UJI EFEKTIVITAS KOMBINASI PUPUK ORGANONITROFOS DENGAN PUPUK ANORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SERTA SERAPAN HARA TANAMAN UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz) PADA TANAH ULTISOL GEDUNG MENENG

(1)

UJI EFEKTIVITAS KOMBINASI PUPUK ORGANONITROFOS DENGAN PUPUK ANORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN

DAN PRODUKSI SERTA SERAPAN HARA TANAMAN UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz) PADA

TANAH ULTISOL GEDUNG MENENG

Oleh

OKTARINA MAULIDIA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pertanian

pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(2)

Oktarina Maulidia

ABSTRAK

UJI EFEKTIVITAS KOMBINASI PUPUK ORGANONITROFOS DENGAN PUPUK ANORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN

DAN PRODUKSI SERTA SERAPAN HARA TANAMAN UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz) PADA

TANAH ULTISOL GEDUNG MENENG

O l e h

O K T A R I N A M A U L I D I A

Ubikayu merupakan tanaman yang mampu mengangkut hara yang tinggi dari dalam tanah. Sehingga dibutuhkan usaha untuk menambahkan unsur hara guna meningkatkan produksi ubikayu sekaligus memelihara kesuburan tanah. Pupuk Organonitrofos merupakan pupuk yang baru dikembangkan yang terbentuk dari proses pengomposan kotoran sapi segar (FM) dan batuan fosfat (BF) yang ditambahkan mikroba penambat N dan pelarut P. Untuk mengetahui pengaruh dari pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk anorganik maka dilakukan uji efektivitasnya terhadap tanaman ubikayu. Adapun penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui pengaruh pemberian pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan, produksi dan serapan hara tanaman ubikayu, (2) menetapkan dosis kombinasi pupuk

Organonitrofos dan pupuk anorganik yang paling efektif terhadap pertumbuhan, produksi dan serapan hara tanaman ubikayu, (3) menguji efektivitas pupuk Organonitrofos terhadap pertumbuhan, produksi dan serapan hara tanaman


(3)

Oktarina Maulidia

ubikayu. Pada penelitian ini terdapat 6 perlakuan yaitu T1 (kontrol), T2 (200 kg ha-1 urea, 300 kg ha-1 SP36, 400 kg ha-1 KCl), T3 (150 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP36, 300 kg ha-1 KCl, 500 kg ha-1 Organonitrofos), T4 (100 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP36, 200 kg ha-1 KCl, 1.000 kg ha-1 Organonitrofos), T5 (50 kg ha-1 urea, 50 kg ha-1 SP36, 200 kg ha-1 KCl , 2.000 kg ha-1 Organonitrofos), dan T6 (5.000 kg ha-1 Organonitrofos) dengan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan 100 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP36, 200 kg ha-1 KCl, 1.000 kg ha-1 Organonitrofos mampu meningkatkan pertumbuhan, produksi, dan serapan hara ubikayu lebih tinggi dibandingkan perlakuan pupuk anorganik dengan dosis 200 kg ha-1 urea, 300 kg ha-1 SP36, 400 kg ha-1 KCl, dalam hal pertumbuhan (tinggi tanaman), produksi (bobot umbi), dan serapan hara NPK.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 4

1.3 Kerangka Pemikiran ... 5

1.4 Hipotesis ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Tanah Ultisol ... 11

2.2 Tanaman Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) ... 12

2.3 Organonitrofos (Organomineral NP) ... 14

2.4 Nitrogen (N) ... 16

2.5 Fosfor (P) ... 17

2.6 Kalium (K) ... 18

2.7 Efektivitas Pemupukan ... 19

III. BAHAN DAN METODE ... 21

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

3.2 Bahan dan Alat ... 21

3.3 Metode Penelitian ... 21

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 22

3.5 Variabel Pengamatan ... 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Karakteristik Tanah Awal dan Pupuk Organonitrofos ... 29

4.2 Pengaruh Aplikasi Perlakuan Pupuk terhadap Kesuburan Tanah 31

4.3 Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Ubikayu ... 34

4.4 Produksi Tanaman Ubikayu ... 36


(7)

4.5.1 Nitrogen (N) ... 40

4.5.2 Fosfor (P) ... 42

4.5.3 Kalium (K) ... 45

4.6 Uji Korelasi ... 47

4.7 Analisis RAE (Relative Agronomic Effectiveness) ... 48

4.8 Analisis Uji Ekonomis ... 50

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

5.1 Kesimpulan ... 52

5.2 Saran ... 52

PUSTAKA ACUAN ... 53


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perlakuan dosis pupuk yang digunakan. ... 22 2. Hasil analisis tanah awal petak percobaan. ... 29 3. Hasil analisis pupuk organik (Organonitrofos). ... 30 4. Hasil analisis tanah setelah dilakukan aplikasi kombinasi pupuk

Organonitrofos dan pupuk anorganik serta penanaman ubikayu. ... 31 5. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik

terhadap tinggi tanaman ubi kayu pada 20 MST. ... 35 6. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik

terhadap bobot umbi ubikayu. ... 37 7. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik

terhadap bobot berangkasan ubikayu. ... 38 8. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik

terhadap serapan hara N pada bagian umbi dan berangkasan. ... 41 9. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik

terhadap serapan hara P pada bagian umbi dan berangkasan. ... 43 10. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik

terhadap serapan hara K pada bagian umbi dan berangkasan. ... 46 11. Uji korelasi antara serapan NPK dengan pertumbuhan dan

produksi tanaman ubikayu. ... 47 12. Indeks Relative Agronomic Effectiveness (RAE) pada

produksi umbi ubikayu. ... 49 13. Indeks uji ekonomis penggunaan pupuk Organonitrofos dengan

kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap tanaman


(9)

14. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik

terhadap tinggi tanaman pada 4 MST. ... 58

15. Pengaruh pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman pada 8 MST. ... 58

16. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman pada 12 MST. ... 59

17. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman pada 16 MST. ... 59

18. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap tinggi tanaman pada 20 MST. ... 60

19. Uji homogenitas tinggi tanaman ubikayu pada 20 MST. ... 60

20. Analisis ragam tinggi tanaman ubikayu pada 20 MST. ... 61

21. Uji DMRT taraf 5% terhadap tinggi tanaman ubikayu 20 MST. ... 61

22. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap bobot umbi basah ubikayu. ... 62

23. Uji homogenitas bobot basah umbi. ... 62

24. Analisis ragam bobot basah umbi ubikayu. ... 63

25. Uji DMRT taraf 5% terhadap bobot basah umbi ubikayu. ... 63

26. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap bobot kering umbi. ... 64

27. Uji homogenitas bobot kering umbi. ... 64

28. Analisis ragam bobot kering umbi tanaman ubikayu. ... 65

29. Uji DMRT taraf 5% terhadap bobot kering umbi tanaman ubikayu. . 65

30. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap bobot berangkasan tanaman. ... 66

31. Uji homogenitas bobot basah berangkasan. ... 66


(10)

33. Uji DMRT taraf 5% terhadap bobot basah berangkasan tanaman

ubikayu. ... 67

34. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap bobot kering berangkasan tanaman. ... 68

35. Uji homogenitas bobot kering berangkasan. ... 68

36. Analisis ragam bobot kering berangkasan tanaman ubikayu. ... 69

37. Uji DMRT taraf 5% terhadap bobot kering berangkasan tanaman ubikayu. ... 69

38. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan kombinasinya anorganik terhadap serapan N pada umbi. ... 70

39. Uji homogenitas serapan N pada umbi. ... 70

40. Analisis ragam serapan N pada umbi. ... 71

41. Uji DMRT taraf 5% terhadap serapan N pada umbi. ... 71

42. Pengaruh pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap serapan P pada umbi. ... 72

43. Uji homogenitas serapan P pada umbi. ... 72

44. Analisis ragam serapan P pada umbi. ... 73

45. Uji DMRT taraf 5% terhadap serapan P pada umbi. ... 73

46. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap serapan K pada umbi. ... 74

47. Uji homogenitas serapan K pada umbi. ... 74

48. Analisis ragam serapan K pada umbi. ... 75

49. Uji DMRT 5% terhadap serapan K pada umbi. ... 75

50. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap serapan N pada berangkasan. ... 76

51. Uji homogenitas serapan N pada berangkasan. ... 76


(11)

53. Uji DMRT taraf 5% terhadap serapan N pada berangkasan. ... 77

54. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap serapan P pada berangkasan. ... 78

55. Uji homogenitas serapan P pada berangkasan. ... 78

56. Analisis ragam serapan P pada berangkasan tanaman ubikayu. ... 79

57. Uji DMRT taraf 5% terhadap serapan N pada berangkasan. ... 79

58. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap serapan K pada berangkasan. ... 80

