Kendala Kebijakan Perlindungan Hutan Indonesia

sangat rendah, sehingga memudahkan individu atau perusahaan untuk „memiliki’ ribuan hektar hutan dengan pajak murah. 4. Tabrakan administrasi. Sekitar 70 dari lahan di Indonesia adalah hutan, dan dikuasai oleh negara. Dengan desentralisasi, hak pengelolaan hutan pun dikembalikan ke pemerintah lokal. Sayangnya, situasi ini malah memunculkan tubrukan antara ijin penggunaan lahan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tumpang tindih ijin pengelolaan hutan pun bisa menambah beban pada upaya pelestarian. 5. Keputusan-keputusan politik. Proses pengambilan keputusan menjadi kelemahan terbesar. Salah satu yang menjadi sorotan adalah tidak transparannya proses pemberian ijin pengelolaan untuk industri-industri yang bersifat mengeruk kekayaan alam. Selain itu, proses pengambilan keputusan juga jarang melibatkan partisipasi masyarakat lokal.

4.4 Tingkat Keberhasilan dan Prospek Kerjasama Indonesia – Norwegia

Melalui Kerangka Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation REDD+ Dalam Upaya Penyelamatan Hutan Indonesia Politik luar negeri suatu negara merupakan upaya pemenuhan kebutuhan dalam negerinya dari luar yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi di dalam negeri maupun internasional yang mempengaruhi sikap, cara pandang serta posisi di dalam pergaulan antar bangsa. Salah satu bentuk pelaksanaan politik luar negeri Indonesia terkait dengan isu lingkungan adalah kebijakan Pemerintah Indonesia dalam mengadakan kerjasama dengan negara lain baik dalam lingkup kerjasama regional maupun kerjasama bilateral, seperti kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Norwegia dalam upaya penyelamatan hutan Indonesia dalam kerangka REDD+. Berdasarkan hasil penelitian dari bab pembahasan kegiatan penelitian REDD+ dalam upaya penyelamatan hutan Indonesia, dari tiga fase yang disepakati dalam LoI, sampai dengan akhir tahun 2012, Indonesia telah memasuki fase kedua. Kerjasama Indonesia dan Norwegia melalui skema REDD+ ini meskipun lambat dan terkendala oleh beberapa hal seperti kendala masyarakat adat, kendala perlindungan hutan sampai kendala yang berasal dari dalam kelembagaan REDD itu sendiri, namun skema ini cenderung berkontribusi positif bagi upaya penyelamatan hutan Indonesia. Melalui fase pertama dengan kucuran dana yang telah diterima dari pemerintah Norwegia sebesar 30 juta USD dikelola dengan baik oleh Satgas REDD+ berdampingan dengan United Nations Development Programme UNDP. Melalui moratorium, ditetapkan garis dasar awal untuk hutan dan tutupan lahan gambut serta hak kepemilikan, dan proses untuk memperbaiki garis dasar semasa periode moratorium, mengidentifikasi kebijakan implementasi untuk menjawab bagaimana tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai. Penerapan dasar hukum untuk moratorium guna mengikat komitmen hukum di propinsi-propinsi, termasuk arahan untuk mekanisme penerapannya. Hasil dari moratorium ini pada akhir 2012 hutan dan lahan gambut telah menyumbang sekitar 16,57 untuk penyerapan Gas Rumah Kaca. Hal ini menunjukkan tren positif yang dicapai oleh program-program yang dilakukan dalam implementasi LoI Indonesia – Norwegia melalui skema REDD. Jika melihat dari pencapaian yang telah dilakukan, peneliti optimis bahwa masa depan dari kerjasama yang dilakukan oleh kedua negara akan terjalin dengan lebih baik. Meskipun pada fase pertama, banyak dari poin-poin yang terlambat diselesaikan dari waktu yang telah ditenukan sebelumnya, namun baik Indonesia maupun Norwegia sama-sama menyatakan kepuasannya terhadap hasil dari pelaksanaan kerjasama dalam upaya penyelamatan hutan Indonesia ini.