Analysis Of Protein Patterns Of Gnathostoma Spinigerum Larvae In Swamp Eeels (Monopterus Alba) By Immunoblotting

KARAKTERISASI PROTEIN ANTIGENIK LARVA 3
Gnathostoma spinigerum PADA IKAN BELUT RAWA
(Monopterus alba) MENGGUNAKAN TEKNIK
IMMUNOBLOTTING

KHUMAIRA PUSPASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Protein
Antigenik Larva 3 Gnathostoma spinigerum pada Ikan Belut Rawa (Monopterus
alba) Menggunakan Teknik Immunoblotting adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013

Khumaira Puspasari
NIM B252100031

RINGKASAN
KHUMAIRA PUSPASARI. Karakterisasi Protein Antigenik Larva 3
Gnathostoma spinigerum pada Ikan Belut Rawa (Monopterus alba) Menggunakan
Teknik Immunoblotting. Dibimbing oleh RISA TIURIA dan ELOK BUDI
RETNANI.
Gnathostoma spinigerum merupakannematoda usus pada karnivora yang
dapat menyebabkan gnathostomiasis pada manusia. Manusia dapat terinfeksi
karena memakan inang antara, seperti ikan air tawar, katak, burung dan ular
mentah/kurang matang yang mengandung kista larva tahap 3 (L3) Gnathostoma
spp. Larva 3 G. spinigerum paling sering ditemukan pada hati dan daging ikan
belut rawa (Monopterus alba). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengkarakterisasi protein produk Ekskretori-Sekretori (ES) larva 3 G. spinigerum
(ES-L3-Gs) melalui reaksi antara antigen ES-L3-Gs dengan antibodi poliklonal

immunoglobulin G (IgG) kelinci anti ES-L3-Gs menggunakan teknik Western
blotting. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pencarian antigen
spesifik untuk pengembangan metode immunodiagnostik maupun molekuler
dalam mendiagnosis gnathostomiasis.
Isolasi protein kasar ekskretori dan sekretori L3 G. spinigerum diperoleh
dengan cara menginkubasi larva tiga G. spinigerumdalammedia RPMI 1640 yang
mengandung antibiotik 100 unit/ml penicillin G dan 100 µg/ml streptomycin
selama empat hari pada inkubator CO2 5% dengan suhu 37°C. Protein antigen ESL3-Gskasar yang diperoleh tidak dilakukan purifikasi. Immunoglobulin G anti
ES-L3-Gs diperoleh dengan mengimunisasi kelinci putih strain New Zealand
dengan ES-L3-Gs. Hasil immunoblotting antara ES-L3-Gs dengan IgG anti ESL3-Gs menunjukkan lima pita blot, dengan berat molekulyaitu12.6, 18.6, 37.9,
41.7 dan 49.5 kDa. Pita blot dengan berat molekul 12.6, 18.6 dan 37.9 kDa juga
terlihat pada reaksi antara ES larva nematoda lain dengan IgG anti ES-L3-Gs.
Protein spesifik dengan berat molekul 41.7 dan 49.5 kDa merupakan antigen
potensial untuk dikembangkan dalam immunodiagnostik dan diagnostik
molekuler gnathostomiasis pada belut rawa dan gnathostomiasis manusia di
Indonesia.

Kata kunci:Gnathostoma spinigerum, protein ekskretori sekretori,
immunoblotting, belut rawa


SUMMARY
KHUMAIRA PUSPASARI. Analysis of Protein Patterns of Gnathostoma
spinigerum Larvae in Swamp Eeels (Monopterus alba) by Immunoblotting.
Supervised by RISA TIURIA and ELOK BUDI RETNANI.
Gnathostoma spinigerum is an intestine nematode in carnivore but can
cause human gnathostomiasis. Man is a paratenic host and can acquires the
infection by eating non cooked or inadequately processed intermediate hosts, e.g.
freshwater fishes, frogs, birds and snakeswhich contain encapsulated third stage
larvae. Third stage larvaes (L3s) of G. spinigerum were most found in liver and
muscle of swamp eels (Monopterus alba). The objective of this research was to
analyze the specific antigens of excretory-secretory (ES) products of G.
spinigerum L3s (ES-Ag Gs L3) against rabbit immunoglobulin G (IgG)
polyclonal antibody-anti ES-Ag Gs L3s using Western blotting technique. The
result of this research was hoped to be a basic for the development of
immunodiagnostic and molecular diagnostic of gnathostomias.
Excretory-secratory proteins isolation of G. spinigerum L3 were obtained by
incubating L3 in RPMI 1640 medium which contains 100 units/ml penicillin G
and 100 µg/ml streptomycin for four days at 37°C under 5% CO2 in air. The crude
antigen protein of ES-L3-Gs were not purificated. Immunoglobulin G anti ES-Ag
Gs L3s were obtained by immunize New Zealand strain white rabbits with ES-Ag

Gs L3s. Bands with apparent molecular weights of 12.6, 18.6, 37.9, 41.7 and 49.5
kDa were identified from immunoblotting reactions between IgG-anti ES-Ag Gs
L3s and ES-Ag Gs L3s. The proteins of ES from other nematode larvae with
apparent molecular weights of 12.6, 18.6, and 37.9 were also recognized by IgGanti ES-Ag Gs L3s. The specific proteins with molecular weights of 41.7 and 49.5
kDa were potential antigens for immunodiagnostic and molecular diagnostic of
gnathostomiasis in swamp eels and human gnathostomiasis in Indonesia.

Keywords: Gnathostoma spinigerum, excretory secretory proteins,
immunoblotting, swamp eel

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KARAKTERISASI PROTEIN ANTIGENIK LARVA 3
Gnathostoma spinigerum PADA IKAN BELUT RAWA
(Monopterus alba) MENGGUNAKAN TEKNIK
IMMUNOBLOTTING

KHUMAIRA PUSPASARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi Ujian Tesis:


drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Nopember 2011 ini ialah
Gnathostoma spinigerum, dengan judul Karakterisasi Protein Antigenik Larva 3
Gnathostoma spinigerum pada Ikan Belut Rawa (Monopterus alba) Menggunakan
Teknik Immunoblotting.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibudrh.Risa Tiuria, M.S, Ph.Ddan Ibu
Dr.drh.Elok Budi Retnani, M.S selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Ibu Dr. drh. Sri Murtini, M.Si yang telah banyak
membantu dalam penelitian ini, Ibu Emei Widiyastuti, S.Pi, Tatik Sumirah, A.Md,
Tina Yunia Asri,A.Md dan Chusnul Chotimah dari laboratorium Parasitologi dan
Fredy Riatmono, A.Md dan Ade Nurdin S.St.Pi dari laboratorium sekuensing
Balai Uji Standar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan (BUSKIPM) yang telah membantu selama pengumpulan data. Rasa
terima kasih juga penulis ucapkan pada Bapak Ir. Asep Dadang Koswara, M.Si
dan Ibu Nurlaila S.Pi, M.Si beserta staf teknis BUSKIPM atas bantuan dan
dorongannya dalam penelitian ini, juga kepada para dosen dan staf program studi