59. Uji homogenitas serapan K pada berangkasan. ... 80

60. Analisis ragam serapan K pada berangkasan tanaman ubikayu. ... 81

61. Uji DMRT taraf 5% terhadap serapan K pada berangkasan. ... 81

62. Uji korelasi antara serapan NPK dengan pertumbuhan dan produksi tanaman ubikayu. ... 82

63. Analisis biaya pengeluaran akibat pupuk (subsidi). ... 82

64. Uji ekonomis penggunaan pupuk Organonitrofos dengan kombinasinya dengan pupuk anorganik harga subsidi terhadap tanaman ubikayu. ... 83

65. Analisis biaya pengeluaran akibat pupuk (nonsubsidi eceran). ... 83

66. Uji ekonomis penggunaan pupuk Organonitrofos dengan kombinasinya dengan pupuk anorganik harga nonsubsidi eceran terhadap tanaman ubikayu. ... 84

67. Analisis biaya pengeluaran akibat pupuk (nonsubsidi grosir). ... 84

68. Uji ekonomis penggunaan pupuk Organonitrofos dengan kombinasinya dengan pupuk anorganik harga nonsubsidi grosir terhadap tanaman ubikayu. ... 85

69. Harga pupuk anorganik dan Organonitrofos. ... 85

70. Nilai-nilai rp untuk Uji Jarak Duncan (DMRT) yang digunakan pada penelitian. ... 85


(12)

vii DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tata letak percobaan. ... 22

2. Pengaruh kombinasi pupuk Organonitrofos dengan pupuk


(13)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu

merupakan bahan pangan pokok ketiga setelah beras dan jagung. Daunnya dapat digunakan sebagai sayur maupun pakan ternak. Selain itu, seiring dengan

bertambahnya kebutuhan energi dunia, ubikayu juga menjadi salah satu sumber energi alternatif dalam bentuk bioetanol.

Pada tahun 2011, total produksi ubikayu di Indonesia mencapai 24.044.025 ton dengan luas lahan 1.184.696 ha. Sedangkan total produksi ubikayu Provinsi Lampung pada tahun 2011 mencapai 9.193.676 ton dengan luas panen sebesar 368.096 ha (BPS, 2012). Berdasarkan total produksi tersebut, Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil ubikayu tertinggi di Indonesia.

Adapun konsumsi penduduk dunia, khususnya penduduk negara-negara tropis diprediksi sekitar 300 juta ton ubikayu tiap tahun (Rukmana, 1997). Sedangkan Indonesia diperkirakan kekurangan 5,3 juta ton ubikayu tiap tahun (Suyamto dan Wargiono, 2006 dalam Subandi, 2011). Permintaan ubikayu tersebut juga akan terus meningkat seiring dengan pengembangan energi alternatif bioetanol pengganti minyak bumi yang semakin habis. Sehingga dibutuhkan peningkatan berbagai teknologi budidaya untuk meningkatkan produktivitas ubikayu nasional,


(14)

2

seperti penyediaan klon-klon unggul, pengendalian hama dan penyakit, serta pemupukan.

Salah satu permasalahan dalam peningkatan produksi ubikayu di Indonesia adalah rendahnya tingkat kesuburan tanah. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan di Indonesia (Subagyo dkk., 2004 dalam Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Secara fisik menurut Prasetyo dan Suriadikarta (2006), Tanah Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Selain itu Tanah Ultisol cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Reaksi Tanah Ultisol umumnya masam hingga sangat masam (pH 3,10-5). Lebih lanjut menurut Purwani dkk., (2008), Tanah Ultisol Lampung memiliki pH 4,5; C-organik 1,12%; P2O53,8 ppm; N-total 0,15%; K-dd 0,27 me 100 g-1, dan KTK 4,03 me

100 g-1.

Berdasarkan karaktersitik tersebut apabila dibandingkan dengan nilai baku sifat kimia tanah maka kadar unsur hara dan KTK Tanah Ultisol tergolong rendah. Sehingga untuk meningkatkan produksi tanaman ubikayu dibutuhkan

penambahan unsur hara melalui kegiatan pemupukan.

Pupuk digunakan dalam sistem budidaya untuk menambahkan kandungan unsur hara dalam rangka memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman. Menurut Howeler (1981 dalam Ispandi, 2003), bagi tanaman ubikayu hara N sangat diperlukan


(15)

3

untuk pertumbuhan tanaman, sedang hara P dan K sangat diperlukan dalam pembentukan, pembesaran dan pemanjangan umbi.

Untuk memenuhi kebutuhan hara bagi tanaman tersebut, pupuk yang diberikan dapat berupa organik maupun anorganik. Menurut Purwani dkk., (2008) pemberian pupuk organik merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pengelolaan lahan kering masam dan meningkatkan kadar bahan organik tanah. Bahan organik tanah tersebut memiliki fungsi ganda yaitu sebagai amelioran, sumber hara, perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.

Namun petani sekarang lebih banyak tergantung kepada pupuk anorganik yang memiliki harga yang tinggi. Di samping itu, menurut Juarsah (1999), petani mulai banyak meninggalkan penggunaan pupuk organik karena kurang efektif dan efisien, akibat kandungan unsur hara dalam bahan organik yang relatif kecil dan lambat tersedia.

Akibat penanaman terus menerus tanpa penggunaan bahan organik maka akan berdampak pada penurunan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak tempat-tempat yang kandungan bahan organiknya sudah pada tingkat rawan atau hampir habis. Padahal bahan organik penting dalam menunjang produksi

tanaman dan sekaligus mempertahankan kondisi lahan yang produktif dan berkelanjutan.

Menyadari dampak negatif pada tanah dari ketergantungan pada pupuk anorganik maka kembali muncul pada akhir-akhir ini konsep pertanian organik. Salah satu langkah untuk pemeliharaan kesuburan tanahnya adalah dengan penggunaan


(16)

4

kembali bahan organik (Atmojo, 2003). Namun apabila petani hanya bergantung pada pupuk organik diperlukan pupuk organik dalam jumlah yang besar untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman. Sehingga ketersediaannya yang terbatas dan proses transportasi pupuk organik tersebut menyulitkan petani.

Untuk itu dicari golongan pupuk yang mampu menyediakan unsur hara memadai yang bersumber dari sumber daya lokal yang melimpah di Provinsi Lampung. Nugroho dkk., (2013) telah mengembangkan pupuk organomineral NP

(Organonitrofos). Pupuk Organonitrofos merupakan salah satu bentuk pupuk organik. Pupuk Organonitrofos terbentuk dari proses pengomposan kotoran sapi segar (FM) dan batuan fosfat (BF) yang ditambahkan mikroba penambat N dan pelarut P. Dengan demikian pemberian pupuk Organonitrofos ini diharapkan mampu meningkatkan produksi ubikayu dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Kedua bahan baku (FM dan BF) bersumber dari sumberdaya lokal yang cukup melimpah di Provinsi Lampung, sehingga harga pupuk alternatif ini akan lebih murah bagi petani.

1.2 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh pemberian pupuk Organonitrofos dan kombinasinya

dengan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan, produksi, dan serapan hara tanaman ubikayu.

2. Menetapkan dosis kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik

yang paling efektif terhadap pertumbuhan, produksi, dan serapan hara tanaman ubikayu.


(17)

5

3. Menguji efektivitas pupuk Organonitrofos terhadap pertumbuhan, produksi, dan serapan hara tanaman ubikayu.

1.3 Kerangka Pemikiran

Pemupukan ialah pemberian bahan yang dimaksudkan untuk menambah hara tanaman pada tanah (Notohadiprawiro dkk., 2006). Kegiatan pemupukan ini bertujuan untuk menambahkan kandungan hara di dalam tanah. Dengan demikian terjadi peningkatan ketersediaan hara sehingga mampu meningkatkan serapan yang berdampak pada produksi tanaman.

Di Indonesia, sejak tahun 1968 terjadi peningkatan kebutuhan pupuk anoragnik secara tajam. Penggunaan pupuk anorganik yang berkonsentrasi tinggi yang tidak proporsional berdampak pada tidak stabilnya status hara dalam tanah

(Notohadiprawiro, 1972). Selain itu, penggunaan pupuk anorganik juga meningkatkan penggunaan energi dan harganya relatif mahal bagi petani. Ubikayu mengangkut hara yang tinggi dari dalam tanah. Menurut Roy dkk., (2006), apabila ubikayu menghasilkan 37 ton ha-1umbi basah, maka akan

mengangkut unsur hara sebanyak 198 kg N, 70 kg P2O5, 220 kg K2O, 47 kg MgO,

143 kg CaO, dan 19 kg S ha-1. Oleh karena itu menurut Wargiono dan Tuherkih (1988) pemupukan terhadap ubikayu perlu dilakukan setiap musim tanam dengan takaran minimal sama dengan hara yang hilang terangkut oleh panen.

