Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintonghuta Kabupaten Humbanghasundutan

(1)

0Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian

Personal Hygiene

pada Anak Usia Prasekolah di

Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta

Kabupaten Humbanghasundutan

SKRIPSI

Oleh

Renta R Hutasoit 111101115

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

SKRIPSI

Oleh

Renta R Hutasoit 111101115

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

(4)

(5)

Segala hormat, puji, dan kemuliaan bagi Allah yang telah memberikan anugrahNya kepada penulis hingga pada saat ini penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar

Kecamatan Lintonghuta Kabupaten Humbanghasundutan” dengan baik. Skripsi

ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar sarjana keperawatan dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Didalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, keterangan dan data-data baik secara tulis maupun secara lisan, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. dr. Dedi Ardinata, M. Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU,

Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I, Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan II, Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku pembantu Dekan III.

2. Dewi Elizadiani Suza Skp, MNS, Ph.D selaku dosen pembimbing yang selalu menyediakan waktu untuk membimbing peneliti, selalu memberikan arahan dan masukan serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Nur Asiah, S.Kep, Ns., M.Biomed sebagai dosen pembimbing Akademik

(PA) yang telah memberikan nasehat dan semangat selama menjalani kuliah di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

4. Rika Endah Nurhidayah S.Kp, M.Pd dan Reni Ariga Asmara S.Kp, MARS sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan arahan dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Achmad Fathi S.Kep. Ns., MNS; Diah Arruum, S.Kep. NS., M.Kep; dan Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes sebagai validator yang memvalidasi instrumen kemandirianpersonal hygienedalam penelitian ini.

6. Seluruh dosen & Staf Administrasi di Fakultas Keperawatan USU yang telah menyumbangkan ilmu dan memberikan bantuan dalam kelancaran selama proses penyusunan skripsi ini berlangsung.


(6)

mendukung dan mendoakan serta memberikan dukungan moril dan materil sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.

9. Kelompok Tumbuh Bersama OASIS (Kak Junita, Tetty, Puspa, Ira, Basaria, dan Rinata) dan teman seperjuangan Mei, Bertua, Erna, Leli, Wanda, Safrida, dan Chindy yang telah memberikan semangat, dukungan serta dapat berdiskusi bersama-sama. Tetap semangat meraih mimpi, jadilah perawat yang profesional dan berintegritas dimanapun kita nanti.

10. Seluruh teman-teman stambuk 2011, kakak kelas dan adek kelas di Fakultas Keperawatan USU yang selalu memberikan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi yang disusun ini masih jauh dari kesempurnaan baik isi maupun penyusunannya, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan profesi keperawatan selanjutnya.

Medan, Juli 2015

Renta R Hutasoit NIM: 111101115


(7)

Halaman

Halaman Judul... i

Lembar Orisinalitas ... ii

Lembar Pengesahan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi...viii

Daftar Skema...ix

Daftar Tabel ... x

Abstrak ... xi

Abstrak ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1 Tujuan Penelitian Umum... 8

1.3.2 Tujuan Penelitian Khusus... 8

1.4 Manfaat Penelitian... 9

1.4.1 Bagi Pendidikan Keperawatan ... 9

1.4.2 Bagi Pelayanan Keperawatan... 9

1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan...9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...10

2.1 Pola Asuh ... 10

2.1.1 Pengertian Pola Asuh ... 10

2.1.2 Jenis-jenis Pola Asuh Orangtua... 10

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua ... 15

2.1.4 Aspek-aspek Pola Asuh Orangtua... 17

2.2 Usia Prasekolah ... 18

2.2.1 Pengertian Usia Prasekolah ... 18

2.2.2 Perkembangan Anak Prasekolah ... 19

2.3 Konsep Urutan Kelahiran Anak ... 22

2.4 Kemandirian Anak ... 24

2.4.1 Konsep Kemandirian... 24

2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemandirian ... 25

2.4.3 Bentuk Kemandirian Berdasarkan Usia ... 27

2.5 Personal Hygiene ...28

2.5.1 PengertianPersonal Hygiene... 28

2.5.2 Macam-macam TindakanPersonal Hygiene... 28

2.5.3 Faktor-faktor yang MempengaruhiPersonal Hygiene... 35

2.5.4 Dampak yang Sering Timbul pada MasalahPersonal Hygiene...38

2.6 Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat KemandirianPersonal Hygienepada Anak Usia Prasekolah ... 39

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN... 41


(8)

4.2.1 Populasi Penelitian ... 44

4.2.2 Sampel Penelitian... 44

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian... 45

4.4 Etik Penelitian ... 46

4.5 Instrumen Penelitian... 46

4.5.1 Karakteristik Responden ... 46

4.5.2 Pola Asuh Orangtua ... 46

4.5.3 KemandirianPersonal Hygiene... 48

4.6 Uji Instrumen... 49

4.6.1 Validitas ... 49

4.6.2 Reliabilitas... 50

4.7 Pengumpulan Data ... 50

4.8 Analisa Data ... 51

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

5.1 Hasil Penelitian ... 54

5.1.1 Gambaran Karakteristik Responden... 54

5.1.2 Gambaran Pola Asuh Orangtua ... 56

5.1.3 Gambaran Tingkat KemandirianPersonal HygieneAnak Usia Prasekolah... 57

5.2 Uji Asumsi... 57

5.2.1 Uji Normalitas ... 57

5.2.2 UjiLinierity... 58

5.2.3 UjiOutlier... 58

5.2.4 Uji Hipotesis... 59

5.3 Pembahasan ... 60

5.3.1 Gambaran Pola Asuh Orangtua ... 60

5.3.2 Gambaran Tingkat KemandirianPersonal HyigeneAnak Usia Prasekolah... 67

5.3.3 Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene ...71

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

6.1 Kesimpulan... 79

6.2 Saran... 80

6.3 Keterbatasan Penelitian ... 80


(9)

Lampiran 1. Inform Consent Lampiran 2. Instrumen Penelitian Lampiran 3. Jadwal Tentative Penelitian Lampiran 4. Ethical clearence

Lampiran 4. Lembar bukti uji validitas instrumen kemandirianpersonal hygiene Lampiran 5. Hasil uji reliabilitas

Lampiran 6. Master data

Lampiran 7. Hasil uji normalitas data Lampiran 8. Hasil komputerisasi SPSS Lampiran 9. Surat izin uji reliabilitas Lampiran 10. Surat izin pengumpulan data

Lampiran 11. Surat telah menyelesaikan uji reliabilitas Lampiran 12. Surat telah menyelesaikan pengumpulan data

Lampiran 13. Surat pernyataan keaslian terjemahan kuesioner pola asuh orangtua Lampiran 14. Taksasi dana penelitian

Lampiran 15. Lembar bukti bimbingan Lampiran 16. Riwayat hidup


(10)

Tingkat Kemandirian Personal Hygiene Anak Usia


(11)

Halaman

Tabel 4.1 Gambaran Distribusi Item Kuesioner Pola Asuh Orangtua ... 47

Tabel 4.2 Interpretasi Nilair... 53

Tabel 5.1 Karakteristik Responden di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan (n= 33)... 54

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi pola asuh ... 56

Tabel 5.3 Distribusi deskriptif pola asuh orangtua ... 56

Tabel 5.4 Distribusi frekuensi tingkat kemandirianpersonal hygiene... 57

Tabel 5.5 Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygienepada Anak Usia Prasekolah ... 59


(12)

NIM : 111101115

Program Studi : Sarjana Keperawatan

Abstrak

Pola asuh merupakan suatu cara orangtua dalam mengasuh anak untuk melakukanpersonal hygienesecara mandiri dengan berbagai tipe pola asuh. Anak yang mandiri dalam melakukan personal hygiene dapat meningkatkan derajat kesehatan pada anak usia prasekolah. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran kecenderungan pola asuh yang digunakan, tingkat kemandirian personal hygiene dan hubungan pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Lintongnihuta. Metode yang digunakan adalah cross sectional. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 33 orang yang diambil menggunakan total sampling. Pola asuh orangtua diukur dengan menggunakan Parenting Styles And Dimensions Questionnaire yang terdiri dari 21 item dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,89 dan 0,77 pada skala kemandirian personal hygiene yang terdiri dari 19 item. Kedua data kuesioner berdistribusi normal dengan p=0,20. Uji korelasi yang digunakan adalah Pearson Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia prasekolah 75,00% (24 orang) mandiri dan pola asuh yang cenderung digunakan adalah demokratis sebanyak 78,10% (25 orang). Analisis bivariat menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara model pola asuh tertentu dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah. Perhitungan korelasi product moment diperoleh nilai r=0,48 dan nilai p=0,00 pada pola asuh demokratis, nilai r=-0,10 dan nilai p=0,57 pada pola asuh otoriter, nilai r=-0,11 dan nilai p=0,55 pada pola asuh permisif. Dengan mengetahui adanya hubungan yang positif antara pola asuh demokratis dengan kemandirian personal hygiene anak usia prasekolah diharapkan orangtua (ibu) menggunakan pola asuh demokratis untuk mendidik dan membesarkan anaknya.


(13)

Title of the Thesis : Correlation betweenParents’ Care Pattern and the Level Independence in Personal Hygiene of Preschool-Aged Children at Sugumpar Village, Lintongnihuta Subdistrict, Humbanghasundutan District

Name of Student : Renta H. Hutasoit Std. ID Number : 111101115

Study Program : S1 (Undergraduate) Nursing

ABSTRACT

Care pattern is one of the parents’ ways of taking care of the children in personal

hygiene independently by various types of care pattern. Independent children can do personal hygiene which can improve their health standard. The objective of the research was to find out the description of the inclination of care pattern, the level

of independence in personal hygiene, and the correlation between parents’ care

pattern and the level of independence of preschool-age children’s personal

hygiene at Sigumpar village, Lintongnihuta Subdistict, Humbanghasundutan District. The research used cross sectional design. The samples were 33

respondents, using total sampling technique. Parents’ care pattern was measured

using Parenting Style and Dimensions Questionnaires which consisted of 21 items with coefficient reliability of 0.89 and 0.77 at the independence scale of personal hygiene of 19 items. The two normal questionnaire data was p = 0.20. Correlation test was Pearson Product Moment. The result of the research showed that 24 respondents (75%) were independent and 25 respondents (78.1%) got democratic carte pattern. The result of bivatriate analysis showed that there was significant correlation certain care pattern model with the level oof independence of

preschool children’s personal hygiene. The calculation of product moment

correlation was r = 0.48 and p = 0.00 in democratic care pattern, r = 0.10 and p = 0.57 in authoritative care pattern, and p = 0.55 in permissive care pattern.It is recommended that parents, especially mothers, use democratic care pattern in educating their children.