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) atas bimbingannya selama
perkuliahan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta Riki
Frihatand Pasariboe, ananda M. Nouval Farraz P. dan M. Jaffan Waldan P.,
ayahanda H. Arman Tefuri (Alm), ibunda Hj. Saadiyah, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Pebruari 2013
Khumaira Puspasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA

Gnathostoma spinigerum
Siklus Hidup
Gnathostomiasis
Epidemiologi Gnathostomiasis
Diagnosis Gnathostomiasis
Antigen Ekskretori dan Sekretori (ES)
Antibodi Poliklonal

xii
xii
xii
1
1
2
2
2
5
5
6
7

9
9
11
13

3 METODE
15
Bahan
15
Alat
15
Prosedur Penelitian
16
Tahap 1 Isolasi dan Identifikasi Morfologi dan Molekuler Larva Tiga
(L3) Gnathostoma spinigerum
16
Tahap 2 Produksi dan Karakterisasi Protein Antigen ES-L3-Gs
16
Tahap 3 Produksi Poliklonal Antibodi
17

Tahap 4 Immunoblotting
18
Analisis Data
19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Isolasi dan Identifikasi Morfologi dan Molekuler Larva Tiga (L3)
Gnathostoma spinigerum
Produksi dan Karakterisasi Protein Antigen ES-L3-Gs
Produksi Poliklonal Antibodi
Immunoblotting
Pembahasan
Isolasi dan Identifikasi Morfologi dan Molekuler Larva Tiga (L3)
Gnathostoma spinigerum
Produksi dan Karakterisasi Protein Antigen ES-L3-Gs
Produksi Poliklonal Antibodi
Immunoblotting

20
21

21
23
24
25
27
27
29
31
32

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

367
37
37

DAFTAR PUSTAKA

38

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

43
55

DAFTAR TABEL
Prevalensi dan intensitas L3 Gnathostoma pada belut rawa (November 2011 – Juli
2012) dari Palembang
22

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Larva Gnathostoma
Gnathostoma spinigerum dewasa
Siklus hidup G. spinigerum
Gejala klinis gnathostomiasis manusia
Struktur IgG mamalia
Kista L3 Gnathostoma pada belut rawa
Morfologi L3 Gnathostoma pada belut rawa
Hasil elektroforesis PCR L3 Gnathostoma
Profil protein antigen ES L3 Gnathostoma
Hasi AGPT IgG serum kelinci
Hasil immunoblotting
Hasil immunoblotting IgG anti ES-L3-Gs dengan ES-Ag Spiroksis
Hipotetikal hasil SDS-PAGE dan immunoblotting

5
6
7
8
14
21
22
23
24
25
26
27
32

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Metode Bradford (1976)
Metode SDS-PAGE (Laemmli 1970)
Komposisi reagen SDS-PAGE
Data elektrogram sekuensing Gnathostoma
Hasil analisis BLAST sekuensing
Alignment sekuensing Gnathostoma

43
45
46
47
51
53

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gnathostomaspp. merupakan nematoda usus pada karnivora yang dapat
menyebabkan gnathostomiasis pada manusia. Manusia merupakan inang paratenik
dan dapat terinfeksi karena memakan inang antara yang mengandung kista larva
tahap 3 (L3) dari Gnathostoma sp., dan tidak dimasak dengan
baik(Saksirisampant et al.2001).Jenis-jenis hewan yang berpotensi sebagai inang
antara tersebut antara lain ikan air tawar, katak, unggas dan ular(Saksirisampant et
al.2001).Spesies dominan penyebab gnathostomiasis pada manusia adalah
Gnathostoma spinigerum, dengan inang antaranya antara lain belut rawa
(Monopterus alba). Hal ini terbukti dari hasil identifikasi bahwa hampir semua
Gnathostoma yang ditemukan pada Gnathostomiasis pada manusia umumnya
adalah G. Spinigerum. Parasit inimemiliki penyebaran di wilayah beriklim tropis
basah, khususnya Asia Tenggara seperti Thailand dan Vietnam yang memiliki
tingkat prevalensi gnathostomiasis pada manusia tertinggi, karena kebiasaan
mereka dalam mengkonsumsi ikan secara mentah.
Parasit ini telah menyebabkan kerugian ekonomis yang cukup besar pada
usaha ekspor ikan belut Indonesia ke Cina. Kantor berita Xin Hua melaporkan
bahwa pada tanggal 17 Mei 2011 Jawatan Pemeriksaan dan Karantina Barang
Ekspor dan Impor Shanghai Tiongkok mengumumkan keberadaan Gnathostoma
dalam belut yang diimpor dari Indonesia dan Filipina. Hasil analisis
laboratoriummenunjukkan semua Gnathostoma yang ditemukan adalah patogenik
terhadap manusia. Bandar Shanghai kini mengusulkan untukmenghentikan impor
belut dari Indonesia.Ditemukannya Gnathostomasp. pada belut Indonesia tidak
hanya membuat kerugian ekonomis, tetapi juga menimbulkan potensi adanya
penyakit gnathostomiasispada manusia di Indonesia.
Kerugian ekonomis dan potensi timbulnya gnathostomiasis dapat ditekan
melalui program pengendalian parasit baik pada inang antara maupun inang
definitif. Oleh karenanya, keberhasilan program pengendalian harus ditunjang
oleh metode diagnosis yang akurat. Metode diagnosis yang dilakukan sampai saat
ini terhadap inang definitif, inang antara terutama belut dan ikan air tawar lainnya,
dan manusia sebagai inang paratenik umumnya menggunakan cara
konvensional.Diagnosis konvensional dilakukan dengan menemukan telur cacing
pada feses inang definitif, dan penemuan kista L3 Gnathostomasp.pada jaringan
tubuh, seperti organ dalam, daging, dan lain-lain dari inang antara khususnya ikan
dan inang paratenik. Proses pembedahan diperlukan untuk menemukan bentukan
kista berisi L3 maupun L3 yang bermigrasi dari cacing ini. Metode ini
mempunyai sensitifitas yang rendah karena sulit untuk menemukan bentukan dari
cacing ini. Diagnosis klinis gnathostomiasis pada manusia jarang dilakukan, dan
keakuratan diagnosis ini sangat rendah, karena gambaran gnathostomiasis sangat
sulit dibedakan dengan parasitosis lainnya seperti Angiostrongyliasis,
trichinellosis dan larva migran kutaneus yang disebabkan oleh parasit
lain(Chaicumpa 2010).
Pengembangan metode diagnosis gnathostomiasis berbasis immunologi dan
molekuler dengan akurasi, sensitifitas dan spesifitas tinggi diperlukan baik untuk

