Analysis of Tetracycline Residue in Imported Milk Powder through Tanjung Priok Sea Port

(1)

PELABU

SEKOLA

INSTI

HARI YUWONO ADY

BUHAN LAUT TANJUNG PRIOK

SEKOLAH PASCASARJANA

STITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Residu Antibiotika Tetrasiklin dalam Susu Bubuk yang Diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di Bagian Akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Hari Yuwono Ady NIM : B 251100224


(3)

HARI YUWONO ADY. Analysis of Tetracycline Residue in Imported Milk Powder through Tanjung Priok Sea Port. Under the direction of HADRI LATIF and A. WINNY SANJAYA.

Using antibiotics in dairy farm are popular for therapy or applied as a stimulant growth. However, the presence of antibiotic residue in milk causes harmful effects on consumer's health. Tetracycline is one of the antibiotic used in an effort to improve the health of livestock, especially in disease treatment. The aim of this research was to analyze tetracycline residue in imported milk powder. Sixty imported milk powder samples were collected at Tanjung Priok Sea Port. All samples were tested using enzym linked immunosorbent assay (ELISA) as a screening test and the result showed 8 out of 60 samples (13.33%) were positive of tetracycline residue. Eight samples which were positive determined by ELISA then were confirmed by high performance liquid chromatography (HPLC) method. Five of the 8 samples contained tetracycline residue in the confirmation method

.

Five samples contained tetracycline residue in a high concentration, which was above the maximum residue limit according to the National Standardization Agency of Indonesia.

Keywords : tetracycline, imported milk powder, ELISA, HPLC


(4)

HARI YUWONO ADY. Analisis Residu Antibiotika Tetrasiklin dalan Susu Bubuk yang Diimpor Melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan A. WINNY SANJAYA.

Susu bubuk merupakan produk olahan susu yang banyak dipasarkan di Indonesia. Peningkatan produksi susu dalam negeri yang tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat mendorong pemerintah untuk melakukan kebijakan importasi susu bubuk. Peningkatan volume impor susu bubuk memerlukan pengawasan terhadap keberadaan bahan berbahaya bagi konsumen, termasuk adanya antibiotika dalam susu bubuk impor. Salah satu golongan antibiotika yang sering digunakan dalam pengobatan sapi perah adalah tetrasiklin.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok dan menyediakan data dan informasi ilmiah untuk Badan Karantina Pertanian dalam menetapkan kebijakan pengujian dalam rangka pemeriksaan residu antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor. Sebanyak 60 sampel diuji dengan metode enzym linked immunosorbent assay (ELISA) sebagai screening test untuk mengetahui keberadaan antibiotika tetrasiklin dalam sampel susu bubuk impor. Limit deteksi ELISA adalah 1.5 part per billion (ppb). Pengujian tersebut dilakukan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. Sampel yang positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan pengujian ELISA, selanjutnya diuji konfirmasi dengan menggunakan metode high performance liquid chromatography (HPLC). Pengujian HPLC tersebut dilakukan sebagai konfirmasi terhadap sampel yang menunjukan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin. Limit deteksi HPLC adalah 5 ppb. Pengujian HPLC dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.

Semua sampel yang diuji dengan ELISA menunjukan hasil 8 dari 60 sampel (13,33%) mengandung residu tetrasiklin. Sebanyak 8 sampel yang positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan menggunakan ELISA kemudian dikonfirmasi dengan menggunakan metode HPLC. Hasil pengujian dengan metode HPLC menunjukan bahwa 5 dari 8 sampel mengandung tetrasiklin dengan kisaran 120-840 ppb. Seluruh sampel yang menunjukan hasil positif pada pengujian konfirmasi ini mengandung tetrasiklin di atas batas maksimum residu (BMR) sebagaimana tercantum dalam Standardisasi Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000.

Ditemukannya susu bubuk impor yang mengandung antibiotika tetrasiklin di atas BMR menunjukan bahwa susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok tidak sepenuhnya aman untuk dikonsumsi. Hal ini menuntut perlunya pengawasan dan pengujian terhadap kandungan antibiotika dalam susu bubuk yang diimpor untuk menjamin keamanan konsumen terhadap jenis olahan susu yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia.


(5)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya Karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(6)

PELABUHAN LAUT TANJUNG PRIOK

HARI YUWONO ADY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(7)

(8)

NIM : B251100224

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Hadri Latif, M.Si. Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(9)

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.,atas segala karunia dan ridho-NYA, sehingga tesis dengan judul “Analisis Residu Antibiotika Tetrasiklin dalam Susu Bubuk yang Diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok” ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Sains (M.Si.) pada Program Studi Kesehatan Masysrakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Kepala Badan Karantina Pertanian beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan ini. Disamping itu, terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. Hadri Latif, M.Si. dan Ibu Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS. selaku komisi pembimbing atas arahan dan waktu yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi serta kepada Bapak Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si. yang telah banyak memberikan masukan dan saran. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. beserta seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner IPB dalam membantu kelancaran pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Kepala BBKP Tanjung Priok beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan fasilitas, kemudahan-kemudahan dan motivasinya. Terima kasih kepada rekan-rekan di Laboratorium BBKP Tanjung Priok dan Laboratorium Toksikologi BBALITVET Bogor yang telah membantu melakukan pengujian. Terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian beserta staf atas saran dan masukan. Terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan seangkatan atas kebersamaan dan kerjasamanya selama ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan sedalam-dalamnya kepada Ibu Sri Upami, Bapak mertua dan Mama mertua serta kakak-kakak dan adikku atas segala bantuan dan iringan doanya. Terima kasih juga disampaikan kepada istriku Ulya Rakhmi, putriku Nadya Syakira Novharyanti dan putraku Adyllan Wicaksono tercinta, atas semua dukungan, motivasi pengertian, kesabaran menanti, kasih sayang dan doanya.

Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu pengembangan lebih lanjut agar benar benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan agar tesis ini lebih sempurna.

Akhir kata, penulis berharap tesis ini memberikan manfaat bagi kita semua terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan berguna bagi Badan Karantina Pertanian serta masyarakat.

Bogor, Juni 2012


(10)

Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 8 September 1976 dari ayah Alm. Sutartyo Karto Atmodjo dan ibu Sri Upami. Penulis merupakan putra kesepuluh dari sepuluh bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1988 di SDN Ranterejo Kebumen dan pada tahun 1991 menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Kebumen. Selanjutnya penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Kebumen dan lulus pada tahun 1994. Tahun 1994, penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH-UGM) dan meraih gelar Dokter Hewan pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Badan Karantina Pertanian pada akhir tahun 2001 dan ditempatkan di Pos Karantina Hewan Bima. Setelah empat tahun bertugas, penulis dimutasi ke Balai Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta pada Januari 2006. Setelah lima tahun, penulis dimutasi lagi ke Pusat Kepatuhan, Kerjasama dan Informasi Badan Karantina Pertanian. Selanjutnya pada tahun 2012 dimutasi ke Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok sampai sekarang. Tahun 2010, penulis mendapat beasiswa dari Badan Karantina Pertanian untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.


(11)

xvii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Susu Bubuk ... 4

Antibiotika dan Penggunaannya ... 6

Tetrasiklin ... 8

Batas Residu Tetrasiklin ... 10

METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

Bahan dan Alat ... 11

Rancangan Penelitian... 11

Metode Penelitian ... 12

Analisa Data... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Susu Bubuk Impor ... 16

Pemeriksaan Organoleptik ... 17

Pengujian Residu Antibiotika dengan ELISA ... 17

Pengujian Residu Antibiotika dengan HPLC ... 20

Gambaran Residu Antibiotika pada Susu Bubuk Impor ... 21

SIMPULAN DAN SARAN ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 25


(12)

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi kandungan gizi beberapa jenis susu bubuk ... 5 2 Batas maksimal residu tetrasiklin pada pangan asal hewan ... 10 3 Rincian pengambilan sampel per negara berdasarkan volume

susu bubuk tahun 2010 ... 12 4 Hasil pengujian sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin

dalam susu bubuk impor dengan menggunakan ELISA... 19 5 Hasil uji konfirmasi dengan HPLC terhadap sampel positif

mengandung antibiotika tetrasiklin pada susu bubuk impor

dengan ELISA ... 21


(13)

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Struktur kimia antibiotika tetrasiklin dan turunannya ... 9 2 Kurva standar hasil ELISA antibiotika tetrasiklin dalam susu

bubuk ... 18


(14)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Susu merupakan bahan makanan sempurna dan mempunyai nilai gizi tinggi. Kandungan zat gizinya selain bernilai tinggi juga lengkap. Perbandingan zat gizi di dalam susu sangat ideal. Bagi manusia, susu merupakan sumber makanan utama untuk bayi. Selain itu, susu juga merupakan makanan bernilai gizi tinggi bagi orang tua dan sumber protein dalam masa pertumbuhan.

Susu bubuk merupakan produk olahan susu yang banyak dipasarkan di Indonesia. Berdasarkan Canadean Survey, perbandingan konsumsi susu bubuk di Indonesia sebesar 77.13% dan konsumsi susu cair sebesar 22.87% (Dhuha 2011). Susu bubuk tidak hanya dikonsumsi oleh balita tetapi juga dikonsumsi oleh semua tingkatan umur hingga lanjut usia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan pasar potensial perdagangan produk olahan susu, terutama susu bubuk. Peningkatan produksi susu dalam negeri yang tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat mendorong pemerintah untuk melakukan kebijakan importasi susu bubuk. Indonesia melakukan importasi susu bubuk dari berbagai negara untuk memenuhi kebutuhan susu, diantaranya adalah Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Philipina, Jerman, Belanda, Prancis, Belgia, dan Swedia (BBKPTP 2010).

Berdasarkan laporan analisa statistik Direktorat Jenderal Peternakan, kebutuhan susu bubuk di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, sedangkan produksi dalam negeri tidak dapat mencukupinya. Untuk memenuhi kebutuhan susu bubuk tersebut, maka pemerintah Indonesia membuat kebijakan importasi susu bubuk dari luar negeri (Ditjennak 2004). Data importasi susu bubuk melalui Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok menunjukkan terjadinya peningkatan dari tahun ke tahun. Selama tahun 2010, impor susu bubuk melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok mencapai 166 759 533 kg, sedangkan pada tahun 2011 sebesar 193 776 066 kg (BBKPTP 2010). Hal ini menunjukkan bahwa importasi susu bubuk meningkat. Susu bubuk impor tersebut berupa skim milk powder, whey powder, full cream milk powder (whole milk powder), butter milk powder, dan whey protein concentrate.


