Analysis of Tetracycline Residue in Imported Milk Powder through Tanjung Priok Sea Port

ANALISIS
S RESIDU
RESI
ANTIBIOTIKA TETRASIKLI
SIKLIN
DALAM SUSU
SU BUBUK YANG DIIMPOR MELA
ELALUI
PELABU
BUHAN LAUT TANJUNG PRIOK

HARI YUWONO ADY

SEKOLAH PASCASARJANA
SEKOLA
INSTI
STITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Residu Antibiotika
Tetrasiklin dalam Susu Bubuk yang Diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung
Priok adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di Bagian Akhir
tesis ini.
Bogor, Juni 2012

Hari Yuwono Ady
NIM : B 251100224

ABSTRACT
HARI YUWONO ADY. Analysis of Tetracycline Residue in Imported Milk
Powder through Tanjung Priok Sea Port. Under the direction of HADRI LATIF
and A. WINNY SANJAYA.
Using antibiotics in dairy farm are popular for therapy or applied as a
stimulant growth. However, the presence of antibiotic residue in milk causes
harmful effects on consumer's health. Tetracycline is one of the antibiotic used in

an effort to improve the health of livestock, especially in disease treatment. The
aim of this research was to analyze tetracycline residue in imported milk powder.
Sixty imported milk powder samples were collected at Tanjung Priok Sea Port.
All samples were tested using enzym linked immunosorbent assay (ELISA) as a
screening test and the result showed 8 out of 60 samples (13.33%) were positive
of tetracycline residue. Eight samples which were positive determined by ELISA
then were confirmed by high performance liquid chromatography (HPLC)
method. Five of the 8 samples contained tetracycline residue in the confirmation
method. Five samples contained tetracycline residue in a high concentration,
which was above the maximum residue limit according to the National
Standardization Agency of Indonesia.
Keywords : tetracycline, imported milk powder, ELISA, HPLC

.

RINGKASAN
HARI YUWONO ADY. Analisis Residu Antibiotika Tetrasiklin dalan Susu
Bubuk yang Diimpor Melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok. Dibimbing oleh
HADRI LATIF dan A. WINNY SANJAYA.
Susu bubuk merupakan produk olahan susu yang banyak dipasarkan di

Indonesia. Peningkatan produksi susu dalam negeri yang tidak sebanding dengan
peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat mendorong pemerintah untuk
melakukan kebijakan importasi susu bubuk. Peningkatan volume impor susu
bubuk memerlukan pengawasan terhadap keberadaan bahan berbahaya bagi
konsumen, termasuk adanya antibiotika dalam susu bubuk impor. Salah satu
golongan antibiotika yang sering digunakan dalam pengobatan sapi perah adalah
tetrasiklin.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan antibiotika
tetrasiklin dalam susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok
dan menyediakan data dan informasi ilmiah untuk Badan Karantina Pertanian
dalam menetapkan kebijakan pengujian dalam rangka pemeriksaan residu
antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor. Sebanyak 60 sampel diuji dengan
metode enzym linked immunosorbent assay (ELISA) sebagai screening test untuk
mengetahui keberadaan antibiotika tetrasiklin dalam sampel susu bubuk impor.
Limit deteksi ELISA adalah 1.5 part per billion (ppb). Pengujian tersebut
dilakukan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok.
Sampel yang positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan pengujian ELISA,
selanjutnya diuji konfirmasi dengan menggunakan metode high performance
liquid chromatography (HPLC). Pengujian HPLC tersebut dilakukan sebagai
konfirmasi terhadap sampel yang menunjukan hasil positif mengandung

antibiotika tetrasiklin. Limit deteksi HPLC adalah 5 ppb. Pengujian HPLC
dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.
Semua sampel yang diuji dengan ELISA menunjukan hasil 8 dari 60 sampel
(13,33%) mengandung residu tetrasiklin. Sebanyak 8 sampel yang positif
mengandung antibiotika tetrasiklin dengan menggunakan ELISA kemudian
dikonfirmasi dengan menggunakan metode HPLC. Hasil pengujian dengan
metode HPLC menunjukan bahwa 5 dari 8 sampel mengandung tetrasiklin dengan
kisaran 120-840 ppb. Seluruh sampel yang menunjukan hasil positif pada
pengujian konfirmasi ini mengandung tetrasiklin di atas batas maksimum residu
(BMR) sebagaimana tercantum dalam Standardisasi Nasional Indonesia (SNI)
01-6366-2000.
Ditemukannya susu bubuk impor yang mengandung antibiotika tetrasiklin
di atas BMR menunjukan bahwa susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan
Laut Tanjung Priok tidak sepenuhnya aman untuk dikonsumsi. Hal ini menuntut
perlunya pengawasan dan pengujian terhadap kandungan antibiotika dalam susu
bubuk yang diimpor untuk menjamin keamanan konsumen terhadap jenis olahan
susu yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia.
Kata kunci: tetrasiklin, residu, susu bubuk impor, ELISA, HPLC

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya Karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

ANALISIS RESIDU ANTIBIOTIKA TETRASIKLIN
DALAM SUSU BUBUK YANG DIIMPOR MELALUI
PELABUHAN LAUT TANJUNG PRIOK

HARI YUWONO ADY

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si.

Judul Tesis
Nama
NIM

: Analisis Residu Antibiotika Tetrasiklin dalam Susu Bubuk yang
Diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok
: Hari Yuwono Ady
: B251100224

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. drh. Hadri Latif, M.Si.

Ketua

Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS.
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si.

Tanggal Ujian : 28 Mei 2012

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Lulus :


PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT.,atas segala karunia dan ridho-NYA, sehingga tesis dengan judul “Analisis
Residu Antibiotika Tetrasiklin dalam Susu Bubuk yang Diimpor melalui
Pelabuhan Laut Tanjung Priok” ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Magister Sains (M.Si.) pada Program Studi Kesehatan Masysrakat Veteriner,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat
dan ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Kepala Badan Karantina
Pertanian beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menempuh pendidikan ini. Disamping itu, terimakasih dan penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. Hadri Latif, M.Si. dan Ibu Prof. Dr. drh.
A. Winny Sanjaya, MS. selaku komisi pembimbing atas arahan dan waktu yang
telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi serta kepada Bapak Dr. drh.
Trioso Purnawarman, M.Si. yang telah banyak memberikan masukan dan saran.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. beserta
seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner IPB dalam
membantu kelancaran pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan

kepada Kepala BBKP Tanjung Priok beserta seluruh jajarannya yang telah
memberikan fasilitas, kemudahan-kemudahan dan motivasinya. Terima kasih
kepada rekan-rekan di Laboratorium BBKP Tanjung Priok dan Laboratorium
Toksikologi BBALITVET Bogor yang telah membantu melakukan pengujian.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Balai Uji Terap Teknik dan
Metode Karantina Pertanian beserta staf atas saran dan masukan. Terima kasih
penulis sampaikan kepada rekan-rekan seangkatan atas kebersamaan dan
kerjasamanya selama ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan sedalamdalamnya kepada Ibu Sri Upami, Bapak mertua dan Mama mertua serta kakakkakak dan adikku atas segala bantuan dan iringan doanya. Terima kasih juga
disampaikan kepada istriku Ulya Rakhmi, putriku Nadya Syakira Novharyanti dan
putraku Adyllan Wicaksono tercinta, atas semua dukungan, motivasi pengertian,
kesabaran menanti, kasih sayang dan doanya.
Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang
ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu
pengembangan lebih lanjut agar benar benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis
sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan agar tesis ini lebih sempurna.
Akhir kata, penulis berharap tesis ini memberikan manfaat bagi kita semua
terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan berguna bagi Badan
Karantina Pertanian serta masyarakat.
Bogor, Juni 2012


Hari Yuwono Ady

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 8 September 1976 dari ayah
Alm. Sutartyo Karto Atmodjo dan ibu Sri Upami. Penulis merupakan putra
kesepuluh dari sepuluh bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1988 di SDN
Ranterejo Kebumen dan pada tahun 1991 menyelesaikan pendidikan Sekolah
Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Kebumen. Selanjutnya penulis
menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Kebumen dan lulus pada
tahun 1994. Tahun 1994, penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH-UGM) dan meraih gelar Dokter Hewan
pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner pada Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2010.
Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Karantina Pertanian
Kementerian Pertanian.
Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Badan Karantina
Pertanian pada akhir tahun 2001 dan ditempatkan di Pos Karantina Hewan Bima.
Setelah empat tahun bertugas, penulis dimutasi ke Balai Besar Karantina Hewan
Soekarno Hatta pada Januari 2006. Setelah lima tahun, penulis dimutasi lagi ke

Pusat Kepatuhan, Kerjasama dan Informasi Badan Karantina Pertanian.
Selanjutnya pada tahun 2012 dimutasi ke Balai Besar Karantina Pertanian
Tanjung Priok sampai sekarang. Tahun 2010, penulis mendapat beasiswa dari
Badan Karantina Pertanian untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................

xix

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

xxi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................
Rumusan Masalah ...................................................................................
Tujuan Penelitian ....................................................................................
Manfaat Penelitian ..................................................................................
Hipotesis Penelitian.................................................................................

1
2
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Susu Bubuk .............................................................................................
Antibiotika dan Penggunaannya .............................................................
Tetrasiklin ...............................................................................................
Batas Residu Tetrasiklin .........................................................................

4
6
8
10

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................
Bahan dan Alat .......................................................................................
Rancangan Penelitian..............................................................................
Metode Penelitian ...................................................................................
Analisa Data............................................................................................

11
11
11
12
14

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Susu Bubuk Impor ....................................................................
Pemeriksaan Organoleptik ......................................................................
Pengujian Residu Antibiotika dengan ELISA ........................................
Pengujian Residu Antibiotika dengan HPLC .........................................
Gambaran Residu Antibiotika pada Susu Bubuk Impor ........................

16
17
17
20
21

SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................

24

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

25

LAMPIRAN .....................................................................................................

29

xvii

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Komposisi kandungan gizi beberapa jenis susu bubuk ..........................

5

2

Batas maksimal residu tetrasiklin pada pangan asal hewan ...................

10

3

Rincian pengambilan sampel per negara berdasarkan volume
susu bubuk tahun 2010 ...........................................................................

12

Hasil pengujian sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin
dalam susu bubuk impor dengan menggunakan ELISA.........................

19

Hasil uji konfirmasi dengan HPLC terhadap sampel positif
mengandung antibiotika tetrasiklin pada susu bubuk impor
dengan ELISA ........................................................................................

21

4
5

xviii
xix

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Struktur kimia antibiotika tetrasiklin dan turunannya ............................

9

2

Kurva standar hasil ELISA antibiotika tetrasiklin dalam susu
bubuk ......................................................................................................

18

xix
xxi

1

PENDAHULUAN
Latar belakang
Susu merupakan bahan makanan sempurna dan mempunyai nilai gizi tinggi.
Kandungan zat gizinya selain bernilai tinggi juga lengkap. Perbandingan zat gizi
di dalam susu sangat ideal. Bagi manusia, susu merupakan sumber makanan
utama untuk bayi. Selain itu, susu juga merupakan makanan bernilai gizi tinggi
bagi orang tua dan sumber protein dalam masa pertumbuhan.
Susu bubuk merupakan produk olahan susu yang banyak dipasarkan di
Indonesia. Berdasarkan Canadean Survey, perbandingan konsumsi susu bubuk di
Indonesia sebesar 77.13% dan konsumsi susu cair sebesar 22.87% (Dhuha 2011).
Susu bubuk tidak hanya dikonsumsi oleh balita tetapi juga dikonsumsi oleh semua
tingkatan umur hingga lanjut usia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia
merupakan pasar potensial perdagangan produk olahan susu, terutama susu
bubuk. Peningkatan produksi susu dalam negeri yang tidak sebanding dengan
peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat mendorong pemerintah untuk
melakukan kebijakan importasi susu bubuk. Indonesia melakukan importasi susu
bubuk dari berbagai negara untuk memenuhi kebutuhan susu, diantaranya adalah
Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Philipina, Jerman, Belanda,
Prancis, Belgia, dan Swedia (BBKPTP 2010).
Berdasarkan laporan analisa statistik Direktorat Jenderal Peternakan,
kebutuhan susu bubuk di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat,
sedangkan produksi dalam negeri tidak dapat mencukupinya. Untuk memenuhi
kebutuhan susu bubuk tersebut, maka pemerintah Indonesia membuat kebijakan
importasi susu bubuk dari luar negeri (Ditjennak 2004). Data importasi susu
bubuk melalui Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok menunjukkan
terjadinya peningkatan dari tahun ke tahun. Selama tahun 2010, impor susu bubuk
melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok mencapai 166 759 533 kg, sedangkan pada
tahun 2011 sebesar 193 776 066 kg (BBKPTP 2010). Hal ini menunjukkan bahwa
importasi susu bubuk meningkat. Susu bubuk impor tersebut berupa skim milk
powder, whey powder, full cream milk powder (whole milk powder), butter milk
powder, dan whey protein concentrate.

