REKONSTRUKSI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI (Telaah Ketatanegaraan Terhadap Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi)

(1)

i

ABSTRAK

REKONSTRUKSI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI (Telaah Ketatanegaraan Terhadap Kedudukan dan

Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi) Oleh:

REISA MALIDA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan dan pemetaan materi muatan PMK yang sesuai dengan Ilmu Perundang-Undangan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk membantu dalam proses penelitian, maka peneliti menggunakan prosedur pengumpulan data, yaitu menggunakan Studi Kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa kedudukan PMK dalam hierarki peraturan perundang-undangan dapat dianalisis berdasarkan hierarki kelembagaan negara. PMK, sebagai peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga tinggi negara, yaitu Mahkamah Konstitusi, memiliki kedudukan yang berada di bawah Peraturan Pemerintah dan sejajar dengan peraturan lembaga tinggi negara lain, khususnya Peraturan Presiden. Apabila ditinjau dari materi muatannya, terdapat ketidakharmonisan antara materi muatan dengan jenis peraturan perundang-undangannya. Sehingga berdasarkan pemetaan materi muatan yang terkandung di dalam PMK, PMK dapat dipetakan ke dalam 2 jenis peraturan perundang-undangan, yaitu PMK dengan jenis materi muatan Peraturan Lembaga Tinggi Negara, dan PMK dengan jenis materi muatan undang-undang.


(2)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial control

dalam kerangka sistem checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan.1 Lembaga tersebut merupakan salah satu lembaga negara yang bergerak di dalam ranah penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia, selain Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, yaitu lembaga Mahkamah Konstitusi, melalui UUD Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2), yang menyatakan:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Dikatakan di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi2 sebagaimana yang telah dirubah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi,3 bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.

1

Bandingkan: Maruarar Siahaan,Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 1.

2

Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 4958.

3


(3)

Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga merupakan tempat bagi warga masyarakat pencari keadilan atau justitiabelen (justice seekers) dalam mencari keadilan sesuai dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi yang termaktub di dalam UUD Tahun 1945 yaitu pasal 24C ayat (1).4Kewenangan tersebut pada perkembangannya ditambah lagi dengan kewenangan untuk memutus perselisihan hasil Pemilukada berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah5Pasal 236C ayat (1).6

Selanjutnya, melalui Undang-Undang Mahkmah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga diberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Hal tersebut berdasar pada Pasal 86 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini. Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, maka Mahkamah Kontitusi membentuk aturan-aturan yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).

4

Empat kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut, yaitu Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terkahir yang putusannya bersifat final untuk :

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

3. Memutus pembubaran partai politik;

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

5

LNRI Tahun 2008 Nomor 59.

6

Menyatakan bahwa :

“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”.


(4)

Keberadaan PMK ini selanjutnya diakui di dalam hierarki peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.7 Namun, undang-undang ini tidak menyebutkan kedudukan PMK di dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut telah diatur di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kemudian ditambahkan melalui Pasal 8 ayat (1) bahwa Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang-Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Namun dari pengaturan-pengaturan yang ada tersebut, tidak ada yang menyebutkan secara jelas letak kedudukan PMK di dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Tidak hanya itu, PMK

7


(5)

juga digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman atau fungsi peradilan (rechtsprekende functie). Mahkamah Konstitusi mengatur mengenai pedoman beracara di Mahkamah Konstitusi yang ditujukan bagi masyarakat umum sebagai subjek-subjek hukum (legal subjects) yang tengah beracara di Mahkamah Kontitusi melalui PMK.

Pada dasarnya ketentuan mengenai pedoman beracara di Mahkamah Konstitusi telah diatur dengan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yaitu pada Bab V mengenai Hukum Acara yang terdiri dari Pasal 28 sampai dengan Pasal 85, yang secara berturut-turut membahas: bagian pertama tentang hal umum; bagian kedua tentang pengajuan permohonan; bagian ketiga tentang Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang; bagian keempat tentang Alat Bukti; bagian kelima tentang Pemeriksaan Pendahuluan; bagaian keenam tentang Pemeriksaan Persidangan; bagian ketujuh tentang Putusan; bagian kedelapan tentang Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; bagian kesembilan tentang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Diberikan oleh Undang-Undang Dasar; bagian kesepuluh tentang Pembubaran Partai Politik; bagian kesebelas tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum; serta bagian kedua belas tentang Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Namun dari beberapa literatur dan artikel yang membahas mengenai Mahkamah Konstitusi terutama mengenai hukum acara, menyatakan bahwa ketentuan di dalam undang-undang tersebut belum lengkap sehingga diperlukan peraturan di luar undang-undang untuk mengaturnya. Seperti yang dikutip dari salah satu literatur mengenai Mahkamah Konstitusi, Maruarar Siahaan melalui Prakata Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, menyatakan bahwa


(6)

pengaturan tersebut, diakui sendiri oleh pembuat undang-undangnya masih sangat sumir. Oleh karena itu, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi memberikan mandat kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyusun lebih lanjut aturan-aturan hukum acara yang diperlukan untuk kelancaran penyelenggaraan kewenangannya.8 Dan di salah satu blog yang membahas khusus membahas mengenai hukum: Law Comunity “Wajah Hukum Indonesia”, menyebutkan bahwa hal yang perlu diperbaiki dalam kaitannya dengan Mahkamah Konstitusi adalah terkait dengan hukum acara Mahkamah Konstitusi yang belum jelas, sehingga perlu dibuatnya suatu undang-undang yang mengatur tata cara berperkara di Mahkamah Konstitusi, mengingat selama ini pengaturannya masih menggunakan pedoman dari Mahkamah Konstitusi.9

Hal ini diperkuat oleh pendapat para ahli Tata Negara Indonesia mengenai materi muatan PMK. Pendapat pertama dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie,10 bahwa PMK merupakan salah satu bentuk kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan peraturannya sendiri yang berfungsi mengatur secara internal demi tercapainya tujuan kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut UUD Tahun 1945. Sedangkan Maruarar Siahaan11 menyatakan, PMK merupakan aturan teknis kenegaraan sebagai penyempurna ketentuan-ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya masih terdapat banyak kekosongan.

Bahkan, penegasan mengenai ketidaklengkapan ini juga dapat dilihat dari ketentuan di dalam Pasal 86 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sebagai dasar dikeluarkannya PMK. Ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini juga dapat berarti bahwa Undang-Undang

8

Maruarar Siahaan,op.cit. hlm. vii.

9

Dikutip dari http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel-2/wajah-hukum-indonesia/ diakses pada tanggal 10 Juli 2012 pukul 19.43 WIB.

10

Bandingkan: Jimly Asshiddiqie,Perihal Undang-Undang, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 18.

11


(7)

Mahkamah Konstitusi yang telah ada nyatanya masih belum sempurna dan membutuhkan penyempurnaan yang lebih lanjut.