2
diagnosa dini maupun konfirmatori. Pengujian berbasis antigen untuk diagnosis
gnathostomiasis pada inang definitif, inang antara maupun manusia menggunakan
antibodi spesifik terhadap parasit ini sebagai reagen penangkap antigen belum
banyak dikembangkan di dunia dan bahkan belum dilakukan di Indonesia. Hal ini
disebabkan kurangnya konsentrasi protein antigen G. spinigerum pada inang,
karena umumnya jumlah spesimen L3 G. spinigerum yang masuk ke dalam tubuh
inang sangat sedikit. Beberapa pengujian imunologis berdasarkan deteksi antibodi
telah dikembangkan di Thailand untuk diagnosis diferensial gnathostomiasis pada
manusia dengan penyakit parasitik lainnya. Deteksi antibodi ini merupakan
diagnosis gnathostomiasis presumtif yang sensitif, tetapi kebanyakan pengujian
memberikan hasil spesifitas yang rendah terhadap komponen antigenik umum
yang dimiliki oleh Gnathostoma spp. dengan parasit lain, atau sering mengalami
reaksi silang dengan antigen yang dimiliki oleh parasitik lain. Untuk itu, protein
antigen spesifik dari Gnathostoma perlu dicari. Antigen dalam bentuk murni atau
protein rekombinan parasit dari antigenisitas yang sama dengan bagian antigen
alami dapat meningkatkan spesifisitas diagnosis gnathostomiasis berbasiskan
pengujian antibodi.
Sumber antigen untuk imunodiagnostik nematoda yang paling banyak
digunakan adalah ekstrak jaringan cacing (somatik). Produk Ekskretori-Sekretrori
(ES) mulai banyak digunakan semenjak dua dekade terakhir (Saksirisampant et al.
2001). Protein antigen ES mempunyai sifat yang lebih dapat dikenali oleh sistem
tanggap kebal daripada antigen somatik dan antigen permukaan (Chaicumpa
2010).

Perumusan Masalah
Karakterisasi protein antigen produk ES L3 G. spinigerum yang spesifik,
yang berasal dari produk Ekskretori-Sekretori (ES) larva diperlukan untuk
pengembangan metode diagnosis G. spinigerum. Kandidat protein antigen ES
yang ditemukan diharapkan dapat dikembangkan sebagai metode diagnosis yang
lebih cepat dan akurat pada inang antara dan manusia.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi protein antigen spesifik
produk ekskretori sekretori Larva 3 Gnathostoma spinigerum (ES-L3-Gs) melalui
reaksi antara antigen ES-L3-Gs dengan antibodi poliklonal IgG kelinci anti ESL3-Gsmenggunakann teknik immunoblotting.

Manfaat Penelitian
Hasil karakterisasi protein antigen produk ES L3 G. spinigerum untuk
jangka pendek diharapkan dapat digunakan sebagai protein antigen produk ES L3
G. spinigerum spesifik untuk mendeteksi keberadaan dari antibodi anti G.
spinigerum. Manfaat jangka panjang dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi dasar pencarian komponen sekuens peptida protein G. spinigerum yang

3
spesifik. Lebih jauh lagi hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan
metode
immunodiagnostik
maupun
molekuler
untuk
mendiagnosis
gnathostomiasis pada inang definitif, inang antara, khususnya ikan, dan manusia
sebagai inang paratenik.

4

Halaman ini sengaja dikosongkan

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Gnathostoma spinigerum
Gnathostoma spp. merupakan nematoda parasitik intestinal pada hewan
karnivora dan gnathostomiasis jaringan pada manusia.Salah satu spesies yang
biasa ditemukan pada lingkungan tropis basah, khususnya Asia Tenggara, adalah
Gnathostoma spinigerum.Berdasarkan taksonomi G. spinigerum dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Nematoda
: Secernentea
: Spirurida
: Gnathostomatidae
: Gnathostoma
: Gnathostoma spinigerum

Telur Gnathostoma berbentuk oval dan memiliki sumbat lendir atau kutub
pada salah satu ujung cangkang dan tidak terembrionisasi. Ukuran telur 65-70 µm
x 38-40 µm. Telur diproduksi oleh cacing dewasa dalam saluran pencernaan
inang definitif, dan dikeluarkan bersama feses inang (Maleewong et al. 1995).
Larva 3 G. spinigerum berwarna transparan dan berukuran 2-16 mm.
Bentuk kepala seperti bola lampu, dikelilingi oleh empat barisan kait melintang
yang berfungsi untuk membantu masuk ke dalam jaringan inang dan memiliki
sepasang bibir di ujungnya. Empat baris kait sudah jelas terlihat dalam tahap larva
kedua. Duri kutikula kecil terdapat di seluruh tubuh. Bagian dalam L3 memiliki
dua jenis papilla – sebuah papilla serviks pada bagian tubuh utama dan dua papilla
labial pada bola sefalik. Pada bola sefalik juga terdapat empat organ seperti
kantung yang berfungsi untuk bergerak dan berkontraksi, serta membuang cairan
ke sekitarnya. Saluran pencernaan Gnathostoma tidak lengkap, hanya terdiri dari
sebuah esophagus, usus dan anus (Maleewong et al. 1995).
Gnathostoma spinigerum dewasa berbentuk silinder, berwarna merah
kecoklatan.Kepala berbentuk bulat seperti bola lampu, dan terdapat sepasang bibir
diujungnya. Daerah sefalik dikelilingi 4 - 8 barisan kait melintang. Seluruh tubuh
ditutupi duri halus, semakin mendekati posterior jarak antara duri semakin

Gambar 1 Larva Gnathostoma (BUSKIPM 2011)
A. Kista; B. Larva 3 Gnathostoma sp

6
renggang. Duri kecil banyak ditemukan pada ujung posterior. Lapisan kutikula
terdiri dari tiga lapisan luar yang terbuat dari kolagen dan senyawa lainnya.
Lapisan kutikula melindungi nematoda sehingga mereka mampu menginvasi
saluran pencernaan hewan. Pada bagian posterior kepala terdapat empat kantung
kelenjar servikal (glandural cervical) yang menempel dekat esophagus, masingmasing kantung servikal terhubung melalui saluran pusat. Nematoda ini memiliki
otot longitudinal sepanjang dinding tubuh. Tali syaraf dorsal, ventral dan
longitudinal terhubung ke otot utama tubuh. Sistem ekskretori tubular terdiri dari
tiga saluran yang tersusun membentuk huruf “H” (Maleewong et al. 1995).
Ukuran cacing jantan lebih pendek dari cacing betina. Panjang cacing jantan
11–25 mm dan panjang cacing betina 25–54 mm dengan lebar 0.43–2.13 mm.
Cacing jantan memiliki delapan papilla kaudal pada ujung posterior, dan terdapat
spikula tumpul berukuran panjang ±1.1 mm dengan lebar ±0.4 mm. Cacing
betina hanya memiliki dua papilla besar di ujung posterior yang berbentuk bulat
(Robert et al. 2000).
Siklus Hidup
Gnathostoma spinigerum memiliki siklus hidup multi-inang. Cacing dewasa
membentuk tumor pada dinding lambung inang definitif dan melepaskan telur
yang tidak terembrionasi ke dalam saluran pencernaan inang. Telur yang
dikeluarkan bersama tinja inang akan terembrionasi dan menetas seminggu
kemudian dalam air dan berkembang menjadi larva tahap pertama (L1). L1 yang
termakan inang antara pertama yaitu krustasea genus Cyclops, seperti
Mesocyclops leuckarti, Eucyclops agilis, Cyclops varicans, dan Thermocyclops sp.
(Daengsvang 1980), akan menembus dinding lambung Cyclops dan berkembang
menjadi larva tahap kedua (L2) dan bahkan L3 awal. L2 pada kopepoda, apabila
tertelan oleh inang antara keduamaka akan menembus dinding lambung,
kemudian bermigrasi ke jaringan dan berkembang menjadi L3. Larva ini
kemudian mengkista dalam jaringan hati, ginjal dan otot daging inang.Ikan air
tawar, unggas, katak, ular dan mamalia merupakan inang antara kedua.
Kista dalam jaringan inang antara kedua apabila termakan oleh inang
definitif, maka larva akan melepaskan diri dari kista dan menembus dinding
lambung. Larva yang keluar selanjutnya bermigrasi ke jaringan ikat dan otot.
Setelah empat minggu sampai tiga bulan larva kembali ke dinding lambung

