Potensi Nanopropolis Trigona spp Asal Bukittinggi sebagai Pemacu Pertumbuhan pada Tikus Putih (Sprague-Dawley)

0

POTENSI NANOPROPOLIS Trigona spp ASAL BUKITTINGGI
SEBAGAI PEMACU PERTUMBUHAN PADA
TIKUS PUTIH (Sprague-Dawley)

VITA ROSALINE FAHRI

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

1

ABSTRAK
VITA ROSALINE FAHRI. Potensi Nanopropolis Trigona spp Asal Bukittinggi
sebagai Pemacu Pertumbuhan pada Tikus Putih (Sprague-Dawley). Dibimbing
oleh AE ZAINAL HASAN dan I MADE ARTIKA.
Bahan-bahan yang umumnya dapat digunakan sebagai pemacu

pertumbuhan pada hewan ternak antara lain antibiotik, hormon, probiotik,
prebiotik, dan imunomodulator. Penggunaan antibiotik sebagai pemacu
pertumbuhan, dapat menimbulkan residu antibiotik dan resistensi mikrob. Solusi
alternatif adalah pemakaian antibakteri alami seperti propolis. Penelitian ini
bertujuan menentukan potensi nanopropolis Trigona spp asal Bukittinggi sebagai
Growth Promoter secara in vivo pada tikus jantan Sprague-Dawley. Propolis
nanopartikel dibuat dengan teknik homogenisasi kecepatan tinggi disertai
penyalutan menggunakan maltodektrin dengan teknik penguapan pelarut. Ukuran
nanopropolis dianalisis dengan SEM. Pengamatan in vivo dilakukan dengan
mengamati bobot badan tikus dan menghitung jumlah Escherichia coli feses dan
usus menggunakan metode cawan sebar. Hasil SEM menunjukkan adanya ukuran
nanopropolis sebesar 100 nm. Potensi Growth Promoter tertinggi dilihat dari
persentase pertumbuhan badan tikus. Persentase tertinggi dicapai oleh
nanopropolis 2% dibandingkan kontrol positif dengan efektivitas nanopropolis 2%
sebesar 109% terhadap kontrol positif. Persentase pertumbuhan perlakuan
nanopropolis 2% 100 mg/KgBB, kontrol positif (ampisilin 250 mg/KgBB),
nanopropolis 1% 100 mg/KgBB, raw propolis 100 mg/KgBB, dan standar adalah
34,62%, 23,39%, 12,5%, 10,92%, dan 2,24%. Jumlah E. coli pada feses yang
paling stabil adalah perlakuan nanopropolis 2%.


.

2

ABSTRACT
VITA ROSALINE FAHRI. Potency of Trigona spp Nanopropolis from
Bukittinggi as Growth Promoter on White Rats (Sprague-Dawley). Under the
direction of AE ZAINAL HASAN and I MADE ARTIKA.
Some materials which can be used as Growth Promoter in cattle include
antibiotic, hormone, probiotic, prebiotic, and imunomodulator. The use of
antibiotics as growth promoter in cattle causes some problems related to microbial
resistance and antibiotic residue. The alternative solution is the use of natural antibacteria such as propolis. The aim of this study is to determine potency of
nanopropolis of Trigona spp from Bukittinggi as growth promoter using in vivo
assays on male rats Sprague-Dawley. Encapsulated propolis nanoparticle was
prepared by high speed homogenization technique followed by encapsulation
using maltodekstrin with solvent evaporation technique. The size of nanopropolis
was measured with SEM. Observation propolis effects in vivo was carried out by
measuring body weight of rat and the propolis antibacterial activity in feces and
intestine was determinated by plate count method. The results of SEM show that
size of nanopropolis is 100 nm. The growth promoter potency was determined by

measuring the percentage of body weight gain of the rats. The highest percentage
reached by nanopropolis 2%, with effectivity of 109% againts compared to
positive control. Percentage of growth nanopropolis 2% 100 mg/KgBB, positive
control (ampisilin 250 mg/KgBB), nanopropolis 1% 100 mg/KgBB, raw propolis
100 mg/KgBB, dan standard is 34,62%, 23,39%, 12,5%, 10,92%, dan 2,24%.
The most stable count of E.coli on fecal is in nanopropolis 2%.

3

POTENSI NANOPROPOLIS Trigona spp ASAL BUKITTINGGI
SEBAGAI PEMACU PERTUMBUHAN PADA
TIKUS PUTIH (Sprague-Dawley)

VITA ROSALINE FAHRI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia


DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

4

Judul
Nama
NIM

: Potensi Nanopropolis Trigona spp Asal Bukittinggi sebagai Pemacu
Pertumbuhan pada Tikus Putih (Sprague-Dawley)
: Vita Rosaline Fahri
: G84053417

Disetujui
Komisi Pembimbing


Ir. H. A.E. Zainal Hasan, M.Si
Ketua

Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc
Anggota

Diketahui

Dr. drh. Hasim, DEA
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Tanggal Lulus:

5

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul
Potensi Nanopropolis Trigona Spp Asal Bukittinggi sebagai Antibakteri untuk
Pemacu Pertumbuhan pada Tikus Putih (Sprague-dawley). Penelitian ini

dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juni 2009 di Laboratorium
Departemen Biokimia IPB. Penelitian ini terlaksana berkat bantuan dana dari Ir.
H.A.E. Zainal Hasan, M.Si dan Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc. sebagai bagian
dari proyek penelitian tentang eksplorasi bahan alam antibiotika (propolis).
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ir. H.A.E. Zainal Hasan, M.Si dan
Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc atas bimbingan, pengarahan, dan saran-saran
yang diberikan dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada mba Desy K
Halim dan ka Dedy atas semangat dan dukungannya baik secara moril maupun
materil, dan seluruh staf laboratorium Biokimia (Pak Arya, Pak Yadi, Pak Nana,
Ibu Is, Ibu Mery, Ibu Tuti) atas kenangan indah kepada penulis selama penelitian.
Di samping itu, terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan di lab
Biokimia (Olga, Saiful, Riza, Tanti, Rei, Puspa, Mira, Dini, Isty, dan Novan) yang
selalu memberi dukungan, perhatian, dan semangatnya. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada teman satu perjuangan Biokimia angkatan 2005 atas
kebersamaannya selama ini.
Penghargaan tertinggi penulis sampaikan kepada keluarga (Mama, Papa,
Irvan, Alamanda, dan Galang SA) tercinta atas perhatian, kasih sayang, semangat,
dan doanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca dan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang Biokimia.


Bogor, September 2009

Vita Rosaline Fahri

6

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 21 Februari 1987 dari
ayahanda Fahri dan ibunda Iis Kurniasih. Penulis merupakan putri pertama dari
tiga bersaudara. Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bandar Lampung
dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Departemen Biokimia,
Fakultas matematika dan Ilmu pengetahuan Alam (FMIPA).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Community Research and
Education of Biochemist (CREBs) pada divisi ROHIS periode 2006/2007, dan
pernah menjadi asisten praktikum Kimia Dasar untuk mahasiswa SI Tingkat
Persiapan Bersama (TPB) 2006/2007, Biokimia Umum untuk mahasiswa SI Budi
Daya Perairan Dan Biologi tahun ajaran 2007/2008. Penulis melaksanakan Praktik
Lapangan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Transformasi, Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Indonesia, LRPI dengan judul Regenerasi Tanaman

Tembakau (Nicotiana Tabacum L.) Transgenik yang Membawa Gen Agamous
(ag), dari bulan Juli sampai dengan Agustus 2008.