(15)

Peningkatan volume impor susu bubuk memerlukan pengawasan terhadap keberadaan bahan berbahaya bagi konsumen, termasuk adanya antibiotika dalam susu bubuk impor. Penggunaan antibiotika dalam peternakan sapi perah tidak dapat dihindarkan, karena diperlukan untuk mengobati penyakit seperti mastitis, enteritis, dermatitis dan penyakit lainnya. Intensitas penggunaan antibiotik semakin meningkat baik dari segi jumlah, jenis dan cara penggunaannya (Siregar 1990). Salah satu golongan antibiotika yang sering digunakan dalam pengobatan sapi perah adalah golongan tetrasiklin. Selain untuk pengobatan, antibiotika juga digunakan sebagai pemacu pertumbuhan dan produksi. Penggunaan antibiotika harus sesuai dengan aturan, apabila melanggar aturan dan tidak mematuhi waktu henti obat (withdrawal time) dapat menyebabkan susu mengandung residu antibiotika. Residu antibiotika dalam susu dapat menimbulkan alergi, keracunan, gagalnya pengobatan akibat resistensi, gangguan jumlah mikroflora saluran pencernaan (Murdiati 1997).

Karantina Pertanian sebagai instansi yang berperan melakukan pengawasan di tempat-tempat pemasukan memerlukan data mengenai keberadaan antibiotika dalam susu bubuk dan metoda pemeriksaan yang cepat, tepat, dan akurat dalam pelaksanaan tindakan karantina.

Rumusan Masalah

Ditemukannya antibiotika dalam pangan asal hewan erat kaitannya dengan penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit serta penggunaannya sebagai bahan imbuhan pakan (feed additive). Tetrasiklin merupakan salah satu antibiotika yang digunakan dalam upaya meningkatkan kesehatan hewan terutama dalam pengendalian penyakit. Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan ditemukannya antibiotika dan akan sangat membahayakan konsumen bila diberikan secara berlebihan dan tanpa pengawasan.

Susu bubuk impor yang masuk ke Indonesia tidak mencantumkan keterangan bebas kandungan antibiotika. Unit Pelaksana Teknis Badan Karantina Pertanian sebagai pintu gerbang importasi susu bubuk seharusnya melakukan pemeriksaan terhadap kandungan antibiotika pada susu bubuk impor untuk memberikan jaminan keamanan pangan.


(16)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Menganalisis keberadaan residu antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok

2. Menyediakan data dan informasi ilmiah untuk Badan Karantina Pertanian dalam menetapkan kebijakan pengujian dalam rangka pemeriksaan residu antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat keberadaan kandungan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor dan mendapatkan data yang dapat dipergunakan sebagai rujukan dalam rangka pemeriksaan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan peraturan maupun penyempurnaan regulasi yang berkaitan dengan importasi susu bubuk.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok tidak mengandung antibiotika tetrasiklin.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Susu Bubuk

Salah satu metode untuk memperpanjang masa simpan susu adalah dengan mengubahnya menjadi susu bubuk. Susu bubuk telah dihasilkan mulai 100 tahun yang lalu dan berkembang pesat dalam waktu 50 tahun terakhir. Pembuatan susu bubuk merupakan salah satu cara yang paling sukses dan penting dalam pengawetan susu (Town 2005).

Susu bubuk merupakan sumber protein yang sangat baik dan penting, mudah disusun kembali/rekonstruksi menjadi susu cair serta dapat menjadi bahan-bahan unsur produk lainnya. Secara luas susu bubuk dapat digunakan untuk produksi roti, biskuit, kue-kue, kopi krimer, sop, keju, susu coklat, es krim, susu formula, nutrisi tambahan, rekombinan produk susu seperti susu pasteurisasi, susu evaporasi, susu kental manis, keju lunak dan keju keras, krem, whipping cream,

yoghurt, dan produk fermentasi lainnya (Pearce 2006; Juergens et al. 2002). Susu bubuk merupakan bentuk olahan dari susu segar yang dibuat dengan cara memanaskan susu pada suhu 80 °C selama 30 detik, kemudian dilakukan proses pengolahan dengan beberapa tahapan yaitu evaporasi, homogenisasi, dan pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan spray dryer atau roller dryer. Produk ini mengandung 2-4% air (Nasution 2009).

Perubahan dari susu cair menjadi susu bubuk memerlukan penghilangan air melalui beberapa tahap hingga menjadi produk akhir. Selama proses pengurangan air terjadi perubahan terhadap sifat, struktur kimia, dan penampakan (appearance) susu. Susu merupakan produk yang sensitif dan kualitasnya sangat mudah dipengaruhi terutama oleh panas dan aktivitas bakteri (Pisecky 1997).

Keunggulan dari susu bubuk adalah masa simpannya yang paling baik dibandingkan dengan bentuk pengawetan susu yang lain, tidak membutuhkan pendinginan selama penyimpanan dan transportasi. Kadar air lebih sedikit yaitu hanya seperdelapan berat dan seperempat volume dari susu cair sehingga menghemat transportasi dan dapat diaplikasikan pada semua produk akhir (Town 2005).


(18)

Proses pengolahan susu menjadi bubuk mampu memperpanjang masa simpan susu hingga dua tahun dalam kemasan alumunium dan kotak karton. Namun tahapan proses yang cukup panjang dalam menghasilkan susu bubuk menjadikan kandungan nutrisi yang ada di dalam susu berkurang, bahkan protein mengalami kerusakan hingga 30%. Karena itulah pada proses pembuatan susu bubuk ditambahkan berbagai vitamin yang diharapkan dapat menggantikan kandungan yang hilang selama proses pengolahan agar kembali seperti semula, namun kondisinya tidak akan sama dengan susu segar. Proses ini bahkan dapat menimbulkan reaksi Maillard, yaitu terjadinya pigmen cokelat antara gula dan protein susu karena pemanasan yang lama menyebabkan protein semakin sulit untuk dicerna (Nasution 2009).

Susu bubuk dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu susu bubuk berlemak, susu bubuk rendah lemak dan susu bubuk tanpa lemak. Susu bubuk berlemak (full cream milk powder) adalah susu yang telah diubah bentuknya menjadi bubuk. Susu bubuk rendah lemak (partly skim milk powder) adalah susu yang telah diambil sebagian lemaknya dan diubah bentuknya menjadi bubuk. Susu bubuk tanpa lemak (skim milk powder) adalah susu yang telah diambil lemaknya dan diubah menjadi bubuk (BSN 2000).

Gizi yang tersedia dalam susu bubuk berupa protein, glukosida, lipida, garam-garam mineral dan vitamin sangat cocok untuk pertumbuhan dan pertambahan jumlah sel tubuh anak-anak dan mamalia muda lainnya (Buckle et al. 1987). Komposisi kandungan gizi dari berbagai jenis susu bubuk dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kandungan gizi beberapa jenis susu bubuk Jenis Susu Bubuk Air

(%)

Protein (%)

Lemak (%)

Laktosa (%)

Mineral (%) Susu Bubuk Full Cream 3.5 25.2 26.2 38.1 7.0

Susu Bubuk Skim 4.3 35.0 0.97 51.9 7.8

Susu Bubuk Krim 4.0 21.5 40.0 29.5 5

Susu Bubuk Whey 7.1 12.0 1.2 71.5 8.2

Susu bubuk Buttermilk 3.1 33.4 2.28 54.7 6.5


(19)

Metode pengeringan yang dilakukan pada proses pembuatan susu bubuk dapat menggunakan spray dryer maupun drum dryer. Spray drying merupakan salah satu bentuk pengeringan yang sudah banyak diaplikasikan di industri pengolahan susu. Metode ini akan berpengaruh terhadap total bahan padat yang dihasilkan dari susu bubuk. Suhu pengeringan yang tinggi akan menghasilkan susu bubuk dengan kadar air rendah dan total bahan padat yang tinggi (Widodo 2003). Keuntungan dari susu bubuk dengan metode spray drying adalah lebih mudah dicerna dan lebih aman karena tidak menyebabkan alergi (Maree 2003).

Menurut Oliviera et al. (2000) proses pembuatan susu bubuk dengan menggunakan spray dryer melalui beberapa tahap yaitu :

a. Perlakuan pasteurisasi dengan suhu 90 ºC selama 8 detik atau 108 ºC selama 2 detik.

b. Penguapan air dengan perlakuan pemanasan akan menghasilkan 48% padatan.

c. Proses penyemprotan kering (spray drying), susu disemprot dengan udara kering melalui lubang pada suhu 270 ºC.

Susu bubuk yang dikeringkan dengan drum dryer butirannya berbentuk pipih dengan ketebalan 8-10 µ. Sifat kelarutan dalam air kurang sempurna, karena butiran-butiran lemak akan mengapung di atas. Susu bubuk yang dikeringkan dengan spray dryer terdiri atas partikel 10-15 µ. Sifat kelarutan dalam air sempurna, hampir sama dengan susu segar. Adanya udara diantara butiran-butiran tersebut dapat menyebabkan timbulnya oksidasi selama penyimpanan (Syarief dan Halid 1997).

Di Indonesia proses pembuatan susu bubuk oleh produsen pada umumnya mencampur susu bubuk yang diimpor dengan perasa atau pun tambahan bahan lainnya (Herdiana 2007).

Antibiotika dan Penggunaannya

Antbiotika merupakan suatu bahan atau zat yang diproduksi oleh bakteri atau cendawan tertentu yang dapat digunakan untuk pengobatan terhadap infeksi terutama yang disebabkan oleh bakteri. Senyawa ini mampu menghentikan proses pertumbuhan bakteri bahkan dapat membunuh bakteri yang secara umum dikenal sebagai efek bakteriostatik dan bakterisidal (Bezoen et al. 2000).


(20)

Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dari antibiotika tersebut ataupun berdasarkan target kerjanya pada sel (Bezoen et al. 2000). Secara umum antibiotika diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu broad spectrum dan

narrow spectrum. Antibiotika yang bersifat broad spectrum secara umum mempunyai kemampuan membunuh mikroorganisme dari berbagai spesies (cakupan yang luas) sedangkan antibiotika yang bersifat narrow spectrum hanya mampu membunuh mikroorganisme spesifik (CDUFA 1999).

