Teori-Teori Mengenai Hierarki Hukum

Dalam hal Hukum Acara, sumber utama untuk mencari hukum acara adalah Undang-Undang Hukum Acara yang secara khusus dibuat untuk itu. Namun, peraturan yang mengatur mengenai hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang karena keterbatasan waktu yang tersedia untuk menyusun Undang-Undang Mahkamah Konstitusi telah menyebabkan aturan mengenai hukum acara tidak lengkap. Hal ini diakui pembuat undang- undang dan karenanya memberi kewenangan pada Mahkamah Konstitusi untuk mengatur lebih lanjut hal yang dipandang perlu bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya dengan menyusun sendiri peraturannya melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi PMK. 30 Sejak awal berdiri sampai saat ini, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan sebanyak 17 PMK. Ke-17 PMK ini, tidak hanya yang bersifat mengatur ke dalam lembaga Mahkamah Konstitusi tetapi juga mengatur mengenai Pedoman Beracara yang berlaku juga untuk masyarakat umum yang akan beracara di Mahkamah Konstitusi. Menurut Maria Farida, 31 Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum; namun demikian Mahkamah Konstitusi tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam interne regeling.

2.3 Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

2.3.1 Teori-Teori Mengenai Hierarki Hukum

30 Maruarar Siahaan, loc.cit., hlm. vii. 31 Maria Farida, Imu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Jakarta: Kanisius, 1997, hlm. 105. Indonesia merupakan negara yang menerapkan Hirearki Norma Hukum Stufenbau Theory yang dicetuskan oleh Hans Kelsen dan dikembangkan oleh Hans Nawiasky. 32 Hans Kelsen mengembangkan sebuah Teori Hukum Murni General Theory of Law and State. Aliran Teori Hukum Murni merupakan suatu pengembangan dari teori mazhab positivisme, yang menitikberatkan pada inti ajarannya mengenai hukum dapat dibuat dari undang-undang. Menurut W. Friedman, 33 inti ajaran Teori Hukum Murni adalah: 1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan; 2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengai hukum yang seharusnya; 3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam; 4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum; 5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus; 6. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang kas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata. Selain ajaran Hukum Murni, Hans Kelsen mengemukakan teori Hirearki Norma Hukum Stufenbau Theory-Stufenbau des Recht. Hans Kelsen dalam teori hirarki norma stufenbau theory berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang dalam suatu tata susunan hirarki. Suatu norma yang lebih rendah berlaku dan bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi itu berlaku dan bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi. 32 Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 57-58. 33 Ibid. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri, yang bersifat hipotetis dan fiktif yaitu yang dikenal dengan istilah grundnorm norma dasar. 34 Hans Nawiansky menyempurnakan Stufenbau Theory yang dikembangkan oleh gurunya, Hans Kelsen. Hans Nawinsky mengembangkan teori tersebut dan membuat Tata Susunan Norma Hukum Negara die Stufenordnung der Rechtsnormen dalam empat tingkatan. Keempat tingkat tersebut, yaitu: 35 1. Staatsfundamentalnorm Norma Fundamental Negara atau Grundnorm menurut teori Kelsen; 2. Staatsgrundgezets Aturan DasarPokok Negara; 3. Formell Gezets Undang-Undang Formal; dan 4. Verordnung Autonome Satzung Aturan Pelaksana dan Aturan Otonomi. Menurut teori Kelsen-Nawiansky, grundnorm atau staatsfundamentalnorm adalah sesuatu yang abstrak, diasumsikan presupposed, tidak tertulis, ia tidak ditetapkan gesetz, tetapi diasumsikan, tidak termasuk tatanan hukum positif, berada di luar namun menjadi dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif, dan bersifat meta-juristic. 36

2.3.2 Hierarki Peraturan Menurut Undang-Undang