Nitrogen (N) merupakan salah satu unsur hara essensial yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang besar. Akan tetapi ketersediaan nitrogen menjadi masalah, apabila nitrogen diberikan dengan takaran terlalu tinggi menyebabkan tingkat


(18)

6

efisiensi pemupukan semakin rendah (Sismiyati dan Partohardjono, 1994). Hal ini disebabkan unsur N mudah tercuci bersama air, sehingga kurang tersedia bagi tanaman. Begitu juga dengan unsur hara fosfor (P). Menurut Novizan (2002), ketersediaan fosfor di dalam tanah ditentukan oleh banyak faktor, tetapi yang paling penting adalah pH tanah. Pada tanah ber-pH rendah (masam), fosfor akan bereaksi dengan ion besi (Fe) dan aluminium (Al) yang sukar larut di dalam air sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman.

Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan efektivitas pemupukan terhadap pertumbuhan dan produksi ubikayu ialah penggunaan pupuk organik yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik. Menurut Musnamar (2007),

penggunaan pupuk organik yang dipadukan dengan penggunaan pupuk anorganik dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan pengurangan penggunaan pupuk anorganik, baik pada lahan sawah maupun lahan kering. Telah banyak

dilaporkan bahwa terdapat interaksi positif pada penggunaan pupuk organik dan pupuk anorganik secara terpadu.

Pemberian pupuk organik ke dalam tanah akan membantu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Menurut Atmojo (2003), peran bahan organik yang paling besar terhadap sifat fisik tanah ialah antara lain perbaikan struktur, konsistensi, porositas, daya mengikat air, dan ketahanan terhadap erosi.

Kemudian peran bahan organik terhadap sifat kimia tanah antara lain peningkatan kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya sangga tanah dan keharaan tanah. Sedangkan peranan bahan organik terhadap sifat biologi tanah ialah meningkatkan populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah.


(19)

7

Kombinasi antara perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah akan membantu meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah bagi tanaman.

Hasil pengamatan terhadap penerapan paket teknologi budidaya ubikayu di Lampung Utara menunjukkan bahwa pemberian pupuk anorganik dengan dosis 200 kg urea ha-1+ 150 kg SP36 ha-1+ 100 kg KCl ha-1dan 5.000 kg pupuk kandang ha-1menghasilkan pertumbuhan (tinggi tanaman dan diameter batang) yang lebih baik dibandingkan dengan petani non kooperator yang tidak

menerapkan teknologi pemupukan (tanpa pupuk organik, pupuk anorganik minimum) (BPTP Lampung, 2004). Adapun menurut Departemen Pertanian (2006), dosis pupuk yang berimbang untuk budidaya ubikayu adalah 5-10 ton ha-1 pupuk organik, 150-200 kg urea ha-1, 100 kg SP36 ha-1, dan 100-150 kg KCl ha-1.

Pupuk N paling diperlukan untuk mendapatkan hasil umbi yang optimal. Hasil penelitian musim tanam 1998/1999 menunjukkan bahwa pemupukan 200 kg urea ha-1mampu meningkatkan hasil umbi 2-3 kali lipat dari yang tidak dipupuk. Di samping pupuk N, pupuk P dan K juga sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil umbi yang optimal pada tanah yang sangat miskin hara P dan K (Ispandi, 2002).

Pemupukan dengan berbagai dosis kombinasi NPK dan pupuk organik

berpengaruh nyata terhadap jumlah umbi besar/tanaman, bobot umbi/tanaman, dan hasil umbi. Pemupukan dengan 100 kg urea ha-1memberikan jumlah umbi terendah. Bobot umbi tertinggi pertanaman diperoleh dengan pemupukan 400 kg urea ha-1+ 150 kg SP36 ha-1+ 150 kg KCl ha-1+ 5 ton pupuk kandang ha-1. Rata-rata hasil umbi tertinggi, yaitu 55,76 ton ha-1pada dosis pupuk tersebut. Hal ini


(20)

8

mengisyaratkan bahwa pemberian pupuk kandang sangat diperlukan untuk memperoleh hasil yang tinggi (Prasetiaswati dkk., 2011).

Manfaat pupuk kandang (bahan organik) tersebut sejalan dengan hasil penelitian Suyamto (1998 dalam Subandi 2011) bahwa penambahan takaran pupuk K pada tanah dengan ketersediaan K yang sangat rendah tidak meningkatkan hasil. Peningkatan takaran K menjadi 120 kg K2O ha-1tidak meningkatkan hasil secara

signifikan apabila tidak ada tambahan pupuk organik, yaitu hanya menghasilkan umbi segar 23,46 ton ha-1. Dengan pemberian 10 ton ha-1pupuk kandang, pemupukan 120 kg K2O ha-1meningkatkan hasil menjadi 29,84 ton ha-1.

Hasil penelitian-penelitian tersebut menjelaskan adanya faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman. Adanya faktor pembatas menjadi penentu dalam pertumbuhan suatu tanaman. Hal tersebut sesuai dengan hukum minimum dari Justus von Leibig bahwa apabila salah satu faktor terdapat dalam keadaan yang paling kritis (paling jelek) bagi pertumbuhan tanaman, sedangkan faktor lain berada dalam keadaan cukup, maka pertumbuhan tanaman ditentukan oleh faktor yang paling kritis tersebut. Dengan kombinasi antara pupuk organik dan pupuk anorganik maka diharapkan dapat memperbaiki faktor pembatas pertumbuhan dari tanaman ubikayu.

Pupuk Organonitrofos merupakan pupuk organik yang baru dikembangkan dengan bahan baku kotoran sapi dan batuan fosfat. Menurut Triolanda (2011), dalam pupuk Organonitrofos (organomineral NP) selama proses dekomposisi kotoran sapi segar menghasilkan asam-asam organik yang akan menyumbangkan H+ke dalam proses asidulasi. Adanya mikroba pelarut fosfat akan membantu


(21)

9

dalam proses pelarutan fosfat dari batuan fosfat, dan mikroba amonifikasi

berperan dalam proses mineralisasi N yang mengubah N organik menjadi NH4-N.

Dari pelarutan batuan fosfat akan menghasilkan Ca2+yang mampu merangsang akivitas mikroba perombak bahan organik. Dari reksi sinergis ini batuan fosfat kemudian dapat melarutkan P dalam ion-ion fosfat yang tersedia bagi tanaman. Di samping itu kotoran sapi segar yang telah didekomposisi menghasilkan kompos yang kemuudian NH4+-N dan NO3--N yang tersedia bagi tanaman.

Untuk mengetahui kinerja dari pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk anorganik maka dilakukan uji efektivitas. Menurut Depdiknas (2009), efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan merupakan keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan, dalam hal ini efektivitas dapat dilihat dari tercapai tidaknya tujuan instruksional khusus yang telah dicanangkan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pertanian RI No.70/PERMENTAN/SR.140/10/2011, uji efektivitas pupuk organik adalah kegiatan uji lapang atau rumah kaca untuk mengetahui pengaruh dari pupuk organik terhadap pertumbuhan dan/atau produktivitas tanaman, efisiensi pemupukan, atau peningkatan kesuburan tanah.

Pengujian efektivitas terhadap pupuk Organonitrofos telah dilakukan pada tanaman tomat dan jagung. Menurut Anjani (2013), pupuk Organonitrofos yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik mampu mensubsitusikan pupuk anorganik tunggal dalam meningkatkan tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah buah, bobot buah segar, dan bobot berangkasan. Selain itu menurut Septima (2013) kombinasi antara pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik pada dosis


(22)

10

tertentu mampu meningkatkan tinggi tanaman, bobot pipilan dan serapan hara pada tanaman jagung.

Dengan demikian dibutuhkan juga uji efektivitas kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan, produksi, dan serapan hara pada tanaman ubikayu.

1.4 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat disusun beberapa hipotesis sebagai berikut:

1. Pemberian pupuk Organonitrofos disertai kombinasinya dengan pupuk anorganik akan meningkatkan pertumbuhan, produksi, dan serapan hara tanaman ubikayu.

2. Terdapat dosis yang paling efektif antara kombinasi pupuk Organonitrofos dan pupuk anorganik yang akan meningkatkan pertumbuhan, produksi, dan

serapan hara tanaman ubikayu.

3. Efektivitas pupuk Organonitrofos terhadap tanaman ubikayu akan lebih baik apabila dikombinasikan dengan pupuk anorganik.


(23)

(24)

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanah Ultisol

Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi, 1993).

Menurut Prasetyo dkk., (2005 dalam Prasetyo dan Suriadikarta, 2006) reaksi pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol kg-1, 6,11−13,68 cmol kg-1, dan

6,10−6,80 cmol kg-1, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu

gamping tergolong tinggi (>17 cmol kg-1).