(14)

NIM : 111101115

Program Studi : Sarjana Keperawatan

Abstrak

Pola asuh merupakan suatu cara orangtua dalam mengasuh anak untuk melakukanpersonal hygienesecara mandiri dengan berbagai tipe pola asuh. Anak yang mandiri dalam melakukan personal hygiene dapat meningkatkan derajat kesehatan pada anak usia prasekolah. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran kecenderungan pola asuh yang digunakan, tingkat kemandirian personal hygiene dan hubungan pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Lintongnihuta. Metode yang digunakan adalah cross sectional. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 33 orang yang diambil menggunakan total sampling. Pola asuh orangtua diukur dengan menggunakan Parenting Styles And Dimensions Questionnaire yang terdiri dari 21 item dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,89 dan 0,77 pada skala kemandirian personal hygiene yang terdiri dari 19 item. Kedua data kuesioner berdistribusi normal dengan p=0,20. Uji korelasi yang digunakan adalah Pearson Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia prasekolah 75,00% (24 orang) mandiri dan pola asuh yang cenderung digunakan adalah demokratis sebanyak 78,10% (25 orang). Analisis bivariat menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara model pola asuh tertentu dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah. Perhitungan korelasi product moment diperoleh nilai r=0,48 dan nilai p=0,00 pada pola asuh demokratis, nilai r=-0,10 dan nilai p=0,57 pada pola asuh otoriter, nilai r=-0,11 dan nilai p=0,55 pada pola asuh permisif. Dengan mengetahui adanya hubungan yang positif antara pola asuh demokratis dengan kemandirian personal hygiene anak usia prasekolah diharapkan orangtua (ibu) menggunakan pola asuh demokratis untuk mendidik dan membesarkan anaknya.


(15)

Title of the Thesis : Correlation betweenParents’ Care Pattern and the Level Independence in Personal Hygiene of Preschool-Aged Children at Sugumpar Village, Lintongnihuta Subdistrict, Humbanghasundutan District

Name of Student : Renta H. Hutasoit Std. ID Number : 111101115

Study Program : S1 (Undergraduate) Nursing

ABSTRACT

Care pattern is one of the parents’ ways of taking care of the children in personal

hygiene independently by various types of care pattern. Independent children can do personal hygiene which can improve their health standard. The objective of the research was to find out the description of the inclination of care pattern, the level

of independence in personal hygiene, and the correlation between parents’ care

pattern and the level of independence of preschool-age children’s personal

hygiene at Sigumpar village, Lintongnihuta Subdistict, Humbanghasundutan District. The research used cross sectional design. The samples were 33

respondents, using total sampling technique. Parents’ care pattern was measured

using Parenting Style and Dimensions Questionnaires which consisted of 21 items with coefficient reliability of 0.89 and 0.77 at the independence scale of personal hygiene of 19 items. The two normal questionnaire data was p = 0.20. Correlation test was Pearson Product Moment. The result of the research showed that 24 respondents (75%) were independent and 25 respondents (78.1%) got democratic carte pattern. The result of bivatriate analysis showed that there was significant correlation certain care pattern model with the level oof independence of

preschool children’s personal hygiene. The calculation of product moment

correlation was r = 0.48 and p = 0.00 in democratic care pattern, r = 0.10 and p = 0.57 in authoritative care pattern, and p = 0.55 in permissive care pattern.It is recommended that parents, especially mothers, use democratic care pattern in educating their children.


(16)

Lara, Crego, dan Maroto (2012) menyatakan bahwa masalah perilaku anak cenderung memiliki asal-usul multifaktor yang luas dan dibagi menjadi karakeristik pribadi dan faktor lingkungan atau faktor situasional. Karakteristik kepribadian dianggap sebagai hal yang paling mempengaruhi perilaku anak, selain itu juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan keluarga. Pengaruh faktor kepribadian serta temperamen, ketakutan umum dan masalah perilaku telah banyak dipelajari secara ekstensif, namun pengaruh faktor lingkungan dan situasional masih relatif kurang diteliti dan sebagian besar dilakukan di Eropa dan Asia Tenggara. Di antara faktor lingkungan dan situasional, telah didokumentasikan dengan baik bahwa pola asuh orangtua di rumah sangat berkorelasi dengan perilaku dan kemampuan sosialisasi yang ditunjukkan anak dengan lingkungan sekitarnya (Stansbury, Haley, Holly, & Herb, 2012).

Davies, Cummings, dan Winter (2004) menyatakan bahwa pola asuh orangtua memiliki dampak yang signifikan pada perilaku anak. Hubungan yang positif antara pola asuh orangtua dengan anak akan berdampak pada keberhasilan akademik anak, perkembangan kognitif, pengaturan emosi dan penyesuaian diri anak (Davidov & Grusec, 2006). Dan anak yang merasa ditolak oleh orangtua memiliki sikap agresif dan bermusuhan, harga diri rendah, ketergantungan, penurunan kemandirian dan ketidakstabilan emosi (Palmer & Hollin, 2000).

Baumrind (1966) menyatakan bahwa ada 3 model pola asuh orangtua, yaitu authoritarian, permissive and authoritative. Pola asuh authoritarian


(17)

(otoriter) dicirikan dengan orangtua yang selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak juga tanpa kehangatan dari orangtua. Pola asuh permissive (permisif) dicirikan dengan orangtua yang terlalu membebaskan anak dalam segala hal tanpa adanya tuntutan ataupun kontrol. Pola asuh authoritative (demokratif) dicirikan dengan adanya tuntutan dari orangtua disertai komunikasi terbuka antara orangtua dan anak. Orangtua sangat memperhatikan kebutuhan anak dan mencukupinya dengan mempertimbangkan faktor kepentingan dan kebutuhan.

Baumrind (1966) menyebutkan bahwa metode pola asuh yang ideal adalah pola asuh authoritative. Hal ini sejalan dengan penelitian Dehyadegary dan Nor (2012) terhadap anak remaja di Iran yang menyatakan bahwa pola asuh authoritative memiliki hubungan bermakna positive dengan pencapaian prestasi akademik. Sedangkan pola asuh permissive memiliki hubungan yang negatif dan tidak ada hubungan antara pola asuh authoritarian dengan pencapaian prestasi akademik. Berdasarkan penelitian Watabe dan Hibbard (2014) dinyatakan bahwa motivasi pencapaian prestasi akademik anak-anak di Amerika tinggi dengan pola asuh authoritative dan authoritarian, sedangkan di Jepang hanya sedikit dipengaruhi oleh pola asuh orangtua.

Pada penelitian lintas budaya yang dilakukan oleh Choi, Kim, Kim, dan Park (2013) ditunjukkan bahwa pola asuhauthoritatian paling rutin digunakan di banyak budaya, termasuk budaya Asia dan menghasilkan anak yang optimal. Tetapi penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Pong, Johnston, dan


(18)

Chen (2010) di Taiwan yang melaporkan bahwa pola asuh authoritarian berhubungan prestasi akademik anak yang buruk.

Schmidt (2005) menyatakan bahwa masing-masing pola asuh orangtua yang ada akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pembentukan kepribadian dan perilaku anak. Orangtua merupakan lingkungan terdekat yang selalu mengitari anak sekaligus menjadi figur dan idola mereka. Model perilaku orangtua secara langsung maupun tidak langsung akan dipelajari dan ditiru oleh anak. Anak meniru bagaimana orangtua bersikap, bertutur kata, mengekspresikan harapan, tuntutan dan kritikan satu sama lain, menanggapi dan memecahkan masalah, serta mengungkapkan perasaan dan emosinya.

Rahmayanti dan Pujiastuti (2012) menyatakan dalam penelitiannya di TK Kartika-9 Cimahi kepada 37 responden mengenai hubungan pola asuh orangtua dengan perkembangan anak usia prasekolah bahwa sebagian besar orangtua menggunakan pola asuh demokratis yaitu 26 orangtua (70,3%), sangat sedikit yang menggunakan pola asuh otoriter yaitu 6 orangtua (16,2%) dan permisif hanya 5 orangtua (13,5%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai p value =

0,013 (< α = 0,05) artinya terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan

perkembangan anak usia pra sekolah di TK Kartika X-9 Cimahi. Demikian juga pada penelititan Kirana (2013) pada anak usia 3-6 tahun di Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara model pola asuh dengan intensitas temper tantrum anak. Dimana anak yang dibesarkan dengan pola asuh demokratis memiliki intensitas temper tantrum yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter dan pola


(19)

asuh permisif. Sejalan juga dengan penelitian Puspita (2012) di TK IV Saraswati Denpasar, pola asuh orangtua memiliki hubungan yang signifikan dengan kepercayaan diri pada anak prasekolah. Dimana ditunjukan bahwa pola asuh demokratis menghasilkan anak dengan kepercayaan diri yang tinggi.

Bowlby (1956) menyatakan bahwa hampir seluruh orangtua mengharapkan anaknya tumbuh menjadi anak yang mandiri, percaya diri dan mampu berhubungan dengan yang lain. Kemandirian anak akan terlihat dalam berbagai hal seperti bersosialisasi, belajar dan berperilaku hidup bersih dan sehat (Soetjiningsih, 1995). Dan waktu yang paling tepat untuk melatih kemandirian anak adalah di usia prasekolah. Memasuki masa prasekolah ini sebenarnya anak sudah bisa menangkap keinginan orangtua dan kemandirian lama-kelamaan akan terbentuk.

Dalam The Center on the Social and Emotional Foundations for Early Learning,seorang guru prasekolah menyatakan bahwa seorang anak yang berusia 5 tahun sangat suka menolong dan mandiri. Lebih lanjut lagi dijelaskan kemampuan anak pada usia 5 tahun, antara lain: mengikuti peraturan dan rutinitas yang sudah ditentukan (mencuci tangan sebelum makan, meletakkan baju kotor ke keranjang, menggosok gigi sebelum tidur), mandiri memulai rutinitas yang sederhana (memakai dan melepaskan baju, mencuci tangan, menggosok gigi, makan malam dengan duduk di meja makan, mandi ditonton oleh orang dewasa), dan mandiri dengan kemampuan perawatan diri lain. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Cottingham (2004) bahwa anak-anak harus belajar menjaga kebersihan diri mereka mulai dari usia dini.


(20)

Curtis et al. (2001) juga mengatakan bahwa usia dini adalah sebuah periode formatif perkembangan kebiasaan kesehatan, termasuk cara mencuci tangan yang baik. Kebiasaan hidup sehat akan berdampak pada kesehatan anak-anak yang lebih baik. Oleh karena itu, mengajarkan anak-anak-anak-anak bertanggungjawab pada kesehatan mereka sendiri adalah penting. Paliwal (2014) mengatakan bahwa pendidikan kesehatan biasanya dimulai dengan keluarga dan akhirnya anak akan belajar bagaimana melakukannya dan mereka akan menjaga kebersihan diri sendiri. Dan anak-anak yang belajar personal hygiene di usia dini akan terbiasa mempraktikkannya sampai usia dewasa. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mhaske et al. (2014) terhadap anak usia sekolah di kota Pune ditemukan bahwa personal hygienelebih baik kondisinya pada anak perempuan dibandingkan laki-laki. Anak laki-laki lebih ceroboh terhadap kebersihan diri apalagi semakin tinggi usianya.