Sehingga, berdasarkan pendapat Ahli serta melihat ke dalam Pasal 7 dan 8 Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 dan ketentuan di dalam Pasal 86 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, terdapat beberapa ketimpangan yang patut untuk diperhatikan, antara lain:

1. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga negara, khususnya PMK, walaupun telah diakui keberadaannya namun ternyata tidak diketahui letak kedudukannya di dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

2. PMK yang secara teori seharusnya hanya bersifat dan berlaku bagi internal kelembagaan, namun pada kenyataan ternyata materi muatan yang terkandung di dalam PMK banyak yang bersentuhan langsung dengan subjek-subjek hukum di luar Mahkamah Konstitusi, yaitu pada pedoman beracara di Mahkamah Konstitusi;

3. Pembentukan PMK yang didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 86 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi merupakan norma penyempurna dari ketidaklengkapan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, serta atas dasar pembentukan yang dinilai terburu-buru12. Namun, setelah hampir satu dasawarsa Mahkamah Konstitusi berdiri, berdasarkan kedua alasan tersebut dapat dijadikan kajian mengenai kelayakan terus dipertahankannya pedoman beracara yang diatur dengan PMK.

12Ibid


(8)

Memang hingga saat ini studi maupun penelitian yang membahas mengenai hierarki Peraturan Perundang-Undangan juga mengenai Mahkamah Konstitusi memang telah banyak, khususnya mengenai Mahkamah Konstitusi yang diantaranya berkisar pada hak, kewajiban, dan kewenangan Mahkamah Konstitusi, serta kewajiban dalam hal impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden, diantaranya Maria Farida Indrati Soeprapto dalam disertasinya yang membahas mengenai peraturan perundang-undangan, yatiu Kedudukan dan Materi Muatan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, peraturan Pemerintah, Dan Keputusan Presiden Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Di Republik Indonesia,13 serta thesis yang dibuat oleh Iwan Satriawan yang membahas mengenai hak sekaligus kewajiban Mahkamah Konstitusi dalam hal impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden, yaitu Impeachment in Indonesia and the United States: A Comparative Study.14 Meskipun demikian, nyatanya hingga saat ini belum ada penelitian yang membahas secara spesifik mengenai Kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi di dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia serta mengenai materi muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan ketimpangan-ketimpangan yang telah diuraikan di atas, juga dengan melihat banyaknya materi yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang justru diatur dengan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan Ilmu Perundang-Undangan, maka peneliti merasa perlu melakukan kajian lebih mendalam mengenai kedudukan serta penataan kembali bentuk peraturan perundang-undangan, khususnya mengenai kedudukan dan pemetaan PMK berdasarkan teori Hukum Tata Negara dan Teori Perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut,

13

Maria Farida Indrati Soeprapto, Disertasi : Kedudukan dan Materi Muatan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, peraturan Pemerintah, Dan Keputusan Presiden Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Di Republik Indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002).

14

Iwan Satriawan, Impeachment in Indonesia and the United States: A Comparative Study, Thesis of Master Degree, (Malaysia: International Islamic University, 2003).


(9)

peneliti kemudian akan menyampaikan analisis peneliti dalam bentuk skripsi yang berjudul, “Rekonstruksi Peraturan Mahkamah Konstitusi (Telaah Ketatanegaraan Terhadap Kedudukan DanMateri Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi)”

1.2. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1.2.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, peneliti merumuskan permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimanakah kedudukan PMK dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan ?

2. Bagaimanakah pemetaan materi muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang sesuai dengan ilmu Perundang-Undangan?

1.2.2 Ruang Lingkup

Penelitian ini berada di dalam bidang Hukum Tata Negara pada umumnya, dan lebih dikhususkan lagi pada lingkup kelembagaan negara yang akan membahas mengenai kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemetaan materi muatan PMK yang sesuai dengan Ilmu Perundang-Undangan.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam rangka menambah Ilmu Pengetahuan Ketatanegaraan khususnya bertujuan untuk mengetahui:


(10)

2. Pemetaan materi muatan PMK yang sesuai dengan ilmu perundang-undangan;

1.3.2 Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan hukum, khususnya di dalam Hukum Tata Negara, dalam rangka memberikan penjelasan mengenai kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan serta pemetaan materi muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi yang sesuai dengan Ilmu Perundang-Undangan.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa selama mengikuti program perkuliahan Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Lampung mengenai kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam hierarki peraturan perundang-undangan serta pemetaan materi muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi yang sesuai dengan Ilmu Perundang-Undangan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan kajian bagi pemerintah khususnya bagi lembaga penyelenggara negara dalam mengkaji kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam hierarki peraturan perundang-undangan serta sebagai kajian untuk mengharmoniskan bentuk peraturan dengan materi muatannya, khususnya PMK.


(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Kelembagaan Negara

1.1.1 Teori Tentang Lembaga Negara

Istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Nonpemerintahan yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Government Organization atau Non-Governmental

Organization (NGO’s). Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.1

Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut dengan organ negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , kata “lembaga” diartikan sebagai : (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri atas interaksi sosial yang berstruktur.2

1

Jimly Asshiddiqie,Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 27.

2

Jimly Asshiddiqie, Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004), (Editor Refly Harun, dkk), hlm. 60-61.


(12)

Dalam kamus Hukum Belanda-Indonesia3, kata staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam Kamus hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata dkk, kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan. Menurut Natabaya,4penyusunan UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara. Sedangkan UUD Tahun 1945 setelah perubahan keempat (tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan negara.

Bentuk-bentuk lembaga negara dan pemerintahan baik pada tingkat pusat maupun daerah, pada perkembangan dewasa ini berkembang sangat pesat, sehingga doktrin trias politica yang biasa dinisbatkan dengan tokoh Montesquieu yang mengandaikan bahwa tiga fungsi kekuasaan negara selalu harus tercermin di dalam tiga jenis lembaga negara, sering terlihat tidak relevan lagi untuk dijadikan rujukan.

Sebelum Montesquieu di Perancis pada abad XVI, yang pada umumnya diketahui sebagai fungsi-fungsi kekuasaan negara itu ada lima. Kelimanya adalah (i) fungsi diplomacie; (ii) fungsi

defencie; (iii) fungsi nancie; (iv) fungsi justicie; dan (v) fungsi policie. Oleh John Locke dikemudian hari, konsepsi mengenai kekuasaan negara itu dibagi menjadi empat, yaitu (i) fungsi legislatif; (ii) eksekutif; (iii) fungsi federatif. Bagi John Locke, fungsi peradilan tercakup dalam fungsi eksekutif atau pemerintahan. Akan tetapi, oleh Montesquieu itu dipisahkan sendiri, sedangkan fungsi federatif dianggapnya sebagai bagian dari fungsi eksekutif. Karena itu, dalam

3

Marjanne Termorshuizen,Kamus Hukum Belanda-Indonesia cet-2, (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 390.

