Pemeriksaan Kadar Isoniazid Dalam Plasma Darah Pasien TB Menggunakan kromatografi Cair Kinerja Tinggi

(1)

PEMERIKSAAN KADAR ISONIAZID DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

SKRIPSI

OLEH: FENTIMALIA

071524026

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PEMERIKSAAN KADAR ISONIAZID DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk meperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH: FENTIMALIA

071524026

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Pembimbing I,

(Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt.) NIP 19521204198002 1 001

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

PEMERIKSAAN KADAR ISONIAZID DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI OLEH:

FENTIMALIA 071524026

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : Agustus 2010

Medan, Agustus 2010 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

(Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra., Apt.) NIP. 19531128198303 1 002 Pembimbing II,

(Dr. Karsono, Apt.)

NIP 19540909198201 1 001

Panitia Penguji,

(Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.) NIP 195301011983031004

(Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt.) NIP 19521204198002 1 001

(Dr. Edy Suwarso, SU., Apt.) NIP 130935857

(Drs. Chairul Azhar Dalimunthe, M.Sc., Apt.) NIP 194907061980021001


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur alhamdulilah kepada Allah SWT yang senantiasa telah melimpahkan anugerah dan kemurahanNya serta kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul "Pemeriksaan Kadar Isoniazid Dalam Plasma Darah Pasien TB Menggunakan kromatografi Cair Kinerja Tinggi". Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Tuberkulosis (TB) adalah salah satu masalah kesehatan yang harus dihadapi masyarakat dunia dengan 1,9 juta kematian setahunnya. Selain jumlah kematian dan infeksi TB yang amat besar, pertambahan kasus baru TB pun amat signifikan, mencapai jumlah sembilan juta kasus baru setiap tahunnya. kebanyakan pengobatan TB pada saat ini kurang efektif. Hal ini ditandai dengan adanya resistensi mikobakterium tuberkulosis terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Isoniazid adalah derivat asam nikotinat yang berkhasiat tuberkulostatik paling kuat terhadap mikobakterium tuberkulosis dan bersifat bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat. Mekanisme kerja isoniazid memiliki efek pada lemak, biosintesis asam nukleat,dan glikolisis. Efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. Tujuan penelitian ini adalah untuk memeriksa kadar isoniazid dalam plasma darah pasien TB. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai uji pendahuluan untuk kepentingan pemantauan terapi obat dalam darah pasien yang berpenyakit TB guna membantu dalam penyesuaian dosis obat sehingga diperoleh pengobatan yang optimal.

Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt. dan Bapak Dr. Karsono, Apt., yang telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang telah memberikan fasilitas selama masa pendidikan dan penelitian, juga kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., Bapak Dr. Edy Suwarso, SU.,


(5)

Apt, dan Bapak Drs. Chairul Azhar Dalimunthe, M.Sc., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada papa dan mama, kedua kakakku, Ria dan Ririn, kedua abangku, Ai dan Lilik, serta adekku Tommy atas doa, semangat, dan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada Yuli, Suji, Desi Dewi, Anggel, Irus, Bang Anton, yang selalu ada memberi semangat dan pikiran selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada para sahabat Rere, Desi Diana, Rahma, Vbee, Winda, Ulfa dan rekan-rekan mahasiswa Farmasi khususnya stambuk 2007 ekstensi, staf dan para asisten di Laboratorium Biofarmasi dan Laboratorium Penelitian, yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, atas segala dorongan motivasi dan bantuannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai .

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak guna perbaikan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga Skripsi ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya.

Medan, Agustus 2010 Penulis,


(6)

PEMERIKSAAN KADAR ISONIAZID DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI Abstrak

Isoniazid adalah derivat asam nikotinat yang berkhasiat tuberkulostatik paling kuat terhadap mikobakterium tuberkulosis dan bersifat bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat. Pemeriksaan kadarnya dapat dilakukan secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.

Dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan kadar isoniazid dalam plasma darah pasien tuberkulosis secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) metode fase balik menggunakan kolom ODS C18 dan sistem elusi isokratik, fase gerak yang digunakan campuran buffer fosfat pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2) dengan laju alir 0,8 ml/menit dan pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 254 nm.

Hasil uji identifikasi yang dilakukan dalam sampel plasma diperoleh waktu retensi 18,7 menit. Batas deteksi dan batas kuantifikasi masing-masing adalah 1,5422 mM dan 4,6735 mM.

Luas puncak isoniazid pada berbagai konsentrasi dengan koefisien korelasi (r) = 0,9866 dan dari hasil perhitungan diperoleh persamaan regresi Y = 36712,545X – 92354,976.

Hasil pemeriksaan kadar isoniazid dalam plasma darah pasien tuberkulosis adalah 6,8722 mM.


(7)

EXAMINATION OF ISONIAZID LEVEL IN BLOOD PLASMA OF TUBERCULOSIS PATIENT BY

HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY Abstrack

Isoniazid is a nicotinic acid derivate and act as the most effecticative tuberculosis agent against micobacterium tuberculosis and has a bacterisid spectrum for a rapid growth bacillus. The examination of isoniazid can be analyzed by High Performance Liquid Chromatography.

In this research, examination levels of isoniazid in blood plasma tuberculosis patients by High Performance Liquid Chromatography (HPLC) method using a reversed phase C18 ODS colomn and an isocratic solvent programme, mobile phase was the mixture of phosphat buffer pH 7,4 : methanol (96,8 : 3,2) with a flow rate 0,8 ml/min and measurement were done at a wavelength of 254 nm.

The result of identification test is done in plasma is got peak with retention time 18,7 minute. Limit of detection and limit of quantitation are 1,5422 mM and 4,6735 mM, respectively.

Peak area of isoniazid at different concentrations with correlation coefficients (r) = 0,9866, and calculation results obtained from the regression equation Y = 36712,545X – 92354,976.

The assessment levels of isoniazid in blood plasma tuberculosis patients is 6,8722 mM.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Alur Penelitian... 6

1.7 Kerangka Penelitian... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Tuberkulosis ... 7

2.2 Isoniazid ... 8


(9)

2.4 Monitoring Kadar Terapeutik Obat ... 10

2.5 Plasma dan Darah ... 12

2.6 Kromatografi... 13

2.6.1 Pembagian Kromatografi ... 13

2.6.2 Penggunaan Kromatografi ... 14

2.6.3 Profil Puncak dan Pelebaran Puncak ... 14

2.7 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ... 15

2.7.1 Cara Kerja KCKT ... 17

2.7.2 Komponen-Komponen Alat KCKT ... 17

2.7.2.1 Wadah Fase Gerak ... 17

2.7.2.2 Pompa ... 18

2.7.2.3 Injektor ... 18

2.7.2.4 Kolom... 19

2.7.2.5 Detektor... 20

2.8 Elusi Gradien ... 20

2.9 Fase Gerak... 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1 Alat ... 23

3.2 Bahan ... 23

3.3 Pengambilan Sampel... 24

3.4 Rancangan Penelitian ... 24

3.4.1 Penyiapan Bahan ... 24

3.4.1.1 Pembuatan Plasma Kontrol ... 24


(10)

3.4.1.2.1 Aqua Bebas CO2 ... 25

3.4.1.2.2 Natrium Hidroksida (NaOH) 0,2 N... 25

3.4.1.2.3 Kalium Dihidrogen Fosfat 0,2 M... 25

3.4.1.2.4 Buffer Fosfat pH 7,4... 25

3.4.1.3 Pembuatan Fase Gerak... 25

3.4.1.4 Pembuatan Larutan Induk Baku Isoniazid... 26

3.4.2 Prosedur Analisis... 26

3.4.2.1 Penyiapan Alat KCKT ... 26

3.4.2.2 Penentuan Garis Alas (Base Line) ... 26

3.4.2.3 Penyuntikan Fase Gerak ... 26

3.4.2.4 Penyuntikan Plasma Kontrol ... 27

3.4.2.5 Analisis Kualitatif... 27

3.4.2.6 Analisis Kuantitatif ... 27

3.4.2.6.1 Penentuan Linearitas Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Isoniazid... 27

3.4.2.6.2 Pemeriksaan Kadar Isoniazid Dalam Plasma Darah Pasien ... 28

3.4.3 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi... 29

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

5.1 Kesimpulan ... 34

5.2 Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Kromatogram Hasil Penyuntikan Isoniazid Baku... 13

