HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

54

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian mengenai hubungan pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah melalui penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan Maret 2015 terhadap 33 orang responden yaitu ibu yang memiliki anak usia 5 tahun di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan. 5.1.1 Gambaran Karakteristik Responden Karakteristik responden yang diteliti pada penelitian ini adalah usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, penghasilan ibu, jumlah anak, jenis kelamin anak, urutan anak dalam keluarga, dan tempat MCK Mandi, Cuci, dan Kakus. Tabel 5.1 Karakteristik Responden di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan No Karakteristik Responden Jumlah Orang Persentase 1 Usia Ibu a. 21-35 tahun b. 36-55 tahun 19 13 59,40 40,60 2 Pendidikan Ibu a. SD b. SMP c. SMA 1 10 21 3,10 31,30 65,60 3 Pekerjaan Ibu a. Wiraswasta b. Petani c. Lain-lain 9 21 2 28,10 65,60 6,30 4 Penghasilan a. Rp 1.000.000,- b. Rp 1.000.000,-sd Rp 2.000.000,- c. Rp 2.000.000,-sd Rp 3.000.000,- d. Rp 3.000.000,- 4 12 12 4 12,50 37,50 37,50 12,50 5 Jumlah Anak a. 1 anak b. 2 anak 4 5 12,50 15,60 Universitas Sumatera Utara c. 3 anak d. 4 anak e. 5 anak f. 6 anak g. 7 anak 6 6 5 3 3 18,80 18,80 15,60 9,40 9,40 6 Tempat MCK a. Di dalam b. Di luar 26 6 81,30 18,80 7 Jenis Kelamin Anak a. Laki-laki b. Perempuan 16 16 50,00 50,00 8 Urutan Anak a. Pertama b. Tengah c. Bungsu 8 12 12 25,00 37,50 37,50 Tabel di atas menunjukkan bahwa data responden pada penelitian ini, mayoritas ibu berusia 21-35 tahun yaitu sebanyak 19 orang 59,40. Tingkat pendidikan terakhir ibu terbanyak adalah SMA yaitu sebanyak 21 orang 65,60. Dan ibu paling banyak bekerja sebagai petani yaitu sebanyak 21 orang 65,60. Mayoritas ibu berpenghasilan Rp 1.000.000 sd Rp 2.000.000,-bulan yaitu 12 orang 37,50 dan Rp 2.000.000 sd Rp 3.000.000,-bulan sebanyak 12 orang 37,50. Dilihat dari segi jumlah anak, mayoritas ibu memiliki 3, dan 4 orang anak yaitu 6 orang ibu 18,80 memiliki 3 anak dan 6 orang ibu 18,80 memiliki 4 orang anak. Dari seluruh responden, mayoritas memiliki tempat MCK Mandi, Cuci, dan Kakus di dalam rumah yaitu sebanyak 26 orang 81,30. Dilihat dari jenis kelamin anak ibu jumlah laki-laki sama dengan perempuan, masing-masing 50,00. Mayoritas anak sebagai merupakan anak tengah dan anak bungsu yaitu anak tengah 12 orang 37,50 dan anak bungsu 12 orang 37,50. Universitas Sumatera Utara 5.1.2 Gambaran Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua dalam mengasuh anak prasekolah yang diteliti dalam penelitian ini yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokrasi, dan pola asuh permisif. Seluruh item pernyataan berjumlah 21 item. Tabel 5.2 Distribusi frekuensi pola asuh Pola Asuh Kategori Frekuensi n Persentase Demokratis Tinggi 25 78,10 Sedang 7 21,90 Otoriter Tinggi 7 21,90 Sedang 19 59,40 Rendah 6 18,80 Permisif Tinggi 3 9,40 Sedang 25 78,10 Rendah 4 12,50 Tabel di atas menunjukkan bahwa ibu yang menggunakan pola asuh demokratis kategori tinggi yaitu 25 orang 78,10 dan kategori sedang sebanyak 7 orang 21,90. Ibu yang menggunakan pola asuh otoriter kategori sedang yaitu 19 orang 59,40, kategori tinggi yaitu 7 orang 21,90, dan kategori rendah yaitu sebanyak 6 orang 18,80. Ibu yang menggunakan pola asuh permisif paling banyak dalam kategori sedang yaitu 25 orang 78,10, kategori tinggi sebanyak 3 orang 9,40, dan kategori rendah sebanyak 4 orang 12,50. Pengklasifikasian pola asuh diperoleh dengan menggunakan rumus jumlah nilai yang diperoleh responden ibu dibagi dengan nilai batas tertinggi pola asuh. Adapun pengkategorian pola asuh orangtua adalah sebagai berikut: Tabel 5.3 Distribusi deskriptif pola asuh orangtua No Jenis Pola Asuh Orangtua Jumlah Responden Persentase 1 Demokratis 25 78,10 2 Otoriter 4 12,50 Universitas Sumatera Utara 3 Permisif 3 9,40 Total 33 100,00 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jenis pola asuh yang paling banyak digunakan orangtua ibu di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghausndutan adalah pola asuh demokratis, yaitu terdapat 25 orangtua ibu yang menggunakan pola asuh demokratis dengan persentase 78,81. Orangtua ibu yang lain menggunakan pola asuh otoriter yaitu sebanyak 4 orang 12,05 dan menggunakan pola asuh permisif yaitu sebanyak 3 orang 9,40. 5.1.3 Gambaran Tingkat Kemandirian Personal Hygiene Anak Usia Prasekolah Tingkat kemandirian personal hygienene anak usia prasekolah dikategorikan dalam rentang mandiri, cukup mandiri, dan kurang mandiri. Untuk menggambarkan tingkat kemandirian anak prasekolah berusia 5 tahun, maka digunakan kuesioner berjumlah 19 item pernyataan. Tabel 5.4 Distribusi frekuensi tingkat kemandirian personal hygiene No Kemandirian Anak Jumlah Orang Persentase 1 Mandiri 24 75,00 2 Cukup Mandiri 8 25,00 Tabel di atas menunjukkan bahwa anak usia prasekolah mandiri sebanyak 24 orang 75,00 dan cukup mandiri sebanyak 8 orang 25,00. 5.2 Uji Asumsi 5.2.1 Uji Normalitas Uji normalitas adalah uji yang digunakan untuk mengetahui apakah sebuah data mengikuti atau mendekati distribusi normal Wahyuni, 2011. Salah Universitas Sumatera Utara satu uji kenormalan yang sering digunakan adalah Uji Kolmogorov Smirnov. Bila nilai p0,05 maka distribusi tersebut normal. Namun kebalikannya bila p0,05 maka distribusi tidak normal. Hasil yang diperoleh saat uji normalitas data pada kuesioner pola asuh orangtua adalah p=0,20 dan kuesioner kemandirian personal hygiene memperoleh p=0,20. Hasil tersebut menunjukkan bahwa data berdistrtibusi normal dan memenuhi syarat untuk memakai uji korelasi Pearson. 