7

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... x
PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA
Lebah Madu Trigona spp .........................................................................
Propolis .....................................................................................................
Pemacu Pertumbuhan (Growth Promoter) ...............................................
Tikus sebagai Hewan Coba ......................................................................
Escherichia coli ........................................................................................
Nanopartikel .............................................................................................

2
2

4
4
4
5

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan ......................................................................................... 5
Metode Penelitian ..................................................................................... 6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nanopropolis ............................................................................................ 7
Kondisi Fisik dan Bobot Badan Hewan Coba (Pertumbuhan) ................. 10
Analisis Antibakteri Metode TPC ............................................................ 12
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 15
LAMPIRAN ....................................................................................................... 18

8

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1 Trigona spp .................................................................................................. 2
2 Propolis dalam sarang lebah. ....................................................................... 3
3 Hasil serbuk nanopropolis 1% dan 2% ........................................................ 9
4 Morfologi SEM nanopropolis 1% ............................................................... 9
5 Morfologi SEM nanopropolis 2% ................................................................ 10
6 Morfologi maltodekstrin perbesaran 200x (Anwar 2004) ........................... 10
7 Kondisi tikus. a) masa adaptasi dan b) masa akhir perlakuan ..................... 10
8 Bobot badan tikus masa adaptasi ................................................................. 11
9 Bobot badan tikus masa perlakuan .............................................................. 11
10 Jumlah Escherichia coli feses selama masa perlakuan ................................ 13
11 Jumlah Escherichia coli usus pada akhir perlakuan .................................... 15

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Tahap Penelitian ......................................................................................... 19
2 Tahap ekstraksi propolis ............................................................................. 20
3 Tahap pembuatan nanopropolis 2% ............................................................ 20
4 Rancangan percobaan hewan uji ................................................................ 21
5 Dosis pencekokan ....................................................................................... 22
6 Bobot badan tikus selama perlakuan .......................................................... 23

7 Hasil uji Anova pertumbuhan tikus menggunakan SAS ............................ 24
8 Jumlah sel Escherichia coli feses metode hitungan cawan ........................ 24
9 Hasil uji Anova jumlah E.coli feses masa perlakuan menggunakan SAS .... 25
10 Jumlah sel E.coli usus pada minggu akhir perlakuan metode TPC ............ 25
11 Contoh hasil hitungan antibakteri metode cawan sebar .............................. 26
12 Profil tikus penelitian .................................................................................. 26
13 Kondisi kandang tikus penelitian ................................................................ 26

1

PENDAHULUAN
Bagian dari saluran pencernaan yang
paling banyak dihuni oleh bakteri adalah
saluran usus. Bakteri dalam usus tidak hanya
bersifat menguntungkan, tetapi ada juga yang
bersifat merugikan, dan oportunistik. Bakteri
menguntungkan karena dapat menjaga
kesehatan dengan membantu pencernaan
sedangkan bakteri merugikan bersifat
patogen dengan menghasilkan kebusukan
pada usus dan menghasilkan zat-zat yang
bersifat karsinogen. Bakteri golongan
oportunistik memiliki sifat apabila ada dalam
saluran pencernaan pada jumlah yang
melebihi batas maksimal akan menyebabkan
timbulnya gangguan pada kesehatan saluran
pencernaan. Bakteri yang masuk dalam
golongan ini adalah Escherichia coli dan
Streptococcus (Mitsuoka 1989, diacu dalam
dalam Pertiwi 2008). Gangguan kesehatan
saluran pencernaan ini juga mengakibatkan
terhambatnya pertumbuhan.
Pemacu pertumbuhan adalah zat aditif
yang ditambahkan ke dalam pakan ternak
untuk mempercepat pertumbuhan dan
meningkatkan produktivitas ternak. Senyawa
antibiotik yang biasa digunakan sebagai
pemacu pertumbuhan sebenarnya merupakan
obat untuk membunuh atau menghambat
pertumbuhan
bakteri.
Dalam
bidang
peternakan, beberapa senyawa antibiotik
digunakan dalam peternakan pada dosis
subterapi
sebagai
bahan
pemacu
pertumbuhan (Antibiotic Growth Promoters=
AGPs). Pemacu pertumbuhan ini akan
meningkatkan efisiensi pencernaan makanan
pada hewan sehingga pertumbuhannya cepat
(Fatoni 2008).
Adanya resistensi mikrob dan residu
antibiotik pada produk ternak akibat
penggunaan antibiotik telah mengilhami
pencarian produk alternatif pengganti
antibiotik. Resistensi bakteri ini sulit untuk
ditangani. Strain bakteri yang telah
ditemukan resisten terhadap antibiotik
meliputi Salmonella spp, E.coli, dan
Campylobacter spp (Evans dan Wegener
2003). Propolis merupakan alternatif baru
obat yang dapat digunakan sebagai antibiotik
alami. Kandungan antibakteri dalam propolis
menyebabkan propolis dapat digunakan
sebagai pemacu pertumbuhan baik pada
manusia ataupun ternak. Propolis yang
dihasilkan oleh lebah madu Trigona spp
terbukti mampu berperan sebagai agen
antibakteri
pada
Bacillus
subtilis,
Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan

Pseudomonas aeruginosa (Anggraini 2006).
Oleh karena itu, dalam penelitian ini
diharapkan propolis dapat dijadikan pemacu
pertumbuhan (Growth Promoter) pada tikus
putih Sprague Dawley sebagai hewan model
untuk tujuan manusia.
Kandungan kimia propolis bergantung
pada tumbuhan di sekitarnya, musim
pengambilan, dan letak geografis tempat
pengambilan. Sarang lebah sebagai sumber
propolis dalam penelitian ini merupakan
sarang lebah Trigona spp yang diperoleh dari
daerah Bukittinggi Sumatera Barat. Fatoni
(2008) menyatakan bahwa ekstrak propolis
Bukittinggi pada konsentrasi 2,03% dapat
menghambat bakteri patogen seperti E.coli.
Penelitian yang dilakukan oleh Hasan (2006)
menunjukkan bahwa propolis hasil ekstrak
etanol 70% dapat digunakan sebagai senyawa
antibakteri baik bakteri Gram positif
(Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis)
maupun bakteri Gram negatif (Escherichia
coli).
Nanopartikel merupakan salah satu hasil
teknologi nano baru yang makin pesat
perkembangannya. Teknologi nano ini sudah
banyak digunakan dalam bidang industri
(nanokomposit,
nanotubes),
farmasi
(pembuatan obat), dan pangan (pembuatan
nano vitamin A). Propolis merupakan salah
satu aplikasi untuk senyawa obat yang
memiliki kelarutan yang kecil dalam air.
Penggunaanya
yang
terbukti
sebagai
antibakteri dalam bentuk sediaan ekstrak dan
mikro melatarbelakangi pembuatan sediaan
propolis dalam bentuk nano yang akan
meningkatkan luas permukaannya sehingga
kemampuan untuk melarutnya pun semakin
baik di dalam tubuh. Ukurannya yang nano
dapat melewati membran luar bakteri
sehingga
senyawa-senyawa
aktif
antibakterinya dapat merusak dinding sel
bakteri. Oleh karena itu, diharapkan dapat
lebih efektif dan efisien dalam memacu
pertumbuhan.
Penelitian ini bertujuan melihat potensi
nanopropolis Trigona spp asal Bukittinggi
sebagai Growth Promoter secara in vivo pada
tikus jantan Sprague-Dawley. Hipotesis
penelitian ini adalah sediaan propolis Trigona
spp dalam bentuk nanopartikel memiliki
potensi Growth Promoter yang lebih tinggi
dibandingkan
dengan
kontrol
positif
(ampisilin). Hasil Penelitian ini diharapkan
memberi informasi mengenai efektivitas
metode
nanopropolis
dan
manfaat
nanopropolis Trigona spp asal Bukittinggi
Sumatera Barat sebagai bahan antibakteri