Gambar 2. Kromatogram Hasil Penyuntikan Sampel ... 14 Gambar 3. Kurva Kalibrasi Isoniazid Baku Luas Puncak Versus


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Gambar Alat KCKT dan Syringe 50 µ l ... 37

Lampiran 2 Gambar Perangkat Penelitian Lainnya ... 38

Lampiran 3 Plasma Kontrol ... 41

Lampiran 4 Fase Gerak ... 42

Lampiran 5 Kromatogram Penyuntikan Larutan Isoniazid Baku, Fase Gerak Buffer Posfat pH 7,4 : Metanol (96,8 : 3,2) ... 43

Lampiran 6 Kromatogram Penyuntikan Plasma Kontrol ... 44

Lampiran 7 Kromatogram Penyuntikan Sampel Plasma Darah Pasien TB ... 45

Lampiran 8 Kromatogram Penyuntikan Larutan Isoniazida Baku Pada Pembuatan Kurva Kalibrasi... 46

Lampiran 9 Perhitungan Persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi Isoniazid Baku yang Diperoleh Secara KCKT pada λ 254 nm ... 51

Lampiran 10 Perhitungan Konsentrasi Obat Isoniazid ... 52

Lampiran 11 Perhitungan Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi Isoniazid ... 54

Lampiran 12 Data Pasien... 55

Lampiran 13 Sertifikat Analisis Isoniazid... 56

Lampiran 14 Surat Persetujuan Komisi Etik... 57

Lampiran 15 Pembuatan Plasma Kontrol ... 58

Lampiran 16 Pembuatan Larutan Induk Baku Isoniazida ... 59

Lampiran 17 Penyuntikan Plasma Kontrol ... 60


(13)

Lampiran 19 Pemeriksaan Kadar Isoniazid dalam Plasma Darah


(14)

PEMERIKSAAN KADAR ISONIAZID DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI Abstrak

Isoniazid adalah derivat asam nikotinat yang berkhasiat tuberkulostatik paling kuat terhadap mikobakterium tuberkulosis dan bersifat bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat. Pemeriksaan kadarnya dapat dilakukan secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.

Dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan kadar isoniazid dalam plasma darah pasien tuberkulosis secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) metode fase balik menggunakan kolom ODS C18 dan sistem elusi isokratik, fase gerak yang digunakan campuran buffer fosfat pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2) dengan laju alir 0,8 ml/menit dan pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 254 nm.

Hasil uji identifikasi yang dilakukan dalam sampel plasma diperoleh waktu retensi 18,7 menit. Batas deteksi dan batas kuantifikasi masing-masing adalah 1,5422 mM dan 4,6735 mM.

Luas puncak isoniazid pada berbagai konsentrasi dengan koefisien korelasi (r) = 0,9866 dan dari hasil perhitungan diperoleh persamaan regresi Y = 36712,545X – 92354,976.

Hasil pemeriksaan kadar isoniazid dalam plasma darah pasien tuberkulosis adalah 6,8722 mM.


(15)

EXAMINATION OF ISONIAZID LEVEL IN BLOOD PLASMA OF TUBERCULOSIS PATIENT BY

HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY Abstrack

Isoniazid is a nicotinic acid derivate and act as the most effecticative tuberculosis agent against micobacterium tuberculosis and has a bacterisid spectrum for a rapid growth bacillus. The examination of isoniazid can be analyzed by High Performance Liquid Chromatography.

In this research, examination levels of isoniazid in blood plasma tuberculosis patients by High Performance Liquid Chromatography (HPLC) method using a reversed phase C18 ODS colomn and an isocratic solvent programme, mobile phase was the mixture of phosphat buffer pH 7,4 : methanol (96,8 : 3,2) with a flow rate 0,8 ml/min and measurement were done at a wavelength of 254 nm.

The result of identification test is done in plasma is got peak with retention time 18,7 minute. Limit of detection and limit of quantitation are 1,5422 mM and 4,6735 mM, respectively.

Peak area of isoniazid at different concentrations with correlation coefficients (r) = 0,9866, and calculation results obtained from the regression equation Y = 36712,545X – 92354,976.

The assessment levels of isoniazid in blood plasma tuberculosis patients is 6,8722 mM.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah salah satu masalah kesehatan yang harus dihadapi masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB menyebabkan hampir dua juta kematian, dan diperkirakan saat ini sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB, yang mungkin akan berkembang menjadi penyakit TB di masa datang (Anonima, 2009).

Berdasarkan laporan data World Health Organisation (WHO) tahun 2004 menunjukkan bahwa pada tahun 2003 terdapat 8,8 juta kasus TB baru, 3,9 juta diantaranya adalah BTA (Basil Tahan Asam) positif, prevalensi 16,2 juta dengan 1,9 juta kematian setahunnya. Indonesia merupakan negara dengan kasus TB terbesar ketiga di dunia setelah India dan Cina. Pada tahun 2002 dilaporkan jumlah kasus TB dengan BTA positif di India adalah 1.820.369 orang, di Cina 1.447.947 dan di Indonesia 581.847 orang (Putu, 2007).

Selain jumlah kematian dan infeksi TB yang amat besar, pertambahan kasus baru TB pun amat signifikan, mencapai jumlah sembilan juta kasus baru setiap tahunnya. Bila tak dikendalikan, dalam 20 tahun mendatang TB akan membunuh 35 juta orang. Melihat kondisi tersebut, WHO menyatakan TB sebagai kedaruratan global sejak tahun 1993 (Anonima, 2009).

Menurut Muchtar (2006) kebanyakan pengobatan TB pada saat ini kurang efektif. Hal ini ditandai dengan adanya resistensi mikobakterium tuberkulosis


(17)

terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Secara klinis seorang penderita TB disangka mengandung mikobakteri yang resisten bila terjadi:

1. Kekambuhan

Yang dimaksud dengan kekambuhan adalah keadaan di mana seorang penderita, selama pengobatan tetap negatif hasil pemeriksaan sputumnya, kemudian setelah pengobatan selesai hasil pemeriksaan sputum kembali positif.

2. Kegagalan pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dinyatakan gagal bila pemeriksaan sputum tetap memperlihatkan hasil positif selama pengobatan berlangsung. Penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif pada bulan keempat dapat dinyatakan sebagai gagal pengobatan.

Menurut Tjay dan Rahardja (2002) obat TB umumnya dibagi dua kelompok yaitu :

1. Obat primer: isoniazida, rifampisin, pirazinamida, etambutol, dan streptomisin (kanamisin, amikasin). Obat-obat ini paling efektif dan

paling rendah toksisitasnya, tetapi menimbulkan resistensi dengan cepat bila digunakan sebagai obat tunggal.

2. Obat sekunder: klofazimin, fluorkinolon, sikloserin, rifabutin dan asam p-aminosalisilat (PAS). Obat-obat ini memiliki kegiatan yang lebih lemah dan biasanya hanya digunakan bila terdapat resistensi atau intoleransi terhadap obat-obat primer.


(18)

Isoniazid adalah derivat asam nikotinat yang berkhasiat tuberkulostatik paling kuat terhadap mikobakterium tuberkulosis dan bersifat bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat (Tjay dan Rahardja, 2002).

Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral (Zubaidi, 1995). Pada temperatur kamar isoniazid berada pada kondisi stabil (Dinkes jawa barat, 2009). Untuk mengetahui stabilitas isoniazid telah dilakukan penelitian stabilitas in vitro pada temperatur 30oC, 40oC, dan 70oC oleh Chuluq, dkk (2004). Diperoleh bahwa kadar isoniazid pada penyimpanan selama 7 hari tidak berubah atau stabil.

Metode analisis obat dalam cairan biologis mempunyai arti yang sangat penting. Masalah-masalah yang berhubungan dengan studi ketersediaan hayati obat, pengembangan obat baru, penyalahgunaan obat, farmakokinetika klinik dan riset obat -obatan, semuanya menuntut adanya metode analisis obat dalam sampel biologis dengan kepekaan, kespesifikan, kecepatan, ketepatan dan ketelitian yang tinggi, tetapi dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Kromatografi gas dan kromatografi cair kinerja tinggi selain mampu mendeteksi dan menetapkan kadar, juga sekaligus mampu melakukan pemisahan (Hadjar, 1985).