2

Peningkatan volume impor susu bubuk memerlukan pengawasan terhadap
keberadaan bahan berbahaya bagi konsumen, termasuk adanya antibiotika dalam
susu bubuk impor. Penggunaan antibiotika dalam peternakan sapi perah tidak
dapat dihindarkan, karena diperlukan untuk mengobati penyakit seperti mastitis,
enteritis, dermatitis dan penyakit lainnya. Intensitas penggunaan antibiotik
semakin meningkat baik dari segi jumlah, jenis dan cara penggunaannya (Siregar
1990). Salah satu golongan antibiotika yang sering digunakan dalam pengobatan
sapi perah adalah golongan tetrasiklin. Selain untuk pengobatan, antibiotika juga
digunakan sebagai pemacu pertumbuhan dan produksi. Penggunaan antibiotika
harus sesuai dengan aturan, apabila melanggar aturan dan tidak mematuhi waktu
henti obat (withdrawal time) dapat menyebabkan susu mengandung residu
antibiotika. Residu antibiotika dalam susu dapat menimbulkan alergi, keracunan,
gagalnya pengobatan akibat resistensi, gangguan jumlah mikroflora saluran
pencernaan (Murdiati 1997).
Karantina Pertanian sebagai instansi yang berperan melakukan pengawasan
di tempat-tempat pemasukan memerlukan data mengenai keberadaan antibiotika
dalam susu bubuk dan metoda pemeriksaan yang cepat, tepat, dan akurat dalam
pelaksanaan tindakan karantina.
Rumusan Masalah
Ditemukannya antibiotika dalam pangan asal hewan erat kaitannya dengan
penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit serta penggunaannya sebagai
bahan imbuhan pakan (feed additive). Tetrasiklin merupakan salah satu antibiotika
yang digunakan dalam upaya meningkatkan kesehatan hewan terutama dalam
pengendalian penyakit. Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan
ditemukannya antibiotika dan akan sangat membahayakan konsumen bila
diberikan secara berlebihan dan tanpa pengawasan.
Susu bubuk impor yang masuk ke Indonesia tidak mencantumkan
keterangan bebas kandungan antibiotika. Unit Pelaksana Teknis Badan Karantina
Pertanian sebagai pintu gerbang importasi susu bubuk seharusnya melakukan
pemeriksaan terhadap kandungan antibiotika pada susu bubuk impor untuk
memberikan jaminan keamanan pangan.

3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1.

Menganalisis keberadaan residu antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk
yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok

2.

Menyediakan data dan informasi ilmiah untuk Badan Karantina Pertanian
dalam menetapkan kebijakan pengujian dalam rangka pemeriksaan residu
antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat

keberadaan kandungan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor dan
mendapatkan data yang dapat dipergunakan sebagai rujukan dalam rangka
pemeriksaan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk, sehingga dapat menjadi
bahan pertimbangan dalam perumusan peraturan maupun penyempurnaan regulasi
yang berkaitan dengan importasi susu bubuk.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah susu bubuk yang diimpor
melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok tidak mengandung antibiotika tetrasiklin.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Susu Bubuk
Salah satu metode untuk memperpanjang masa simpan susu adalah dengan
mengubahnya menjadi susu bubuk. Susu bubuk telah dihasilkan mulai 100 tahun
yang lalu dan berkembang pesat dalam waktu 50 tahun terakhir. Pembuatan susu
bubuk merupakan salah satu cara yang paling sukses dan penting dalam
pengawetan susu (Town 2005).
Susu bubuk merupakan sumber protein yang sangat baik dan penting,
mudah disusun kembali/rekonstruksi menjadi susu cair serta dapat menjadi bahanbahan unsur produk lainnya. Secara luas susu bubuk dapat digunakan untuk
produksi roti, biskuit, kue-kue, kopi krimer, sop, keju, susu coklat, es krim, susu
formula, nutrisi tambahan, rekombinan produk susu seperti susu pasteurisasi, susu
evaporasi, susu kental manis, keju lunak dan keju keras, krem, whipping cream,
yoghurt, dan produk fermentasi lainnya (Pearce 2006; Juergens et al. 2002).
Susu bubuk merupakan bentuk olahan dari susu segar yang dibuat dengan
cara memanaskan susu pada suhu 80 °C selama 30 detik, kemudian dilakukan
proses pengolahan dengan beberapa tahapan yaitu evaporasi, homogenisasi, dan
pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan spray dryer atau roller dryer.
Produk ini mengandung 2-4% air (Nasution 2009).
Perubahan dari susu cair menjadi susu bubuk memerlukan penghilangan air
melalui beberapa tahap hingga menjadi produk akhir. Selama proses pengurangan
air terjadi perubahan terhadap sifat, struktur kimia, dan penampakan (appearance)
susu. Susu merupakan produk yang sensitif dan kualitasnya sangat mudah
dipengaruhi terutama oleh panas dan aktivitas bakteri (Pisecky 1997).
Keunggulan dari susu bubuk adalah masa simpannya yang paling baik
dibandingkan dengan bentuk pengawetan susu yang lain, tidak membutuhkan
pendinginan selama penyimpanan dan transportasi. Kadar air lebih sedikit yaitu
hanya seperdelapan berat dan seperempat volume dari susu cair sehingga
menghemat transportasi dan dapat diaplikasikan pada semua produk akhir (Town
2005).