2

alami yang berfungsi sebagai
pertumbuhan (Growth Promoter).

pemacu

TINJAUAN PUSTAKA
Lebah Madu Trigona spp
Lebah madu Trigona spp merupakan
serangga
sosial
hidup
berkelompok
membentuk suatu koloni yang termasuk ke
dalam golongan stingless bee. Lebah madu
Trigona spp Juga sering disebut dengan
Melipona. Golongan stingless bee adalah
golongan lebah yang menggigit akan tetapi
tidak menyengat (Gambar 1). Lebah ini
mudah dijumpai di daerah tropis dan sub
tropis di Amerika Selatan, setengah bagian
Afrika Selatan, dan Asia Tenggara.
Koloninya terdiri atas 300-80.000 ekor lebah
(Free
1982).
Lebah
Trigona
spp
diklasifikasikan dalam divisi Animalia, filum
Arthopoda, kelas Insecta, ordo Hymenoptera,
famili Apidae, genus Trigona, dan species
Trigona spp (Sihombing 1997).
Koloni lebah madu terdiri atas dua
golongan, yaitu golongan reproduktif (lebah
jantan dan ratu) dan golongan nonreproduktif
(lebah pekerja). Satu sama lainnya dapat
dibedakan dari bentuk, rupa, warna, dan
tingkah laku. Satu koloni lebah hanya
memiliki satu ekor ratu, ratusan ekor lebah
jantan, dan ribuan ekor lebah pekerja
(Sumoprastowo dan Supapto 1980). Ratu
memiliki ukuran paling besar dan paling
menarik diantara lebah lainnya dalam koloni.
Ratu hanya bertugas menghasilkan telur dan
lebah jantan bertugas mengawini lebah ratu.
Semua pekerjaan dilakukan oleh lebah
pekerja, baik pekerjaan dalam sarang maupun
luar sarang. Semua pembagian tugas
dilakukan dengan teratur berdasarkan
tingkatan usia (Sumoprastowo dan Supapto
1980).
Lebah madu Trigona spp menghasilkan
jumlah madu yang sedikit bila dibandingkan
dengan lebah Apis spp. Sarang lebah Trigona
spp menghasilkan madu kurang lebih 1
kg/tahun sedangkan Apis spp menghasilkan
madu mencapai 75 kg/tahun. Madu yang
dihasilkan Trigona spp mempunyai aroma
khusus, campuran rasa manis dan asam
seperti lemon (Fatoni 2008). Menurut Singh
(1962) kandungan madu pada Trigona spp
lebih sedikit daripada golongan lebah lokal
lain seperti Apis spp Madu yang terdapat
pada Trigona spp juga sulit untuk diekstrak.
Akan tetapi, kandungan propolis pada
Trigona spp lebih banyak daripada golongan
Apis spp.

Gambar 1 Trigona spp.
Propolis
Propolis merupakan nama generik dari
resin lebah. Kata propolis berasal dari bahasa
Yunani, yaitu ”pro” artinya sebelum atau
pertahanan dan ”polis” artinya kota atau
sarang lebah. Jadi, propolis adalah pertahanan
kota atau disebut sebagai sistem pertahanan
pada sarang lebah. Karena sifatnya yang
lengket seperti lem, propolis disebut sebagai
bee-glue. Propolis merupakan produk penting
lebah selain madu, yang digunakan sebagai
pertahanan ataupun bahan pengisi retakan
pada struktur sarang.
Propolis sering disebut dengan bee glue
atau lem lebah (Iraz et al. 2005). Propolis
merupakan resin lengket yang dikumpulkan
oleh lebah pekerja dari kuncup, kulit kayu,
dan dari bagian tumbuhan lain (Gojmerac
1983). Resin-resin yang diperoleh dari
bermacam-macam tumbuhan ini kemudian
dicampur dengan saliva dan enzim lebah
sehingga berbeda dari resin asalnya (Gambar
2). Propolis berwarna kuning sampai coklat
tua, bahkan ada yang transparan. Perbedaan
warna tersebut dipengaruhi oleh kandungan
flavonoidnya. Propolis sangat dipengaruhi
oleh faktor temperatur. Pada temperatur di
bawah 15°C, propolis keras dan rapuh, tapi
kembali lebih lengket pada temperatur yang
lebih tinggi (25-45°C). Propolis umumnya
meleleh pada temperatur 60-69°C dan
beberapa sampel mempunyai titik leleh di
atas 100°C (Woo 2004).
Propolis
sangat
diperlukan
bagi
kelangsungan kehidupan lebah madu, yaitu
sebagai antimikrob (Dharmayanti et al. 2000)
dan digunakan juga untuk mengisi celah dan
retakan serta menghaluskan permukaan yang
kasar pada sarang lebah madu (Gojmerac
1983). Resin digunakan lebah untuk melapisi
sarang bagian dalam, memperbaiki sisiran
yang rusak, menambal lubang-lubang, dan
memperkecil ukuran jalan masuk sel untuk
menghindari udara dingin. Jika ada binatang
yang mati di dalam sarang dan terlalu berat
untuk dibuang, lebah akan membungkusnya
dengan propolis. Selain itu, propolis juga
penting untuk digunakan sebagai campuran
malam untuk menutup sel berisi larva