4


(13)

trias politicaMontesquieu, ketiga fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas (i) fungsi legislatif; (ii) fungsi eksekutif; dan (iii) fungsi yudisial.5

Menurut Montesquieu, disetiap negara selalu terdapat tiga cabang kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam struktur pemerintahan yaitu kekuasaan legislatif, dan kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang negara dan cabang kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan penerapan hukum sipil.6

Karena warisan lama, harus diakui bahwa di tengah masyarakat kita masih berkembang pemahaman yang luas bahwa pengertian lembaga negara dikaitkan dengan cabang-cabang kekuasaan tradisional legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga negara dikaitkan dengan pengertian lembaga yang berada di ranah kekuasaan legislatif, yang berada di ranah kekuasaan eksekutif disebut lembaga pemerintah, dan yang berada di ranah judikatif disebut sebagai lembaga pengadilan.7

Konsepsitrias politica yang diidealkan oleh Montesquieu ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secaara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsipcheck and balances.8

5Ibid,

, hlm. 29.

6Ibid

.

7

Ibid, hlm. 37

8Ibid


(14)

Lembaga negara yang terkadang juga disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen, atau lembaga negara saja, ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari Undang-Undang, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.9

Menurut Jilmy Asshidiqie,10selain lembaga-lembaga negara yang secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, ada pula lembaga-lembaga negara yang memliki constitutional importance yang sama dengan lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945, meskipun keberadaannya hanya diatur dengan atau dalam Undang-Undang. Baik yang diatur dalam UUD maupun yang hanya diatur dengan atau dalam Undang-Undang asalkan sama-sama memiliki constitusional importance dapat dikategorikan sebagai lembaga negara yang memiliki derajat konstitusional yang serupa, tetapi tidak dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara.11 Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.12

Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang merupakan organ Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga yang dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya. Kedudukan lembaga yang berbeda-beda tingkatannya inilah yang

9Ibid

.

10Ibid

., hlm. 82.

11

Ibid., hlm. 55.

12Ibid


(15)

ikut mempengaruhi kedudukan peraturan yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tersebut.13

Termasuk dalam hal ini lahirnya lembaga negara baru oleh Undang-Undang Dasar yaitu Mahkamah Konstitusi (Mahkamah Konstitusi). Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki peran tersendiri selain sebagai pengawal Undang-Undang Dasar, juga berperan sebagai The Sole Interpreter of the Constitution, dan dalam rangka kewenangannya untuk memutus perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi juga dapat disebut sebagai pengawal proses demokratisasi. Mahkamah Konstitusi juga merupakan pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).14

1.1.2 Lembaga-Lembaga Negara

Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organdan functie. Dalam UUD Tahun 1945, lembaga-lembaga yang dimaksud, ada yang namanya disebut secara eksplisit dan ada pula hanya fungsinya yang disebutkan eksplisit. Menurut Jimly Asshiddiqie,15lembaga-lembaga tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu segi fungsi dan segi hierarkinya. Untuk itu ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hierarki bentuk sumber normatif ysng menetukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara.

13Ibid

.

14

Ibid., hlm. 132.

15Ibid.


(16)

Sedangkan dari hierarki kelembagaannya Jimly Asshiddiqie mengaitkannya dengan teorinya sendiri yaitu teori tentang norma sumber legitimasi.16 Berdasarkan teori tersebut, lembaga-lembaga negara dapat dibedakan ke dalam 3 lapis lembaga-lembaga negara, yaitu lembaga-lembaga lapis pertama yang disebut dengan “lembaga tinggi negara” yaitu lembaga-lembaga negara yang bersifat utama (primer) yang pembentukannya mendapatkan kewenangan dari Undang-Undang Dasar; lembaga lapis kedua yang disebut dengan “lembaga negara” ada yang mendapat kewenangannya secara eksplisit dari Undang Dasar namun ada pula yang mendapat kewenangan dari Undang-Undang; dan lembaga lapis ketiga yang disebut “lembaga daerah”.17

Selain lembaga-lembaga negara tersebut, ada pula beberapa lembaga negara lain yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang atau peraturan yang lebih rendah, seperti peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau Keputusan Presiden,18 seperti komisi-komisi independen. Keberadaan badan atau komisi-komisi ini sudah ditentukan dalam undang-undang, akan tetapi pembentukannya biasanya diserahkan sepenuhnya kepasa presiden atau kepada menteri atau pejabat yang bertanggung jawab mengenai hal itu.19

Bahkan banyak pula badan-badan, dewan, atau komisi yang sama sekali belum diatur di dalam undang-undang, tetapi dibentuk berdasarkan peraturan yang lebih rendah tingkatannya. Kadang, lembaga-lembaga negara yang dimaksud dibentuk berdasarkan atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atau bahkan hanya didasarkan atas beleid presiden

16Ibid.

, hlm. 43.

17Ibid

., hlm. 43-45.

18

Ibid., hlm. 216.

19Ibid


(17)

(Presidential Policy) saja. Lembaga-lembaga tersebut, misalnya Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dibentuk melalui Keppres No. 15 Tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional.20

1.2 Mahkamah Konstitusi

Pada mulanya, sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.21

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat, yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus

20Ibid

.

21

Profil Mahkamah Konstitusi dalam website resmi Mahkamah Konstitusi: www.mahkamahkonstitusi.go.id., diakses pada 10 Juli 2012 pukul 20.12WIB.


(18)

2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 melantik hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.22

Lembaran perjalanan Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.23

Berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945. Kemudian di dalam Pasal 2 Undang-Undang yang sama dijelaskan pula bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.24

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

22Ibid. 23

Ibid.


(19)

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memutus pembubaran partai politik; dan

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Lebih jelas, Jimly Asshiddiqie, menguraikan mengenai Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:25 “Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Ditengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”

Dilihat dari sistem ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi, agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga didaulat menjadi penafsir akhir konstitusi.26

Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban dalam hal memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.27

Kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi ini adalah sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA) dan jajaran peradilan

25

Maruarar Siahaan,op.cit. hlm. 8.

26

Ibid, hlm 7.

27


(20)

yang berada di bawahnya. Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan memutus perkara konstitusi oleh karenanya tunduk juga kepada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.28

Sama dengan badan peradilan lainnya, Mahkamah Konstitusi juga harus tunduk pada asas-asas peradilan yang baik dalam Undang-Undang Hukum Acara, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan asas-asas yang juga telah diakui secara universal,29antara lain yaitu :

1. Persidangan terbuka untuk umum; 2. Independen dan imparsial;

3. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan murah; 4. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et Alteram Partem); 5. Hakim aktif dan juga pasif dalam proses persidangan; dan

6. Ius Curia Novit.

Pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi diatur didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Undang-undang ini terdiri dari 88 Pasal, yang terbagi menjadi 7 bab, yang diantaranya mengatur tentang Ketentuan Umum; Kedudukan dan Susunan; Kekuasaan Mahkamah Konstitusi; Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi; Hukum Acara; Ketentuan Lain; dan Ketentuan Peralihan.

