Keefektifan Agens Antagonis dalam Pengendalian Rebah Kecambah Cabai Merah

KEEFEKT
EKTIFAN AGENS ANTAGONIS DALA
ALAM
PENGENDALI
ALIAN REBAH KECAMBAH CABAI
BAI MERAH

AGUS WAHID SALIM

DEPA
EPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
AN
FAKULTAS PERTANIAN
IN
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRACT
Effectiveness of Antagonist Agents in Controlling Red Pepper Damping Off


AW Salim and MS Sinaga
Department of Plant Protection
Faculty of Agricultural, Bogor Agricultural University, Bogor

One of the major problems during cultivating of chilli is antrachnose disease. The
cause of chili anthracnose can various as Colletotrichum acutatum,
C. gloeosporoides, and Gloeosporium piperatum. Pathogens can cause seed
decay, damping off, and anthracnose fruit rot. The objective of experiment is to
evaluate the effectiveness of several antagonist agents in controlling damping off
disease. The identification results show that the cause of anthracnose which can
be isolated from the seeds and chilies are Gloeosporium piperatum. Antagonist
agent Trichoderma harzianum (TH1), Gliocladium fimbriatum (G84), Bacillus
subtilis (B12), and Pseudomonas fluorescens (P1) can inhibited the growth of
pathogen colonies in vitro as 100%, 100%, 95.43%, and 39.83%. In the in vivo
test is known that isolates TH1, G84, B12, and P1 is very effective (100%) in the
controlling of chili damping off. Both of single treatment or combination
treatment antagonist agents were not different significantly to control the damping
off disease. The fourth of antagonist agents are very potential in controlling the
damping off disease of red pepper germination.

Key words: Gloeosporium piperatum, damping off, red pepper, antagonist agents.

ABSTRAK

AGUS WAHID SALIM. Keefektifan Agens Antagonis Dalam Pengendalian
Rebah Kecambah Cabai Merah. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA.
Salah satu permasalahan utama dalam budidaya cabai adalah penyakit antraknosa.
Penyebab antraknosa pada cabai dapat berbeda-beda seperti Colletotrichum
acutatum, C. gloeosporioides, dan Gloeosporium piperatum. Patogen dapat
menyebabkan busuk benih, rebah kecambah dan busuk buah antraknosa. Tujuan
utama dari percobaan ini adalah untuk mengkaji keefektifan beberapa agens
antagonis dalam mengendalikan penyakit rebah kecambah. Hasil identifikasi
menunjukkan bahwa penyebab antraknosa yang dapat diisolasi dari benih dan
buah cabai adalah Gloeosporium piperatum. Agens antagonis Trichoderma
harzianum (TH1), Gliocladium fimbriatum (G84), Bacillus subtilis (B12), dan
Pseudomonas fluorescens (P1) berturut-turut menghambat pertumbuhan koloni
patogen secara in vitro sebesar 100%, 100%, 95,43%, dan 39.83%. Pada uji
in vivo diketahui bahwa isolat TH1, G84, B12, dan P1 sangat efektif (100%)
dalam mengendalikan rebah kecambah cabai. Baik perlakuan tunggal maupun
perlakuan kombinasi agens antagonis tidak berbeda secara nyata dalam

mengendalikan penyakit rebah kecambah. Keempat agens antagonis sangat
potensial dalam mengendalikan penyakit rebah kecambah pada persemaian cabai
merah.
Kata kunci: Gloeosporium piperatum, rebah kecambah, cabai merah, agens
antagonis.

KEEFEKT
EKTIFAN AGENS ANTAGONIS DALA
ALAM
PENGENDALI
ALIAN REBAH KECAMBAH CABAI
BAI MERAH

AGUS WAHID SALIM
A34080012

Skripsi
sebagai salahh satu
s syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
na P

Pertanian
di Departemen Prot
roteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Pe
Bogor

DEPA
EPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
AN
FAKULTAS PERTANIAN
IN
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Judul Skripsi

: Keefektifan Agens Antagonis dalam Pengendalian Rebah
Kecambah Cabai Merah

Nama Mahasiswa : Agus Wahid Salim
NIM
: A34080012

Disetujui,
Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSc.
NIP. 19501125 197603 2 002

Diketahui,
Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi.
NIP. 19650621 198910 2 001

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Subang, Jawa Barat pada tanggal 11 November 1989.

Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Wahyudin
dan Ibu Yoyoh Nurasyiah.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 1
Jalan Cagak, Subang pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan
studinya di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi
kemahasiswaan, yaitu Unit Kegiatan Mahasiswa Lingkung Seni Sunda Gentra
Kaheman (2008), Forum Komunikasi Kulawarga Subang (FOKKUS)(2008),
Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) pada divisi Komunikasi
dan Informasi (2009-2010), International Association of Student in Agricultural
and Related Sciences (IAAS) pada departemen Science and Technology (20092010), dan pada departemen Project (2010-2012), pada tahun 2010, penulis
magang di PT Bumi Mas Eka Persada perkebunan jarak Cikarang, Bekasi, Jawa
Barat. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasardasar Perlindungan Tanaman (2011-2012) dan asisten praktikum mata kuliah
Dasar-dasar Proteksi Tanaman (2012).

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Keefektifan Agens Antagonis dalam Pengendalian Rebah Kecambah

Cabai Merah”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian
Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan,
Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor dari bulan Maret sampai
bulan Juli 2012.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, dukungan, dan bantuan dari
berbagai pihak, penulis tidak dapat berbuat maksimal dalam menyelesaikan
skripsi ini. Untuk itu dengan rasa tulus pada kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSc. selaku dosen pembimbing yang
senantiasa memberikan bimbingan, masukan, dan arahan kepada penulis;
2. Dr. Ir. Yayi Munara Kusumah, MSi. selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan arahan dan saran yang bermanfaat;
3. Ayahanda Wahyudin dan Ibunda Yoyoh Nurasiah yang tak henti-hentinya
memberi perhatian dan bantuan moril maupun spiritual, disetiap langkah,
gerak, dan ucapnya merupakan doa bagi penulis, serta kakak penulis Siti Nur
Hidayah;
4. Keluarga besar Ibu Kokom Komariah (alm) dan Ibu Asmi Anah yang selalu
memberikan doa dan dukungannya kepada penulis;
5. Sahabat seperjuangan Proteksi Tanaman, khususnya kepada Siti Syarah

Maesyaroh, Susanti, Anissa Nur Fajrina, Imam Khoiri, Ni Nengah Putri
Adyani, dan Hamdayanti;
6. Rekan kerja di Laboratorium Mikologi, Bapak Dadang Surachman, mba Dian
Safitri, Swinda, Mas Evan, Mba Dilla, Mba Riyana, Mba Ratna, dan Mba Ita;
7. Mahasiswa, dosen, staff, beserta laboran Departemen Proteksi Tanaman, serta
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk ke depannya. Akhir kata penulis serahkan skripsi ini dengan penuh rasa
bangga.
Bogor, September 2012
Agus Wahid Salim

vi

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................
DAFTAR TABEL


vi

................................................................................. viii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................

ix

DAFTAR LAMPIRAN

.....................................................................

x

.................................................................................

