Tindakan Passing Off Terhadap Hak Merek Jasa dan Akibat Hukumnya

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Afwan Rosmi Fikriyuddin NIM: 1111048000016

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

i

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh:

Afwan Rosmi Fikriyuddin NIM: 1111048000016

Pembimbing I Pembimbing II

Nahrowi, SH, MH Ismail Hasani, MH

NIP: 197302151999031002 NIP: 197712172007101002

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

ii

JASA DAN AKIBAT HUKUMNYA” telah diajukan dalam sidang munaqasyah

Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2 April 2015 Skripsi ini telah dierima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Prgoram Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 2 April 2015 Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Asep Saepudin Jahar, MA NIP. 19691216 199603 1 001

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H, M.A, M.H (...…………...…..) NIP. 195510151979031002

2. Sekertaris : Arip Purqon, SHi, M.A (...….…..…….….) NIP. 197904272003121002

3.Pembimbing I : Nahrowi S.H, M.H (...….………..…..) NIP. 197302151999031002

3. Pembimbing II : Ismail Hasani, M.H (...……..…….…..) NIP. 197712172007101002

4. Penguji I : Aliya Sandra Dewi, SH, M.Kn (...…..)


(4)

iii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 6 Februari 2015


(5)

iv

”, Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatyullah Jakarta, 1436 H/2015 M. viii + 68 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan tindakan passing off dan akibat hukumnya. Latar belakang skiripsi ini adalah masih banyak kasus mengenai hak merek khususnya tindakan passing off. Hukum merek Indonesia tidak mengatur secara jelas mengenai pengaturan tindakan

passing off dikarenakan berbeda sistem hukum. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan penulis adalah metode penulisan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan tindakan passing off hanya bersifat preventif dan hanya untuk merek terdaftar. Hal ini dibuktikan bahwa Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 sudah harus diperbaharui seriring perkembangan hak kekayaan intelektual khususnya di bidang merek

Kata Kunci : Passing Off, Hak Merek Jasa, Undang-Undang Merek Pembimbing : Nahrowi, SH, MH

Ismail Hasani, MH


(6)

v

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat,nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “TINDAKAN PASSING OFF TERHADAP HAK MEREK JASA DAN AKIBAT HUKUMNYA”. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan alam semesta Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Untuk dapat terselesainya penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH. selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arip Purkon, MA selaku sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Nahrowi, SH, MH dan Ismail Hasani, MH selaku dosen pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini selesai.

4. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah


(7)

vi

khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.

6. Kedua orang tua tercinta yaitu ayahanda Drs. H. Abd Rosyid, M.Pd dan Ibunda Dra. Hj. Ai Jamilah, SH, MH, terima kasih atas nyala semangat yang tidak pernah padam serta do‟a, motivasi, kasih sayang, perhatian, dan bantuan (moril, materiil, dan spiritual) yang telah diberikan dengan tulus, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri.

7. Teman-teman ilmu hukum angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik konsentrasi hukum bisnis maupun konsentrasi hukum kelembagaan negara.

Wassalammu‟alaikum Wr.Wb

Jakarta, 2 April 2015


(8)

vii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ……….. ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 6

E. Kerangka Konseptual ... 8

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ATAS MEREK A. Pengertian Hak Merek ... 16

B. Jenis Merek ... 18

C. Persyaratan Merek ... 19

D. Pendaftaran Merek ... 20

E. Penghapusan dan Pembatalan Pendaftaran Merek... 23

E. Lisensi Merek ... 25

BAB III KONSEP PASSING OFF DI INDONESIA A. Pengertian Passing Off ... 28


(9)

viii

E. Itikad Baik ... 36 F. Unsur Passing Off ... 40

BAB IV PENGATURAN PASSING OFF DALAM

PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA

A. Contoh Putusan Terkait Tindakan Passing Off di Indonesia ... 44 B. Potensi Persaingan Curang Terkait Tindakan Passing Off diIndonesia . 48 C. Akibat Hukum dari Tindakan Passing Off Terhadap Merek Jasa ... 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 64 B. Saran ... 65 DAFTAR PUSTAKA ... 66


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Merek berperan penting dalam perdagangan barang maupun jasa baik secara nasional maupun internasional. Merek dianggap sebagai “roh” dari suatu produk. Merek juga menjadi ciri khas antara produk barang atau jasa sejenis yang dapat dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu original terkadang yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya.1

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang Merek, merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Dari pengertian merek di atas, maka merek berfungsi sebagai pembeda dari produk yang dibuat oleh seseorang atau badan hukum dengan produk yang dibuat seseorang atau badan hukum lain.2 Fungsi ini semakin meluas apabila penggunaan barang atau jasa dengan merek tertentu merupakan gengsi dan karenanya masyarakat rela membeli barang yang bermerek meski

1

OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 329.

2

Rahmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), h. 322


(11)

merek tersebut lebih mahal. Bahkan kadang-kadang masyarakat juga mengenal merek untuk menyebut barang seperti merek aqua gelas untuk menggantikan semua minuman air mineral yang berbentuk gelas atau merek indomie untuk menggantikan semua mi instan.

Pengusaha selalu menggunakan merek untuk membedakan produk mereka dengan produk sejenis yang menjadi pesaing mereka di pasaran. Konsumen yang mengetahui ciri khusus pada produk diharapkan dapat memberikan kepercayaan terhadap produk tersebut untuk mereka gunakan. Potensi persaingan curang semakin besar ketika pihak tertentu melihat kesuksesan suatu merek yang memiliki reputasi yang sangat tinggi sehingga pihak lain mengambil jalan pintas dengan cara menyerupai suatu merek barang atau jasa untuk membonceng ketenaran pada suatu merek tersebut.

Pemboncengan reputasi pada merek atau biasa dikenal dengan sebutan

Passing off pada sistem Common Law.Dalam passing off terkait erat dengan apa yang disebut goodwill, goodwill sering digunakan dalam arti yang bersamaan dengan kata reputasi yaitu sebagai sesuatu yang melekat dalam merek dan selain itu kata goodwill sering juga diartikan sebagai “itikad baik”. Goodwill bila dilihat dari segi ekonomi yang dikutip dari S.J Fockema Andrea oleh Abdul Kadir dalam bukunya yaitu benda ekonomi tidak berwujud yang timbul dalam hubungan antara perusahaan dan pelanggan serta kemungkinan perkembangan yang akan datang.3 Reputasi atau goodwill

dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses atau kegagalan dari

3

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), h. 68.


(12)

sebuah perusahaan sehingga reputasi atau goodwill sangatlah penting bagi produsen karena dapat meyakinkan pihak konsumen untuk membeli produknya.4

Ada contoh kasus passing off yang dialami oleh perusahaan kopi dan kedai kopi yang berasal dari Amerika yaitu Starbucks Coffee. Perusahaan tersebut sering terjadi kasus mengenai pelafalan mereknya yang serupa seperti „Setarbak Kopi‟ di Malaysia. Dari kasus tersebut terlihat bahwa mereka yang sengaja menyerupai logo dan pelafalan dari merek Starbucks Coffee tidak mempunyai itikad baik dalam memakai merek dagangnya, si pemilik ingin cepat mendapatkan keuntungan dan ketenaran dengan mendompleng atau membonceng reputasi dari merek Starbucks Coffee.

Masalah merek yang memiliki persamaan ini selain merugikan pemilik merek yang sudah terdaftar di Dirjen HKI karena mereknya didompleng, juga dapat menimbulkan kekeliruan pada khalayak ramai tentang pemakaian merek tersebut.5 Akibatnya konsumen akan mendapat barang dengan kualitas yang kurang bagus dari barang aslinya bahkan dapat membahayakan keselamatan ataupun kesehatan konsumen apabila produsen yang curang tersebut menggunakan zat-zat atau bahan-bahan yang berbahaya bagi konsumen.

Akibat adanya tindakan passing off yang dapat mengecoh dan menyesatkan konsumen dalam memilih suatu barang atau jasa maka

4

Tim Lindsey, dkk., Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung: P.T. Alumni, 2013), h. 152.