Berselang 8 Tahun Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengalami perubahan. Tepatnya pada tahun 2011 diberlakukan undang-undang untuk menggantikan undang-undang Mahkamah Konstitusi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

28

Ibid.


(21)

Dalam hal Hukum Acara, sumber utama untuk mencari hukum acara adalah Undang-Undang Hukum Acara yang secara khusus dibuat untuk itu. Namun, peraturan yang mengatur mengenai hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang karena keterbatasan waktu yang tersedia untuk menyusun Undang-Undang Mahkamah Konstitusi telah menyebabkan aturan mengenai hukum acara tidak lengkap. Hal ini diakui pembuat undang-undang dan karenanya memberi kewenangan pada Mahkamah Konstitusi untuk mengatur lebih lanjut hal yang dipandang perlu bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya dengan menyusun sendiri peraturannya melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).30

Sejak awal berdiri sampai saat ini, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan sebanyak 17 PMK. Ke-17 PMK ini, tidak hanya yang bersifat mengatur ke dalam lembaga Mahkamah Konstitusi tetapi juga mengatur mengenai Pedoman Beracara yang berlaku juga untuk masyarakat umum yang akan beracara di Mahkamah Konstitusi.

Menurut Maria Farida,31 Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum; namun demikian Mahkamah Konstitusi tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling).

2.3 Hierarki Peraturan Perundang-Undangan 2.3.1 Teori-Teori Mengenai Hierarki Hukum

30

Maruarar Siahaan,loc.cit., hlm. vii.

31

Maria Farida, Imu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, (Jakarta: Kanisius, 1997), hlm. 105.


(22)

Indonesia merupakan negara yang menerapkan Hirearki Norma Hukum (Stufenbau Theory) yang dicetuskan oleh Hans Kelsen dan dikembangkan oleh Hans Nawiasky.32 Hans Kelsen mengembangkan sebuah Teori Hukum Murni (General Theory of Law and State). Aliran Teori Hukum Murni merupakan suatu pengembangan dari teori mazhab positivisme, yang menitikberatkan pada inti ajarannya mengenai hukum dapat dibuat dari undang-undang. Menurut W. Friedman,33inti ajaran Teori Hukum Murni adalah:

1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan;

2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengai hukum yang seharusnya;

3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam;

4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum;

5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus;

6. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang kas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.

Selain ajaran Hukum Murni, Hans Kelsen mengemukakan teori Hirearki Norma Hukum (Stufenbau Theory-Stufenbau des Recht). Hans Kelsen dalam teori hirarki norma (stufenbau theory) berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang dalam suatu tata susunan hirarki. Suatu norma yang lebih rendah berlaku dan bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi itu berlaku dan bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi.

32

Zainuddin Ali,Filsafat Hukum,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 57-58.

33Ibid


(23)

Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri, yang bersifat hipotetis dan fiktif yaitu yang dikenal dengan istilahgrundnorm(norma dasar).34

Hans Nawiansky menyempurnakan Stufenbau Theory yang dikembangkan oleh gurunya, Hans Kelsen. Hans Nawinsky mengembangkan teori tersebut dan membuat Tata Susunan Norma Hukum Negara (die Stufenordnung der Rechtsnormen) dalam empat tingkatan. Keempat tingkat tersebut, yaitu:35

1. Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) atau Grundnorm (menurut teori Kelsen);

2. Staatsgrundgezets(Aturan Dasar/Pokok Negara); 3. Formell Gezets(Undang-Undang Formal); dan

4. Verordnung & Autonome Satzung(Aturan Pelaksana dan Aturan Otonomi).

Menurut teori Kelsen-Nawiansky, grundnorm atau staatsfundamentalnorm adalah sesuatu yang abstrak, diasumsikan (presupposed), tidak tertulis, ia tidak ditetapkan (gesetz), tetapi diasumsikan, tidak termasuk tatanan hukum positif, berada di luar namun menjadi dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif, dan bersifat meta-juristic.36

2.3.2 Hierarki Peraturan Menurut Undang-Undang

Bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam UUD 1945 adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah. Dalam Penjelasan juga disebutkan bahwa UUD adalah bentuk konstitusi yang tertulis. Disebut sebagai

34

Taufiqurohman Syahuri,Konstitusionalitas Regulasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,(Jakarta, 12-13-2010, diunduh dalam :http://www.djpp.depkumham.go.idpada 10 Oktober 2012).

35

Maria Farida,Imu Perundang...,Loc.Cit. hlm. 39.

36Ibid


(24)

konstitusi tertulis, karena selain itu masih ada pengertian konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat.37

Dalam Konstitusi RIS yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949, pengertian konstitusi diidentikan dengan pengertian UUD. Bentuk-bentuk peraturan yang tegas disebut di dalamnya, yaitu38:

1. Undang-Undang Federal; 2. Undang-Undang Darurat; dan 3. Peraturan Pemerintah.

Adapun dalam UUDS39 (Undang-Undang Dasar Sementara) yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950, penyebutannya berubah lagi menjadi:

1. Undang-Undang;

2. Undang-Undang Darurat; dan 3. Peraturan pemerintah.

Dengan kata lain dalam ketiga konstitusi ini, kita mengenal adanya Undang-Undang Dasar, Undang atau Undang Federal, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau Undang-Undang-Undang-Undang Darurat40, dan Peraturan Pemerintah.41

Setelah periode kembali ke UUD 1945, berdasarkan Surat Presiden No. 2262/HK/1959 tertanggal 20 Agustus 1959 yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong,

37

Jimly Asshiddiqie,Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 249.

38

Ibid.

39Ibid. 40

Menurut Pendapat Jimly, meskipun berbeda sebutan tetapi pengertian Undang-Undang Darurat dalam Konstitusi RIS 1949 dan Undang-UndangDS 1950 dapat diidentikan dengan pengertian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undnag menurut Undang-Undang Dasar 1945.


(25)

dinyatakan bahwa di samping bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan di atas, dipandang perlu dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan yang lain, yaitu sebagai berikut:42

1. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali Kepada UUD 1945,

2. Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk melaksanakan penetapan Presiden, ataupun peraturan yang dikeluarkan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, 3. Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan Presiden, sehingga berbeda

pengertiannya dengan Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945,

4. Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan,

5. Peraturan Menteri dan Keputusan menteri yang dibuat oleh kementerian-kementerian negara atau Departemen-Departemen pemerintahan, masing-masing mengatur sesuatu hal dan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan.

Dalam susunan diatas jelas terdapat kekacauan antara satu bentuk dengan bentuk peraturan yang lain. Sering banyak materi yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang justru diatur dengan Penetapan Presiden ataupun Peraturan Presiden. Untuk itulah perlu dilakukan penataan kembali bentuk peraturan perundang-undangan juga dengan maksud mengadakan pemurnian terhadap pelaksanaan UUD 1945, sehingga dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945.43

42

Ibid.