Secara umum penggunaan antibiotika di peternakan bertujuan untuk :

1. Pengobatan sehingga mengurangi risiko kematian dan mengembalikan kondisi hewan yang dapat berproduksi kembali (normal), juga mencegah tersebarnya mikroorganisme patogen ke hewan lainnya.

2. Memacu pertumbuhan (growth promotor), sehingga dapat mempercepat pertumbuhan atau meningkatkan produk hewan serta mengurangi biaya pakan.

Diperkirakan 50% dari seluruh antimikrobial digunakan untuk keperluan pada bidang kedokteran hewan (Teuber 2001). Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan antibiotika dalam dunia peternakan berkisar antara 80% dalam perunggasan, 75% pada peternakan babi, 60% pada peternakan sapi potong dan 75% antibiotika digunakan dalam peternakan sapi perah (Crawford dan Franco 1996).

Antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan biasanya ditambahkan untuk imbuhan pakan (feed additive) yang secara umum bermanfaat karena secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat gizi dalam pakan dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme pembentukan asam amino (Yuningsih 2005).

Aplikasi antibiotika pada sapi perah dapat dilakukan melalui berbagai cara yang berbeda, yaitu melalui mulut (peroral), intravena, intramuscular, subkutan, intrauterin, dan intra mamari. Semua cara tersebut dapat memacu terjadinya residu antibiotika dalam susu (Mitchell et al. 1995).

Menurut Nisha (2008) efek patologik yang disebabkan oleh antibiotika dalam makanan adalah transfer resistensi bakteri terhadap suatu antibiotika ke manusia, efek immunopatologi, autoimun, karsinogenik (sulfametazin,


(21)

oksitetrasiklin, furazolidon), mutagenik, nefropathy (gentamisin), hepatotoksisiti, kerusakan sistem reproduksi, toksisitas tulang belakang (kloramfenikol) dan alergi (penisillin).

Tetrasiklin

Antibiotika tetrasiklin yang pertama kali ditemukan adalah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofaciens. Oksitetrasiklin berasal dari

Streptomyces rimosus. Tetrasiklin dapat dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, demikian pula dari spesies Streptomyces lainnya. Tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosom. Antibiotika ini masuk ke dalam ribosom bakteri Gram negatif melalui dua proses yaitu difusi pasif melalui kanal hidrofilik dan sistim transport aktif. Antibiotika akan berikatan dengan sub unit ribosom 30s, dan menghalangi masuknya tRNA asam amino pada lokasi asam amino (Kunardi dan Setiabudy 1995). Antibiotika berspektrum luas ini dapat menghambat pertumbuhan sebagian besar bakteri, protozoa, dan organisme intraseluler Mycoplasma, Chlamydia, dan Rickettsia (Spoo dan Riviera 1995).

Antibiotika golongan tetrasiklin yang berguna secara klinik adalah klortetrasiklin (aureomisin), demeklosiklin (deklomisin), doksisiklin (vibramisin), metasiklin (rondomisin), minosiklin (minosin), oksitetrasiklin (terramisin), dan tetrasiklin (akhromisin) (Schullman 1994).

Menurut Kunardi dan Setiabudy (1995) berdasarkan sifat farmakokinetik antibiotika golongan tetrasiklin dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Tetrasiklin, klortetrasiklin, dan oksitetrasiklin, mempunyai absorbsi tidak lengkap dengan masa paruh 6-12 jam,

b. Dimetilklortetrasiklin, mempunyai absorbsi lebih baik dan masa paruh kira-kira 16 jam,

c. Doksisiklin dan minosiklin mempunyai absorbsi yang sangat baik dan masa paruh 17-20 jam.

Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air tetapi bentuk garam natrium dan HCl-nya mudah larut. Tetrasiklin HCl pada keadaan kering dalam bentuk basa dan garam bersifat stabil, sedangkan dalam bentuk larutan, tetrasiklin


(22)

cepat berkurang potensinya (Kunardi dan Setiabudy 1995). Struktur kimia antibiotika golongan tetrasiklin ditampilkan dalam Gambar 1.

N H

2

O H

O O O OH OH

OH OH H C H 3 Cl N C H

3 CH3

H N H 2 O H

O O OH O OH

OH OH H N C H

3 CH3

OH H C H 3 N C H

3 CH3

N H

2

O H

O O OH O OH

OH H OH H C H 3 Tetrasiklin Klortetrasiklin Oksitetrasiklin

Gambar 1. Struktur kimia antibiotika tetrasiklin dan turunannya.

Tetrasiklin di saluran pencernaan diabsorbsi sekitar 30-80%, terikat kuat pada gigi dan struktur tulang (Kunardi dan Setiabudy 1995). Ikatan antara tetrasiklin dengan kalsium tersebut menyebabkan hambatan perkembangan gigi, hipoplasia desiduata, dan gigi permanen. Penggunaan 5-20 parts per million

(ppm) tetrasiklin dalam pakan hewan dapat memacu resistensi Enterobacteriaceae

(Booth 1988). Tetrasiklin didistribusikan ke seluruh tubuh, kecuali pada jaringan lemak. Afinitas yang besar terjadi pada jaringan dengan kecepatan metabolisme dan pertumbuhan yang cepat, misalnya hati, tulang, gigi, dan jaringan neoplasma (Wattimena et al. 1991).

Golongan tetrasiklin diabsorbsi dari dalam darah oleh hati sehingga konsentrasi tertinggi dijumpai dalam parenkim hati dan empedu. Konsentrasi yang tinggi ditemukan dalam empedu, yang dapat mencapai 30 kali konsentrasi dalam darah (Wattimena et al. 1991). Golongan tetrasiklin cepat diserap oleh lambung dan usus halus bagian atas bila dilakukan pemberian secara oral. Sebagian obat yang masuk diabsorbsi oleh usus, diekskresikan ke dalam empedu, dan diabsorbsi


(23)

kembali oleh usus halus. Waktu paruh oksitetrasiklin adalah 8-12 jam (Jones et al.

1977).

Semua golongan tetrasiklin mengalami sirkulasi enterohepatik yang memungkinkan tetrasiklin masih berada di dalam sirkulasi darah untuk waktu yang lama setelah terapi dihentikan (Sande dan Mandell 1985). Hal ini disebabkan sirkulasi enterohepatik membatasi sekresi obat oleh empedu dan mempertahankan konsentrasi terapeutik untuk jangka waktu tertentu. Golongan tetrasiklin terdistribusi secara luas dalam tubuh. Konsentrasi tertinggi dijumpai dalam ginjal, hati, limpa, dan paru-paru (Jones et al. 1977).

Berdasarkan laporan hasil survei dari bulan April 1995 sampai Maret 2000 di Jepang bahwa antibiotika golongan tetrasiklin merupakan antibiotika yang paling banyak pemakaiannya, sebanyak 292 sampel organ ginjal sapi dan babi yang berasal dari rumah potong hewan, menunjukkan bahwa 106 sampel mengandung antibiotika tetrasiklin dan 41 sampel mengandung sulfa, termasuk klortetrasiklin 59 sampel, oksitetrasiklin 7 sampel, sulfamonometoksin 35 sampel, sulfadimetoksin 2 sampel, sulfametoksazol 2 sampel, dan mengandung golongan sulfa lainnya dalam jumlah kecil (Oka et al. 1995).

Batas Residu Tertasiklin

Codex Alimentarius Commission (CAC 2011) menetapkan acceptable daily intake (ADI) tetrasiklin pada pangan segar asal sapi adalah 0-30 µg/kg berat badan, serta maximum residue limit (MRL) atau batas maksimal residu (BMR). Badan Standarisasi Nasional (BSN) juga menetapkan BMR tetrasiklin sebagaimana yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000. Batas maksimum residu antibiotika tetrasiklin pada beberapa pangan asal hewan menurut CAC dan BSN disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Batas maksimal residu tetrasiklin pada pangan asal hewan

Pangan asal hewan CAC (µg/kg) BSN (µg/kg)

Susu 100 50

Daging 200 100

Hati 600 -

Ginjal 1200 -

Telur - 50


(24)

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel susu bubuk dilakukan di Pelabuhan Laut Tanjung Priok, Jakarta. Pengujian sampel dengan menggunakan enzym linked immunosorbent assay (ELISA) dilakukan di laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, sedangkan pengujian dengan high performance liquid chromatography (HPLC) dilaksanakan di Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai dengan April 2012.

Bahan dan Alat

1. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Bahan dan alat yang digunakan adalah kit ELISA untuk antibiotika tetrasiklin (Ridascreen® Tetracyclin Art. No.: R3503), Trichloacetic acid

(TCA ) 3%, Natrium hidroksida (NaOH), larutan substrat chromagen,

microplate well polystyrene, sentrifus, shaker (Vortex), pipet pasteur, pipet

graduate, mikropipet 20-200 l dan 200-1000 l, ELISA reader

(RIDA®SOFT Win Art. No.Z9999).

2. High performance liquid chromatography (HPLC)

Bahan dan alat yang digunakan adalah metanol, asam oksalat 0.0025 M, asetonitril, HPLC Shimadzu LC 20AD, kolom C18 Bondapak Waters Polaris 5, SPE Cartridge Bond Elut C 18 varian, mikropipet 10-100 l dan 100-1000 l, mikropipet syringe 50 l, standar tetrasiklin (Vetranal, SIGMA), vortex, sentrifus.

Rancangan Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengumpulkan sampel susu bubuk yang diambil secara acak sederhana. Sampel susu bubuk diambil di Instalasi Karantina Produk Hewan.

Volume impor susu bubuk dari berbagai negara melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok pada Tahun 2010 sebesar 166 759 533 kg. Unit sampling yang digunakan adalah kemasan kantong dengan konversi 1 kemasan kantong sama


(25)

dengan 25 kg. Jumlah sampel yang diambil dihitung dengan menggunakan rumus

detect disease (Martin et al. 1987).

