Analysis of Antibiotic Residue in Imported Beef through Tanjung Priok Port

ANALISIS RESIDU ANTIBIOTIKA DALAM
DAGING SAPI YANG DIIMPOR MELALUI
PELABUHAN TANJUNG PRIOK

MADE ARY ANGGRENI SARASWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Residu Antibiotika
dalam Daging Sapi yang Diimpor Melalui Pelabuhan Tanjung Priok adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.


Bogor,

Mei 2012

Made Ary Anggreni Saraswati
NRP B251100124

ABSTRACT
MADE ARY ANGGRENI SARASWATI. Analysis of Antibiotic Residue in
Imported Beef through Tanjung Priok Port. Under direction of HADRI LATIF
and HERWIN PISESTYANI
Antibiotics are natural products of a microorganism, identical synthetic
products or similar semi synthetic products that inhibit the growth of or destroy
microorganisms. In veterinary medicine antibiotics are used for therapeutic,
prophylactic, metaphylactic and nutritive purposes. The presence of antibiotics or
their metabolites in food is potentially hazardous to health as it may cause allergic
reactions in people and antibiotic resistance in pathogenic microorganisms. In
addition antibiotics may influence starter cultures in food industry and lead to
economic damage.
The aims of this research were to detect antibiotic residue in imported beef

and to analyze the effectivenes of rapid test as screening method to detect
antibiotic residue in imported beef as a part of quarantine inspection. Samples size
was calculated using detect disease formula and selected by random sampling.
Datas regarding the proportion of antibiotic positive samples were analyzed
descriptively. Rapid test showed that, 24 of the 70 samples (34.29%) contained
antibiotic residue, while 17 (24.29%) samples contained antibiotic residue
detected by using bioassay. Bioassay showed that samples contained beta lactams,
tetracycline, macrolide, and aminoglycoside.
Keywords : antibiotic, residue, imported beef , rapid test , bioassay.

RINGKASAN
MADE ARY ANGGRENI SARASWATI. Analisis Residu Antibiotika dalam
Daging Sapi yang Diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Dibimbing oleh
HADRI LATIF dan HERWIN PISESTYANI

Daging merupakan produk pangan asal hewan yang dibutuhkan manusia
sebagai sumber protein hewani, namun pangan asal hewan dapat terkontaminasi
oleh bahaya biologis, kimiawi, atau fisik yang dapat mengakibatkan foodborne
disease. Oleh karena itu, keamanan pangan asal hewan dan produknya merupakan
persyaratan mutlak yang perlu mendapat perhatian, karena berkaitan dengan

kesehatan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi, Indonesia masih
mengimpor daging yang berasal dari Australia dan Selandia Baru. Daging impor
ini berisiko mengandung residu antibiotika karena negara asal masih
menggunakan antibiotika dalam hal pengobatan dan terapi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotika
dalam daging sapi impor, sebagai bagian dari tindak karantina di tempat
pemasukan selain itu, untuk mengetahui efektifitas dan daya kerja rapid test
sebagai uji tapis dalam mendeteksi residu antibiotika dalam daging sapi impor.
Jumlah sampel dihitung menggunakan rumus deteksi penyakit (detect disease)
yang ditetapkan oleh Martin et al. (1987). Pengujian dilakukan secara pararel
dengan menggunakan rapid test dan bioassay (SNI 2008). Data dari penelitian ini
dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui efektifitas rapid test sebagai uji tapis
untuk mendeteksi residu antibiotika dalam daging sapi impor.
Sebanyak 24 dari 70 sampel yang diuji (34.29%) menunjukkan hasil positif
dengan pengujian rapid test dan 17 (24.29 %) sampel menunjukkan adanya residu
antibiotika dengan bioassay. Hasil pengujian dengan bioassay memperlihatkan 14
sampel mengandung residu antibiotika golongan beta laktam, 12 sampel
mengandung residu tetrasiklin, 2 sampel mengandung residu makrolida dan 1
sampel mengandung residu aminoglikosida. Hasil pengujian bioassay
menunjukkan bahwa 1 sampel positif pada empat golongan antibiotika (beta

laktam, tetrasiklin, makrolida, dan aminoglikosida), 1 sampel menunjukkan positif
pada tiga golongan antibiotika (beta laktam, tetrasiklin, dan makrolida) dan 8
sampel positif pada 2 golongan antibiotika (beta laktam dan tetrasiklin). Luas
hambatan pertumbuhan yang terbentuk pada bioassay dibaca dengan
membandingkan kurva standar masing-masing golongan. Hasil yang diperoleh
memperlihatkan bahwa konsentrasi residu setiap golongan masih berada di bawah
batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan dalam SNI No. 01-6366-2000.
Penelitian ini memberikan gambaran bahwa daging sapi impor berisiko
mengandung residu antibiotika. Pengujian yang cepat, tepat, dan akurat
dibutuhkan dalam rangka pengawasan keamanan pangan. Sebagai pintu terdepan,
Badan Karantina Pertanian harus meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan
impor hewan dan produk hewan terutama dari aspek kesehatan masyarakat
veteriner. Untuk itu dibutuhkan pengujian yang cepat, tepat, dan akurat. Rapid test
yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu metode uji

tapis di tempat pemasukan dalam rangka menunjang kegiatan perkarantinaan di
Indonesia.
Kata kunci : antibiotika, residu, daging sapi impor, rapid test, bioassay

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS RESIDU ANTIBIOTIKA DALAM
DAGING SAPI YANG DIIMPOR MELALUI
PELABUHAN TANJUNG PRIOK

MADE ARY ANGGRENI SARASWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Judul Tesis

:

Nama
NIM

:
:

Analsis Residu Antibiotika dalam Daging Sapi yang
Diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok
Made Ary Anggreni Saraswati
B251100124


Disetujui
Komisi Pembimbing

drh. Herwin Pisestyani, M.Si
Anggota

Dr. drh. Hadri Latif, M.Si
Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


Tanggal Ujian : 29.05.2012

Tanggal Lulus :

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. drh. Mirnawati B Sudarwanto