1

Latar Belakang .................................................................................
Tujuan Penelitian

.....................................................................
Manfaat Penelitian
.....................................................................

1
3
3

PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA

.....................................................................

4

Karakteristik Tanaman Cabai .........................................................
Budidaya Tanaman Cabai
.........................................................
Penyakit Antraknosa .....................................................................

Sebaran Penyakit .....................................................................
Daur Penyakit
.....................................................................
Gejala Penyakit Rebah Kecambah
.................................
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit .........
Pengendalian Penyakit .....................................................................
Pengendalian Hayati
.........................................................
Trichoderma harzianum .........................................................
Gliocladium spp. .....................................................................
Bacillus subtilis .....................................................................
Pseudomonas fluorescens
.............................................

4
4
6
6
6
7
7
8
8
9
10
11
11

BAHAN DAN METODE

.....................................................................

14

Waktu dan Tempat Penelitian .........................................................
Bahan Penelitian
.....................................................................
Metode Penelitian
.....................................................................
Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen
.....................
Uji Antagonisme in vitro .........................................................
Uji Keefektifan Agens Antagonis in vivo
.....................
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
.................................

14
14
14
14
15
16
18

HASIL DAN PEMBAHASAN

.........................................................

19

Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen
.................................
Uji Antagonisme in vitro
.........................................................
Uji Keefektifan Agens Antagonis in vivo
.................................

19
20
24

vii
KESIMPULAN DAN SARAN

........................................................

30

Kesimpulan
................................................................................
Saran ............................................................................................

30
30

DAFTAR PUSTAKA

....................................................................

31

LAMPIRAN ............................................................................................

35

viii

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Penghambatan secara in vitro (%) agens antagonis terhadap
pertumbuhan koloni G. piperatum ......................................................
2 Rerata daya kecambah (%), kejadian penyakit (%), tinggi kecambah

21

(mm), dan jumlah daun kecambah cabai pada 21 hsp agens antagonis
in vivo

..........................................................................................

26

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Hasil isolasi patogen pada media PDA ................................................

19

2 Uji antagonisme in vitro pada 1 hsp ....................................................

21

3 Uji antagonisme in vitro pada 10 hsp ..................................................

22

4 Gejala rebah kecambah pada uji keefektifan agens antagonis dengan
inokulasi Gloeosporium piperatum .....................................................

24

5 Patogen hasil reisolasi dari kecambah yang menunjukkan gejala
rebah kecambah ...................................................................................

25

6 Vigor kecambah pada 21 hsp.................................................................

28

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Vigor kecambah cabai pada uji keefektifan agens antagonis in vivo ....

36

2 Jari-jari pertumbuhan koloni patogen G. piperatum pada media PDA
termodifikasi .........................................................................................

37

3 Persen penghambatan pertumbuhan koloni G. piperatum oleh agens
antagonis ...............................................................................................

38

4 Hasil analisis ragam (ANOVA) uji antagonisme in vitro pada PDA…

38

5 Hasil analisis ragam (ANOVA) dari daya kecambah benih normal (%)
pada uji keefektifan agens antagonis in vivo .........................................

38

6 Hasil analisis ragam (ANOVA) dari kejadian penyakit rebah kecambah
(%) pada uji keefektifan agens antagonis in vivo................................... 39
7 Hasil analisis ragam (ANOVA) dari tinggi kecambah normal (mm)
pada uji keefektifan agens antagonis in vivo........................................... 39
8 Hasil analisis ragam (ANOVA) dari jumlah daun kecambah (helai)
pada uji keefektifan agens antagonis in vivo .......................................... 39

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan suatu komoditas sayuran
yang tidak dapat ditinggalkan masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
Selain memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, cabai telah menjadi bumbu
utama dalam masakan orang Indonesia, sehingga sangat potensial secara
ekonomis. Pemanfaatan cabai sebagai bumbu masak, bahan baku berbagai
industri makanan, minuman dan obat-obatan, serta pemasarannya dalam bentuk
segar dan olahan menambah pentingnya komoditas tersebut untuk diusahakan.
Produksi cabai besar di Indonesia pada tahun 2011, yaitu sebesar 888.852
ribu ton dengan luas area panen 121.063 ribu hektar, dan rerata produktivitas
sebesar 7.34 ton per hektar. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan produksi
sebesar 81.692 ribu ton (10.12%) dibandingkan produksi cabai besar pada tahun
2010. Kenaikan tersebut disebabkan oleh peningkatan produktivitas sebesar 0.76
ton per hektar (11.55%) dengan keadaan luas panen terjadi penurunan sebesar
1.692 ribu hektar (1.38%). Peningkatan produksi cabai besar tahun 2011,
berdasarkan presentase menurut wilayah peningkatan produksi di Pulau Jawa
sebesar 15.424 ribu ton (45.67%), sedangkan untuk luar Pulau Jawa
peningkatannya sebesar 66.268 ribu ton (54.33%) (BPS 2012).
Salah satu kendala dalam budidaya cabai merah ialah adanya penyakit
patek atau antraknosa. Di Indonesia penyakit antraknosa disebabkan oleh
Colletotrichum capsici dan C. gloeosporoides (Suryaningsih et al. 1996). Thaung
(2008), melaporkan bahwa cendawan Gloeosporium piperatum juga merupakan
petogen yang dapat menyebabkan penyakit antraknosa pada cabai merah. Yani
(2009), mengemukakan bahwa penyakit antraknosa yang disebabkan oleh
cendawan

Gloeosporium

piperatum,

Colletotrichum

gloeosporoides,

dan

C. capsici merupakan penyakit penting yang menyebabkan penurunan kuantitas
dan kualitas buah cabai di tempat penyimpanan, terutama pada saat kelembapan
tinggi. Kehilangan hasil di lapangan akibat penyakit antraknosa pada musim hujan