5

Proses pengolahan susu menjadi bubuk mampu memperpanjang masa
simpan susu hingga dua tahun dalam kemasan alumunium dan kotak karton.
Namun tahapan proses yang cukup panjang dalam menghasilkan susu bubuk
menjadikan kandungan nutrisi yang ada di dalam susu berkurang, bahkan protein
mengalami kerusakan hingga 30%. Karena itulah pada proses pembuatan susu
bubuk ditambahkan berbagai vitamin yang diharapkan dapat menggantikan
kandungan yang hilang selama proses pengolahan agar kembali seperti semula,
namun kondisinya tidak akan sama dengan susu segar. Proses ini bahkan dapat
menimbulkan reaksi Maillard, yaitu terjadinya pigmen cokelat antara gula dan
protein susu karena pemanasan yang lama menyebabkan protein semakin sulit
untuk dicerna (Nasution 2009).
Susu bubuk dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu susu bubuk berlemak,
susu bubuk rendah lemak dan susu bubuk tanpa lemak. Susu bubuk berlemak (full
cream milk powder) adalah susu yang telah diubah bentuknya menjadi bubuk.
Susu bubuk rendah lemak (partly skim milk powder) adalah susu yang telah
diambil sebagian lemaknya dan diubah bentuknya menjadi bubuk. Susu bubuk
tanpa lemak (skim milk powder) adalah susu yang telah diambil lemaknya dan
diubah menjadi bubuk (BSN 2000).
Gizi yang tersedia dalam susu bubuk berupa protein, glukosida, lipida,
garam-garam mineral dan vitamin sangat cocok untuk pertumbuhan dan
pertambahan jumlah sel tubuh anak-anak dan mamalia muda lainnya (Buckle et
al. 1987). Komposisi kandungan gizi dari berbagai jenis susu bubuk dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kandungan gizi beberapa jenis susu bubuk
Jenis Susu Bubuk
Susu Bubuk Full Cream
Susu Bubuk Skim
Susu Bubuk Krim
Susu Bubuk Whey
Susu bubuk Buttermilk

Air
(%)

Protein
(%)

Lemak
(%)

3.5
4.3
4.0
7.1
3.1

25.2
35.0
21.5
12.0
33.4

26.2
0.97
40.0
1.2
2.28

Sumber : Sudarwanto dan Lukman 1993.

Laktosa Mineral
(%)
(%)
38.1
51.9
29.5
71.5
54.7

7.0
7.8
5
8.2
6.5

6

Metode pengeringan yang dilakukan pada proses pembuatan susu bubuk
dapat menggunakan spray dryer maupun drum dryer. Spray drying merupakan
salah satu bentuk pengeringan yang sudah banyak diaplikasikan di industri
pengolahan susu. Metode ini akan berpengaruh terhadap total bahan padat yang
dihasilkan dari susu bubuk. Suhu pengeringan yang tinggi akan menghasilkan
susu bubuk dengan kadar air rendah dan total bahan padat yang tinggi (Widodo
2003). Keuntungan dari susu bubuk dengan metode spray drying adalah lebih
mudah dicerna dan lebih aman karena tidak menyebabkan alergi (Maree 2003).
Menurut Oliviera et al. (2000) proses pembuatan susu bubuk dengan
menggunakan spray dryer melalui beberapa tahap yaitu :
a.

Perlakuan pasteurisasi dengan suhu 90 ºC selama 8 detik atau 108 ºC selama
2 detik.

b.

Penguapan air dengan perlakuan pemanasan akan menghasilkan 48%
padatan.

c.

Proses penyemprotan kering (spray drying), susu disemprot dengan udara
kering melalui lubang pada suhu 270 ºC.
Susu bubuk yang dikeringkan dengan drum dryer butirannya berbentuk

pipih dengan ketebalan 8-10 µ. Sifat kelarutan dalam air kurang sempurna, karena
butiran-butiran lemak akan mengapung di atas. Susu bubuk yang dikeringkan
dengan spray dryer terdiri atas partikel 10-15 µ. Sifat kelarutan dalam air
sempurna, hampir sama dengan susu segar. Adanya udara diantara butiran-butiran
tersebut dapat menyebabkan timbulnya oksidasi selama penyimpanan (Syarief dan
Halid 1997).
Di Indonesia proses pembuatan susu bubuk oleh produsen pada umumnya
mencampur susu bubuk yang diimpor dengan perasa atau pun tambahan bahan
lainnya (Herdiana 2007).
Antibiotika dan Penggunaannya
Antbiotika merupakan suatu bahan atau zat yang diproduksi oleh bakteri
atau cendawan tertentu yang dapat digunakan untuk pengobatan terhadap infeksi
terutama yang disebabkan oleh bakteri. Senyawa ini mampu menghentikan proses
pertumbuhan bakteri bahkan dapat membunuh bakteri yang secara umum dikenal
sebagai efek bakteriostatik dan bakterisidal (Bezoen et al. 2000).

7

Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dari antibiotika
tersebut ataupun berdasarkan target kerjanya pada sel (Bezoen et al. 2000). Secara
umum antibiotika diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu broad spectrum dan
narrow spectrum. Antibiotika yang bersifat broad spectrum secara umum
mempunyai kemampuan membunuh mikroorganisme dari berbagai spesies
(cakupan yang luas) sedangkan antibiotika yang bersifat narrow spectrum hanya
mampu membunuh mikroorganisme spesifik (CDUFA 1999).
Secara umum penggunaan antibiotika di peternakan bertujuan untuk :
1. Pengobatan sehingga mengurangi risiko kematian dan mengembalikan
kondisi hewan yang dapat berproduksi kembali (normal), juga mencegah
tersebarnya mikroorganisme patogen ke hewan lainnya.
2. Memacu pertumbuhan (growth promotor), sehingga dapat mempercepat
pertumbuhan atau meningkatkan produk hewan serta mengurangi biaya
pakan.
Diperkirakan 50% dari seluruh antimikrobial digunakan untuk keperluan
pada bidang kedokteran hewan (Teuber 2001). Hasil penelitian menunjukan
bahwa penggunaan antibiotika dalam dunia peternakan berkisar antara 80% dalam
perunggasan, 75% pada peternakan babi, 60% pada peternakan sapi potong dan
75% antibiotika digunakan dalam peternakan sapi perah (Crawford dan Franco
1996).
Antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan biasanya ditambahkan untuk
imbuhan pakan (feed additive) yang secara umum bermanfaat karena secara tidak
langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat gizi
dalam pakan dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme pembentukan asam
amino (Yuningsih 2005).
Aplikasi antibiotika pada sapi perah dapat dilakukan melalui berbagai cara
yang berbeda, yaitu melalui mulut (peroral), intravena, intramuscular, subkutan,
intrauterin, dan intra mamari. Semua cara tersebut dapat memacu terjadinya residu
antibiotika dalam susu (Mitchell et al. 1995).
Menurut Nisha (2008) efek patologik yang disebabkan oleh antibiotika
dalam makanan adalah transfer resistensi bakteri terhadap suatu antibiotika ke
manusia,