43Ibid,


(26)

Sebagai kelanjutan dari Ketetapan MPRS tersebut, ditetapkanlah sumber tertib hukum dan tata urut Peraturan Perundangan Republik Indonesia dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966,44 dengan ketentuan bentuk peraturan dengan tata urut sebagai berikut:45

1. Undang-Undang Dasar; 2. Ketetapan MPR;

3. Undang-Undang/Perpu; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden;

6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.

Kemudian pada tahun 2000, setelah terjadi gejolak reformasi yang begitu kuat dan diamandemennya UUD 1945, maka untuk menata kembali struktur dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 disusun suatu struktur baru peraturan perundang-undangan dengan urutan sebagai berikut:46

1. Undang-Undang Dasar dan Perubahan UUD; 2. Ketetapan MPR/S;

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); 4. Peraturan Pemerintah (PP);

5. Keputusan presiden (Keppres); dan 6. Peraturan Daerah.

44

Judul lengkap Ketetapan MPRS ini adalah Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai Sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urut Perundangan Republik Indonesia.

45

Jimly Asshiddiqie,op.cit., hlm. 251.


(27)

Tidak berselang lama, dikeluarkan lagi tata urut peraturan perundangan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang didalamnya berisi hierarki peraturan perundang-undangan, dengan urutannya sebagai berikut:47

1. Undang-Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945); 2. Undang-undang/Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; dan 5. Peraturan Daerah:

a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubenur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama.

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 sebenarnya telah menjadi upaya penyempuranaan dalam rangka penataan kembali sumber tertib hukum dan bentuk-bentuk serta tata urut peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.48 Namun berselang 7 tahun, pada tahun 2011 dikeluarkan lagi tata urut peraturan perundang-undangan yang baru dengan dimasukkannya lagi Ketetapan MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

47

Ibid.hlm. 252.

48Ibid


(28)

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selain itu Undang-Undang ini juga mengakui jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan diatas, mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

2.4 Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan

2.4.1 Teori-Teori Tentang Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan

Materi muatan sendiri adalah isi dari setiap jenis peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Materi muatan ini penting untuk diperhatikan agar tidak menjadi tumpang tindih pengaturan maupun penyalahgunaan wewenang. Materi muatan undang-undang misalnya, jelas tidak boleh diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden karena


(29)

undang-undang mempunyai karakteristik tersendiri sebagai suatu peraturan perundang-undang-undang-undangan tertinggi dibawah konstitusi yang dibuat bersama oleh eksekutif dan legislatif.49

Pada Mulanya istilah “materi muatan” pertama kali dipergunakan oleh A. Hamid S. Attamimi, yang diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1979 sebagaimana dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun 1979. Menurut A. Hamid S. Attamimi istilah “materi muatan” sebagai pengganti atau alih bahasa dari istilah (kata) Belanda “het onderwerp”dalam ungkapanThorbecke“het eigenaardig onderwerp der wet,”yang diterjemahkan dengan “materi muatan yang khas dari undang-undang”. Adapun yang dimaksud dengan “materi muatan” menurut A Hamid S Attamimi adalah:50 “isi kandungan atau subtansi yang dimuat dalam

undang-undang khususnya dan peraturan perundang-undangan pada umumnya”.

Sementara itu, “materi muatan” menurut Bagir Manan51 adalah “muatan yang sesuai dengan

bentuk peraturan perundang-undangan tertentu”. Menurut Bagir Manan materi muatan undang-undang ditentukan berdasarkan tolok ukur sebagai berikut:52

1. Ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar; 2. Ditetapkan dalam undang-undang terdahulu;

3. Ditetapkan dalam rangka mencabut, menambah, atau mengganti undang-undang yang lama; 4. Materi muatan menyangkut hak dasar atau hak asasi; dan

5. Materi muatan menyangkut kepentingan atau kewajiban rakyat banyak.

49

Ismail Hasani & A. Gani Abdullah,Pengantar Ilmu Perundang-Undangan(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hlm.35.

50

Rosjidi Ranggawidjaja,Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,(Bandung:Mandar Maju,1998), hlm. 53

51

Bagir Manan dan Kuntana Magnar,Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,(Bandung: PT. Alumni, 1997), hlm. 145.

52


(30)

Menurut pendapat A. Hamid S. Attamimi, terdapat 9 (sembilan) butir materi muatan undang-undang,53yaitu hal-hal:

1. yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Ketetapan MPR; 2. yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD;

3. yang mengatur hak-hak (asasi) manusia;

4. yang mengatur hak dan kewajiban warga negara; 5. yang mengatur pembagian kekuasaan negara;

6. yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara; 7. yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara;

8. yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan; 9. yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang.

Rincian butir-butir materi muatan tersebut di atas merupakan suatu pedoman untuk menguji apakah suatu materi muatan peraturan perundang-undangan termasuk ke dalam materi muatan undang-undang atau tidak.54

Sedangkan mengenai peraturan perundang-undangan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),55 kata perundang-undangan diartikan sebagai “yang bertalian dengan undang-undang atau seluk beluk undang-undang.” Adapun kata “undang-undang” diartikan “ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb) disahkan oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat, badan legislatif, dsb)

53

Maria Farida,Ilmu Perundang..,.Loc. Cithlm. 129-130.

54

Ibid.

55

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring), (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2008) diakses melalui:http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.phppada 11 Juli 2012 pukul 20.20.


(31)

ditandatangani oleh Kepala Negara (Presiden, Kepala Pemerintahan, Raja) dan mempunyai kekuatan yang mengikat.”

Sebagai istilah hukum, peraturan perundang-undangan sering disebutkan sebagai terjemahan

wettelijke regelingen. Adapula yang menyebutkan bahwa istilah ini merupakan terjemahan dari

algemene verordeningen. Menurut A. Hamid S Atamimi, apabila peraturan perundang-undangan diambil dari terjemahan wettelijke regelingen maka peraturan perundang-undangan mempunyai cakupan yang sempit karena di dalamnya tidak termasuk wetten (undang- undang), AMvB [tindakan umum pemerintah yang ditetapkan denganKoninjljk Besluit (KB)], dan AMvB diterjemahkan dengan “peraturan pemerintah” yang dibuat di Belanda dan Ordonansi yang dibuat di Hindia Belanda. Apabila “peraturan perundang-undangan” merupakan terjemahan dari

algemene verordeningen, ia mempunyai cakupan lebih luas karena termasuk didalamnya undang-undang (wet), peraturan pemerintah (AMvB), dan Ordonansi.56

Peraturan perundang-undangan mulai dikenal dan tumbuh sejak saat berkembangnya organisasi yang memiliki kekuasaan dan wewenang tertinggi untuk menguasai dan mengatur kehidupan masyarakat, yaitu negara. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa peraturan perundang-undangan tidak lain dari perwujudan kekuasaan dan kehendak yang berkuasa dalam bentuk hukum. Bagir Manan dan Kuntana Magnar,57 menyatakan bahwa: “Peraturan perundang-undangan di sini diartikan setiap keputusan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan mengikat umum (mencakup undang-undang dalam arti formal maupun material).”