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil
diselesaikan, walaupun harus melewati banyak rintangan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2011 sampai dengan April
2012 ini adalah Analisis Residu Antibiotika dalam Daging Sapi yang Diimpor
melalui Pelabuhan Tanjung Priok.
Penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada ibu Kepala Badan
Karantina Pertanian (Ir. Banun Harpini, M.Sc) beserta jajarannya yang telah
memberikan kesempatan penulis untuk menempuh pendidikan ini, bapak
Sekretaris Badan Karantina Pertanian (drh. Mulyanto, MM), dan bapak Kepala
Pusat Karantina Hewan Badan Karantina Pertanian (drh. Sujarwanto, MM) atas
arahan dan bimbingannya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada bapak
Dr. drh. Hadri Latif, M.Si dan ibu drh. Herwin Pisestyani, M.Si selaku komisi

pembimbing atas segala dukungan, bimbingan, dan arahan terhadap penelitian dan
penulisan tesis. Penulis sampaikan terima kasih kepada bapak Dr. drh. Denny
Widaya Lukman, M.Si selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
Veteriner, bapak drh. Chaerul Basri, M.Epid selaku side Manajer Program Studi
kelas khusus karantina hewan, Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto selaku
penguji luar komisi, serta bapak Agus Haryanto S.E yang telah membantu
kelancaran studi ini. Selain itu, terima kasih juga penulis ucapkan kepada bapak
drh. Maton Hernowo (Kepala SKP Kelas I Sumbawa Besar), bapak drh. Agus
Sunanto, M.P (Kepala BBKP Tanjung Priok), bapak drh. Saiful Muhtadin, M.M
(Kepala BKP Kelas I Denpasar), bapak Dr. Ir. Antarjo Dikin, M.Sc (Kepala
BUTTMKP) yang telah banyak memberikan fasilitas, kemudahan, dan saran, drh
Arum Kusnila Dewi, M.Si, teman-teman laboratorium BBKP Tanjung Priok,
bapak drh. Suparno, M.M, M.P (Kepala BPMPP) yang telah memberikan ijin
untuk melakukan pengujian di BPMPP beserta staf (drh. Nuraini Triwijayanti,
Riska Desitania, S.Si, Attya Asuh Insani, ST, dan Atzahar Reza siregar, S.TP, drh.
Armin Riandi). Terima kasih juga kepada rekan-rekan kelas khusus karantina
hewan (Gatot Santoso, Platika Widiani, Trifera Melaningrum, Hari Yuwono Ady,
Doni Muksydayan, Helmi, Wulandari, Fitria Kusumaningrum, Endah
Kusumawati, Endang Sri Pertiwi, Agus Jaelani, Amanatin, Siti Khadijah, Teuku
Ali Imran) atas kebersamaan dan kekompakannya selama ini.

Akhirnya terima kasih yang dalam kepada bapak, ibu dan ibu mertua atas
segala doanya. Suamiku tercinta, permata hatiku Nathan atas segala pengertian,
kesabaran, doa, dan kasih sayangnya.
Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Ida Sang Hyang
Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada
kita semua. Harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk
mendukung kegiatan karantina di Indonesia.

Bogor,

Mei 2012

Made Ary Anggreni Saraswati

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 08 September 1979 dari ayah
Ketut Suartana, BA dan ibu Dra. Nyoman Sunaryati. Penulis merupakan putri
kedua dari empat bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh penulis pada Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana, lulus pada tahun 2002. Setelah lulus dari FKH Udayana,

penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil pada Badan Karantina Pertanian,
dan ditempatkan di Stasiun Karantina Hewan Kelas I Badas Sumbawa BesarNTB, yang sekarang telah berganti nama menjadi Stasiun Karantina Pertanian
Kelas I Sumbawa Besar. Setelah hampir sembilan tahun bertugas di Stasiun
Karantina Pertanian Kelas I Sumbawa Besar, penulis dimutasi ke Balai Karantina
Pertanian Kelas I Denpasar, pada tanggal 31 Januari 2012. Tahun 2010, penulis
mendapat beasiswa dari Badan Karantina Pertanian untuk melanjutkan pendidikan
S2 pada program studi KMV di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................

xvii

DAFTAR TABEL .........................................................................................

xix

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................

xxi

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

xxii

PENDAHULUAN
Latar Belakang .....................................................................................
Rumusan Masalah .................................................................................
Tujuan Penelitian .................................................................................
Manfaat Penelitian ...............................................................................
Hipotesis Penelitian .............................................................................

1
2
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Daging...................................................................................................
Antibiotika ...........................................................................................
Beta Laktam .........................................................................................
Aminoglikosida.....................................................................................
Makrolida..............................................................................................
Tetrasiklin .............................................................................................
Penggunaan Antibiotika di Peternakan .................................................
Dampak Residu Antibiotika ................................................................
Reaksi Alergi .................................................................................
Efek Toksik ...................................................................................
Mengganggu Keseimbangan Flora Usus .......................................
Efek Biologis .................................................................................
Metode Pengujian Residu Antibiotika ..................................................
Rapid Test ......................................................................................
Bioassay (Uji Tapis) ......................................................................
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) ...................

5
6
8
9
10
11
12
14
16
17
17
18
20
20
22
22

BAHAN DAN METODE
Tempat Penelitian ................................................................................
Waktu Penelitian...................................................................................
Bahan dan alat ......................................................................................
Bahan .............................................................................................
Alat ................................................................................................
Metode Pengambilan Sampel ...............................................................
Pengujian Sampel ................................................................................
Rapid Test .....................................................................................
Bioassay (Uji Tapis) ......................................................................
Pembuatan Larutan Dapar ......................................................

23
23
23
23
24
24
25
25
26
26

Pembuatan Media ..............................................................................
Pembuatan Larutan Stok Baku Pembanding .....................................
Pembuatan Larutan Baku Kerja.........................................................
Pembuatan Kurva Baku .....................................................................
Persiapan Sampel ...............................................................................
Persiapan Bakteri Uji .........................................................................
Pelaksanaan Pengujian.......................................................................
Analisis Data .......................................................................................

27
28
28
29
29
30
31
32

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah dan Jenis Sampel .....................................................................
Hasil Pengujian Sampel dengan Rapid Test.........................................
Hasil Pengujian Sampel dengan Bioassay ...........................................
Rapid Test dan Bioassay dalam Pengujian Residu Antibiotika ...........
Bahaya Residu Antibiotika dalam Daging Sapi Impor
terhadap Kesehatan Masyarakat Indonesia ..........................................

41

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ..............................................................................................
Saran ....................................................................................................

45
45

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

47

LAMPIRAN ..................................................................................................