Mehta dan Kaur (2012) menyatakan praktik personal hygiene termasuk mandi secara teratur, mencuci tangan secara teratur, mencuci sisir, memotong rambut secara teratur, memakai pakaian yang bersih, menggosok gigi, mengganti sikat gigi secara teratur, memotong kuku, mencuci pakaian dalam setiap harinya dan lain sebagainya. Tetapi, beberapa hal dasar yang sangat penting untuk anak-anak adalah membersihkan badan, seperti kotoran dan bau badan, mandi setiap hari, membersihkan tangan teratur, menggosok gigi dua kali sehari.

Oyibo (2012) menyatakan bahwa pengetahuan dan pelaksanaan yang rendah dari personal hygiene seperti mencuci tangan sangat berperan sebagai indikasi penularan penyakit dan hal itu memiliki konsekuensi negatif pada


(21)

perkembangan anak dalam jangka panjang. Dan hasil pada penelitian Rosen, Manor, dan Engelhard (2009) di Yerusalem pada 40 kelas prasekolah menunjukkan bahwa mencuci tangan yang sederhana dengan sabun membantu melindungi anak-anak dari penyakit yang paling membunuh yaitu, diare dan infeksi saluran pernafasan bagian bawah.

Nefer (2014) mengatakan lingkungan dan personal hygiene yang buruk berbahaya pada kesehatan anak-anak. Anak-anak yang tidak bersih sering diserang demam, diare, flu dan sebagainya yang disebabkan oleh terpapar udara yang berlebihan yang membawa kuman. Penyakit rongga mulut dan gusi disebabkan oleh ketidakpedulian oral hygiene dan menjadi penyebab gigi prematur. Sejalan dengan Albertsson dan Dijken (2010) yang mengatakan bahwa kesehatan mulut adalah bagian integral dari kesehatan secara umum. Kesehatan mulut yang buruk dapat berdampak merugikan pada kesehatan secara keseluruhan. Karena itu kesehatan mulut sangatlah penting dan hal itu dapat dicapai denganoral hygieneyang baik.

Penelitian Kamath, Bijle, Walimbe, dan Patil (2014) di Mangalore yang bertujuan untuk mengkaji kesadaran anak-anak tentang praktik oral hygiene di populasi pedesaan menunjukkan bahwa pengetahuan dan praktik oral hygiene anak-anak baik, tetapi masih perlu untuk dikembangkan lagi. Dimana data praktik oral hygienedikumpulkan dengan mengisi kuisioner yang dikelola sendiri. Survey ini menunjukkan 52% anak menyikat gigi 2 kali sehari dengan 98,9% anak-anak menyikat gigi secara horizontal. Sedangkan 5,3% tidak menggunakan alat


(22)

bantu dalam melakukan oral hygiene. Padahal tidak satupun anak yang sudah pernah mengikuti interaktif tentang pendidikanoral hygiene.

Soetjiningsih (1995) juga menyatakan bahwa kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memiliki peranan penting dalam tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan yang kurang akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare,cacingan, scabies, karies gigi dan sebagainya. Riset Kesehatan Dasar (2013) menyebutkan bahwa di Indonesia period prevalence Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan penduduk adalah 25,0 persen, insiden dan prevalensi pneumonia tahun 2013 adalah 1,8 persen dan 4,5 persen , insiden diare pada kelompok usia balita adalah 10,2 persen dan prevalensi nasional masalah gigi dan mulut adalah 25,9 persen. Untuk perilaku benar dalam menyikat gigi berkaitan dengan faktor gender, ekonomi, dan daerah tempat tinggal. Ditemukan sebagian besar penduduk Indonesia menyikat gigi pada saat mandi pagi maupun mandi sore, (76,6%). Menyikat gigi dengan benar adalah setelah makan pagi dan sebelum tidur malam, untuk Indonesia ditemukan hanya 2,3 persen.

Berdasarkan fenomena di atas peneliti ingin melakukan penelitian tentang hubungan pola asuh orangtua dengan kemandirian personal hygiene anak usia prasekolah. Pola asuh orangtua yang tepat akan memberikan implikasi pada pelaksanaan personal hygiene anak sehingga dapat mencapai kemandirian anak di usia prasekolah.


(23)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan diteliti adalah apakah ada hubungan antara pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirian personal hygiene anak prasekolah yang berusia 5 tahun di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak prasekolah yang berusia 5 tahun di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi karakteristik responden di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Lintongnihuta

2. Mengidentifikasi pola asuh orangtua pada anak prasekolah yang berusia 5 tahun di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Lintongnihuta 3. Mengidentifikasi tingkat kemandirianpersonal hygienepada anak prasekolah

berusia 5 tahun di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Lintongnihuta

4. Menganalisis hubungan pola asuh orangtua terhadap tingkat kemandirian personal hygiene pada anak prasekolah berusia 5 tahun di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Lintongnihuta


(24)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Pendidikan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengembangan pengetahuan serta menjadi evidencekhususnya dalam pengajaran di perkuliahan pada keperawatan komunitas dan anak.

1.4.2 Bagi Pelayanan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap program-program di pelayanan keperawatan khususnya keperawatan anak, keperawatan keluarga, dan komunitas. Program yang dapat dilakukan oleh perawat komunitas dengan perawat anak adalah mensosialisasikan pentingnya kemandirianpersonal hygienedi usia dini.

1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Memberikan informasi tentang hubungan pola asuh orangtua dengan kemandirian personal hygiene pada anak usia prasekolah sehingga berguna bagi para peneliti yang ingin meneliti faktor-faktor lain lain yang berkaitan dengan kemandirian anak.


(25)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Asuh 2.1.1 Pengertian

Menurut Thoha (1996) pola asuh orangtua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orangtua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggungjawab kepada anak. Sedangkan menurut Hurlock (1998) pola asuh orangtua adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orangtua terhadap anaknya. Metode disiplin ini meliputi dua konsep yaitu konsep negatif dan konsep positf. Menurut konsep negatif, disiplin berarti pengendalian dengan kekuasaan. Ini merupakan suatu bentuk pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan menyakitkan. Sedangkan menurut konsep positif, disiplin berati pendidikan dan bimbingan yang lebih menekankan pada disiplin dan pengendalian diri.

Lebih jauh Hurlock (1998) juga menyebutkan bahwa fungsi pokok dari pola asuh orangtua adalah untuk mengajarkan anak menerima pengekangan-pengekangan yang diperlukan dan membantu mengarahkan emosi anak ke dalam jalur yang berguna dan diterima secara sosial. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh orangtua adalah cara mengasuh dan metode disiplin orangtua dalam menjalankan perannya yang berhubungan dengan anaknya dengan tujuan membentuk karakter, kepribadian dan perilaku anak hingga anak dewasa.

2.1.2 Jenis-jenis Pola Asuh

Baumrind (1966) menyebutkan hasil penelitian sebelumnya tentang sosialisasi kompetensi bahwa pola asuh orangtua yang berbeda menghasilkan sikap anak yang berbeda juga. Konsep pola asuh yang paling sering digunakan


(26)

diturunkan dari dua dimensi kerangka konsep Baumrind yaitu respon dan tuntutan (Watabe & Hibbard, 2014).

Afriani et al. (2012) menyatakan respon mengacu pada sejauh mana orangtua mendorong anak, mendukung dan sepakat dengan permintaan anak-anak dengan kehangatan dan komunikasi. Sedangkan tuntutan mengacu pada klaim orangtua pada anak-anak untuk terintegrasi ke dalam masyarakat oleh perilaku regulasi, konfrontasi langsung, serta batas waktu (kontrol perilaku) dan pengawasan atau pemantauan kegiatan anak-anak.

Dari dua dimensi tersebut, Baumrind (1966) mengekstrak tiga kategori pola asuh, yaitu:

a. Pola AsuhAuthoritarian

Baumrind (1966) menjelaskan pola asuh authoritarian (otoriter) adalah pola asuh yang membatasi, menghukum dan menuntuk anak untuk mengikuti perintah-perintah-perintah orangtua dan menghormati pekerjaan serta usaha. Orangtua menuntut anak mengikuti perintah-perintahnya, sering memukul anak, memaksakan aturan tanpa penjelasan, dan menunjukkan amarah. Orangtua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidakmemberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara atau bermusyawarah.

Menurut Hurlock (2010), peraturan yang keras untuk memaksa perilaku yang diinginkan menandai semua jenis pola asuh yang otoriter. Tekniknya mencakup hukuman yang berat bila terjadi kegagalan memenuh standar dan sedikit, atau sama sekali tidak adanya persetujuan, pujian atau tanda-tanda penghargaan lainnya bila anak memenuhi standa-tandar yang diharapkan.


(27)

Orangtua tidak mendorong anak untuk mandiri dengan mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan tindakan mereka. Sebaliknya, mereka hanya mengatakan apa yang harus dilakukan. Jadi anak-anak kehilangan kesempatan belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri.

Dengan cara otoriter, ditambah sikap keras, menghukum dan mengancam akan menjadikan anak patuh di hadapan orangtua, tetapi di belakangnya ia akan menentang atau melawan karena anak merasa dipaksa. Reaksi menentang bisa ditampilkan dalam tingkah laku yang melanggar norma-norma lingkungan rumah, sekolah dan pergaulan (Gunarsa, 2008). Efek pengasuhan ini akan membuat anak mengalami inkompetensi sosial, sering merasa tidak bahagia, kemampuan komunikasi lemah, tidak memiliki inisiatif melakukan sesuatu, dan kemungkinan berperilaku agresif (Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang otoriter seringkali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah, serta sering berperilaku agresif (Santrock, 2002).

b. Pola AsuhPermissive

Baumrind (1966) menjelaskan bahwa pola asuh permissive (permisif) adalah pola asuh dimana orang orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orangtua lebih penting daripada diri mereka. Biasanya pola asuh permisif tidak membimbing anak ke pola perilaku yang disetujui secara sosial dan tidak menggunakan hukuman. Orangtua membiarkan anak-anak meraba-raba


(28)

dalam situasi yang terlalu sulit untuk ditanggulangi oleh mereka sendiri tanpa bimbingan atau pengendalian. Anak sering tidak diberi batas-batas atau kendala yang mengatur apa saja yang boleh dilakukan. Mereka diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan berbuat sekehendak mereka sendiri (Hurlock, 2010).