Gambar 2 Gnathostoma spinigerum dewasa
(Scholtz 1990)

7
sebagai cacing dewasa. Cacing akan membentuk tumor dan terus tumbuh menjadi
dewasa selama 6–8 bulan dan akan berkopulasi. Cacing betina mulai
mengeluarkan telur yang telah dibuahi melalui kotoran inang 8–12 bulan setelah
kista tertelan. Telur terbawa dalam kotoran inang. Kucing, anjing, harimau, macan
tutul, singa, musang, dan berang-berang merupakan inang definitif cacing ini
(Rusnak and Lucey 1993). Manusia bukan inang definitif dari cacing ini, maka
larva tahap ketiga yang tertelan oleh manusia tidak dapat berkembang lebih lanjut,
tetapi dapat menyebabkan berbagai kerusakan pada jaringan, tergantung di mana
larva mengembara dalam tubuh. Skema penularan pada manusia dan hewan secara
rinci diuraikan pada Gambar 3.
Gnathostomiasis
Gnatostomiasis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh cacing
Gnathostoma spp. Gnathostomiasis pada inang definitif bisa berakibat serius,
bahkan fatal hingga menyebabkan kematian. Penyakit Gnathostomiasis pertama
pada hewan dideskripsikan oleh Sir Richard Owen di London ketika memeriksa
perut harimau muda yang mati di Kebun Binatang London dengan aorta pecah
(Rusnak dan Lucey 1993).
Larva tahap tiga cacing ini lebih sering diteliti, karena bersifat patogen yang
menyebabkan gnathostomiasis pada manusia atau sering dikenal dengan berbagai
nama lain seperti creeping eruption, larva migrans profundus, dan larva migrans
spiruroid (Rusnak dan Lucey 1993). Larva 3 (L3) Gnathostoma spinigerum yang
tertelan oleh manusia akan bermigrasi ke dalam jaringan tubuh dan menyebabkan
penyakit gnathostomiasis kutaneus dan visceral. Gnathostomiasis kutaneus atau
sering disebut sebagai larva migran kutaneus dapat berlangsung selama bertahun-

Gambar 3 Siklus hidup G. spinigerum (CDC 2009)

8

Gambar 4 Gejala klinis gnathostomiasis manusia
(Parasitological Center for Gnathostomiasis 2001)
A: Gnathostomiasis subkutan, tanda panah menunjukkan
gejala creeping eruptiondi bagian bawah kulit perut; B:
gnathostomiasis okular, terdapat larva tiga Gnathostoma

tahun. Gnathostomiasis visceral, antara lain migrasi parasit pada sistem syaraf
pusat atau mata, dapat mengakibatkan hemoragi intrakranial, meningo-ensepalitis
eosinofilik, atau bahkan kebutaan (Miyazaki, 1960; Chitanondh, 1967;
Daengsvang, 1986).Kasus infestasi L3 Gnathostoma pada manusia ditemukan
pertama kali oleh Levinson pada wanita Thailand tahun 1889.Infeksi
gnathostomiasis pada manusia terjadi setelah manusia menelan inang antara
kedua, yaitu ikan, unggas, katak atau babi mentah atau kurang dimasak yang
terinfeksi larva tahap ketiga.
Larva tiga G. spinigerum bermigrasi dan masuk ke jaringan lain tanpa
mampu berkembang menjadi dewasa. Larva yang bermigrasi dapat membentuk
kista pada berbagai jaringan. Pada inang antara kedua, terutama ikan, umumnya
kista L3 ditemukan pada hati, daging, limpa, empedu dan ginjal. Gejala klinis
Gnathostomiasis pada inang antara kedua, terutama belut, yang terkena L3
Gnathostoma sangat sulit dibedakan dengan inang yang sehat. Umumnya ikan
yang terinfeksi oleh parasit cacing akan menampakkan gejala klinis berupa tubuh
yang kurus dan intensitas warna daging yang berubah kuning, seperti halnya ikan
lele yang terinfeksi cacing cestoda Lytocestus sp. (Ahmad and Sanaullah 1977).
Pada ikan belut yang terinfeksi Gnathostoma, gejala klinis tersebut tidak dapat
teramati (Sugaroon and Wiwanitkit 2003). Hal inilah yang menyebabkan potensi
tinggi gnathostomiasis pada manusia yang sering mengkonsumsi belut mentah.
Beberapa ahli membedakan gnathostomiasis pada manusia sebagai
gnathostomiasis kutaneus dan visceral. Migrasi dalam jaringan subkutan atau
sering disebut gnathostomiasis kutaneus menyebabkan intermiten, migran,
kesakitan, pembengkakan pruritus. Gnathostomiasis kutaneus sering disebut
sebagai larva migrans cutaneus karena efek yang disebabkannya (Crowley and
Kim 1995).
Migrasi ke jaringan lain (larva migrans visceral), atau sering disebut
sebagai gnathostomiasis visceral dapat terjadi pada organ pencernaan
(gastrointestinal), organ pernafasan (paru-paru), saluran genitourinari, telinga,
hidung, tenggorokan, mata (intraokuler), dan sistem saraf pusat (Rusnak and
Lucey 1993). Transmisi gnathostomiasis prenatal juga mungkin terjadi dan dapat

9
menyebabkan cacat lahir. Masa inkubasi gnathostomiasisselama 3-4 minggu sejak
larva mulai bermigrasi melalui jaringan subkutan tubuh. Pasien dapat mengalami
masalah yang serius jika tidak diobati.
Epidemiologi Gnathostomiasis
Terdapat 13 spesies Gnathostoma yang telah diidentifikasi dengan baik.
Empat Gnathostoma yaitu G. spinigerum,G. hispidium, G. nipponicum, dan G.
doloresi telah terbukti mampu menyebabkan gnathostomiasis pada manusia
(Nawa et al. 1989; Akahane et al. 1994 dan Ando et al. 1988). Spesies yang
paling dominan sebagai penyebab gnathostomiasis manusia pada daerah endemik
adalah G. spinigerum.
Penyakit ini umumnya terjadi di Thailand dan telah dilaporkan di berbagai
Negara lain seperti Jepang, Cina, Malaysia, Indonesia, Filipina, Laos, Kamboja,
Vietnam, Burma, India, Sri Lanka, Israel, Australia, Meksiko, Ekuador dan pulau
Pasifik lainnya (Rojekittikum et al. 1989; Ando et al. 1988, Akahane et al. 1994).
Penyakit Gnathostomiasis di Indonesia pertama kali dilaporkan tahun 1979 di
Jakarta pada rahim seorang perempuan (Hadidjaya et al. 1979). Prevalensi
gnathostomiasis pada manusia sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi
dari tahun 1961 – 2003 telah di laporkan lebih dari 1965 kasus gnathostomiasis
pada manusia di Thailand (Lertanekawattana et al. 2004). Kebanyakan penyakit
gnathostomiasis pada manusia meningkat disebabkan karena pola konsumsi
berbagai jenis ikan yang tidak dimasak dengan baik.
Diagnosis Gnathostomiasis
Diagnosis kecacingan karena gnathostomiasis pada inang antara maupun
inang definitif dapat dilakukan post mortem maupun pada inang hidup.
Pemeriksaan post mortem dapat dilakukan dengan melakukan nekropsi atau
pembedahan inang antara maupun inang definitif untuk mencari keberadaan larva
maupun cacing dewasa dan kemudian mengidentifikasinya di bawah mikroskop.
Sedangkan diagnosis pada inang hidup dapat dilakukan dengan melihat gambaran
klinis dan patoklinis inang maupun dengan pemeriksaan secara laboratoris.
1)