2
cukup tinggi yaitu mencapai 80%, sedangkan pada musim kemarau jauh lebih
rendah yaitu berkisar 20% sampai 35% (Widodo 2007).
Patogen antraknosa dapat terbawa benih dan menyebabkan busuk benih,
rebah kecambah, serta busuk buah antraknosa (Bailey et al. 1992). Serangan pada
benih menyebabkan kegagalan untuk berkecambah dan pada kecambah dapat
menimbulkan rebah kecambah (damping off). Serangan pada tanaman dewasa
menimbulkan mati pucuk (die back) dan infeksi lebih lanjut menyebabkan busuk
kering pada batang (Suryaningsih et al. 1996). Pada daun dan batang muda mulai
dari perkecambahan hingga pembungaan patogen tersebut dapat bersifat laten,
kemudian patogen dapat aktif menginfeksi pada tahapan tertentu, biasanya pada
buah yang mulai matang secara fisiologis (BPTS 1996). Selain itu, penyebab
antraknosa ini dapat mempertahankan diri pada sisa-sisa tanaman sakit dan
selanjutnya konidia disebarkan oleh angin, benih atau tanah (Semangun 2000).
Mukerji

dan

Garg

(2000),

menyatakan

bahwa

pada

umumnya

pengendalian penyakit antraknosa termasuk rebah kecambah pada cabai merah
masih bergantung kepada fungisida. Dampak penggunaan fungisida secara luas
dan terus menerus menyebabkan munculnya strain-strain cendawan yang tahan
terhadap fungisida, sehingga perlu konsep pengendalian secara terpadu. Pada
pengendalian penyakit secara terpadu budidaya tanaman sehat dan pengendalian
hayati diprioritaskan.
Saat ini taktik pengendalian hayati sudah mulai banyak diaplikasikan
untuk mengendalikan penyakit di lapangan. Whipps dan Lumsden (2001),
mengemukakan bahwa pengendalian hayati dengan introduksi agens antagonis
disamping dapat menghambat pertumbuhan patogen juga dapat meningkatkan
pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Introduksi agens antagonis dapat
dilakukan dengan menginokulasikan mikroba antagonis ke dalam jaringan
tanaman. Induksi ketahanan tanaman dengan menginokulasikan agens antagonis
berupa cendawan atau bakteri yang bersifat antagonis terhadap patogen tanaman
telah banyak dilaporkan. Agens antagonis yang banyak digunakan ialah
Trichoderma spp., Gliocladium spp., Fusarium non patogenik, dan bakteri gram
negatif Pseudomonas kelompok fluorescens (Sinaga et al. 1992). Istikorini
(2006), menyatakan bahwa Trichoderma spp. mampu menghambat pertumbuhan

3
cendawan patogen antraknosa melalui mekanisme antibiosis secara in vitro.
Sutariati et al. (2006), juga mengemukakan bahwa sebagian besar isolat
rizobakteri mampu memproduksi enzim ekstraseluler (kitinase, protease, dan
selulase), mensintesis senyawa HCN dan senyawa siderofor, serta melarutkan
fosfat, sehingga efektif dalam mengendalikan penyebab antraknosa.

Tujuan Penelitian
Percobaan ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat kefektifan beberapa
agens antagonis seperti dalam mengendalikan dan menekan kejadian penyakit
rebah kecambah pada cabai merah.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah diketahuinya
keefektifan beberapa agens antagonis dalam menekan pertumbuhan koloni
patogen, sehingga dapat dikembangkan sebagai metode pengendalian hayati untuk
menekan kejadian penyakit rebah kecambah pada persemaian cabai merah.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Tanaman Cabai
Tanaman cabai (Capsicum annum L.) tergolong divisi Magnoliophyta,
kelas Magnolipsida, ordo Solanales, Family Solanaceae, genus Capsicum.
Beberapa spesies Capsicum antara lain Capsicum annum L., C. Pubescens Ruiz
dan Pavon., C. frutescens L., C. chinensis Jacquin., dan C. pendulum Willdenow.
Spesies C. annum L. banyak dibudidayakan dan penting secara ekonomis. Spesies
ini mempunyai berbagai bentuk dan ukuran, meliputi rasa buah yang pedas dan
manis (BPTS 1996).
Rubatzky dan Yamaguchi (1997), mengemukakan bahwa sistem perakaran
cabai dangkal, diawali dengan akar tunggang (akar primer) kemudian tumbuh
akar rambut ke samping (akar lateral atau akar sekunder). Panjang akar primer
berkisar 35-50 cm dan akar lateral sekitar 35-45 cm. Akar lateral cepat
berkembang di dalam tanah dan menyebar pada kedalaman 10-15 cm. Batang
utama tegak, berkayu, dan bercabang banyak dengan tinggi sekitar 45-50 cm.
pembentukan kayu pada batang utama mulai terjadi pada umur 30 hari setelah
tanam (hst). Pada setiap ketiak daun akan tumbuh tunas baru yang dimulai pada
umur 10 hst. Tipe percabangan tegak atau menyebar tergantung spesiesnya. Daundaun tumbuh pada tunas samping secara berurutan, sedangkan pada batang utama
tersebut tersusun secara spiral. Tanaman cabai mempunyai tangkai daun panjang,
daun tunggal dengan helai daun berbentuk ovate atau lanceolate, agak kaku,
berwarna hijau muda sampai hijau gelap dengan tepi rata.

Budidaya Tanaman Cabai
Cabai merah dapat dibudidayakan di dataran rendah maupun di dataran
tinggi, di lahan sawah ataupun di lahan tegalan. Keberhasilan dalam budidaya
tanaman cabai, selain perlu dipenuhi persyaratan tumbuh pokok yaitu keadaan
iklim dan tanah yang cocok untuk tanaman cabai, juga teknik budidaya yang tepat
perlu diketahui. Agar mampu tumbuh dengan optimal, tanaman cabai merah
memerlukan kisaran suhu udara antara (18-27)oC. Suhu udara yang optimum

5
untuk pertumbuhan dan pembungaannya adalah antara (21-27)oC dan untuk
pembuahannya antara (15.5-21)oC. Suhu udara yang paling cocok untuk
pertumbuhan cabai merah rata-rata adalah 16oC pada malam hari, dan minimum
23oC pada siang hari. Cabai merah tidak menghendaki curah hujan yang tinggi
atau iklim yang basah, karena pada keadaan tersebut tanaman akan mudah
terserang penyakit, terutama yang disebabkan oleh cendawan. Curah hujan yang
baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah sekitar 600-1250 mm per tahun
(BPTS 1996).
Pertumbuhan tanaman cabai merah yang baik memerlukan mutu bibit
yang baik, dan untuk mendapatkan bibit yang baik, diperlukan benih yang baik
pula. Benih cabai merah yang baik dapat diperoleh dengan menyeleksi tanaman
cabai merah yang akan diambil buahnya untuk benih. Benih yang berasal dari
bagian tengah buah cabai yang telah matang penuh dapat menghasilkan tanaman
cabai yang berproduksi tinggi. Sebelum disemai, benih cabai sebaiknya direndam
dahulu dalam air panas (50oC) selama ± 1 jam untuk mempercepat
perkecambahan. Benih disemai di tempat yang telah disiapkan. Media persemaian
yang baik berupa campuran pupuk kandang yang telah matang dan tanah (1:1).
Benih disemai dengan jarak 5 cm x 5 cm, lubang tanam sedalam 0.5-1 cm,
kemudian ditutup dengan lapisan tanah yang halus, selanjutnya ditutup dengan
daun pisang atau plastik. Setelah benih berkecambah, tutup daun pisang atau
plastik dibuka. Perkecambahan yang baik perlu temperatur antara (24-28)oC,
sedangkan temperatur optimum untuk pertumbuhan bibit sampai dipindahkan ke
lapangan antara (22-25)oC (BPTS 1996).
Bibit atau tanaman cabai merah yang masih kecil tidak tahan terhadap
intensitas cahaya matahari yang tinggi. Oleh karena itu, tempat persemaian perlu
diberi atap plastik atau daun kelapa yang menghadap ke arah Timur. Atap ini
selain dapat melindungi bibit dari intensitas cahaya matahari yang tinggi dan
terpaan air hujan, juga dapat menjaga kelembaban tanah dan udara di persemaian
tersebut. Pemeliharaan bibit perlu dilakukan, air harus diberikan secukupnya,
karena air yang terlalu banyak akan membuat tanaman menjadi rentan terhadap
rebah kecambah (damping off). Penyiraman harus dilakukan pagi hari, supaya