efek

immunopatologi,

autoimun,

karsinogenik

(sulfametazin,

8

oksitetrasiklin, furazolidon), mutagenik, nefropathy (gentamisin), hepatotoksisiti,
kerusakan sistem reproduksi, toksisitas tulang belakang (kloramfenikol) dan alergi
(penisillin).
Tetrasiklin
Antibiotika tetrasiklin yang pertama kali ditemukan adalah klortetrasiklin
yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofaciens. Oksitetrasiklin berasal dari
Streptomyces rimosus. Tetrasiklin dapat dibuat secara semisintetik dari
klortetrasiklin, demikian pula dari spesies Streptomyces lainnya. Tetrasiklin
menghambat sintesis protein bakteri pada ribosom. Antibiotika ini masuk ke
dalam ribosom bakteri Gram negatif melalui dua proses yaitu difusi pasif melalui
kanal hidrofilik dan sistim transport aktif. Antibiotika akan berikatan dengan sub
unit ribosom 30s, dan menghalangi masuknya tRNA asam amino pada lokasi
asam amino (Kunardi dan Setiabudy 1995). Antibiotika berspektrum luas ini
dapat menghambat pertumbuhan sebagian besar bakteri, protozoa, dan organisme
intraseluler Mycoplasma, Chlamydia, dan Rickettsia (Spoo dan Riviera 1995).
Antibiotika golongan tetrasiklin yang berguna secara klinik adalah
klortetrasiklin (aureomisin), demeklosiklin (deklomisin), doksisiklin (vibramisin),
metasiklin (rondomisin), minosiklin (minosin), oksitetrasiklin (terramisin), dan
tetrasiklin (akhromisin) (Schullman 1994).
Menurut Kunardi dan Setiabudy (1995) berdasarkan sifat farmakokinetik
antibiotika golongan tetrasiklin dibagi menjadi tiga yaitu:
a.

Tetrasiklin, klortetrasiklin, dan oksitetrasiklin, mempunyai absorbsi tidak
lengkap dengan masa paruh 6-12 jam,

b.

Dimetilklortetrasiklin, mempunyai absorbsi lebih baik dan masa paruh kirakira 16 jam,

c.

Doksisiklin dan minosiklin mempunyai absorbsi yang sangat baik dan masa
paruh 17-20 jam.
Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air tetapi bentuk garam

natrium dan HCl-nya mudah larut. Tetrasiklin HCl pada keadaan kering dalam
bentuk basa dan garam bersifat stabil, sedangkan dalam bentuk larutan, tetrasiklin

9

cepat berkurang potensinya (Kunardi dan Setiabudy 1995). Struktur kimia
antibiotika golongan tetrasiklin ditampilkan dalam Gambar 1.
O

O

OH

O

OH

O

O

O

OH

OH

OH

OH
H2N

H2N

HO

HO
H
N
H3C

CH3

H

H
H3C OH

N
H3C

CH3

H
H3C OH

Cl

Klortetrasiklin

Tetrasiklin

O

OH

O

O

OH

OH
H2N
HO
H
N
H3C

CH3

H
OH H3C OH

Oksitetrasiklin

Gambar 1. Struktur kimia antibiotika tetrasiklin dan turunannya.
Tetrasiklin di saluran pencernaan diabsorbsi sekitar 30-80%, terikat kuat
pada gigi dan struktur tulang (Kunardi dan Setiabudy 1995). Ikatan antara
tetrasiklin dengan kalsium tersebut menyebabkan hambatan perkembangan gigi,
hipoplasia desiduata, dan gigi permanen. Penggunaan 5-20 parts per million
(ppm) tetrasiklin dalam pakan hewan dapat memacu resistensi Enterobacteriaceae
(Booth 1988). Tetrasiklin didistribusikan ke seluruh tubuh, kecuali pada jaringan
lemak. Afinitas yang besar terjadi pada jaringan dengan kecepatan metabolisme
dan pertumbuhan yang cepat, misalnya hati, tulang, gigi, dan jaringan neoplasma
(Wattimena et al. 1991).
Golongan tetrasiklin diabsorbsi dari dalam darah oleh hati sehingga
konsentrasi tertinggi dijumpai dalam parenkim hati dan empedu. Konsentrasi yang
tinggi ditemukan dalam empedu, yang dapat mencapai 30 kali konsentrasi dalam
darah (Wattimena et al. 1991). Golongan tetrasiklin cepat diserap oleh lambung
dan usus halus bagian atas bila dilakukan pemberian secara oral. Sebagian obat
yang masuk diabsorbsi oleh usus, diekskresikan ke dalam empedu, dan diabsorbsi

10

kembali oleh usus halus. Waktu paruh oksitetrasiklin adalah 8-12 jam (Jones et al.
1977).
Semua golongan tetrasiklin mengalami sirkulasi enterohepatik yang
memungkinkan tetrasiklin masih berada di dalam sirkulasi darah untuk waktu
yang lama setelah terapi dihentikan (Sande dan Mandell 1985). Hal ini disebabkan
sirkulasi enterohepatik membatasi sekresi obat oleh empedu dan mempertahankan
konsentrasi terapeutik untuk jangka waktu tertentu. Golongan tetrasiklin
terdistribusi secara luas dalam tubuh. Konsentrasi tertinggi dijumpai dalam ginjal,
hati, limpa, dan paru-paru (Jones et al. 1977).
Berdasarkan laporan hasil survei dari bulan April 1995 sampai Maret 2000
di Jepang bahwa antibiotika golongan tetrasiklin merupakan antibiotika yang
paling banyak pemakaiannya, sebanyak 292 sampel organ ginjal sapi dan babi
yang berasal dari rumah potong hewan, menunjukkan bahwa 106 sampel
mengandung antibiotika tetrasiklin dan 41 sampel mengandung sulfa, termasuk
klortetrasiklin 59 sampel, oksitetrasiklin 7 sampel, sulfamonometoksin 35 sampel,
sulfadimetoksin 2 sampel, sulfametoksazol 2 sampel, dan mengandung golongan
sulfa lainnya dalam jumlah kecil (Oka et al. 1995).
Batas Residu Tertasiklin
Codex Alimentarius Commission (CAC 2011) menetapkan

acceptable

daily intake (ADI) tetrasiklin pada pangan segar asal sapi adalah 0-30 µg/kg berat
badan, serta maximum residue limit (MRL) atau batas maksimal residu (BMR).
Badan Standarisasi Nasional (BSN) juga menetapkan BMR tetrasiklin
sebagaimana yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-63662000. Batas maksimum residu antibiotika tetrasiklin pada beberapa pangan asal
hewan menurut CAC dan BSN disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Batas maksimal residu tetrasiklin pada pangan asal hewan
Pangan asal hewan
Susu
Daging
Hati
Ginjal
Telur
Sumber : BSN 2000; CAC 2011

CAC (µg/kg)
100
200
600
1200
-

BSN (µg/kg)
50
100
50

11

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel susu bubuk dilakukan di Pelabuhan Laut Tanjung
Priok,

Jakarta.