53

33
34
36
39

DAFTAR TABEL

Halaman
1

Komposisi kimiawi otot skelet mamalia
(persen berat daging segar) ..................................................................

5

2

Golongan antibiotika beserta turunannya .............................................

7

3

Karakteristik dan struktur kimia turunan Beta Laktam ........................

8

4

Survei residu antibiotika di Amerika Serikat tahun 2008
dengan jumlah total sampel 32 890 ekor .............................................

13

Data survei residu antibiotika pada daging segar dan
daging olahan di beberapa daerah di Indonesia ....................................

14

6

Batas Maksimum Residu (BMR) antibiotika .......................................

15

7

Lama waktu henti (withdrawal time) antibiotika yang
digunakan pada ternak sapi di Canada..................................................

16

8

Limit deteksi Premi® Test (ppb) ..........................................................

21

9

Hasil pengujian residu antibiotika dalam daging sapi impor
menggunakan rapid test ........................................................................

35

Hasil pengujian residu antibiotika dalam daging sapi impor
dengan bioassay ....................................................................................

38

Hasil pengujian residu antibiotika dalam daging sapi impor
dengan rapid test dan bioassay .............................................................

40

5

10

11

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1

Skema penelitian ..................................................................................

25

2

Bagan tahapan pengujian rapid rest ......................................................

26

3

Bagan pengujian bioassay (BSN 2008)..................................................

31

4

Kegiatan pemeriksaan dan pengambilan sampel daging sapi impor ....

34

5

Pengujian Premi® Test .........................................................................

36

6

Pengujian bioassay ...............................................................................

37

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1

Hasil pengujian sampel dengan rapid test dan bioassay .....................

55

2

Kurva standar antibiotika golongan tetrasiklin ......................................

57

3

Kurva standar antibiotika golongan makrolida.......................................

59

4

Kurva standar antibiotika golongan aminoglikosida...............................

61

5

Kurva standar antibiotika golongan beta laktam ....................................

63

LAMPIRAN

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Daging sapi merupakan sumber bahan pangan hewani yang mengandung
gizi tinggi. Kebutuhan daging sapi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke
tahun. Sejak tahun 2007 sampai dengan 2008, pemenuhan daging dari produksi
lokal dilaporkan lebih rendah dibandingkan jumlah daging yang dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia (Ditjennak 2010). Untuk memenuhi kebutuhan daging
dalam negeri, pemerintah mengeluarkan kebijakan impor daging sapi antara lain
dari Australia dan Selandia Baru (Subagyo 2009).
Berdasarkan laporan tahunan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung
Priok diperoleh data bahwa volume pemasukan daging sapi impor yang masuk
melalui pelabuhan laut Tanjung Priok pada tahun 2009 sebesar 82 912.6 ton dan
meningkat menjadi sebesar 99 281.7 ton pada tahun 2010 (BBKP Tanjung Priok
2010). Impor daging yang semakin meningkat, perlu mendapat perhatian dan
pengawasan agar tidak merugikan konsumen. Salah satu tindakan pengawasan
terhadap kualitas dan keamanan daging adalah dengan melakukan pengawasan
terhadap keberadaan residu antibiotika.
Antibiotika masih digunakan di peternakan untuk terapi dan pemacu
pertumbuhan. Kasus infeksi yang disebabkan baik oleh bakteri Gram positif
maupun Gram negatif biasanya diobati menggunakan antibiotika. Penggunaan
antibiotika sebagai terapi maupun pemacu pertumbuhan dapat mengakibatkan
residu pada produk yang dihasilkan seperti daging, telur, susu, dan lain-lain.
Residu antibiotika pada produk hewan dapat menyebabkan gangguan kesehatan
manusia diantaranya menyebabkan reaksi alergi, efek toksik, mengganggu
keseimbangan flora usus, dan resistensi mikroorganisme. Pada tahun 2004 di
Denmark dilaporkan bahwa Salmonella telah resisten terhadap ampisilin sebesar
15-20% (Xian et al. 2007; Guardabassi dan Kruse 2008).

2

Rumusan Masalah
Antibiotika banyak digunakan untuk mengobati penyakit dan sebagai
Antibiotic Growth Promoters (AGP) dalam pakan ternak untuk memacu
pertumbuhan ternak sehingga tumbuh lebih besar dalam waktu yang lebih pendek,
serta untuk pengobatan terhadap infeksi bakteri. Residu obat dan metabolitnya
terakumulasi dan disimpan dalam sel, jaringan, organ selama obat tersebut
digunakan (Angulo et al. 2004; Dandy 2008).
Beta laktam, tetrasiklin, makrolida, dan aminoglikosida merupakan
antibiotika yang penting saat ini baik untuk pengobatan manusia maupun hewan.
Penggunaan antibiotika yang kurang tepat selama beberapa dekade terakhir,
menimbulkan peningkatan resistensi mikroorganisme terhadap antibiotika.
Resistensi mikroorganisme mengakibatkan pengobatan menjadi kompleks, proses
penyembuhan lebih lama, dan penyakit menjadi semakin parah, bahkan pada
beberapa kasus menimbulkan kematian. Tahun 2002 Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) melaporkan bahwa 99 000 orang meninggal akibat
penyakit infeksius, pada anak-anak dan orang dewasa yang terinfeksi
mikroorganisme yang resisten terhadap antibiotika (Klevens et al. 2007;
Xian et al. 2007).
Bahaya yang ditimbulkan oleh residu antibiotika pada pangan asal hewan
antara lain efek toksik, alergi, dan munculnya resistensi mikroorganisme terhadap
antibiotika perlu mendapat perhatian serius dari karantina sebagai barisan
pertahanan terdepan yang mempunyai peran penting dalam menjamin keamanan
pangan asal hewan yang diimpor dari negara lain. Untuk itu diperlukan metode
pengujian yang cepat, tepat, efisien, dan akurat untuk menjamin keamanan pangan
dan memberikan pelayanan yang maksimal kepada pengguna jasa (importir
daging).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis keberadaan residu antibiotika dalam
daging sapi impor. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan mengetahui efektifitas
dan daya kerja rapid test yang digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi

3

residu antibiotika dalam daging sapi impor sebagai bagian dari tindak karantina di
tempat pemasukan.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah tersedianya data dan
informasi mengenai gambaran residu antibiotika yang terkandung di dalam daging
sapi impor. Manfaat lainnya adalah tersedianya metode pengujian yang cepat,
tepat, akurat, dan efektif untuk mendeteksi keberadaan residu antibiotika dalam
daging sapi, guna mendukung pelaksanaan tindak karantina di tempat pemasukan.