Jumlah sampel yang didapatkan setelah dilakukan penghitungan dengan perangkat win episcope 2.0 adalah sebesar 59 sampel dan dibulatkan menjadi 60 sampel. Masing-masing sampel sebanyak 100 g dimasukkan ke dalam kantong plastik steril yang telah diberi label kode sampel, jenis susu bubuk, nama perusahaan, negara asal, dan tanggal pengambilan. Jumlah sampel susu bubuk dari berbagai negara yang diambil secara proporsional berdasarkan volume pada tahun 2010 disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Rincian pengambilan sampel per negara berdasarkan volume susu bubuk tahun 2010

No Negara Volume (kg) Jumlah sampel (n)

1 Selandia Baru 39 917 246 16

2 Amerika Serikat 32 608 201 13

3 Belanda 22 516 885 9

4 Australia 21 032 793 8

5 Perancis 12 997 836 5

6 Jerman 8 293 750 3

7 Irlandia 4 332 924 2

8 Denmark 3 623 090 1

9 Swedia 1 754 500 1

10 Kanada 1 750 000 1

11 Polandia 1 284 000 1

Jumlah 60

Sampel yang telah diambil, dilakukan screening test dengan ELISA. Sampel yang menunjukkan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin pada ELISA dikonfirmasi dengan metode HPLC.

Metode Penelitian

Sebanyak 60 sampel diuji dengan ELISA sebagai screening test untuk mengetahui apakah sampel-sampel tersebut mengandung antibiotika tetrasiklin. Uji tersebut dilakukan pada bulan Februari 2012 di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. Sampel yang positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan pengujian ELISA, selanjutnya dilakukan uji konfirmasi dengan


(26)

menggunakan metode HPLC. Uji HPLC tersebut dilakukan sebagai konfirmasi terhadap sampel yang menunjukan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin pada ELISA. Uji HPLC dilakukan pada bulan April 2012 di Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.

1. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)

a. Persiapan sampel

Sebanyak 1 g sampel yang telah homogen dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Kemudian ditambahkan 4 ml TCA 3% lalu dihomogenkan selama 1 menit. Selanjutnya diekstraksi selama 30 menit dengan reciprocating shaker. Sampel didinginkan pada temperatur 4 °C dalam refrigerator. Kemudian disentrifus dengan kecepatan 3 400 rpm selama 10 menit pada temperatur 4 °C lalu diambil 200 l bagian supernatan yang jernih. Selanjutnya diencerkan dengan 200 l larutan buffer atur pH 7.4 dengan 20 l 1 M NaOH. b. Pengujian sampel

Standar (50 l), sampel (50 l) dan enzyme conjugate (100 l) dimasukkan ke dalam microplate well polystyrene yang telah dilapisi dengan tetrasiklin antibodi dan diinkubasi selama 1 jam pada temperatur ruangan. Selama inkubasi terjadi reaksi antara tetrasiklin bebas dari standar atau sampel dan tetrasiklin dari enzyme conjugate

lalu mengikat tetrasiklin antibodi yang diserap dalam bentuk padatan. Dilanjutkan pada tahap pencucian untuk membuang semua ikatan molekul padatan yang tidak diperlukan. Aktivitas ikatan enzim ditentukan dengan penambahan larutan substrate chromagen (100 l) lalu diinkubasi selama 15 menit dalam temperatur ruangan dan di tempat yang gelap. Selama inkubasi enzim mengubah larutan

chromagen yang tidak berwarna menjadi berwarna biru, lalu

ditambahkan stop reagen (100 l) untuk menghentikan reaksi. Kandungan antibiotika tetrasiklin dalam sampel dibaca dengan ELISA Reader. Data diperoleh berdasarkan pembacaan absorbansi sampel atau standar pada ELISA Reader dengan panjang gelombang 450 nm (Panggabean et al. 2009).


(27)

2. High performance liquid chromatography (HPLC) a. Ekstraksi dan pemurnian sampel

Metode ekstraksi yang digunakan diadopsi dari metode yang dikembangkan oleh Cinquina et al. (2003). Sebanyak 5 g susu ditempatkan dalam tabung sentrifus. Setelah itu ditambahkan 2 ml larutan asam trikloroasetat 20% kemudian dikocok menggunakan vorteks. Setelah itu sampel ditambahkan 18 ml larutan buffer Mcllvaine-EDTA kemudian disentrifus pada kecepatan 3 000 rpm selama 10 menit. Larutan supernatan hasil sentrifus dipisahkan dari residunya kemudian dimasukkan ke dalam kolom. Ekstraksi diulangi kembali dengan menambahkan 10 ml larutan buffer Mcllvaine-EDTA, lalu dikocok menggunakan vorteks. Setelah proses ekstraksi selesai, dilanjutkan dengan pemurnian sampel menggunakan SPE Cartridge

(kolom) C 18.

Kolom diaktifkan terlebih dahulu dengan 20 ml metanol dan 20 ml aqua destilata. Sebanyak 10 ml sampel dimasukkan ke dalam kolom kemudian kolom dicuci lagi dengan 20 ml metanol 5%. Setelah itu kolom tersebut dielusi dengan 6 ml metanol oksalat. Filtrat dikeringkan dalam oven suhu 40 oC kemudian dilarutkan dengan 200 µl metanol oksalat. Sebanyak 40 µl sampel dianalisis dengan HPLC.

b. Larutan standar tetrasiklin

Sebanyak 2 mg larutan stok baku tetrasiklin diencerkan dengan 20 ml metanol agar diperoleh larutan baku kerja 100 µg/ml. Selanjutnya dilakukan pengenceran serial hingga diperoleh konsentrasi 1 µg/ml.

c. Analisis dengan HPLC

Sebanyak 40 µl alikuot diinjeksikan ke dalam HPLC Shimadzu seri LC 20AD.

Analisis Data

Data hasil pemeriksaan sampel dengan ELISA dan HPLC diolah dan dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan menyajikannya dalam bentuk tabel dan


(28)

gambar. Analisa deskriptif adalah bidang statistik yang membicarakan cara atau metode mengumpulkan, menyederhanakan dan menyajikan data sehingga bisa memberikan informasi (Mattjik dan Sumertajaya 2000).


(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Susu Bubuk Impor

Sebanyak 60 sampel susu bubuk impor diambil untuk penelitian ini. Sampel diambil dari berbagai negara yang jumlahnya disesuaikan dengan proporsi volume importasi susu bubuk melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok selama tahun 2010.

Susu bubuk dikemas dalam kantong ukuran 25 kg yang terdiri dari 1 lapis kantong plastik di bagian dalam dan 4 lapis kertas semen di bagian luarnya. Plastik digunakan sebagai pembungkus makanan karena kuat dan kencang, mencegah dari kelembaban dan gas, tahan terhadap benturan, transparan sehingga terlihat isi dibagian dalamnya, dan fleksibel. Pengemasan diartikan sebagai usaha dalam menjamin keamanan produk selama pengangkutan, penyimpanan sehingga aman sampai konsumen (Brown 1992).

Pengemasan susu bubuk dilakukan dengan menggunakan kantong (bag) dengan 4 lapis. Lapisan paling dalam adalah lapisan plastik dengan tujuan mengontrol masuknya uap air, sedangkan 3 lapisan kertas yang berlapis-lapis untuk memberikan kekuatan dan melindungi terhadap cahaya (NZMP 2006).

Susu bubuk diangkut menggunakan kontainer dengan suhu dan kelembabannya diatur selama dalam perjalanan dari negara asal ke Indonesia sesuai standar penyimpanan yaitu pada suhu berkisar antara 24-25°C dan kelembaban 65-68%. Kelembaban adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas dalam pengawetan beberapa produk makanan dan mempengaruhi stabilitas keseimbangan kandungan bahan, terutama untuk bahan-bahan yang dikeringkan seperti susu bubuk, egg powder, buah-buahan yang dikeringkan (Nielsen 2003).

Kemasan susu bubuk impor dalam kontainer disusun dengan rapi dan diberi jarak antar baris dengan kantong plastik berisi udara (air bag) agar tidak terjadi benturan antar kemasan yang dapat merusak susunan kemasan, dan di lantai kontainer diberi pallet terbuat dari kayu/aluminium sehingga kemasan tidak bersentuhan langsung dengan lantai kontainer. Hal ini bertujuan memberi sirkulasi udara yang baik dalam kontainer untuk menjaga kualitas susu bubuk impor tersebut tetap baik dan tidak cepat terjadi kerusakan.


(30)

Susu bubuk impor dipergunakan sebagai bahan baku untuk industri pengolahan susu, industri pengolahan roti dan kue, industri pengolahan es krim, dan sebagai bahan campuran pembuatan coklat, kopi creamer, sop, serta produk olahan susu lainnya. Beberapa importir langsung menjual susu bubuk kepada distributor untuk diedarkan kepada konsumen (Herdiana 2007).

Pemeriksaan Organoleptik

Pemeriksaan organoleptik pada susu bubuk impor menunjukkan bahwa 60 sampel susu bubuk impor mempunyai warna yang beragam antara lain putih, putih kekuning-kuningan atau krem, kecoklatan, aromanya khas bau susu, rasanya agak manis, tekstur butirannya halus/lembut, dan tidak menggumpal. Hal ini menunjukkan bahwa secara organoleptik susu bubuk impor berkualitas baik.

Susu bubuk dapat menggumpal dan mengeras karena mengandung kasein. Kasein yang mengeras selama penyimpanan menyebabkan daya larutnya sangat menurun sebagai tanda susu mengalami kerusakan, sehingga susu bubuk tersebut tidak dapat memenuhi fungsinya seperti yang diharapkan (Muchtadi 1997). Sifat kasein mudah menggumpal bila ditambah asam pekat, enzim proteolitik, alkohol pekat atau karena pemanasan (Syarief dan Halid 1997). Susu juga mengandung laktosa. Susu bubuk yang disimpan pada tempat yang lembab atau kadar air yang tinggi menyebabkan laktosa akan mudah menyerap air sehingga susu mudah menggumpal (Juergens et al. 2002).

Sifat organoleptik susu bubuk berhubungan erat dengan komposisi dan kualitas dari bahan baku dan proses pengolahannya. Kadar lemak yang ada dalam susu bubuk akan mempengaruhi aroma. Adanya asam lemak bebas dalam lemak akan mempengaruhi aroma dan perlakuan panas akan menyebabkan perubahan warna. Masa simpan susu bubuk dipengaruhi dari kualitas bahan baku, proses

spray drying dan kondisi di mana susu bubuk disimpan. Kerusakan selama penyimpanan akan mengakibatkan perubahan organoleptik yang nyata (Early 1998).