5


(13)

konsumen perlu dilindungi sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang berisi segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Berdasarkan keterangan di atas, maka merek terkenal harus mendapat perlindungan, bila suatu merek tidak mendapatkan perlindungan hukum maka usaha perdagangan tidak akan berkembang baik di suatu negara. Pada pasal 6 ayat (1) huruf a UU Merek 2001 berbunyi, kemungkinan adanya unsur subjektivitas dari pemeriksa merek untuk menolak pendaftaran suatu merek dengan alasan ada persamaan pada pokoknya cukup beralasan.

Hal ini juga berdampak terhadap putusan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tersebut, menyebabkan putusan tersebut tidak memiliki interpretasi yang jelas apa kriteria suatu merek yang memiliki persamaan pada pokoknya.6

Berkaitan dengan hal-hal yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk memilih judul “Tindakan Passing Off Terhadap Hak Merek Jasa

dan Akibat Hukumnya”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidakjelasan maka penulis membuat pembatasan

6

Sentosa Sembiring, Prosedur Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Intelektual Di Bidang Hak Cipta, Paten dan Merek, (Bandung: CV.Yrama Widya, 2002), h.37-38


(14)

masalah yakni, membahas pengaturan dan penegakan passing off di Indonesia terhadap merek jasa dan akibat hukumnya.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimana pengaturan passing off dalam sistem hukum merek di Indonesia?

b. Bagaimana penegakkan hukum dari tindakan passing off terhadap hak merek jasa pada putusan Putusan MA No. 122 K/Pdt.Sus/2010? c. Bagaimana akibat hukum terhadap tindakan passing off terhadap hak

merek jasa?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan

Secara umum tujuan penulisan adalah untuk medalami tentang permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah. Secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pengaturan passing off dalam sistem hukum merek Indonesia.

b. Untuk mengetahui penegakkan hukum dari tindakan passing off

terhadap merek jasa pada putusan Putusan MA No. 122 K/Pdt.Sus/2010?


(15)

c. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap tindakan passing off

terhadap hak atas merek 2. Manfaat penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat memeperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam hukum bisnis di bidang HKI, utamanya mengenai segala aspek yang menyangkut passing off terhadap hak atas merek. Selain itu adanya tulisan ini dapat menambah perbendaharaan koleksi karya ilmiah dengan meberikan kontribusi juga bagi perkembangan hukum bisnis di Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan, dan mudah-mudahan dapat memberikan bahan informasi dan masukan baik bagi pemerintah maupun semua pihak yang terkait dalam rangka penyiapan dan penyempurnaan perangkat hukum di bidang hak merek dan menambah wawasan sehingga terciptanya persaingan usaha yang sehat.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penilitian ini, penulis akan menyertakan beberapa hasil penilitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:


(16)

Skripsi yang disusun oleh Trias Rosita Fatmawati dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada tahun 2010 dengan judul Persamaan Pada Pokoknya atau Keseluruhannya Pada Merek Kecap dan Makanan Terdaftar.

Pada skripsi ini menjelaskan persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya merek dagang yang terdaftar berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan untuk mengetahui persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya merek kecap dan obat terdaftar berdasarkan Putusan Pengadilan.

Skripsi yang disusun oleh Erni Vika Qomari dari Universitas Wijaya Putra pada tahun 2014 dengan judul Penegakkan Hukum Hak Merek Terhadap Pelanggaran Pada Pokoknya di Indonesia. Tujuan penulisan skripsi mengenai peraturan serta bagaimana penegakan terhadap pelanggaran pada pokoknya dan membahas sebuah kasus merek SINAR UNIVERSAL Vs UNIVERSAL.

Buku dari OK. Saidin yang berjudul “Aspek Hukum Kekayaan Intelektual

(Intellectual Property Rights)” yang diterbitkan oleh PT Raja Grafindo Persada,

pada tahun 2013. Pada buku karangan OK. Saidin hanya terdapat yurispudensi mengenai pelanggaran merek dan hanya membahas sekilas mengenai persamaan pada pokoknya pada sebuah merek.

Sebagai perbandingan sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis menguraikan perihal pengaturan passing off terhadap hak atas merek yang belum diatur secara jelas dalam Undang-Undang tentang Merek sehingga tidak ada kepastian hukum dalam menegakkan tindakan passing off dan


(17)

akibat hukum dari tindakan passing off dan konsep persamaan pada pokoknya (passing off) dalam Instrumen Internasional seperti Konvensi Paris, Persetujuan TRIPs. Dan akan dipaparkan sebuah analisis potensi persaingan usaha yang dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan yang bermerek GAMA UI yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan PRIMAGAMA. Sehingga terdapat perbedaan pembahasan dan masalah yang diangkat penulis dengan penelitian-penelitian yang sudah ada.

E. Kerangka Konseptual

Indonesia telah mengalami banyak perubahan pada Undang-Undang Merek dan yang terakhir adalah Undang-Undang yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (selanjutnya disebut UU Merek 2001).7

Dalam melakukan kerjasama internasional Indonesia resmi menjadi anggota Organisasi HKI Dunia/World Intellectual Property Organization

(WIPO) pada tahun 1979 dengan meratifikasi Convention Establising the World Intellectual Property Organization melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1997 dan melalui Keputusan Presiden yang sama diratifikasi pula Paris Convention.8

7

Ahmadi Miru, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 5

8


(18)

Indonesia juga menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia/World Trade Organisation (WTO) dengan menandatangani Agreement Estabilishing The World Organization dan meratifikasinya dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1994 berarti pula berkewajiban mempedomani persetujuan tersebut ke dalam legislasi nasionalnya. Sesuai dengan kesepakatan internasional bahwa pada tanggal 1 Januari 2000 Indonesia sudah harus menyesuaikan dengan standar TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Right, Inculding Trade in Counterfeit Good) dalam hal definisi, administrasi dan penegakkan HKI, penerapan semua ketentuan-ketentuan yang ada dalam persetujuan TRIPs tersebut adalah merupakan konsekuensi untuk seluruh anggota WTO termasuk Indonesia.9

Pada Pasal 2 Undang-Undang Merek Tahun 2001, merek terdiri dari merek dagang dan merek jasa. Pengertian merek dagang termaktub pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Merek Tahun 2001 yang berbunyi merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya, contohnya, Teh Bendera, Kopi Kapal Api. Sedangkan pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Merek Tahun 2001, merek jasa mempunyai pengertian bahwa merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya, contohnya, Pos Indonesia, Tabungan Bukopin.

9


(19)

Suatu merek dapat disebut merek apabila memenuhi syarat – syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang Merek dan permintan pendaftaran merek hanya dapat dilakukan oleh pemilik merek yang beritikad baik. Pada Pasal 5 Undang-Undang Merek Tahun 2001 ditentukan mengenai merek yang tidak dapat didaftarkan apabila mengandung unsur–unsur sebagai berikut: 1. Bertentanggan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

moralitas agama, kesusilaan dan ketertiban umum; 2. Tidak memiliki daya pembeda;

3. Telah menjadi milik umum atau ;

4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran.

Selain itu suatu permintaan pendaftaran juga ditolak jika mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang sudah terkenal milik orang lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 6 angka 1 Undang-Undang Nomer 15 Tahun 2001.

Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada seseorang, beberapa orang atau badan hukum untuk menggunakannya yang termaktub pada Pasal 3 Undang-Undang Merek. Suatu hak atas merek dapat memberi hak khusus atau hak mutlak, maka hak itu dapat dipertahankan terhadap siapapun dan hak atas merek diberikan kepada


(20)

pemilik merek yang beritikad baik serta pemakaiannya meliputi pula barang ataupun jasa.10

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.11

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

library research (studi kepustakaan) dengan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.12 Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai peraturan perundang-undangan dibidang hukum kekayaan intelektual khususnya dibidang Hak Merek. Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif (cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus).

10

Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah , Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1997), h. 163

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 42

12

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 13-14.