3

sehingga terlindungi dari serangan penyakit.
Lebah madu sangat memerlukan propolis
karena lebah madu sangat rentan dengan
infeksi bakteri dan virus (Chinthapally et al.
1993). Propolis terbukti mampu menghambat
pertumbuhan beberapa bakteri seperti
Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus,
Escherichia
coli,
dan
Pseudomonas
aeruginosa (Anggraini 2006). Penelitian
selanjutnya bahkan telah menguji propolis
dari Trigona spp terhadap bakteri penyebab
karies gigi yaitu Streptococcus mutans.
Ternyata ekstrak propolis tersebut mampu
menghambat pertumbuhan bakteri tersebut
(Lasmayanty 2007).
Gojmerac (1983) menyatakan bahwa
propolis mengandung bahan campuran
kompleks malam, resin, balsam, minyak, dan
sedikit polen. Unsur aktif yang penting dalam
bidang farmakologi adalah flavonoid (flavon,
flavonol, flavonon) dan senyawa fenolat serta
senyawa aromatik. Flavonoid berperan dalam
pewarnaan tumbuhan. Senyawa flavonoid
yang ada diantaranya adalah flavonol
(galangin, kaemferol, quersetin), flavonon
(pinocembrin dan pinosrobin), serta falvon
(chrysin, acacetin, apigenin, ermanin).
Beberapa senyawa fenolat yang ada
diantaranya adalah hidroksisinamat, asam
sinamat, vanilin, benzil alkohol, asam
benzoat, kafeat, kumarat, serta asam ferulat.
Berbeda dengan komposisi kimia yang
dikandung oleh propolis, nilai nutrisi yang
dikandung propolis sangat kecil, yaitu berasal
dari protein, asam amino, mineral dan gula,
serta vitamin dalam jumlah kecil seperti
vitamin A, B1, B2, B6, C, dan E
(Khismatulina 2005). Komponen kimia pada
propolis dapat dilihat pada Tabel 1.
Propolis di dalam dunia pengobatan
dimanfaatkan dalam penyembuhan berbagai
penyakit. Manfaat propolis yang bermacammacam ini dapat dimungkinkan karena
kandungan
kimianya
yang
beragam.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa propolis efektif sebagai antikanker,
antivirus, antifungi, antibakteri, antioksidan,
antiinflamasi, meningkatkan imunitas tubuh,
memperkuat dan mempercepat regenerasi sel,
dan
lain-lain.
Beberapa
penelitian
menyatakan propolis bersifat bakterisida,
bakteriostatik, dan memiliki sifat antibiotik.
Ada juga yang melaporkan ekstrak propolis
ampuh untuk menyembuhkan luka, penyakit
mulut dan kuku pada sapi, membunuh virus
influenza dan membantu penyembuhan
penyakit kulit. Seorang dokter gigi Rusia
melaporkan, sebagai bahan anestesia 3-4%

ekstrak propolis 3-5 kali lebih efektif dari
kokain (Gojmerac 1983).
Winingsih (2004) menyatakan propolis
sebagai antibiotik alami. Menurutnya
senyawa aktif yang memberikan efek
antibakteri adalah pinochembrin, galangin,
asam kafeat, dan asam ferulat. Senyawa
antifunginya
adalah
pinocembrin,
pinobanksin, asam kafeat, benzil ester,
sakuranetin, dan pterostilbene sedangkan
senyawa antiviralnya adalah asam kafeat,
lutseolin, dan quersetin. Zat aktif yang
diketahui sebagai antibiotik adalah asam
kafeat. Zat ini efektif terhadap bakteri Gram
positif dan negatif. Kelebihan propolis
sebagai antibiotik alami dibandingkan dengan
bahan sintetik adalah lebih aman serta dengan
efek samping yang relatif kecil. Satu-satunya
efek samping yang terjadi dan itu pun jarang
yaitu timbulnya reaksi alergi. Selain itu,
propolis sebagai antibiotik mempunyai
selektivitas yang tinggi. Propolis hanya
membunuh bakteri penyebab penyakit
sedangkan mikrob yang berguna seperti flora
usus relatif tidak terganggu.

Gambar 2 Propolis dalam sarang lebah.
Tabel 1 Komposisi senyawa kimia propolis
Kelas
Golongan
Jumlah
Senyawa
Senyawa
Flavonoid,
asam
Resin
50%
aromatik, dan
esternya
Asam lemak
Lilin
30%
dan esternya
Minyak
Volatil
10%
esensial
Protein dan
Polen
asam amino
5%
bebas
Mineral,
lakton,
Senyawa
quinon,
organik dan
5%
steroid,
mineral
vitamin, dan
gula
(Khismatulina 2005).

4

Pemacu Pertumbuhan (Growth Promoter)
Pemacu pertumbuhan adalah zat aditif
yang ditambahkan ke dalam pakan ternak
untuk mempercepat pertumbuhan dan
meningkatkan produktivitas ternak. Bahanbahan yang umumnya dapat digunakan
sebagai pemacu pertumbuhan antara lain
antibiotik, hormon, acidifer (asam-asam
organik),
probiotik,
prebiotik,
imunomodulator, dan beberapa obat herbal.
Meskipun fungsi dari bahan-bahan ini sama,
mereka memiliki cara kerja yang berbeda,
yaitu melalui efisiensi dalam penyerapan
pakan dan metabolisme saluran cerna,
penyehatan saluran cerna atau penguatan
sistem kekebalan tubuh yang bertujuan
meningkatkan kesehatan dan peningkatan
produktivitas ternak (Cheeke 1999).
Masyarakat telah lama mengenal dan
menerapkan antibiotik sebagai Growth
Promoter pada ternak. Akan tetapi,
penggunaan antibiotik dinilai banyak
memiliki kekurangan. Salah satu yang
penting adalah bahwa penggunaan antibiotik
pada pakan hewan sebagai pemacu
pertumbuhan
telah
mengakibatkan
pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap
antibiotik yang umum digunakan untuk terapi
infeksi pada manusia (Naim 2003).
Mekanisme kerja antibiotik ini belum
jelas, namun dipercaya banyak peneliti
bahwa antibiotik ini menekan populasi
bakteri pada saluran pencernaan. Estimasi
energi yang hilang sekitar 6% dari diet pada
babi karena fermentasi mikrob dalam usus.
Jika populasi dapat dikendalikan, maka
kehilangan energi tersebut dapat dialihkan
untuk pertumbuhan. Mekanisme kerja
pemacu pertumbuhan juga belum diketahui
secara pasti. Percobaan menggunakan ayam
bebas penyakit menunjukkan bahwa pemacu
pertumbuhan berhubungan erat dengan daya
antibakteri. Empat hipotesis diusulkan untuk
menjelaskan kerja pemacu pertumbuhan
yaitu, (1) makanan tidak lagi dicerna bakteri
sehingga semua makanan dicerna inang, (2)
absorbsi makanan dapat meningkat karena
rintangan di usus halus berkurang, (3)
antibiotik dapat menurunkan produksi toksin
oleh bakteri usus, dan (4) turunnya kejadian
infeksi subklinis di dalam usus (Feigher dan
Dashkevicz 1987).
Tikus sebagai Hewan Coba
Seperti mencit, tikus (terutama Rattus
Norvegicus Albino) sering menjadi subjek
medis dan percobaan biologi lainnya. Hal ini
karena mereka mempunyai kematangan

seksual yang tumbuh sehat serta mudah
dipelihara dan dikembangbiakan. Ilmuwan
telah mengawinkan banyak galur atau
”keturunan” tikus terutama untuk percobaan.
Dibandingkan dengan mencit, tikus lebih
relevan dengan manusia dan lebih mudah
dalam pengamatan (Muchtadi 1989).
Tikus adalah hewan pengerat yang mudah
berkembang biak, mudah dipelihara dalam
jumlah banyak. Tikus yang baru lahir
biasanya memiliki berat badan 5-6 gram dan
memiliki kecepatan tumbuh sebesar 5 gram
/hari. Umumnya berat badan tikus dewasa
rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi
tergantung pada galurnya. Tikus jantan tua
dapat mencapai 500 gram dan tikus betina
jarang lebih dari 350 gram (Mangkoewidjojo
dan Smith 1988). Beberapa karakteristik tikus
adalah nocturnal (aktif pada malam hari),
tidak mempunyai kantong empedu (gall
blader), tidak dapat mengeluarkan isi
perutnya (muntah) dan tidak pernah berhenti
tumbuh, meskipun kecepatannya menurun
setelah berumur seratus hari (Muchtadi
1989). Muchtadi (1989) juga menyatakan
bahwa zat-zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan tikus hampir sama dengan
manusia yaitu karbohidrat, lemak, protein,
mineral, dan vitamin.
Tikus merupakan spesies hewan kedua
yang paling sering digunakan dalam riset dan
pengujian biomedis. Tikus mempunyai
sejumlah karakteristik yang menyebabkan
hewan tersebut ideal sebagai hewan model
yaitu tersedia secara komersil, memiliki
keseragaman genetik, tidak mahal, murah
pemeliharaannya, mudah penanganannya,
mudah beradaptasi dengan lingkungan dan
suasana baru, parameter fisiologisnya dapat
diukur, mempunyai mikroflora yang sudah
dikenal, beberapa mempunyai penyakit
spontan yang berguna dalam pemodelan,
umur yang pendek memungkinkan untuk
mempelajari efek-efek pengobatan pada
kesehatan, dan sekuen genom tikus telah
lengkap diketahui pada tahun 2004 (Rand
2004, diacu dalam Sulistiyani 2005).
Escherichia coli
Escherichia coli adalah penghuni normal
saluran pencernaan manusia dan hewan
berdarah panas. Biasanya tidak patogenik,
tetapi
dapat
menyebabkan
infeksi.
Escherichia coli digunakan sebagai indikator
kualitas air dan beberapa galur tertentu
menyebabkan gastroentritis, disentri pada
manusia serta dapat menyebabkan diare
(Fardiaz 1983; Pelczar dan Chan 1988).