Menurut Gunarsa (2008), karena harus menentukan sendiri, maka perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah. Pada anak tumbuh egosentrisme yang terlalu kuat dan kaku, dan mudah menimbulkan kesulitan-kesulitan jika harus menghadapi larangan-larangan yang ada dalam masyarakat. Efek pengasuhan ini anak akan memiliki kendali diri yang buruk, inkompentensi sosial, tidak mandiri, harga diri rendah, tidak dewasa, rasa terasing dari keluarga, serta pada saat remaja akan suka membolos dan nakal (Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang permisif akan memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, kesulitan belajar menghormati orang lain, kesulitan mengendalikan perilakunya, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam berhubungan dengan teman sebaya (Santrock, 2002).

c. Pola AsuhAuthoritative

Baumrind (1966) menjelaskan bahwa pola asuh authoritative (demokratis) adalah pola asuh yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan dan orangtua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Pengasuhan yang demokratif diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak.


(29)

Menurut Hurlock (2010), metode demokratis menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan. Metode ini lebih menekankan aspek edukatif dari disiplin daripada aspek hukumannya. Pola asuh ini menggunakan hukuman dan penghargaan, dengan penekanan yang lebih besar pada penghargaan. Hukuman tidak pernah keras dan biasanya tidak terbentuk hukuman badan. Hukuman hanya digunakan bila terdapat bukti bahwa anak-anak sadar menolak melakukan apa yang diharapkan dari mereka. Bila perilaku anak memenuhi standar yang diharapkan, orangtua yang demokratis akan menghargainya dengan pujian atau persetujuan oranglain.

Dengan cara demokratis ini pada anak akan tumbuh rasa tanggungjawab untuk memperlihatkan sesuatu tingkah laku dan selanjutnya memupuk rasa percaya dirinya. Anak akan mampu bertindak sesuai norma dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Gunarsa, 2008). Efek pengasuhan demokratis, yaitu anak mempunyai kompetensi sosial percaya diri dan bertanggungjawab secara sosial. Juga tampak ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, berorientasi pada prestasi, mempertahankan hubungan ramah dengan teman sebaya, mampu bekerja sama dengan orang dewasa, dan mampu mengatasi stres dengan baik (Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang demokratis ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi, mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik (Santrock, 2002)


(30)

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

Dalam memberlakukan pola asuh di lingkungan keluarga, orangtua dipengaruhi oleh beberapa hal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap anak menurut Hurlock (2010) adalah:

a. Kesamaan dengan disiplin yang digunakan orangtua

Jika orangtua mereka memberikan pola asuh yang baik maka akan mereka tetapkan juga pada anak mereka, namun sebaliknya jika kurang sesuai maka akan digunakan cara yang berlawanan.

b. Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok

Semua orangtua lebih dipengaruhi oleh apa yang oleh anggota kelompok mereka dianggap sebagai cara terbaik, daripada oleh pendirian mereka sendiri mengenai apa yang terbaik.

c. Usia orangtua

Orangtua yang lebih muda cenderung demokratis dan permisif dibandingkan dengan mereka yang tua. Mereka cenderung mengurangi kendali ketika anak beranjak remaja.

d. Pendidikan untuk menjadi orangtua

Orangtua yang belajar cara mengasuh anak dan mengerti kebutuhan anak akan lebih menggunakan pola asuh yang demokratis daripada orangtua yang tidak mengerti.


(31)

e. Jenis kelamin

Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya dibanding pria, dan mereka cenderung kurang otoriter. Hal ini berlaku untuk orangtua maupun pengasuh lainnya.

f. Status sosial ekonomi

Orangtua dari kalangan menengah ke bawah akan lebih otoriter dan memaksa daripada mereka yang dari menengah ke atas. Semakin tinggi pendidikan pola asuh yang digunakan semakin cenderung demokratis.

g. Konsep mengenai peran orang dewasa

Orangtua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orangtua, cenderung lebih otoriter dibandingkan orangtua yang telah menganut konsep modern.

h. Jenis kelamin anak

Orangtua pada umunya akan lebih keras terhadap anak perempuan daripada terhadap anak laki-lakinya.

i. Usia anak

Pola asuh otoriter digunakan untuk anak kecil, karena anak-anak tidak mengerti penjelasan sehingga mereka memusatkan perhatian pada pengendalian otoriter.

j. Situasi

Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman, sedangkan sikap menantang, negativitisme, dan agresi kemungkinan lebih mendorong pengendalian yang otoriter.


(32)

2.1.4 Aspek-aspek Pola Asuh Orangtua

Dalam menerapkan pola asuh terdapat unsur-unsur penting yang dapat mempengaruhi pembentukan pola asuh pada anak. Hurlock (2010) mengemukakan bahwa pola asuh orangtua memiliki aspek-aspek berikut ini:

a. Peraturan, tujuannya adalah untuk membekali anak dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu. Hal ini berfungsi untuk mendidik anak bersikap lebih bermoral. Karena peraturan memiliki nilai pendidikan mana yang baik serta mana yang tidak, peraturan juga akan membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan. Peraturan haruslah mudah dimengerti, diingat dan dapat diterima oleh anak sesuai dengan fungsi peraturan itu sendiri.

b. Hukuman, yang merupakan sangsi pelanggaran. Hukuman memiliki tiga peran penting dalam perkembangan moral anak. Pertama, hukuman menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Kedua, hukuman sebagai pendidikan, karena sebelum anak tahu tentang peraturan mereka dapat belajar bahwa tindakan mereka benar atau salah, dan tindakan yang salah akan memperoleh hukuman. Ketiga, hukuman sebagai motivasi untuk menghindari perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.

c. Penghargaan, bentuk penghargaan yang diberikan tidaklah harus yang berupa benda atau materi, namun dapat berupa kata-kata, pujian, senyuman, ciuman. Biasanya hadiah diberikan setelah anak melaksanakan hal yang terpuji. Fungsi penghargaan meliputi penghargaan yang mempunyai nilai yang mendidik, motivasi untuk mengulang perilaku yang disetujui secara sosial serta memperkuat


(33)

perilaku yang disetujui secara sosial, dan tidak ada penghargaan yang melemahkan keinginan untuk mengulang perilaku itu.

d. Konsistensi, berarti kestabilan atau keseragaman. Sehingga anak tidak bingung tentang apa yang diharapkan dari mereka. Fungsi konsistensi adalah mempunyai nilai didik yang besar sehingga dapat memacu proses belajar, memiliki motivasi yang kuat dan mempertinggi penghargaan terhadap peraturan dan orang yang berkuasa. Oleh karena itu kita harus konsiten dalam menetapkan semua aspek disiplin agar nilai yang kita miliki tidak hilang.

2.2 Usia Prasekolah

2.2.1 Pengertian Anak Prasekolah

Anak usia prasekolah merupkan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya) (Yusuf, 2011). Batasan anak usia prasekolah adalah dari setelah kelahiran 0 tahun hingga usia sekitar 6 tahun (Prastisti, 2008).

Anak prasekolah adalah anak yang berusia antara tiga setengah hingga enam tahun, sebelum anak memulai pendidikan formal di sekolah. Anak prasekolah tidak lagi nampak seperti bayi, dia belajar bersikap lebih dewasa dan bisa melakukan hal yang menyenangkan bagi orang-orang dewasa dalam hidupnya ketika dia mendapatkan pengakuan dan pujian atas karyanya (Hagan, 2006).


(34)

Maka dapat disimpulkan bahwa anak prasekolah adalah anak yang berusia tiga hingga enam tahun, sebelum anak memulai pendidikan formal.

2.2.2 Perkembangan Anak Prasekolah

Wong (2008), kombinasi pencapaian biologis, psikososial, kognitif, spiritual, dan sosial selama periode prasekolah (usia 3 sampai 5 tahun) mempersiapkan anak prasekolah untuk perubahan gaya hidupnya yang paling bermakna yaitu masuk sekolah. Kontrol mereka terhadap fungsi tubuh, pengalaman periode perpisahan yang pendek dan panjang, kemampuan berinteraksi secara kerjasama dengan anak lain dan orang dewasa, penggunaan bahasa untuk simbolisasi mental, dan meningkatnya rentang perhatian dan memori mempersiapkan mereka untuk periode mayor berikutnya, masa sekolah. Keberhasilan pencapaian tingkat pertumbuhan dan perkembangan sebelumnya sangat penting bagi anak prasekolah untuk memperhalus tugas-tugas yang telah mereka kuasai selama masa toodler.

Dalam Wong (2008) disebutkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia 5 tahun selama masa prasekolah, antara lain:

a. Fisik: 1) denyut nadi dan respirasi sedikit menurun, 2) rata-rata berat badan 18,7 kg, 3) rata-rata tinggi badan 110 cm, 4) erupsi gigi permanen mungkin sudah mulai, dan 5) dominansi tangan sudah tercapai (sekitar 90% tidak kidal).

b. Motorik kasar: 1) lompat tali dengan melompat kanan-kiri secara bergantian, 2) melempar dan menangkap bola dengan baik, 3) lompat tali, 4) bermain papan luncur dengan keseimbangan yang baik, 5) berjalan mundur


(35)

dengan tumit ke jari, 6) Melompat dari ketinggian 30 cm dan mendarat pada jari kaki, dan 7) keseimbangan berjalan dengan kaki kanan-kiri secara bergantian dengan mata tertutup.

c. Motorik halus: 1) mengikat tali sepatu, 2) menggunakan gunting, peralatan sederhana, atau pensil dengan sangat baik, 3) dalam menggambar, menyiplak wajk dan segitiga, tambahkan tujuh sampai sembilan bagian untuk membentuk suatu gambar, cetak beberapa surat, atau kata-kata seperti nama pertama.

d. Bahasa: 1) memiliki perbendaharaan sekitar 2100 kata, 2) menggunakan kalimat yang terdiri atas enam sampai delapan kata,dengan semua bagian percakapan, 3) menamakan koin (misalnya, nikle, dime), 4) menamakan empat warna atau lebih, 5) menerangkan gambar atau lukisan dengan banyak komentar dan menyebutkan satu per satu, 6) mengetahui nama-nama hari dalam satu minggu, bulan dan kata-kata yang berhubungan dengan waktu lainnya, 7) mengetahui komposisi benda seperti “sepatu terbuat dari....”, dan 8) dapat mengikuti tiga perintah secara berturut-turut.

e. Sosialisasi: 1) sifat pemberontak dan menyukai percekcokan lebih jarang dari usia 4 tahun, 2) lebih mapan dan memiliki hasrat besar dalam menjalankan kesibukan, 3) pikiran dan perilaku tidak sama terbuka dan terjangkaunya dengan pada tahun-tahun sebelumnya, 4) mandiri tetapi dapat dipercaya, tidak keras kepala, lebih bertanggung jawab, 5) ketakutannya lebih sedikit, percaya pada otoritas di luar untuk mengontrol dunia, 6) sangat berkeinginan untuk melakukan sesuatu dengan benar dan menyenangkan orang


(36)

lain, berusaha hidup dalam aturan, 7) perilakunya lebih baik, 8) mengasuh diri sendiri secara total, terkadang perlu supervisi dalam berpakaian atau hygiene, 9) tidak siap untuk berkonsentrasi pada pekerjaan dekat atau cetakan kecil karena agak rabun dekat dan koordinasi mata-tangannya masih belum halus, dan 10) bermain bersifat aosiatif, mencoba mengikuti aturan tetapi mungkin bermain curang untuk menghindari kekalahan.

f. Kognisi: 1) mulai mempertanyakan tentang apa yang dipikirkan orangtu dengan membandingkan mereka terhadap teman sebaya dan orang dewasa lain, 2) dapat memperhatikan adanya prasangka dan bias di dunia luar, 3) lebih mampu melihat perspektif orang lain tetapi lebih menoleransi perbedaan daripada memahaminya, 4) mulai memperlihatkan pemahaman terhadap perccakapan tentang jumlah melalui penghitungan benda-benda tanpa memerhatikan susunannya, 5) menggunakan kata-kata berorientasi waktu dengan pemahaman yang lebih baik, dan 6) Sangat ingin tahu mengenai informasi nyata berkenaan dengan dunia.

g. Hubungan keluarga: 1) bekerja sama dengan orangtua secara baik, 2) mungkin lebih sering mencri orangtua dibandingkan usia 4 tahun untuk mencari rasa aman dan ketenangan, terutama ketika masuk sekolah, 3) mulai menanyakan pemikiran dan prinsip orangtua, 4) sangat mengidentifikasi orangtua dengan jenis kelamin yang sama, terutama anak lelaki dengan ayahnya, dan 5) menyukai aktivitis seperti olahraga, memasak, dan berbelanja dengan orangtua berjenis kelamin sama.