Hipotesis Penelitian
1. Tidak ditemukan residu antibiotika pada daging sapi yang diimpor dari
Australia dan Selandia Baru.
2. Rapid test yang digunakan untuk mendeteksi residu antibiotika dapat
digunakan sebagai salah satu uji tapis untuk mendeteksi residu antibiotika
dalam daging sapi sebagai bagian dari tindak karantina di tempat pemasukan.

4

5

TINJAUAN PUSTAKA

Daging
Daging merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Menurut Soeparno (2005), daging didefinisikan sebagai
semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan
tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan
bagi yang mengonsumsinya. Organ-organ yang termasuk kategori daging adalah
hati, ginjal, paru-paru, jantung, limpa, dan pankreas.
Protein merupakan komponen bahan kering terbesar yang terkandung di
dalam daging, disamping komponen penting lainnya (Tabel 1).

Tabel 1 Komposisi kimiawi otot skelet mamalia (persen berat daging segar)
No
1

Komponen
Air

2

Protein

3

Lipid

4

Substansi non protein nitrogen

5

Karbohidrat dan substansi non nitrogen

6

Konstituen anorganik (potasium, sulfur, klorin,
sodium, dll) dan vitamin

Jumlah (%)
75
18.5
3
1.5
1
1

Sumber : Soeparno (2005)

Berdasarkan keadaan fisik, daging dapat dikelompokkan menjadi 6 yaitu :
(1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan; (2) daging segar yang
dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin); (3) daging segar yang
dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan; (4) daging masak; (5) daging asap;
(6) daging olahan (Soeparno 2005).
Pertumbuhan dan perkembangan komposisi karkas pada ternak pedaging,
dapat distimulasi dengan perlakuan diantaranya adalah pemberian antibiotika dan

6

hormon. Antibiotika yang sering ditambahkan di dalam pakan adalah penisilin,
klortetrasiklin, dan oksitetrasiklin (Lawrie 2003; Soeparno 2005).

Antibiotika
Antibiotika adalah suatu zat kimia yang dapat membunuh atau menghambat
pertumbuhan bakteri, yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti cendawan
(penisilin), bakteri (tetrasiklin dan eritromisin), atau bahan sintetik (sulfonamide
dan florkuinolon) atau semi sintetik (amoksisilin, klarithromisin dan doksisiklin)
(Guardabassi dan Kruse 2008). Menurut spektrum aktivitasnya, antibiotika dibagi
menjadi dua yaitu antibiotika berspektrum sempit dan antibiotika berspektrum
luas. Antibiotika berspektrum sempit antara lain penisilin, eritromisin, dan
oleandomisin yang efektif terhadap bakteri Gram positif serta gentamisin dan
streptomisin yang efektif terhadap bakteri Gram negatif. Berbeda dengan
antibiotika berspektrum sempit yang hanya berefek sebagai anti bakteri terhadap
beberapa jenis bakteri, antibiotika berspektrum luas mempunyai efek anti bakteri
lebih luas baik terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Contoh
antibiotika berspektrum luas adalah kloramfenikol dan tetrasiklin (Wattimena
et al. 1991).
Menurut Oka et al. (1995), berdasarkan struktur kimianya, antibiotika dapat
digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu beta laktam; aminoglikosida;
tetrasiklin; makrolida; peptida; polieter polisakarida; kloramfenikol; sulfonamida
(Tabel 2).

7

Tabel 2 Golongan antibiotika beserta turunannya
Golongan
Beta Laktam

Turunan
Penisilin, Benzyl Penisilin, Amoksisilin, Ampisilin,
Kloksasilin, Diklosasilin, Mesilinam, Nafsilin,
Cephalonium, Cephazolin, Asam klavulanat

Aminoglikosida

Apramisin, Destomisin A, Dihidrostreptomisin,
Fradiomisin, Hygromisin B, Gentamisin, Kanamisin,
Streptomisin, Neomisin, Amikasin, Kanamisin sulfat,
Framisetin

Tetrasiklin

Klortetrasiklin, Doksisiklin, Oksitetrasiklin HCL,
Minosiklin HCL

Makrolida

Eritromisin, Kitasamisin, Mirosamisin, Spiramisin,
Tylosin, Roxithromisin, Azithromisin

Peptida

Avoparcin, Bacitracin, Kolistin, Thiopeptin, Virginamisin

Polieter

Flavophospholipol, Lasalosid, Monensin, Salinomisin,
Avilamisin

Kloramfenikol

Kloramfenikol, Tiamfenikol

Sumber : Oka et al. (1995)
Antibiotika yang banyak digunakan pada ternak adalah beta laktam,
tetrasiklin, aminoglikosida, inkosamid, makrolida, pleuromutilan, dan sulfonamid.
Antibiotika ini diberikan melalui suntikan (sub kutan, intramuskular atau
intravena), melalui oral yang ditambahkan dalam pakan, olesan pada permukaan
kulit, intramammaria atau intrauterin. Seluruh rute pemberian antibiotika tersebut
dapat menimbulkan residu pada bahan pangan asal hewan yang dihasilkan
(Mitchell et al. 1998). Munculnya residu pada bahan pangan asal hewan terkait
dengan tidak diperhatikannya lama waktu henti obat (withdrawal time) dan setiap
obat memiliki masa waktu henti obat yang berbeda-beda.