5

E.
coli
termasuk
famili
Enterobacteriaceae. Bentuknya batang atau
koma, berukuran 1.1-1.5 x 2.0-6.0 µm,
terdapat tunggal atau berpasangan dan dalam
rantai pendek serta merupakan bakteri Gram
negatif. Bakteri ini tidak berkapsul dan tidak
berspora, tumbuh baik pada pH optimum 7.07.5 serta suhu optimum 37°C. E. Coli
membentuk koloni berwarna putih hingga
kekuningan,
dan
permukaannya
bergelombang di atas agar (Fardiaz 1983;
Pelczar dan Chan 1988), bersifat nonmotil
dan hidup secara anaerob fakultatif (Holt et
al. 1994).
Biasanya E.coli bergerak dengan flagella
peritrik. E. coli memilki macam-macam fibria
atau pili sesuai struktur spesifitas antigen,
antara lain filamentus dan proteinaceus.
Fibria merupakan rangkaian hidrofobik dan
merupakan organ spesifik yang bersifat
adhesi. Hal itu merupakan faktor virulensi
yang penting. E. coli menyebabkan diare
sangat sering di seluruh dunia. E. coli
diklasifikasikan oleh sifat-sifat virulensinya
dan setiap grup menimbulkan penyakit
melalui mekanisme yang berbeda.
Klasifikasi E. coli antara lain (Collier
1998): a). Enteropathogenic E.coli (EPEC),
infeksinya melibatkan gen EPEC adherence
factor (EAF), menyebabkan perubahan
konsentrasi kalsium intraseluller dan
arsitektur sitoskleton di bawah membran
mikrovilus. b). Enterotoxigenic E.coli
(ETEC) menghasilkan toksin stabil dan labil
(ST dan LT) menyebabkan akumilasi cGMP
pada sel target, elektrolit dan cairan sekresi
pada lumen usus. c). Enterohaemorrhagic
E.coli (EHEC) menghasilkan verotoksin,
EHEC
berhubungan
dengan
holitis
hemoragik, bentuk diare yang berat dan
dengan sindroma uremia hemolitik. d).
Enterohaemorrhagic
E.coli
(EIEC)
menimbulkan penyakit melalui invansinya ke
sel epital mukosa usus. Diare ini ditemukan
hanya pada manusia. e). Entero Adherent
E.coli (EAEC) menyebabkan diare akut dan
kronik pada masyarakat di negara
berkembang.
Nanopartikel
Nanoteknologi merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan teknologi
yang berkaitan dengan materi super kecil
(nano). Dalam SI unit, nanometer
didefinisikan
sebagai
1×10–9
meter
((1/milyar) meter). Sampai saat ini
nanopartikel telah diaplikasikan dalam
berbagai
bidang
seperti
elektronik,

kedokteran, industri kimia dan kosmetik dan
juga
kedirgantaraan.
Dalam
perkembangannya, prospek teknologi ini
akan semakin meningkat seiring dengan
ditemukannya aplikasi-aplikasi baru lainnya.
Nanopartikel termasuk golongan Solid
Colloidal Drug Delivery System, dan
merupakan dasar dari sistem penghantaran
obat yang bersifat dapat diuraikan oleh tubuh.
(biodegradeable)
dan
tidak
toksik.
Nanopartikel adalah suatu preparat parenteral
dan dapat disimpan dalam bentuk padat.
Sediaan nanopartikel ini setelah penyimpanan
setahun masih dapat diencerkan kembali
menjadi larutan colloidal yang baik dan
masih mempunyai sifat-sifat in vivo dan in
vitro yang tidak berubah. Shelf-life -nya
sendiri masih belum diketahui (Wiraatmaja H
1984).
Pembuatan nanopartikel dalam bidang
farmasi sedang berkembang dengan pesat.
Faktor keterbatasan pelarutan obat yang
digunakan secara oral menjadi pendekatan
utama untuk meningkatkan kemampuannya
menyerap sehingga dapat terurai menjadi
cairan di dalam usus (Hue et al. 2004).
Pengurangan atau pengecilan ukuran partikel
yang memiliki kelarutan yang kecil akan
meningkatkan luas permukaan sehingga akan
meningkatkan penguraiaan partikel yang
menyebabkan
kelarutannya
meningkat
(Dressman et al. 1998; Hörter dan Dressman
2001). Ada dua proses utama yang dapat
digunakan untuk membuat partikel menjadi
ukuran kecil (nano) yang biasa digunakan
untuk membuat partikel obat dengan alat
pemurnian tinggi, yaitu wet-grinding in
agitated grinding media mills (MeriskoLiversidge et al. 2003) dan high-pressure
homogenisation (Müller et al. 2000 ; Müller
et al. 2001).

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
propolis kasar Trigona spp yang berasal dari
Bukittinggi Padang, tikus jantan SpragueDawley dengan berat 50-100 gram, media
selektif Escherichia coli (Eosin metilene Blue
(EMB), etanol 70%, propilen glikol (PG)
teknis, maltodekstrin, akuades, larutan
fisiologis (NaCl 0.9%), pakan standar tikus,
akaudes, dan ampisilin generik 250 mg
produksi kimia farma.
Alat-alat yang digunakan adalah kandang
tikus standar, sonde, syringe, autoklaf,