6
daun tanaman dan permukaan tanah kering sebelum malam hari untuk mencegah
terjadinya rebah kecambah (BPTS 1996).

Penyakit Antraknosa
Penyakit antraknosa pada cabai yang dapat menyebabkan gejala rebah
kecambah di persemaian disebabkan oleh genus Colletotrichum, terdiri atas lima
spesies Colletotrichum gloeosporoides, C. capsici, C. dematium, C. cocodes, dan
C. acutatum. Cendawan Colletotrichum gloeosporoides merupakan cendawan
patogen penyebab antraknosa pada tanaman buah-buahan terutama di daerah
tropis seperti Indonesia (Kelemu et al. 1997). Di Indonesia cendawan
Colletotrichum yang paling banyak menyerang pertanaman cabai adalah
C. capsici dan C. gloeosporoides (Suryaningsih et al. 1996). Thaung (2008), juga
melaporkan bahwa cendawan Gloeosporium piperatum merupakan patogen yang
dapat menyebabkan penyakit antraknosa pada cabai merah di Myanmar.

Sebaran Penyakit
Akhir-akhir ini diketahui bahwa patogen antraknosa banyak ditemukan
menyerang pertanaman cabai di Indonesia. Hasil penelitian Widodo (2007),
menunjukkan bahwa penyakit antraknosa pada cabai di Bogor, Brebes, Bandung,
Pasir Sarongge, Payakumbuh, dan Mojokerto disebabkan oleh Colletotrichum
gloeosporoides dan C. acutatum. Populasi C. gloeosporoides di lapangan 5-6 kali
lebih banyak daripada populasi C. acutatum (Holliday 1980). Serangan cendawan
Colletotrichum capsici dan C. gloeosporoides itu membuat buah berwarna kuning
kecoklatan, mengerut, dan mengering (Suryaningsih et al. 1996).

Daur Penyakit
Cendawan antraknosa dapat menyerang daun dan batang, kemudian
menginfeksi buah cabai. Cendawan pada buah masuk ke dalam ruang benih dan
menginfeksi benih. Kemudian cendawan menginfeksi kecambah yang tumbuh
dari benih yang terinfeksi patogen. Cendawan hanya sedikit mengganggu tanaman
yang sedang tumbuh, tetapi menggunakan tanaman ini untuk bertahan sampai

7
terbentuknya buah matang secara fisiologis. Selain itu patogen dapat
mempertahankan diri pada sisa-sisa tanaman sakit. Selanjutnya konidia
disebarkan oleh angin, benih atau tanah (Semangun 2000). Menurut

Agrios

(2005), patogen dapat terbawa benih dan mampu bertahan pada sisa tanaman,
bersifat laten, dan sewaktu-waktu dapat aktif menginfeksi pada buah.

Gejala Penyakit Rebah Kecambah
Kehilangan hasil buah cabai merah yang disebabkan penyakit antraknosa
ini bervariasi antara 21%-65%. Terdapat cendawan dominan yang dapat
menyebabkan penyakit antraknosa pada cabai merah. Gejala penyakit ini berupa
bercak kecil pada buah cabai. Selama musim hujan bercak ini berkembang cepat,
bahkan pada lingkungan kondusif penyakit ini dapat menghancurkan seluruh areal
pertanaman cabai (Syukur 2007).
Serangan pada benih menyebabkan kegagalan untuk berkecambah dan
pada kecambah dapat menimbulkan rebah kecambah (damping off). Serangan
pada tanaman dewasa menimbulkan mati pucuk (die back) dan infeksi lebih lanjut
menyebabkan busuk kering pada batang (Suryaningsih et al. 1996). Pada daun
dan batang muda mulai dari perkecambahan hingga pembungaan patogen tersebut
dapat bersifat laten, kemungkinan patogen dapat aktif menginfeksi pada tahapan
tertentu, biasanya pada buah yang mulai matang secara fisiologis (BPTS 1996).

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit
Wharton dan Uribeondo (2004), mengemukakan bahwa kondisi yang
optimal untuk perkembangan penyakit antraknosa yaitu pada kelembaban relatif
(RH) 95%. Kondisi tersebut dapat membantu mempercepat infeksi dan
perkembangan penyakit selanjutnya. Suhu optimum untuk perkembangan patogen
yaitu 25oC sampai 30oC. Sehingga pada musim penghujan serangan penyakit
menjadi lebih tinggi daripada musim kemarau.

8

Pengendalian Penyakit
Pengendalian terpadu lebih diutamakan dalam memperoleh hasil maksimal
yaitu penerapan pengendalian secara kultur teknis, mekanis atau fisik, biologi,
genetika dan kimia. Strategi utama dalam mengendalikan penyakit ini antara lain
adalah dengan menggunakan benih tanaman yang sehat, menghindari terjadinya
luka, meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah, dan pengendalian
kimiawi dengan produk sistemik (Agrios 2005). Sinaga (2004), mengemukakan
bahwa prinsip pengendalian penyakit secara tradisional yaitu penghindaran,
eksklusi, eradikasi, proteksi, resistensi, dan terapi tetap dimanfaatkan untuk
digunakan menjadi taktik-taktik pengendalian dalam penyusunan suatu stategi
pengendalian yang holistik.