Menurut Prasetyo dan Suriadikarta (2006), kandungan hara pada umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa


(25)

12

erosi. Pada yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya

bergantung pada bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui perbaikan tanah (ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik.

2.2 Tanaman ubikayu (Manihot esculenta Crantz)

Singkong atau ubikayu (Manihot esculenta Crantz atau Manihot utilissima Pohl) termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae, mempunyai daun berbentuk tangan, batang beruas-ruas dan bercabang, tumbuh tegak, serta ketinggiannya dapat mencapai tiga meter. Daun ubikayu mempunyai susunan berurat menjari dengan canggap 5-9 helai (Rukmana, 1997).

Menurut Wargiono dkk., (2006) untuk dapat berproduksi optimal, ubikayu memerlukan curah hujan 150-200 mm pada umur 1-3 bulan, 250-330 mm pada umur 4-7 bulan, dan 100-150 mm pada fase menjelang dan saat panen.

Berdasarkan karakteristik iklim di Indonesia dan kebutuhan air tersebut, ubikayu dapat dikembangkan di hampir semua kawasan, baik di daerah beriklim basah maupun beriklim kering sepanjang air tersedia sesuai dengan kebutuhan tanaman tiap fase pertumbuhan. Pada umumnya sentra produksi ubikayu memiliki tipe iklim C, D, dan E.

Menurut Yuniwati (2007), pemupukan dan jarak tanam mempengaruhi hasil biomassa dan hasil ubikayu. Jarak tanam dan pemupukan yang memberikan


(26)

13

perlakuan terbaik adalah jarak tanam 1,0 x 0,8 m dan dosis pemupukan 400-500 kg urea ha-1, 100 kg SP36 ha-1 dan 100 kg KCl ha-1.

Pada tanaman ubikayu hara P dan K sangat diperlukan dalam pembentukan umbi. Pemupukan P dengan dosis 75 kg ha-1 SP36 meningkatkan jumlah umbi per tanaman, besar umbi, panjang umbi dan hasil umbi, namun hasil umbi yang diperoleh masih sangat rendah (sekitar 20 t ha-1) jauh di bawah potensinya sekitar 40 t ha-1. Selain itu, pemupukan 100 kg KCl ha-1 dapat meningkatkan serapan hara K hingga mencapai 74 % bila diberikan bersama pupuk P dengan dosis 75 kg SP36 ha-1, tetapi tidak jelas pengaruhnya terhadap peningkatan komponen hasil umbi. Kadar N, S, dan Fe dalam tanaman yang hanya berharkat rendah diduga juga merupakan penyebab tidak tercapainya hasil umbi optimal (Ispandi, 2003).

Menurut Balitkabi (2000), peningkatan takaran pupuk KCl dari 0 sampai 500 kg ha-1 diikuti oleh peningkatan hasil, jumlah dan ukuran umbi. Pola peningkatan ketigga peubah tersebut membentuk pola kuadratik dan mencapai maksimum pada takaran 100 kg KCl ha-1. Lebih lanjut menurut Kamal (2009), aplikasi K dengan dosis yang tinggi (300-400 kg KCl ha-1) tidak cukup efektif untuk menstimulasi pertumbuhan umbi dan kandungan pati dalam ubikayu tanpa peningkatan sumber pertumbuhan.

Pada lahan kering Podsolik Merah Kuning di Lampung yang mempunyai pH 4,5; C-organik 1,45%; P2O5 2,2 ppm; N-total 0,13%; dan K-dd 0,05 me 100 g-1; klon

ubikayu umur genjah CMM02048-6 yang dipupuk dasar 180 kg N ha-1, pemupukan K dengan takaran 30 kg K2O ha-1 (setara 50 kg KCl ha-1) secara


(27)

14

meningkatkan hasil umbi segar dari 19,67 ton ha-1 (tanpa pupuk K) menjadi 25,75 ton ha-1 (Sholohin dkk., 2009 dalam Subandi, 2011).

2.3 Organonitrofos (Organomineral NP)

Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan atau manusia antara lain pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos. Bentuk dari pupuk organik ini dapat berupa padat atau cair yang telah mengalami dekomposisi (Balai Penelitian Tanah, 2004).

Nugrohodkk., (2013) telah mengembangkan pupuk organomineral NP

(Organonitrofos) dengan bahan baku kotoran sapi (fresh manure) yang dikombinasikan dengan bahan mineral berupa batuan fosfat (BF) yang

dimaksudkan selain menyediakan unsur N juga unsur P yang memadai. Selain itu juga dilibatkan aktivitas mikroba yang dapat meningkatkan peningkatan N2 (N2 -fixer) dan pelarut fosfat (P-solubilizer) melalui inokulasi ke dalam bahan

campuran FM+BF. Kedua bahan baku (FM dan BF) bersumber dari sumberdaya lokal yang cukup melimpah di Provinsi Lampung, sehingga harga pupuk alternatif ini akan lebih murah dan lebih kompetitif.

Bahan baku pupuk Organonitrofos ialah kotoran sapi yang merupakan sumber daya potensial di Provinsi Lampung. Menurut Triolanda (2011), di Provinsi Lampung industri penggemukan sapi dapat menyediakan kotoran sapi segar mencapai 576.700 ton/tahun yang dapat menjadi bahan baku potensial untuk pembuatan pupuk organik. Batuan fosfat juga tersedia melimpah di Provinsi


(28)

15

Lampung, antara lain Kecamatan Silagai Lingga Lampung Tengah yang dapat ditambang dan dimanfaatkan sebagai pupuk P alam.

Adapun pupuk kandang sapi mengandung: 39,1% C; 1,87% N; 0,56% P; 1,09% K; 0,57% Ca; 0,23% Mg (Howeler dan Phien, 2008). Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara lain terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya sangga tanah dan terhadap keharaan tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan muatan negatif sehingga akan meningkatkan kapasitas pertukaran kation (KTK). Bahan organik

memberikan konstribusi yang nyata terhadap KTK tanah. Sekitar 20 – 70 % kapasitas pertukaran tanah pada umumnya bersumber pada koloid humus (contoh: Molisol), sehingga terdapat korelasi antara bahan organik dengan KTK tanah (Stevenson, 1982).

Menurut Atmojo (2003), peran bahan organik yang paling besar terhadap sifat fisik tanah ialah antara lain perbaikan struktur, konsistensi, porositas, daya mengikat air, dan ketahanan terhadap erosi. Kemudian peran bahan organik terhadap sifat kimia tanah antara lain peningkatan kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya sangga tanah dan keharaan tanah. Sedangkan peranan bahan organik terhadap sifat biologi tanah ialah meningkatkan populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah.

Pengaruh bahan organik terhadap ketersediaan P dapat secara langsung melaui proses mineralisasi atau secara tidak langsung dengan membantu pelepasan P yang terfiksasi. Menurut Stevenson (1982), ketersediaan P di dalam tanah dapat


(29)

16

ditingkatkan dengan penambahan bahan organik melalui 5 aksi seperti tersebut di bawah ini:

1) Melalui proses mineralisasi bahan organik terjadi pelepasan P mineral

2) Asam organik atau khelat yang dihasilkan dari proses dekomposisi mampu membantu pelarutan fosfat yang terikat oleh Al dan Fe,

Al (Fe)(H2O)3 (OH) 2 H2 PO4 + Khelat PO42- (larut) + Kompleks

AL-Fe Khelat

3) Penambahan bahan organik mampu mengaktifkan dekomposisi bahan

organik asli tanah;

4) Terbentuknya kompleks fosfo-humat dan fosfo-fulvat yang dapat ditukar dan lebih tersedia bagi tanaman, karena jerapan bahan organik yang lebih lemah terhadap fosfat.

2.4 Nitrogen (N)

Nitrogen merupakan salah satu unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah besar. Adapun sumber-sumber unsur hara nitrogen di dalam tanah dapat berasal dari pupuk anorganik (urea, ZA, dll.) dan pupuk organik, misalnya pupuk Organonitrofos. Menurut Lindawati dkk., (2000), pupuk nitrogen merupakan pupuk yang sangat penting bagi semua tanaman, karena nitrogen merupakan penyusun dari semua senyawa protein, kekurangan nitrogen pada tanaman yang sering dipangkas akan memengaruhi pembentukan cadangan makanan untuk pertumbuhan tanaman.

Tanaman yang kekurangan nitrogen tumbuh kerdil dan sistem perakarannya terbatas, daun menjadi kuning atau hijau kekuningan dan cenderung cepat rontok.


(30)

17

Akan tetapi bila nitrogen diberikan terlalu banyak dapat merugikan tanaman, yaitu : memperlambat pematangan dengan membantu pertumbuhan vegetatif yang tetap hijau walaupun masa masak sudah waktunya; melunakkan jerami dan

menyebabkan tanaman mudah rebah; menurunkan kualitas pada serealia dan buah-buahan, dan dapat melemahkan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit (Soepardi, 1983).