(21)

3. Teknik Pengumpulan Data

Sehubungan dengan penelitian dalam skripsi ini merupakan penilitian normatif maka penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan hak merek dan passing off. Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep tentang pengertian hak atas merek, pengertian passing off, pengertian itikad baik dan konsep persamaan pada pokoknya dalam Instrumen Internasional seperti Konvensi Paris, Persetujuan TRIPs. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka diharapkan penormaan dalam aturan hukum ke depan tidak lagi terjadi pemahaman yang kabur dan ambigu. 3. Bahan Hukum

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritati artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.13Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1999

13


(22)

Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Paris Convention, TRIPs Agreement.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer14,yaitu: hasil penelitian mengenai Hak atas Merek, buku yang membahas mengenai Hak atas Merek, artikel dan makalah di dalam jurnal dan majalah.

c. Bahan hukum tersier, bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari: kamus hukum, kamus bahasa inggris.

4. Metode Pengumpulan danAnalisa Data

Berdasarkan sifat penelitian, penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian analisis–deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang teliti dan lengkap tentang suatu keadaan agar dapat digunakan untuk mempertegas hipotesa – hipotesa untuk memperkuat teori lama atau menyusun teori baru.15 Tujuan dari metode deskriptif adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Dengan menggunakan metode deskriptif, maka penulis dapat menggambarkan dan menganalisis mengenai permasalahan yang diangkat dalam penelitian.

14

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum……….. h. 53 15


(23)

Selanjutnya data yang dikumpulkan akan dianalisa secara kualitatif yang berarti bahwa data bersangkutan yang dikumpulkan terkait dengan objek penelitian ini akan dihimpun, diolah, dan dianalisa lalu akan dikonstruksikan.16

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Pada bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metodologi Penelitian, Sistematika Penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

BAB II Tinjauan Umum Tentang Hak Atas Merek

Pada bab ini akan dijelaskan tentang Pengertian Merek, Jenis Merek, Persyaratan Merek, Pendaftaran Merek yang terdiri dari Prosedur Pendaftaran Merek, Pendaftaran Sistem Prioritas, Penghapusan dan Pembatalan Pendaftaran Merek, Lisensi Merek.

BAB III Konsep Passing off Dalam Hukum Indonesia

16


(24)

Pada bab ini akan dijelaskan Pengertian Passing Off, Konsep Persamaan Pada Pokoknya Menurut Undang-Undang Hak Merek Tahun 2001, Konvensi Paris dan TRIPs, Konsep Itikad Baik Menurut Perundang-undangan Indonesia dan Instrumen Internasional, Unsur

Passing Off.

BAB IV Pengaturan Passing off dalam Perundang-undangan

Pada bab ini akan dijelaskan tentang analisis Putusan Pengadilan Niaga mengenai Passing Off , Akibat Hukum dari Tindakan Passing Off dan potensi persaingan usaha yang dilakukan oleh lembaga pendidikan GAMA UI yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan PRIMAGAMA.

BAB V Penutup


(25)

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ATAS MEREK

A. Pengertian Hak Merek

Pengertian merek perlu mendapat uraian dan penjelasan lebih jelas dan terperinci untuk menghindari kesimpangsiuran dari arti yang sebenarnya yang dapat menimbulkan salah pengertian, permasalahannya karena banyak bentuk kreasi yang berkaitan dengan ciptaan suatu barang dan jasa tertentu masing-masing mempunyai ciri yang spesifik dan menyerupai dengan yang lain.

Dalam hal ini bentuk ciptaan tersebut dapat dikelompokkan jenis dan sifatnya yang masing-masing mempunyai istilah tersendiri, yaitu :1

1. Ciptaan dalam bidang kesenian 2. Ciptaan dalam bidang industri

3. Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan

4. Ciptaan yang merupakan kombinasi dari ketiga bidang tersebut.

Untuk ciptaan dalam bidang industri, ciri pembeda tersebut dikenal dengan istilah merek, seperti dikatakan oleh Harsono Adisumatro tentang merek yang didefinisikan sebagai berikut :

“Merek adalah tanda atau nama ataupun kombinasi dari keduanya yang dibubuhkan pada suatu barang atau kemasan barang itu sehingga dapat dibedakan perusahaan pembuatnya dengan perusahaan lain.”2

1

Harsono Adisumatro, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual, (Bandung : Eresko, 2000), h. 3.


(26)

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa batasan atau definisi merek dikalangan sarjana, di antaranya :

1. R.M. Suryodiningrat memberi pendapat bahwa merek adalah barang-barang yang dihasilkan oleh pabriknya dengan dibungkus dan pada bungkusnya itu dibumbuhi tanda tulisan dan atau perkataan untuk membedakan dari barang-barang sejenis pabrik perusahaan lain, tanda itu disebut Merek Perusahaan”.3

2. R. Soekardono, merumuskan bahwa merek adalah sebuah tanda dengan nama dipribadikan sebuah barang tertentu, dimana perlu juga dipribadikan asalnya barang untuk menjamin kualitasnya barang dalam perbandingan dengan barang sejenis yang dibuat atau diperniagakan orang-orang atau perusahaan lainnya.4

3. T. Mulya Lubis, menjelaskan Merek adalah sebuah tanda pada dirinya terkandung daya pembeda yang cukup (capable of distringusshing)

dengan barang-barang sejenis, kalau tidak ada daya membeda maka tidak mungkin disebut merek”.5

Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 diatur mengenai ruang lingkup merek dan hak merek. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, yang dimaksud merek ialah tanda

2

Harsono Adisumatro, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek, (Jakarta: Akademika Presindo, 1998), h. 11.

3

R.M. Suryodiningrat, Pengantar Ilmu Hukum Merek, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1998), h. 3.

4

Ibid., h. 4. 5

T. Mulya Lubis, Perselisihan Hak Atas Merek di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 2000), hal 5


(27)

yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

B. Jenis Merek

Terdapat beberapa jenis merek yang dimaksudkan untuk membedakan dari barang sejenis milik orang lain, sebagai contoh R.M. Suryodiningrat mengklasifikasikan merek dalam tiga jenis yaitu:6

1. Merek kata yang terdiri dari kata-kata saja, misalnya: Good Year, Dunlop, sebagai merek ban mobil dan ban sepeda;

2. Merek lukisan adalah merek yang terdiri dari lukisan saja yang tidak pernah atau setidak-tidaknya jarang sekali dipergunakan;

3. Merek kombinasi kata dan lukisan, banyak sekali dipergunakan. Menurut Suryatin terdapat beberapa jenis merek yakni:7 1. Merek lukisan (beel mark);

2. Merek kata (word mark); 3. Merek bentuk (form mark);

4. Merek bunyi-bunyian (klank mark); 5. Merek judul (little mark).

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, jenis merek dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Merek dagang dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya

6

OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual ……… h. 347 7


(28)

2. Merek jasa pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.

C. Persyaratan Merek

Terdapat syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap orang atau badan hukum ketika ingin mendaftarkan merek tersebut yakni merek tersebut harus mempunyai daya pembedaan yang cukup.8 Jika suatu barang atau hasil produksi suatu perusahaan tidak mempunyai kekuatan pembeda dianggap sebagai tidak cukup mempunyai kekuatan pembeda dan karenanya bukan merupakan merek.9

Terdapat ketentuan merek yang tidak dapat didaftarkan yang telah diatur oleh Pasal 5 Undang-Undang Merek Tahun 2001 yaitu :

Merek tidak dapat didaftarkan apabila mengandung salah satu unsur di bawah ini:

1. Bertentanggan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan dan ketertiban umum;

2. Tidak memiliki daya pembeda; 3. Telah menjadi milik umum; atau

4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran.

Selanjutnya Pasal 6 Undang-Undang Merek Tahun 2001 memuat ketentuan mengenai penolakan pendaftaran merek, yaitu:

a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;

8

Ibid, h. 348 9


(29)

b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan

indikasi-geografis yang sudah dikenal.

d. merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;

e. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; f. merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang

digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang

D. Pendaftaran Merek

Ada dua sistem yang dianut dalam pendaftaran merek yaitu sistem deklaratif dan sistem konstitutif (atributif). UU Merek 2001 dalam sistem pendaftarannya menganut sistem konstitutif, sama dengan UU sebelumnya yakni UU Merek 1992 dan UU Merek 1997. Ini adalah perubahan yang mendasar dalam UU Merek Indonesia, yang semula menganut sistem deklaratif (UU Merek 1961).10

Secara Internasional menurut Soegondo Soemodiredjo ada 4 sistem pendaftaran merek, yaitu:11

1. Pendaftaran merek tanpa pemeriksaan merek terlebih dahulu. Menurut sistem ini merek dapat didaftarkan asal syarat-syarat permohonannya telah dipenuhi seperti pembayaran biaya permohonan, pemeriksaan dan pendaftaran. Negara yang menganut sistem ini adalah Prancis, Belgia, Luxemburg dan Rumania.