Pengendalian Hayati
Pengendalian yang selalu dilakukan petani untuk menyelamatkan
tanamannya yaitu dengan menggunakan pestisida senyawa kimia sintetis.
Pestisida yang digunakan selain tidak khas terhadap spesies patogen tular tanah,
juga belum tentu mampu mencapai lokasi patogen, kegagalan pengendalian ini
didukung oleh kemampuan patogen dalam membentuk pertahanan diri serta
mempunyai kisaran inang yang luas. Berdasarkan ekobiologi umumnya patogen,
maka pengendalian hayati berpeluang baik untuk berhasil (Sinaga 2004).
Secara biologi dalam mengendalikan penyakit antraknosa adalah dengan
menggunakan agens antagonis Trichoderma spp., Gliocladium spp., Bacillus spp.,
dan Pseudomonas kelompok fluorescens (Sinaga et al. 1992). Mekanisme dari
agens biokontrol dalam melemahkan atau membunuh patogen tanaman adalah
dengan memparasit patogen secara langsung, memproduksi antibiotik (toksin),
kemampuannnya dalam kompetisi ruang dan nutrisi, memproduksi enzim untuk
melawan komponen sel patogen, dan menginduksi respon ketahanan tanaman,
serta memproduksi metabolisme tanaman dalam menstimulasi perkecambahan
spora patogen (Agrios 2005).

9
Sinaga

(2006),

mengemukakan

bahwa

aplikasi

agens

antagonis

menunjukkan inisiasi langsung dalam menekan inokulum patogen, mencegah
kolonisasi patogen, melindungi perkecambahan biji dan akar tanaman dari infeksi,
selain itu agens antagonis dapat langsung menghambat patogen dengan sekresi
antibiotik, berkompetisi terhadap ruang dan nutrisi, menginduksi proses ketahanan
tanaman, serta interaksi langsung dengan patogen. Interaksi yang terjadi berupa
hiperparasit, hiperpatogen melalui destruksi unit-unit propagatif (propagul) atau
biomassa, sehingga dapat mengurangi kepadatan inokulum dan aktivitas patogen.

Trichoderma harzianum
Cendawan Trichoderma harzianum merupakan cendawan yang termasuk
kelas Deuteromycetes. Agens antagonis T. harzianum memiliki aktivitas
antifungal yang tinggi karena dapat memproduksi enzim litik dan antibiotik
(antifungal). Selain itu, T. harzianum juga dapat berkompetisi dengan patogen dan
dapat memacu pertumbuhan tanaman. Pada umumnya, T. harzianum banyak
ditemukan di tanah hutan maupun tanah pertanian atau pada substrat berkayu.
Cendawan ini merupakan agens biokontrol yang dapat hidup dalam ekosistem
yang berbeda, dapat menyeimbangkan tanah, dan tidak berbahaya bagi organisme
bermanfaat lainnya (Amin et al. 2010).
Widyastuti (2006), mengemukakan bahwa saat berada pada kondisi kaya
akan kitin, T. harzianum memproduksi protein kitinolitik dan enzim kitinase.
Enzim ini berguna untuk meningkatkan keefektifan aktivitas biokontrol terhadap
patogen yang mengandung kitin. Mekanisme antagonis dari Trichoderma
terhadap berbagai patogen adalah (1) hiperparasitisme yaitu cendawan yang
mendapatkan nutrisi dari cendawan lainnya tanpa memberikan manfaat, (2)
antibiosis yaitu hubungan antara dua organisme yang dapat merugikan salah satu
organisme, biasanya salah satu organisme memproduksi toksik, (3) kompetisi
nutrisi atau ruang, (4) toleransi terhadap stres melalui peningkatan akar dan
perkembangan tanaman, (5) memproduksi senyawa yang bersifat memacu
pertumbuhan tanaman, (6) induksi resistensi, dan (7) lisis.

10
Morfologi secara mikroskopis untuk cendawan T. harzianum adalah
konidiofor hialin, bercabang banyak, fialid tunggal atau dengan kelompok,
konidia (phialospora) hialin, berwarna hijau, sel tunggal, oval, biasanya mudah
dikenali dengan pertumbuhannya yang cepat, bersifat saprofitik di tanah atau pada
kayu, beberapa spesies dilaporkan bersifat parasit pada cendawan lain
(Barnett dan Hunter 1998). Klamidospora berwarna cokelat kebulatan
(Watanabe 2002). Produk T. harzianum dapat mengontrol penyebab penyakit
rebah kecambah

atau penyakit pada akar tanaman hias dan bibit pohon

kehutanan, dan dapat diaplikasikan pada benih untuk mengendalikan rebah
kecambah (Whipps dan Lumsden 2001).

Gliocladium spp.
Cendawan Gliocladium spp. dapat mengendalikan beberapa patogen tular
tanah. Cendawan tersebut dapat mengolonisasi mikroba patogen, sehingga
mikroba patogen tidak dapat berkembang. Agens biokontrol Gliocladium spp.
merupakan cendawan antagonis yang memiliki mekanisme hiperparasitisme dan
dapat memproduksi bahan antifungi.

Bahan antifungi

yang dihasilkan

Gliocladium spp. berupa antibiotik gliotoksin dan viridin yang dapat menekan
perkembangan mikroba lain (Whipps dan Lumsden 2001).
Menurut Watanabe (2002), morfologi secara mikroskopis untuk cendawan
Gliocladium adalah konidiofor hialin, tegak lurus, sederhana atau bercabang
berlawanan atau verticillately, terutama pada metula, septat, massa konidia fialid
pada cabang apikal. Konidia hijau muda, massa hijau tua, elips atau kebulatan, sel
tunggal. Klamidospora bulat atau kebulatan. Produk Gliocladium virens telah
muncul di pasar dalam dua formulasi, GlioGardTM, dan SoilGardTM. Produk ini
ditargetkan untuk mengendalikan penyakit rebah kecambah pada sayuran dan
bibit tanaman hias yang disebabkan Rhizoctonia solani dan Pythium spp. Aplikasi
hanya terbatas pada rumah kaca atau penggunaan wadah interior (Whipps dan
Lumsden 2001).

11
Bacillus subtilis
Mikroba agens antagonis yang saat ini diketahui mempunyai potensi
sebagai pengendali penyakit antraknosa pada cabai ialah Bacillus subtilis. Bakteri
Bacillus subtilis bersifat antagonis terhadap penyakit tanaman yang disebabkan
oleh bakteri atau cendawan, ditemukan di lingkungan tanah perkebunan bawang
dan cabai. Bakteri ini menghasilkan antibiotik, diantaranya polymixin, difficidin,
subtillin, dan mycobacillin yang mempunyai aktivitas fungisida dan digunakan
sebagai agens biokontrol (Earl et al. 2008).
Bakteri B. subtilis memiliki kemampuan sebagai agens antagonis terhadap
cendawan patogen secara in vitro karena mampu memproduksi zat aktif sebagai
antifungi yang merupakan isomer dari senyawa iturin-A, diprodukasi secara
ekstraseluler, stabil terhadap suhu panas, dan tidak larut dalam air maupun asam
lemah. Senyawa iturin-A merupakan senyawa amina yang dapat mencegah
sporulasi, menghambat pada tahap awal pertumbuhan cendawan patogen,
sehingga konidia tidak terbentuk dan pada akhirnya pertumbuhan miselium
menjadi steril (Gunawan 2005).
Di bagian proteksi Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang,
Bacillus subtilis telah dibuat dalam bentuk formulasi biopestisida dengan nama Bs
001 50 WP. Berdasarkan penelitian Gunawan (2005), formulasi biopestisida Bs
001 50 WP berpotensi menekan intensitas penyakit antraknosa sebesar 2.67%
tidak berbeda nyata dengan perlakuan fungisida kimia Bi 1/48 WP sebesar 2.07%.
Hal ini memberikan indikasi bahwa formula Bs 001 50 WP dapat digunakan
sebagai biofungisida yang memiliki daya pengendalian penyakit antraknosa setara
dengan fungisida kimia.