8

Beta Laktam
Antibiotika golongan beta laktam diberi nama berdasarkan adanya cincin
beta laktam. Sifat-sifat dari antibiotika beta laktam sangat tergantung dari ikatan
cincin beta laktam dan ikatan gugus asam pada karbon yang terikat pada nitrogen
beta laktam. Cincin beta laktam merupakan kunci aktifitas antibiotika golongan
beta laktam. Jika salah satu cincin tersebut tidak ada atau terlepas, maka
antibiotika tidak mampu untuk menghambat enzim transpeptidase pada
pembentukan lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri. Antibiotika beta laktam
telah banyak dikembangkan dan ditemukan turunan baru dari golongan tersebut
yang memiliki kemampuan menghambat bakteri yang lebih baik. Beberapa
turunan beta laktam dengan strukturnya ditampilkan pada Tabel 3 (Morin dan
Gorman 1995; Madigan et al. 2006).
Tabel 3 Karakteristik dan struktur kimia turunan Beta Laktam
Karakteristik
Penisilin Alami
Benzylpenisilin (penisilin G)
- bekerja efektif terhadap bakteri Gram positif
- sensitif terhadap enzim beta laktamase
Penisilin Semisintetik
Methisilin
- stabil terhadap asam
- resisten terhadap enzim beta laktamase
Ampisilin
- spektrum luas (terutama Gram negatif)
- stabil terhadap asam
- sensitif terhadap enzim beta laktamase
Carbenisilin
- spektrum luas terutama Pseudomonas
aeruginosa
- stabil terhadap asam, namun tidak efektif
diberikan melalui oral
- sensitif terhadap enzim beta laktamase
Sumber : Madigan et al. (2006)

Struktur kimia

9

Mekanisme kerja antibiotika beta laktam dengan cara menghambat sintesis
dinding sel bakteri. Pada proses pembentukan dinding sel, terjadi reaksi
transpeptidase yang dikatalis oleh enzim transpeptidase (Penicillin binding
proteins = PBPs) dan menghasilkan ikatan silang antara dua rantai peptida dan
glukan. Enzim transpeptidase yang terletak pada membran sitoplasma bakteri
tersebut juga dapat mengikat antibiotika beta laktam sehingga menyebabkan
enzim ini tidak mampu mengkatalisis reaksi transpeptidase, walaupun dinding sel
tetap terus dibentuk. Dinding sel yang terbentuk tidak memiliki ikatan silang dan
peptidoglikan yang terbentuk tidak sempurna sehingga lebih lemah dan mudah
terdegradasi. Pemberian secara oral hanya 5-30% dari dosis yang diserap,
tergantung pada stabilitas asam dan ikatan pada makanan. Setelah penyerapan,
penisilin tersebar luas dalam jaringan dan cairan tubuh (Adam 2002).

Aminoglikosida
Aminoglikosida merupakan golongan antibiotika dengan sifat kimia,
antimikrobial, farmakologi, dan toksisitas yang sama serta mempunyai polar basa
organik. Golongan antibiotika ini dihasilkan oleh bakteri dari golongan
Streptomyces dan Micromonospora (Tjay dan Rahardja 2008). Golongan
antibiotika ini terdiri dari streptomisin, kanamisin, gentamisin, tobramisin,
apramisin, amikasin, dihidrostreptomisin, dan neomisin. Antibiotika golongan
aminoglikosida banyak digunakan pada pengobatan manusia maupun hewan.
Antibiotika ini efektif terhadap bakteri Gram negatif maupun bakteri Gram positif,
diantaranya adalah bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Klabsiela,
Proteus, Seratia, dan Salmonella (Hisao et al. 1995).
Aktivitas antibiotika golongan aminoglikosida ini bersifat bakterisidal,
berdasarkan kemampuannya untuk menembus dinding sel bakteri dan mengikat
diri pada ribosom di dalam sel, merusak translasi RNA dan DNA sehingga
biosintesa protein terganggu (Tjay dan Rahardja 2008). Aminoglikosida yang
diberikan secara parenteral dapat mengakibatkan kerusakan pada pendengaran dan
organ keseimbangan (ototoksis), terutama pada lansia. Selain itu efek negatif
penggunaan antibiotika ini dapat merusak ginjal, kelemahan otot dan depresi

10

pernafasan. Pada penggunaan secara oral, nausea, muntah, dan diare khususnya
pada pemberian dosis tinggi. Aminoglikosida dapat melewati plasenta dan
merusak ginjal serta menimbulkan ketulian pada bayi, sehingga antibiotika ini
tidak dianjurkan selama kehamilan (Salyers dan Whitt 2005; Tjay dan
Rahardja 2008).
Aminoglikosida bersifat larut di dalam air, stabil pada pH asam maupun
basa, serta tahan terhadap pemanasan. Antibiotika ini biasanya digunakan sebagai
feed additives yang dicampurkan pada pakan atau air minum atau dapat pula
diberikan melalui injeksi (Hisao et al. 1995). Resistensi bakteri terhadap
antibiotika golongan aminoglikosida dapat terjadi akibat kemampuan bakteri
menghasilkan enzim yang dapat merombak struktur antibiotika. Resistensi bakteri
terhadap streptomisin dan kanamisin dilaporkan sering terjadi, dengan pemberian
yang dikombinasikan bersama antibiotika beta laktam dapat menghambat
terjadinya resistensi dan pemberian kombinasi tersebut dapat saling memperkuat
potensi obat (Tjay dan Rahardja 2008).

Makrolida
Makrolida merupakan golongan antibiotika yang kerjanya bersifat
bakteriostatik terhadap bakteri Gram positif. Mekanisme kerjanya sama seperti
tetrasiklin yaitu melalui pengikatan reversibel pada ribosom bakteri, sehingga
menghambat sintesa protein. Antibiotika ini merupakan pilihan pertama pada
penyakit infeksi paru-paru, infeksi usus yang disebabkan Campylobacter jejuni
dan menjadi pilihan kedua bila terjadi resistensi atau hipersensitifitas terhadap
penisilin. Efek samping dari golongan antibiotika ini adalah terjadi gangguan usus
dan lambung seperti nyeri perut, diare, nausea, pada dosis tinggi dapat
mengakibatkan ketulian dan antibiotika ini dapat mengganggu fungsi hati.
Pemberian makrolida pada hewan coba yang sedang bunting mengakibatkan
gangguan pada janin, sehingga penggunaan makrolida dilarang pada trimester
pertama kehamilan (Adam 2002; Tjay dan Rahardja 2008).