2. Pendaftaran dengan pemeriksaan merek terlebih dahulu. Hanya merek yang memenuhi syarat dan tidak mempunyai persamaan pada keseluruhan atau pada pokoknya dengan merek yang telah didaftarkan sebelumnya. Negara yang menangun sistem ini adalah Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Indonesia.

10

OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual ……… h. 362 11


(30)

3. Pendaftaran dengan pengumuman sementara. Sebelum merek tersebut didaftarkan, akan diumumkan terlebih dahulu untuk memberi kesempatan kepada pihak lain mengajukan keberatan-keberatan tentang pendaftaran merek tersebut. Sistem ini dianut oleh Negara Spanyol, Colombia, Mexico, Brazil, dan Australia.

4. Pendaftaran merek dengan pemberitahuan terlebih dahulu tentang adanya merek-merek terdaftar lain yang ada persamaannya. Negara yang menganut sistem ini adalah Swiss dan Australia.

Dalam sistem konstitutif, hak atas merek diperoleh melalui pendaftaran, artinya hak eksklusif atas sesuatu merek diberikan karena adanya pendaftaran (required by registration). Pada sistem konstitutif pendaftaran merek mutlak dilakukan sehingga merek yang tidak didaftar, tidak akan mendapat perlindungan hukum.12

Dalam sistem deklaratif titik berat diletakkan atas pemakaian pertama. Siapa yang memakai pertama suatu merek dialah yang dianggap yang berhak menurut hukum atas merek bersangkutan. Jadi pemakaian pertama yang menciptakan hak atas merek, bukan pendaftaran.13

1. Prosedur Pendaftaran Merek

Tata cara pendaftaran merek di Indonesia dengan mengajukan surat permohonan yang harus dilengkapi dengan:14

a. Surat Pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftarannya adalah miliknya;

b. Dua puluh etiket15 merek bersangkutan;

c. Tambahan Berita Negara yang memuat akta pendirian badan hukum atau Salinan yang sah.

12

Rahmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual ………… h. 331 13

OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual ……… h. 363-364 14

Ibid, h. 369-370 15

Etiket adalah carik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang (dagangan) yang memuat keterangan (nama, sifat, isi, asal) mengenai barang tersebut


(31)

d. Surat kuasa apabila diajukan melalui surat kuasa;

e. Pembayaran seluruh biaya dalam rangka permintaan pendaftaran merek yang sejenis dan besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Apabila merek menggunakan bahasa asing atau terdapat huruf selain latin atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, wajib disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia serta cara pengucapannya dalam ejaan latin.16

2. Pendaftaran dengan Sistem Prioritas

Permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas ini diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 UU Merek 2001. Pada Pasal 11 dikatakan bahwa:

Permohonan dengan menggunakan hak prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama 6 bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan pendaftaran merek yang pertama kali diterima di negara lain, yang merupakan anggota ParisConvention for the Protection of Industrial Property atau anggota Agreement Establishing the World Trade Organization.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menampung kepentingan negara yang hanya menjadi salah satu anggota dari Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1883 (sebagaimana telah beberapa kali diubah) atau Agreement Establishing the World Trade Organization.17

Subjek hukum (perorangan maupun badan hukum) yang telah mendapatkan hak secara prioritas akan dilindungi haknya di negara luar

16

OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual ……… h. 370 17


(32)

(negara di mana yang bersangkutan mendaftarkan hak prioritasnya) seperti ia mendapatkan perlindungan di negaranya sendiri.18

E. Penghapusan dan Pembatalan Pendaftaran Merek

Penghapusan dan pembatalan pendaftaran merek ini diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 72 UU Merek 2001. Ada dua cara untuk penghapusan pendaftaran merek yang telah diatur pada Pasal 61 angka 1 Undang-Undang Merek Tahun 2001, yaitu:

a) atas prakarsa Direktorat Jenderal HKI

b) atas prakarsa sendiri yaitu berdasarkan permintaan pemilik merek yang bersangkutan.

Untuk penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa sendiri, undang-undang tidak menentukan persyaratannya. Akan tetapi jika dalam perjanjian lisensi ada suatu klausul yang secara tegas menyampingkan adanya persetujuan tersebut maka persetujuan semacam itu tidak perlu dimintakan sebagai syarat kelengkapan untuk penghapusan pendaftaran merek tersebut.19

Penghapusan pendaftaran merek berdasarkan Direktorat Jenderal HKI dapat pula diajukan oleh pihak ketiga. Pengajuan permintaan tersebut dilakukan dengan gugatan melalui Pengadilan Jakarta Pusat atau Pengadilan Niaga. Pada Pasal 61 angka 2 Undang-Undang Merek Tahun 2001 menyatakan bahwa penghapusan hanya dapat dilakukan apabila:

a) Tidak dipakai (nonuse) berturut-turut selama 3 tahun atau lebih dalam perdagangan barang atau jasa terhitung sejak tanggal pendaftaran atau

18

Ibid, h. 372 19


(33)

pemakaian terakhir. Namun demikian apabila ada alasan yang kuat mengapa merek itu tidak digunakan, Ditjen HKI dapat mempertimbangkan untuk tidak dilakukan penghapusan atas merek tersebut.

b) dipakai untuk jenis barang atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa dimohonkan pendaftarannya atau tidak sesuai dengan merek yang didaftar.

Selanjutnya mengenai pembatalan merek, Pasal 68 ayat (1) UU Merek 2001 menyebutkan alasan-alasan tentang pengajuan pembatalan merek. Alasan-alasan itu ditentukan dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UU Merek 2001.

Menurut Pasal 68 angka 1, 2, dan 3 Undang-Undang Merek 2001, gugatan pembatalan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan kecuali pemilik merek tidak terdaftar atau yang telah pernah mengajukan pandangan atau keberatan tersebut tidak diterima. Pemilik merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan tersebut setelah mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal. Gugatan pembatalan tersebut diajukan kepada Pengadilan Niaga. Dalam hal penggugat atau tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia, gugatan diajukan kepada Pengadilan Niaga di Jakarta.

Pada Pasal 69 Undang-Undang Merek Tahun 2001, gugatan pembatalan pendaftaran merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 tahun sejak tanggal pendaftaran merek. Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Pembatalan pendaftaran merek dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek dengan


(34)

memberi catatan tentang alasan dan tanggal pembatalan tersebut. Pembatalan pendaftaran itu diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya dengan menyebutkan alasan pembatalan dan penegasan bahwa sejak tanggal pencoretan dari Daftar Umum Merek, Sertifikat Merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pencoretan pendaftaran suatu merek dari Daftar Umum Merek diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Pembatalan dan pencoretan pendaftaran merek mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan.20

E. Lisensi Merek

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia lisensi diartikan sebagai izin untuk mengangkut barang dagangan. Definisi dari lisensi diatur dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, yang berbunyi lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.

Lisensi mempunyai unsur-unsur yang meliputi :21 1. Adanya izin yang diberikan oleh Pemegang Merek; 2. Izin tersebut diberikan dalam bentuk perjanjian;

3. Izin tersebut merupakan pemberian hak untuk menggunakan Merek tesebut (yang bukan bersifat pengalihan hak);

20

Ibid, h. 396

21

Gunawan Widjaja, Lisensi atau Waralaba : Suatu Tinjuan Praktis, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 30.


(35)

4. Izin tersebut diberikan baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan;

5. Izin tersebut dikaitkan dikaitkan dengan waktu tertentu dan syarat tertentu Keharusan adanya pemberian izin oleh Pemegang Merek merupakan suatu hal yang mutlak, jika Penerima Lisensi Merek tidak mau digugat dengan alasan telah melanggar Hak atas Merek dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Karena ketentuan ini membawa akibat hukum, maka lisensi harus dibuat secara tertulis antara pihak Pemberi Lisensi (Pemegang Hak Merek) dengan pihak Penerima Lisensi.