Nitrogen cenderung merupakan unsur yang paling membatasi pertumbuhan tanaman. Bentuk utama dari N yang tersedia dalam tanah adalah ion-ion nitrat (NO3-) dan ammonium (NH4+). Ion Nitrit (NO2-) dapat digunakan tanaman, tapi

cenderung untuk tidak stabil dan bersifat toksik dalam jumlah yang tinggi (Harjadi, 1989).

2.5 Fosfor (P)

Pupuk Organonitrofos juga mengandung unsur hara P yang cukup memadai. Sumber fosfor tersebut berasal dari batuan fosfat yang diinkubasi dengan pupuk kandang sapi. Selain itu juga diinokulasikan mikroorganisme pelarut fosfat untuk meningkatkan kelarutan batuan fosfat tersebut (Nugroho dkk., 2013).

Fosfor memliki pengaruh terhadap tanaman seperti, penyusun metabolit dan senyawa kompleks; sebagai aktivator, kofaktor, atau pengaruh enzim; dan peranannya dalam proses fisiologik. Pengaruh menguntungkan fosfor lainnya adalah dalam kegiatan-kegiatan seperti pembagian sel dan lemak dan albumin; pembentukan bunga, buah, dan biji; kematangan tanaman, melawan pengaruh nitrogen; perkembangan akar halus dan akar rambut; memperkuat jerami, jadi


(31)

18

tidak mudah rebah; kualitas hasil tanaman, terutama rumput dan sayuran; dan ketahanan terhadap penyakit (Soepardi, 1983).

Berlainan dengan nitrogen, fosfat secara relatif lebih stabil dalam tanah. Pada pH tinggi (7-10) fosfat menjadi terikat dalam persenyawaan kompleks dari kalsium (Ca). Pada pH 5-7, P berada daam bentuk mono-atau dikalsium fosfat, yang paling tersedia bagi tanaman. Konsentrasi P dalam larutan tanah sangatlah

rendah. Dalam tanah-tanah pertanian yang subur ½-1 ppm P berada dalam larutan rendah bila dibandingkan angka N sebesar 25 ppm. Akan tetapi gerakan P dalam tanah sangatlah sedikit, sehingga pencucian juga sedikit sekali (Harjadi, 1989).

Menurut Noor (2005), bahwa pemberian bakteri pelarut fosfat, pupuk kandang dan kombinasinya dapat menurunkan dosis optimum pupuk fosfat yang digunakan dan juga meningkatkan hasil biji kedelai. Untuk mendapatkan hasil kedelai yang sama dengan tanpa diberi bakteri pelarut fosfat dan pupuk kandang (7,73 g pot-1), pemberian bakteri pelarut fosfat, pupuk kandang, dan bakteri pelarut fosfat+pupuk kandang berturut-turut hanya memerlukan fosfat alam 43,46; 49,25; dan 33,53 kg P ha-1. Hal ini berarti bakteri pelarut fosfat, pupuk kandang, dan bakteri pelarut fosfat+pupuk kandang dapat menghemat penggunaan pupuk fosfat alam berturut-turut 28,70; 23,20; dan 38,74 kg P ha-1.

2.6 Kalium

Kalium juga merupakan salah satu unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman. Penambahan kalium ke dalam tanah dapat dilakukan dengan pemupukan, baik itu pupuk anorganik (KCl, KNO3, NPK, dll) maupun pupuk


(32)

19

organik. Pupuk Organonitrofos juga mengandung hara kalium (K) yang cukup memadai. Menurut Anjani (2013), dalam pupuk Organonitrofos terkandung 4.860,18 ppm K.

Adapun kalium sangat penting dalam nutirisi tanaman dan fisiologi. K telah ditemukan mengaktifkan lebih dari 60 enzim. K juga meningkatkan fotosintesis, mengatur pembukaan stomata, membantu ultilisasi N, meningkatkan transport asimilat dan berpengaruh atas kenaikan hasil panen. Juga, K berpengaruh terhadap populasi mikroba dan kesehatan manusia serta hewan ternak (Lauchli dan Pfluger, 1979; Rimheld dan Meumann, 2006 dalam Yawson dkk., 2011).

Menurut Soepardi (1983), K dapat membuat tanaman lebih tahan terhadap berbagai penyakit dan merangsang pertumbuhan akar. Kalium juga dapat meniadakan pengaruh buruk nitrogen dan dapat mengurangi pengaruh kematangan yang dipercepat fosfor. Kelebihan kalium akan berdampak pada terganggunya translokasi dari kation lain. Kadar magnesium dalam daun akan menurun sehingga proses fotosintesis terganggu.

2.7 Efektivitas Pemupukan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan merupakan keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan, dalam hal ini efektivitas dapat dilihat dari tercapai tidaknya tujuan instruksional khusus yang telah dicanangkan (Depdiknas, 2009).


(33)

20

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pertanian RI

No.70/PERMENTAN/SR.140/10/2011, uji efektivitas pupuk organik adalah kegiatan uji lapang atau rumah kaca untuk mengetahui pengaruh dari pupuk organik terhadap pertumbuhan dan/atau produktivitas tanaman, efisiensi

pemupukan, atau peningkatan kesuburan tanah. Sedangkan tolak ukur efektivitas yang digunakan ialah pertumbuhan tanaman, hasil tanaman, mutu tanaman, peningkatan serapan hara tanaman, perbaikan kesuburan tanah, efisiensi pupuk anorganik.

Adapun kriteria uji efektivitas pupuk organik secara teknis atau agronomis

dilakukan dengan perhitungan Relative Agronomic Effectiveness (RAE). Menurut Lampiran Peraturan Menteri Pertanian No.70/Permentan/ SR.140/10/2011

meliputi, (1) perlakuan pupuk yang diuji secara statistik sama dengan perlakuan

standar atau mempunyai RAE ≥ 100%, atau (2) perlakuan pupuk yang diuji lebih

baik dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa pemupukan) pada taraf nyata 5% atau mempunyai RAE > 100%, (3) perlakuan pupuk yang diuji lebih efisien dibandingkan perlakuan standar.


(34)

21

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada 5° 22’ 10” LS dan 105° 14’ 38” dan Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan Mei 2012 sampai dengan Februari 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah stek tanaman ubikayu klon UJ5, pupuk Organonitrofos, pupuk urea, KCl, dan SP36, serta bahan-bahan lain untuk analisis laboratorium tanah dan tanaman.

Alat-alat yang digunakan cangkul, meteran, alat tulis, neraca digital, oven, cutter, sprayer, ember, ayakan serta alat-alat lain untuk analisis tanah dan tanaman.

3.3 Metode Penelitian

Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap. Percobaan tersebut terdiri dari 6 perlakuan (Tabel 1). Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 3 ulangan.


(35)

22

Tabel 1. Perlakuan dosis pupuk yang digunakan

Perlakuan Dosis (kg ha

-1

)

Urea SP36 KCl Organonitrofos

T1 (Kontrol) - - - -

T2 200 300 400

T3 150 100 300 500

T4 100 100 200 1.000

T5 50 50 200 2.000

T6 - - - 5.000

Terhadap data yang didapat kemudian dilakukan kehomogenitasan data dengan uji Bartlett, sifat aditivitas data dengan uji Tukey, analisis ragam, dan uji lanjut dengan DMRT 5%.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

1. Pengolahan tanah dan pembuatan petak percobaan

Pengolahan tanah dilakukan dengan intensif. Pertama-tama tanah dibajak kemudian untuk dicangkul dan digaru untuk memperbaiki struktur tanahnya. Satu plot lahan berukuran 3 x 3 m (Gambar 1).

Keterangan: T (perlakuan), U (ulangan) Gambar 1. Tata letak percobaan

T6U1

T3U1 T4U1 T3U2 T4U3 T2U2 T6U2

T1U1 T5U2 T3U3 T2U1 T5U3


(36)

23

2. Pembuatan guludan

Setelah dilakukan olah tanah, selanjutnya dibuat guludan. Dalam satu plot lahan dengan ukuran 3 x 3 m terdapat 4 guludan. Jarak antar guludan yang digunakan ialah 1 m.

3. Penambahan pupuk Organonitrofos

Setelah dibentuk guludan, kemudian di dalam guludan tersebut dimasukkan pupuk Organonitrofos sesuai dengan dosis perlakuan. Kemudian guludan ditutup tanah kembali. Pupuk Organonitrofos diaplikasikan hanya sekali, yaitu sebelum penanaman tanaman ubikayu.

4. Penanaman stek

Stek ditanam di atas guludan dengan sedikit kemiringan. Hal ini bertujuan agar akar lebih banyak dan lebih mudah tumbuh. Adapun jarak tanam stek adalah 0,5 m di dalam guludan.