Pengujian Residu Antibiotika dengan ELISA

Keterbatasan pada beberapa metode pengujian tidak jarang menjadi hambatan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotika pada produk pangan


(31)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0.150 0.450 1.35 4.05 12.15

A b s o r b a n s i %

Konsentrasi (ppb)

termasuk susu. Susu bubuk sebagai produk hasil olahan susu yang telah mengalami proses pemanasan tinggi kemungkinan tetap mengandung antibiotika walaupun hanya dalam jumlah yang kecil.

Pengujian dengan ELISA merupakan metode yang sensitif, spesifik, cepat, mudah, dan secara ekonomi relatif lebih murah jika sampel yang diuji dilakukan dalam jumlah besar. Di samping itu, sejumlah sampel dapat dideteksi dalam waktu yang bersamaan dengan menggunakan sedikit reagen. Beberapa kelemahan dari metode ELISA yaitu spesifisitas yang terbatas karena adanya reaksi silang dengan senyawa-senyawa yang memiliki struktur yang hampir sama. Faktor penting yang harus diperhatikan dalam metode ELISA ini antara lain penanganan terhadap kit ELISA, masa kadaluarsa, peralatan yang digunakan untuk pengujian sudah dikalibrasi dengan baik serta keterampilan dan pengalaman analis dalam melakukan pengujian (Burgess 1995). Metode ELISA merupakan uji yang digunakan sebagai screening test (uji tapis). Uji ini bermanfaat untuk mendapatkan informasi awal mengenai keberadaan antibiotika dalam susu bubuk.


(32)

Limit deteksi ELISA yang digunakan untuk mendeteksi residu antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk pada penelitian ini adalah 1.5 part per billion (ppb) dengan 50% inhibition sebesar 0.763 ppb (Gambar 2). Limit deteksi merupakan tingkat konsentrasi terendah dideteksi dari suatu substansi.

Jumlah sampel yang menunjukkan hasil positif menggunakan kit ELISA untuk antibiotika tetrasiklin (Ridascreen® Tetracyclin Art. No.: R3503) sebanyak

8 dari 60 sampel (13.33%) yang diperiksa dengan kisaran konsentrasi 25.44-73.11 ppb. Hasil pengujian sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin

dalam susu bubuk impor dengan menggunakan ELISA disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil pengujian sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin dalam

susu bubuk impor dengan menggunakan ELISA

No Kode Sampel ELISA (ppb)

1 B4 27.97

2 B5 37.94

3 B7 27.02

4 B9 40.74

5 B12 73.11

6 B18 36.99

7 B19 25.44

8 B40 32.29

Ditemukannya hasil positif antibiotika tetrasiklin pada pengujian ini kemungkinan disebabkan karena susu yang diuji berasal dari hewan yang diobati dengan antibiotika tetrasiklin sehingga meninggalkan residu antibiotika di dalam susu.

Meningkatnya permintaan produk hewan akan diikuti dengan peningkatan pemakaian obat hewan baik dalam jenis maupun jumlahnya. Penggunaan antibiotika secara intensif untuk pengobatan maupun sebagai bahan tambahan dalam pakan tanpa memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) atau tanpa memperhatikan farmakokinetik dari obat maka kemungkinan besar residu dari obat-obatan tersebut akan ditemukan dalam pangan asal hewan dan juga produk olahannya (Latif 2004).

Keberadaan antibiotika dalam pangan asal hewan yang melebihi batas maksimum dapat mengakibatkan efek yang buruk bagi manusia, diantaranya


(33)

reaksi alergi pada individu yang hipersensitif, keracunan, karsinogen, dan menyebabkan resistensi terhadap bakteri sehingga individu tidak dapat merespon pengobatan yang umum digunakan untuk penyakit manusia (Rico 1986; Tan et al.

2009).

Hasil penelitian juga menunjukan bahwa ELISA dapat dipergunakan sebagai screening test, karena memiliki sensitifitas yang baik. Namun hasil uji yang positif harus diuji lanjut dengan menggunakan metode uji konfirmatif. Menurut Salman (2008) dalam screening test, diperlukan sensitifitas uji yang tinggi sebab semakin tinggi nilai sensitifitas, maka semakin kecil kemungkinan diperoleh negatif palsu.

Pengujian Residu Antibiotika dengan HPLC

Metode HPLC mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan metode lainnya yaitu dapat mendeteksi secara kualitatif dan kuantitatif dengan tingkat akurasi, sensitifitas, dan spesifisitas yang tinggi. Namun demikian HPLC mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang lama, reagen dan instrumentasi yang mahal serta operator yang terlatih.

Hasil positif pada pengujian dengan metoda ELISA (8 sampel), dikonfirmasi dengan metoda HPLC. Terdapat 5 dari 8 sampel (62.50%) yang menunjukan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan metode HPLC. Sebanyak 5 sampel juga menunjukan adanya kandungan tetrasiklin dengan nilai di atas BMR, yaitu pada sampel dengan kode B5, B9, B12, B18, dan B40 dengan kisaran 120–840 ppb, sedangkan 3 sampel dengan kode B5, B7, dan B19 tidak mengandung antibiotika tetrasiklin atau konsentrasinya di bawah limit deteksi uji (< 5 ppb). Nilai BMR tetrasiklin dalam susu yang ditetapkan oleh BSN sebagaimana tercantum dalam SNI 01-6366-2000 adalah sebesar 50 ppb (BSN 2000). Hasil uji konfirmasi dengan HPLC terhadap sampel positif mengandung antibiotika tetrasiklin pada pengujian dengan ELISA selengkapnya disajikan pada Tabel 5.


(34)

Tabel 5 Hasil uji konfirmasi dengan HPLC terhadap sampel positif mengandung antibiotika tetrasiklin pada susu bubuk impor dengan ELISA

No Kode

sampel

Sampel positif uji ELISA Konfirmasi dengan HPLC Konsentrasi (ppb) Konsentrasi (ppb)

1 B4 27.97 < 5

2 B5 37.94 310

3 B7 27.02 < 5

4 B9 40.74 610

5 B12 73.11 840

6 B18 36.99 120

7 B19 25.44 < 5

8 B40 32.29 280

Gambaran Antibiotika Tetrasiklin dalam Susu Bubuk Impor

Berdasarkan hasil pemeriksaan kandungan antibiotika dalam susu bubuk yang diimpor dari sejumlah negara, diperoleh gambaran bahwa beberapa negara pengekspor susu bubuk masih menggunakan antibiotika tetrasiklin. Terdapatnya antibiotika dalam susu bubuk, dapat disebabkan oleh penggunaan antibiotika sebagai terapi.

Hasil penelitian ini menunjukan adanya kandungan antibiotika tetrasiklin pada susu bubuk impor. Berdasarkan pengujian ELISA, konsentrasi rata-rata yang terdeteksi masih berada di bawah BMR, namun setelah dilakukan konfirmasi dengan metode HPLC terdapat 5 sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin di atas BMR.

Ditemukannya hasil positif kandungan antibiotika tetrasiklin pada susu bubuk impor menunjukan bahwa susu sebagai bahan dasar pembuatan susu bubuk berasal dari peternakan sapi perah yang menggunakan antibiotika tetrasiklin. Penggunaan antibiotika di peternakan disamping dapat memberikan manfaat bagi hewan dan peternak, namun dapat pula menimbulkan risiko bagi kesehatan masyarakat jika pemakaiannya tidak sesuai aturan. Risiko tersebut berupa adanya residu antibiotika pada daging, lemak, susu, dan telur (Noor et al. 1992). Selain digunakan sebagai pengobatan, antibiotika tetrasiklin juga digunakan sebagai pemacu pertumbuhan dan meningkatkan produksi. Penggunaan antibiotika harus sesuai dengan aturan, apabila melanggar aturan dan tidak mematuhi waktu henti


(35)

obat (withdrawal time) dapat menyebabkan susu mengandung residu antibiotika (Murdiati 1997).

Ditemukannya hasil positif dengan kandungan antibiotika tetrasiklin di atas BMR menunjukan bahwa susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok tidak sepenuhnya aman untuk dikonsumsi. Ditinjau dari segi kesehatan masyarakat veteriner, kandungan antibiotika dalam bahan pangan asal hewan perlu mendapat perhatian, mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan terhadap kesehatan konsumen. Hal ini menuntut perlunya pengawasan dan pengujian terhadap kandungan antibiotik dalam susu bubuk yang diimpor untuk menjamin keamanan susu bubuk sebagai jenis olahan susu yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia.

Salah satu antibiotika yang paling umum digunakan di peternakan adalah tetrasiklin. Tetrasiklin mempunyai spektrum yang luas sehingga efektif terhadap terhadap bakteri Gram positif dan negatif. Sifat tetrasiklin dengan spektrum yang luas menyebabkan antibiotika ini banyak digunakan oleh peternak karena secara ekonomi lebih menguntungkan. Peternakan sapi perah menggunakan tetrasiklin untuk pengobatan terhadap penyakit pernapasan (97% ternak), lumpuh (83%), mastitis (80%), dan penyakit reproduksi (80%). Tetrasiklin juga digunakan sebagai bahan imbuhan pakan (feed additive) untuk meningkatkan pertumbuhan hewan dan sebagai profilaksis. Akibat penggunaan tetrasiklin dimungkinkan adanya residu tetrasiklin dalam susu. Diperlukan suatu metode untuk memantau tingkat kandungan tetrasiklin dalam susu, supaya dapat dipastikan bahwa susu tersebut sudah memenuhi persyaratan batas toleransi yang ditetapkan oleh pemerintah. Residu antibiotika dalam pangan asal hewan dianggap penting karena dapat menyebabkan meningkatnya resistensi mikrooganisme terhadap antibiotika. Penggunaan tetrasiklin yang berlebihan harus dikontrol untuk mengurangi risiko resistensi dan timbulnya strain baru mikroorganisme (Dimitros et al. 1990; Onal 2011; Boyer 2012).

Penggunaan antibiotika hanya diperbolehkan sebagai terapi dengan pengawasan dokter hewan. Untuk meminimalisir penggunaan antibiotika WHO menghimbau peternak agar meningkatkan kesehatan hewan melalui penerapan biosekuriti pada peternakan, pencegahan penyakit dengan mengefektifkan


(36)

program vaksinasi serta menerapkan manajemen yang baik pada peternakan (WHO 2011).