11

Tetrasiklin
Tetrasiklin adalah antibiotika yang umum digunakan sebagai obat hewan
dan diisolasi dari bakteri Streptomyces aureofaciens. Antibiotika golongan
tetrasiklin yang pertama kali ditemukan adalah klortetrasiklin dari Streptomyces
aurofaciens, kemudian oksitetrasiklin dari Streptomyces rimosus. Golongan ini
merupakan antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan jalan
menghambat sintesis protein mikroba. Tetrasiklin memiliki spektrum yang luas,
artinya antibiotika ini memiliki kemampuan melawan sejumlah bakteri patogen
(Yuningsih et al. 2005). Antibiotika golongan tetrasiklin biasanya digunakan pada
infeksi saluran pernafasan dan paru-paru, saluran kemih, kulit, dan mata (Tjay dan
Rahardja 2008).
Sekitar 30-80% tetrasiklin diserap dalam saluran cerna. Absorpsi sebagian
besar berlangsung di lambung dan usus halus, di dalam plasma semua jenis
tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi. Dalam cairan
cerebrospinal (CSS) kadar antibiotika golongan tetrasiklin hanya 10-20% dalam
serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke
cairan tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik. Obat golongan ini ditimbun di
hati, limpa, dan sumsum tulang serta di sentin dan email gigi (Karlina et al. 2009).
Efek samping penggunaan antibiotika golongan tetrasiklin adalah sifat
penyerapannya pada jaringan tulang dan gigi yang sedang tumbuh pada janin dan
anak-anak sehingga semua golongan tetrasiklin dilarang untuk diberikan pada usia
kehamilan setelah bulan keempat, ibu menyusui serta anak-anak sampai usia
mencapai delapan tahun. Pembentukan kompleks tetrasiklin-kalsiumfosfat dapat
menimbulkan gangguan pada struktur kristal gigi serta pewarnaan dengan kuning
kecoklatan yang lebih mudah berlubang (caries), efek lain adalah fotosensitasi
yaitu kulit menjadi lebih peka terhadap cahaya, menjadi kemerahan dan gatal
(Tjay dan Rahardja 2008).
Bakteri yang telah resisten terhadap antibiotika ini diantaranya adalah
Staphylococcus dan Streptococcus, bakteri Gram negatif seperti Pseudomonas,
Proteus, Klabsiella, Enterobacter, dan Serratia (Tjay dan Rahardja 2008).

12

Penggunaan Antibiotika di Peternakan
Penggunaan antibiotika pada hewan sama seperti pada manusia, yaitu untuk
mengobati infeksi bakteri, membasmi agen penyakit, menyelamatkan hewan dari
kematian, mengembalikan kondisi hewan untuk berproduksi dalam waktu yang
relatif singkat dan mencegah penyebaran mikroorganisme ke lingkungan
sekitarnya yang dapat mengancam kesehatan hewan dan manusia (Butaye
et al. 2003).
Ditemukannya residu antibiotika pada karkas juga dapat terjadi karena
penambahan antibiotika pada pakan ternak. Residu antibiotika ini menimbulkan
dampak yang lebih besar bila antibiotika digunakan sebagai pemacu pertumbuhan.
Efek yang dihasilkan dengan penambahan antibiotika pada pakan yang utama
adalah peningkatan deposit protein, biasanya terkait dengan penurunan
penggunaan lemak dan meningkatkan produksi daging. Hal ini terjadi akibat
meningkatnya efisiensi konversi pakan menjadi daging. Residu antibiotika yang
ditimbulkan pada produk asal ternak, berakibat buruk bagi kesehatan manusia
(Reig dan Toldra 2008).
Antibiotika sebagai imbuhan pakan digunakan secara luas di banyak negara,
sehingga keberadaan residu antibiotika pada daging tidak hanya terjadi di negara
berkembang tetapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat. Sebagai
gambaran, hasil survei keberadaan residu antibiotika di Amerika Serikat tahun
2008 dilaporkan pada hewan domestik dapat dilihat pada Tabel 4.

13

Tabel 4 Survei residu antibiotika di Amerika Serikat tahun 2008 dengan
jumlah total sampel 32 890 ekor
Antibiotika

Jumlah sampel positif

Penisilin
Gentamisin Sulfat
Neomisin
Oksitetrasiklin
Tetrasiklin
Tilmikosin
Sulfamethazin
Sulfametoxazol
Flunixin
Desfuroylceftiofur DCA
Sumber : FSIS (2009)

34
39
178
12
7
6
27
28
42
19

Antibiotika olaquinodik, basitrasin, tilosin, dan virginiamisin sudah dilarang
penggunaannya sebagai imbuhan pakan di Eropa sejak tahun 1999. Berdasarkan
Feed Additive Compendium, ada beberapa antibiotika yang direkomendasikan
sebagai imbuhan pakan pada pakan unggas dan hewan lain, seperti penisilin,
basitrasin, streptomisin, eritromisin, tilosin, neomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin,
klortetrasiklin, linkomisin, spiramisin, dan virginiamisin (Butaye et al. 2003).
Beberapa peneliti melaporkan bahwa dibutuhkan antibiotika dalam jumlah
banyak untuk pengobatan, pencegahan, dan sebagai pemacu pertumbuhan pada
ternak penghasil daging. Di Australia, penggunaan antibiotika pada peternakan
masih

digunakan

sebagai

pengobatan

yang

disebabkan

oleh

infeksi

mikroorganisme seperti bakteri, protozoa, dan jamur (NRS 2010).
Penggunaan antibiotika sebagai pengobatan maupun pemacu pertumbuhan
ternak masih banyak digunakan di Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan di beberapa daerah menunjukkan banyak ditemukan residu antibiotika
pada produk hewan (Tabel 5).

14

Tabel 5 Data survei residu antibiotika pada daging segar dan daging olahan di
beberapa daerah di Indonesia

Jenis antibiotika

2004
(n = 572)
Bali, NTB, NTT

2003
(n = 412)
NTB dan NTT

2002
(n = 100)
Kab. Badung

Penisilin

31 (5.4%)

8 (1.9%)

10 (10%)

Tetrasiklin

2 (0.3%)

7 (1.7%)

3 (3%)

Aminoglikosida

18 (3.1%)

6 (1.4%)

2 (2%)

Makrolida

83 (14.5%)

4 (0.9%)

4 (4%)

Sumber : Dewi et al. (2002); Handayani et al.(2003); Handayani et al. (2004)

Laporan World Health Organization (WHO) menyebutkan munculnya
resistensi bakteri patogen terhadap antibiotika menjadi permasalahan di seluruh
dunia. Munculnya fenomena resistensi bakteri patogen tersebut diantaranya
disebabkan oleh penggunaan antibiotika yang tidak tepat pada ternak. Resistensi
bakteri patogen terhadap antibiotika pada hewan dapat ditularkan ke manusia,
akibat terbawanya gen resisten tersebut dalam bahan pangan asal hewan seperti
daging, telur, dan susu yang dikonsumsi (Barber et al. 2003; WHO 2011).