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan suatu teknis analisis obat yang paling cepat berkembang. Cara ini ideal untuk analisis beragam obat dalam sediaan dan cairan biologi (Munson,1991). Kebanyakan fase diam pada KCKT berupa silika yang dimodifikasi secara kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren dan divinil benzen. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya residu gugus silanol (Si-OH) (Rohman, 2007).


(19)

Pemeriksaan isoniazid dalam plasma secara kromatografi cair kinerja tinggi fase balik telah dilakukan oleh Revankar,et al.,(1994) dengan menggunakan fase gerak buffer fosfat pH 7,4 dan metanol (96,8 : 3,2 v/v) pada panjang gelombang 268 nm dengan laju alir 1,5 ml/menit. Kromatografi fase balik merupakan kondisi dimana fase gerak lebih polar daripada fase diam. Pemisahan dengan kromatografi fase balik dilakukan pada fase diam yang silikanya telah dimodifikasi, dimana partikel silika pada fase diam direaksikan secara kimia dengan menggunakan reagen klorosilan menghasilkan permukaan yang non polar yaitu Okta Desil Silika (ODS C18). Fase gerak yang paling sering digunakan untuk

pemisahan dengan fase terbalik adalah campuran larutan buffer dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril (Rohman, 2007). Detektor yang banyak digunakan dalam analisis farmasi adalah detektor lampu raksa 254 nm. Detektor ini tanggap terhadap banyak obat dan kepekaannya memadai bagi penetapan sediaan obat dan kebanyakan cairan biologi (Munson, 1991).

Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui kadar isoniazida dalam tubuh pasien penderita tuberkulosis (TB) dengan menggunakan metode KCKT tersebut pada panjang gelombang 254 nm.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas perumusan masalah penelitian yaitu: 1. Apakah pemeriksaan kadar isoniazid dalam plasma darah pasien TB dapat

dilakukan secara KCKT menggunakan kolom ODS C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2).


(20)

2. Apakah kondisi isoniazid dalam plasma darah pasien TB stabil pada temperatur kamar?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka dibuat hipotesis sebagai berikut:

1. Kadar isoniazid dalam plasma darah pasien TB dapat diperiksa secara KCKT menggunakan kolom ODS C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2).

2. Isoniazid dalam plasma darah pasien TB berada dalam keadaan stabil pada temperatur kamar

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini yaitu:

1. Untuk pemeriksaan kadar isoniazid dalam plasma darah pasien TB secara KCKT menggunakan kolom ODS C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2).

2. Untuk mengetahui stabilitas isoniazid dalam plasma darah pasien TB pada temperatur kamar

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah sebagai uji pendahuluan untuk kepentingan pemantauan terapi obat dalam plasma darah pasien guna membantu dalam penyesuaian dosis obat sehingga diperoleh pengobatan yang optimal.


(21)

1.6 Alur Penelitian

1.7 Kerangka Penelitian

Variabel bebas Variabel terikat

• Umur pasien

• Dosis

Kadar isoniazid

• Pesien dalam pengobatan Tahap intensif

• Waktu pengambilan darah

Obat TB Pasien Penderita

TB

Diberikan Diambil

Darah Pasien TB

Plasma Darah Diukur

Alat KCKT Dianalisis


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

Tuberkulosis, singkatnya TB, adalah suatu penyakit menular yang paling sering (sekitar 80%) terjadi di paru-paru. Penyebabnya adalah suatu basil Gram-positif tahan-asam dengan pertumbuhan sangat lamban, yakni Mycobacterium

tuberculosis (Tjay dan Rahardja, 2002).

Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis, sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium

tuberculosis cepat mati dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup

pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant (tertidur sampai beberapa tahun) (Depkes RI, 2005).

Gejala TB antara lain batuk kronik, demam, berkeringat waktu malam, keluhan pernapasan, perasaan letih, malaise, hilang nafsu makan, turunnya berat badan, dan rasa nyeri di bagian dada. Dahak penderita berupa lendir (mucoid), purulent, atau mengandung darah (Tjay dan Rahardja, 2002).

Penularan TB sangat dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku sehat penduduk, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan. Masalah lingkungan yang terkait seperti masalah kesehatan yang berhubungan dengan perumahan, kapadatan anggota keluarga,kepadatan penduduk, konsentrasi kuman, ketersediaan cahaya matahari, dll. Sedangkan masalah perilaku sehat antara lain akibat dari meludah sembarangan, batuk sembarangan, kedekatan anggota


(23)

keluarga, gizi yang kurang atau tidak seimbang, dll. Untuk sarana pelayanan kesehatan, antara lain menyangkut ketersediaan obat, penyuluhan tentang penyakit dan mutu pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2005).

Pengobatan infeksi kuman tahan asam masih merupakan persoalan dan tantangan dalam bidang kemoterapi. Menurut Zubaidi (1995), faktor yang mempersulit pengobatan ialah :

1. Kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria 2. Kurangnya daya bakterisid obat yang ada

3. Timbulnya resistensi kuman terhadap obat, dan 4. Masalah efek samping obat.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sering digunakan dewasa ini adalah Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol. Semua obat ini bersifat bakterisid, kecuali Etambutol yang bersifat bakteriostatik (Suryatenggara, 1990).

2.2 Isoniazid (Ditjen POM, 1979)

Piridina-4-karboksil-hidrazida

Pemerian : hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih; tidak berbau; rasa agak pahit; terurai perlahan-lahan oleh udara dan cahaya.

Kelarutan : mudah larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol (95%) P sukar larut dalam kloroform P dan dalam eter P.


(24)

Rumus Molekul (RM) : C6H7N3O

Bobot Molekul (BM) : 137,14

2.3 Farmakokinetika Isoniazid

Derivat asam isonikotinat ini berkhasiat tuberkulostatis paling kuat terhadap Mikobakterium tuberkulosis (dalam fase istirahat) dan bersifat bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat. Isoniazid masih tetap merupakan obat kemoterapi terpenting terhadap berbagai tipe tuberkulosa dan selalu dalam bentuk multipel terapi dengan rifampisin dan pirazinamida (Tjay dan Rahardja, 2002).

Isoniazid langsung diserap dari saluran cerna. Pemberian dosis oral sebesar 300 mg (5 mg/kg untuk anak-anak) menghasilkan konsentrasi plasma puncak 3-5 µg/ml dalam 1-2 jam. Isoniazid langsung berdifusi secara cepat dalam darah ke seluruh cairan tubuh dan jaringan (Chambers, 2004).

Mekanisme kerja isoniazid memiliki efek pada lemak, biosintesis asam nukleat,dan glikolisis. Efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium (Tjay dan Rahardja, 2002).

Efek sampingnya pada dosis normal (200-300 mg sehari) jarang dan ringan (gatal-gatal, ikterus), tetapi lebih sering terjadi bila dosis melebihi 400 mg . Yang terpenting adalah polineuritis, yakni radang saraf dengan gejala kejang dan gangguan penglihatan. Penyebabnya adalah persaingan dengan piridoksin yang rumus kimianya mirip INH. Perasaan tidak sehat, letih dan lemah, serta anoreksia adalah lazim pula. Guna menghindari reaksi toksis ini biasanya diberikan vitamin


(25)

B6 (piridoksin) 10-20 mg sehari bersama vitamin B1 (aneurin) 100 mg (Tjay dan

Rahardja, 2002).

Resistensi dapat timbul agak cepat bila digunakan sebagai obat tunggal, tetapi resistensi silang dengan obat-obat TBC lainnya tidak terjadi (Tjay dan Rahardja, 2002).

Pengobatan dengan OAT dulu biasanya hanya berupa pemberian obat tunggal dan hanya dalam waktu yang singkat. Hasilnya ternyata kurang memuaskan karena banyak dijumpai kekambuhan disebabkan masalah resistensi. Muncul pemikiran untuk memperpanjang waktu pengobatan untuk mengurangi kekambuhan serta menggunakan kombinasi obat untuk mencegah timbulnya resistensi (Zubaidi, 1995).

2.4 Monitoring Kadar Terapeutik Obat

Yang dimaksud dengan monitoring kadar terapeutik obat adalah pemeriksaan secara berkala kadar obat dalam darah guna membantu klinisi dalam menentukan dosis obat yang dapat menyembuhkan atau mengobati penyakit penderita (Muchtar, 1985).