Jaminan keamanan pangan di Indonesia menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait, antara lain pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat termasuk konsumen. Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan peraturan perundang-undangan dan penegakannya, pemberian sosialisasi dan edukasi, melakukan monitoring dan pengumpulan data serta penyediaan anggaran. Pelaku industri, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, bertanggung jawab terhadap penerapan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), Good Manufacturing Practises (GMP) sepanjang rantai pangan (from farm to table), penyediaan sarana dan teknologi sehingga terwujud keamanan pangan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, menyebutkan bahwa keamanan pangan merupakan kondisi daya upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia (RI 1996). Indonesia menetapkan standar maksimum residu dalam produk asal hewan yang dituangkan dalam SNI No. 01-6366-2000. Standar tersebut berlaku untuk produk asal hewan baik impor maupun produk dalam negeri (BSN 2000).

Badan Karantina Pertanian sebagai institusi terdepan dalam pengawasan pemasukan komoditi impor dan ekspor produk hewan perlu menetapkan pengujian secara rutin terhadap produk hewan yang diimpor ke Indonesia untuk mencegah masuknya bahan pangan yang dapat membahayakan kesehatan konsumen, termasuk keberadaan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor.


(37)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok mengandung antibiotika tetrasiklin.

2. Ditemukan 8 dari 60 sampel (13.33%) mengandung antibiotika tetrasiklin dengan pengujian ELISA. Setelah dilakukan uji konfirmasi dengan metode HPLC, terdapat 5 dari 8 sampel yang positif dengan ELISA terdeteksi mengandung antibiotika tetrasiklin.

3. Sebanyak 5 dari 60 sampel (8.3%) mengandung tetrasiklin di atas BMR yang ditetapkan dalam SNI No. 01-6366-2000.

Saran

Pengujian kandungan antibiotika dalam susu bubuk sebagai bagian dari tindakan karantina perlu dilakukan untuk menjamin keamanan susu bubuk yang diimpor ke dalam wilayah Republik Indonesia.


(38)

DAFTAR PUSTAKA

[BBKPTP] Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. 2010. Laporan Tahunan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok 2010. Jakarta: Badan Karantina Pertanian.

[BSN] Badan Standar Nasional. 2000. Batas Maksimal Cemaran Mikroba Dan Batas

Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Dalam Standar Nasional

Indonesia No. 01-6366-2000.

Bezoen A, Haren WV, Hanekamp JC. 2000. Emergence of a Debate : AGPs and Public Health. Amsterdam: Heidelberg Appeal Netherland Foundation. hlm. 19-75

Booth NH. 1988. Drug and Chemical Residues in The Edible Tissues of Animal. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Iowa: Iowa State University. hlm. 1173.

Boyer TC. 2012. Antibiotic resistance in the lower intestinal microbiota of dairy cattle: longitudinal analysis of phenotypic and genotypic resistance. [disertasi]. Minnesota: Faculty of The Graduate School, The University of Minnesota.

Brown WE. 1992. Plastic in Food Packaging Properties, Design and Fabrication. New York: Marcel Deckker, Inc.

Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo Adiono, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari Food Science Technology.

Burgess GW. 1995. Teknologi ELISA dalam Diagnosa dan Penelitian. Artama WT, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari

ELISA Technology in Diagnosis and Research.

[CAC] Codex Alimentarius Comision. 2011. Veterinary Drugs Residues in Food. Diperbarui sampai dengan Sidang ke-34. http://www. codexalimentarius.net/vetdrugs/data/index.html [30 Januari 2012].

[CDUFA] Comitee on Drug Use in Food Animals. 1999. The Use of Drugs in Food Animals: Benefits and Risk. Washington: CABI Publishing and National Academy. hlm. 1-49, 110-153.

Cinquina AL, Longo F, Anastasi G, Giannetti L., Cozzani R. 2003. Validation of a high performance liquid chromatography method for oxytetracycline, tetracycline and chlortetracycline in bovine milk and muscle. J Chromatogr A.987:227-233

Crawford LM, Fanco DA. 1996. Animal Drug and Human Health. Lancaster: Technomic Publishing.


(39)

Dhuha S. 2011. Konsumsi susu cair Indonesia masih rendah. http://www.today. co.id/read/2011/04/27/28007/konsumsi_susu_cair_indonesia_masih_rendah. [15 Januari 2012].

Dimitrios JF, John EP, Nickos AB. 1990. Trace analysis of oxytetracycline and tetracycline in milk by high-performance liquid chromatography. J Agric

Food Chem 38 (10), pp 1913-1917

[Ditjennak] Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2004. Statistik Peternakan Tahun 2004. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian.

Early R. 1998. Milk Concentrates and Milk Powder. Di dalam : The Technology

of Dairy Products. London: Blackie Academic & Professional. hlm. 228-300.

Herdiana UR. 2007. Tingkat Keamanan Susu Bubuk Skim Impor Ditinjau dari Kualitas Mikrobiologi. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Jones LM, Booth NH, McDonald LE. 1977. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Edisi ke-4. Iowa: The Iowa State Univ. hlm. 1301-1302; 1322-1324.

Juergens K, Heeringa D, Johnson G. 2002. The Production and Processing of Fluid Milk Into Dried Milk Powder and Mozzarella Cheese. http://ww.westfaliasurge.com. [27 Juni 2005].

Kunardi L, Setiabudy R. 1995. Golongan tetrasilkin dan kloramfenikol. Di dalam : Farmakologi dan Terapi edisi ke-4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm. 571-583.

Latif H. 2004. Analisis residu antibiotika pada susu bubuk dengan menggunakan beberapa metode pengujian. [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Maree HP. 2003. Goat milk and its use as hypo-allergenic infant food. Khimaira. Goat Connection.

Martin WS, Meek AH, Wileberg P. 1987. Veterinary Epidemiology. Principles and Methods. Iowa: Iowa State University. hlm. 35-38.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor: Jurusan Statistik FMIPA IPB. IPB Pr. hlm 282.

Mitchell M, Bodkin B, Martin J. 1995. Detection of beta lactam antibiotics in bulk tank milk. J Food Prot 58(5):577-578.


(40)

Muchtadi TR. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Makanan. Petunjuk Laboratorium. Cetakan kedua. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Murdiati. 1997. Teknik Deteksi Residu Antibiotika dalam Produk Peternakan. Bogor: Balai Penelitian Veteriner.

Nasution A. 2009. Sikap dan preferensi konsumen dalam mengkonsumsi susu cair. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Nisha AR. 2008. Antibiotic Residues–A Global Health Hazard. Veterinary World

Vol. 1(12) : 375-377

Nielsen SS. 2003. Food Analysis. Third Edition. New York: Purdue University West Lafayette Indiana.

Noor MAR, Siregar B, Patriana U, Rasa FST. 1992. Residu Pada Makanan Asal Hewan. Dalam Kumpulan makalah pada panel diskusi pemasaran hasil produk sapi potong. Jakarta

[NZMP] New Zealand Milk Product. 2006. An Outline of Milk Powder Manufacture. Technical Bulletin. New Zealand.

Oka H, Nakazawa H, Harada K, MacNeil J. D. 1995. Chemical analysis of tetracycline antibiotics. In Chemical Analysis for Antibiotic Used in Agriculture. AOAC J Int. pp 333-405.

Oliviera CAF, Mestieri L, Santos MV, Moreno JFG, Spres A, Germono PML. 2000. Effect of microbial characteristics of raw milk on the quality of whole milk powder. Braz J Microbiol 31:95-98.

Onal A. 2011. Overview on liquid chromatographic analysis of tetracycline residues in food matrices. J Food Chem 127:197-203

Panggabean. TA, Inanusantri, Mardiastuty E. 2009. Identifikasi Residu Neomycin

Pada Daging Ayam di DKI Jakarta. Kesmavet DKI Jakarta.

Pearce KN. 2006. Milk Powder. Food Science Section New Zealand Dairy Research Institute. htpp://www.usdec.org/products/milk powder sepcs /content. cfm? itemnumber=485. [22 Desember 2006].

Pisecky JK. 1997. Handbook Of Milk Powder Manufacturer. London: Association of British Preserved Milk Manufacture.

[RI] Republik Indonesia. 1996. Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Bab I Pasal 1.


(41)

Salman M. 2008. Properties of screening and diagnostic test and issue related to gold standard. Bahan kuliah umum. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. hlm. 17-40

Sande MA, Mandell GL. 1985. Antimicrobial agents; general considerations. Di dalam Goodman LS dan Gillman AG (eds). The Pharmacology Basis of

Therapeutics. Edisi ke-7. New York: Macmillan Publishing Company. hlm.

1170-1176.

Schullman ST. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi. Edisi ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University. hlm. 566-567.

Siregar SB. 1990. Residu Antibiotika dalam Daging. Dalam Kumpulan makalah

seminar nasional penggunaan antibiotika dalam bidang kedokteran hewan.

Jakarta

Spoo JW, Riviere JE. 1995. Sulfonamides. Di dalam : Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Edisi ke-7. Editor Richard. Iowa: Iowa State University. hlm. 753-768;1148-1156.

Sudarwanto M, Lukman DW. 1993. Petunjuk Laboratorium Pemeriksaan Susu dan Produk Olahannya. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Syarief R, Halid H. 1997. Teknologi Penyimpanan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Tan X, Jiang YW, Huang YJ, Hu SH. 2009. Persistence of gentamicin residues in milk after the intramammary treatment of lactating cows for mastitis. J Zhejiang Univ Sci B. April; 10(4): 280–284.

Teuber M. 2001. Veterinary use and antibiotic resistance. Current Opinion in Microbiology. hlm. 4:493-499.

Town L. 2005. Milk Powder Manufacture. Di dalam Milk Powder Packing and

Dry Blending Handbook. New Zealand.

Wattimena JR, Sugiarso NC, Widiarto MB, Sukandar EY, Soemardji AA, Setiadi AR. 1991. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University. hlm. 73-74;195-220.

Widodo. 2003. Teknologi Proses Susu Bubuk. Cetakan 1. Yogyakarta: Lacticia Pr.

[WHO] World Health Organization. 2011. Tackling Antibiotic Resistance From a Food Safety Perspective in Europe. WHO library cataloguing in publication data. ISBN 978 92 890 1421 2.