Dengan demikian, perjanjian pemberian lisensi merupakan perjanjian formal yang harus berbentuk tertulis. Kewajiban agar perjanjian lisensi merek dibuat secara tertulis juga diperkuat dengan kewajiban pendaftaran lisensi dalam Pasal 43 ayat (3) jo. Pasal 43 ayat (4) jo. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.22

Perjanjian lisensi yang didaftarkan berlaku di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali jika diperjanjikan lain. Dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dikatakan penggunaan merek terdaftar di Indonesia oleh Penerima Lisensi dianggap sama dengan penggunaan merek tersebut di Indonesia oleh Pemilik Merek.

Sedangkan syarat obyektif dari perjanjian lisensi diatur dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, yang berbunyi :

Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan baik yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian

22

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Lisensi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3.


(36)

Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya.

Hal ini berarti perjanjian lisensi yang memuat ketentuan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau membuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya tidak akan dapat diberlakukan di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, Direktorat Jenderal yang membawahi permohonan pencatatan perjanjian lisensi wajib menolak untuk melakukan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat hal tersebut, dengan memberitahukan alasannya kepada Pemilik Merek dan/atau Kuasanya.23

23


(37)

28

BAB III

KONSEP PASSING OFF DI INDONESIA

A. Pengertian Passing Off

Dalam hukum merek Indonesia tidak mengenal adanya passing off

karena passing off lebih dikenal di negara-negara penganut Common Law

sebagai bagian dari hukum persaingan curang. Passing Off sering diartikan sebagai pemboncengan pada merek terkenal atau hakim biasanya mengartikan

passing off sebagai penyerupaan atau pengelirupaan seperti pada Putusan MA No. 815 K/PDT.SUS/2012.

Passing Off sendiri adalah sebuah pranata hukum yang dihasilkan oleh

case law, bukan peraturan perundang-undangan, dan menurut case law, passing off hanya dapat dituntut oleh pemegang merek, bukan publik.1

Terdapat beberapa pengertian passing off dari berbagai sumber di antaranya:

1. Passing off adalah suatu upaya/tindakan/perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mengarah kepada adanya suatu persaingan tidak sehat atau pelanggaran di bidang hak atas kekayaan intelektual.2

1

Hukumonline, “Dapatkah Doktrin Passing Off Diaplikasikan di Indonesia?“ http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di -indonesia diakses pada tanggal 11 Januari 2015

2Hukumonline, “Passing Off”

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl273/passing-off diakses pada tanggal 11 Januari 2015


(38)

2. Passing off adalah tindakan yang mencoba meraih keuntungan melalui jalan pintas dengan segala cara dan dalih melanggar etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum.3 Tindakan ini bisa terjadi dengan mendompleng secara meniru atau memirip-miripkan kepada kepunyaan pihak yang telah memiliki reputasi baik dan cara mendompleng reputasi (good will) ini bisa terjadi pada bidang merek, paten, desain industri maupun bidang hak cipta.4

3. Pada TRIPs Agreement tidak terdapat penjelasan mengenai passing off

namun terdapat perbuatan curang (unfair competition) sebagaimana juga terdapat pada Paris Convention Pasal 10bis yang memuat ketentuan bahwa negara peserta Uni Paris terikat untuk memberikan perlindungan yang efektif agar tidak terjadi persaingan tidak jujur.5

Dari pengertian di atas terdapat beberapa perbedaan pengertian sehingga penulis dapat menyimpulkan bahwa passing off adalah upaya atau tindakan dari seseorang atau beberapa orang yang mencari keuntungan dari produk terkenal melalui jalan pintas (membonceng) yang tidak mempunyai itikad baik dalam melakukan usahanya sehingga dapat merugikan pengusaha lain serta dapat mengelabuhi konsumen.

3

Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah ………….. h. 235

4

Ibid

5


(39)

B. Klasifikasi Kelas Merek

Pada saat pemohon ingin mendaftarkan sebuah merek, pemohon harus mengindikasikan barang dan atai jasa yang ingin didaftarkan mereknya dan mengelompokkannya ke dalam kelas-kelas merek yang mengacu pada sistem

klasifikasi merek yang ada. Sistem klasifikasi merek memungkinkan

penyimpanan data merek yang sudah terdaftar dengan cara yang sangat teratur, terutama jenis barang dan jasa. Indonesia telah mengatur klasifikasi merek yang tertuang pada PP Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek dan klasifikasi merek tersebut hanya ada 34 kelas barang dan 8 kelas jasa.

Sistem klasifikasi merek yang paling banyak digunakan adalah sistem klasifikasi merek internasional (yang disebut dengan sistem Nice untuk klasifikasi merek) yang memiliki 34 kelas barang dan 11 untuk kelas jasa,6

Indonesia belum meratifikasi Nice Agreement tetapi Indonesia sebagai

anggota WIPO telah menyesuaikan klasifikasi merek dengan Nice Agreement

di antaranya yaitu:7

1. Merek Dagang

Kelas 1 Bahan kimia yang digunakan dalam industri, ilmu pengetahuan dan fotografi, maupun dalam pertanian hortikultura dan kehutanan: damar buatan yang belum diproses, plastik yang belum diproses; pupuk, komposisi pemadam kebakaran: sediaan-sediaan mengeraskan dan memateri: zat kimia untuk mengawetkan bahan makanan: zat penyamakan; bahan perekat yang digunakan dalam industri

6“Membuat Se

buah Merek, Pengantar Merek untuk Usaha Kecil dan Menengah”wipo.int/export/sites/www/sme/en/documents/guides/translation/making_a_mark_indo .pdf di unduh tanggal 21 Januari 2015

7

Nice Classification Edisi 2010 Baru” http://www.dgip.go.id/images/adelch-images/pdf-files/Nice-Classification-Edisi-2010-BARU.pdf diakses pada tanggal 21 Januari 2015


(40)

Kelas 2 Alat dan bahan untuk keperluan melukis, dekorasi seperti cat, pernis.

Kelas 3. Alat dan bahan untuk keperluan pembersihan sehari-hari seperti sabun mandi, sabun cuci, kosmetik.

Kelas 4 Segala macam pelumas, oli dan bahan penerangan; lilin, sumbu. Kelas 5 Segala macam minyak yang telah diolah untuk kesehatan, bahan

yang digunakan untuk medis,obat dan vitamin.

Kelas 6 Bahan bangunan dari logam; bahan dari logam untuk rel kereta api; kabel dan kawat bukan untuk listrik dari logam kasar; barang-barang besi; barang-barang kecil dari besi; pipa logam; peti besi; barang-barang dari logam kasar tidak termasuk dalam kelas-kelas lain; pelikat (mineral)

Kelas 7 Mesin dan mesin perkakas; motor dan mesin (kecuali untuk kendaraan darat); Kopling mesin dan komponen transmisi (kecuali untuk kendaraan darat); alat pertanian selain yang dioperasikan secara manual;alat pengeram

Kelas 8 Perkakas dan alat tangan (dioperasikan secara manual); pisau; pedang; pisau cukur

Kelas 9 Perkakas elektronik komersial dan aksesorisnya seperti radio, telepon, televisi

Kelas 10 Perkakas dan pesawat pembedahan, pengobatan, kedokteran, kedokteran gigi dan kedokteran hewan, lengan mata dan gigi palsu, barang-barang ortopedi, bahan-bahan benang bedah.

Kelas 11 Instalasi penerangan, pemanasan, penghasilan uap, pemasangan, pendinginan, pengeringan, penyegaran udara pembagian air dan instalsi kesehatan.

Kelas 12 Kendaraan; alat untuk bergerak di darat, udara atau air.

Kelas 13 Senjata api; amunisi dan proyektil; bahan peledak; kembang api Kelas 14 Logam mulia dan campurannya dan benda-benda yang dibuat

dari bahan-bahan itu atau disepuh dengan bahan-bahan itu, seperti perhiasan; batu berharga; jam dan pesawat pengukur waktu.

