V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan akad pembiyaan Mudharabah yang biasa di praktekan di dalam akad yang digunakan dalam pembiayaan Mudharabah adalah,Besarnya nisbah
atau bagi hasil yang ditetapkan, keuntungan dengan syarat-syaratnya, adanya ijab qobul, dan tunai. pembagian hasil Mudharabah antara Mudharib dengan
bank berjalan sesuai dengan akad yang dibuat oleh bank dan Mudharib, sehingga penerapan bagi hasil atau nisbah keuntungan di antara bank tetap
terlaksana sebagaimana yang telah di muat dalam akad. Bank menetapkan kriteria pertama untuk mendapatkan pembiayaan Mudharabah adalah harus
mempunyai sifat amanah, artinya dapat diyakini dan sanggup menjalankan atau memutarkan modal tersebut hingga akhirnya dapat pembiayaan Mudharabah
dilakukan tanpa perlu adanya penyerahan jaminan oleh Mudharib, namun dalam prakteknya untuk menghindari terjadinya penyimpangan oleh Mudharib
dan untuk mengurangi resiko, pihak bank akan meminta jaminan dari Mudharib bahwa ia sanggup mengembalikan pembiayan Mudharabah tertentu
sesuai dengan yang telah diperjanjikan. 2. Penyelamatan dan penyelesaian atas pembiayaan Mudharabah berdasarkan
prinsip bagi hasil yang bermasalah dilakukan melalui :
a. Langkah penyelamatan, apabila pembiayaan masih ada harapan kembali kepada Bank, yaitu rescheduling, reconditioning dan
restrcturing. Selain itu dapat pula dilakukan marger, join venture, atau take over pengambil alihan kegiatan usaha oleh Bank dengan akusisi
atau aliansi; b. Langkah penyelesaian dilakukan ada dua pilihan yang ditawarkan oleh
bank syariah dalam menyelesaikan sengketa dengan Mudharib, yaitu dengan cara non litigasi melalui jalan musyawarah atau mufakat, serta
dengan jalan memperoleh keadilan melalui Badan Arbitrase Syariah BASYARNAS dan apabila melalui jalur non litigasi tidak terjadi
penyelesaian masalah maka ditempuh jalur litigasi dengan jalan penyelesaian sengketa melalui lembaga Peradilan yaitu Pengadilan
Agama.