Pseudomonas fluorescens
Ciri-ciri bakteri genus Pseudomonas antara lain berbentuk bulat panjang
atau batang, sebagian besar bersifat mobil dengan flagella monotrikus, politrikus
atau lopotrikus dan hampir semuanya gram negatif dan bersifat aerobik (Suharno
2001).

12
Bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens juga dapat menghasilkan
metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraselluler
yang bersifat antagonis melawan patogen. Metabolit-metabolit tersebut berguna
untuk memacu pertumbuhan tanaman (Hasanuddin 2003). Siderofor dapat
menekan perkembangan patogen secara aktif dalam persaingan besi (Fe) karena
senyawa ini memiliki berat molekul rendah dengan affinitas yang sangat kuat
terhadap

Fe

(III).

Beberapa

penelitian

menunjukkan

bahwa

siderofor

berpendarfluor kuning kehijauan yang dihasilkan oleh pseudomonad pendarfluor
disebut

sebagai

pseudobactin

bermanfaat

untuk

pertumbuhan

tanaman

(Maleki et al. 2010).
Bakteri antagonis P. fluorescens merupakan salah satu golongan PGPR
yang memiliki mekanisme biokontrol yang melibatkan produksi antibiotik berupa
phenazine-1-carboxyclic acid, 2,4-diacetyl phloroglucinol, oomycin, pyoluteorin,
pyrrolnitrin, kanosamine, zwittermycin-A, dan pantocin A (Fernando et al. 2005).
Antagonisme bersifat kompetisi dan lisis. Kompetisi terjadi dalam pemanfaatan
nutrisi dan ruang tumbuh, sedangkan lisis ditunjukkan dengan zona bening pada
media tumbuh uji (Anik 2001). Beberapa strain dari P. fluorescens dapat menekan
penyakit pada tanaman serta melindungi benih dan akar dari serangan cendawan
tular tanah dan bakteri patogen (Corbell dan Loper 1995).
Agens biokontrol Pseudomonas fluorescens agak spesifik mengenai
kemampuannya

untuk

melindungi

tanaman

dari

patogen

tular

tanah.

Bakteri antagonis P. flourescens termasuk kedalam bakteri yang dapat ditemukan
dimana saja (ubiquitous), seringkali ditemukan pada bagian tanaman (permukaan
daun dan akar), dan sisa tanaman yang membusuk, serta pada tanah dan air
(Couillerot et al. 2008).
Bakteri Pseudomonas fluorescens mampu memproduksi zat antibiotik
serin yang dapat menghambat pertumbuhan ganggang berbahaya di lingkungan
laut. Zat antibiotik tersebut digunakan P. fluorescens dalam mekanisme lisis untuk
menghancurkan sel ganggang. Bakteri P. fluorescens memainkan peran penting
dalam melindungi tanaman dari penyakit tular tanah. Strain dari P. fluorescens
dikenal dapat menghasilkan zat antifungi untuk mengendalikan cendawan patogen
tanaman seperti Rhizoctonia solani, oryzae Pyricularia, Monilinia fructicola,

13
Botrytis cinerea, Altenaria kikuchiana, Fusarium oxysporum, F. solani, dan
Phytophthora capsici (Kim et al. 2007).
Widodo et al. (1993), melaporkan bahwa Pseudomonas fluorescens
memiliki kelebihan dibandingkan bakteri lain, karena bakteri ini memiliki proses
metabolisme yang sederhana sehingga dapat langsung menuju substrat yang
dikeluarkan oleh tanaman dan memiliki siklus hidup yang pendek. Sifat-sifat yang
dimiliki

oleh

P.

fluorescens

diantaranya

adalah

mampu

mendominasi

pemanfaatan eksudat yang dikeluarkan oleh akar, dapat berkembangbiak dengan
cepat, serta mampu mengkoloni daerah perakaran.

14

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Percobaan dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Juli 2012 di
Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan berupa isolat cendawan
antagonis hasil eksplorasi Prof. Meity Suradji Sinaga, yaitu Trichoderma
harzianum (TH1), dan Gliocladium fimbriatum (G84), sedangkan isolat bakteri
antagonis merupakan hasil penelitian dan eksplorasi Dr. Abdjad Asih Nawangsih,
yaitu Pseudomonas fluorescens (P1), dan Bacillus subtilis (B12). Isolat cendawan
patogen hasil isolasi dari buah dan benih cabai yang terinfeksi antraknosa, benih
cabai besar varietas GELORA dengan merk dagang CAP MUTIARA BUMI, air
steril, media Nutrient Agar (NA), media Potato Dextrose Agar (PDA), media
Nutrient Broth (NB), NaOCl 1%, kompos steril, dan tanah steril.

Metode Penelitian
Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen
Penyebab antraknosa diisolasi dari bagian buah dan benih cabai yang
menunjukkan gejala penyakit antraknosa. Potongan buah cabai sakit (0.5 x 0.5)
cm2 ditumbuhkan pada media PDA dalam cawan petri. Koloni patogen yang
tumbuh dimurnikan pada media PDA yang telah diberi kloramphenicol. Patogen
yang sudah murni kemudian diidentifikasi di bawah compound microscope
(perbesaran 400x) dengan melihat aservulus, penciri hifa, percabangan, ukuran,
dan bentuk konidianya serta keberadaan setae. Selanjutnya patogen disimpan
untuk digunakan pada uji antagonisme in vitro dan uji keefektifan agens antagonis
in vivo.