Dampak Residu Antibiotika
Residu adalah senyawa asal dan atau metabolitnya yang terdapat dalam
jaringan produk hewan dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari obat tersebut.
Semua cara pemberian antibiotika dapat menyebabkan terjadinya residu dalam
pangan asal hewan seperti daging, susu, dan telur (Phillips et al. 2004). Batas
maksimum residu (BMR) antibiotika ditampilkan pada Tabel 6.

15

Tabel 6 Batas Maksimum Residu (BMR) antibiotika
Negara (ppb)

Golongan
antibiotika

Turunan
antibiotika

SNI

Aus

Codex

Beta Laktam

Penisilin

10

10

-

Ampisilin

10

10

-

Amoksilin

10

10

-

Benzylpenisilin

50

10

50

100

2000

-

Gentamisin

100

-

100

Streptomisin,

100

300

600

Klortetrasiklin

100

600

600

Doksisiklin

100

-

-

Oksitetrasiklin

100

600

600

Eritromisin

100

300

-

Spiramisin

50

-

200

Tilosin

100

100

-

Aminoglikosida Apramisin

Tetrasiklin

Makrolida

Sumber : SNI (2000); Codex (2006); NRS (2010)
Pakan yang mengandung antibiotika akan berinteraksi dengan jaringan
(organ) dalam tubuh ternak, walaupun dalam jumlah kecil tetapi akan berefek
kronis dan tetap berada dalam tubuh ternak. Senyawa induk dan metabolitnya
sebagian akan dikeluarkan dari tubuh melalui urin dan feses, tetapi sebagian lagi
akan tetap tersimpan di dalam jaringan (organ tubuh) yang disebut sebagai residu.
Jika pakan dicampur antibiotika secara terus menerus, maka residu antibiotika
tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dengan konsentrasi yang bervariasi
diantara organ tubuh (Adam 2002).
Keberadaan residu dalam produk hewan disebabkan karena tidak
diperhatikannya waktu henti obat (withdrawal time) saat hewan dipotong.
Masing-masing antibiotika memiliki waktu henti obat yang berbeda-beda, seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 7.

16

Tabel 7

Lama waktu henti (withdrawal time) antibiotika yang digunakan pada
ternak sapi di Canada

Jenis
antibiotika

Cara
pemberian

Penisilin

Suntikan

Maksimal lama waktu
henti obat pada daging
(hari)
5

Ampisilin

Suntikan

6

Tetrasiklin

Oral

5

Oksitetrasiklin

Imbuhan pakan

28

Klortetrasiklin

Bervariasi

18

Gentamisin

Bervariasi

30

Neomisin

Imbuhan pakan

7

Tilosin

Bervariasi

21

Eritromisin

Bervariasi

14

Tilmikosin

Suntikan

21

Sumber: Oka et al. (1995)

Residu antibiotika dalam pangan asal hewan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan pada manusia diantaranya menyebabkan reaksi alergi, efek toksik,
mengganggu

keseimbangan

flora

usus,

dan

efek

biologis

resistensi

mikroorganisme (Bahri et al. 2005).

Reaksi Alergi
Alergi atau intoleransi adalah reaksi abnormal yang berhubungan dengan
substansi alami yang tidak membahayakan banyak individu (Nhiem 2005). Reaksi
alergi pada individu yang sensitif terhadap antibiotika banyak dilaporkan,
khususnya terhadap penisilin. Prevalensi reaksi alergi terhadap penisilin
diperkirakan sebesar 3-10%. Reaksi alergi yang muncul mulai dari reaksi ringan
seperti bintik-bintik pada kulit sampai terjadinya reaksi anafilaksis yang dapat
berakibat fatal (Doyle 2006).

17

Efek Toksik
Antibiotika dapat mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung antibiotika memiliki sifat toksik bagi
manusia, sebagai contoh khloramfenikol memiliki efek samping yang cukup
serius, yaitu penekanan aktivitas sumsum tulang yang berakibat pada gangguan
pembentukan sel-sel darah merah. Kondisi ini dapat menyebabkan aplastik
anemia yang secara potensial berakibat fatal (Naim 2002). Efek toksik pada
manusia akibat residu antibiotika yang terdapat dalam bahan pangan asal hewan,
erat hubungannya dengan dosis dan jangka waktu pengunaan antibiotika pada
ternak (Focosi 2005).

Mengganggu Keseimbangan Flora Usus
Penggunaan antibiotika tidak hanya menyebabkan resistensi pada bakteri
patogen yang sedang ditangani tetapi juga pada mikroorganisme lain yang ada
dalam saluran pencernaan. Kemungkinan lain adalah adanya gangguan terhadap
flora normal yang ada pada saluran pencernaan manusia karena adanya residu
antibiotika pada makanan. Berkurangnya flora normal dalam saluran pencernaan
akan mengakibatkan berkembangnya bakteri patogen (Reig dan Toldra 2008).
Penambahan antibiotika dalam pakan akan menekan mikroorganisme dalam usus
sehingga dapat membantu memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan bobot
ternak. Namun, pengunaan antibiotika sebagai feed additive dikhawatirkan
merubah proporsi dari bakteri spesifik di dalam saluran pencernaan (seperti
Enterococcus faecium, Campylobacter spp., E. coli) yang terus membentuk koloni
lebih banyak dari spesies bakteri yang tidak berbahaya, sehingga menekan
pertumbuhan bakteri yang tidak berbahaya (Metzler et al. 2005).
Semakin lama waktu bakteri terpapar dengan antibiotika maka akan semakin
tinggi kesempatan terjadinya mutasi, sehingga menimbulkan strain yang kurang
sensitif terhadap antibiotika tersebut. Otoritas kesehatan pangan Eropa
melaporkan bahwa residu antibiotika pada daging yang dikonsumsi akan
menimbulkan reaksi alergi dan resistensi bakteri patogen terhadap antibiotika
dapat ditularkan ke manusia melalui rantai makanan. Dampak lain yang

18

ditimbulkan dari residu antibiotika pada pangan segar asal hewan adalah dampak
yang ditimbulkan terhadap mikroflora normal yang terdapat dalam saluran
pencernaan manusia yang secara normal berfungsi sebagai barier terhadap bakteri
patogen. Akibat adanya residu antibiotika pada makanan yang dikonsumsi akan
mengurangi jumlah mikroflora normal yang terdapat dalam saluran pencernaan
manusia (Reig dan Toldra 2008).
Berkurangnya

mikroflora

normal

dalam

saluran

pencernaan

akan

mengakibatkan bakteri patogen yang tidak diinginkan tumbuh semakin banyak.
Residu antibiotika akan mengakibatkan terjadinya resistensi bakteri patogen
seperti Salmonella sp, Clostridum difficele, Campylobacter sp, Entero-Phatogenic
E. coli, Staphylococcus aureus, Candida sp terhadap antibiotika. Berkembangnya
bakteri patogen ini akan mengakibatkan diare atau enterocolitis. Residu
antibiotika ini juga dapat mengakibatkan meningkatnya ketebalan dan atau
aktifitas enzim beberapa bakteri di dalam usus, namun belum diketahui akibatnya
secara pasti (Corpet 2000).