5.2.2 Uji Linierity Uji asumsi linierity adalah menilai pemerisaan pada scater plot. Scater plot adalah untuk memprediksi nilai yang memberikan informasi kemungkinan yang tidak linier. Dalam penelitian ini scaterplot menunjukkan hubungan linier dengan semua linier yang berkorelasi. Dua puluh satu item pola asuh orangtua dan sembilan belas item kemandirian personal hygiene data responden mendekati garis linier yang dapat dilihat secara visual pada grafik data. Uji asumsi linerity terpenuhi. 5.2.3 Uji Outlier Uji asumsi outlier untuk melihat apakah data yang menyimpang dari data lainnya data ekstrem. Outlier diperiksa menggunakan bloxplot dimana data yang menyimpang dapat mempengaruhi kenormalan distribusi data. Pada variabel pola asuh orangtua tidak ada responden yang muncul di outlier. Data yang muncul pada variabel kemandirian personal hygiene adalah responden nomor 21. Dilakukan evaluasi yang berulang-ulang, sampai tidak ditemukan lagi outlier. Data yang muncul di outlier dihapus dan hanya 32 responden dari 33 data responden yang berdistribusi normal. Uji asumsi outlier terpenuhi, dimana tidak Universitas Sumatera Utara ditemukan lagi outlier. Selanjutnya dapat dilakukan uji korelasi Pearson Product Moment. 5.2.4 Uji Hipotesis Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan metode korelasi. Korelasi ini menguji hubungan antara variabel pola asuh orangtua dengan variabel kemandirian personal hygiene. Hasil uji hipotesis dalam penelitian ini diperoleh koefisien korelasi antara pola asuh orangtua dengan kemandirian personal hygiene dengan menggunakan korelasi Pearson Product Moment. Berikut ini adalah uji statistik hubungan pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan: Tabel 5.5 Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah Variabel r P Pola asuh orangtua demokratis Kemandirian personal hygiene 0,48 0,00 Pola asuh orangtua otoriter Kemandirian personal hygiene -0,10 0,57 Pola asuh orangtua permisif Kemandirian personal hygiene -0,11 0,55 Tabel di atas menunjukkan bahwa: a. Hasil perhitungan pola asuh demokratis dengan menggunakan taraf signifikansi 5 0,05 diperoleh hasil analisis korelasi yaitu nilai r=0,48 dengan nilai signifikansi atau p=0,00. Hasil tersebut menunjukkan bahwa korelasi antara variabel pola asuh dan kemandirian personal hygiene tergolong cukup kuat Polit Hungler, 1996. Nilai signifikansi yang kurang dari 0,01 menunjukkan bahwa ada hubungan siginifikan antara variabel X dan Y Arikunto, 2006. Berdasarkan Universitas Sumatera Utara hasil perhitungan korelasi Pearson Product Moment , hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan positif antara pola asuh demokratif dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak prasekolah”. b. Hasil perhitungan pola asuh otoriter dengan menggunakan taraf signifikansi 5 0,05 diperoleh hasil analisi korelasi yaitu r=-0,10 dengan nilai siginifikansi atau p=0,57. Nilai yang negatif menunjukkan bahwa korelasinya negatif Polit Hungler, 1996. Berdasarkan hasil perhitungan korelasi Pearson Product Moment, hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan negatif antara pola asuh otoriter dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak prasekolah” diterima. c. Hasil perhitungan pola asuh permisif dengan menggunakan taraf signifikansi 5 0,005 diperoleh hasil analisis korelasi yaitu r=-0,10 dengan nilai signifikansi atau p=0,55. Nilai yang negatif menunjukkan bahwa korelasinya negatif Polit Hungler, 1996. Berdasarkan hasil perhitungan korelasi Pearson Product Moment, hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan negatif antara pola asuh permisif dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak prasekolah” diterima. 5.3 Pembahasan 5.3.1 Gambaran Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan suatu bentuk kegiatan merawat, memelihara dan membimbing yang dilakukan oleh orangtua kepada anaknya agar tumbuh dan berkembang serta dapat mencapai kemandirian. Setiap orangtua tentunya menginginkan anaknya dapat tumbuh dan berkembang secara optimal Universitas Sumatera Utara sesuai dengan tahap tumbuh kembangnya. Pola asuh yang diberikan tentu berbeda antara orang satu dengan yang lainnya. Setiap pola asuh orangtua dapat memberikan hasil yang berbeda pada perilaku anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas ibu menggunakan pola asuh demokratis untuk mengasuh anak prasekolahnya. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suharsono, Fitryani dan Upoyo 2009 juga menunjukkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua pada anak prasekolah yang ada di TK Pertiwi Purwokerto Utara yaitu orang tua menerapkan pola asuh otoriter pada anaknya sebanyak 19 orang tua 25,00, permisif 23 30,30 , sedangkan orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis pada anaknya sebanyak 34 orang tua 44,70. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian Anjani 2006, dimana 65,60 orang tua menerapkan pola asuh demokratis kepada anaknya. begitu juga dengan hasil penelitian Puspita 2012 bahwa sebanyak 61,8 orang tua dari anak prasekolah di TK IV Saraswati Denpasar menerapkan pola asuh demokratis dalam mengasuh anaknya. Tetapi hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Choi et al. 2013 yang melakukan penelitian antar budaya pada orangtua dan anak sekolah dasar yaitu menemukan bahwa pola asuh otoriter adalah paling banyak digunakan termasuk di budaya Asia. Begitu juga dengan hasil penelitian Murtiyani 2011 di Kecamatan Sidoarjo, menunjukkan bahwa mayoritas orangtua menerapkan pola asuh otoriter terhadap anak remajanya yaitu sebanyak 26 orang 65,00. Hasil wawancara yang saya lakukan kepada orangtua ibu, mereka tidak boleh sembarangan memarahi atau memukul anak dan juga tidak baik memanjakan anak sejak kecil. Sehingga peneliti berasumsi Universitas Sumatera Utara bahwa hal ini terjadi karena sampel yang diambil adalah anak usia prasekolah sehingga orangtua ibu memberikan pola asuh demokratis. Tetapi hal ini berlawanan dengan teori Hurlock 2010 yang mengatakan bahwa anak kecil tidak mengerti penjelasan sehingga orangtua memusatkan perhatian pada pola asuh otoriter. Baumrind 1991 mengatakan orangtua yang menerapkan pola asuh yang demokratis lebih memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi juga tidak ragu-ragu untuk mendisplinkan anak. Selain itu di dalam memerintah anak, orangtua tidak memaksakannya dan cenderung memerintah sesuatu sesuai dengan kemampuan anaknya. Pola asuh yang demokratis ditunjukkan dengan data berupa ibu tanggap terhadap perasaan dan kebutuhan anaknya, ibu memberikan kenyamanan dan pengertian ketika anak sedih, memberikan pujian ketika anak bertingkah laku baik, menjelaskan tentang peraturan kepada anak, mempertimbangkan keinginan anak, menjelaskan akibat perilaku buruk anak, dan menghargai pendapat anak. Hal ini sesuai dengan teori Baumrind 1991 yang menyatakan bahwa orangtua dengan pola asuh demokratis bersikap rasional dimana orangtua selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran. Orangtua juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, memberikan kebebasan pada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya pada anak dengan cara yang halus. Pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, dan mempunyai hubungan baik dengan temannya. Universitas Sumatera Utara Penentuan pola asuh yang diberikan orangtua tidak lepas dari faktor- faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah tingkat pendidikan orangtua. Tingkat pendidikan ibu pada penelitian ini cukup baik dengan responden ibu mayoritas memiliki pendidikan terakhir SMA, hal ini berarti bahwa ibu mempunyai pengetahuan yang cukup terkait tumbuh kembang anaknya dengan cara memandirikan anak Soetjiningsih, 1995. Menurut Soetjiningsih 1998, dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi maka dapat menerima segala informasi dari luar, terutama tentang cara pengasuhan yang baik, sedangkan Sekartini 1998 menjelaskan bahwa, status pendidikan ibu sangat menentukan kualitas pengasuhan. Shalahuddin 1990 juga menjelaskan bahwa, jenjang pendidikan juga mempengaruhi pola pikir, sehingga dimungkinkan mempunyai pola pikir yang terbuka untuk menerima informasi baru serta mampu untuk mempelajari hal-hal yang dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi anaknya. Hal tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian Eka 2004 yang menyatakan bahwa, tingkat pendidikan orang tua tidak mempengaruhi dalam keputusan orang tua untuk menerapkan pola asuh. Walaupun pendidikan menengah ke bawah tidak menghalangi keputusan untuk menerapkan pola asuh yang cocok dan sesuai bagi anak-anaknya. Usia ibu pada hasil penelitian ini mayoritas dewasa awal 21-35 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Suharsono, Fitriyani dan Upoyo 2009 yang berjudul hubungan pola asuh orangtua dengan kemampuan sosialisasi pada anak prasekolah di TK Pertiwi Purwokerto Utara bahwa frekuensi umur responden orang tua paling banyak yaitu pada usia dewasa awal 21-35 Universitas Sumatera Utara tahun sebanyak 53 responden 69,7 dan 44,7 menggunakan pola asuh demokratis. Hal itu sesuai dengan teori Wong 2008 yang mengatakan bahwa usia yang paling memuaskan untuk membesarkan anak adalah antara 18-35 tahun. Selama waktu ini orangtua dianggap pada kondisi yang kesehatan yang optimum. Marsidi 2007 juga mengatakan bahwa pada usia dewasa awal seseorang memasuki situasi antara rasa kebersamaan sambil mengalahkan rasa kehilangan identitas dan memasuki taraf memelihara dan mempertahankan apa yang telah ia miliki yang akan berpengaruh pada pola pengasuhan kepada anak. Faktor lain yang mempengaruhi pola asuh orangtua adalah jenis kelamin. Orangtua yang menjadi responden pada penelitian ini adalah ibu. Hurlock 2010 mengatakan wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya dibanding pria, dan mereka cenderung kurang otoriter. Hal ini berlaku untuk orangtua maupun pengasuh lainnya. Hurlock juga mengatakan bahwa orangtua dari kalangan menengah ke bawah akan lebih otoriter dan memaksa daripada mereka yang dari menengah ke atas. Penghasilan ibu pada penelitian ini mayoritas Rp 2.000.000 sd Rp 3.000.000,-. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Puspitawati 2010 bahwa semakin tinggi keadaan ekonomi keluarga berpengaruh secara positif terhadap pola asuh orangtua. Setiap tipe pola asuh mempunyai kelebihan dan kekurangan, sehingga tidak semua orang tua nyaman menerapkan pola asuh yang dianggap baik oleh orang lain, karena setiap orang mempunyai cara pandang yang berbeda-beda dalam mengasuh anaknya. Hal ini terlihat dalam hasil penelitian bahwa ada orangtua ibu yang menggunakan pola asuh otoriter dan permisif. Orangtua yang Universitas Sumatera Utara menggunakan pola asuh otoriter ditunjukkan melalui data yaitu ibu menggunakan cara fisik untuk mendisiplinkan anak, teriak ketika anak bertingkah laku buruk, memarahi dan mengkritik anak supaya berperilaku lebih baik, memberikan hukuman dan mengambil hak anak tanpa penjelasan. Hal ini sesuai dengan teori Baumrind 1991 bahwa orangtua yang memiliki pola asuh otoriter memiliki kendali memaksa yang tinggi, ketat dalam menetapkan disiplin, namun memberikan dukungan yang rendah. Pola asuh otoriter orangtua cenderung memaksakan standar yang diinginkannya kepada anak, menggunakan hukuman pada tiap kesalahan yang dilakukan anak tanpa mendengarkan alasan kegagalan terjadi. Pada penelitian Walters 2001, dalam Putra 2012 ditemukan bahwa pola asuh otoriter cenderung menggunakan hukuman terutama hukuman fisik. Sikap otoriter orangtua sering tidak disadari, padahal anak lahir dan bersifat unik yang memiliki kelebihan, kelemahan, minat dan emosi yang berbeda-beda. Pola asuh otoriter cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Seperti belajar harus selalu mendapatkan nilai 8, anak tidak boleh bermain dan harus terus belajar, dalam belajar anak dibiarkan sendiri, dan tidak membantu kesulitan belajar anak. Karakteristik pola asuh otoriter biasanya akan menjadikan anak penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, dan suka melawan. Hal ini yang membuat terganggunya pertumbuhan dan perkembangan anak secara psikologis ke depannya. Dan dalam hal ini akan memperburuk kemandirian anak. Universitas Sumatera Utara Pola asuh permisif merupakan pola asuh yang diberikan orangtua menunjukkan kehangatan yang tinggi, bersifat longgar, kurang bimbingan, dan cenderung memanjakan, dan dituruti keinginannya. Sikap orangtua yang menerima apa adanya itu akan cenderung memberikan kebebasan kepada anak untuk berbuat apa saja. Pola asuh ini dapat mengakibatkan anak mempunyai karakteristik impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri dan kurang percaya diri Hurlock, 2006. Pola asuh permisif biasanya cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orangtua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak Petranto, 2006. Dari data ditunjukkan bahwa ibu yang permisif sering merasa yakin dengan kemampuan pola asuhnya, tapi kadang-kadang merasa sulit mendisiplinkan anak, dan sering mengancam anak dengan konsekuensi hukuman tapi tidak benar-benar melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa orangtua sayang terhadap anak tapi tidak sungguh-sungguh membina anaknya sehingga anaknya pun lama-kelamaan akan merasa bahwa ancaman ibunya tidak penting. Kejadian ini akan membuat anak kurang menghargai orangtua dan merasa bebas dari orangtua dan perilaku buruknya. Pernyataan di atas sesuai dengan yang dikemukakan oleh Baumrind 1991 bahwa orangtua yang menerapkan pola asuh permisif mengetahui pentingnya kehangatan, kasih sayang, dan rasa aman secara emosional, namun tidak mementingkan disiplin. Baumrind menemukan bahwa bimbingan yang tidak Universitas Sumatera Utara cukup membuat anak-anak tidak tahu apa yang harus dilakukan. Anak-anak mendapat kesulitan dalam memahami aturan untuk diri mereka sendiri dan harus belajar cara yang sulit melalui cara mencoba-coba trial and error. Orangtua yang memiliki pola asuh permisif memiliki perhatian terhadap hubungan dengan anak, terdapat banyak penguatan, perlakuan-perlakuan anak yang tidak jelas, pujian-pujian, orangtua lebih memberikan pengawasan yang lebih longgar, memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya, orangtua cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh orangtua. 5.3.2 Gambaran Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan sehingga individu mampu berpikir dan bertindak sendiri menurut Mu’tadin 2002, dalam Putra 2012. Individu yang mandiri adalah seseorang yang dapat berdiri sendiri, tumbuh dan berkembang karena disiplin dan komitmen sehingga dapat menentukan diri sendiri yang dinyatakan dalam tindakan dan perilaku yang dapat dinilai Barbara, 2008. Anak usia prasekolah adalah anak yang berada dalam tahapan usia perkembangan antara 3-6 tahun. Dan anak yang diteliti pada penelitian ini adalah anak prasekolah berusia 5 tahun. Sebagian besar anak prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lingtongnihuta Kabupaten Universitas Sumatera Utara Humbanghasundutan mandiri yaitu 75,00. Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang didapat oleh Mariyam dan Apisah 2008 bahwa sebagian besar anak prasekolah memiliki tingkat kemandirian penuh yaitu sebesar 57,80 sisanya mandiri sebagian sebesar 22,20 dan tidak mandiri sebesar 20,00 di Desa Prapag Lor Kecamatan Losari Kabupaten Brebes. Hal diatas sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Wening 2012 yang mengatakan bahwa usia 3-6 tahun seharusnya sudah bisa mandiri dalam hal personal hygiene seperti mandi sendiri pada waktunya, buang air kecil di kamar mandi, mencuci tangan tanpa bantuan sebelum dan sesudah beraktivitas, memiliki kebiasaan yang teratur seperti makan, mandi, dan tidur, membuka dan memakai baju berkancing depan, membuka dan menutup celana bersleting, mengikat tali sepatu, mandi sendiri tanpa arahan, cebok setelah buang air kecil atau besar, menyisir rambut, mampu makan sendiri, mampu berpisah dengan ibu tanpa menangis, mampu BAB dan BAK sendiri, dan mampu berapakaian sendiri tanpa bantuan, membuang sampah pada tempatnya, merapikan mainan setelah digunakan, menaati peraturan yang berlaku dan pergi ke sekolah tepat waktu. Kemandirian anak prasekolah dipengaruhi berbagai faktor, salah satu di antaranya status pekerjaan ibu Soetjiningsih, 1995. Dari tabel karakteristik responden diketahui bahwa semua ibu di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan adalah ibu bekerja. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Maryam dan Apisah 2008 yang berjudul hubungan antara status pekerjaan ibu dan tingkat kemandirian anak usia prasekolah di Desa Prapag Lor Kecamatan Losari Kabupaten Brebes menyatakan Universitas Sumatera Utara bahwa status ibu yang bekerja memiliki anak yang mandiri dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Ibu yang tidak bekerja cenderung melayani dan memanjakan anak secara berlebihan, ibu merasa positif dan menyenangkan bagi si anak tetapi akibatnya anak terbiasa tergantung dan kurang mandiri. Tetapi hal ini bertentangan dengan teori Soetjiningsih 1995 yang mengatakan apabila ibu bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah maka ibu tidak bisa memantau kemandirian anak sesuai perkembangan usianya. Sedangkan ibu yang tidak bekerja, ibu dapat memantau langsung kemandirian anak dan bisa memandirikan anaknya. Wong 2008 mengatakan bahwa orangtua belajar berdasarkan kesalahan trial and error, melakukan kesalahan yang sama yang telah dilakukan banyak orangtua lain, tetapi bagaimanapun mereka tetap dapat menyelesaikan tugas, menjadi lebih terampil dengan bertambahnya anak. Hal ini terlihat dalam hasil penelitian yaitu mayoritas orangtua ibu memiliki anak lebih dari satu. Hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada responden ibu, anak prasekolah mereka semuanya sudah memasuki Taman Kanak-kanak. Kondisi ini membantu anak untuk semakin mandiri. Karena anak yang mendapat stimulus terarah dan teratur akan lebih cepat mandiri dibanding dengan anak yang kurang mendapat stimulasi Soetjiningsih, 1995. Hasil pengisian kuesioner juga menunjukkan bahwa tidak semua anak mandiri dalam personal hygiene, sebagian anak cukup mandiri dalam melakukan personal hygiene. Anak yang mempunyai kemandirian cukup menunjukkan bahwa anak belum mandiri khususnya dalam hal personal hygiene. Dari hasil Universitas Sumatera Utara pengisian kuesioner didapatkan data bahwa masih ada anak yang sama sekali tidak pernah mandi tanpa bantuan orang lain, tidak mengeringkan seluruh tubuhnya, tidak membersihkan alat kelamin dan anus selesai BAB dan BAK, tidak membersihkan kuku jari apabila kotor, tidak gosok gigi sendiri, tidak pernah mencuci, membilas, bahkan menyisir rambut tanpa bantuan orang lain, serta tidak pernah membersihkan mata, telinga dan hidung saat mandi. Penyebab masih adanya anak usia 3-6 tahun yang tidak mandiri bisa disebabkan oleh masih banyak orangtua yang terlalu terlibat dalam kegiatan anak, tidak melatih anak untuk bisa melakukan tugas sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, kurangnya arahan yang diberikan oleh orangtua serta pemanjaan berlebihan dengan cara melayani anak melewati batas usia Hartono, 1997. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Erikson 1963, dalam Putra 2012 juga menyatakan bahwa anak harus mulai dilatih kemandiriannya sejak usia 1,5-3 tahun. Tugas perkembangan yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian otonomi sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu- ragu. Apabila dalam menjalin suatu hubungan antara anak dan orangtunya terdapat suatu sikap atau tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Ketidakmandirian seorang anak identik dengan sikap bergantung yang terlalu berlebihan pada orang-orang di sekitarnya Hartono, 1997. Kemandirian penting dalam kehidupan anak. Melatih kemandirian anak sejak dini akan menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Belajar menjadi mandiri yang tidak dimiliki sejak dini hanya akan membuat pemahaman yang tidak tepat tentang konsep kemandirian dan anak cenderung bersifat individual Universitas Sumatera Utara Kannisius, 2006. Menurut Zolten dan Zong 2006 dalam Aryani, 2013 yang perlu diperhatikan orang tua dalam melatih kemandirian anak yaitu dengan memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, memberikan kesempatan untuk membantu tugas-tugas yang menantang, mendorong anak agar berani dalam membuat keputusan, orang tua dibutuhkan menjadi model bagi anak dalam menunjukkan sikap tanggung jawab dan mandiri, memberikan bantuan dan dorongan pada anak untuk memecahkan masalahnya sendiri, memberikan anak dorongan untuk mengambil risiko, mendampingi anak untuk memberikan dukungan banyak ketika ia membutuhkannya, memberikan penghargaan pada anak, memberikan disiplin yang wajar dan memberikan anak tanggung jawab. Anak yang tidak dapat mandiri dalam menjaga kebersihan diri akan berdampak pada berbagai macam hal seperti tidak terpenuhinya kebutuhan rasa nyaman, gangguan integritas kulit, kebutuhan mencintai dan dicintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri, dan gangguan interaksi sosial. Kemandirian anak usia prasekolah dapat ditumbuhkan dengan membiarkan anak memiliki pilihan dan mengungkapkan pilihannya sejak dini Hurlock, 1998. 