Kelas 15 Alat-alat musik

Kelas 16 Kertas, karton dan barang-barang yang terbuat dari bahan-bahan ini, yang tidak termasuk kelas-kelas lain; barang cetakan; alat menjilid buku; alat tulis-menulis; bahan perekat untuk keperluan tulis-menulis atau rumah tangga alat untuk kesenian; kuas untuk melukis; mesin tulis dan keperluan kantor (kecuali perabot); alat-alat pendidikan dan pengajaran (kecuali perkakas); bahan-bahan plastik untuk kemasan (tidak termasuk dalam kelas lain), kartu main; huruf-huruf cetak; blok-blok cetak.

Kelas 17 Karet, getah perca, getah, asbes, mika dan barang dari bahan-bahan itu dan tidak termasuk kelas-kelas lain; plastik dalam bentuk menonjol untuk digunakan dalam manufaktur; bahan-bahan untuk membungkus, merapatkan dan menyekat; tabung lentur bukan dari logam.


(41)

Kelas 18 Kulit dan kulit imitasi, dan barang-barang dari bahan-bahan ini dan tidak termasuk dalam kelas lain; kulit binatang, kulit halus; koper dan tas; payung hujan, payung matahari dan tongkat; cambuk, pakaian kuda dan pelana.

Kelas 19 Bahan bangunan (bukan logam); pipa kaku bukan logam untuk bangunan; aspal, pek, bitumen; bangunan yang dapat dipindahkan bukan dari logam; monumen, bukan dari logam. Kelas 20 Perabot rumah, kaca, bingkai; benda-benda (tidak termasuk

dalam kelas lain) dari kayu, gabus, rumput, bambu, rotan, tanduk, tulang, gading, tulang ikan paus, kerang, amber, kulit mutiara, selloid dan bahan-bahan penggantinya, atau dari plastik.

Kelas 21 Perkakas rumah tangga atau dapur (bukan dari logam mulia atau yang dilapisi logam mulia) sisir dan bunga karang; sikat (kecuali kuas melukis); bahan pembuat sikat; alat untuk membersihkan seperti gelas, porselin dan pecah belah dari tembikar yang tidak termasuk dalam kelas-kelas lain.

Kelas 22 Tampar, tali, jala, renda, kere, kain terpal, layar, kantong (yang tidak termasuk dalam kelas-kelas lain); bahan-bahan pengisi (kecuali dari karet atau plastik) ; serat-serat kasar untuk pertenunan.

Kelas 23 Benang untuk tekstil.

Kelas 24 Tekstil dan barang tekstil, yang tidak termasuk dalam kelas lain; sepre dan taplak meja.

Kelas 25 Pakaian, alas kaki, tutup kepala.

Kelas 26 Kerawang dan sulaman, pita dan tali sepatu; kancing kail dan mata kait, peniti dan jarum; bunga buatan.

Kelas 27 Permadani, tikar, linoleum dan bahan-bahan lain yang digunakan sebagai alas lantai; alat-alat dinding (kecuali tenunan).

Kelas 28 Permainan dan alat-alatnya; alat-alat senam dan olah raga yang tidak termasuk kelas-kelas lain; hiasan pohon natal.

Kelas 29 Hasil olahan daging, ikan, unggas yang dapat dimakan

Kelas 30 Kopi, teh, kakao, gula, beras, tapioka, sagu, tepung dan bahan baku terbuat dari gandum; roti, kue dan kembang gula, es konsumsi; madu, sirup; ragi, bubuk pengembang roti/kue; garam, moster; cuka, saus, rempah-rempah, es.

Kelas 31 Padi-padian, hasil-hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan jenis-jenis gandum yang tidak termasuk dalam kelas-kelas lain. Kelas 32 Bir; air mineral dan air soda dan minuman tidak beralkohol

lainnya; jus dari buah; sirop dan sediaan-sediaan lain untuk membuat minuman.

Kelas 33 Minuman beralkohol (kecuali bir).

Kelas 34 Tembakau, barang-barang keperluan perokok; korek api.

2. Merek Jasa

Kelas 35 Periklanan; manajemen usaha; administrasi usaha; fungsi kantor. Kelas 36 Asuransi; urusan keuangan; urusan moneter; urusan real estate. Kelas 37 Konstruksi bangunan; perbaikan; jasa instalasi.


(42)

Kelas 38 Telekomunikasi.

Kelas 39 Transportasi; pengemasan dan penyimpanan barang; pengaturan perjalanan.

Kelas 40 Penanganan material.

Kelas 41 Pendidikan; penyediaan latihan; hiburan; kegiatan olah raga dan kesenian.

Kelas 42 Jasa penelitian dan teknologi; jasa penelitian dan analisis industri perancangan dan pengembangan perangkat keras dan lunak komputer;

Kelas 43 Jasa untuk menyediakan makanan dan minuman, akomodasi sementara

Kelas 44 Jasa medis, jasa kehewanan; perawatan kesehatan dan kecantikan; jasa pertanian; hortikultura dan hutan

Kelas 45 Jasa hukum; jasa keamanan untuk perlindungan individu dan bangunan

C. Klasifikasi Kemashuran Merek

Pada tindakan passing off sering terdapat persamaan pada pokoknya pada merek terkenal agar merek tersebut dapat terkenal dengan instan. Pengertian merek terkenal pun tidak dijelaskan pada Undang-Undang Merek Tahun 2001 namun terdapat tingkat kemashuran merek, yaitu8:

1. Merek biasa (normal mark)

Merupakan merek yang tergolong tidak mempunyai reputasi tinggi. Merek yang berderajat ‟biasa‟ ini dianggap kurang memberi pancaran simbolis gaya hidup baik dari segi pemakaian maupun teknologi. Masyarakat konsumen melihat merek tersebut kualitasnya rendah.

2. Merek Terkenal (well-known mark)

Meskipun dalam bahasa Indonesia kata asing “well-known mark”

diterjemahkan menjadi merek terkenal begitu juga kata “famous mark” sehingga pengertian merek terkenal tidak membedakan arti atau tidak menentukan tingkatan arti “famous mark” dan “well-known mark”.

Merek terkenal (well-known mark) merupakan merek yang memiliki reputasi tinggi. Merek ini memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan menarik, serta merek ini mempunyai tingkatan di atas derajat merek biasa. 3. Merek Termashur (famous mark)

Merupakan merek yang sedemikian rupa mahsyurnya di seluruh dunia, sehingga mengakibatkan reputasinya digolongkan sebagai ‟merek aristorkat dunia‟.

8

M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 80 - 85


(43)

D. Persamaan Pada Pokoknya

Suatu perbuatan dikatakan passing off apabila terdapat persamaan pada pokoknya dalam sebuah merek dagang maupun jasa. Terdapat kriteria persamaan pada pokoknya dari berbagai Perundang-undangan yaitu:

1. Kriteria Persamaan Pada Pokoknya dalam Konvensi Paris dan TRIPs

Sebagai pedoman yang bersifat internasional, di dalam Persetujuan TRIPs yang mengatur mengenai aspek-aspek dagang HKI termasuk di dalamnya perdagangan mengenai barang-barang tiruan, diatur mengenai kriteria persamaan pada pokoknya. Pasal 16 angka 1 TRIPs Agreement

menyatakan bahwa:

Pemilik dari merek dagang yang terdaftar mempunyai hak eksklusif untuk mencegah pihak ketiga yang tidak memperoleh ijinnya untuk menggunakan merek dagang tersebut untuk usaha yang sejenis atau menggunakan lambang yang mirip untuk barang atau jasa yang sejenis atau mirip dengan barang atau jasa untuk mana suatu merek dagang didaftarkan, dimana penggunaan tersebut dapat menyebabkan ketidakpastian. Dalam hal penggunaan suatu lambang yang sama untuk barang atau jasa yang sejenis, kemungkinan timbulnya ketidakpastian tersebut dianggap telah terjadi. Hak yang diuraikan diatas tidak mengurangi keabsahan hak yang sudah ada, dan tidak mengurangi kemungkinan bagi Anggota untuk menetapkan bahwa pemberian hak tersebut tergantung dari penggunaannya.