(37)

2.3 Konsep Urutan Kelahiran Anak

Penelitian-penelitian longitudinal yang telah dilakukan mengenai efek berbagai posisi urutan realatif hanya sedikit. Namun beberapa penelitian terhadap anak-anak yang lebih besar, remaja-remaja dan orang-orang dewasa dari berbagai posisi urutan menunjukkan betapa posisi urutan dapat menjadi faktor yang kuat dalam menentukan jenis penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang harus dilakukan individu sepanjang rentang kehidupannya.

Beberapa ciri umum sehubungan dengan urutan kelahiran anak menurut Hurlock (1980):

1. Anak pertama: 1) berperilaku secara matang karena berhubungan dengan orang-orang dewasa dan karena diharapkan memikul tanggung jawab, 2) benci terhadap fungsinya sebagai teladan bagi adik-adiknya sebagai pengasuh mereka, 3) cenderung mengikuti kehendak dan tekanan kelompok dan mudah dipengaruhi untuk mengikuti kehendak orangtua, 4) mempunyai perasaan kurang aman dan perasaan benci sebagai akibat dari lahirnya adik yang sekarang menjadi pusat perhatian, 5) kurang agresif dan kurang berani karena perlindungan orangtua yang berlebihan, 6) mengembangkan kemampuan memimpin sebagai akibat dari harus memikul tanggungjawab di rumah. Tetapi ini sering disanggah dengan kecenderungan untuk menjadi bos, 7) biasanya berprestasi tinggi atau sangat tinggi karena tekanan dan harapan orangtua dan keinginan untuk memperoleh kembali perhatian orangtua bila ia merasa bahwa adik-adiknya merebut perhatian orangtua dari dirinya, dan 8) sering tidak bahagia karena adanya perasaan kurang aman yang timbul dari kurangnya perhatian orangtua dengan kelahiran


(38)

adik-adiknya dan benci karena mempunyai tugas dan tanggungjawab yang lebih banyak daripada adik-adiknya.

2. Anak tengah: 1) belajar mandiri dan bertualang adalah akibat dari kebebasan yang lebih banyak, 2) menjadi benci atau berusaha melebihi perilaku kakaknya yang lebih diunggulkan, 3) tidak menyukai keistimewaan yang diperoleh kakaknya, 4) bertingkah dan melanggar peraturan untuk menarik perhatian orangtua bagi dirinya sendiri dan merebut perhatian orangtua dari kakak atau adik-adiknya, 5) mengembangkan kecenderungan untuk menjadi bos, mengejek, mengganggu, atau bahkan menyerang adik-adiknya yang memperoleh lebih banyak perhatian orangtua, 6) mengembangkan kebiasaan untuk tidak berprestasi tinggi karena kurangnya harapan-harapan orangtua dan kurangnya tekanan untuk berprestasi, 7) mempunyai tanggung jawab yang lebih sedikit dibandingkan tanggung jawab anak pertama. Sering ditafsirkan bahwa anak tengah lebih rendah daripada anak pertama. Hal ini melemahkan pengembangan sifat-sifat kepemimpinan, 8) terganggu oleh perasaan-perasaan diabaikan orangtua yang selanjutnya mendorong timbulnya perkembangan gangguan perilaku. Hal ini seringkali mengakibatkan penyesuaian sosial yang lebih baik daripada penyesuaian anak pertama, dan 9) mencari persahabatan dengan teman-teman sebaya di luar rumah, hal ini seringkali mengakibatkan penyesuaian sosial yang lebih baik daripada penyesuaian anak pertama.

3. Anak bungsu: 1) cenderung keras dan banyak menuntut sebagai akibat dari kurang ketatnya disiplin dan dimanjakan oleh anggota-anggota keluarga, 2) tidak banyak memiliki rasa benci dan rasa aman yang lebih besar karena tidak


(39)

pernah disaingi oleh saudara-saudaranya yang lebih muda, 3) biasanya dilindungi orangtua dari serangan fisik atau verbal kakak-kakaknya dan hal ini mendorong ketergntungan dan kurangnya rasa tanggung jawab, 4) cenderung tidak berprestasi tinggi karena kurangnya harapan dan tuntutan orangtua, 5) mengalami hubungan sosial yang baik di luar rumah dan biasanya populer tetapi jarang menjadi pemimpin karena kurangnya kemauan memikul tanggung jawab, dan 6) cenderung merasa bahagia karena memperoleh perhatian dan dimanjakan anggota-anggota keluarga selama awal masa kanak-kanak.

2.4 Kemandirian Anak

2.4.1 Konsep Kemandirian

Dalam teori kemandirian yang dikembangkan Steinberg (1995) istilah independence dan autonomy sering disejajarartikan secara berganti (interchangeable) sesuai dengan konsep kedua istilah tersebut. Meski secara umum kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama yakni kemandirian, tetapi sesungguhnya secara konseptual kedua istilah tersebut berbeda. Secara leksikal independence mengacu kepada kapasitas individu untuk memperlakukan diri sendiri. Steinberg (1995) menyatakan independence generally refers to

individuals’ capacity to behave on their own. Berdasarkan konsep independence ini Steinberg (1995) menjelaskan bahwa anak yang sudah mencapaiindependence ia mampu menjalankan atau melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain terutama orangtua. Misalnya, ketika anak ingin buang air kecil ia langsung pergi ke toilet, tidak merengek-rengek meminta dibantu buka celana atau minta dicarikan tempat kencing. Kemandirian yang mengarah kepada


(40)

konsepindependence ini merupakan bagian dari perkembangan autonomyselama masa remaja, hanya autonomy mencakup dimensi emosional, behavioral, dan nilai. Steinberg (1995) menegaskan the growth of independence is surely a part of becoming autonomous during adolescence.

Wijaya (1986), mengemukakan tiga istilah yang bersepadanan untuk menunjukkan kemampuan berdikari anak, yaitu autonomy, kompetensi, dan kemandirian. Menurutnya, kompetensi berarti kemampuan untuk bersaing dengan individu-individu lain yang normal. Kompetensi juga menunjuk pada suatu taraf mental yang cukup pada individu untuk memikul tanggungjawab atas tindakan-tindakannya. Istilah autonomy seringkali disamaartikan dengan kemandirian, sehingga didefenisikan bahwa individu yang otonom ialah individu yang mandiri, tidak mengandalkan bantuan atau dukungan orang lain yang kompeten, dan bebas bertindak. Padahal dalam perspektif Widjaja (1986) autonomy dan kemandirian adalah dua konsep yang berbeda. Menurutnya, kemandirian menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan khusus dari orang lain, keengganan untuk dikontrol orang lain, dapat melakukan sendiri masalah-masalah yang dihadapi.

Berdasarkan konsep-konsep di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk menguasai, mengatur, atau mengelola diri sendiri.

2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemandirian

Setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya. Banyak faktor yang menyebabkan perbedaan


(41)

kemampuan individual anak. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian anak (Soetjiningsih, 1995):

a. Faktor Internal

1) Faktor emosi ditujukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak terganggunya kebutuhan emosi anak.

2) Faktor intelektual yang ditujukkan dengan kemampuan untuk mengatasi masalah yang dihadapi anak.

b. Faktor Eksternal

1) Lingkungan merupakan faktor yang menentukan tercapai atau tidaknya kemandirian anak prasekolah. Pada usia ini anak membutuhkan kebebasan untuk bergerak kesana-kemari dan mempelajari lingkungan.

2) Karakteristik sosial mempengaruhi kemandirian anak, misalnya tingkat kemandirian anak dari keluarga miskin berbeda dengan anak-anak dari keluarga kaya.

3) Anak yang mendapat stimulus terarah dan teratur akan lebih cepat mandiri dibanding dengan anak yang kurang mendapat stimulasi.

4) Pola asuh, anak dapat mendiri dengan diberi kesempatan, dukungan dan peran orangtua sebagai pengasuh.

5) Cinta dan kasih sayang kepada anak hendaknya diberikna sewajarnya karena jika diberikan berlebihan, anak menjadi kurang mandiri. Hal ini dapa diatasi bila interaksi dua arah antara orangtua dan anak berjalan lancar dan baik.


(42)

6) Kualitas informasi anak dan orangtua yang dipengaruhi pendidikan orangtua, dengan pendidikan yang baik, informasi dapat diberikan pada anak karena orangtua dapat menerima informasi dari luar terutama cara meningkatkan kemandirian anak.

7) Status pekerjaan ibu, apabila ibu bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah maka ibu tidak bisa memantau kemandirian anak sesuai perkembangan usianya. Sedangkan ibu yang tidak bekerja, ibu dapat memantau langsung kemandirian anak dan bisa memandirikan anaknya.

2.4.3 Bentuk Kemandirian Berdasarkan Usia

Orangtua sudah saatnya mengetahui tentang standart kompetensi anak, yaitu kompetensi anak sesuai tahapan usia dari berbagai aspek perkembangan. Hal ini perlu diketahui agar para orangtua mengetahui kompetensi apa yang sepatutnya dimiliki oleh anaknya. Salah satu manfaatnya adalah untuk menghindari orangtua menetapkan standart di atas kemampuan anak sebenarnya.