Pemantauan konsentrasi obat dalam darah atau plasma meyakinkan bahwa dosis yang telah diperhitungkan benar-benar telah melepaskan obat dalam plasma dalam kadar yang diperlukan untuk efek terapetik. Untuk beberapa obat, kepekaan reseptor pada individu berbeda, sehingga pemantauan kadar obat dalam plasma diperlukan untuk membedakan penderita yang menerima terlalu banyak obat dan penderita yang sangat peka terhadap obat. Dengan demikian pemantauan terapi


(26)

konsentrasi obat dalam plasma memungkinkan untuk penyesuaian dosis obat secara individual dan juga untuk mengoptimasi terapi (Shargel, 1988).

Dalam pemberian obat-obat yang poten kepada penderita, sudah seharusnya mempertahankan kadar obat dalam plasma berada dalam batas yang dekat dengan konsentrasi terapetik. Karena perbedaan antar penderita dalam hal absorpsi, distribusi dan eliminasi obat maupun perubahan kondisi patofisioliogik penderita, maka dalam beberapa rumah sakit telah ditetapkan adanya pelayanan pemantauan terapetik obat atau Therapeutic Drug Monitoring (TDM) untuk menilai respon penderita terhadap aturan dosis yang dianjurkan (Shargel, 1988).

Menurut Shargel (1988), fungsi dari pelayanan TDM yaitu: 1. Memilih obat

2. Merancang aturan dosis 3. Menilai respons penderita

4. Menentukan perlunya pengukuran konsentrasi obat dalam serum 5. Menetapkan kadar obat

6. Melakukan penilaian secara farmakokinetik kadar obat 7. Menyesuaikan kembali aturan dosis

8. Memantau konsentrasi obat dalam serum 9. Menganjurkan adanya persyaratan khusus.

Tujuan dari proses pemantauan terapi obat adalah menyesuaikan terapi obat pada karakteristik pasien individu, memaksimalkan manfaat dan meminimalkan resiko. Respon terhadap terapi obat adalah suatu fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh obat yang digunakan pasien yang diterimanya dari dokter yang menulisnya. Berbagai sifat farmakokinetik seperti absorbsi, distribusi,


(27)

metabolisme, ekskresi dan durasi kerja harus dipertimbangkan apabila mendesain suatu regimen obat. (Siregar dan Endang, 2004).

2.5 Plasma dan Darah

Darah lengkap berisi unsur-unsur seluler yang terdiri dari sel darah merah, sel darah putih, platelet, dan berbagai macam protein lain seperti albumin dan globulin. Secara umum, serum atau plasma digunakan untuk pengukuran obat. Perbedaan serum dan plasma yaitu:

Untuk memperoleh serum, darah dibiarkan menggumpal kemudian disentrifugasi. Supernatan yang diperoleh setelah disentrifugasi itulah yang disebut serum. Serum tdak mengandung fibrinogen.

Sedangkan plasma diperoleh dari darah yang telah ditambahkan antikoagulan seperti heparin, kemudian disentrifugasi, supernatannya inilah yang disebut plasma (Shargel, 1941).

Darah yang dikumpulkan dan dicegah dari pembekuan dengan menambahkan antikoagulan (heparin, sitrat dan sebagainya), bila disentrifugasi akan terpisah, menjadi lapisan-lapisan yang menggambarkan heterogenitasnya. Hasil yang diperoleh dengan sedimentasi ini, yang dilakukan dalam tabung gelas standar adalah hematokrit. Cairan translusen, kekuningan dan sedikit kental yang terletak di atas bila hematokrit diukur adalah plasma darah. Lapisan tepat di atasnya (1% volume darah) yang berwarna putih atau kelabu dinamakan buffy coat dan terdiri atas leukosit. Plasma darah merupakan bagian cair darah. Cairan ini didapat dengan membuat darah tidak beku dan sel darah tersentrifugasi. Plasma terdiri dari 90% air, 7-8% protein, dan di dalam plasma terkandung


(28)

beberapa komponen lain seperti garam-garam, karbohidrat, lipid, dan asam amino (Junqueira dan Carneiro, 1982).

Anonimb (2008).

2.6 Kromatografi

Kromatografi adalah istilah umum untuk berbagai cara pemisahan berdasarkan partisi cuplikan antara fase yang bergerak, dapat berupa gas atau zat cair, dan fase diam, dapat berupa zat cair atau zat padat (Edward dan Stevenson, 1991).

2.6.1 Pembagian Kromatografi

Menurut Rohman (2007), kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam tergantung pada pengelompokannya yaitu berdasarkan pada alat yang digunakan dan berdasarkan pada mekanisme pemisahannya.

Berdasarkan alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas: a) Kromatografi kertas

b) Kromatografi lapis tipis

c) Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) d) Kromatografi gas

Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya, kromatografi dibedakan menjadi : a) Kromatografi adsorbsi

Plasma Buffy coat Sel darah merah


(29)

b) Kromatografi partisi c) Kromatografi pasangan ion d) Kromatografi penukar ion

e) Kromatografi eksklusi ukuran, dan f) Kromatografi afinitas

2.6.2 Penggunaan Kromatografi

Menurut Gritter (1991), penggunaan kromatografi antara lain yaitu:

1. Pemakaian untuk tujuan kualitatif mengungkapkan ada atau tidak adanya senyawa tertentu dalam cuplikan

2. Pemakaian untuk tujuan kuantitatif menunjukkan banyaknya masing-masing komponen campuran

3. Pemakaian untuk tujuan preparatif untuk memperoleh komponen campuran dalam jumlah memadai dalam keadaan murni.

2.6.3 Profil Puncak dan Pelebaran Puncak

Selama pemisahan kromatografi, solut individual akan membentuk profil konsentrasi yang simetris atau dikenal juga dengan profil Gaussian dalam arah aliran fase gerak. Profil dikenal juga dengan punak atau pita, secara perlahan-lahan akan melebar dan sering juga membentuk profil yang asimetrik karena solut–solut melanjutkan migrasinya ke fase diam (Rohman, 2007)

Ada 2 jenis puncak asimetris yakni membentuk puncak yang berekor (tailing) dan adanya puncak pendahulu (fronting) jika ada perubahan rasio distribusi solut yang lebih besar (Rohman, 2007).


(30)

Baik tailing maupun fronting tidak dikehendaki karena dapat menyebabkan pemisahan kurang baik dan data retensi kurang reprodusibel. Menurut Rohman (2007), adanya puncak yang asimetri dapat disebabkan oleh hal-hal berikut:

a) Ukuran sampel yang dianalisis terlalu besar. Jika sampel terlalu besar maka fase gerak tidak mampu membawa solute dengan sempurna karenanya akan terjadi pengekoran atau tailing.

b) Interaksi yang kuat antara solute dengan fase diam dapat menyebabkan solute sukar terelusi sehingga dapat menyebabkan terbentuknya puncak yang mengekor.

c) Adanya kontaminan dalam sampel yang dapat muncul terlebih dahulu sehingga menimbulkan puncak mendahului (fronting).

Untuk menentukan tingkat asimetri puncak dilakukan dengan menghitung faktor asimetris atau disebut juga dengan tailing factor (TF) yang dinyatakan dengan rasio antara lebar setengah tinggi puncak. Kromatogram yang memberikan harga TF=1 menunjukkan bahwa kromatogram tersebut bersifat setangkup atau simetris. Harga TF>1 menunjukkan bahwa kromatogram mengalami pengekoran (tailing). Semakin besar harga TF maka kolom yang dipakai semakin kurang efisien. Dengan demikian harga TF dapat digunakan untuk melihat efisiensi kolom kromatografi (Rohman, 2007).

2.7 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi cair kinerja tinggi merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh kemajuan dalam


(31)

teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif dan beragam sehingga mampu menganalisa berbagai cuplikan secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Ditjen POM, 1995).

KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah bidang antara lain; farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer dan industri-industri makanan (Rohman, 2007).

Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian (impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap (nonvolatil). KCKT paling sering digunakan untuk: menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan protein-protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat dan lain-lain (Rohman, 2007).