56

Maria Farida, Imu Perundang.., loc.cit.

57


(32)

Peraturan perundang-undangan adalah perwujudan kehendak dari pemegang kekuasaan tertinggi yang berdaulat, maka peraturan perundang-undangan merupakan hukum tertinggi dan adalah satu-satunya sumber hukum.58

Di lain pihak Maria Farida,59 mendefinisikan peraturan perundang-undangan ke dalam 2 (dua) pengertian, yaitu “Pertama,sebagai proses pembentukan (proses membentuk) peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah, dan Kedua,sebagai segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah.”

Sementara itu, Bagir Manan60mempersamakan definisi peraturan perundang-undangan dengan pengertian Undang-Undang dalam arti meteriil, yaitu setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.

Menurut Jimly Asshiddiqie,61 di dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang disebut dengan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Sedangkan yang dimaksud dengan jenis adalah macam (peraturan perundang- undangan).

58

Ibid.

59

Maria Farida,op.cit.

60

Bagir Manan,Dasar-Dasar ...,hlm. 3.

Bagir Manan menyamakan istilah peraturan perundang-undangan dengan istilah undang-undang dalam arti materiil.


(33)

Pengertian Hierarki itu sendiri adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi62.

Pengertian peraturan perundang-undangan di atas sesuai dengan definisi atau ruang lingkup yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, yang menyatakan bahwa, “Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan

mengikat secara umum.”

Adapun ciri-ciri dari suatu peraturan perundang-undangan menurut Satjipto Rahardjo,63adalah: 1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari

sifat-sifat khusus dan terbatas;

2. Bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.

3. Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Dalam setiap peraturan, lazimnya mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.

2.4.2 Materi Muatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

62

Ibid.

63


(34)

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan undangan, yang dimaksud dengan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

Selanjutnya Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undarg diatur di dalam Pasal 8. Materi muatan yang diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:

a. mengatar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

1. hak-hak asasi manusia;

2. hak dan kewajiban warga negara;

3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; 4. wilayah negara dan pembagian daerah;

5. kewarganegaraan dan kependudukan; dan 6. keuangan negara,

b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untak diatur dengan Undang-Undang.

Sedangkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan diatur didalam Pasal 7 yang menyebutkan, bahwa :

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah;


(35)

d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan;

(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Mengenai jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang dimaksud di dalam pasal 7 ayat (4) diatas, dijelaskan secara lebih rinci di dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut. Penjelasan Pasal 7 ayat (4) berbunyi:

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,


(36)

Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Pengakuan keberadaan peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu PMK memang diakui. Namun, penjelasannya selanjutnya dalam Penjelasan ayat (5) sendiri, hanya menyebutkan bahwa dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

2.4.3 Materi Muatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 angka 13, Materi Muatan Peraturan Perundang-Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

Kemudian di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;


(37)

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut terdapat pada Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan : “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) mengatur mengenai Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang harus berisi:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Penjelasan lebih rinci mengenai materi peraturan perundang-undangan disampaikan melalui Pasal 11 sampai Pasal 14 Undang-Undang yang sama. Dijelaskan di dalam Pasal 11 bahwa Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.

Selanjutnya berturut-turut dikatakan bahwa, Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Mengenai materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan


(38)

pemerintahan. Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Di luar peraturan yang diatur dalam Pasal 7 yang telah dijelaskan di atas, pada Pasal 8 ayat (1) di tentukan jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Dengan kata lain peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tersebut diakui keberadaannya, termasuk dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi berupa PMK.


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif (normative legal reserch) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian perundang-undangan yang berlaku dan diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.1

3.2 Pendekatan Masalah

Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doctrinal yaitu objek penelitiannya adalah dokumen perundang-undangan dan bahan pustaka.2 Hal yang paling mendasar dalam penelitian ilmu hukum normatif, adalah bagaimana seorang peneliti menyusun dan merumuskan masalah penelitiannya secara tepat dan tajam, serta bagaimana seorang peneliti memilih metode untuk menentukan langkah-langkahnya dan bagaimana melakukan perumusan dalam membangun teorinya.3

Pendekatan masalah menggunakan pendekatan dogmatik analitis dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :

a. Mengidentifikasi sumber hukum yang menjadi dasar rumusan masalah;

b. Mengidentifikasi pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang bersumber dari rumusan masalah;

1

Soejono dan H. Abdurrahman,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 56.

2

Ibid., hlm. 57.

3


(40)

c. Mengidentifikasi dan menginventarisasi sumber data, ketentuan-ketentuan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berdasarkan rincian sub pokok bahasan;

d. mengkaji secara komprehensif analitis sumber data primer, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan;

e. hasil kajian sebagai jawaban permasalahan dideskripsikan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis dalam bentuk laporan hasil penelitian atau karya tulis ilmiah.

3.3 Sumber Data

Data merupakan hal yang paling penting dalam suatu penelitian, karena dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.4Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder yang berasal dari sumber kepustakaan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat,5adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958); jo Undang-Undang Nomor 8

4

Ibid.

5


(41)

tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226);

c. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 Jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

e. Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

f. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia;

g. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan;

h. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PMK/2003 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi;


(42)

i. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi;

j. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PMK/2003 tentang Tata Tertib Persidangan Pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia;

k. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum;

l. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PMK/2004 tentang Prosedur Pengajuan Keberatan Atas Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004;

m. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang;

n. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07/PMK/2005 Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi;

o. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 Tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara;

p. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PMK/2006 Tentang Pedoman Administrasi Yustisial Mahkamah Konstitusi;

q. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Pembubaran Partai Politik;

r. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilaran Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;


(43)

s. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PMK/2008 Tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah;

t. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PMK/2009 Tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilaran Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

u. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PMK/2009 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;

v. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PMK/2009 Tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference);

w. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PMK/2009 tentang Tata Tertib Persidangan;

x. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,6 antara lain buku-buku literatur ilmu hukum, karya ilmiah dari kalangan hukum, jurnal hukum, makalah dan artikel, serta bahan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, diantaranya yaitu :

6Ibid


(44)

a. Jenedri Muhammad Gaffar, Makalah Kedudukan, Peran, dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2009.

b. Maria Farida, Disertasi : Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan presiden Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara di Republik Indonesia, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2002.

c. Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada pembukaan seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN), yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di jakarta, 21 November 2005.

d. Saldi Isra,Pergeseran Fungsi Legislasi.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,7misalnya:

a. Kamus Hukum Belanda-Indonesia; b. Kamus Besar Bahasa Indonesia;

c. Kamus Kantong Indonesia-Belanda-Indonesia.