5.3.3 Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan. Hal ini berarti hipotesis dalam penelitian dapat diterima. Universitas Sumatera Utara Pola asuh orangtua demokratis memiliki hubungan yang positif dengan tingkat kemandirian personal hygiene anak usia prasekolah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Suparsono, Fitriyani, dan Upoyo 2009 bahwa anak yang diasuh dengan pola asuh demokratis lebih dari setengahnya mempunyai kemampuan sosialisasi yang baik yaitu 27 79,4 , sedangkan anak yang mempunyai kemampuan sosialisasi cukup dan kurang sebanyak 3 8,8 dan 4 11,8 . Hal senada juga disampaikan oleh Pujiastuti dan Rahmayanti dalam penelitiannya pada tahun 2012 bahwa pola asuh demokrasi sangat memberi dampak positif pada perkembangan anak. Hasil analisis tersebut didukung dengan teori yang dikemukakan oleh Baumrind 1971 bahwa pola asuh demokratis adalah pola asuh yang hangat, terlibat, berespon kepada anak mereka, dan orangtua mendukung kemandirian anak-anak mereka. Orangtua demokratis membimbing anak mereka dengan rasional, berorientasi masalah dengan menjelaskan alasan dibalik peraturan yang dibuat. Dengan membuat anak belajar dari kesalahan mereka untuk diproses secara mandiri, orangtua menyemangati mereka supaya mandiri di masa depan. Penelitian penelitian Sari 2006, dalam Herlina 2013 menjelaskan bahwa pola asuh demokratis adalah pola asuh yang banyak diterapkan orangtua dalam mendidik anak untuk mandiri, tetapi orangtua tetap menetapkan bebas dan kontrol. Orangtua biasanya bersikap bijaksana, hangat, penuh kasih sayang menerima segala alasan dari tiap masalah yang ada, memberikan motivasi dan memberikan dukungan kepada anak agar anak mampu mandiri melakukan segala hal. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Vandana Sharma 2006 Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa pola asuh orangtua seperti kehangatan, regulasi, pendekatan, penegakan hukum secara tegas, dan pengakuan demokratis sudut pandang anak telah konsisten dikaitkan dengan rendahnya tingkat masalah perilaku pada anak. Afriani 2012 pada penelitiannya menambahkan bahwa teknik-teknik asuhan orangtua yang demokratif akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri serta mendorong tindakan-tindakan mandiri yang akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggungjawab pada anak. Peggy 2000 dalam penelitian Aslam dan Sartaj 2010 tentang peran pola asuh orangtua di Pakistan mengatakan bahwa anak dengan pola asuh orangtua yang demokratis cenderung mandiri, terkontrol, yakin, populer, menyenangkan, puas, dipercaya, penuh kasih dan harapan. Mereka dapat dipercaya, tidak mengancam, dan tidak berbahaya bagi orang lain. Pola asuh orangtua demokratis juga berkaitan dengan perkembangan kemandirian anak-anak mereka. Pada penerapan pola asuh otoriter terdapat hubungan negatif antara pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirian personal hygiene. Dalam pola asuh ini orangtua menerapkan seperangkat peraturan kepada anaknya secara ketat dan sepihak, cenderung menggunakan pendekatan yang bersifat diktator, menonjolkan wibawa, menghendaki ketaatan mutlak. Anak harus tunduk dan patuh terhadap kemauan orangtua. Apapun yang dilakukan oleh anak ditentukan oleh orangtua. Anak tidak mempunyai pilihan dalam melakukan kegiatan yang ia inginkan, karena semua sudah ditentukan oleh orangtua. Tugas dan kewajiban orangtua tidak sulit, tinggal menentukan apa yang diinginkan dan harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh anak. Universitas Sumatera Utara Menurut Soetjiningsih 2012 efek pengasuhan otoriter, antara lain anak menjadi inkompetensi sosial, sering merasa tidak bahagia, kemampuan komunikasi lemah, tidak memiliki inisiatif melakukan sesuatu, dan kemungkinan berprilaku agresif. Menghukum dan mengancam akan menjadikan anak patuh di hadapan orangtua, tapi di belakangnya ia akan menentang atau melawan karena anak merasa dipaksa. Reaksi menentang bisa ditampilkan dalam tingkah laku yang melanggar norma-norma lingkungan rumah, sekolah, dan pergaulan. Dengan demikian pengasuhan yang otoriter akan berdampak negatif terhadap perkembangan anak kelak yang pada gilirannya anak sulit mengembangkan potensi yang dimiliki, karena harus mengikuti apa yang dikehendaki orangtua, walau bertentangan dengan keinginan anak. Pola asuh ini juga dapat menyebabkan anak menjadi depresi dan stres karena selalu ditekan dan dipaksa untuk menurut apa kata orangtua, padahal mereka tidak menghendaki. Hal ini berkaitan dengan hasil analisis data pada penelitian Lamont 2008 tentang peran pola asuh orangtua pada anak juga ditemukan bahwa orangtua yang keras otoriter justru merupakan penentu utama dari masalah perilaku bagi anak-anak. Maccoby dan Martin 1983 menyatakan bahwa teknik otoriter telah ditunjukkan menahan kemandirian anak, kepercayaan diri, kompetensi akademik, dan kecanggungan promosi sosial. Pernyataan dan penelitian tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan Baumrind 1991 bahwa orangtua otoriter adalah berorientasi status dan mengharapkan anaknya untuk patuh tanpa penjelasan. Mereka membatasi kemandirian anak dan Universitas Sumatera Utara menginstruksikan perilaku apa yang tepat pada anaknya. Mereka menolak pendapat anak-anaknya. Teori Meuler dan Sujata 2010, dalam Putra 2012 dalam penelitiannya menemukan hasil bahwa anak-anak yang diasuh oleh orangtua yang otoriter bahwa menunjukkan ciri-ciri adanya sikap menunggu dan menyerahkan segala-galanya pada pengasuhnya. Orangtua