Pemeriksaan secara klinis

Penyakit global Gnathostomiasis tidak dapat diperkirakan secara pasti,
karena penyakit ini memiliki kesamaan gejala klinis pada inang dengan penyakit
yang disebabkan oleh parasit lain, sehingga sering terjadi salah diagnosis.
Diagnosis klinis pada inang definitif dilakukan berdasarkan observasi terhadap
inang, tetapi umumnya diagnosis klinis dapat diketahui ketika sudah akut. Bentuk
akut pada karnivora dapat dikelirukan dengan penyakit lain, karena adanya
pengeluaran darah dari mulut dan anus, kejadian fatal dapat menyebabkan
kematian dikarenakan pecahnya pembuluh darah aorta pada perut. Bentuk kronik
berupa anemia pada Gnathostomiasis dapat dikelirukan keliru dengan anemia oleh
penyebab yang lain (Chaicumpa 2010).

10
Diagnosis secara klinis tidak dapat dilakukan dengan pasti pada inang antara
kedua. Umumnya inang antara kedua, terutama, ikan tidak memperlihatkan gejala
klinis yang spesifik. Peningkatan eosinofil pada sel darah putih total tidak mampu
membedakan dengan penyakit yang disebabkan oleh penyakit cacing lainnya.
Gejala klinis gnathostomiasis pada manusia dapat berkembang secepatnya
dalam 24 jam setelah L3 cacing tertelan. Manifestasi klinis gnathostomiasis pada
manusia disebabkan oleh migrasi dari L3 cacing. Eosinofilia sering berkembang
pada awal penetrasi larva dari dinding lambung atau usus, tetapi tidak
memberikan hasil spesifik mengenai penyebab infeksi. Meningitis eosinofilik
karena gnathostomiasis sangat sulit dibedakan dari parasitosis lainnya seperti
Angiostrongyliasis. Adanya migratory edema atau creeping eruption merupakan
tanda-tanda visual keberadaan parasit. Keakuratan diagnosis klinis sangat
bergantung dari ketelitian dan pengalaman analis, karena gambaran
gnathostomiasis sangat sulit dibedakan dengan parasitosis lainnya seperti
Angiostrongyliasis, trichinellosis dan larva migran kutaneus yang disebabkan oleh
parasit lain seperti cacing jangkar atau infeksi cacing paru-paru, Paragonimus
heterotremus (Intapan et al. 1999). Sejarah perjalanan atau kebiasaan makan dapat
memberikan informasi penting sebagai pemanjang diagnosis. Teknik pemeriksaan
seperti magnetic resonance imaging (MRI) dapat digunakan untuk mendukung
diagnosis klinis (Chaicumpa 2010).
2)

Pemeriksaan secara laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dapat dibedakan dalam beberapa metode, antara
lain pemeriksaan mikroskopis, molekuler dan berdasarkan reaksi antigen-antibodi.
A
Pemeriksaan secara mikroskopis
Diagnosis definitif G. spinigerum secara konvensional didasarkan pada
penemuan telur cacing yang dikeluarkan di dalam feses inang. Teknik
konvensional dengan pulasan sederhana atau metode konsentrasi antara lain
pengendapan (sedimentasi), pengapungan (floating) dan saringan bertingkat dapat
dilakukan untuk menemukan telur cacing dengan perhitungan jumlah telur dalam
tiap gram feses pada pemeriksaan feses, cairan duodenum dan cairan empedu.
Isolasi dan identifikasi L3 maupun dewasa dari cacing dalam jaringan inang
merupakan diagnosa definitif parasit G. spinigerum.Pada inang antara kedua,
khususnya ikan, isolasi dan identifikasi L3 cacing ini harus dilakukan melalui
pembedahan dan pengamatan kista di bawah mikroskop (Chaicumpa 2010).
Diagnosis definitif gnathostomiasis pada manusia dilakukan dengan mengisolasi
larva, seperti jika parasit muncul melalui kulit, bola mata atau setelah operasi
pembedahan dari jaringan seperti otak (Chaicumpa 2010).
B
Pemeriksaan secara molekuler
Pengujian berbasis molekuler, seperti Polymerasi Chain Reaction (PCR)
dan hibridisasi DNA, tidak tersedia untuk diagnosis gnathostomiasis, baik untuk
inang definitif, inang antara maupun manusia sebagai inang paratenik.
Perkembangan diagnosis gnathostomiasis secara molekuler terus dilakukan baik
melalui daerah ribosomal maupun mitokondria dari L3, tetapi diagnosis ini hanya
dapat dilakukan sebagai peneguhan atau konfirmasi terhadap spesies L3 yang

11
ditemukan. Pemeriksaan secara molekuler untuk diagnosis penyakit ini tidak
pernah dilakukan, karena tidak terdapat spesimen yang mengandung parasit atau
DNA parasit dalam jumlah yang memadai. Gnathostomiasis pada manusia
biasanya disebabkan oleh infeksi larva tunggal dan sulit untuk memastikan
daerah anatomikal partikular dalam inangnya (Chaicumpa 2010).
C
Pemeriksaan berdasarkan reaksi antigen-antibodi
Pengujian berbasis antigen untuk diagnosis gnathostomiasis baik pada inang
definitif, inang antara maupun manusia dengan menggunakan antibodi spesifik
terhadap parasit sebagai reagen penangkap antigen jarang dilakukan karena
kurangnya spesimen yang secara klinis mengandung jumlah antigen parasit yang
memadai. Beberapa penelitian yang melaporkan diagnosis berbasis antigen untuk
pemeriksaan gnathostomiasis. Manusia yang terinfeksi Gnathostoma spp. akan
mengembangkan antibodi dalam serum untuk merespon antigen parasit. Deteksi
antibodi ini merupakan diagnosis gnathostomiasis presumtif yang sensitif.
Beberapa pengujian secara imunologi telah dikembangkanuntuk diagnosis
diferensial gnathostomiasis seperti uji presipitasi, radioimmunoassay, ouchterlony
gel diffusion, IFAT, indirect hemaglutinasi, reaksi microprecipitation,
immunoblots, dan ELISA (Anantaphruti 2002). Sampai saat ini, belum tersedia
pengujian secara imunologis maupun molekuler berupa kit komersial, baik untuk
gnathostomiasis pada manusia maupun pada inang antara dan inang definitif.
Kebanyakan metode serologis menggunakan ekstrak somatik cacing dewasa
maupun larva G. spinigerum atau G. doloresi sebagai antigen untuk
mendiagnosis. Beberapa studi melaporkan sentitifitas diagnostik tinggi, 80 –
100%, dibandingkan dengan diagnosis klinis dan/atau diagnosis konfirmatori
parasit. Kebanyakan pengujian ini memberikan hasil spesifitas rendah terhadap
komponen antigenik umum yang dimiliki oleh Gnathostoma spp. dengan parasit
lain, yaitu hanya mencapai 37%. Respon imun dalam serum individu (terutama
pada daerah endemik), dihasilkan dari paparan sebelumnya dari beberapa parasit
lain, berikatan dengan satu atau lebih komponen dalam ekstrak Gnathostoma
somatik sehingga menghasilkan positif palsu pada pengujian berbasis antibodi
(Chaicumpa 2010). Antigen dalam bentuk murni (atau cukup murni untuk
mengeliminasi komponen reaksi silang) atau protein rekombinan parasit dari
antigenisitas yang sama dengan bagian antigen alami dapat meningkatkan
spesifisitas diagnosis gnathostimiasis berbasiskan pengujian antibodi.

