)

KST
(%)

98.67
100.00
100.00
97.33
84.00

97.33
97.33
93.33
97.33
80.00

76.00
96.00
80.00
77.33
64.00

Pengusangan 0 jam (C1), 8 jam (C2), 12 jam (C3); 16 jam (C4), 20 jam (C5); PTM : potensi
tumbuh maksimum; DB : daya berkecambah; K ST : keserempakan tumbuh.

Korelasi antara tolok ukur kecambah normal kuat dan KST pada lot benih C
memiliki arah yang positif atau searah, sedangkan korelasi antara tolok ukur
kecambah normal dan DB memiliki arah yang negatif atau berlawanan arah
(Tabel 8). Pola pewarnaan tetrazolium yang dibuat kurang sensitif dalam
mendeteksi kecambah normal pada lot benih C. Kisaran pola 1 - 4 sebagai pola
untuk kecambah normal (Gambar 9) diduga terlalu longgar.
Pola 4 yang merupakan pola benih yang berpotensi menjadi kecambah
normal dengan ciri-ciri ada bagian kotiledonnya (tidak pada bagian yang
menghubungkan dengan poros embrio) yang tidak terwarnai, pada pengujian
langsung mungkin termasuk kecambah abnormal. Menurut Leist (2004), bagian
kotiledon yang tidak terwarnai menunjukkan kerusakan akibat serangan hama atau
penyakit sehingga tidak dapat berkecambah normal.

Gambar 9 Hasil pewarnaan tetrazolium benih koro pedang yang sesuai dengan
pola DBTTZ(a: pola 1; b: pola 2; c: pola 3; d: pola 4)

19
Nilai koefisien korelasi (r) tidak nyata pada semua tolok ukur, tapi, nilai
koefisien korelasi antara tolok ukur kecambah normal kuat dan KST pada lot benih
C paling erat, yaitu 0.47 (Tabel 8). Nilai koefisien determinasi (R2) antara tolok
kecambah normal kuat dan KST hanya mencapai 22.40 % (Tabel 8).
Tabel 8 Hasil analisis korelasi dan regresi antara pengujian tetrazolium dan
pengujian langsung lot benih C
Tolok Ukur
(y)
Kecambah
Normal
Kecambah
Normal
Kuat

Tolok Ukur
(x)

Koefisien
Korelasi
(r)

Koefisien
Determinasi
(R2)

DB

- 0.17tn

2.80

y = 102.00 - 0.05x

KST

0.47tn

22.40

y = 33.40 + 0.30x

Persamaan
Regresi

DB : daya berkecambah (%); KST : keserempakan tumbuh (%); tn : tidak nyata pada taraf uji 5 %.

Percobaan 2 : Pengujian Respirasi Benih Koro Pedang

Lot Benih A
Pengusangan cepat secara fisik lot benih A tidak berpengaruh secara nyata
terhadap tolok ukur laju respirasi benih. Hasil pengujian respirasi lima sub lot
benih A menunjukkan nilai laju respirasi benih yang berkisar 8.72 - 10.55 mg CO2
kg benih-1 jam-1 (Tabel 9).
Tolok ukur PTM, DB, IV, KST, dan KCT pada lot benih A tidak dipengaruhi
secara nyata oleh pengusangan cepat secara fisik. Hasil pengujian langsung lima
lot benih A menunjukkan nilai PTM berkisar 93.33 - 98.67 %, nilai DB berkisar
73.33 - 90.67 %, nilai IV berkisar 33.33 - 37.33 %, nilai KST berkisar 36 - 64 %,
dan nilai KCT berkisar 13.18 – 15.71 % etmal-1 (Tabel 9).
Tabel 9 Hasil pengujian respirasi dan pengujian langsung lima sub lot benih A
Sub Lot
Benih
A1
A2
A3
A4
A5

Pengujian Respirasi
Laju Respirasi Benih
9.09
10.12
9.74
8.72
10.55

Pengujian Langsung
PTM
96.00
93.33
98.67
93.33
98.67

DB
90.67
81.33
73.33
78.67
85.33

IV
36.00
36.00
37.33
33.33
34.67

KST
61.33
64.00
44.00
36.00
50.67

KCT
15.71
14.34
13.18
13.59
14.99

Pengusangan 0 jam (A1), 8 jam (A2), 12 jam (A3); 16 jam (A4), 20 jam (A5); Laju respirasi benih
(mg CO2 kg benih-1 jam-1); PTM : potensi tumbuh maksimum (%); DB : daya berkecambah (%);
IV : indeks vigor (%); KST : keserempakan tumbuh (%); KCT : kecepatan tumbuh (% etmal-1).