Berikut bentuk kemandirian anak berdasarkan usia menurut Wening (2012 dalam Putra, 2012):

a. Usia 3-4 tahun

Bentuk kemandirian anak pada usia prasekolah ini adalah sikat gigi sendiri meski belum sempurna, membuka dan memakai pakaian kaos dan celana berkaret, memakai sepatu berperekat, mandiri sendiri pada waktunya, buang air kecil di kamar mandi, mencuci tangan tanpa bantuan sebelum dan sesudah beraktifitas, menuang air tanpa tumpah dan minum sendiri dengan gelas tanpa gagang maupun cangkir bergagang, membereskan mainan usai bermain dengan


(43)

diingatkan, membantu membersihkan lingkungan, mampu berpisah dengan orangtua tanpa menangis, memiliki kebiasaan yang teratur seperti makan, mandi, dan tidur.

b. Usia 5-6 tahun.

Bentuk kemandirian pada usia ini adalah menggunakan pisau untuk memotong makanan, membuka dan memakai baju berkancing depan, membuka dan menutup celana bersleting, menalikan sepatu, mandi sendiri tanpa arahan, cebok setelah buang air kecil atau besar, menyisir rambut, mampu makan sendiri, mampu berpisah dengan ibu tanpa menangis, mampu BAB dan BAK sendiri, dan mampu berpakaian sendiri tanpa bantuan, membuang sampah pada tempatnya, merapika mainan setelah digunakan, menaati peraturan yang berlaku dn pergi ke sekolah tepat waktu.

2.5 Personal Hygiene

2.5.1 Pengertianpersonal hygiene

Pemeliharaanpersonal hygiene berarti tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan diri seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya. Seseorang dikatakan memiliki personal hygiene baik apabila, orang tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit, gigi dan mulut, rambut, mata, hidung, dan telinga, kaki dan kuku, genitalia, serta kebersihan dan kerapihan pakaiannya.

2.5.2 Macam-macam tindakanpersonal hygiene

Menurut Potter dan Perry (2005) macam-macampersonal hygiene: 1. Kebersihan kulit


(44)

Kulit berfungsi sebagai pertukaran oksigen, nutrisi, dan cairan dengan pembuluh darah yang berada di bawahnya; mensintesa sel baru; dan mengeliminasi sel mati, sel yang tidak berfungsi. Sel-sel integumen memerlukan nutrisi dan hidrasi yang cukup untuk menahan cedera dan penyakit. Sirkulasi yang adekuat penting untuk memelihara kehidupan sel. Kulit seringkali merefleksikan perubahan pada kondisi fisik dengan perubahan pada warna, ketebalan, tekstur, turgor, temperatur, dan hidrasi. Umur mempengaruhi kondisi normal kulit dan tipe tindakan hygiene yang diperlukan. Dengan demikian anak-anak memiliki resistensi yang terbesar untuk infeksi dan iritasi kulit. Anak-anak lebih aktif bermain, dan ketiadaan kebiasaan hygiene yang dibentuk, perhatian terbesar diperlukan orangtua dan pemberi asuhan untuk memberikanhygienedan memulai pengajaran kebiasaanhygieneyang baik.

Salah satu cara untuk menjaga kebersihan kulit adalah dengan mandi. Dimana mandi bertujuan untuk: membersihkan kulit, yaitu pembersihan mengurangi keringat, beberapa bakteria, sebum dan sel kulit yang mati, yang meminimalkan iritasi kulit dan mengurangi kesempatan infeksi; stimulasi sirkulasi, yaitu sirkulasi yang baik ditingkatkan melalui penggunaan air hangat dan usapan yang lembut pada ekstremitas; peningkatan citra diri, mandi meningkatkan relaksasi dan perasaan segar kembali dan kenyamanan; pengurangan bau badan, yaitu sekresi keringat yang berlebihan dari kelenjar apokrin berlokasi di area aksila dan pubik menyebabkan bau badan yang tidak menyenangkan; dan peningkatan rentang gerak, yaitu gerakan ekstremitas selama mandi mempertahankan fungsi sendi.


(45)

Pembersihan mengangkat minyak yang berlebihan, keringat, sel kulit mati, dan kotoran yang meningkatkan perkembangan bakteri dapat dilakukan dengan mandi setiap hari. Setelah mandi seluruh tubuh dikeringkan supaya tidak terjadi kelembapan yang berlebihan yang akan menyebabkan maserasi kulit, yang meningkatkan perkembangan bakteri. Kebersihan kulit juga dijaga dengan membersihkan perineal setiap kali uang air besar dan buang air kecil, sebab sekresi keringat yang berlebihan dari kelenjar apokrin di daerah aksila dan pubis menyebabkan bau yang tidak sedap. Dan sekresi yang terakumulasi pada permukaan kulit sekitar genitalia berperan sebagai tempat penyimpanan infeksi.

2. Kebersihan kaki dan kuku

Kaki dan kuku seringkali memerlukan perhatian khusus untuk mencegah infeksi, bau dan cedera pada jaringan. Perawatan dapat digabungkan selama mandi atau pada waktu yang terpisah. Seringkali, orang tidak sadar akan masalah kaki dan kuku sampai terjadi nyeri atau ketidaknyamanan. Masalah dihasilkan karena perawatan yang salah atau kurang terhadap kaki dan tangan seperti menggigit kuku atau pemotongan yang tidak tepat, pemaparan dengan zat-zat kimia yang tajam, dan pemakaian sepatu yang tidak pas. Ketidaknyamanan dapat mengarah pada stres fisik dan emosional.

Jenis alas kaki yang dipakai dapat mempengaruhi masalah kaki dan kuku klien. Anak-anak seperti dewasa muda yang secara teratur gagal memakai kaus kaki akan memiliki keringat yang berlebihan yang meningkatkan pertumbuhan jamur. Sepatu sempit atau kurang pas, kaus kaki, ikat kaus kaki, atau stoking nilon sampai lutut dapat menyebabkan luka kulit tertentu dan


(46)

mengganggu sirkulasi kaki. Pengulangan pemakaian alas kaki juga menyebabkan infeksi. Karena itu gunakan kaus kaki dan stoking yang bersih setiap hari. Ganti kaus kaki dua kali sehari jika kaki berkeringat banyak. Kaus kaki harus bebas lubang atau jahitan yang menyebabkan tekanan. Dan jangan berjalan dengan kaki tanpa sepatu atau kaus kaki.

Beberapa masalah umum kaki dan kuku antara lain: infeksi jamur kaki (tinea pedis), kuku yang tumbuh ke dalam, dan bau kaki. Infeksi jamur kaki merupakan ketidaksamaan sisi dan keretakan kulit terjadi antara jari dan tumit kaki. Kaki yang melepuh kecil berisi cairan dapat terlihat. Masalah ini disebabkan pemakaian alas kaki yang ketat. Implikasi dari infeksi jamur dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain, khususnya tangan. Hal ini sangat menular dan seringkali kambuh. Intervensi untuk mengatasi kondisi ini sebaiknya kaki berventilasi baik. Pengeringan kaki dengan baik setelah mandi dan penggunaan bedak membantu mencegah infeksi. Mengenakan kaus kaki atau stoking yang bersih mengurangi insiden. Masalah kuku yang tumbuh ke dalam yaitu dimana jari kaki atau jari tangan masuk ke dalam jaringan yang halus sekitar kuku. Kuku yang masuk ke dalam akibat dari pemotongan kuku yang tidak tepat. Hal ini bisa menyebabkan nyeri lokal jika terkena tekanan. Intervensinya adalah sering berendam pada larutan antiseptik yang panas dan pengangkatan bagian kuku yang telah tumbuh ke dalam bagian kulit. Masalah lain yaitu bau kaki, dimana hal ini terjadi karena akibat keringat yang berlebihan yang meningkatkan perkembangan mikroorganisme. Implikasinya yaitu dapat menyebabkan ketidaknyamanan akibat keringat yang berlebihan. Intervensinya yaitu pencucian yang sering, penggunaan


(47)

deodorant kaki dan bedak, dan pemakaian alas kaki yang bersih mencegah atau mengurangi masalah.

3. Kebersihan mulut

Hygiene mulut yang baik termasuk kebersihan, kenyamanan, dan kelembaban struktur mulut. Hygiene mulut membantu mempertahankan status kesehatan mulut, gigi, gusi, dan bibir. Menggosok membersihkan gigi dari partikel-partikel makanan, plak; memasase gusi; dan mengurangi ketidaknyamanan yang dihasilkan dari bau dan rasa yang tidak nyaman. Flossing membantu lebih lanjut dalam mengangkat plak dan tartar di antara gigi untuk mengurangi inflamasi gusi dan infeksi. Hygienemulut yang lengkap memberikan rasa sehat dan selanjutnya menstimulus nafsu makan. Sepanjang masa hidup seseorang, perubahan fisiologi mempengaruhi kondisi dan penampilan struktur rongga mulut. Anak dapat terjadi karies gigi pada gigi susu karena pola makan atau kurangnya perawatan gigi. Pada anak usia 8-6 tahun 20 gigi susu telah ada. Usia 2 tahun anak mulai menggosok gigi dan belajar praktik hygiene dari orangtua, karies gigi menjadi masalah jika mengabaikan kebersihan gigi. Pada usia 6 tahun, gigi bayi mulai tanggal dan digantikan gigi permanen.

Tujuan pembersihan mulut antara lain, supaya mukosa mulut terhidrasi dengan baik dan mulut tetap terasa nyaman. Dua tipe masalah besar mulut adalah karies gigi (lubang) yang paling sering dialami oleh orang muda dan penyakit periodontal yang sering dialami oleh orang dewasa. Perkembangan lubang merupakan proses patologi yang melibatkan kerusakan email gigi pada akhirnya melalui kekurangan kalsium. Selanjutnya dengan perkembangan lubang,


(48)

gigi menjadi kecoklatan atau kehitaman. Masalah mulut lainnya yaitu: halitosis (bau napas) yang merupakan akibat dari hygiene mulut yang buruk, pemasukan makanan tertentu, atau proses infeksi atau penyakit. Hygiene mulut yang tepat dapat mengeliminasi bau kecuali penyebabnya adalah kondisi sistemik seperti penyakit liver atau diabetes; keilosis, gangguan bibir yang retak terutama pada sudut mulut. Pemberian minyak pada bibir mempertahankan kelembaban, dan salep antijamur atau antibakteri memperkecil perkembangan mikroorganisme.

Mukosa, lidah, dan bibir akan menjadi merah muda, lembab, dan utuh serta gigi akan bebas dari partikel makanan jika dilakukan perawatan mulut setelah makan dan sebelum tidur, seperti menggosok gigi dengan sikat gigi lembut dengan gerakan horizontal dan mencuci mulut juga bibir. Hal ini akan meningkatkan jaringan gusi, mengurangi kotoran, dan menghasilkan pengontrolan plak. Sikat gigi yang lembut dengan gerakan horizontal membantu melindungi jaringan gusi yang lembut dan mencegah perdarahan. Gosok gigi dengan teliti sedikitnya empat kali sehari (setelah makan dan waktu tidur) adalah dasar program hygiene mulut yang efektif. Sikat gigi harus memiliki pegangan yang lurus, dan bulunya harus cukup kecil untuk menjangkau semua bagian mulut. Sikat gigi harus diganti setiap 3 bulan. Bahkan, permukaan sikat yang bulat dengan bulu yang lembut, banyak, dari nilon adalah yang terbaik. Bulu halus yang bundar menstimulasi gusi tanpa menyebabkan abrasi atau perdarahan. Baik sikat atau spon yang digunakan, membilas dengan teliti setelah menggosok gigi penting untuk mengurangi partikel makanan yang dikeluarkan atau kelebihan pasta gigi. Beberapa orang menyukai memakai obat kumur karena rasa yang menyenangkan.