yang bersikap sangat otoriter menyebabkan semakin berkurangnya ketidaktaatan anak, bersikap menunggu, tidak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan kurang, dan menunjukkan ciri-ciri takut. Pribadi 1981, dalam Putra 2012 menyatakan bahwa sikap keras, kejam, dingin, otoriter yang selalu memberikan nasehat, cerewet, ataupun selalu sibuk dengan memperhatikan kesulitan-kesulitannya sendiri sehingga anak kurang mendapatkan perhatian, sikap memanjakan anak yang berlebihan walaupun anak tidak memintanya. Sikap demikian membuat anak tidak dapat berdiri sendiri karena jiwanya kacau oleh orangtua. Metode pengendalian yang memaksa, baik secara fisik maupun verbal bersifat mengganggu dan seringkali secara sewenang-wenang berdasarkan tingkah laku orangtua. Perilaku mengendalikan yang dilakukan dengan cara tidak memberi kasih sayang mungkin cara yang efektif, namun hal tersebut membuat anak-anak merasa tidak aman, cemas dan pasrah terlepas dari keinginannya sendiri untuk dapat diterima oleh orangtua mereka. Metode ini efektif untuk jangka pendek, tetapi metode ini jarang berhasil untuk jangka panjang karena fokusnya adalah pada akibat-akibat perilaku eksternal daripada nilai-nilai yang diresapi Baumrind, 1991. Universitas Sumatera Utara Hasil analisis hubungan pola asuh orangtua permisif dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah pada penelitian ini adalah memiliki hubungan yang negatif. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yusuf 2013 di Makassar bahwa anak yang diasuh menggunakan pola asuh permisif memiliki potensi besar untuk menimbulkan masalah perilaku pada penanganan pasien anak dalam perawatan gigi dan mulut. Begitu juga dengan hasil penelitian Putra 2012, tidak ada anak prasekolah yang mandiri jika diasuh dengan pola asuh permisif. Pada penerapan pola asuh ini diperlihatkan bahwa orangtua cenderung memberikan banyak kebebasan kepada anaknya dan kurang memberikan kontrol. Orangtua bersikap damai dan menyerah pada anak untuk menghindari konfrontasi. Orangtua kurang memberikan bimbingan dan arahan pada anak. Anak dibiarkan sesuka hatinya untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan, sehingga anak akan menggunakan amarahnya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Orangtua tidak peduli apakah anaknya melakukan hal-hal yang positif atau negatif, yang penting hubungan antara anak dengan orang tua baik- baik saja, dalam arti tidak terjadi konflik dan tidak ada masalah antara keduanya Kirana, 2013. Parker 2005 juga menyatakan bahwa sikap otonomi terkait adanya kontrol yang berlebihan dari orangtua maka jangkauan anak untuk memutuskan sesuatu yang menyangkut dirinya sendiri menjadi sangat terbatas. Ketika orangtua berdiri terlalu jauh dibelakang dan melepaskan tanggungjawabnya untuk memberikan perhatian yang semestinya, anak-anak bisa menyalahgunakan tanggung jawab dan kontrol yang diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, perlu Universitas Sumatera Utara adanya pengkajian dan pengamatan terhadap perkembangan dan kondisi anak supaya orangtua tidak terlalu menekan ataupun terlalu melepas tanggungjawabnya sebagai proses upaya meningkatkan perkembangan kemandirian anak-anaknya. Pola asuh orangtua merupakan kunci pembentukan kepribadian dan emosi anak. Meskipun dalam teori menjelaskan bahwasanya antara model pola asuh yang satu dengan model pola asuh yang lain memiliki batasan yang jelas. Pada kenyataannya orangtua kesulitan untuk menggunakan salah satu pola asuh saja misalnya hanya menerapkan pola asuh demokratis, sebab untuk mendidik anak berkaitan dengan hal-hal yang prinsip dan tidak bisa ditawar-tawar lagi seperti penanaman norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku di masyarakat, penanaman ajaran-ajaran keagamaan maupun yang lainnya. Hal ini sesuai pernyataan Dariyo 2004 bahwa tidak ada orangtua dalam mengasuh anaknya hanya menggunakan satu pola asuh dalam mendidik dan mengasuh anaknya. Dengan demikian ada kecenderungan bahwa tidak ada bentuk pola asuh yang murni dan diterapkan oleh orangtua tetapi orangtua dapat menggunakan ketiga bentuk pola asuh tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi saat itu. Henri Nouwen 2012, dalam Putra 2012 menyatakan bahwa anak bukanlah sebuah produk, namun sebuah pemberian. Jika orangtua menerapkan teknik-teknik pola asuh dengan tujuan untuk menghasilkan jenis anak tertentu, maka akan tergoda untuk mengendalikan dan memaksa anak-anak untuk menjadi orang yang di inginkan. Metode pengendalian dan memaksa ini tidak akan menghasilkan anak yang mandiri. Disisi lain, jika memberikan respon sebagai Universitas Sumatera Utara sebuah pemberian dan mengesampingkan pertahanan-pertahanan sehingga dapat berinteraksi secara kreatif dengan mereka, ini akan memberikan hasil yang memuaskan. Selanjutnya perlu diketahui bahwa penting bagi orangtua bersikap benar dalam merespon tantangan yang kuat. Bersikap menyerah sepenuhnya hampir dipastikan menjamin munculnya kemandirian anak yang rendah. Demikian halnya dengan penggunaan kekuasaan dan paksaan, teriakan, dan pukulan selalu membuat tingkah laku yang buruk. Pola pengasuhan yang penuh kehangatan dan cinta kasih, tetapi pada saat yang bersamaan pula menciptakan sebuah struktur dan batas yang jelas merupakan hal yang penting untuk mengatasi anak yang berkeinginan kuat dan meningkatkan kemandirian anak. Universitas Sumatera Utara 79