Menurut Putra (2007), kelebihan KCKT antara lain:

1. Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran 2. Resolusinya baik

3. Mudah melaksanakannya

4. Kecepatan analisis dan kepekaannya tinggi

5. Dapat dihindari terjadinya dekomposisi/kerusakan bahan yang dianalisis 6. Dapat digunakan bermacam-macam detektor

7. Kolom dapat digunakan kembali 8. Mudah melakukan rekoveri cuplikan


(32)

9. Tekniknya tidak begitu tergantung pada keahlian operator dan reprodusibilitasnya lebih baik

10.Instrumennya memungkinan untuk bekerja secara automatis dan kuantitatif

11.Waktu analisis umumnya singkat

12.Kromatografi cair preparatif memungkinkan dalam skala besar 13.Ideal untuk molekul besar dan ion.

2.7.1 Cara Kerja KCKT

Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi solut dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair secara sukses terhadap suatu masalah yang dihadapi membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Rohman, 2007).

2.7.2 Komponen-Komponen Alat KCKT 2.7.2.1 Wadah Fase Gerak

Wadah fase gerak terbuat dari bahan yang inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum digunakan adalah gelas dan baja anti karat. Daya tampung tandon harus lebih besar dari 500 ml, yang dapat digunakan selama 4 jam untuk kecepatan alir yang umumnya 1-2 ml/menit (Putra, 2007).


(33)

2.7.2.2 Pompa

Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni: pompa harus inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat, teflon, dan batu nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu memberikan takanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 ml/menit. Ada 2 jenis pompa dalam KCKT yaitu: pompa dengan tekanan konstan, dan pompa dengan aliran fase gerak yang konstan. Tipe pompa dengan aliran fase gerak yang konstan sejauh ini lebih umum dibandingkan dengan tipe pompa dengan tekanan konstan (Rohman, 2007).

2.7.2.3 Injektor

Cuplikan yang akan dianalisis dimasukkan ke bagian ujung kolom, harus dengan disturbansi yang minimum dari material kolom. Ada dua model umum yaitu: Stopped Flow dan Solvent Flowing. Menurut Putra (2007) ada tiga tipe dasar injektor yang dapat digunakan yaitu:

a. Hentikan aliran/stop flow: aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Teknik ini bisa digunakan karena difusi di dalam aliran kecil dan resolusi tidak dipengaruhi.

b. Septum: injektor-injektor langsung ke aliran fase gerak umumnya sama dengan yang digunakan pada kromatografi gas. Injektor ini dapat digunakan pada kinerja sampai 60-70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak tahan dengan semua pelarut-pelarut kromatografi cair. Disamping itu,


(34)

partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat jarum injektor) dapat menyebabkan penyumbatan.

c. Katup putaran (loop valve): tipe injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih besar dari pada 10 µ l dan sekarang digunakan dengan cara automatis (dengan adaptor khusus, volume-volume lebih kecil dapat diinjeksikan secara manual). Pada posisi LOAD, sampel loop (cuplikan dalam putaran) diisi pada tekanan atmosfir. Bila katup difungsikan, maka cuplikan di dalam putaran akan bergerak ke dalam kolom.

Gambar 3. Tipe injektor katup putara

2.7.2.4 Kolom

Kolom merupakan jantung kromatograf. Keberhasilan atau kegagalan analisis bergantung pada pilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat. Menurut Edward dan Stevenson (1991) kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok:

a. Kolom analitik: garis tengah-dalam 2-6 mm. Panjang bergantung pada jenis kemasan, untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100 cm, untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm.


(35)

b. Kolom preparatif: umumnya bergaris tengah 6 mm atau lebih besar dan panjang 25-100 cm.

2.7.2.5 Detektor

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor-detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisar respons linier yang luas, dan memberi tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa. Suatu kepekaan yang rendah terhadap aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat diperoleh (Putra, 2007).

Detektor yang merupakan tulang punggung kromatografi cair kecepatan tinggi modern (KCKT) ialah detektor UV 254 nm (Edward dan Stevenson, 1991).

2.8 Elusi Gradien dan Isokratik

Menurut Putra (2007), elusi pada KCKT dapat dibagi menjadi dua sistem yaitu:

1. Sistem elusi isokratik. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan satu macam atau lebih fase gerak dengan perbandingan tetap.

2. Sistem elusi gradien. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan campuran fase gerak yang perbandingannya berubah-ubah dalam waktu tertentu.

Elusi gradien didefinisikan sebagai penambahan kekuatan fase gerak selama suatu analisis kromatografi berlangsung. Pengaruh yang menguntungkan dari elusi gradien adalah memperpendek waktu analisis senyawa-senyawa yang secara kuat ditahan di dalam kolom (Putra, 2007).


(36)

2.9 Fase Gerak

Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut (Rohman, 2007).

Dalam kromatografi cair komposisi pelarut atau fase gerak adalah satu variabel yang mempengaruhi pemisahan. Terdapat keragaman yang luas dari fase gerak yang digunakan dalam semua mode KCKT, tetapi ada beberapa sifat-sifat yang diinginkan yang mana umumnya harus dipenuhi oleh semua fase gerak. Menurut Putra (2007), fase gerak harus:

1) Murni; tidak ada pencemar/kontaminan

2) Tidak bereaksi dengan pengemas

3) Sesuai dengan detektor

4) Melarutkan cuplikan

5) Mempunyai viskositas rendah

6) Mudah rekoveri cuplikan, bila diinginkan

7) Tersedia diperdagangan dengan harga yang pantas

Umumnya, pelarut-pelarut dibuang setelah digunakan karena prosedur pemurnian kembali membosankan dan mahal. Dari semua persyaratan di atas, 4 persyaratan pertama adalah yang paling penting (Putra, 2007).


(37)

Gelembung udara yang ada harus dihilangkan dari pelarut dengan cara

degassing, karena udara yang terlarut keluar melewati detektor dapat


(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat KCKT. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biofarmasi dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU.

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, beaker gelas, neraca analitis (Baecho), pipet tetes, tabung sentrifugasi, rak tabung, gelas ukur, alat vortex (Health HVM-400), alat sentrifugasi (Health HC 1120T), termos es, spuit 1 ml, spuit 3 ml, politube, mikropipet, batang pengaduk, vial 2 ml, satu unit alat KCKT Agilent 1120 Compact LC, kolom ODS C18, wadah solven, injektor, syringe 50 µ l, pompa vakum (Gast DOA-PG04-BN), sonifikator (Branson 1510), kertas membran filter whatman cellulosa nitrate 0,45 µ m, penyaring PTFE 0,2 µ m. (Gambar alat dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2 halaman 36)

3.2 Bahan

Bahan bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu: metanol p.a. (E. Merck), NaOH p.a. (E. Merck), plasma darah pasien TB, plasma kontrol (gambar dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 40), isoniazid BPFI (BPOM Jakarta) (sertifikat analisis dapat dilihat pada Lampiran 13 halaman 55), kalium dihidrogen


(39)

fosfat p.a (E. Merck), aquabidest (PT. Ika parmindo putra mas), Heparin sodium inject (PT. B. Braun Medical Indonesia).

3.3 Pengambilan Sampel

Sampel yang diperiksa dalam penelitian ini adalah plasma darah pasien penderita TB yang sedang menjalani perawatan di klinik Dr. Zainuddin Amir, DSP (ahli penyakit saluran pernapasan) di Jl. Jemadi Medan. Pasien yang diambil darahnya adalah pasien yang telah mengkonsumsi obat TB kurang dari 2 bulan atau sedang menjalani fase intensif. Data pasien dapat dilihat pada lampiran 12 halaman 52, waktu pengambilan darah adalah 2 jam setelah meminum obat.

3.4 Rancangan Penelitian 3.4.1 Penyiapan Bahan

3.4.1.1 Pembuatan Plasma Kontrol

Darah diambil dari donatur (dewasa dan sehat) sebanyak 5 ml, kemudian dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi 0,5 ml heparin. Venoject yang berisi darah disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Diperoleh dua lapisan yaitu lapisan atas yang merupakan plasma dan lapisan bawah berupa endapan. Diambil lapisan atas (plasma).


(40)

3.4.1.2 Pembuatan Pereaksi 3.4.1.2.1 Aqua Bebas CO2

Dibuat dengan mendidihkan air untuk injeksi segar selama tidak kurang dari 10 menit sambil mencegah hubungan dengan udara sesempurna mungkin, didinginkan, dan segera digunakan (Ditjen POM, 1972).