5. Aplikasi pupuk anorganik

Aplikasi pupuk anorganik dilakukan dua kali, yaitu setelah penanaman stek dan setelah tanaman berusia 4 bulan. Aplikasi pertama yaitu pupuk SP36, KCl, dan setengah dosis pupuk urea. Aplikasi kedua yaitu setengah dosis pupuk urea.

6. Pengambilan sampel tanah

Sampel tanah diambil pada tiap perlakuan dan dari 3 ulangan tersebut sampel tanah dikomposit. Sehingga terdapat 6 sampel tanah. Sampel tanah diambil


(37)

24

sebanyak dua kali, yaitu setelah aplikasi pupuk pertama dan setelah pemanenan ubikayu.

7. Pemeliharaan

a. Penyiraman

Penyiraman dilakukan secara rutin apabila tidak turun hujan. Apabila turun hujan penyiraman selanjutnya dilakukan hingga tanah cukup kering. Penyiraman menggunakan gembor atau selang yang terhubung dengan pompa air.

b. Penyiangan gulma

Gulma yang tumbuh di lahan perlu disiangi karena dapat mengganggu pertumbuhan tanaman ubikayu. Waktu penyiangan disesuaikan dengan keberadaan gulma yang tumbuh. Penyiangan gulma tersebut dilakukan secara mekanis.

c. Pengendalian hama dan penyakit

Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara mekanis, baik dengan bantuan alat maupun air. Pengendalian kutu tanaman yang terdapat pada tanaman ubikayu dilakukan dengan menyemprotkan air sehingga populasi kutu-kutu tersebut berkurang.

d. Pembumbunan

Pembumbunan dilakukan saat tanaman mencapai usia 3 bulan setelah tanam (3 BST). Pembumbunan bertujuan untuk menutupi permukaan akar agar umbi terbentuk sempurna.


(38)

25

8. Pengambilan sampel akar tanaman

Pengambilan sampel akar tanaman dilakukan setiap sebulan sekali pada masing-masing ulangan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggali secara hati-hati akar tanaman sehingga didapatkan umbi dan akar yang hampir utuh. Pengambilan sampel akar tanaman bertujuan untuk melihat

perkembangan umbi setiap bulannya.

9. Panen

Panen dilakukan dengan mencabut tanaman ubikayu secara hati-hati. Panen dilakukan pada saat usia tanaman mencapai 9 BST.

10.Analisis di laboratorium

Analisis di laboratorium dilakukan pada tanah dan tanaman. Pada analisis tanaman dilakukan analisis serapan hara NPK terhadap batang dan daun (berangkasan) serta umbi.

3.5 Variabel Pengamatan

Variabel pengamatan utama yang diamati pada penelitian ini adalah:

1. Tinggi tanaman

Pengamatan tinggi tanaman dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan cara mengukur tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai titik tumbuh tanaman. Pengukuran dilakukan dalam satuan centimeter (cm) dengan jumlah sampel tanaman 8 sampel pada tiap plot. Sampel tanaman yang digunakan ialah sampel terpusat.


(39)

26

2. Bobot berangkasan dan umbi (basah dan kering)

Bobot berangkasan dan bobot umbi basah diamati setelah panen, yaitu pada usia 9 bulan setelah tanam (BST). Pengamatan berangkasan dan bobot umbi kering dilakukan setelah proses pengovenan selama 3x24 jam pada suhu 70oC. Bobot kering umbi dan berangkasan selanjutnya digunakan untuk perhitungan serapan hara NPK.

3. Serapan NPK

Untuk mengetahui serapan NPK pada tanaman dilakukan analisis tanaman terhadap berangkasan dan umbi setelah panen. Adapun serapan tanaman hasil analisis kemudian dikonversikan berdasarkan berat kering tanaman

(berangkasan dan umbi) hasil analisis. Perhitungan serapan hara tersebut dilakukan untuk mengetahui jumlah unsur hara yang terangkut ke luar.

Kemudian sebagai data pendukung pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan terhadap:

1. Analisis Tanah

Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap pH (Aquades), % C-organik (Metode Walkey & Black), N total (Metode Destilasi), P tersedia (Bray-1), Kdd (NH4OAc 1 N), P total (HCl 25%), K total (HCl 25%) pada contoh tanah

awal percobaaan. Sedangkan pada contoh tanah setelah dilakukan percobaan dilakukan analisis terhadap pH (Aquades), % C-organik (Metode Walkey & Black), N total (Metode Destilasi), P tersedia (Bray-1), Kdd (NH4OAc 1 N).


(40)

27

2. Analisis Pupuk Organonitrofos

Analisis pupuk dilakukan untuk mengetahui kandungan unsur hara pada pupuk organik yang dilakukan pada percobaan ini. Analisis yang dilakukan terhadap pupuk tersebut meliputi analisis pH (Aquades), % C-organik (Metode Walkey & Black), N total (Metode Destilasi), P tersedia (Bray-1), Kdd (NH4OAc 1 N), P total (HCl 25%), K total (HCl 25%).

3. Uji Korelasi

Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui korelasi antara serapan hara tanaman ubikayu terhadap pertumbuhan dan produksinya. Uji korelasi yang dilakukan ialah serapan hara NPK terhadap tinggi tanaman 20 MST, bobot basah umbi dan bobot berangkasan tanaman.

4. RAE (Relative Agronomic Effectiveness)

Selain itu untuk menilai efektivitas pupuk organik dan kombinasinya dengan pupuk anorganik dilakukan analisis Relative Agronomic Effectiveness (RAE). Relative Agronomic Effectiveness (RAE) merupakan perbandingan antara kenaikan hasil karena penggunaan pupuk rock phosphate dengan kenaikan hasil akibat penggunaan pupuk superphosphate dikalikan 100% (Mackay dkk., 1984). Persamaan tersebut dapat digunakan untuk menilai efektivitas pupuk akibat penggunaan suatu pupuk dengan pupuk standar, yaitu dengan menggunakan persamaan berikut :


(41)

28

5. Uji Ekonomis

Uji ekonomis dilakukan dengan melakukan perhitungan terhadap penerimaan dan pengeluaran yang disebabkan oleh pupuk (Ismono, 2013).

Apabila nilai rasio berdasarkan perhitungan tersebut > 1 maka pupuk yang diuji memiliki nilai ekonomis yang baik. Price merupakan harga pasaran hasil panen, quantity merupakan jumlah hasil panen, sedangkan cost merupakan biaya yang dikeluarkan akibat pembelian pupuk.


(42)

52

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasar penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa aplikasi pupuk Organonitrofos disertai kombinasinya dengan pupuk anorganik dengan dosis 100 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP36, 200 kg ha-1 KCl, 1.000 kg ha-1

Organonitrofos mampu meningkatkan produksi umbi dan serapan hara NPK pada tanaman ubikayu serta bersifat paling efektif dengan menghasilkan nilai RAE sebesar 301% dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian secara berkelanjutan dengan perlakuan yang sama pada tahun berikutnya. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian serupa pada jenis tanah yang berbeda untuk mengetahui keefektifan pupuk Organonitrofos.


(43)

PUSTAKA ACUAN

Anjani, D.J. 2013. Uji efektivitas pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat (Lycopersicum esculentumMill.) di Tanah Ultisol Gedung Meneng (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 84 hlm.

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. 472 hlm. Atmojo, S. W. 2003. Peranan bahan organik terhadap kesuburan tanah dan

upaya pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 36 hlm. BPS. 2012. Data Produktivitas Ubikayu Indonesia pada tahun

2011 (http://www. bps. go. id). Diakses pada 18 November 2012. Balitkabi. 2000. Perbaikan teknologi budidaya ubikayu. DalamLaporan

Tahunan Balitkabi 1999/2000. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. 169 hlm.

Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Uji Mutu dan Efektivitas Pupuk Alternatif Anorganik. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 50 hlm.

Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 136 hlm.

BPTP Lampung. 2004. Kajian Agribisnis Ubikayu di Provinsi Lampung. Laporan Tahunan BPTP Lampung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Lampung. 6 hlm.

Brady N. C. 1990. The Nature and Properties of Soils. Macmillan Publ. Com. New York. 621 hlm.

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). 2009. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1382 hlm.

Departemen Pertanian. 2006. Ubikayu (http://pphp. deptan. go. id). Diakses pada 15 September 2012.


(44)

54

Ernawati, Rr. 2010. Kajian budidaya ubikayu (Manihot esculentaCrantz)

sambung di Lampung Selatan. JPPTP13 (2): 85-92.