(49)

Bagaimanapun penggunaan obat kumur dalam jangka waktu yang lama akan mengeringkan mukosa.

4. Kebersihan rambut

Rambut normal adalah bersih, bercahaya dan tidak kusut, untuk kulit kepala harus bebas dari lesi. Sepanjang hidup, perubahan dan perkembangan, distribusi, dan kondisi rambut dapat mempengaruhi hygiene yang dibutuhkan seseorang. Praktik keperawatan rambut yang baik harus dilakukan rutin untuk memenuhi kebutuhan hygiene seseorang. Perawatan rambut dan kulit kepala bertujuan untuk membersihkan kulit kepala dan rambut sehingga tetap terjaga sehat dan mencapai rasa nyaman dan harga diri yang baik.

Penyikatan yang sering membantu mempertahankan kebersihan rambut dan mendistribusi minyak secara merata sepanjang helai rambut. penyisiran hanya membentuk gaya rambut dan mencegah rambut kusut. Sisir bergerigi pendek cukup untuk rambut pendek, tapi sisir bergerigi panjang dipilih untuk rambut keriting. Sisir bergerigi tajam dan tidak beraturan dapat melukai kulit kepala. Selain dari itu, bersampo juga sangat mempengaruhi kebersihan kulit kepala dan rambut. Bersampo membuat rambut bersih. Frekuensi bersampo tergantung rutinitas pribadi sehari-hari dan kondisi rambut. Tetapi sampo yang tersisa menyebabkan rambut kusam. Sampo yang mengering menyebabkan iritasi kulit kepala.

5. Kebersihan mata, telinga, dan hidung

Perhatian khusus diberikan untuk membersihkan mata, telinga, dan hidung adalah saat mandi. Secara normal tidak ada perawatan khusus yang


(50)

diperlukan untuk mata karena secara terus-menerus dibesarkan air mata, dan kelopak mata dan bulu mata mencegah masuknya partikel asing. Seseorang hanya memerlukan untuk memindahkan sekresi kering yang terkumpul pada kantus sebelah dalam atau bulu mata. Pembersihan mata biasanya dilakukan selama mandi dan melibatkan pembersihan dengan waslap bersih yang dilembabkan dengan air. Sabun yang menyebabkan panas dan iritasi biasanya dihindari.

Hygienetelinga mempunyai implikasi utuk ketajaman pendengaran bila substansi lilin atau benda asing berkumpul pada kanal telinga luar, yang mengganggu konduksi suara. Pembersihan telinga merupakan bagian rutin dalam kegiatan mandi di tempat tidur. Pembersihan berakhir dengan waslap yang dilembabkan, dirotasikan ke kanal telinga dengan lembut, kerja terbaik untuk pembersihan.

Hidung memberikan indera penciuman tetapi juga memantau temperatur dan kelembapan udara yang dihirup serta mencegah masuknya partikel asing ke dalam sistem pernapasan. Pembersihan hidung biasanya dilakukan dengan mengangkat sekresi hidung secara lembut dengan menggunakan tissue. Hal ini menjadi hygiene harian yang diperlukan. Jika mengeluarkan kotoran dengan kasar bisa mengakibatkan tekanan yang mencederai gendang telina, mukosa hidung, dan bahkan struktur mata yang sensitif. Perdarahan hidung adalah tanda kunci dari pengeluaran yang kasar, iritasi mukosa, atau kekeringan.

2.5.3 Faktor-faktor yang MempengaruhiPersonal Hygiene

Menurut Potter dan Perry (2005), sikap seseorang melakukanpersonal hygienedipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain:


(51)

1. Citra tubuh (Body Image)

Penampilan umum pasien dapat menggambarkan pentingnya personal hygiene pada orang tersebut. Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang tentang penampilan fisiknya. Citra tubuh dapat berubah, karena operasi, pembedahan atau penyakit fisik maka perawat harus membuat suatu usaha ekstra untuk meningkatkan hygiene dimana citra tubuh mempengaruhi cara mempertahankanhygiene. Body image seseorang berpengaruhi dalam pemenuhan personal hygiene karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli terhadap kebersihannya.

2. Praktik sosial

Kelompok-kelompok sosial wadah seorang pasien berhubungan dapat mempengaruhi bagaimana pasien dalam pelaksanaan praktik personal hygiene. Perawat harus menentukan apakah pasien dapat menyediakan bahan-bahan yang penting seperti deodorant, sampo, pasta gigi, dan kosmetik. Perawat juga harus menentukan jika penggunaan dari produk-produk ini merupakan bagian dari kebiasaan sosial yang dipraktekkan oleh kelompok sosial pasien.

3. Status sosial ekonomi

Pendapatan keluarga akan mempengaruhi kemampuan keluarga untuk menyediakan fasilitas dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang hidup dan kelangsungan hidup keluarga. Sumber daya ekonomi seseorang mempengaruhi jenis dan tingkatan praktik personal hygiene. Untuk melakukan personal hygiene yang baik dibutuhkan sarana dan prasarana yang


(52)

memadai, seperti kamar mandi, peralatan mandi, serta perlengkapan mandi yang cukup (misalnya sabun, sikat gigi, sampo, dll).

4. Pengetahuan

Pengetahuan tentang personal hygiene sangat penting, karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Pengetahuan tentang pentingnya hygiene dan implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik hygiene. Kendati demikian, pengetahuan itu sendiri tidaklah cukup, pasien juga harus termotivasi untuk memelihara personal higiene. Individu dengan pengetahuan tentang pentingnya personal higeneakan selalu menjaga kebersihan dirinya untuk mencegah dari kondisi atau keadaan sakit.

5. Kebudayaan

Kebudayaan dan nilai pribadi mempengaruhi kemampuan perawatan personal higiene. Seseorang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, mengikuti praktek perawatan personal higiene yang berbeda. Keyakinan yang didasari kultur sering menentukan defenisi tentang kesehatan dan perawatan diri. Dalam merawat pasien dengan praktik higiene yang berbeda, perawat menghindari menjadi pembuat keputusan atau mencoba untuk menentukan standar kebersihannya.

6. Pilihan pribadi

Setiap individu memiliki keinginan dan pilihan tentang kapan untuk mandi, bercukur, dan melakukan perawatan rambut. Individu memilih produk yang berbeda (misalnya sabun, sampo, deodoran, dan pasta gigi) menurut


(53)

pilihan dan kebutuhan pribadi. Klien juga memiliki pilihan bagaimana melakukan hygiene.

7. Kondisi fisik

Orang yang menderita penyakit tertentu atau yang menjalani operasi seringkali kekurangan energi fisik atau ketangkasan untuk melakukan personal higiene. Seorang pasien yang menggunakan gips pada tangannya atau menggunakan traksi membutuhkan bantuan untuk mandi yang lengkap. Kondisi jantung, neurologis, paru-paru, dan metabolik yang serius dapat melemahkan atau menjadikan pasien tidak mampu dan memerlukan perawatan personal higiene total.

2.5.4 Dampak yang Sering Timbul pada MasalahPersonal Hygiene

Kebersihan diri sangatlah penting dalam kehidupan anak kebersihan diri yang terjaga denganbaik akan membuat anak menjadi sehat, dan terhindar dari berbagai macam penyakit. Berikut ini adalah dampak yang ditimbulkan jika anak tidak menjada kebersihan diri dengan baik (Tarwoto & Wartonah, 2010):

a. Dampak Fisik

Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpelihara dan kebersihan perorangan denganbaik. Gangguan fisik yang sering terjadi adalah gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga, dan gangguan fisik pada kuku.


(54)

b. Dampak Psikososial

Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygieneadalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri, dan gangguan interaksi sosial.

2.6 Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirin Personal Hygienepada Anak Usia Prasekolah

Dalam literatur psikologi barat, dijelaskan bahwa untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orangtua dan masalah perilaku pada anak telah melalui penelitian yang panjang. Meskipun masalah hubungan kausal antara variable-variabel tetap tidak terselesaikan, peran pola asuh orangtua dalam membentuk perilaku anak sangat penting. Pola asuh orangtua seperti kehangatan, regulasi, pendekatan, penegakan hukuman secara tegas, pengakuan demokratis sudut pandang anak telah konsisten dikaitkan dengan rendahnya tingkat masalah perilaku pada anak, khususnya kenakalan, perilaku eksternalisasi dan penyimpangan (Sharma and Sandhu, 2006).

Sejalan dengan hal tersebut, Stansbury et al. (2012) menyampaikan hasil dari penelitian Baumrind yang mengungkap bahwa pola asuh yang berkaitan dengan pertumbuhan kemampuan diri untuk mengontrol dan mengarahkan tingkah laku secara mandiri adalah orangtua yang memberikan kebebasan kepada anaknya untuk menentukan pilihan yang berhubungan dengan kepentingan dirinya sendiri namun tetap menuntut tanggungjawab serta mengarahkan anaknya melalui diskusi yang menjelaskan alasan yang logis dan rasional dibalik peraturan dan hukuman yang diberikan kepada anak.


(55)

Belsky (2008) berpendapat bahwa anak-anak yang diperlakukan dengan kehangatan, rasa hormat dan pengharapan dari orangtua sejak kecil, mereka akan memiliki keyakinan untuk belajar dan berkembang melalui eksplorasi sensorik-motorik. Kehangatan dari orangtua dan kepekaan terhadap kebutuhan anak-anak adalah dimensi pola asuh yang paling berpengaruh selama masa pertumbuhan dan memberikan dasar bagi banyak sosialisasi yang tejadi pada anak-anak.

Putra (2012) mengatakan bahwa seorang anak akan tumbuh menjadi seorang yang mandiri baik dalam hal emosi, bertindak, maupun berprinsip dimana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orangtua dalam lingkungan keluarganya. Sehubungan dengan gaya pengasuhan orangtua dan hubungannya dengan kemandirian pada anak dengan usia prasekolah, hal yang terpenting diketahui oleh para orangtua bahwa seorang anak sangat membutuhkan dukungan daripada sekedar pengasuhan, seorang anak juga membutuhkan bimbingan daripada perlindungan, seorang anak juga membutuhkan pengarahan daripada sekedar sosialisasi,dan kasih sayang (kebutuhan psikis) daripada sekedar pemenuhan kebutuhan fisik atau materi semata. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat terkait pula dengan gaya pengasuhan yang diperankan oleh para orangtuanya, yang pada akhirnya juga sangat berpengaruh pada tumbuhnya kemandirian pada diri seorang anak ketika ia tumbuh menjadi seorang yang dewasa dan kemandirian dalam personal hygiene ini nantinya akan mempunyai dampak yang positif dalam kehidupan anak selanjutnya.