3.4.1.2.2 Natrium Hidroksida (NaOH) 0,2 N

Dilarutkan 8,0 g NaOH dengan air bebas CO2 sampai 1000,0 ml (Ditjen

POM, 1979).

3.4.1.2.3 Kalium Dihidrogen Fosfat 0,2 M

Dilarutkan 27,218 g kalium dihidrogen fosfat dalam air bebas CO2

secukupnya hingga 1000,0 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.1.2.4 Buffer Fosfat pH 7,4

Dibuat dengan mencampur 50,0 ml kalium dihidrogenfosfat 0,2 M dengan 39,1 ml natrium hidroksida 0,2 N, dan diencerkan dengan air bebas karbondioksida P hingga 200,0 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.1.3 Pembuatan Fase Gerak

Fase gerak terdiri dari buffer fosfat pH 7,4 dan metanol dengan perbandingan 96,8 : 3,2. Fase gerak dibuat sebanyak 500 ml dengan mencampurkan buffer fosfat pH 7,4 sebanyak 484 ml dan metanol sebanyak 16 ml. Sebelum digunakan fase gerak disaring melalui penyaring membran filter whatman cellulosa nitrate 0,45 µm. Kemudian diawaudarakan selama ± 20 menit menggunakan sonifikator.


(41)

3.4.1.4. Pembuatan Larutan Induk Baku Isoniazid

Ditimbang seksama sejumlah 5 mg isoniazid BPFI lalu dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 1 ml, dilarutkan dengan fase gerak (buffer fosfat pH 7,4 : metanol dengan perbandingan 96,8 : 3,2) sehingga diperoleh konsentrasi 72.9181 mM (5.000 mcg/ml).

3.4.2 Prosedur Analisis

3.4.2.1 Penyiapan Alat KCKT

Alat dihubungkan dengan sumber listrik, kemudian alat dihidupkan dengan menekan tombol power. Diatur panjang gelombang menjadi 254 nm. Dipurging untuk menghilangkan gelembung pada selang, kemudian dialirkan fase gerak hingga laju alir 0,8 ml/menit. Biarkan hingga kondisi alat stabil.

3.4.2.2 Penentuan Garis Alas (Base Line)

Setelah dialirkan fase gerak selama 30 menit, dilihat absorbansi apakah telah stabil, jika telah stabil absorbansi di nol kan dengan cara click to balance.

3.4.2.3 Penyuntikan Fase Gerak

Untuk mengetahui kebersihan injektor, maka dilakukan penyuntikan fase gerak dengan cara: tekan single run, tulis nama sampel dan tekan OK. Injektor diputar ke posisi load dan disuntikkan fase gerak ke dalam injektor dengan menggunakan penyuntik mikroliter, injektor diputar ke posisi inject (kromatogram hasil penyuntikan fase gerak dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 41).


(42)

3.4.2.4 Penyuntikan Plasma Kontrol

Dipipet 300 µl plasma, dimasukkan ke dalam politube dan ditambahkan 600 µ l metanol untuk mengendapkan protein lalu divortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Dipisahkan supernatan dari endapan dan dikumpulkan. Disaring dengan penyaring PTFE diameter 0,2 µm, lalu diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µ l dengan laju aliran (flow rate) 0,8 ml/menit, deteksi pada panjang gelombang 254 nm. Dilihat kromatogram yang terbentuk dan waktu retensinya (kromatogram hasil penyuntikan plasma kosong dapat dilihat pada lampiran 6 halaman 43).

3.4.2.5 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif Isoniazid dapat dilakukan dengan membandingkan waktu retensi yang sama dari kromatogram pada penyuntikan sampel dengan kromatogram pada penyuntikan larutan baku pembanding Isoniazid (kromatogram LIB dapat dilihat pada lampiran 5 halaman 41).

3.4.2.6 Analisis Kuantitatif

3.4.2.6.1 Penentuan Linieritas Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Isoniazid

Dipipet larutan induk baku isoniazid BPFI sebanyak 100 μl; 150 μl; 200

μl; 250 μl; 400 μl; masing-masing dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 1 ml, dicukupkan dengan fase gerak sampai garis tanda sehingga diperoleh konsentrasi 3,6459 mM (500 mcg/ml); 5,1042 mM (750 mcg/ml); 7,2918 mM (1000 mcg/ml); 9,1147 mM (1250 mcg/ml); 14,5836 mM (2000 mcg/ml). Dari masing-masing konsentrasi dipipet sebanyak 10 µ l, dimasukkan ke


(43)

dalam vial yang telah dikalibrasi 2 ml, kemudian ditambahkan plasma sampai garis tanda, divortex lalu didiamkan selama 5 menit. Dipipet 300 µl, dimasukkan ke dalam politube dan ditambahkan 600µ l metanol untuk mengendapkan protein lalu divortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh diambil dengan menggunakan spuit kemudian disaring dengan penyaring PTFE diameter 0,2 µm, lalu diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µ l dengan laju aliran (flow rate) 0,8 ml/menit, deteksi pada panjang gelombang 254 nm.

Kurva kalibrasi dibuat dengan menggunakan luas puncak antara bahan obat yang terukur oleh detektor versus konsentrasi bahan obat untuk memperoleh garis regresi linear (kromatogram dapat dilihat pada lampiran 8 halaman 44, data perhitungan dapat dilihat pada lampiran 9 halaman 49).

3.4.2.6.2 Pemeriksaan Kadar Isoniazid Dalam Plasma Darah Pasien

Darah pasien diambil sebanyak 5 ml, kemudian dimasukkan ke dalam

venoject yang telah terbasahi 0,5 ml heparin. Venoject yang berisi darah

disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Diperoleh dua lapisan yaitu lapisan atas yang merupakan plasma dan lapisan bawah berupa endapan. Plasma darah pasien diambil dengan menggunakan spuit. Selanjutnya plasma dipipet 300 µ l, dimasukkan ke dalam politube dan ditambahkan 600µ l metanol untuk mengendapkan protein lalu divortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Disaring dengan penyaring PTFE diameter 0,2 µm, lalu diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µ l dengan laju aliran (flow rate) 0,8 ml/menit, deteksi pada panjang gelombang 254 nm. Dilihat kromatogram yang terbentuk dan waktu retensinya. Dihitung kadar obat


(44)

dalam plasma dengan menghitung luas puncaknya (kromatogram dapat dilihat pada lampiran 7 halaman 43, perhitungan dapat dilihat pada lampiran 10 halaman 51).

3.4.3 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi

Batas deteksi (Limit of detection/LOD) didefenisikan sebagai konsentrasi

analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi. Batas kuantifikasi (Limit of quantification/LOQ) didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan.

LOD = slope SD 3 , 3 x LOQ = slope SD 10x (Rohman, 2007)

Standar deviasi (SD) dapat ditentukan berdasarkan pada standar deviasi blanko, pada standar deviasi residual dari garis regresi.

Standar deviasi residual (Sy) =

2 n

) y y ( i 2

− −

(Harmita, 2004) (Data perhitungan batas deteksi dan batas kuantifikasi dapat dilihat pada lampiran 11 halaman 52).


(45)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis isoniazid dalam plasma secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase balik telah dilakukan oleh Revankar, et al.,(1994) menggunakan fase gerak buffer fosfat pH 7,4 dan metanol (96,8 : 3,2 v/v) pada panjang gelombang 268 nm. Menurut Munson (1991), detektor yang banyak digunakan dalam analisis farmasi adalah detektor lampu raksa 254 nm. Detektor ini tanggap terhadap banyak obat dan kepekaannya memadai bagi penetapan sediaan obat dan kebanyakan cairan biologi. Sebelumnya telah dilakukan orientasi obat pada fase gerak buffer posfat pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2) maka diperoleh retensi 19,1 menit. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan pemeriksaan isoniazid dalam plasma darah pasien TB secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan menggunakan kolom ODS C18, fase gerak buffer fosfat pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2) pada panjang gelombang 254 nm.

Untuk mengetahui waktu retensi dari isoniazid terlebih dahulu dilakukan penginjekan larutan baku sehingga diperoleh waktu retensi isoniazid 19.1 menit


(46)

Sampel darah diambil dari seorang pasien TB yang sedang menjalani tahap intensif selama ± 1 bulan. Dosis yang diminum oleh pasien adalah 225 mg. Pengambilan darah dilakukan 2 jam setelah pasien mengkonsumsi obat.