Pengujian

sampel

dengan

menggunakan

enzym

linked

immunosorbent assay (ELISA) dilakukan di laboratorium Balai Besar Karantina
Pertanian Tanjung Priok, sedangkan pengujian dengan high performance liquid
chromatography (HPLC) dilaksanakan di Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor.
Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai dengan April 2012.
Bahan dan Alat
1.

Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Bahan dan alat yang digunakan adalah kit ELISA untuk antibiotika
tetrasiklin (Ridascreen® Tetracyclin Art. No.: R3503), Trichloacetic acid
(TCA ) 3%, Natrium hidroksida (NaOH), larutan substrat chromagen,
microplate well polystyrene, sentrifus, shaker (Vortex), pipet pasteur, pipet
graduate,

mikropipet

20-200 l

dan

200-1000 l,

ELISA

reader

(RIDA®SOFT Win Art. No.Z9999).
2.

High performance liquid chromatography (HPLC)
Bahan dan alat yang digunakan adalah metanol, asam oksalat
0.0025 M, asetonitril, HPLC Shimadzu LC 20AD, kolom C18 Bondapak
Waters Polaris 5, SPE Cartridge Bond Elut C 18 varian, mikropipet
10-100 l dan 100-1000

l, mikropipet syringe 50 l, standar tetrasiklin

(Vetranal, SIGMA), vortex, sentrifus.
Rancangan Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengumpulkan sampel susu
bubuk yang diambil secara acak sederhana. Sampel susu bubuk diambil di
Instalasi Karantina Produk Hewan.
Volume impor susu bubuk dari berbagai negara melalui Pelabuhan Laut
Tanjung Priok pada Tahun 2010 sebesar 166 759 533 kg. Unit sampling yang
digunakan adalah kemasan kantong dengan konversi 1 kemasan kantong sama

12

dengan 25 kg. Jumlah sampel yang diambil dihitung dengan menggunakan rumus
detect disease (Martin et al. 1987).
Jumlah sampel yang didapatkan setelah dilakukan penghitungan dengan
perangkat win episcope 2.0 adalah sebesar 59 sampel dan dibulatkan menjadi 60
sampel. Masing-masing sampel sebanyak 100 g dimasukkan ke dalam kantong
plastik steril yang telah diberi label kode sampel, jenis susu bubuk, nama
perusahaan, negara asal, dan tanggal pengambilan. Jumlah sampel susu bubuk
dari berbagai negara yang diambil secara proporsional berdasarkan volume pada
tahun 2010 disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Rincian pengambilan sampel per negara berdasarkan volume susu bubuk
tahun 2010
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Negara
Selandia Baru
Amerika Serikat
Belanda
Australia
Perancis
Jerman
Irlandia
Denmark
Swedia
Kanada
Polandia

Volume (kg)
39 917 246
32 608 201
22 516 885
21 032 793
12 997 836
8 293 750
4 332 924
3 623 090
1 754 500
1 750 000
1 284 000

Jumlah

Jumlah sampel (n)
16
13
9
8
5
3
2
1
1
1
1
60

Sampel yang telah diambil, dilakukan screening test dengan ELISA. Sampel
yang menunjukkan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin pada ELISA
dikonfirmasi dengan metode HPLC.
Metode Penelitian
Sebanyak 60 sampel diuji dengan ELISA sebagai screening test untuk
mengetahui apakah sampel-sampel tersebut mengandung antibiotika tetrasiklin.
Uji tersebut dilakukan pada bulan Februari 2012 di Laboratorium Balai Besar
Karantina Pertanian Tanjung Priok. Sampel yang positif mengandung antibiotika
tetrasiklin dengan pengujian ELISA, selanjutnya dilakukan uji konfirmasi dengan

13

menggunakan metode HPLC. Uji HPLC tersebut dilakukan sebagai konfirmasi
terhadap sampel yang menunjukan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin
pada ELISA. Uji HPLC dilakukan pada bulan April 2012 di Laboratorium Balai
Besar Penelitian Veteriner Bogor.
1.

Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
a.

Persiapan sampel
Sebanyak 1 g sampel yang telah homogen dimasukkan ke dalam
tabung sentrifus. Kemudian ditambahkan 4 ml TCA 3% lalu
dihomogenkan selama 1 menit. Selanjutnya diekstraksi selama
30 menit dengan reciprocating shaker. Sampel didinginkan pada
temperatur 4 °C dalam refrigerator. Kemudian disentrifus dengan
kecepatan 3 400 rpm selama 10 menit pada temperatur 4 °C lalu
diambil 200 l bagian supernatan yang jernih. Selanjutnya diencerkan
dengan 200 l larutan buffer atur pH 7.4 dengan 20 l 1 M NaOH.

b.

Pengujian sampel
Standar (50 l), sampel (50 l) dan enzyme conjugate (100 l)
dimasukkan ke dalam microplate well polystyrene yang telah dilapisi
dengan tetrasiklin antibodi dan diinkubasi selama 1 jam pada
temperatur ruangan. Selama inkubasi terjadi reaksi antara tetrasiklin
bebas dari standar atau sampel dan tetrasiklin dari enzyme conjugate
lalu mengikat tetrasiklin antibodi yang diserap dalam bentuk padatan.
Dilanjutkan pada tahap pencucian untuk membuang semua ikatan
molekul padatan yang tidak diperlukan. Aktivitas ikatan enzim
ditentukan dengan penambahan larutan substrate chromagen (100 l)
lalu diinkubasi selama 15 menit dalam temperatur ruangan dan di
tempat yang gelap. Selama inkubasi enzim mengubah larutan
chromagen yang tidak berwarna menjadi berwarna biru, lalu
ditambahkan stop reagen (100 l) untuk menghentikan reaksi.
Kandungan antibiotika tetrasiklin dalam sampel dibaca dengan
ELISA Reader. Data diperoleh berdasarkan pembacaan absorbansi
sampel atau standar pada ELISA Reader dengan panjang gelombang
450 nm (Panggabean et al. 2009).

14

2.

High performance liquid chromatography (HPLC)
a.