20
Korelasi antara laju respirasi benih dan PTM, DB, IV, KST, serta KCT pada
lot benih A memiliki arah yang positif atau searah (Tabel 10). Hal ini sesuai
dengan Nurfarida (2011) yang melaporkan bahwa korelasi antara laju respirasi
benih dan tolok ukur PTM, DB, IV, KST, serta KCT pada benih jagung (Z. Mays)
memiliki hubungan yang searah.
Nilai koefisien korelasi (r) tidak nyata pada semua tolok ukur, tapi, nilai
koefisien korelasi antara laju respirasi benih dan PTM pada lot benih A paling erat,
yaitu 0.49 (Tabel 10). Nilai koefisien determinasi (R2) antara laju respirasi benih
dan PTM hanya mencapai 23.80 % (Tabel 10).

Tabel 10

Hasil analisis korelasi dan regresi antara pengujian respirasi dan
pengujian langsung lot benih A

Tolok Ukur
(y)
Laju
Respirasi
Benih

Tolok Ukur
(x)
PTM
DB
IV
KST
KCT

Koefisien
Korelasi
(r)
0.49tn
0.01tn
0.31tn
0.38tn
0.14tn

Koefisien
Determinasi
(R2)
23.80
0.00
9.40
14.80
2.00

Persamaan
Regresi
y = - 3.40 + 0.14x
y = 9.54 +0.001x
y = 4.33 + 0.15x
y = 8.40 + 0.02x
y = 8.17 + 0.10x

Laju respirasi benih (mg CO2 kg benih-1 jam-1); PTM : potensi tumbuh maksimum (%); DB : daya
berkecambah (%); IV : indeks vigor (%); KST : keserempakan tumbuh (%); KCT : kecepatan
tumbuh (% etmal-1); tn : tidak nyata pada taraf uji 5 %.

Lot Benih B
Pengusangan cepat secara fisik lot benih B berpengaruh secara nyata
terhadap tolok ukur laju respirasi benih. Hasil pengujian respirasi lima sub lot
benih B menunjukkan nilai laju respirasi benih yang berkisar 8.44 - 12.96 mg CO2
kg benih-1 jam-1 (Tabel 11).

Tabel 11 Hasil pengujian respirasi dan pengujian langsung lima sub lot benih B
Sub Lot
Benih
B1
B2
B3
B4
B5

Pengujian Respirasi
Laju Respirasi Benih
12.96a
11.99ab
8.44c
9.12c
9.91bc

Pengujian Langsung
PTM
97.33
97.33
93.33
100.00
92.00

DB
88.00
94.67
92.00
96.00
86.67

IV
49.33
46.67
49.33
46.67
37.33

KST
65.33
77.33
69.33
56.00
70.67

KCT
16.06
17.21
16.69
17.39
15.40

Pengusangan 0 jam (B1), 8 jam (B2), 12 jam (B3); 16 jam (B4), 20 jam (B5); Laju respirasi (mg
CO2 kg benih-1 jam-1); PTM : potensi tumbuh maksimum (%); DB : daya berkecambah (%); IV :
indeks vigor (%); KST : keserempakan tumbuh (%); KCT : kecepatan tumbuh (% etmal-1); Angkaangka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji
5 % (uji selang berganda Duncan).

21
Tolok ukur PTM, DB, IV, KST, dan KCT pada lot benih B tidak dipengaruhi
secara nyata oleh pengusangan cepat secara fisik. Hasil pengujian langsung lima
lot benih A menunjukkan nilai PTM berkisar 92 - 100 %, nilai DB berkisar 86.67
- 96 %, nilai IV berkisar 37.33 - 49.33 %, nilai KST berkisar 56 - 77.33 %, dan
nilai KCT berkisar 15.40 - 17.39 % etmal-1 (Tabel 11).
Korelasi yang positif atau searah pada lot benih B hanya terjadi antara laju
respirasi dan tolok ukur PTM, IV, dan KST (Tabel 12). Hal ini sesuai dengan
Baharizki (2012) yang melaporkan bahwa korelasi antara laju respirasi benih dan
tolok ukur PTM, IV, serta KST pada benih kacang tanah juga memiliki hubungan
yang searah.
Nilai koefisien korelasi (r) tidak nyata pada semua tolok ukur, tapi, nilai
koefisien korelasi antara laju respirasi benih dan KST pada lot benih B paling erat,
yaitu 0.32 (Tabel 12). Nilai koefisien determinasi (R2) antara laju respirasi benih
dan KST hanya mencapai 10.50 % (Tabel 12).
Tabel 12 Hasil analisis korelasi dan regresi antara pengujian respirasi dan
pengujian langsung lot benih B
Tolok Ukur
(y)
Laju
Respirasi
Benih

Tolok Ukur
(x)
PTM