Hal yang sama juga diatur dalam Konvensi Paris, di mana secara jelas terdapat Pasal 6 bis yang menyatakan bahwa negara anggota menerima secara ex officio, jika perundang-undangan mereka membolehkan atau atas permohonan pihak yang berkepentingan untuk menolak atau membatalkan pendaftaran dan juga melarang pemakaian suatu merek yang merupakan suatu reproduksi, imitasi atau terjemahan yang dapat menimbulkan kekeliruan (to create confusion) dari suatu merek


(44)

yang telah dianggap oleh “competent authority” di mana merek

didaftarkan atau dipakai sebagai merek terkenal di negara tersebut.9

2. Kriteria Persamaan Pada Pokoknya dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

Pengaturan persamaan pokoknya telah diatur dalam Pasal 6 angka 1 Undang-Undang Hak Merek Tahun 2001 yaitu:

Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:

a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;

b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal

Yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya yang termaktub pada lampiran penjelasan Undang-Undang Merek Tahun 2001 adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dan Merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.

Unsur dalam penilaian persamaan pada pokoknya yang paling menjadi pertimbangan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf UU Merek 2001

9

Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (dalam rangka WTO, TRIPs) 1997, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 45


(45)

adalah secara visual, konseptual, dan fonetik.10 Persamaan visual dapat dinilai dari penampilan merek tersebut yang terdiri dari persamaan bentuk, penempatan, susunan warna, atau kombinasi unsur-unsur tersebut menimbulkan kesan persamaan yang dapat membuat kekeliruan pada konsumen. Persamaan konseptual dinilai dari persamaan makna atau filosofi dari merek tersebut. Sementara itu persamaan fonetik dinilai dari persamaan pengucapan atau bunyi yang dapat menimbulkan kesan persamaan.11

E. Itikad Baik

Salah satu syarat terpenting dalam mendaftarkan hak merek ialah itikad baik yang telah diatur pada Pasal 4 Undang-Undang Merek Tahun 2001. Pengusaha yang melakukan passing off tidak mempunyai itikad baik.

Itikad baik masih memiliki pengertian yang berbeda beda sehingga menyulitkan hakim dalam menentukan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan prinsip itikad tidak baik. Oleh sebab itulah beberapa ahli hukum mencoba memberikan pengertian tentang itikad baik, di antaranya :

1. Salim, H.S, berpendapat bahwa azas itikad baik merupakan azas dimana para pihak (pihak kreditur dan debitur) harus melaksanakan substansi

10

Ada Tiga Penilaian Unsur Persamaan Pada Pokoknya, Hukumonline, 2 Oktober 2006, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15544&cl=Berita, diunduh pada tanggal 11 Januari 2015

11


(46)

kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.12

2. Prof. Subekti, S.H., merumuskan itikad baik pada waktu membuat suatu perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan.13

Terdapat pengaturan dalam perundang-undangan di Indonesia mengenai itikad baik di antaranya:

1. Undang-Undang Merek Tahun 2001

Undang-Undang Merek Tahun 2001 mengatur mengenai itikad baik pada Pasal 4 yang berbunyi Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik. Penjelasan mengenai itikad baik telah tertulis pada lampiran penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Merek Tahun 2001 yaitu:

“Pemohon yang beriktikad baik adalah Pemohon yang mendaftarkan Mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apa pun untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran Merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. Contohnya, Merek Dagang A yang sudah dikenal masyarakat secara umum sejak bertahun-tahun, ditiru demikian rupa sehingga memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek Dagang A tersebut. Dalam contoh itu sudah terjadi iktikad tidak baik dari

12

Salim H.S., Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cet. 4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 50

13

“Hukum Kontrak (Pemahaman Teori)”, http://hukbis.files.wordpress.com/2008/02/ hukum-bisnis-2008-hukum-kontrak.ppt., diakses pada tanggal 11 Januari 2015


(47)

peniru karena setidak-tidaknya patut diketahui unsur kesengajaannya dalam meniru Merek Dagang yang sudah dikenal tersebut.”

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Beberapa ketentuan yang mengatur tentang itikad baik dalam KUHPer antara lain:

1. Pasal 530 dan 531 KUHPer

Pasal 530 menerangkan tentang penguasaan/kepemilikan atas suatu benda terdapat itikad baik atau itikad buruk. Sedangkan Pasal 531 menerangkan bahwa itikad baik merupakan tanda penguasaan yang sah atas benda, sebaliknya itikad buruk merupakan tanda penguasaan yang tidak sah atas suatu benda.

2. Pasal 575 KUHPer

Pasal ini menerangkan bahwa hak untuk menikmati kebendaan terhadap suatu penguasaan benda diberikan kepada yang beritikad baik. Merek itu sendiri termasuk benda immateril yang tidak dapat memberikan apapun secara fisik.14 Hak milik intelektual memiliki sifat kebendaan yaitu mutlak/ absolute dan droite de suite artinya hak tersebut terus mengikuti pemiliknya atau pihak yang berhak dan dapat dipertahankan terhadap tuntutan setiap orang.15 Dengan demikian merek dapat juga disebut sebagai benda yang harus dilindungi dengan pasal-pasal tersebut.

14

OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual ……… h. 330 15

Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata “Hak-hak yang Memberi Kenikmatan”, (Jakarta: Penerbit ind, Hil-Co., 2002), h. 128


(48)

3. Pasal 1338 KUHPer

Pasal 1338 ayat (3) berbunyi bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ketentuan ini penting dalam kaitannya dengan pendaftaran lisensi merek dagang dari para pihak untuk menyerahkan perjanjian lisensi.

2. Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Pada Pasal 7 huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun 1999 menerangkan bahwa: kewajiban pengusaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Sehingga pengusaha diharuskan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya termasuk pendaftaran hak merek yang tidak bertujuan untuk membonceng reputasi merek yang telah terkenal.

3. Paris Convention (Konvensi Paris)

Konvensi Paris tidak mengatur kriteria itikad tidak baik secara jelas dan lengkap. Perlindungan atas suatu merek yang didaftar dengan itikad tidak baik disebutkan dalam Pasal 6 Ayat (3) Konvensi Paris yang berbunyi sebagai berikut:…”no time limit shall be fixed for requesting the

cancellation or the prohibition of the use of marks registered or uses in

bad faith…”.

Ketentuan mengandung maksud bahwa tidak ada jangka waktu yang ditetapkan bagi pemilik hak atas merek untuk meminta pembatalan dari merek yang didaftarkan dengan itikad tidak baik dimana merek yang


(49)

didaftarkan tersebut mempunyai persamaan yang menunjukkan itikad tidak baik.

4. Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods (TRIPs)

Sama halnya dengan Konvensi Paris, Persetujuan TRIPs juga tidak mengatur tentang kriteria-kriteria baku ataupun tindakan yang dikategorikan telah melanggar azas itikad tidak baik. Perlindungan yang diberikan oleh persetujuan TRIPs mengenai itikad tidak baik terdapat dalam Pasal 58 Paragraf 1 huruf c yang menyatakan:

“Where members require competent authorities to act upon their own

initiative and to suspend to release of goods in respect of which they have acquired primafacie evidence that an intellectual property right is being infringed :

…c) Member shall only exempt both public authorities and officials from liability to appropriate remedial measures where actions are taken or

intended in good faith”

Ketentuan ini menekankan bahwa pihak yang berwenang dalam tiap-tiap negara dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap merek tidak boleh bersikap diskriminasi. Perlindungan yang sama harus diberikan bagi semua pendaftar yang ikut menjadi anggota persetujuan TRIPs, terutama bagi pendaftar yang beritikad baik (Good Faith).

F. Unsur Passing Off

Untuk dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan passing off harus memenuhi tiga unsur yaitu:16

16


(50)

1. Penggugat harus mempunyai reputasi. Jika penggugat tidak memiliki reputasi di daerah/negara tempat tindakan passing off terjadi, maka penggugat tidak akan berhasil dalam kasus passing off.

2. Adanya misrepresentasi dalam hal ini dikenalnya merek yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut, maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama publik akan dapat dengan mudah terkecoh (misleading) atau terjadi kebingungan (confusion) dalam memiliih produk yang dinginkan.