Harjadi, S.S. 1989. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. 195 hlm. Howeler, R. H dan T. Phien. 2008. Integrated nutrient management for more

sustainable cassava production in Vietnam. CIAT. Thailand. 38 hlm. Ismono, H. 2013. Uji Ekonomis Pupuk dengan Rasio Pemasukan dan

Pengeluaran Pupuk. Komunikasi Pribadi. Jurusan Agribisnis. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. 3 Mei 2013.

Ispandi, A. 2002. Peningkatan produksi ubikayu di lahan kering iklim kering. Buletin Palawija3: 17-25.

Ispandi, A. 2003. Pemupukan P, K dan waktu pemberian pupuk K pada tanaman ubikayu di lahan kering vertisol. Ilmu Pertanian10 (2): 35-50.

Ispandi, A dan A. Munip. 2005. Efektifitas pengapuran terhadap serapan hara dan produksi beberapa klon ubikayu di lahan kering masam.Ilmu Pertanian12 (2): 125-139.

Juarsah, I. 1999. Manfaat dan alternatif penggunaan pupuk organik pada lahan kering melalui penanaman leguminosa. Hal 891-900. DalamProsiding Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Kamal, M. 2009. Tuber growth and starch content in cassava as affected by K application at different planting dates. Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Unila. Universitas Lampung. Lampung.

Lindawati, N., Izhar dan H. Syafria. 2000. Pengaruh pemupukan nitrogen dan interval pemotongan terhadap produktivitas dan kualitas rumput lokal kumpai pada tanah podzolik merah kuning. JPPTP2(2): 130-133.

Mackay, A. D. , J. K. Syers and P. E. H. Gregg. 1984. Ability of chemical extraction procedures to assess the agronomic effectiveness of phosphate rock materials. New Zealand Jounal of Agricultural Research27:219-230. Musnamar, E. I. 2007. Pupuk Organik Cair Padat Pembuatan Aplikasi.

Penebar Swadaya. Jakarta. 70 hlm.

Noor, A. 2005. Peranan fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang dalam meningkatkan serapan hara dan hasil kedelai. J. Tanah dan Lingkungan7 (2): 41-47.


(45)

55

Notohadiprawiro, T., S. Soekodarmodjo dan E. Sukana. 2006. Pengelolaan kesuburan tanah dan peningkatan efisiensi pemupukan. Ceramah pada Pertemuan Ahli Teknologi, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Dati I Jawa Tengah, di Pati, 20-22 Agustus 1984.

Notohadiprawiro, T. 1972. The role of water, management and variety ini determining the yield of sawah rice. Ilmu PertanianI (6): 258-259. Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif. AgroMedia Pustaka.

Jakarta. 124 hlm.

Nugroho, S.G., Dermiyati, J. Lumbanraja, S. Triyono, H. Ismono, M.K. Ningsih, dan F.Y. Saputri. 2013. Inoculation effect of N2-fixer and P-solubilizer into a mixture of fresh manure and phosphate rock formulated as

Organonitrofos fertilizer on bacterial and fungal population. J. Trop Soils 18 (1): 75-80.

Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 70/PERMENTAN/SR. 140/10/2011. Pupuk organik, pupuk hayati, dan pembenah tanah. Jakarta. Poerwowidodo, M. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Penerbit Angkasa.

Bandung. 275 hlm.

Prasetiaswati, N., R. Santoso dan Saleh. 2011. Kelayakan usaha ubikayu sambung randan I pada berbagai dosis pupuk. Hlm 596-603. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Balitkabi. Malang.

Prasetyo, B. H dan D. A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologi pengelolaan Tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia. Jurnal Litbang pertanian25(2): 39-47.

Purwani, J. , J. Purnomo dan R. Saraswati. 2008. Pengaruh pemberian bahan organik dan pemupukan fosfat pada teknik budidaya ubikayu terhadap sifat kimia dan aktivitas dehydrogenase lahan kering masam Ultisol Lampung. Balai Penelitian Tanah. Lampung. Hlm 473-482.

Roy, R.N., A. Finck, G.J. Blair and H.I.S. Tandon. 2006. Plant Nutrition for Food Security. Food and Agriculture Organization of United Nations. Rome. 349 hlm.

Rukmana, R. 1997. Ubikayu: Budidaya dan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. 82 hlm.

Septima, A.R. 2013. Uji efektivitas pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat (Zea mays) di Tanah Ultisol Gedung Meneng (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 86 hlm.


(46)

56

Sismiyati, R. dan S. Partohardjono. 1994. Status hara nitrogen padi sawah dalam kaitannya dengan efisiensi pupuk. Balittan Bogor. Penelitian Pertanian14 (1): 8-13.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Proyek Peningkatan Pengembangan Perguruan Tinggi IPB. Bogor. 591 hlm.

Sri Adiningsih, J. dan Mulyadi. 1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan alang-alang. Hlm 29-50. DalamS. Sukmana, Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H. Suhardjo, Y.

Prawirasumantri. Pemanfaatan alang-alang untuk usaha tani berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang Bogor. Desember 1992. Pusat penelitian Tanah dan Agroklimat.

Stevenson, F. J. 1982. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reactions. John Wiley and Sons. New York. 443 hlm.

Subandi. 2011. Pengelolaan hara kalium untuk ubikayu pada lahan kering masam. Buletin Palawija22: 86-95.

Subhan, N. Nurtika, dan W. Setiawati. 2005. Peningkatan efisiensi pemupukan NPK dengan memanfaatkan bahan organik terhadap hasil tomat. J. Hort. 15 (2): 91-96.

Triolanda, Y. 2011. Pengaruh ukuran butir batuan fosfat yang dicampurkan dengan kotoran sapi segar terhadap keersediaan unsur hara N dan P. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 100 hlm.

Wargiono, J. dan E. Tukerkih. 1988. Pengaruh nitrogen, kalium, dan mulsa terhadap hasil ubikayu dan tanaman sela. Penelitian Pertanian8 (2): 60-63. Yawson, D.O., P. K. Kwakye , F. A. Armah and K.A. Frimpong. 2011. The

dynamics of potassium (K) in representative soil series of Ghana.ARPN J. Of Agricultural and Biological Science6 (1): 48-55.

Yuniwati, E. D. 2007. Pengaruh pemupukan, jarak tanam dan varietas pada budidaya ubikayu untuk pakan ternak. Universitas Wisnuwardhana. Malang. 18 hlm.


(47)

(1)

52

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasar penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa aplikasi pupuk Organonitrofos disertai kombinasinya dengan pupuk anorganik dengan dosis 100 kg ha-1 urea, 100 kg ha-1 SP36, 200 kg ha-1 KCl, 1.000 kg ha-1

Organonitrofos mampu meningkatkan produksi umbi dan serapan hara NPK pada tanaman ubikayu serta bersifat paling efektif dengan menghasilkan nilai RAE sebesar 301% dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian secara berkelanjutan dengan perlakuan yang sama pada tahun berikutnya. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian serupa pada jenis tanah yang berbeda untuk mengetahui keefektifan pupuk Organonitrofos.


(2)

Anjani, D.J. 2013. Uji efektivitas pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat (Lycopersicum esculentumMill.) di Tanah Ultisol Gedung Meneng (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 84 hlm.

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. 472 hlm. Atmojo, S. W. 2003. Peranan bahan organik terhadap kesuburan tanah dan

upaya pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 36 hlm. BPS. 2012. Data Produktivitas Ubikayu Indonesia pada tahun

2011 (http://www. bps. go. id). Diakses pada 18 November 2012. Balitkabi. 2000. Perbaikan teknologi budidaya ubikayu. DalamLaporan

Tahunan Balitkabi 1999/2000. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. 169 hlm.

Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Uji Mutu dan Efektivitas Pupuk Alternatif Anorganik. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 50 hlm.

Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 136 hlm.

BPTP Lampung. 2004. Kajian Agribisnis Ubikayu di Provinsi Lampung. Laporan Tahunan BPTP Lampung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Lampung. 6 hlm.

Brady N. C. 1990. The Nature and Properties of Soils. Macmillan Publ. Com. New York. 621 hlm.

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). 2009. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1382 hlm.

Departemen Pertanian. 2006. Ubikayu (http://pphp. deptan. go. id). Diakses pada 15 September 2012.


(3)

54

Ernawati, Rr. 2010. Kajian budidaya ubikayu (Manihot esculentaCrantz) sambung di Lampung Selatan. JPPTP13 (2): 85-92.

Harjadi, S.S. 1989. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. 195 hlm. Howeler, R. H dan T. Phien. 2008. Integrated nutrient management for more

sustainable cassava production in Vietnam. CIAT. Thailand. 38 hlm.

Ismono, H. 2013. Uji Ekonomis Pupuk dengan Rasio Pemasukan dan Pengeluaran Pupuk. Komunikasi Pribadi. Jurusan Agribisnis. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. 3 Mei 2013.

Ispandi, A. 2002. Peningkatan produksi ubikayu di lahan kering iklim kering.