6

shaker, rotavapor, vacuum dryer, laminar air
flow cabinet, wrap, cawan petri, batang
penyebar, jarum ose, beberapa alat gelas,
pipet ukur 5 mL, pipet ukur 25 mL
mikropipet, inkubator suhu, neraca analitik,
termos, kertas saring, High Energy Milling
(HEM), SEM S500 Coating unit, JSA-65
10LA
Analytical
Scanning
Electron
Microscope (Jeol) (SEM), plat platinum,
pelapis emas, dan peralatan nekropsi tikus.
Metode Penelitian
Ekstraksi Propolis Trigona spp
Propolis diekstraksi menggunakan metode
Harbone (1987) dan Matienzo dan Lamorena
(2004). Ekstraksi dilakukan dengan maserasi,
yaitu dengan pelarut alkohol 70% dengan
satu kali pengulangan. Sebanyak kira-kira
200 gram propolis kasar Trigona spp
direndam dengan 650 mL etanol 70%.
Suspensi tersebut ditutup dan dikocok dengan
shaker di ruang gelap selama satu minggu.
Setelah itu, suspensi tersebut disaring,
filtratnya diambil, dan residunya dimaserasi
kembali. Selanjutnya filtrat tersebut diambil
setiap hari selama enam hari. Setelah enam
hari, teknik maserasi diakhiri yaitu ditandai
dengan warna filtrat terakhir yang berwarna
jernih. Seluruh filtrat yang terkumpul
kemudian dipekatkan dengan rotavapor pada
suhu 40°C. Ekstrak pekat yang diperoleh
kemudian ditimbang untuk mendapatkan nilai
rendemennya.
Pembuatan
Nanopartikel
Propolis
(modifikasi Bhaskar et al. 2009)
Pembuatan Nanopropolis 1%. Ekstrak
propolis pekat sebanyak 1 gram dilarutkan
dengan propilen glikol sebanyak 1:1 yang
disebut dengan ekstrak etanol propolis 100 %
(EEP 100%). Selanjutnya EEP 100%
dilarutkan dengan 120 mL etanol 70%.
Bahan penyalut maltodekstrin sebanyak
94 gram dilarutkan dalam akuades 80 mL dan
ditambahkan Mg stearat sebanyak 5 gram
lalu diaduk dengan pengaduk magnetik
(stirrer) sampai tercampur rata, kemudian
dengan cepat dihomogenisasi pada kecepatan
22.000 rpm selama 30 menit. Setelah 30
menit penyalut dihomogenisasi, propolis
yang telah terlarut dengan etanol 70%
dicampurkan dan dengan cepat campuran
dihomogenisasi kembali pada kecepatan
22.000 rpm selama 30 menit. Setelah itu,
larutan dikeringkan dengan vacuum dryer
pada suhu 40˚C. Serbuk yang terbentuk
kemudian dihaluskan dan disamaratakan

dengan High Energy Milling (HEM)
kecepatan ± 916 rpm dan frekuensi 28,8 Hz
selama 15 menit. Hasil nanopropolis
diidentifikasi ukuranya menggunakan SEM.
Pembuatan Nanopropolis 2%. Ekstrak
propolis pekat sebanyak 2 gram dilarutkan
dengan propilen glikol sebanyak 1:1 yang
disebut dengan ekstrak etanol propolis 100 %
(EEP 100%). Selanjutnya EEP 100%
dilarutkan dengan 120 mL etanol 70%.
Bahan penyalut maltodekstrin sebanyak
93 gram dilarutkan dalam akuades 80 mL dan
ditambahkan Mg stearat sebanyak 5 gram
lalu diaduk dengan pengaduk magnetik
(stirrer) sampai tercampur rata, kemudian
dengan cepat dihomogenisasi pada kecepatan
22.000 rpm selama 30 menit. Setelah 30
menit penyalut dihomogenisasi, propolis
yang telah terlarut dengan etanol 70%
dicampurkan dan dengan cepat campuran
dihomogenisasi kembali pada kecepatan
22.000 rpm selama 30 menit. Setelah itu,
larutan dikeringkan dengan vacuum dryer
pada suhu 40˚C. Serbuk yang terbentuk
kemudian dihaluskan dan disamaratakan
dengan High Energy Milling (HEM)
kecepatan ± 916 rpm dan frekuensi 28,8 Hz
selama 15 menit. Hasil nanopropolis
diidentifikasi ukurannya menggunakan SEM.
Karakterisasi Sampel dengan SEM
Sampel
dikarakterisasi
dengan
menggunakan alat JSA-65 10LA Analytical
Scanning Electron Microscope (Jeol) di
PTBIN BATAN. Plat platinum disiapkan lalu
diambil secuplik sampel dan diletakkan pada
permukan plat. Sampel terlebih dahulu
dicoating (dilapisi) dengan emas. Pelapisan
dilakukan dengan cara sampel yang telah
ditempelkan pada permukaan plat platinum
yang memiliki dua sisi kemudian dimasukkan
ke dalam alat SEM S500 coating unit selama
± 15 menit. Sampel yang telah dilapisi, lalu
diamati dengan SEM, yaitu sampel
dimasukkan ke dalam alat SEM yang telah
tersambung dengan komputer. Kemudian
SEM diatur vakum dan diamati pada
tegangan 7 kV. Perbesaran dapat diatur saat
pengamatan.
Hewan Uji dan Rancangan Percobaan
Hewan uji yang digunakan adalah tikus
putih Sprague-Dawley dengan jenis kelamin
jantan, sehat dan mempunyai aktivitas
normal, umur sekitar 1-1,5 bulan dengan
berat badan 50-100 gram. Sebelum mendapat
perlakuan, tikus diadaptasikan selama tiga
minggu untuk menyeragamkan cara hidup

7

dan makanannya. Sebelum dan selama
perlakuan, tikus diberikan pakan standar dan
minum akuades. Bobot badan tikus dan
jumlah pakan yang dimakan diamati setiap
hari.
Hewan uji dibagi menjadi 5 kelompok
dengan 5 ekor tikus dalam setiap kelompok.
Kelompok I (standar) diberikan pakan standar
dan air minum akuades dan juga dicekok
akuades (untuk menyamakan perlakuan)
setiap tiga hari sekali selama 25 hari.
Kelompok II (kontrol positif) diberikan pakan
standar, air minum akuades, dan dicekok
larutan ampisilin generik 250 mg/KgBB
setiap tiga hari sekali selama 25 hari.
Kelompok III (raw propolis) diberikan pakan
standar, air minum akuades, dan dicekok raw
propolis 100 mg/KgBB setiap tiga hari sekali
selama 25 hari. Kelompok IV diberikan
pakan standar, air minum akuades, dan
dicekok nanopropolis 1% 100 mg/KgBB
setiap tiga hari sekali selama 25 hari.
Terakhir, kelompok V diberikan pakan
standar, air minum, dan dicekok nanopropolis
2% 100 mg/KgBB setiap tiga hari sekali
selama 25 hari.
Pengamatan Klinis
Pengamatan Fisik. Pengamatan fisik
hewan uji meliputi berat badan (ditimbang
sampai minggu ke-4 saat akan dinekropsi),
warna mata, warna feses, dan tingkah laku
yang diamati setiap harinya. Tingkah laku
yang diamati meliputi mobilitas.
Penghitungan (Kuantitas) Bakteri
Metode Hitungan Cawan. Feses tikus
diambil setiap 7 hari sekali untuk dihitung
jumlah E.coli yang ada. Sebanyak 0,5 gram
feses dilarutkan dalam cairan fisiologis (NaCl
0,9%) sebanyak 4,5 mL. Feses dilarutkan
dengan cairan fisiologis, dikocok hingga
merata dan terlarut. Kemudian larutan
tersebut diencerkan hingga pengenceran
1:1000. Secara aseptik, dipipet 0.1 mL
sampel lalu masing-masing diteteskan ke
dalam cawan petri yang berisi media EMB
padat lalu sampel disebar dan diratakan
dengan spreader. Setelah itu, cawan-cawan
petri tersebut diinkubasi pada 37°C selam 24
jam. Koloni dihitung secara manual. Hal
yang sama dilakukan untuk bakteri usus.
Nekropsi Tikus. Setelah perlakuan
selama 25 hari, tikus dibiarkan selama tiga
hari (selama persiapan nekropsi) dengan tetap
ditimbang bobot badannya. Kemudian tepat
di minggu ke-4 tikus dinekropsi untuk
diambil sampel bakteri E.coli dari usus besar
tikus. Bakteri usus ini dihitung menggunakan