Isoniazid langsung diserap dari saluran cerna. Pemberian dosis oral sebesar 300 mg (5 mg/kg untuk anak-anak) menghasilkan konsentrasi plasma puncak 3-5 µg/mL dalam 1-2 jam. Isoniazid langsung berdifusi secara cepat dalam darah ke seluruh cairan tubuh dan jaringan (Chambers, 2004).

Untuk suatu obat yang diberikan dalam dosis oral berulang waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan tunak bergantung pada waktu paruh eliminasi obat. Dari segi klinik, waktu yang diperlukan untuk mencapai 99% dari konsentrasi tunak dalam plasma adalah 6,6 waktu paruh eliminasi (Shargel, 1988).

Hasil pengujian sampel diperoleh waktu tambat yang berdekatan dengan waktu retensi isoniazid baku yaitu 18,7 menit.


(47)

Isoniazid di dalam tubuh mengalami proses asetilasi oleh enzym asetiltransferase menjadi metabolit yang berupa asetil isoniazid (Tjay dan Rahardja, 2002). Pada temperatur kamar isoniazid berada pada kondisi stabil (Dinkes jawa barat, 2009). Hal ini dapat dilihat pada kromatogram (lihat gambar 2) tidak ditemukan adanya puncak lain.

Penentuan linieritas kurva kalibrasi isoniazid BPFI ditentukan berdasarkan luas puncak. Menurut Johnson & Stevenson (1991), penentuan kadar dapat dilakukan dengan mengukur luas puncak atau tinggi puncak. Baik tinggi puncak maupun luasnya dapat dihubungkan dengan konsentrasi. Tinggi puncak mudah diukur, akan tetapi sangat dipengaruhi perubahan waktu retensi yang disebabkan oleh variasi suhu dan komposisi pelarut. Oleh karena itu, luas puncak dianggap merupakan parameter yang lebih akurat untuk pengukuran kuantitatif (Ditjen POM, 1995). Penentuan linieritas kurva kalibrasi isoniazid BPFI pada konsentrasi 3,6459 mM; 5,1042 mM; 7,2918 mM; 9,1147 mM; 14,5836 mM, diperoleh hubungan yang linier dengan koefisien korelasi (r) = 0,9866 dan persamaan regresi Y = 36712,545X – 92354,976 dengan data penyuntikan larutan baku isoniazid. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 3. Kurva kalibrasi isoniazida baku luas puncak versus konsentrasi

Kurva Kalibrasi Isiniazid BPFI Luas Puncak Versus Konsentrasi

y = 36712,545x – 92354,976 r = 0,9866

0 100000 200000 300000 400000 500000

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Konsentrasi (mM) Luas Puncak


(48)

Kadar sampel dapat dihitung menggunakan persamaan regresi Y = 36712,545X – 92354,976 yaitu dengan mensubsitusikan Y dengan harga luas puncak. Hasil perhitungan diketahui harga X (kadar sampel) adalah 6,8722 mM.


(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Kadar isoniazid dalam plasma darah pasien dapat dilakukan dengan cara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) menggunakan kolom ODS-C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2), dengan laju alir 0,8 ml/menit pada panjang gelombang 254 nm. Kadar yang diperoleh adalah 6,8722 mM.

2. Kondisi isoniazid dalam plasma pasien TB stabil pada temperatur kamar

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar melakukan validasi metode sehingga diperoleh hasil yang lebih baik.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Anonima, (2009). Tuberkulosis Kedaruratan Global. Tanggal akses 1 Juni 2009.

Dikutip dari http: /

Anonimb. (2008). Blood. Tanggal akses 28 September 2009

Dikutip dari

Chambers, H.F. (2004). Obat Antimikrobakteri. Dalam: Farmakologi Dasar dan

Klinik. Buku Ketiga. Edisi kedelapan. Editor: Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Hal. 94.

Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis. Departemen Kesehatan RI. Hal. 12, 13, 18.

Dinkes Jawa Barat., (2009). Isoniazid (INH). Tanggal akses 22 Oktober 2009. Dikutip dari

Ditjen POM. (1972). Farmakope Indonesia. Edisi II. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal.667.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal.14, 320, 688.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 1011.

Gritter, R.J, Bobbit, J.M, dan Schwarting, A.e. (1985). Introduction of

Chromatograpy. Penerjemah: K. Padmawinata. Pengantar Kromatografi.Edisi III.Bandung: Penerbit ITB. Hal 186

Hadjar, M.M.I,. (1985). Teknik Analisis Obat Dalam Cairan Biologis Dengan GLC dan HPLC. Cermin Dunia Kedokteran. (37): 26-31.

Harmita. (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. Volume I (3): 129.

Johnson, E.L., dan Stevenson, R. (1991). Dasar Kromatografi Cair. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 236.

Junqueira, L.C., dan Carneiro, J. (1982). Histologi Dasar (Basic Histology). Edisi Ketiga. Alih Bahasa Adji Dharma. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC. Hal : 254-255.

Muchtar, A. (2006). Farmakologi Obat Antituberkulosis (OAT) Sekunder Cermin Dunia Kedokteran. 3(2): 23-29.


(51)

Munson, J.W. (1991). Pharmaceutical Analysis Modern Methods. Part B. Penerjemah Harjana. Analisis Farmasi Metode Modern. Parwa B., Penerbit Airlangga University Press. Surabaya. Hal. 14,43.

Putra, E.D.L. (2007). Dasar-Dasar Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Hal. 43, 82-88

Putu, N.N. (2007). Terapi FDC (Fixed-Dose Combination) Pada Pasien TB. Tanggal akses 25 Januari 2009. dikutip dari http://www.wordpress.com.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Hal 17,18.

Revankar SN, Desai ND, Vaidya, AB, Bhatt AD, Anjaneluyu B., (1994). Determination of Pyrazinamide in Human by High Performance Liquid Chromatography. J. Postgrad Med. 40(1): 7.

Shargel, L. (1941). Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics. Fourth edition. Rockville: McGraw-Hill Medical Publishing Division. Hal. 32. Shargel, L. (1988). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Penerjemah :

Fasich dan Sjamsiah. Edisi II. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 32, 35, 355-356.

Siregar, C.J.P. dan Endang, K ( 2004 ). Farmasi Klinik Teori dan Terapan. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 120-122.

Suryatenggara, W. (1990). Pengobatan Tuberkulosis Paru Cermin Dunia Kedokteran. 3(63): 25-28.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K. (2002). Obat-obat Penting. Edisi Kelima. Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Hal. 145-150.

Zubaidi, Y. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi Keempat. Editor. Ganiswarna, S.G. Jakarta: Penerbit. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 597-600.


(52)

Syringe 50 µl

Lampiran 1. Gambar Alat KCKT dan Syringe 50 µ l


(53)

Ultrasonic cleaner

Pompa vakum dan seperangkat penyaring fase gerak


(54)

Sentrifuge

Lampiran 2. (Lanjutan)


(55)

Lampiran 2. (Lanjutan)


(56)

Lampiran 3. Plasma Kontrol


(57)

(58)

Lampiran 5. Kromatogram Penyuntikan Larutan Isoniazid Baku, Fase Gerak


(59)

(60)

(61)

Lampiran 8. Kromatogram Penyuntikan Larutan Isoniazida Baku pada Pembuatan Kurva Kalibrasi

A. Kromatogram dari Larutan Isoniazid Baku Konsentrasi 3,6459 mM (500 mcg/ml)


(62)

Lampiran 8. (Lanjutan)

B. Kromatogram dari Larutan Isoniazid Baku Konsentrasi 5,1042 mM (750 mcg/ml)


(63)

Lampiran 8. (Lanjutan)

C. Kromatogram dari Larutan Isoniazid Baku Konsentrasi 7,2918 mM (1000 mcg/ml)


(64)

Lampiran 8. (Lanjutan)

D. Kromatogram dari Larutan Isoniazid Baku Konsentrasi 9,1147 mM (1250 mcg/ml)


(65)

Lampiran 8. (Lanjutan)

E. Kromatogram dari Larutan Isoniazid Baku Konsentrasi 14,5836mM (2000 mcg/ml)


(66)

Lampiran 9 Perhitungan Persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi Isoniazid Baku

yang Diperoleh Secara KCKT pada λ 254 nm

Data Luas Puncak dari Penyuntikan Larutan Isoniazid Baku Konsentrasi 3,6459 mM – 14,5836 mM dalam Plasma