Yuningsih. 2005. Keberadaan Residu Antibiotika dalam Produk Peternakan (Susu dan Daging). Bogor: Balai Penelitian Veteriner.


(42)

(43)

Lampiran 1 Hasil pengujian kandungan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor dengan metode ELISA

No Kode Sampel Hasil ELISA

(ppb) No Kode Sampel

Hasil ELISA (ppb)

1 B1 < 1.5 31 B31 < 1.5

2 B2 < 1.5 32 B32 < 1.5

3 B3 < 1.5 33 B33 < 1.5

4 B4 27.97 34 B34 < 1.5

5 B5 37.94 35 B35 < 1.5

6 B6 < 1.5 36 B36 < 1.5

7 B7 27.02 37 B37 < 1.5

8 B8 < 1.5 38 B38 < 1.5

9 B9 40.74 39 B39 < 1.5

10 B10 < 1.5 40 B40 32.29

11 B11 < 1.5 41 B41 < 1.5

12 B12 73.11 42 B42 < 1.5

13 B13 < 1.5 43 B43 < 1.5

14 B14 < 1.5 44 B44 < 1.5

15 B15 < 1.5 45 B45 < 1.5

16 B16 < 1.5 46 B46 < 1.5

17 B17 < 1.5 47 B47 < 1.5

18 B18 36.99 48 B48 < 1.5

19 B19 25.44 49 B49 < 1.5

20 B20 < 1.5 50 B50 < 1.5

21 B21 < 1.5 51 B51 < 1.5

22 B22 < 1.5 52 B52 < 1.5

23 B23 < 1.5 53 B53 < 1.5

24 B24 < 1.5 54 B54 < 1.5

25 B25 < 1.5 55 B55 < 1.5

26 B26 < 1.5 56 B56 < 1.5

27 B27 < 1.5 57 B57 < 1.5

28 B28 < 1.5 58 B58 < 1.5

29 B29 < 1.5 59 B59 < 1.5


(44)

HARI YUWONO ADY. Analysis of Tetracycline Residue in Imported Milk Powder through Tanjung Priok Sea Port. Under the direction of HADRI LATIF and A. WINNY SANJAYA.

Using antibiotics in dairy farm are popular for therapy or applied as a stimulant growth. However, the presence of antibiotic residue in milk causes harmful effects on consumer's health. Tetracycline is one of the antibiotic used in an effort to improve the health of livestock, especially in disease treatment. The aim of this research was to analyze tetracycline residue in imported milk powder. Sixty imported milk powder samples were collected at Tanjung Priok Sea Port. All samples were tested using enzym linked immunosorbent assay (ELISA) as a screening test and the result showed 8 out of 60 samples (13.33%) were positive of tetracycline residue. Eight samples which were positive determined by ELISA then were confirmed by high performance liquid chromatography (HPLC) method. Five of the 8 samples contained tetracycline residue in the confirmation method

.

Five samples contained tetracycline residue in a high concentration, which was above the maximum residue limit according to the National Standardization Agency of Indonesia.

Keywords : tetracycline, imported milk powder, ELISA, HPLC


(45)

HARI YUWONO ADY. Analisis Residu Antibiotika Tetrasiklin dalan Susu Bubuk yang Diimpor Melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan A. WINNY SANJAYA.

Susu bubuk merupakan produk olahan susu yang banyak dipasarkan di Indonesia. Peningkatan produksi susu dalam negeri yang tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat mendorong pemerintah untuk melakukan kebijakan importasi susu bubuk. Peningkatan volume impor susu bubuk memerlukan pengawasan terhadap keberadaan bahan berbahaya bagi konsumen, termasuk adanya antibiotika dalam susu bubuk impor. Salah satu golongan antibiotika yang sering digunakan dalam pengobatan sapi perah adalah tetrasiklin.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok dan menyediakan data dan informasi ilmiah untuk Badan Karantina Pertanian dalam menetapkan kebijakan pengujian dalam rangka pemeriksaan residu antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor. Sebanyak 60 sampel diuji dengan metode enzym linked immunosorbent assay (ELISA) sebagai screening test untuk mengetahui keberadaan antibiotika tetrasiklin dalam sampel susu bubuk impor. Limit deteksi ELISA adalah 1.5 part per billion (ppb). Pengujian tersebut dilakukan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. Sampel yang positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan pengujian ELISA, selanjutnya diuji konfirmasi dengan menggunakan metode high performance liquid chromatography (HPLC). Pengujian HPLC tersebut dilakukan sebagai konfirmasi terhadap sampel yang menunjukan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin. Limit deteksi HPLC adalah 5 ppb. Pengujian HPLC dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.

Semua sampel yang diuji dengan ELISA menunjukan hasil 8 dari 60 sampel (13,33%) mengandung residu tetrasiklin. Sebanyak 8 sampel yang positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan menggunakan ELISA kemudian dikonfirmasi dengan menggunakan metode HPLC. Hasil pengujian dengan metode HPLC menunjukan bahwa 5 dari 8 sampel mengandung tetrasiklin dengan kisaran 120-840 ppb. Seluruh sampel yang menunjukan hasil positif pada pengujian konfirmasi ini mengandung tetrasiklin di atas batas maksimum residu (BMR) sebagaimana tercantum dalam Standardisasi Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000.

Ditemukannya susu bubuk impor yang mengandung antibiotika tetrasiklin di atas BMR menunjukan bahwa susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok tidak sepenuhnya aman untuk dikonsumsi. Hal ini menuntut perlunya pengawasan dan pengujian terhadap kandungan antibiotika dalam susu bubuk yang diimpor untuk menjamin keamanan konsumen terhadap jenis olahan susu yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia.


(46)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Susu merupakan bahan makanan sempurna dan mempunyai nilai gizi tinggi. Kandungan zat gizinya selain bernilai tinggi juga lengkap. Perbandingan zat gizi di dalam susu sangat ideal. Bagi manusia, susu merupakan sumber makanan utama untuk bayi. Selain itu, susu juga merupakan makanan bernilai gizi tinggi bagi orang tua dan sumber protein dalam masa pertumbuhan.

Susu bubuk merupakan produk olahan susu yang banyak dipasarkan di Indonesia. Berdasarkan Canadean Survey, perbandingan konsumsi susu bubuk di Indonesia sebesar 77.13% dan konsumsi susu cair sebesar 22.87% (Dhuha 2011). Susu bubuk tidak hanya dikonsumsi oleh balita tetapi juga dikonsumsi oleh semua tingkatan umur hingga lanjut usia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan pasar potensial perdagangan produk olahan susu, terutama susu bubuk. Peningkatan produksi susu dalam negeri yang tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat mendorong pemerintah untuk melakukan kebijakan importasi susu bubuk. Indonesia melakukan importasi susu bubuk dari berbagai negara untuk memenuhi kebutuhan susu, diantaranya adalah Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Philipina, Jerman, Belanda, Prancis, Belgia, dan Swedia (BBKPTP 2010).

Berdasarkan laporan analisa statistik Direktorat Jenderal Peternakan, kebutuhan susu bubuk di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, sedangkan produksi dalam negeri tidak dapat mencukupinya. Untuk memenuhi kebutuhan susu bubuk tersebut, maka pemerintah Indonesia membuat kebijakan importasi susu bubuk dari luar negeri (Ditjennak 2004). Data importasi susu bubuk melalui Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok menunjukkan terjadinya peningkatan dari tahun ke tahun. Selama tahun 2010, impor susu bubuk melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok mencapai 166 759 533 kg, sedangkan pada tahun 2011 sebesar 193 776 066 kg (BBKPTP 2010). Hal ini menunjukkan bahwa importasi susu bubuk meningkat. Susu bubuk impor tersebut berupa skim milk powder, whey powder, full cream milk powder (whole milk powder), butter milk powder, dan whey protein concentrate.


(47)

Peningkatan volume impor susu bubuk memerlukan pengawasan terhadap keberadaan bahan berbahaya bagi konsumen, termasuk adanya antibiotika dalam susu bubuk impor. Penggunaan antibiotika dalam peternakan sapi perah tidak dapat dihindarkan, karena diperlukan untuk mengobati penyakit seperti mastitis, enteritis, dermatitis dan penyakit lainnya. Intensitas penggunaan antibiotik semakin meningkat baik dari segi jumlah, jenis dan cara penggunaannya (Siregar 1990). Salah satu golongan antibiotika yang sering digunakan dalam pengobatan sapi perah adalah golongan tetrasiklin. Selain untuk pengobatan, antibiotika juga digunakan sebagai pemacu pertumbuhan dan produksi. Penggunaan antibiotika harus sesuai dengan aturan, apabila melanggar aturan dan tidak mematuhi waktu henti obat (withdrawal time) dapat menyebabkan susu mengandung residu antibiotika. Residu antibiotika dalam susu dapat menimbulkan alergi, keracunan, gagalnya pengobatan akibat resistensi, gangguan jumlah mikroflora saluran pencernaan (Murdiati 1997).

Karantina Pertanian sebagai instansi yang berperan melakukan pengawasan di tempat-tempat pemasukan memerlukan data mengenai keberadaan antibiotika dalam susu bubuk dan metoda pemeriksaan yang cepat, tepat, dan akurat dalam pelaksanaan tindakan karantina.

Rumusan Masalah

Ditemukannya antibiotika dalam pangan asal hewan erat kaitannya dengan penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit serta penggunaannya sebagai bahan imbuhan pakan (feed additive). Tetrasiklin merupakan salah satu antibiotika yang digunakan dalam upaya meningkatkan kesehatan hewan terutama dalam pengendalian penyakit. Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan ditemukannya antibiotika dan akan sangat membahayakan konsumen bila diberikan secara berlebihan dan tanpa pengawasan.

Susu bubuk impor yang masuk ke Indonesia tidak mencantumkan keterangan bebas kandungan antibiotika. Unit Pelaksana Teknis Badan Karantina Pertanian sebagai pintu gerbang importasi susu bubuk seharusnya melakukan pemeriksaan terhadap kandungan antibiotika pada susu bubuk impor untuk memberikan jaminan keamanan pangan.