15
Uji Antagonisme in vitro
Uji antagonisme in vitro antara agens antagonis dengan patogen dilakukan
dengan menggunakan metode uji ganda pada media PDA. Agens antagonis
Trichoderma harzianum (TH1), Gliocladium fimbriatum (G84), Bacillus subtilis
(B12), dan Pseudomonas fluorescens (P1) diinokulasikan pada media PDA
termodifikasi dengan jarak 3 cm dari koloni cendawan patogen. Tiap perlakuan
dilakukan sebanyak 3 ulangan. Pengamatan dilakukan dengan mengukur jari-jari
koloni cendawan patogen yang menjauhi koloni agens antagonis (R1) dan jari-jari
koloni cendawan patogen yang mendekati agens antagonis (R2), serta menghitung
penghambatan agens antagonis (H). Pengamatan dimulai 24 jam setelah kedua
isolat uji diinokulasikan sampai hari kesepuluh setelah perlakuan.
Keterangan :

R1 P

R2 A

3 cm

3 cm

P

: Koloni cendawan patogen

A

: Koloni cendawan antagonis

R1 : Jari-jari koloni patogen yang menjauhi koloni
cendawan antagonis (mm)
R2 : Jari-jari koloni patogen yang mendekati koloni
cendawan antagonis (mm)

Kemampuan Penghambatan
Besarnya pengaruh penghambatan agens antagonis terhadap patogen
dihitung dengan menggunakan rumus persentase:
H =

(R1-R2)

x 100%

R1

Keterangan :
H

:

Persentase penghambatan agens antagonis (%)

R1 :

Jari-jari koloni patogen yang menjauhi koloni agens antagonis (mm)

R2 :

Jari-jari koloni patogen yang mendekati koloni agens antagonis (mm)

16
Catatan : bila koloni pertumbuhan patogen sudah tertutup oleh koloni agens
antagonis, maka dianggap persentase penghambatan agens antagonis
(H) = 100%.

Uji Keefektifan Agens Antagonis in vivo
Keefektifan penghambatan agens antagonis dilakukan secara in vivo pada
kecambah cabai merah. Media tanam yang digunakan dalam polibag adalah
kompos dan tanah steril (1:6). Uji keefektifan agens antagonis in vivo meliputi
faktor dengan inokulasi dan tanpa inokulasi patogen. Perlakuan tunggal meliputi
perlakuan kontrol (K), Trichoderma harzianum (TH1), Gliocladium fimbriatum
(G84), Bacillus subtilis (B12), dan Pseudomonas fluorescens (P1), sedangkan
perlakuan kombinasi meliputi (THB12), (THP1), (G84B12), (G84P1), (THG84),
dan (B12P1). Setiap perlakuan dilakukan sebanyak 5 ulangan.
Aplikasi agens antagonis dilakukan melalui penyiraman suspensi langsung
ke lubang tanam dan dengan perendaman benih dalam suspensi agens antagonis.
Penyiraman suspensi dilakukan pada agens antagonis golongan cendawan yaitu
Trichoderma harzianum (TH1) dan Gliocladium fimbriatum (G84), sedangkan
perendaman benih dilakukan pada agens antagonis golongan bakteri yaitu
Bacillus subtilis (B12) dan Pseudomonas fluorescens (P1). Suspensi agens
antagonis golongan cendawan didapatkan dari hasil peremajaan biakan antagonis
selama 7 hari. Biakan dalam cawan petri yang berumur 7 hari ditambahkan air
steril sebanyak 10 ml kemudian digerus menggunakan spatula. Hasil gerusan
diambil sebanyak 1 ml untuk dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml
air steril dengan menggunakan pipet volumetrik. Sebelum diaplikasikan jumlah
konidia cendawan dihitung menggunakan haemasitometer, dan didapatkan hasil
1.18 x 107 konidia/ml untuk Gliocladium fimbriatum dan 1.23 x 107 konidia/ml
untuk Trichoderma harzianum. Suspensi cendawan antagonis diaplikasikan
langsung ke dalam lubang tanam.
Suspensi bakteri agens antagonis didapatkan dengan mengkulturkan
biakan bakteri ke dalam media Nutrient Broad (NB) dan dishaker selama 24 jam
pada 100 rpm, kemudian dilakukan pengenceran berseri sampai tingkat

17
pengenceran 10-8. Hasil pengenceran kemudian dilakukan plating untuk dihitung
jumlah koloni pada tiap pengencerannya, dan didapatkan hasil untuk Bacillus
subtilis sebanyak 1.85 x 109 CFU pada pengenceran 10-6 dengan kerapatan optik
(OD) sebesar 0.61, sedangkan untuk Pseudomonas fluorescens dengan kerapatan
optik 0.75 didapatkan hasil sebanyak 1.12 x 109 CFU pada pengenceran 10-5.
Kerapatan optik (optical dencity) pada setiap isolat bakteri antagonis ditentukan
dengan menggunakan spectrophotometer pada panjang gelombang 600 nm.
Aplikasi perendaman benih pada pengenceran yang telah ditentukan dan
diketahui banyaknya koloni bakteri per unit, suspensi bakteri tersebut dituangkan
ke dalam cawan petri yang telah berisi benih cabai dan ditunggu selama ± 1 jam
untuk selanjutnya ditanam ke polibag dengan menanam 3 benih untuk masingmasing polibag. Perlakuan K, TH1, dan G84 dilakukan perendaman hanya pada
air steril agar tidak terkontaminasi bakteri antagonis yang digunakan. Hal ini
dilakukan karena perendaman benih berhubungan dengan budidaya cabai, yaitu
untuk membantu terjadinya perkecambahan benih, benih cabai harus direndam
terlebih dahulu dalam air sebelum di tanam.
Air steril sebanyak 10 ml dituangkan ke dalam biakan patogen kemudian
digerus dengan menggunakan spatula. Hasil gerusan diambil sebanyak 1 ml dan
dimasukan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml air steril. Suspensi patogen
hasil peremajaan selama 7 hari kemudian dihitung kerapatan konidianya dengan
menggunakan haemasitometer. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kerapatan
konidia patogen sebanyak 2.5 x 105 konidia/ml. Inokulasi patogen dilakukan
dengan penyiraman suspensi ke kecambah cabai pada hari ke 5 setelah aplikasi
agens antagonis. Benih cabai dipelihara selama 21 hari, dan dilakukan
pengamatan pada 6 hari setelah perlakuan (hsp) agens antagonis atau 1 hsp
patogen dengan peubah yang diamati adalah daya kecambah benih, kejadian
penyakit, tinggi kecambah, jumlah daun, dan vigor tanaman.
Kejadian penyakit (intensitas penyakit) dapat ditentukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
KP =

n
N

x 100%

18
Keterangan:
KP

: Kejadian penyakit (%)

n

: Jumlah kecambah yang sakit

N

: Jumlah kecambah yang diamati
Kecambah yang menunjukkan gejala rebah kecambah direisolasi untuk

diidentifikasi lebih lanjut mengenai patogen yang menyebabkan rebah pada
kecambah.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada uji antagonisme in vitro adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak
3 ulangan, sehingga terdapat 12 unit percobaan untuk uji antagonisme in vitro.
Rancangan percobaan yang digunakan pada uji keefektifan agens antagonis
in vivo adalah rancangan Faktorial RAL 11x2 dengan 2 faktor (faktor dengan
inokulasi patogen dan faktor tanpa inokulasi patogen). Masing-masing perlakuan
dilakukan sebanyak 5 ulangan, sehingga terdapat 110 unit percobaan. Data yang
diperoleh dianalisis dengan Microsoft Office Excel 2007 dan analisis ragam
(ANOVA) menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.3.
Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan uji Duncan pada taraf
α=5% (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