Konsentrasi

Luas area

ppm (mcg/ml) mM

500 3,6459 70229

750 5,1042 95295

1000 7,2918 154473

1250 9,1147 212178

2000 14,5836 465014

Data Kalibrasi Isoniazid Baku Luas Puncak Isoniazid (y) terhadap Konsentrasi (x)

No x y x.y x2 y2

1 3,6459 70229 256047,911 13,29258681 4932112441 2 5,1042 95295 486404,739 26,05285764 9081137025 3 7,2918 154473 1126386,221 53,17034724 23861907729 4 9,1147 212178 1933938,817 83,07775609 45019503684 5 14,5836 465014 6781578,170 212,681389 216238020196 39,740 997189 10584355,859 388,275 299132681075

7,948 199437,800 y = a x + b

a =

( )( )

( )

x n

x n y x xy / / 2 2

− −

a =

(

)(

)

(

39,740

)

/5 275 , 388 5 / 997189 740 , 39 859 , 10584355 2 − − a = 857 , 315 275 , 388 7925698 279 , 10584866 − − a = 418 , 72 799 , 2658657

a = 36712,545


(67)

b = y – a.x

= 199457,8– (36708,618).( 7,94804) = 199457,8- 291761,564

= -92354,976

Sehingga diperoleh persamaan regresi y = 36712,545x – 92354,976

Untuk mencari hubungan kadar (X) dengan luas puncak (Y) digunakan pengujian koefisien korelasi (r)

r =

( )( )

( )

(

)

(

( )

)

[

]

n y y n x x n y x xy / / / 2 2 2 2

r =

(

)(

)

(

)

(

)

(

(

)

)

[

388,275 39,740 /5 299151750075 997289 /5

]

5 / 997289 740 , 39 279 , 10584866 2 2 − − − r =

(

)(

)

[

388,275 315,857 299151750075 198917069904,200

]

864 , 7926492 279 , 10584866 − − − r =

(

)(

)

[

72,418 100234680170,800

]

415 , 2658373 r = 530 , 2694219 415 , 2658373


(68)

Lampiran 10. Perhitungan Konsentrasi Obat Isoniazid

Dari persamaan regresi y = 36712,545x – 92354,976 maka diperoleh konsentrasi obat:

159944 = 36712,545x – 92354,976 36712,545x = 159944 + 92354,976 x =

36712,545 159944 + 92354,976

x = 6,8722 mM = 0,006872 M = 0,006872 x 137.14 = 0,942426 g/L = 0,942426 mg/ml = 942,426 mcg/ml (ppm)


(69)

Lampiran 11. Perhitungan Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi Isoniazid

Persamaan garis regresi Isoniazid Baku: y = a x + b

y = 36712,545x – 92354,976

NO x y yi (y-yi)2

1 3,6459 70229 41495,29197 825625977,3

2 5,1042 95295 95033,19623 68541,21173

3 7,2918 154473 175345,5595 435663740,8

4 9,1147 212178 242268,8577 905459715

5 14,5836 465014 443046,0946 482588866,9

Σ 2649406841,245

SD = n-2

√ Σ(y-yi)2 =

5-2

√ 2649406841,245 =

3

51472,389 = 17157,46304

LOD = 3,3 x SD

Slope =

36712,545 3,3 x 17157,46304 = 1,5422 mM

LOQ = 10 x SD

Slope =

36712,545 10 x 17157,46304 = 4,6735 mM


(70)

Lampiran 12. Data Pasien

Nama : Bowo

Umur : 22 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Berat Badan : 52 kg


(71)

(72)

(73)

Lampiran 15. Pembuatan Plasma Kontrol

Dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi 0,5 ml heparin

Dipisahkan supernatan dari endapan Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit

Diambil darahnya sebanyak 5 ml melalui vena

Donatur (Dewasa dan Sehat)

Darah + heparin di dalam venoject

Lapisan atas (plasma)

Lapisan bawah (endapan)


(74)

Lampiran 16. Pembuatan Larutan Induk Baku Isoniazida

Isoniazid Baku

Ditimbang sebanyak 5 mg

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 1 ml

Dilarutkan dengan fase gerak Dicukupkan sampai garis tanda LIB I isoniazid

konsentrasi 72,9181 mM


(75)

Lampiran 17. Penyuntikan Plasma Kontrol

Dipipet sebanyak 300 µ l Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Plasma

Ditambahkan 600 µ l metanol, lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µ l Kromatogram plasma


(76)

Lampiran 18. Pembuatan Kurva Kalibrasi Isoniazida Baku

Dipipet sebanyak 100 µ l; 150 µ l; 200 µl; 250 µ l; 400 μl

Supernatan Endapan

LIB isoniazid

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 1 ml

Diencerkan dengan fase gerak sampai garis tanda

Larutan isoniazid dengan konsentrasi 3,6459 mM; 5,1042 mM; 7,2918 mM; 9,1147 mM; 14,5836 mM

Dipipet sebanyak 10 µ l

Ditambahkan plasma sampai garis tanda Divortex lalu didiamkan selama 5 menit Dipipet sebanyak 300 µ l

Ditambahkan 600 µ l metanol lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 2 ml


(77)

Lanjutan:

Supernatan

Dipisahkan menggunakan spuit Disaring menggunakan PTFE ø 0,2

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µ l Kromatogram

Diperoleh Rt dan luas puncak

Hasil


(78)

Lampiran 19. Pemeriksaan Kadar Isoniazid dalam Plasma Darah Pasien TB

Dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi 0,5 ml heparin

Lapisan atas (plasma)

Lapisan bawah (endapan)

Plasma

Diambil darahnya sebanyak 5 ml melalui vena

Dipisahkan supernatan dari endapan Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit

Pasien TB

Darah + heparin di dalam venoject


(79)

Lanjutan:

Dipipet sebanyak 300 µ l Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Plasma

Ditambahkan 600 µ l metanol, lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm

Diinjeksikan ke dalam sitem KCKT sebanyak 20 µl Kromatogram plasma +

obat

Diperoleh Rt dan luas puncak Dihitung konsentrasi yang didapat


(1)

Lampiran 16. Pembuatan Larutan Induk Baku Isoniazida Isoniazid Baku

Ditimbang sebanyak 5 mg

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 1 ml

Dilarutkan dengan fase gerak Dicukupkan sampai garis tanda LIB I isoniazid

konsentrasi 72,9181 mM


(2)

Lampiran 17. Penyuntikan Plasma Kontrol

Dipipet sebanyak 300 µ l Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Plasma

Ditambahkan 600 µ l metanol, lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µ l Kromatogram plasma


(3)

Lampiran 18. Pembuatan Kurva Kalibrasi Isoniazida Baku

Dipipet sebanyak 100 µ l; 150 µ l; 200 µl; 250 µ l; 400 μl

Supernatan Endapan

LIB isoniazid

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 1 ml

Diencerkan dengan fase gerak sampai garis tanda

Larutan isoniazid dengan konsentrasi 3,6459 mM; 5,1042 mM; 7,2918 mM; 9,1147 mM; 14,5836 mM

Dipipet sebanyak 10 µ l

Ditambahkan plasma sampai garis tanda Divortex lalu didiamkan selama 5 menit Dipipet sebanyak 300 µ l

Ditambahkan 600 µ l metanol lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 2 ml

Dimasukkan ke dalam politube


(4)

Lanjutan:

Supernatan

Dipisahkan menggunakan spuit Disaring menggunakan PTFE ø 0,2

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µ l Kromatogram

Diperoleh Rt dan luas puncak

Hasil

Dihitung persamaan regresi


(5)

Lampiran 19. Pemeriksaan Kadar Isoniazid dalam Plasma Darah Pasien TB

Dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi 0,5 ml heparin

Lapisan atas (plasma)

Lapisan bawah (endapan)

Plasma

Diambil darahnya sebanyak 5 ml melalui vena

Dipisahkan supernatan dari endapan Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit

Pasien TB

Darah + heparin di dalam venoject


(6)

Lanjutan:

Dipipet sebanyak 300 µ l Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Plasma

Ditambahkan 600 µ l metanol, lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm

Diinjeksikan ke dalam sitem KCKT sebanyak 20 µl Kromatogram plasma +

obat

Diperoleh Rt dan luas puncak Dihitung konsentrasi yang didapat

Hasil