Antigen Ekskretori dan Sekretori (ES)
Antigen (antibody generating substances = Ag) adalah suatu subtansi yang
menghasilkan respon tanggap kebal (imunogenitas) yang dapat dideteksi, baik
respon berupa respon imun seluler, respon imun humoral atau keduanya.Antigen
dapat berupa polisakarida, protein, lemak, asam inti atau lipopolisakarida maupun
lipoprotein. Protein merupakan antigen yang terbaik karena ukuran dan
kompleksitas strukturnya. Hampir semua protein dengan berat lebih dari 8000
dalton bersifat antigenik. Pembentukan sifat antigenik tergantung kepada
pengulangan kelompok molekul secara regular, yang disebut epitop (antigenic
determinant) pada permukaan molekul besar (Guyton and Hall 2007). Epitop

12
adalah bagian antigen yang berkombinasi dengan produk atau hasil respon imun
spesifik.
Antigen banyak digunakan sebagai reagen penangkap antibodi pada reaksi
antigen – antibodi untuk teknik imunodiagnostik pemeriksaan penyakit
kecacingan. Antigen juga digunakan sebagai reagen untuk merangsangtimbulnya
antibodi pada berbagai hewan coba, sehingga antibodi yang diperoleh dapat
digunakan untuk menangkap keberadaan antigen yang bersirkulasi pada spesimen
yang terinfeksi penyakit kecacingan pada teknik pemeriksaan imunodiagnostik.
Sumber yang banyak digunakan sebagai antigen untuk imunodiagnostik nematoda
adalah ekstrak kasar jaringan cacing atau larva cacing yang dikenal dengan
antigen somatik dan antigen permukaan. Antigen somatik hanya dapat dikenali
oleh inangnya jika cacing tersebut telah mati atau dihancurkan, sedangkan antigen
permukaan selalu berubah sejalan dengan perkembangan cacing yang mengalami
moulting sepanjang hidupnya sehingga menyulitkan inang dalam memberikan
respon tanggap kebal. Antigen somatik memiliki komponen antigenik yang sangat
kompleks, dan beberapa komponen antigenik yang dihasilkan oleh ekstrak
somatik dari spesies tertentu juga dapat dihasilkan oleh beberapa spesies lain,
sehingga sering memberikan hasil positif palsu ketika digunakan dalam
pemeriksaan secara imunodiagnostik.
Teknik imunodiagnostik menggunakan antigen somatik untuk pemeriksaan
Gnathostomiasis pada manusia juga mulai digunakan. Beberapa studi melaporkan
sentitifitas diagnostik tinggi dihasilkan dari immunodiagnostik terhadap antibodi
inang yang terinfeksi Gnathostoma menggunakan antigen somatik dibandingkan
dengan diagnosis klinis dan/atau diagnosis konfirmatori parasit, tetapi kebanyakan
pengujian memberikan hasil spesifitas yang rendah. Pencarian terhadap antigen
yang lebih spesifik sangatlah diperlukan untuk diagnosis akurat.
Antigen ekskretori dan sekretori (ES) mempunyai sifat yang lebih dapat
dikenali oleh sistem tanggap kebal daripada antigen somatik dan antigen
permukaan, sehingga diduga lebih protektif untuk memicu respon tanggap kebal
(Chaicumpa 2010). Antigen ES mengandung glikoprotein yang menutupi kulit
cacing, juga mengandung sebagian kecil enzim metabolisme yang dilepaskan
secara konstan sehingga mempermudah migrasi ke jaringan dalam inang (Bird
1991). L3 Gnathostoma melepaskan produk ES pada media kultur hari ke 2
sampai 14, dengan puncak tertinggi pada hari ke empat (Anantaphruti et al.2005).
Jumlah komponen protein produk Ekskretori-Sekretori lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah komponen antigen somatikdan proteinantigen ES mempunyai sifat
yang lebih dapat dikenali oleh sistem tanggap kebal daripada antigen somatik dan
antigen permukaan (Chaicumpa 2010). Sehingga karakterisasi protein produk ES
perlu dilakukan untuk pengembangan metode imunodiagnostik Gnathostomiasis
pada inang antara mapun inang definitif.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa ekstrak somatik L3 G. spinigerum
mengandung lebih dari 40 polipeptida dalam analisa gel dua dimensi. Hasil
analisa immunoblotting, empat komponen sangat dikenali oleh antisera IgE pasien
yang memiliki Gnathostoma berhasil diidentifikasi. Satu pita antigen memberikan
reaksi konsisten dengan antisera pasien Gnathostoma dengan spesifitas pita
protein 99%. Pita protein lain mengalami reaksi silang dengan antibodi IgE
dengan infeksi parasitik intestinal lainnya (Soesatyo et al. 1987). Hasil analisa
produk ESL3 Gnathostoma setidaknya memiliki 4 pita protein. Satu pita protein