metode hitungan cawan (TPC) sama seperti
menghitung E.coli pada feses. Nekropsi
dilakukan di kandang tikus Biokimia, Institut
Pertanian Bogor.
Analisis Statistik
Analisis
data
akan
dilakukan
menggunakan metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) in time untuk hitungan
bakteri metode TPC sedangkan untuk
persentase pertumbuhannya digunakan RAL.
Berikut ini merupakan model rancangannya
RAL in time (Mattjik dan Sumertajaya 2002):
Yijk = µ + i + j+ ( jk) + ( )ij + ijk
Keterangan:
Yijk = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j
µ
= Pengaruh rataan umum
= Pengaruh perlakuan ke-i, i = 1,2,3,4,5
i
j = Pengaruh waktu ke-j
jk = Pengaruh acak waktu
( )ij= Pengaruh interaksi perlakuan ke-i dan
waktu ke-j
= Pengaruh acak pada perlakuan ke-i
ij
dan ulangan ke-j, j = 1,2,3,4,5
Berikut
ini
merupakan
model
rancangannya RAL (Mattjik dan Sumertajaya
2002):
Yijk = µ + i + ijk
Keterangan:
Yijk = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j
µ
= Pengaruh rataan umum
= Pengaruh perlakuan ke-i, i = 1,2,3,4,
i
= Pengaruh acak pada perlakuan ke-i
ij
dan ulangan ke-j, j = 1,2,3,4,5
Data yang diperoleh akan dianalisis
dengan ANOVA (Analysis of Variance) pada
selang kepercayaan 95% dan taraf
0,05.
Uji lanjut yang digunakan adalah uji Duncan.
Seluruh data dianalisis dengan menggunakan
program SAS.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Nanopropolis
Formula Penyalutan Nanopropolis
Komposisi formula penyalutan penelitian
ini yaitu ekstrak propolis sebagai zat aktif
(1% dan 2%), bahan penyalut maltodekstrin
(94% dan 93%), magnesium stearat 5%
(Saputra 2009), kemudian ada tiga pelarut,
yaitu air untuk melarutkan maltodekstrin,
propilen glikol untuk menghasilkan EEP
100%, dan etanol 70% untuk melarutkan EEP
100%. Konsentrasi propolis 1% dan 2%
digunakan berdasarkan Fatoni (2008)
menyatakan bahwa ekstrak propolis pada

8

konsentrasi 2,03% dapat menghambat bakteri
patogen seperti E.coli. Waktu penguraian
mikrokapsulasi 2% dan 4% pada rumen sapi
terhadap Escherichia coli terjadi pada jam
ke-3 dengan diameter zona bening
mikrokapsulasi 2% lebih kecil dibandingkan
mikrokapsulasi 4% (Saputra 2009) sehingga
digunakan konsentrasi 2% untuk tikus karena
penyampaian makanannya yang lebih cepat
sampai saluran pencernaan dibandingkan
sapi.
Produk hasil enzimatis pati umumnya
memiliki sifat yang tidak hidroskopis,
meningkatkan viskositas, membentuk matriks
hidrogel, mempunyai daya rekat, dan ada
yang larut dalam air (Anwar 2004).
Maltodekstrin (MDE) merupakan salah satu
hasil hidrolisis enzimatis dari pati.
Penggunaan MDE dalam dunia farmasi masih
sangat
terbatas
tidak
sepopuler
penggunaannya dalam industri makanan.
Maltodekstrin dalam formulasi penyalutan
nanopropolis ini berperan sebagai bahan
penyalut. Maltodekstrin bersifat tidak
hidroskopis, tidak berasa, dan tidak berbau,
dan dalam bentuk serbuk atau granul putih
(Rowe et al. 2006). Alasan pemilihan
maltodekstrin sebagai bahan penyalut adalah
larut dalam air, murah, tidak mempunyai sifat
lipofilik, tidak hidroskopis, mempunyai daya
rekat, dan dapat membentuk matriks hidrogel.
Selain itu, maltodekstrin memiliki struktur
yang lebih pendek dibanding pati sehingga
pada
saat
penyalutan
menghasilkan
enkapsulasi yang lebih kering, berukuran
seragam, dan tidak lengket.
Penggunaan
MDE
umumnya
ditambahkan dengan magnesium stearat
(MgSt). Magnesium stearat dalam dunia
farmasi biasa digunakan sebagai pelicin
dalam pembuatan obat tablet yang bertujuan,
yaitu mempercepat aliran granul dalam
corong ke dalam rongga cetakan, mencegah
melekatnya granul pada cetakan selama
pengeluaran tablet, mengurangi gesekan antar
tablet dan dinding cetakan ketika dilempar
dari mesin. Magnesium stearat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 5%
dan memiliki beberapa fungsi, yaitu
mencegah menempelnya granul pada dinding
vacuum dryer sehingga mempermudah
penyalutan, memberikan penampilan yang
bagus, selain itu fungsinya dalam tubuh
adalah sebagai pelicin dalam rongga mulut
sehingga mempermudah aliran granul ke
dalam tubuh dan sebagai diintegran (pemisah
bentuk) sehingga senyawa aktif dapat terlepas
dari bahan pengikat dan bahan pengisinya.

Metode Nanopropolis
Nanopropolis pada penelitian ini dibuat
dengan menggunakan metode gabungan
homogenizer modifikasi metode Bahskar et
al. 2009 dengan metode penyalutan teknik
penguapan pelarut (Sutriyo et al. 2004).
Teknik
penyalutan
tersebut
dipilih
berdasarkan jenis penyalut yang digunakan,
yaitu maltodekstrin sedangkan metode
homogenisasi ini sudah banyak digunakan
secara sekala besar dalam industri farmasi
untuk membuat nanopartikel (Rainer et al.
2000). Homogenisasi dengan kecepatan
tinggi tersebut bertujuan untuk mengecilkan
ukuran dan dengan tumbukan cepat berkalikali menyebabkan terjadinya interaksi antara
penyalut
dan
propolis
yang
akan
mempermudah penyalutan.
Pembuatan nanopropolis tersalut diawali
dengan pembuatan penyalutnya terlebih
dahulu yaitu maltodekstrin yang telah
dilarutkan dengan air dan ditambahkan
magnesium stearat kemudian diaduk dengan
stirrer sampai tercampur lalu dihomogenisasi
pada kecepatan 22.000 rpm selama 30 menit.
Hasil
homogenisasi,
larutan
tersebut
dicampur dengan EEP 100% (ekstrak
propolis dan propilen glikol) yang telah
dilarutkan kembali dengan etanol 70% lalu
dihomogenisasi kembali pada kecepatan dan
suhu yang sama.
Keseragaman pencampuran menjadi
faktor penting dalam pembuatan enkapsulasi.
Campuran yang belum melarut dengan
sempurna akan menyebabkan bahan inti atau
komponen aktif tidak tersalut sempurna oleh
bahan penyalut. Selain itu, dalam penelitian
tentang mikrokapsulasi, Sutriyo et al. (2004)
mengungkapkan bahwa ukuran mikrokapsul
yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh
kecepatan dan lama pengadukan. Pengadukan
yang cepat akan menghasilkan ukuran
mikrokapsul
yang
kecil,
begitupun
sebaliknya. Kecepatan pengadukan yang
digunakan dalam penelitian ini 22.000 rpm.
Kecepatan tersebut jauh lebih tinggi dari
kecepatan yang digunakan pada penelitian
Sutriyo et al. (2004), yaitu 3000 rpm dengan
hasil distribusi ukuran partikel antara 425
sampai lebih besar dari 850 mikron.
Setelah homogenisasi selesai, tahap
selanjutnya adalah teknik pengeringan.
Teknik pengeringan yang digunakan adalah
vacuum drying (pengeringan vakum). Alasan
pemilihan alat vacuum drying digunakan
untuk teknik penguapan pelarut karena
senyawa aktif propolis seperti flavonoid
sebagai antimikrob tidak tahan pada suhu