Efek Biologis
Masalah resistensi mikroba terhadap antibiotika bukanlah masalah yang
baru. Sejak tahun 1963, WHO telah mengadakan pertemuan tentang aspek
kesehatan masyarakat dari penggunaan antibiotika dalam makanan dan bahan
makanan. Penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan mengakibatkan
pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotika yang umum digunakan
untuk terapi. Konferensi WHO pada tahun 1997 di Berlin membahas tentang
dampak medis akibat penggunaan antibiotika pada pakan ternak (Angulo 2004).
Berdasarkan The Committee for Veterinary Medical Products, istilah
resistensi antibiotika mengacu pada dua pengertian, yaitu resistensi mikrobial dan
resistensi klinik. Resistensi mikrobial adalah suatu proses biologik yang terkait
dengan berbagai mekanisme resistensi yang melibatkan peran gen resistensi pada
satu bakteri. Resistensi mikrobial dipengaruhi oleh suatu enzim yang membuat
antibiotika tidak aktif. Resistensi klinik adalah resistensi bakteri yang bergantung
pada respon dari bakteri tersebut terhadap pengobatan yang diberikan. Dalam
pengertian resistensi klinik keberhasilan pengobatan antibiotika tergantung pada

19

dosis

antibiotika

yang

diberikan,

spesies

agen

penyakit,

mekanisme

farmakokinetik antibiotika, status pertahanan tubuh inang, dan konsentrasi
antibiotika yang dapat mencapai bakteri dalam organ atau jaringan tubuh inang
(EMEA 1999; Fluit et al. 2001).
Munculnya resistensi bakteri terhadap antibiotika dipengaruhi oleh adanya
gen resistensi yang terdapat dalam plasmid, transposon, atau dalam kromosom
bakteri. Resistensi beta laktam umumnya diakibatkan oleh kemampuan mikroba
mensintesis enzim penisilinase yang mampu memecah cincin beta laktam
penisilin menjadi penicilloic acid yang tidak aktif (Nastasi et al. 2000). Gen
bakteri yang mengendalikan sifat resistensi antibiotika umumnya spesifik
terhadap antibiotika atau golongan antibiotika tertentu, tapi beberapa gen resisten
dapat mengendalikan satu jenis atau golongan antibiotika yang sama. Sebagai
contoh, pada golongan beta laktam terdapat paling sedikit 25 gen resisten,
golongan aminoglikosida terdapat 18 gen resisten, golongan ampisilin terdapat 4
gen resisten, golongan tetrasiklin terdapat 24 gen resisten, golongan kloramfenikol
terdapat 7 gen resisten, dan golongan trimetoprim-sulfametoksasol terdapat 15
gen resisten (Salyers dan Whitt 1994; Fluit et al. 2001; Cabrera et al. 2004; Chen
et al. 2004)
Konsekuensi dari penggunaan antibiotika dalam dunia peternakan
adalah kemungkinan terjadinya transfer dari gen-gen resisten yang berasal dari
isolat hewan pada bakteri patogen dalam tubuh manusia. Hal ini menjadi
masalah utama dalam kesehatan masyarakat karena adanya suatu penemuan
yang memperlihatkan bahwa bakteri tersebut dapat masuk ke dalam rantai
makanan manusia dan dapat menyebabkan terjadinya resistensi pada mikroba
dalam tubuh manusia yang akhirnya akan mempengaruhi kesehatan (Nicholls
2000; Barber et al. 2003).
Beberapa peneliti melaporkan bahwa permasalahan resistensi bakteri
patogen terhadap antibiotika pada hewan dan manusia disebabkan oleh pemakaian
yang salah dan berlebihan pada individu yang bersangkutan. Sebagai contoh,
Staphylococcus aureus yang resisten terhadap metisilin, Pseudomonas aeruginosa
yang

multiresisten,

Mycobacterium

tuberculosis,

Salmonella

typhi,

dan

20

Salmonella enteritidis yang resisten terhadap fluorokuinolon (Piddock 1995;
Wain et al. 1997).
Penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan dilarang sejak tahun
1986, sejak saat itu antibiotika hanya diijinkan digunakan oleh dokter hewan
sebagai terapi untuk penyembuhan atau pencegahan penyakit. Kemudian pada
tahun 1999, European Union Scientific Steering Committee telah meninjau ulang
penggunaan antibiotika sebagai pengobatan dan non pengobatan dalam European
Commission Health and Consumer Protection Directorate 2003. Sebagai
konsekuensinya maka penggunaan antibiotika dalam pakan di Eropa telah
dilarang pada tahun 1999 sebagai sebuah tindakan percobaan pengukuran untuk
meminimalisir risiko peningkatan bakteri yang resisten dan untuk menjaga
efektivitas kegunaan beberapa antibiotika dalam pengobatan (Metzler et al. 2005).
Selama beberapa dekade, peningkatan bakteri yang resisten terhadap
antibiotika menimbulkan persoalan tentang penggunaan antibiotika, terkait
dengan residu pada bahan pangan dan peningkatan resistensi bakteri terhadap
antibiotika. Berbagai usaha terus dilakukan untuk mengawasi penggunaan
antibiotika baik sebagai terapi maupun pemacu pertumbuhan (Reig dan
Toldra 2008).

Metode Pengujian Residu Antibiotika
Pengujian residu antibiotika dapat dilakukan dengan beberapa cara mulai
dari pengujian rapid test, screening test sampai uji konfirmasi. Beberapa pilihan
rapid test diantaranya Premi® Test, Beta star, SNAP. Pemeriksaan residu dengan
metode screening dapat dilakukan dengan menggunakan bioassay, ELISA, TLC.
Sedangkan untuk uji konfirmasi digunakan HPLC atau HPLC/MS/M)
(Nisha 2008).