3.4 Teknik Pengumpulan Data & Metode Pengolahan Data dan Bahan Hukum 3.4.1 Teknik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum


(45)

Dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk membantu dalam proses penelitian, maka peneliti menggunakan prosedur pengumpulan data, yaitu menggunakan Studi Kepustakaan. Studi Kepustakaan adalah suatu prosedur data dengan cara membaca, memahami, dan mengutip sumber data berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan tersier yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas.

3.4.2 Metode Pengolahan Data dan Bahan Hukum

Data dan bahan hukum yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :

1) Mengidentifikasi data, yaitu dilakukan setelah semua data dikumpulkan kemudian diidentifikasi dengan cara memberikan tanda terhadap data penelitian penelitian.

2) Klasifikasi data, yaitu menempatkan data menurut kelompok-kelompok yang ditentukan sehingga diperoleh data yang objektif dan sistematis sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

3) Editing, yaitu memeriksa dan memperbaiki data yang dianggap salah.

3.5 Analisis Data

Setelah data-data tersebut tersusun secara sistematis sesuai dengan pokok-pokok pembahasan bidang penelitian, maka data-data tersebut dianalisis secara kualitatif deskriptif yaitu menginterpretasikan data-data dalam bentuk uraian kalimat sehingga diharapkan dari data-data tersebut di dapat penjelasan mengenai Kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi di dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan serta pemetaan materi muatan PMK yang sesuai dengan ilmu perundang-undangan.


(46)

(47)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti paparkan di dalam Pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Berdasarkan analisis kelembagaan negara, Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) memiliki kedudukan di bawah Undang-Undang dan sejajar dengan Peraturan Presiden dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Namun, PMK memiliki daya keberlakuan khusus, yaitu berlaku ke dalam lembaganya dan tidak dapat berlaku secara umum. 2. Berdasarkan pemetaan materi muatannya, terdapat ketidakharmonisan

antara materi muatan yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangan dengan jenis peraturan perundang-perundang-undangan, khususnya di dalam materi muatan PMK. Berdasarkan materi muatannya, PMK dapat dibedakan menjadi PMK yang bermuatan peraturan lembaga tinggi negara dan PMK yang bermuatan materi Undang-Undang.


(48)

2

1. Kedudukan peraturan lain di dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang telah diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 seharusnya dicantumkan di dalam undang-undang. Hal ini agar tidak menimbulkan kerancuan dalam menetapkan hierarki kedudukan peraturan lain tersebut, khususnya dalam hal ini kedudukan PMK.

2. Dengan telah dipetakannya PMK berdasarkan materi muatannya, PMK yang memiliki materi muatan undang-undang harus diformulasikan menjadi undang-undang yaitu Undang-Undang tentang Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.


(49)

REKONSTRUKSI PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI

(Telaah Ketatanegaraan Terhadap Kedudukan

dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi)

Oleh

REISA MALIDA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(50)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

JUDUL ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

MOTO ... vi

PERSEMBAHAN ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1 1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1.2.1 Rumusan Masalah ... 9 1.2.2 Ruang Lingkup ... 9 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 9 1.3.2 Kegunaan Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelembagaan Negara

2.1.1 Teori Tentang Lembaga Negara ... 11 2.1.2 Lembaga-Lembaga Negara... 16 2.2 Mahkamah Konstitusi ... 17 2.3 Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

2.3.1 Teori-Teori Mengenai Hierarki Hukum ... 23 2.3.2 Hierarki Peraturan Menurut undang-Undang ... 25 2.4 Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan

2.4.1 Teori-Teori Tentang Materi Muatan


(51)

xv

2.4.2 Materi Muatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan ... 36 2.4.3 Materi Muatan Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan ... 38

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ... 42 3.2 Pendekatan Masalah ... 42 3.3 Sumber Data ... 43 3.4 Teknik Pengumpulan Data &

Metode Pengolahan Data dan Bahan Hukum

3.4.1 Teknik Pengumpulan data dan Bahan Hukum ... 48 3.4.2 Metode Pengolahan Data dan Bahan Hukum ... 49 3.5 Analisis Data ... 49

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK)

dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan ... 50 4.1.1 Kedudukan PMK Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ... 51 4.1.2 Kedudukan PMK Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ... 52 4.1.3 Analisis Kedudukan PMK dalam

Hierarki Peraturan Perundang- Undangan ... 54 4.2 Pemetaan PMK berdasarkan Ilmu Perundang-Undangan ... 62

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 70 5.2 Saran ... 71


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

Armen Yasir, 2007.Hukum Perundang-Undangan.Bandar Lampung: Pusat Studi Universitas Lampung.

Bagir Manan. 1992.Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Ind Hill Co.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar. 1997.Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia.Bandung: PT. Alumni.

Bahder Johan Nasution. 2008. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Mandar Maju.

Charles Simabura. 2011. Parlemen Indonesia Lintas Sejarah dan Sistemnya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Ismail Hasani & A. Gani Abdullah. 2006.Pengantar Ilmu Perundang-Undangan.

Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Iwan Satriawan. 2003. Thesis of Master Degree: Impeachment in Indonesia and the United States: A Comparative Study. Malaysia: International Islamic University.

Jimly Asshiddiqie. 2005. Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional. Makalah disampaikan pada pembukaan seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN), yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Jakarta.

_______________. 2009.Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.


(53)

73

_______________. 2010. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sinar Grafika.

_______________. 2010. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

_______________. 2010. Perihal Undang-Undang. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

_______________. 2010. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika.

Maria Farida Indrati Soeprapto. 1997. Imu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Jakarta: Kanisius.

________________. 2002. Disertasi : Kedudukan dan Materi Muatan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, peraturan Pemerintah, Dan Keputusan Presiden Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Di Republik Indonesia. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Maruarar Siahaan. 2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Edisi 2. Jakarta: Sinar Grafika.

Rosjidi Ranggawidjaja. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia.

Bandung: Mandar Maju.

Refly Harun, dkk (Editor). 2004. Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press. Saldi Isra. 2010.Pergeseran Fungsi Legislasi.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Satjipto Rahardjo. 1996.Ilmu Hukum.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Soejono dan H. Abdurrahman. 2003. Metode Penelitian Hukum.Jakarta: Rineka Cipta.

Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia,UI-Press.

Yuliandri. 2011. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


(1)

vi

melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Dusun Sidoharjo, Desa Pesawaran Indah, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Selama menempuh masa studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan baik sebagai pengurus maupun kepanitiaan pada Lembaga Intern Kampus, diantaranya:

1. Wakil Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Lampung Periode 2011-2012.

2. Sekertaris Umum Barisan Intelektual Muda-Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Lampung Periode 2009-2010.