9

tinggi sehingga pada proses ini tidak akan
merusak komponen aktif propolis. Prinsip
teknik vacuum drying adalah dengan menarik
pelarut-pelarut
keluar
dari
campuran
menggunakan suhu sekitar 40°C pada kondisi
vakum.
Nanopropolis yang dihasilkan berbentuk
serbuk yang sangat kering, serbuk tersebut
masih kasar dan bergerombol. Pengeringan
menyebabkan air dalam gel akan menguap
sehingga memperkecil ukuran kapsul. Ikatan
hidrogen gel dengan air menjadi hilang dan
akan terbentuk ikatan hidrogen baru
antarkapsul. Hal tersebut berakibat pada
bergerombolnya beberapa kapsul ketika
sudah kering (Silva et al. 2006). Untuk
menghaluskan dan meratakan ukuran
digunakan HEM (High Energy milling)
dengan kecepatan ± 916 rpm dan frekuensi
28,8 Hz selama 15 menit. HEM memiliki
prinsip menghaluskan dengan 3 arah yaitu
vertikal, horizontal, dan rotasi. Bola besi
yang dimasukkan bersamaan dengan sampel
di
dalam
tabung
merupakan
alat
penggerusnya, dengan bobot sampel kurang
lebih setengahnya bobot bola. Serbuk yang
dihasilkan (Gambar 4) berwarna putih dan
halus.

A

B

terlihat tidak seragam (bentuknya tidak
simetris) dengan tepian yang kurang rata,
namun dengan persebaran yang sudah jelas
(tidak bergerombol). Hal ini serupa dengan
observasi SEM maltodekstrin (Gambar 7)
yang dihasilkan Anwar et al. (2004) dengan
bentuk partikel yang tidak seragam. Bentuk
yang tidak simetris ini disebabkan dari proses
keluarnya cairan dari campuran akibat
pengeringan sehingga bentuknya yang tidak
beraturan.
Pengambilan gambar diambil secara acak.
nanopropolis 1% dengan perbesaran 20.000x
dapat dilihat bahwa ukurannya masih belum
seragam, ukuran partikel terkecil yang masih
terukur sebesar 192 nm, 273 nm, dan masih
ada yang berukuran > 800 nm. Hasil untuk
nanopropolis 2% dengan perbesaran 10.000x
ukuran partikel terkecil yang masih terukur
sebesar 100 nm, 141 nm, 322 nm, dan > 700
nm. Pengambilan gambar dilakukan dengan
perbesaran yang berbeda, hal tersebut
dikarenakan pencarian gambar terpilih yang
terbaik yang dapat dilihat.
Pada penelitian ini distribusi ukuran
partikel tidak dianalisis secara khusus.
Namun, pengamatan secara acak, umumnya
distribusi ukuran dari kedua sampel (1% dan
2%) berada dalam kisaran 100 sampai lebih
besar dari 800 nanometer, dengan partikel
terbesar berada pada nanopropolis 1% yaitu
lebih besar dari 800 nm. Hasil ini sesuai
dengan Sutriyo et al. 2004 menyatakan
bahwa perbedaan distribusi ukuran partikel
dipengaruhi oleh jumlah penyalut yang
digunakan sebagai pembentuk dinding.

Gambar 4 Hasil serbuk nanopropolis. A)
nanopropolis 1% dan B)
nanopropolis 2%.
Karakterisasi SEM Nanopropolis
Karakterisasi dengan Scanning Electron
Microscopy
(SEM)
dilakukan
untuk
mengetahui
morfologi
dan
ukuran
nanopropolis tersalut. Sebelum sampel
dianalisis dengan SEM, terlebih dahulu
sampel dicoating. Sampel diletakkan pada
plat platinum yang memiliki dua sisi
kemudian dilapis dengan emas yang
berfungsi untuk menghasilkan interaksi
pancaran elektron pada sampel. Sampel yang
telah dilapisi diamati menggunakan SEM
dengan tegangan 7 kV dan pada kondisi
vakum.
Hasil observasi dengan SEM baik pada
nanopropolis 1% (Gambar 5) dan 2%
(Gambar 6), morfologi partikel sampel

Gambar 5 Morfologi SEM Nanopropolis 1%
perbesaran
20.000x.
Ukuran
nanopropolis yang tampak yaitu
192 nm dan 273 nm.

10

Gambar 6 Morfologi SEM Nanopropolis 2%
perbesaran
10.000x.
Ukuran
nanopropolis yang tampak yaitu
141 nm, 100 nm, dan 322 nm.

Gambar 7 Morfologi SEM maltodekstrin
perbesaran 200x (Anwar 2004).
Kondisi Fisik dan Bobot Badan Hewan
Coba (Pertumbuhan)
Terdapat beberapa persamaan dan
perbedaan fisik tikus yang terlihat pada saat
sebelum dan setelah pemberian perlakuan.
(Tabel 2) warna mata, tingkah laku, dan
warna urin terlihat sama pada saat sebelum
dan sesudah perlakuan, yaitu berwarna
merah, dengan tingkah laku normal, dan
warna urin kuning jernih. Tetapi terdapat
perbedaan pada feses yang dihasilkan pada
kelompok tikus yang telah diberi perlakaun
berwarna cokelat lebih tua dibandingkan
dengan yang tidak diberi perlakuan,
teksturnyapun lebih lunak, dan lebih berbau.
Pada saat masa adaptasi, tikus adaptasi
berpostur kecil dan lebih sedikit beraktifitas.
Berbeda dengan tikus setelah masa adaptasi
yang lebih aktif dan banyak beraktifitas
(Gambar 8).

Selama masa adaptasi semua tikus
mengalami kenaikan bobot badan (Gambar 9)
secara
keseluruhan
sebesar
52,26%
dibandingkan keadaan awal (bobot badan
tikus pada saat pertama kali). Rata-rata bobot
badan semua tikus pada awal masa adaptasi
sebesar 93,68 ± 6,83 gram sedangkan pada
akhir masa adaptasi bobot badan rata-ratanya
sebesar 142,64 ± 4,10 gram. Kenaikan bobot
badan ini terjadi pada semua tikus pada
masing-masing kelompok yang nantinya akan
diberi perlakuan berbeda. Berdasarkan uji
ANOVA dengan uji lanjut Duncan, kenaikan
bobot badan antara kelompok satu dengan
ke