BAB 6 PENUTUP

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TINGKAT KEMANDIRIAN PERSONAL HYGIENE ANAK USIA PRASEKOLAH DI DESA BALUNG LOR KECAMATAN BALUNG KABUPATEN JEMBER

1 12 124

HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN TINGKAT KEMANDIRIAN REMAJA DI DESA LARAS KECAMATAN BANDAR HULUAN KABUPATEN SIMALUNGUN.

0 6 20

TINGKAT KEMANDIRIAN ANAK USIA PRASEKOLAH DITINJAU DARI POLA ASUH DEMOKRATIS TINGKAT KEMANDIRIAN ANAK USIA PRASEKOLAH DITINJAU DARI POLA ASUH DEMOKRATIS.

0 1 15

Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten

0 1 39

Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintonghuta Kabupaten Humbanghasundutan

0 1 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintonghuta Kabupaten Humbanghasundutan

1 1 31

BAB 1 PENDAHULUAN - Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintonghuta Kabupaten Humbanghasundutan

0 1 9

Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintonghuta Kabupaten Humbanghasundutan

0 2 13

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TINGKATKEMANDIRIAN PERSONAL HYGIENE PADA ANAK RETARDASI MENTAL DISLB NEGERI 2 YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Retardasi Mental di SLB Nege

0 1 12

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA DENGAN PERILAKU PERSONAL HYGIENE PADA ANAK DI SDN 2 ROGODONO KECAMATAN BUAYAN KABUPATEN KEBUMEN - Elib Repository

0 2 47