3. Panitia Sosialisasi Kompilasi Hukum Acara Pidana Online Kerjasama Fakultas Hukum Unila-BPHN Kemenhumkam R.I. pada tahun 2012

Selain itu peneliti juga aktif mengikuti kegiatan Lomba pada tingkat regional maupun nasional, di antaranya:

1. Juara 2 Group Lomba Debat Nasional Konstitusi Regional 1 di Universitas Andalas Sumatra Barat pada tahun 2011;

2. Juara 2 Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, Piala Bergilir Gubernur Lampung pada tahun 2011.


(2)

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, Sang Pemilik Ilmu dan Pengetahuan, atas limpahan rahmat dan kuasa-Nya serta nikmat pengetahuan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan petunjuk dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini peneliti menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Yulia Netta, S.H.,M.H., selaku Penguji dan pembahas utama dalam penulisan skripsi ini atas kesediannya meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam memberikan bantuan, saran, dan kritik serta motifasi yang membangun kepada peneliti guna menyempurnakan skripsi ini. 3. Bapak Yusdianto, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang telah meluangkan

waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan saran dan kritik kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Rudy, S.H., LL.M., LL.D., selaku Pembimbing I dan juga sebagai Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung


(3)

x

yang dalam penulisan skripsi ini selalu memberikan ilmu-ilmu baru, masukan, dan saran kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Zulkarnain Ridlwan, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang selalu

memberikan peneliti ilmu, masukan, serta saran, juga motifasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Siti Nurhasanah, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Akademik peneliti. 7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Bagian

Hukum Tata Negara, Ibu Siti Aisyah, Ibu Martha Riananda, Ibu Erna Sari, Bapak Armen Yasir, Bapak Muhtadi, Bapak Budiono, Bapak Achmad Saleh, dan Bapak Iwan Satriawan atas ilmu, bimbingan dan masukkannya kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan peneliti begitu banyak ilmu dan pengetahuan, serta telah mendidik peneliti untuk menjadi seorang Sarjana Hukum yang berkualitas. 9. Seluruh karyawan Gedung B Fakultas Hukum Universitas Lampung, Prof. Marji, Pakde Jarwo, dan Mas Pendi yang telah memberikan bantuan dan semangat kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Unila, Ibu Arniyah, Mbak Yani, Mbak Lusi, Mbak Dian, Kyai Apri, Kyai Basri, Kyai Zamroni, dan Babe.

11. Datuk Syahboedin (alm) dan Nenek Seftinah (alm) serta keluarga besar, om, tante, sepupu, serta keponakan yang peneliti ingin sekali membuat mereka bangga.

12. Opa Djoemris (alm) dan Oma Damsiamas (alm) serta keluarga besar, Pak Kho, Om Gun dan Bunda, Pak Ratu dan Ibu Ratu, Mama Iyus, Tante Ita,


(4)

Tante Santi, sepupu-sepupu juga keponakan-keponakan yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, atas perhatian serta dukungan dan motifasi kepada peneliti untuk menjadi seseorang yang sukses dan dapat membanggakan keluarga.

13. Gita Wulandari Amd.AK., sahabat, pendengar, juga tempat berbagi bagi peneliti dalam suka dan duka sejak peneliti bersekolah, yang tak pernah bosan selalu memberikan nasehat dan motifasi kepada penulis agar penulis menjadi seseorang yang lebih baik dari hari ke hari.

14. Sahabat-sahabat tercinta, Venny Yulia Putri, S.H., Banie Mahardika S.H., Tri Kartika Sari, S.H, dan Muhammad Hatta, S.H., untuk setiap cerita, tawa, dan tangis yang tak pernah peneliti lalui tanpa mereka, semoga kebersamaan dan cerita ini tidak pernah berakhir, dan impian juga mimpi yang kita teriakkan segera terwujud.

15. Sahabat-sahabat semasa SMA, Ajeng Diah, Dina Ramadhani, Serly Widyasti, Grestyasanti, Reihanna, Maya Beliya, Herdiarti, yang telah begitu banyak memberikan nasehat dan pembelajaran tentang kehidupan kepada peneliti.

16. Sahabat tempat peneliti mencurahkan keluh kesah, Erich, Adam, dan Rahmad, terimakasih telah meluangkan begitu banyak waktu sebagai tempat berbagi cerita peneliti.

17. Rekan-rrekan BEM dan BIM Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bang Yanu, Bang Ndo, Mb Upil, Bang Yogi, Azam, Suntan, Ande, Tian, Aristo, Bagus, Jaya, Yepri, Jimy, Tiara, Nuyu, Haikal, Haves, Rae, Ayu, Hani, Paul, Diana, dan yang lainnya yang tidak dapat peneliti tuliskan satu


(5)

xii

persatu, terimakasih untuk semua cerita, pengalaman, dan kerjasama selama peneliti berproses bersama kalian.

18. Rekan-rekan HIMA HTN Universitas Lampung, Malicia, Dinarti, Sofyan, Mushab, Anand, Nico, Riki, Amin, dan Yudho, yang tidak hanya menjadi rekan di kelas tetapi juga rekan berdiskusi dan berbagi pendapat, terimakasih untuk kebersamaan, pengetahuan serta saran, dan bantuan kepada peneliti selama ini.

19. Teman-teman seperjuangan Reski, Wanda, Ridho, Koko, Ita, Tia, Dekbob, dkk serta yang karena keterbatasan, peneliti tidak dapat tuliskan semua, atas dukungan dan cerita selama ini.

20. Keluarga besar Dusun Sidoharjo dan Dusun Wonorejo, Desa Pesawaran Indah, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, yang telah menerima peneliti layaknya keluarga sendiri selama masa KKN Januari-Februari 2012.

21. Individu-individu yang telah mengajarkan peneliti cara mengahadapi masalah, bangkit setelah terjatuh, tersenyum setelah menangis, dan tidak akan ada kesuksesan tanpa perjuangan dan doa.

22. Almamater, Fakultas Hukum Universitas Lampung, atas segala ilmu, pengalaman, dan semua kenangan yang telah membentuk kepribadian peneliti untuk menjemput kesuksesan.

Terkhusus kepada yang tercinta, Mama dan Papa tersayang, yang telah memberikan begitu banyak hal kepada peneliti, doa yang tak pernah putus, motifasi, nasehat, dan kasih sayang, serta alasan terbesar bagi peneliti untuk terus berjuang menuju kesuksesan. Ku persembahkan karya kecil ini sebagai tanda


(6)

bakti, sembah hormat, dan terimakasih tiada terkira. Serta kepada Kakak dan Adikku yang telah mendukungan dan memotifasi, serta menghaturkan ribuan doa kepada peneliti untuk menggapai cita-cita.

Maha Pengasih Allah, yang hanya kepada-Nya hamba memohon dan meminta, semoga semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada peneliti berkenan Engkau balas dengan balasan yang lebih besar dan Engkau berikan rahmat dalam segala yang mereka kerjakan.

Tiada gading yang tak retak, tak ada suatu yang sempurna di dunia, begitu pula dengan skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi besar keinginan peneliti semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan dapat memberikan pengetahuan dalam ranah Ilmu Hukum. Amiin.

Bandar Lampung, Maret 2013 Peneliti,