Ekstraksi dan pemurnian sampel
Metode ekstraksi yang digunakan diadopsi dari metode yang
dikembangkan oleh Cinquina et al. (2003). Sebanyak 5 g susu
ditempatkan dalam tabung sentrifus. Setelah itu ditambahkan 2 ml
larutan asam trikloroasetat 20% kemudian dikocok menggunakan
vorteks. Setelah itu sampel ditambahkan 18 ml larutan buffer
Mcllvaine-EDTA kemudian disentrifus pada kecepatan 3 000 rpm
selama 10 menit. Larutan supernatan hasil sentrifus dipisahkan dari
residunya kemudian dimasukkan ke dalam kolom. Ekstraksi diulangi
kembali dengan menambahkan 10 ml larutan buffer Mcllvaine-EDTA,
lalu dikocok menggunakan vorteks. Setelah proses ekstraksi selesai,
dilanjutkan dengan pemurnian sampel menggunakan SPE Cartridge
(kolom) C 18.
Kolom diaktifkan terlebih dahulu dengan 20 ml metanol dan
20 ml aqua destilata. Sebanyak 10 ml sampel dimasukkan ke dalam
kolom kemudian kolom dicuci lagi dengan 20 ml metanol 5%. Setelah
itu kolom tersebut dielusi dengan 6 ml metanol oksalat. Filtrat
dikeringkan dalam oven suhu 40 oC kemudian dilarutkan dengan
200 µl metanol oksalat. Sebanyak 40 µl sampel dianalisis dengan
HPLC.

b.

Larutan standar tetrasiklin
Sebanyak 2 mg larutan stok baku tetrasiklin diencerkan dengan
20 ml metanol agar diperoleh larutan baku kerja 100 µg/ml.
Selanjutnya

dilakukan

pengenceran

serial

hingga

diperoleh

konsentrasi 1 µg/ml.
c.

Analisis dengan HPLC
Sebanyak 40 µl alikuot diinjeksikan ke dalam HPLC Shimadzu
seri LC 20AD.
Analisis Data

Data

hasil pemeriksaan sampel dengan ELISA dan HPLC diolah dan

dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan menyajikannya dalam bentuk tabel dan

15

gambar. Analisa deskriptif adalah bidang statistik yang membicarakan cara atau
metode mengumpulkan, menyederhanakan dan menyajikan data sehingga bisa
memberikan informasi (Mattjik dan Sumertajaya 2000).

16

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Susu Bubuk Impor
Sebanyak 60 sampel susu bubuk impor diambil untuk penelitian ini. Sampel
diambil dari berbagai negara yang jumlahnya disesuaikan dengan proporsi volume
importasi susu bubuk melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok selama tahun 2010.
Susu bubuk dikemas dalam kantong ukuran 25 kg yang terdiri dari 1 lapis
kantong plastik di bagian dalam dan 4 lapis kertas semen di bagian luarnya.
Plastik digunakan sebagai pembungkus makanan karena kuat dan kencang,
mencegah dari kelembaban dan gas, tahan terhadap benturan, transparan sehingga
terlihat isi dibagian dalamnya, dan fleksibel. Pengemasan diartikan sebagai usaha
dalam menjamin keamanan produk selama pengangkutan, penyimpanan sehingga
aman sampai konsumen (Brown 1992).
Pengemasan susu bubuk dilakukan dengan menggunakan kantong (bag)
dengan 4 lapis. Lapisan paling dalam adalah lapisan plastik dengan tujuan
mengontrol masuknya uap air, sedangkan 3 lapisan kertas yang berlapis-lapis
untuk memberikan kekuatan dan melindungi terhadap cahaya (NZMP 2006).
Susu

bubuk

diangkut

menggunakan

kontainer

dengan

suhu

dan

kelembabannya diatur selama dalam perjalanan dari negara asal ke Indonesia
sesuai standar penyimpanan yaitu pada suhu berkisar antara 24-25°C dan
kelembaban 65-68%. Kelembaban adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
kualitas dalam pengawetan beberapa produk makanan dan mempengaruhi
stabilitas keseimbangan kandungan bahan, terutama untuk bahan-bahan yang
dikeringkan seperti susu bubuk, egg powder, buah-buahan yang dikeringkan
(Nielsen 2003).
Kemasan susu bubuk impor dalam kontainer disusun dengan rapi dan diberi
jarak antar baris dengan kantong plastik berisi udara (air bag) agar tidak terjadi
benturan antar kemasan yang dapat merusak susunan kemasan, dan di lantai
kontainer diberi pallet terbuat dari kayu/aluminium sehingga kemasan tidak
bersentuhan langsung dengan lantai kontainer. Hal ini bertujuan memberi sirkulasi
udara yang baik dalam kontainer untuk menjaga kualitas susu bubuk impor
tersebut tetap baik dan tidak cepat terjadi kerusakan.

17

Susu bubuk impor dipergunakan sebagai bahan baku untuk industri
pengolahan susu, industri pengolahan roti dan kue, industri pengolahan es krim,
dan sebagai bahan campuran pembuatan coklat, kopi creamer, sop, serta produk
olahan susu lainnya. Beberapa importir langsung menjual susu bubuk kepada
distributor untuk diedarkan kepada konsumen (Herdiana 2007).
Pemeriksaan Organoleptik
Pemeriksaan organoleptik pada susu bubuk impor menunjukkan bahwa 60
sampel susu bubuk impor mempunyai warna yang beragam antara lain putih,
putih kekuning-kuningan atau krem, kecoklatan, aromanya khas bau susu, rasanya
agak manis, tekstur butirannya halus/lembut, dan tidak menggumpal. Hal ini
menunjukkan bahwa secara organoleptik susu bubuk impor berkualitas baik.
Susu bubuk dapat menggumpal dan mengeras karena mengandung kasein.
Kasein yang mengeras selama penyimpanan menyebabkan daya larutnya sangat
menurun sebagai tanda susu mengalami kerusakan, sehingga susu bubuk tersebut
tidak dapat memenuhi fungsinya seperti yang diharapkan (Muchtadi 1997). Sifat
kasein mudah menggumpal bila ditambah asam pekat, enzim proteolitik, alkohol
pekat atau karena pemanasan (Syarief dan Halid 1997). Susu juga mengandung
laktosa. Susu bubuk yang disimpan pada tempat yang lembab atau kadar air yang
tinggi menyebabkan laktosa akan mudah menyerap air sehingga susu mudah
menggumpal (Juergens et al. 2002).
Sifat organoleptik susu bubuk berhubungan erat dengan komposisi dan
kualitas dari bahan baku dan proses pengolahannya. Kadar lemak yang ada dalam
susu bubuk akan mempengaruhi aroma. Adanya asam lemak bebas dalam lemak
akan mempengaruhi aroma dan perlakuan panas akan menyebabkan perubahan
warna. Masa simpan susu bubuk dipengaruhi dari kualitas bahan baku, proses
spray drying dan kondisi di mana susu bubuk disimpan. Kerusakan selama
penyimpanan akan mengakibatkan perubahan organoleptik yang nyata (Early
1998).
Pengujian Residu Antibiotika dengan ELISA
Keterbatasan pada beberapa metode pengujian tidak jarang menjadi
hambatan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotika pada produk pangan