(56)

menjelaskan lebih singkat variabel-varibel apa saja yang diteliti.

3.1 Kerangka Konsep

Skema 3.1 Kerangka Konsep Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat KemandirianPersonal HygieneAnak Usia Prasekolah Pola asuh

Orangtua 1. Otoriter 2. Demokrasi 3. Permisif


(57)

3.2 Defenisi Operasional

Pada penelitian ini ada dua variabel penelitian yaitu, pola asuh dan kemandirianpersonal hygiene.

Variabel Defenisi

Operasional Alat Ukur

Skala Ukur Hasil Independen, pola asuh orangtua Cara orangtua dalam mengasuh anaknya Menggunakan kuisioner sebanyak 21 pernyataan untuk mengetahui pola asuh orangtua dengan menggunakan skala Likert positif : Selalu=5 Sering=4 Kadang-kadang=3 Jarang=2 Tidak pernah=1

Interval 1. Demokratis Tinggi : 33-45 Sedang : 21-32 Rendah : 9-20 2. Otoriter

Tinggi : 6-13 Sedang : 14-21 Rendah : 22-30 3. Permisif

Tinggi : 6-13 Sedang : 14-21 Rendah : 22-30

Dependen, kemandirian personal hygiene Kemampuan anak dalam melakukan aktivitas dan menjaga kebersihan sesuai dengan tahap tumbuh kembangnya tanpa adanya bantuan dari orang lain. Menggunakan kuisioner sebanyak 19 pernyataan untuk mengetahui kemandirian personal hygiene anak prasekolah dengan menggunakan skala Likert positif : Selalu=5 Sering=4 Kadang-kadang=3 Jarang=2 Tidak pernah=1

Interval 1. Mandiri=70-95 2. Cukup

mandiri=44-69 3. Kurang


(58)

3.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah sebuah prediksi tentang hubungan antara dua atau lebih variabel (Polit & Beck, 2004). Hipotesis penelitian (Ha) adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat (Setiadi, 2007). Adapun hipotesis penelitian ini adalah adanya hubungan antara pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirian personal hygiene anak usia prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan.


(59)

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelatif. Desain ini mengidentifikasi hubungan pola asuh orangtua dengan tingkat kemandirianpersonal hygieneanak usia prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional yang meliputi pengumpulan data sekali saja dalam satu waktu (Polit & Hungler, 1996). Hal ini berarti bahwa pengumpulan data hanya dilakukan satu kali pada masing-masing responden (Setiadi, 2007). 4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi Penelitian

Polulasi adalah sejumlah kasus yang memenuhi kriteria yang ditentukan peneliti (Polit & Hungler, 1996). Berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh peneliti, jumlah keluarga yang memiliki anak usia prasekolah (3-5 tahun) di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta ada sebanyak 98 keluarga dan jumlah keluarga yang memiliki anak usia 5 tahun ada sebanyak 33 keluarga. Jadi, populasi dalam penelitian ini adalah jumlah keluarga yang memiliki anak usia 5 tahun yaitu sebanyak 33 keluarga.

4.2.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang dianggab mewakili seluruh populasi (Polit & Hungler, 1996). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling, yaitu cara penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden


(60)

atau sampel (Sugiyono, 2009). Hal ini dilakukan jika jumlah populasi relatif kecil (Setiadi, 2007). Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 33 responden. Arikunto (2010) mengatakan jika subjek penelitian kurang dari 100 maka sebaiknya diambil semua untk dijadikan sampel penelitian.

Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah ibu dari anak prasekolah usia 5 tahun tersebut. Usia 5 tahun adalah usia anak yang seharusnya sudah mampu melakukan personal hygiene dengan baik. Berdasarkan survey yang dilakukan peneliti di lokasi penelitian yang ditentukan, ibu merupakan orangtua yang berperan dalam memberikan pengasuhan terhadap anak dengan jumlah waktu yang lebih banyak. Seperti yang dikatakan Barnard & Martell (1995, dalam Santrock, 2007) bahwa realitas peran ibu kini adalah bahwa di banyak keluarga, tanggung jawab utama atas anak maupun pekerjaan rumah tangga dan bentuk lainnya dari pekerjaan keluarga masih dibebankan di pundak ibu.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian dalam penelitian ini Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan. Alasan memilih tempat ini adalah peneliti berasal dari tempat ini sehingga akan mempermudah untuk dijangkau oleh peneliti, adanya populasi yang mencukupi untuk dijadikan sampel, dan di tempat ini belum pernah dilakukan penelitian. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Maret 2015.


(61)

4.4 Etik Penelitian

Pertimbangan etik dalam penelitian dilakukan untuk melindungi integritas penelitian, hak asasi manusia dan perilaku normal. Pertimbangan etik ini meliputi kualitas penelitian: 1) ethical clearence oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Sumatera Utara, 2) ijin dan rekomendasi dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan ijin dari Kepala Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbanghasundutan, 3) seluruh responden diberikan lembar persetujuan yang ditandatangani sebagai bukti dan kesediaan menjadi responden (informed consent), 4)anonymitypeneliti tidak mencantumkan nama responden hanya inisial atau pengkodean saja, dan 5) confidentialitysemua informasi yang diberikan responden dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.

4.5 Instrumen Penelitian

4.5.1 Karakteristik Responden

Kuisioner tentang karakteristik responden yaitu: usia ibu; jenis kelamin anak; urutan kelahiran anak; jumlah anak; ada tidaknya mandi, cuci, kakus (MCK) dalam rumah; pendidikan orangtua; pekerjaan orangtua; dan penghasilan orangtua. Kuesioner bagian ini berbentuk pertanyaan terbuka. Data demografi bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari responden dan mendeskripsikan persentase demografi.

4.5.2 Pola Asuh Orangtua

Kuesioner ini berbentuk pertanyaan terbuka dan menggunakan Parenting Styles and Dimentions Questionnaire (PSDQ)yang dikembangkan oleh Robinson et al. (1995) dan diterjemahkan oleh lembaga penerjemah. Kuisioner ini


(62)

terdiri dari 21 pernyataan. Pernyataan untuk pola asuh orangtua demokratis item 1-9, pernyataan untuk pola asuh orangtua otoriter 10-15, dan pernyataan untuk pola asuh orangtua permisif item 16-21. Tiap item dengan pernyataan positif dinilai menggunakan jenis skala Likert positif dengan nilai tidak pernah nilai 1, jarang nilai 2, kadang-kadang nilai 3, sering nilai 4, dan selalu nilai 5 dan item pernyataan negatif dinilai menggunakan jenis skala Likert negatif dengan nilai tidak pernah nilai 5, jarang nilai 4, kadang-kadang nilai 3, sering nilai 2, dan selalu nilai 1.

Tabel 4.1 Gambaran Distribusi Item Kuesioner Pola Asuh Orangtua

Pola Asuh

Item

Positif Negatif Demokratif 1,2,3,4,5,6,7,8,9

-Otoriter - 10,11,12,13,14,15

Permisif 19 16,17,18,20,21

Berdasarkan rumus statistik dalam Sudjana (2005) menyatakan panjang kelas (p) dengan rumus dan rentang merupakan nilai

tertinggi dikurangi nilai terendah.

a. Kriteria objektif pola asuh demokratif. Nilai tertinggi adalah 45 dan terendah adalah 9. Maka rentangnya adalah 36. Banyak kelasnya ialah 3 yaitu tinggi, rendah dan sedang jadi panjang kelasnya ialah 12.


(1)

(2)

(3)

Lampiran 14

TAKSASI DANA PENELITIAN

1. Persiapan Proposal dan Perbaikan Proposal

- Kertas dan tinta print Rp 100.000

- Fotokopi dan beli buku sumber-sumber

tinjauan pustaka Rp 150.000

- Biaya internet Rp 150.000

- Penggandaan proposal RP 60.000

- Konsumsi saat sidang Rp 90.000

2. Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

- Surat Komisi Etik Rp 100.000

- Penggandaan Kuesioner Rp 40.000

- Transportasi Rp 300.000

- Soufenir Rp 300.000

3. Persiapan Skripsi

- Kertas dan tinta print Rp 60.000

- Penggandaan skripsi dan penjilitan Rp 150.000

- CD Rp 10.000

- Konsumsi saat sidang skripsi Rp 250.000

4. Biaya Tak Terduga Rp 176.000

Jumlah Rp 1.936.000


(4)

(5)

(6)

Lampiran 16

RIWAYAT HIDUP

Nama : Renta R Hutasoit

NIM : 111101115

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat tanggal lahir : Sigumpar, 20 Juni 1993

Agama : Kristen Protestan

No Hp : 085296472668

e-mail : renta.r.hutasoit@gmail.com

Alamat : Jalan Jamin Ginting Gg. Dipanegara No 6 Medan Riwayat pendidikan :

Tahun 1999–2005 :SD NEGERI 173325 SIGUMPAR KEC. LINTONGNIHUTA

Tahun 2005–2008 :SMP NEGERI 1 LINTONGNIHUTA,

HUMBAHAS

Tahun 2008–2011 :SMA NEGERI 1 LINTONGNIHUTA,

HUMBAHAS


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TINGKAT KEMANDIRIAN PERSONAL HYGIENE ANAK USIA PRASEKOLAH DI DESA BALUNG LOR KECAMATAN BALUNG KABUPATEN JEMBER

1 12 124

HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN TINGKAT KEMANDIRIAN REMAJA DI DESA LARAS KECAMATAN BANDAR HULUAN KABUPATEN SIMALUNGUN.

0 6 20

TINGKAT KEMANDIRIAN ANAK USIA PRASEKOLAH DITINJAU DARI POLA ASUH DEMOKRATIS TINGKAT KEMANDIRIAN ANAK USIA PRASEKOLAH DITINJAU DARI POLA ASUH DEMOKRATIS.

0 1 15

Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten

0 1 39

Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintonghuta Kabupaten Humbanghasundutan

0 1 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintonghuta Kabupaten Humbanghasundutan

1 1 31

BAB 1 PENDAHULUAN - Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintonghuta Kabupaten Humbanghasundutan

0 1 9

Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Usia Prasekolah di Desa Sigumpar Kecamatan Lintonghuta Kabupaten Humbanghasundutan

0 2 13

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TINGKATKEMANDIRIAN PERSONAL HYGIENE PADA ANAK RETARDASI MENTAL DISLB NEGERI 2 YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat Kemandirian Personal Hygiene pada Anak Retardasi Mental di SLB Nege

0 1 12

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA DENGAN PERILAKU PERSONAL HYGIENE PADA ANAK DI SDN 2 ROGODONO KECAMATAN BUAYAN KABUPATEN KEBUMEN - Elib Repository

0 2 47