(48)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Menganalisis keberadaan residu antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok

2. Menyediakan data dan informasi ilmiah untuk Badan Karantina Pertanian dalam menetapkan kebijakan pengujian dalam rangka pemeriksaan residu antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat keberadaan kandungan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor dan mendapatkan data yang dapat dipergunakan sebagai rujukan dalam rangka pemeriksaan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan peraturan maupun penyempurnaan regulasi yang berkaitan dengan importasi susu bubuk.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok tidak mengandung antibiotika tetrasiklin.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

[BBKPTP] Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. 2010. Laporan Tahunan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok 2010. Jakarta: Badan Karantina Pertanian.

[BSN] Badan Standar Nasional. 2000. Batas Maksimal Cemaran Mikroba Dan Batas Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Dalam Standar Nasional Indonesia No. 01-6366-2000.

Bezoen A, Haren WV, Hanekamp JC. 2000. Emergence of a Debate : AGPs and Public Health. Amsterdam: Heidelberg Appeal Netherland Foundation. hlm. 19-75

Booth NH. 1988. Drug and Chemical Residues in The Edible Tissues of Animal. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Iowa: Iowa State University. hlm. 1173.

Boyer TC. 2012. Antibiotic resistance in the lower intestinal microbiota of dairy cattle: longitudinal analysis of phenotypic and genotypic resistance. [disertasi]. Minnesota: Faculty of The Graduate School, The University of Minnesota.

Brown WE. 1992. Plastic in Food Packaging Properties, Design and Fabrication. New York: Marcel Deckker, Inc.

Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo Adiono, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari Food Science Technology.

Burgess GW. 1995. Teknologi ELISA dalam Diagnosa dan Penelitian. Artama WT, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari ELISA Technology in Diagnosis and Research.

[CAC] Codex Alimentarius Comision. 2011. Veterinary Drugs Residues in Food. Diperbarui sampai dengan Sidang ke-34. http://www. codexalimentarius.net/vetdrugs/data/index.html [30 Januari 2012].

[CDUFA] Comitee on Drug Use in Food Animals. 1999. The Use of Drugs in Food Animals: Benefits and Risk. Washington: CABI Publishing and National Academy. hlm. 1-49, 110-153.

Cinquina AL, Longo F, Anastasi G, Giannetti L., Cozzani R. 2003. Validation of a high performance liquid chromatography method for oxytetracycline, tetracycline and chlortetracycline in bovine milk and muscle. J Chromatogr A.987:227-233

Crawford LM, Fanco DA. 1996. Animal Drug and Human Health. Lancaster: Technomic Publishing.


(2)

Dhuha S. 2011. Konsumsi susu cair Indonesia masih rendah. http://www.today. co.id/read/2011/04/27/28007/konsumsi_susu_cair_indonesia_masih_rendah. [15 Januari 2012].

Dimitrios JF, John EP, Nickos AB. 1990. Trace analysis of oxytetracycline and tetracycline in milk by high-performance liquid chromatography. J Agric Food Chem 38 (10), pp 1913-1917

[Ditjennak] Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2004. Statistik Peternakan Tahun 2004. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian.

Early R. 1998. Milk Concentrates and Milk Powder. Di dalam : The Technology

of Dairy Products. London: Blackie Academic & Professional. hlm. 228-300.

Herdiana UR. 2007. Tingkat Keamanan Susu Bubuk Skim Impor Ditinjau dari Kualitas Mikrobiologi. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Jones LM, Booth NH, McDonald LE. 1977. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Edisi ke-4. Iowa: The Iowa State Univ. hlm. 1301-1302; 1322-1324.

Juergens K, Heeringa D, Johnson G. 2002. The Production and Processing of Fluid Milk Into Dried Milk Powder and Mozzarella Cheese. http://ww.westfaliasurge.com. [27 Juni 2005].

Kunardi L, Setiabudy R. 1995. Golongan tetrasilkin dan kloramfenikol. Di dalam : Farmakologi dan Terapi edisi ke-4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm. 571-583.

Latif H. 2004. Analisis residu antibiotika pada susu bubuk dengan menggunakan beberapa metode pengujian. [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Maree HP. 2003. Goat milk and its use as hypo-allergenic infant food. Khimaira. Goat Connection.

Martin WS, Meek AH, Wileberg P. 1987. Veterinary Epidemiology. Principles and Methods. Iowa: Iowa State University. hlm. 35-38.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor: Jurusan Statistik FMIPA IPB. IPB Pr. hlm 282.

Mitchell M, Bodkin B, Martin J. 1995. Detection of beta lactam antibiotics in bulk tank milk. J Food Prot 58(5):577-578.


(3)

Muchtadi TR. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Makanan. Petunjuk Laboratorium. Cetakan kedua. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Murdiati. 1997. Teknik Deteksi Residu Antibiotika dalam Produk Peternakan. Bogor: Balai Penelitian Veteriner.

Nasution A. 2009. Sikap dan preferensi konsumen dalam mengkonsumsi susu cair. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Nisha AR. 2008. Antibiotic Residues–A Global Health Hazard. Veterinary World Vol. 1(12) : 375-377

Nielsen SS. 2003. Food Analysis. Third Edition. New York: Purdue University West Lafayette Indiana.

Noor MAR, Siregar B, Patriana U, Rasa FST. 1992. Residu Pada Makanan Asal Hewan. Dalam Kumpulan makalah pada panel diskusi pemasaran hasil produk sapi potong. Jakarta

[NZMP] New Zealand Milk Product. 2006. An Outline of Milk Powder Manufacture. Technical Bulletin. New Zealand.

Oka H, Nakazawa H, Harada K, MacNeil J. D. 1995. Chemical analysis of tetracycline antibiotics. In Chemical Analysis for Antibiotic Used in Agriculture. AOAC J Int. pp 333-405.

Oliviera CAF, Mestieri L, Santos MV, Moreno JFG, Spres A, Germono PML. 2000. Effect of microbial characteristics of raw milk on the quality of whole milk powder. Braz J Microbiol 31:95-98.

Onal A. 2011. Overview on liquid chromatographic analysis of tetracycline residues in food matrices. J Food Chem 127:197-203

Panggabean. TA, Inanusantri, Mardiastuty E. 2009. Identifikasi Residu Neomycin Pada Daging Ayam di DKI Jakarta. Kesmavet DKI Jakarta.

Pearce KN. 2006. Milk Powder. Food Science Section New Zealand Dairy Research Institute. htpp://www.usdec.org/products/milk powder sepcs /content. cfm? itemnumber=485. [22 Desember 2006].

Pisecky JK. 1997. Handbook Of Milk Powder Manufacturer. London: Association of British Preserved Milk Manufacture.

[RI] Republik Indonesia. 1996. Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Bab I Pasal 1.


(4)

Salman M. 2008. Properties of screening and diagnostic test and issue related to gold standard. Bahan kuliah umum. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. hlm. 17-40

Sande MA, Mandell GL. 1985. Antimicrobial agents; general considerations. Di dalam Goodman LS dan Gillman AG (eds). The Pharmacology Basis of Therapeutics. Edisi ke-7. New York: Macmillan Publishing Company. hlm. 1170-1176.

Schullman ST. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi. Edisi ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University. hlm. 566-567.

Siregar SB. 1990. Residu Antibiotika dalam Daging. Dalam Kumpulan makalah seminar nasional penggunaan antibiotika dalam bidang kedokteran hewan. Jakarta

Spoo JW, Riviere JE. 1995. Sulfonamides. Di dalam : Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Edisi ke-7. Editor Richard. Iowa: Iowa State University. hlm. 753-768;1148-1156.

Sudarwanto M, Lukman DW. 1993. Petunjuk Laboratorium Pemeriksaan Susu dan Produk Olahannya. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Syarief R, Halid H. 1997. Teknologi Penyimpanan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Tan X, Jiang YW, Huang YJ, Hu SH. 2009. Persistence of gentamicin residues in milk after the intramammary treatment of lactating cows for mastitis. J Zhejiang Univ Sci B. April; 10(4): 280–284.

Teuber M. 2001. Veterinary use and antibiotic resistance. Current Opinion in Microbiology. hlm. 4:493-499.

Town L. 2005. Milk Powder Manufacture. Di dalam Milk Powder Packing and Dry Blending Handbook. New Zealand.

Wattimena JR, Sugiarso NC, Widiarto MB, Sukandar EY, Soemardji AA, Setiadi AR. 1991. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University. hlm. 73-74;195-220.

Widodo. 2003. Teknologi Proses Susu Bubuk. Cetakan 1. Yogyakarta: Lacticia Pr.

[WHO] World Health Organization. 2011. Tackling Antibiotic Resistance From a Food Safety Perspective in Europe. WHO library cataloguing in publication data. ISBN 978 92 890 1421 2.

Yuningsih. 2005. Keberadaan Residu Antibiotika dalam Produk Peternakan (Susu dan Daging). Bogor: Balai Penelitian Veteriner.


(5)

(6)

Lampiran 1 Hasil pengujian kandungan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor dengan metode ELISA

No Kode Sampel Hasil ELISA

(ppb) No Kode Sampel

Hasil ELISA (ppb)

1 B1 < 1.5 31 B31 < 1.5

2 B2 < 1.5 32 B32 < 1.5

3 B3 < 1.5 33 B33 < 1.5

4 B4 27.97 34 B34 < 1.5 5 B5 37.94 35 B35 < 1.5

6 B6 < 1.5 36 B36 < 1.5

7 B7 27.02 37 B37 < 1.5

8 B8 < 1.5 38 B38 < 1.5

9 B9 40.74 39 B39 < 1.5

10 B10 < 1.5 40 B40 32.29

11 B11 < 1.5 41 B41 < 1.5

12 B12 73.11 42 B42 < 1.5

13 B13 < 1.5 43 B43 < 1.5

14 B14 < 1.5 44 B44 < 1.5

15 B15 < 1.5 45 B45 < 1.5

16 B16 < 1.5 46 B46 < 1.5

17 B17 < 1.5 47 B47 < 1.5

18 B18 36.99 48 B48 < 1.5 19 B19 25.44 49 B49 < 1.5

20 B20 < 1.5 50 B50 < 1.5

21 B21 < 1.5 51 B51 < 1.5

22 B22 < 1.5 52 B52 < 1.5

23 B23 < 1.5 53 B53 < 1.5

24 B24 < 1.5 54 B54 < 1.5

25 B25 < 1.5 55 B55 < 1.5

26 B26 < 1.5 56 B56 < 1.5

27 B27 < 1.5 57 B57 < 1.5

28 B28 < 1.5 58 B58 < 1.5

29 B29 < 1.5 59 B59 < 1.5