18

termasuk susu. Susu bubuk sebagai produk hasil olahan susu yang telah
mengalami proses pemanasan tinggi kemungkinan tetap mengandung antibiotika
walaupun hanya dalam jumlah yang kecil.
Pengujian dengan ELISA merupakan metode yang sensitif, spesifik, cepat,
mudah, dan secara ekonomi relatif lebih murah jika sampel yang diuji dilakukan
dalam jumlah besar. Di samping itu, sejumlah sampel dapat dideteksi dalam
waktu yang bersamaan dengan menggunakan sedikit reagen. Beberapa kelemahan
dari metode ELISA yaitu spesifisitas yang terbatas karena adanya reaksi silang
dengan senyawa-senyawa yang memiliki struktur yang hampir sama. Faktor
penting yang harus diperhatikan dalam metode ELISA ini antara lain penanganan
terhadap kit ELISA, masa kadaluarsa, peralatan yang digunakan untuk pengujian
sudah dikalibrasi dengan baik serta keterampilan dan pengalaman analis dalam
melakukan pengujian (Burgess 1995). Metode ELISA merupakan uji yang
digunakan sebagai screening test (uji tapis). Uji ini bermanfaat untuk
mendapatkan informasi awal mengenai keberadaan antibiotika dalam susu bubuk.
100

A
b
s
o
r
b
a
n
s
i

90
80
70
60
50
40
30
20

%

10
0
0.150

0.450

1.35

4.05

12.15

Konsentrasi (ppb)
Gambar 2 Kurva standar hasil ELISA antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk

19

Limit deteksi ELISA yang digunakan untuk mendeteksi residu antibiotika
tetrasiklin dalam susu bubuk pada penelitian ini adalah 1.5 part per billion (ppb)
dengan 50% inhibition sebesar 0.763 ppb (Gambar 2). Limit deteksi merupakan
tingkat konsentrasi terendah dideteksi dari suatu substansi.
Jumlah sampel yang menunjukkan hasil positif menggunakan kit ELISA
untuk antibiotika tetrasiklin (Ridascreen® Tetracyclin Art. No.: R3503) sebanyak
8 dari 60 sampel (13.33%) yang diperiksa dengan kisaran konsentrasi
25.44-73.11 ppb. Hasil pengujian sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin
dalam susu bubuk impor dengan menggunakan ELISA disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil pengujian sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin dalam
susu bubuk impor dengan menggunakan ELISA
No

Kode Sampel

ELISA (ppb)

1
2
3
4
5
6
7
8

B4
B5
B7
B9
B12
B18
B19
B40

27.97
37.94
27.02
40.74
73.11
36.99
25.44
32.29

Ditemukannya hasil positif antibiotika tetrasiklin pada pengujian ini
kemungkinan disebabkan karena susu yang diuji berasal dari hewan yang diobati
dengan antibiotika tetrasiklin sehingga meninggalkan residu antibiotika di dalam
susu.
Meningkatnya permintaan produk hewan akan diikuti dengan peningkatan
pemakaian obat hewan baik dalam jenis maupun jumlahnya. Penggunaan
antibiotika secara intensif untuk pengobatan maupun sebagai bahan tambahan
dalam pakan tanpa memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) atau tanpa
memperhatikan farmakokinetik dari obat maka kemungkinan besar residu dari
obat-obatan tersebut akan ditemukan dalam pangan asal hewan dan juga produk
olahannya (Latif 2004).
Keberadaan antibiotika dalam pangan asal hewan yang melebihi batas
maksimum dapat mengakibatkan efek yang buruk bagi manusia, diantaranya

20

reaksi alergi pada individu yang hipersensitif, keracunan, karsinogen, dan
menyebabkan resistensi terhadap bakteri sehingga individu tidak dapat merespon
pengobatan yang umum digunakan untuk penyakit manusia (Rico 1986; Tan et al.
2009).
Hasil penelitian juga menunjukan bahwa ELISA dapat dipergunakan
sebagai screening test, karena memiliki sensitifitas yang baik. Namun hasil uji
yang positif harus diuji lanjut dengan menggunakan metode uji konfirmatif.
Menurut Salman (2008) dalam screening test, diperlukan sensitifitas uji yang
tinggi sebab semakin tinggi nilai sensitifitas, maka semakin kecil kemungkinan
diperoleh negatif palsu.
Pengujian Residu Antibiotika dengan HPLC
Metode HPLC mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan
metode lainnya yaitu dapat mendeteksi secara kualitatif dan kuantitatif dengan
tingkat akurasi, sensitifitas, dan spesifisitas yang tinggi. Namun demikian HPLC
mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang lama, reagen dan
instrumentasi yang mahal serta operator yang terlatih.
Hasil positif pada pengujian dengan metoda ELISA (8 sampel),
dikonfirmasi dengan metoda HPLC. Terdapat 5 dari 8 sampel (62.50%) yang
menunjukan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan metode
HPLC. Sebanyak 5 sampel juga menunjukan adanya kandungan tetrasiklin dengan
nilai di atas BMR, yaitu pada sampel dengan kode B5, B9, B12, B18, dan B40
dengan kisaran 120–840 ppb, sedangkan 3 sampel dengan kode B5, B7, dan B19
tidak mengandung antibiotika tetrasiklin atau konsentrasinya di bawah limit
deteksi uji (< 5 ppb). Nilai BMR tetrasiklin dalam susu yang ditetapkan oleh BSN
sebagaimana tercantum dalam SNI 01-6366-2000 adalah sebesar 50 ppb (BSN
2000). Hasil uji konfirmasi dengan HPLC terhadap sampel positif mengandung
antibiotika tetrasiklin pada pengujian dengan ELISA selengkapnya disajikan pada
Tabel 5.

21

Tabel 5 Hasil uji konfirmasi dengan HPLC terhadap sampel positif mengandung
antibiotika tetrasiklin pada susu bubuk impor dengan ELISA
No

Kode
sampel

Sampel positif uji ELISA
Konsentrasi (ppb)

1
2
3
4
5
6
7
8

B4
B5
B7
B9
B12
B18
B19
B40

27.97
37.94
27.02
40.74
73.11
36.99
25.44
32.29

Konfirmasi dengan HPLC
Konsentrasi (ppb)