13
spesifik dengan berat molekul 24 kDa memberikan reaksi konsisten dengan
antisera IgE dari infeksi ini. Literatur yang ada juga menunjukkan bahwa di antara
komponen yang dilepaskan cacing, imunogen utama hadir dalam material ES
(Saksirisampant et al. 2001).
Analisis kombinasi gel elektroforesis dua dimensi dipadukan dengan
LC/MS-MS mengindikasikan bahwa G. spinigerum memiliki beberapa protein di
antaranya cyclophilin, hypothetical protein, actin, matrix metalloproteinase-like
protein dan intermediate filament protein B. Matrix metalloproteinase-like protein
menempati jumlah yang paling banyak ditemukan baik dalam antigen somatik
maupun produk ES G. spinigerum (Laummaunwai et al. 2008).
Antibodi Poliklonal
Antibodi (Ab) adalah molekul protein kompleks yang dihasilkan oleh semua
spesies hewan dari sebuah imunogen dan merupakan bagian dari sistem tanggap
kebal yang akan bereaksi terhadap substansi asing atau antigen. Sistem imun
normal dapat membedakan antara dirinya sendiri dengan molekul asing sehingga
hanya molekul asinglah yang imunogenik. Imunogenitas dari suatu imunogen
bergantung dari antigennya sendiri, faktor biologis hewan atau manusia yang
menerima antigen tersebut dan cara masuk serta kepekaan dari metode yang
digunakan untuk mendeteksi respon imunnya. Secara umum semakin besar
molekul maka akan semakin imunogenik, sehingga akan mampu menggertak sel
limfosit. Sel limfosit T sitotoksik berperan dalam menghancurkan antigen
intraseluler, sedangkan sel limfosit T helper berperan untuk membantu sel
limfosit B. Antigen akan mengaktifasi sel limfosit T helper sehingga
berdiferensasi menjadi limfokin. Limfokin berinteraksi dengan sel limfosit B, dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Selanjutnya sel plasma
tersebut akan menghasilkan antibodi (Mayer 2009).
Molekul antibodi berada dalam darah, interestial atau cairan tubuh lainnya
dan akan berikatan dengan antigen spesifik atau epitop melalui antigen binding
sites. Molekul antibodi dapat mengenali sebagian kecil antigen partikular atau
yang disebut epitop (antigen determinan), melalui interaksi ikatan non-kovalen
antara antigen binding sites dengan epitop tersebut. Aktivitas antibodi dalam
menangkap antigen tertentu dari suatu patogen dikenal sebagai netralisasi (Mayer
2009), sehingga antibodi sering digunakan sebagai reagensia untuk mengukur,
mendeteksi dan memurnikan molekul biologis bahkan untuk pengobatan.
Antibodi poliklonal dihasilkan melalui imunisasi secara sengaja terhadap
hewan dengan suatu immunogen spesifik. Antibodi poliklonal memiliki
reaktivitas multipel yaitu dapat menangkap sejumlah epitop yang berbeda,
sehingga dapat menimbulkan reaksi silang. Reaksi silang dapat terjadi karena
epitop yang sama dimiliki oleh antigen yang berbeda atau epitop yang secara
struktur mirip atau memiliki keserupaan dengan epitop pembuat peka (priming
epitop) yang dikenali oleh antibodi (Smith 1995).
Antibodi terdiri dari beberapa kelas unit dasar, yang secara umum dikenal
dengan immunoglobulin (Ig). Secara umum Ig mempunyai struktur dasar yang
sama yaitu terdiri dari empat rantai polipeptida (dua rantai ringan yang identik dan
dua rantai berat yang identik) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida yang
terdapat pada bagian engsel (hinge region). Mamalia memiliki lima kelas Ig yaitu

14

Gambar 5 Struktur IgG mamalia (University of Glasgow 2002)
Fab: fragment antigen binding, Fc: fragment cristalisable

IgG, IgM, IgE, IgA and IgD IgG merupakan immunoglobulin yang paling
dominan dalam serum mamalia. Serum mengandung sekitar 20 mg/ml
immunoglobulin total, meskipun konsentrasi ini dapat bervariasi di antara
individual. IgG memiliki presentasi sekitar 80% dari antibodi dalam serum
dibandingkan dengan IgM (antibodi pertama yang muncul dalam respon primer),
IgA, IgE dan IgD. IgG diproduksi selama respon sekunder terhadap antigen,
ukurannya yang kecil membuat IgG terdistribusi luas dalam kompartemen ekstra
vaskular. Fungsi utama dari IgG adalah untuk mengikat antigen tertentu dari suatu
patogen dan menetralisasi efek patogen tersebut. Sifat dan fungsi IgG tersebut
membuat IgG umum digunakan dalam immunodiagnostik.
Struktur IgG memiliki empat rantai polipeptida yang terbagi atas dua rantai
ringan dan dua rantai berat yang semuanya dihubungkan oleh ikatan disulfida
pada bagian engsel (hinge region). Rantai ringan memiliki satu bagian yang dapat
berubah (VL) dan satu bagian yang konstan (CL). Rantai berat memiliki satu
bagian yang dapat berubah atau variabel (VH) dan 3 atau 4 bagian yang konstan
(CH1, CH2, CH3 dan CH4). Bagian variable (VH dan VL) berfungsi khusus untuk
melekatkan antigen, sedangkan bagian konstan menentukan sifat biologis IgG
seperti penyebaran IgG dalam jaringan, pelekatan IgG pada struktur jaringan
spesifik, pelekatan pada kompleks komplemen, serta kemudahan dalam melewati
membran (Guyton and Hall 2007).

15

3 METODE
Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium yang bersifat deskriptif
komparatif. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2011 sampai dengan
November 2012. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Helmintologi, Bagian
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) FKH IPB dan di Laboratorium
Parasitologi, Balai Uji Standar Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan (BUSKIPM) Jakarta. Penelitian dilakukan melalui
empat tahapan yaitu: 1) Isolasi dan identifikasi morfologi dan molekuler L3 G.
spinigerum, 2) Produksi dan karakterisasi antigen ekskretori-sekretori (ES) L3 G.
spinigerum, 3) Produksi poliklonal antibodi, dan 4) Uji immunoblotting.

Bahan
Ikan belut rawa (Monopterus alba), kelinci ras white New Zealand, obat
cacing, Ivomex®, NaCl fisiologis, phosphate buffer saline (PBS), DNEasy®
blood and tissue kit extraction (Qiagen, Singapura), etanol, primerpada daerah
ribosomal ITS1, yaituLim1657 (f), 5’-CTGCCCTTTGTACACACCG-3’
(Almeyda-Artigas et al. 2000) dan 58S2 (r), 5’-TCTTTATGCTCAATGTCTTCGC-3’ (Ando et al. 2006),GoTaq®Green Master Mix 2X (Promega, USA),
agarose, Sybr safe, TAE buffer, DNA ladder, BigDye®Terminator Cycle
Sequencing (ABI, USA),EDTA, natrium asetat, RPMI 1640 (GIBCO, USA),
penicillin G,streptomycin, leupeptin-antipain,membran nitroselulosa (0.45 µm,
protran Schleicher & Schuell Bioscience GmbH, Jerman),ammonium sulfat,
Montage® Antibody Purification Kit and Spin Column with PROSEP®-A Media
(Merck, Jerman), Amicon® 30.000, steriflip-GP filter, Freud adjuvant complete,
Freud adjuvant incomplete, akrilamid, Tris-HCl, SDS, APS, TEMED, βmercaptoethanol, gliserol, bromphenol blue, glisin, perak nitrat, methanol, asam
asetat, marker protein, larutan Bradford, bovine serum albumin (BSA), membran
nitroselulosa, larutan Ponceau S (Sigma), natrium azide (NaN3), susu skim, PBS
tween, enzim peroksidase (anti rabbit IgG alkaline phosphatase conjugate),
substrat BCIP-NBT dengan hydrogen peroksida.

Alat
Alat-alat bedah, alat-alat gelas, mikroskop cahaya Nikon E50i dengan
digital kamera dan perangkat lunak NIS Element D,pipet mikro berbagai ukuran,
tabung mikro berbagai ukuran, tissue grinder, inkubator, sentrifugasi, vortex,
Thermal cycler, Mesin sequencer Applied Biosystems 3130 DNA Analyser,
inkubator CO2, penangas air dengan pengaduk magnet, waterbath sonicator,
freezer, refrigerator, spektrofotometer, syringe, alat elektroforesis SDS-PAGE
vertikal, platform goyang.