Buletin Palawija3: 17-25.

Ispandi, A. 2003. Pemupukan P, K dan waktu pemberian pupuk K pada tanaman ubikayu di lahan kering vertisol. Ilmu Pertanian10 (2): 35-50.

Ispandi, A dan A. Munip. 2005. Efektifitas pengapuran terhadap serapan hara dan produksi beberapa klon ubikayu di lahan kering masam.Ilmu Pertanian12 (2): 125-139.

Juarsah, I. 1999. Manfaat dan alternatif penggunaan pupuk organik pada lahan kering melalui penanaman leguminosa. Hal 891-900. DalamProsiding Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Kamal, M. 2009. Tuber growth and starch content in cassava as affected by K

application at different planting dates. Seminar Hasil Penelitian dan

Pengabdian Masyarakat, Unila. Universitas Lampung. Lampung.

Lindawati, N., Izhar dan H. Syafria. 2000. Pengaruh pemupukan nitrogen dan interval pemotongan terhadap produktivitas dan kualitas rumput lokal kumpai pada tanah podzolik merah kuning. JPPTP2(2): 130-133.

Mackay, A. D. , J. K. Syers and P. E. H. Gregg. 1984. Ability of chemical extraction procedures to assess the agronomic effectiveness of phosphate

rock materials. New Zealand Jounal of Agricultural Research27:219-230.

Musnamar, E. I. 2007. Pupuk Organik Cair Padat Pembuatan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. 70 hlm.

Noor, A. 2005. Peranan fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang dalam meningkatkan serapan hara dan hasil kedelai. J.


(4)

Notohadiprawiro, T., S. Soekodarmodjo dan E. Sukana. 2006. Pengelolaan kesuburan tanah dan peningkatan efisiensi pemupukan. Ceramah pada Pertemuan Ahli Teknologi, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Dati I Jawa Tengah, di Pati, 20-22 Agustus 1984.

Notohadiprawiro, T. 1972. The role of water, management and variety ini

determining the yield of sawah rice. Ilmu PertanianI (6): 258-259.

Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif. AgroMedia Pustaka. Jakarta. 124 hlm.

Nugroho, S.G., Dermiyati, J. Lumbanraja, S. Triyono, H. Ismono, M.K. Ningsih, dan F.Y. Saputri. 2013. Inoculation effect of N2-fixer and P-solubilizer into

a mixture of fresh manure and phosphate rock formulated as

Organonitrofos fertilizer on bacterial and fungal population. J. Trop Soils

18 (1): 75-80.

Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 70/PERMENTAN/SR. 140/10/2011. Pupuk organik, pupuk hayati, dan pembenah tanah. Jakarta. Poerwowidodo, M. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Penerbit Angkasa.

Bandung. 275 hlm.

Prasetiaswati, N., R. Santoso dan Saleh. 2011. Kelayakan usaha ubikayu sambung randan I pada berbagai dosis pupuk. Hlm 596-603. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Balitkabi. Malang.

Prasetyo, B. H dan D. A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologi pengelolaan Tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia. Jurnal Litbang pertanian25(2): 39-47.

Purwani, J. , J. Purnomo dan R. Saraswati. 2008. Pengaruh pemberian bahan organik dan pemupukan fosfat pada teknik budidaya ubikayu terhadap sifat kimia dan aktivitas dehydrogenase lahan kering masam Ultisol Lampung. Balai Penelitian Tanah. Lampung. Hlm 473-482.

Roy, R.N., A. Finck, G.J. Blair and H.I.S. Tandon. 2006. Plant Nutrition for

Food Security. Food and Agriculture Organization of United Nations.

Rome. 349 hlm.

Rukmana, R. 1997. Ubikayu: Budidaya dan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. 82 hlm.

Septima, A.R. 2013. Uji efektivitas pupuk Organonitrofos dan kombinasinya dengan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat (Zea mays) di Tanah Ultisol Gedung Meneng (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 86 hlm.


(5)

56

Sismiyati, R. dan S. Partohardjono. 1994. Status hara nitrogen padi sawah dalam kaitannya dengan efisiensi pupuk. Balittan Bogor. Penelitian

Pertanian14 (1): 8-13.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Proyek Peningkatan Pengembangan Perguruan Tinggi IPB. Bogor. 591 hlm.

Sri Adiningsih, J. dan Mulyadi. 1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan alang-alang. Hlm 29-50. DalamS. Sukmana, Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H. Suhardjo, Y.

Prawirasumantri. Pemanfaatan alang-alang untuk usaha tani berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang Bogor. Desember 1992. Pusat penelitian Tanah dan Agroklimat.

Stevenson, F. J. 1982. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reactions. John Wiley and Sons. New York. 443 hlm.

Subandi. 2011. Pengelolaan hara kalium untuk ubikayu pada lahan kering masam. Buletin Palawija22: 86-95.

Subhan, N. Nurtika, dan W. Setiawati. 2005. Peningkatan efisiensi pemupukan NPK dengan memanfaatkan bahan organik terhadap hasil tomat. J. Hort. 15 (2): 91-96.

Triolanda, Y. 2011. Pengaruh ukuran butir batuan fosfat yang dicampurkan dengan kotoran sapi segar terhadap keersediaan unsur hara N dan P. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 100 hlm.

Wargiono, J. dan E. Tukerkih. 1988. Pengaruh nitrogen, kalium, dan mulsa terhadap hasil ubikayu dan tanaman sela. Penelitian Pertanian8 (2): 60-63. Yawson, D.O., P. K. Kwakye , F. A. Armah and K.A. Frimpong. 2011. The

dynamics of potassium (K) in representative soil series of Ghana.ARPN J.

Of Agricultural and Biological Science6 (1): 48-55.

Yuniwati, E. D. 2007. Pengaruh pemupukan, jarak tanam dan varietas pada budidaya ubikayu untuk pakan ternak. Universitas Wisnuwardhana. Malang. 18 hlm.


(6)

Dokumen yang terkait

Respons Pertumbuhan dan Produksi Ubi Jalar Terhadap Pemberian Berbagai Kombinasi Dosis Pupuk Organik dan Anorganik.

7 45 72

UJI EFEKTIVITAS PUPUK ORGANONITROFOS DENGAN PUPUK KIMIA TERHADAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA, DAN PRODUKSI TANAMAN CABAI RAWIT KATHUR (Capsicum frutescens) PADA TANAH ULTISOL GEDUNG MENENG

0 8 42

PENGARUH PUPUK ORGANONITROFOS DAN KOMBINASINYA DENGAN PUPUK KIMIA TERHADAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN PRODUKSI TANAMAN TOMAT (Lycopersicom esculentum) PADA MUSIM TANAM KEDUA

3 36 43

UJI EFEKTIVITAS PUPUK ORGANONITROFOS DAN KOMBINASINYA DENGAN PUPUK ANORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN PRODUKSI TANAMAN MENTIMUN (Cucumis sativus L.) PADA MUSIM TANAM KEDUA DI TANAH ULTISOL GEDUNG MENENG

2 15 60

UJI EFEKTIVITAS PUPUK ORGANONITROFOS DAN KOMBINASINYA DENGAN PUPUK KIMIA TERHADAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG MANIS (Zea mays saccharata ) DI MUSIM TANAM KE TIGA PADA TANAH ULTISOL GEDUNG MENENG

0 10 48

UJI EFEKTIVITAS PUPUK ORGANONITROFOS DAN KOMBINASINYA DENGAN PUPUK ANORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI( Glycine max [L.] Merr. )

1 11 56

UJI EFEKTIVITAS PUPUK ORGANONITROFOS DAN KOMBINASINYA DENGAN PUPUK KIMIA TERHADAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merr) PADA MUSIM TANAM KETIGA

2 27 50

UJI EFEKTIVITAS PUPUK ORGANONITROFOS DAN KOMBINASINYA DENGAN PUPUK ANORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA, DAN PRODUKSI TANAMAN KACANG HIJAU (Phaseolus radiatus L.) PADA TANAH ULTISOL NATAR UJI EFEKTIVITAS PUPUK ORGANONITROFOS DAN KOMBINASINYA DENGA

2 25 47

UJI EFEKTIVITAS PUPUK ORGANONITROFOS DAN KOMBINASINYA DENGAN PUPUK KIMIA TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN SERAPAN HARA TANAMAN JAGUNG MANIS Zea mays saccharata Sturt.)PADA TANAH ULTISOL NATAR

0 7 48

UJI EFEKTIVITAS PUPUK ORGANONITROFOS DAN KOMBINASINYA DENGAN PUPUK KIMIA TERHADAP PERTUMBUHAN, SERAPAN HARA DAN PRODUKSI TANAMAN UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz ) DI MUSIM TANAM KE DUA PADA TANAH ULTISOL GEDUNG MENENG

0 11 55