19

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isol dan Identifikasi Cendawan Patogen
Isolasi
Pada buah dan benih cabai yang menunjukkan gejala antr
ntraknosa berhasil
diisolasi cendawann Gloeosporium sp. (identifikasi sementara)
ra). Hasil isolasi
menunjukkan koloni
oni cendawan yang berwarna putih keabuan
buan pada awalnya
kemudian berkemban
bang menjadi abu-abu tua, yang membentuk
uk konidia
koni
silindrik
setae.
dengan ujung membul
bulat (Gambar 1), dan aservuli tidak disertai keberadaan
ke
A

B

C

D

Gambar 1 Hasil isola
olasi patogen pada media PDA: (A) Buah Caba
bai yang terinfeksi
antraknos
knosa; (B) Koloni Gloeosporium sp.;
p.; (C) Konidia
Gloeospor
porium sp.; dan (D) Konidiofor Gloeosporium sp.
Nampak aservul
ervulus (Gambar 1A) sebagai tempat terbentukn
ntuknya konidiofor
dengan konidia yang
ng menempel pada ujungnya. Aservulus ini
ni terbentuk
t
seperti
cawan, dengan hasil
il pengukuran panjang dan lebar konidia rata-rrata (15.3-18.6 x
5-6)

m2, kumpulan
an konidia berwarna jingga atau merah jam
mbu gelap. Hasil

identifikasi berdasarka
rkan Barnet dan Hunter (1998), menunjukkan
ukkan bahwa patogen
adalah Gloeosporium
ium piperatum dan hasil identifikasi ini
ni diperkuat oleh
Kirk et al. (2001)
2001), yang mengemukakan bahwa karakter
eristik morfologi
Gloeosporium piperat
peratum mirip dengan karakteristik morfologi
ogi Colletotrichum
gloeosporoides bahw
hwa koloni berwarna putih keabuan sampa
pai abu-abu tua,
sedangkan koloni C.. acutatum
ac
berwarna orange muda sampai abu
bu-abu. Perbedaan

20
utama pada genus Colletotrichum dan Gloeosporium terletak pada keberadaan
setae.
Rahayu (1994), mengemukakan bahwa pada genus Colletotrichum
terdapat setae pada aservulus, sedangkan pada genus Gloeosporium tidak terdapat
setae pada aservulus. Menurut Rumahlewang (2008) dan Hanlin (1989), konidia
Gloeosporium piperatum hialin, bersel satu, bentuk konidia silindrik ujung
membulat dengan panjang dan lebar konidia (15.5-18.6 x 5.4-6) m2, sedangkan
bentuk konidia C. acutatum silindrik dengan ujung meruncing serta memiliki
panjang dan lebar konidia (8.5-10 x 4.5-6) µm2.
Identifikasi

berdasarkan

metode

konvensional

atau

berdasarkan

karakteristik morfologi memang cukup sulit untuk membedakan Gloeosporium
piperatum dan Colletotrichum gloeosporoides (Freeman et al. 1998), sehingga
hanya dilakukan identifikasi sementara. Identifikasi patogen tidak dilakukan lebih
lanjut dengan menggunakan metode identifikasi molekuler karena percobaan ini
tidak difokuskan pada identifikasi patogen penyebab rebah kecambah, namun
difokuskan pada pengendalian rebah kecambah pada cabai merah.
Biakan murni patogen terus diremajakan untuk digunakan pada uji
antagonisme in vitro dan uji keefektifan agens antagonis in vivo.

Uji Antagonisme in vitro
Dalam pengujian antagonisme in vitro dengan menggunakan media PDA,
patogen Gloeosporium piperatum diinokulasikan bersamaan dengan inokulasi
agens antagonis. Pengamatan dilakukan mulai dari 24 jam setelah inokulasi
hingga 10 hari setelah perlakuan (hsp) kedua koloni dengan mengukur jari-jari
koloni patogen G. piperatum yang menjauhi koloni agens antagonis (R1) dan jarijari koloni patogen G. piperatum yang mendekati koloni agens antagonis (R2). Uji
antagonisme in vitro beberapa agens antagonis menunjukkan kemampuan
penghambatan yang beragam terhadap pertumbuhan dan perkembangan koloni
Gloesoporium piperatum dan disajikan pada tabel 1.

21
Tabel 1 Penghambata
atan secara in vitro (%) agens antagonis terhada
adap pertumbuhan
koloni G.. piperatum
pipe
Perlakuan
Penghambat
atan (%) a
TH1 (Trichodermaa harzianum)
har
100.000 a
G84 (Gliocladium fimbriatum)
fim
100.000 a
B12 (Bacillus subtili
95.433 b
ubtilis)
P1 (Pseudomonas fluor
39.833 c
fluorescens)
a

Angka yang diikuti hu
huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidakk be
berbeda nyata (uji
selang ganda Duncan
an 5%).
5

Hasil sidikk ragam menunjukkan bahwa perlakuan agens
a
antagonis
berpengaruh nyata menghambat
m
patogen Gloeosporium piperat
ratum. Persentase
penghambatan pertum
umbuhan koloni G. piperatum oleh isolat TH1
H1 dan G84 tidak
berbeda nyata. Baikk isolat
i
TH1 maupun G84 mampu menghambbat G. piperatum
secara cepat (3-5 hari)
har dengan keefektifan penghambatan sebesa
sar 100%. Hal ini
didukung oleh hasill pe
penelitian Ajith dan Laksmidevi (2010), serta
ta Sreekanth et al.
(2011), yang melapor
porkan bahwa Trichoderma spp. dan Gliocladi
ladium spp. dapat
menekan aktivitas pa
patogen pada tanaman pertanian terutama patogen
pato
antraknosa
pada cabai karena dapa
apat menghasilkan antibiotik trichoderminn dan gliotoksin.
Pada hari pertama
pe
nampak perkembangan koloni agens
gens antagonis uji
belum menghambatt koloni
kol
cendawan G. piperatum secara nyata.. Masing-masing
isolat uji dalam uji ga
ganda memiliki diameter koloni yang beragam
m (Gambar 2).
A

B

C

D

E

gonisme in vitro pada 1 hsp: (A) Kontrol (isola
olat G. piperatum);
Gambar 2 Uji antagoni
(B) Isolat
olat TH1; (C) Isolat G84; (D) Isolat B12; dann (E
(E) Isolat P1

22
Koloni agens
ns antagonis Trichoderma harzianum (TH1)
1) dan
d Gliocladium
fimbriatum (G84) menunjukkan
me
pertumbuhan yang cepat dan hampir
ha
mendekati
koloni patogen. Pert
rtumbuhan diameter koloni tercepat ditunjukka
unjukkan oleh isolat
G84 yaitu ±25 mm,, ssedangk