16
Prosedur Penelitian
Tahap 1
Isolasi dan Identifikasi Morfologi dan Molekuler Larva Tiga
(L3) Gnathostoma spinigerum
Gnathostoma spinigerum dikoleksi dari sampel ikan belut (Monopterus
alba) BUSKIPM yang dikirim oleh eksportir ikan belut. Ikan dinekropsi, kista
yang terdapat pada hati, ginjal dan daging diambil secara aseptis dan diamati
dengan mikroskop stereo. Kista yang berisi L3 Gnathostoma dipecahkan dan L3
yang masih hidup dan utuh dikumpulkan dalam wadah berisi NaCl fisiologis,
kemudian L3 tersebut dipindahkan ke dalam tabung 50 ml berisi larutan
phosphate buffer saline (PBS) dan diinkubasi pada suhu 25°C selama 15 – 20
menit. Pengamatan morfologi dan morfometri L3 dilakukan menggunakan
mikroskop cahaya dengan perbesaran 4 – 40X (objektif).
Sepuluh ekor L3 Gnathostoma yang telah diisolasi dan diidentifikasi secara
morfologi kemudian difiksasi menggunakan alkohol 70% untuk identifkasi
sampai tingkat spesies secara molekuler dengan metode polymerase chain
reaction (PCR) dan sequencing. Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan
kit komersial DNEasy® blood and tissue kit extraction (Qiagen, Singapura) sesuai
dengan protokol pemakaian. Uji polymerase chain reaction (PCR) dan sequencing
menggunakan primerpada daerah ribosomal ITS1, yaituLim1657 (f), 5’CTGCCCTTTGTACACACCG-3’ (Almeyda-Artigas et al. 2000) dan 58S2 (r),
5’-TCTTTATGCTCAATGTCTTCGC-3’ (Ando et al. 2006). Amplifikasi PCR
dilakukan dengan menggunakan 2 µL DNA total Gnathostoma, 12.5 µL
GoTaq®Green Master Mix 2X (Promega, USA), 20 pmol masing-masing primer
dan air bebas nuklease sampai volume akhir reaksi 25 µl. Kondisi PCR untuk
analisis rDNA adalah sebagai berikut: 94 °C selama 1 menit, 52 °C selama 1
menit and 72 °C selama 3 menit untuk 30 siklus (Ando et al. 2006). Cycle
sequencing dilakukan sesuai metode Sanger menggunakan 2 µL DNA hasil
amplifikasi, 2 µl BigDye®Terminator Cycle Sequencing(ABI, USA), 3 µl buffer
sequencing 5x, 20 pmol primer tunggal dan air bebas nuclease sampai volume
akhir reaksi 25 µL. Kondisi cycle sequencing adalah sebagai berikut 96 °C selama
10 detik, 50 °C selama 5 detik and 60 °C selama 4 menit untuk 25 siklus.
Purifikasi produk cycle sequencing menggunakan presipitasi etanol/EDTA.
Denaturasi dilakukan pada suhu 95 °C selama 5 menit dengan menambahkan HiDi formamide 1:1 ke dalam produk purifikasi. Capillary electrophoresis
dilakukan dengan mesin sequencer Applied Biosystems 3130 DNA Analyser.
Larva tiga nematoda lain yang membentuk kista dan berada pada organ
yang sama di ikan belut (Monopterus alba) yaitu Spiroksis, diisolasi dan
diidentifikasi dengan cara yang sama dengan L3 Gnathostoma. Spiroksis
merupakan nematoda yang masih satu famili dengan Gnathostoma, dan juga
merupakan parasit dalam bentuk L3 pada ikan belut (BUSKIPM 2011).
Tahap 2
Produksi dan Karakterisasi Protein Antigen ES-L3-Gs
Preparasi Antigen Ekskretori-Sekretori (ES) L3 G. spinigerum
Larva tiga G. spinigerum (L3 Gs) yang telah dicuci menggunakan PBS
dipindahkan ke dalam media RPMI 1640 (GIBCO, USA) yang mengandung
antibiotik 100 unit/mL penicillin G dan 100 µg/mL streptomycin dan kemudian
diinkubasi selama 4 hari pada inkubator CO2 5% dengan suhu 37°C (masing-

17
masing lima ekor cacing dalam satu mL RPMI). Hal ini sesuai hasil riset dari
Saksirisampant et al. (2001), yang menyatakan bahwa metabolisme hasil ES-L3Gs optimum didapatkan setelah masa inkubasi empat hari pada suhu 37°C. Cacing
dipindahkan dan larutan media RPMI yang mengandung antigen ES diambil dan
disentrifugasi pada 10,000 rpm selama 30 menit pada suhu 4°C. Supernatan
diambil dan kemudian dipekatkan dengan menambahkan Ammonium sulfat 20%
(w/v) sambil diaduk dengan batang pengaduk magnet selama 24 jam pada suhu
4 °C. Antigen yang telah dipekatkan didialisis menggunakan membran sellulosa
dalam larutan PBS selama empat jam, volume PBS yang digunakan sebanyak 100
kali volume larutan yang didialisis. Buffer pendialisis diganti setiap satu jam.
Hasil dialisis merupakan antigen ES yang telah dimurnikan, selanjutnya antigen
tersebut disimpan dalam freezer -20°C sampai saat akan digunakan (Samarang
2011).
Produksi antigen ES L3 Spiroksis juga dilakukan sama seperti produksi
antigen ES-L3-Gs, tetapi waktu inkubasi yang dilakukan berbeda dari G.
spinigerum, yaitu satu hari. Hal tersebut dikarenakan masa hidup Spiroksis pada
media buatan tidak sekuat Gnathostoma. Antigen ES L3 Spiroksis ini akan
digunakan untuk melihat adanya reaksi silang pada pengujian immunoblotting.
Produksi antigen somatik juga dilakukan dengan cara larva tahap tiga G.
spinigerum yang telah dicuci menggunakan PBS dihomogenkan dalam 0.1 M PBS
pH 7.4, yang berisi inhibitor protease (0.05 mg/ml leupeptin-antipain, 10 mM
EDTA) dengan tissue grinder dan kemudian disonifikasi menggunakan waterbath
sonicator selama 2 x 10 menit dan kemudian disentrifugasi pada 10,000 rpm
selama 30 menit pada suhu 4 °C. Supernatan diambil dan supernatan ini
merupakan hasil antigen ekstrak somatik kasar, yang selanjutnya antigen tersebut
disimpan dalam freezer -20 °C sampai saat akan digunakan. Antigen somatik ini
diproduksi sebagai pembanding dalam reaksi immunoblotting sehingga
diharapkan pita protein spesifik dari ES-L3-Gs dapat terkarakterisasi.
Pengukuran Konsentrasi dan Karakterisasi Protein Antigen
Konsentrasi protein antigen ES yang diperoleh diukur menggunakan metode
Bradford (1976) menggunakan bovine serum albumin (BSA) sebagai standar.
Komponen protein antigen ES-L3-Gs dipisahkan berdasarkan berat molekulnya
dengan menjalankan protein tersebut menggunakan metode Sodium Deodecil
Sul