3. Kerugian. terdapatnya kerugian yang timbul akibat adanya tindakan pendomplengan atau pemboncengan yang dilakukan oleh pengusaha yang dengan itikad tidak baik menggunakan merek yang mirip atau serupa dengan merek yang telah dikenal tersebut sehingga terjadi kekeliruan memilih produk oleh masyarakat (public misleading).


(51)

42

BAB IV

PENGATURAN PASSING OFF DALAM

PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA

A. Contoh Putusan Terkait Tindakan Passing Off di Indonesia

Berikut contoh kasus passing off di Indonesia yang telah diadili:

1. Putusan MA No. 122 K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara NATASHA vs NATASHA SKIN CARE

a. Duduk Perkara

Kasus pemboncengan reputasi (passing off) ini terjadi ketika dr. Fredi Setyawan (Penggugat/Termohon kasasi) sebagai pemegang merek “NATASHA” yang terdaftar dengan no. 540373 yang didaftarkan pada tanggal 10 juni 2002 untuk kelas 44 (jenis jasa salon kecantikan, perawatan kulit dan perawatan kecantikan, salon perawatan kecantikan kulit, perawatan kulit secara medis, penyediaan spa, sauna, solarium, penyediaan jasa informasi dan nasehat mengenai pemakaian produk-produk perawatan kulit, kecantikan dan kosmetik, salon kecantikan) mengetahui di masyarakat telah beredar produk kosmetik atau produk yang berhubungan dengan kecantikan dengan menggunakan merek dan logo “NATASHA SKIN CARE” milik Then Gek Tjoe (Tergugat/Pemohon kasasi) yang mereknya terdaftar dengan nomor IDM000185727 tertanggal 25 Nopember 2008 untuk kelas 3


(52)

yang mempunyai persamaan pada pokoknya melihat di situs berbagai iklan di media massa seperti pada halaman muka Harian Umum Tangerang Tribun tertanggal 27 November 2008.

b. Putusan Hukum

Hakim menolak permohonan kasasi dan menguatkan putusan pengadilan negeri yang mengabulkan gugatan penggugat/termohon yaitu menyatakan Penggugat sebagai pemegang merek berupa nama dan logo "NATASHA" yang sah, Membatalkan atau setidak–tidaknya menyatakan batal Sertipikat Merek dengan Nomor : IDM000185727 untuk Merek berupa nama dan logo "NATASHA SKIN CARE" dalam kelas 3 (tiga) tertanggal 25 Nopember 2008 atas nama Tergugat dari Daftar Umum Merek pada Dirjen HKI, Memerintahkan Dirjen HKI mencoret Sertifikat Merek No. IDM000185727 untuk merek berupa nama dan logo "NATASHA SKIN CARE" untuk kelas 3 (tiga) tertanggal 25 Nopember 2008 atas nama Tergugat dari Daftar Umum Merek pada Dirjen HKI dengan segala akibat hukumnya dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek.

c. Analisa Hukum

Menurut penulis putusan hakim sudah tepat karena dalam perkara ini terdapat persamaan pada pokoknya maupun persamaan pada keseluruhan pada merek Penggugat/Termohon. Ketentuan gugatan pembatalan pendaftaran merek telah diatur pada Pasal 69 Undang-Undang


(53)

Merek Tahun 2001 yaitu gugatan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dari pendaftaran merek. Sertifikat Merek "NATASHA SKIN CARE" No. IDM000185727 milik TERGUGAT tertanggal 25 Nopember 2008, sedangkan gugatan aquo adalah tertanggal 14 Juli 2009.Sehingga gugatan dari penggugat masih berada dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Tergugat/Pemohon tidak mempunyai itikad baik dalam mendaftarkan produknya sehingga mengabaikan Pasal 4, 5, dan 6 Undang-Undang Merek Tahun 2001. Penggugat telah menggunakan merek NATASHA untuk menjalankan usahanya yaitu salon kecantikan dan perawatan kulit sejak tahun 1999 dan merek tersebut didaftarkan pada tanggal 10 Juni 2002. Indonesia menganut sistem konstitutif pada pendaftaran merek. Dalam sistem konstitutif, hak atas merek diperoleh melalui pendaftaran, artinya hak eksklusif atas sesuatu merek diberikan karena adanya pendaftaran (required by registration). Sehingga pendaftar pertama (first to file) diberikan perlindungan secara hukum dan berhak melakukan gugatan apabila terdapat pihak yang tidak beritikad baik. Perbuatan tergugat sangat dilarang oleh Allah SWT karena melakukan bisnis dengan jalan yang batil, sebagaimana yang tercantum pada Surah Al-Baqarah ayat 188 :


(54)

Artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. 2:188)

Dari Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia dilarang memakan atau mendapatkan harta dari orang lain dengan cara yang tidak halal termasuk dengan cara passing off dikarenakan perbuatan tersebut dapat merugikan pemilik merek yang diboncengi reputasinya dan konsumen yang menggunakan produknya.

Tergugat juga terindikasi melakukan pemboncengan reputasi (passing off) karena sudah sesuai dengan unsur-unsur passing off, di antaranya ialah:

1) Reputasi, Penggugat telah menjalankan usahanya sejak 1999 dan mempunyai 43 (empat puluh tiga) cabang yang tersebar di 26 (dua puluh enam) kota di seluruh Indonesia sehingga penggugat telah mempunyai reputasi di kalangan masyarakat.

2) Mengelabui konsumen, merek Tergugat telah mengelabui konsumen dikarenakan reputasi Penggugat sudah terkenal di masyarakat. Konsumen akan menganggap bahwa barang kosmetik yang bermerek NATASHA SKIN CARE dari merek tergugat merupakan produk dari NATASHA milik penggugat dikarenakan merek dari tergugat mempunyai persamaan pada pokoknya.


(55)

3) Kerugian, dengan adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh tergugat maka, penggugat telah dirugikan baik secara materil maupun immaterial.

Sehingga putusan hakim telah tepat dalam penegakkan hukum pada tindakan passing off terhadap merek jasa pada kasus ini yaitu dengan memberikan hukuman kepada Tergugat/Pemohon dengan menghapus merek Tergugat/Pemohon berdasarkan Pasal 4, 5 dan 6 dan menetapkan merek Penggugat/Termohon sebagai pemilik merek pertama yang mendaftarkan merek NATASHA sesuai dengan sistem pendaftaran merek di indonesia.

2. Putusan MA No. 502 K/Pdt.Sus-HKI/2013 dalam Perkara INK vs INX a. Duduk Perkara

Kasus pemboncengan reputasi (passing off) ini terjadi ketika penggugat/termohon kasasi yang bernama Eddy Tedjakusuma sebagai Pemilik Hak Ekslusif dan pendaftar pertama (first to file) serta penerus hak atas Merek-Merek Dagang INK yang diperoleh melalui Pengalihan Hak dari Tjong Lyanti Tedjakusuma alias Tjong Bui Lian pada tanggal 8 Juli 2004 dihadapan Notaris Lieke L. Tukgali, SH, serta telah dicatatkan Pengalihan Haknya pada Direktorat Merek pada tanggal 26 Juni 2006, yang telah mendaftarkan Merek Dagang INK untuk beberapa barang yang tergolong kelas 09 di antaranya: segala macam topi pengaman (helm)


(1)

64

BAB V

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

1. Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Tindakan Passing Off

Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tindakan passing off di antaranya ialah Undang-Undang Tahun 2001 Tentang Merek yang tertuang pada Pasal 4, 5, dan 6 dan untuk gugatan dapat mengacu pada Pasal 76 angka 1 dan untuk pemidanaan dapat mengacu Pasal 91. Tindakan passing off juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sehingga dapat menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 7 huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen pun dapat digunakan karena sejalan dengan Pasal 52 angka 1 Undang-Undang Praktik Perdagangan Australia 1974 yang telah digunakan sebagai dasar hukum dalam persidangan kasus passing off di Australia. Apabila tindakan passing off terjadi antar lintas Negara dapat menggunakan instrument internasional seperti TRIPs dan konvensi paris namun hanya berlaku bagi Negara yang telah meratifikasi instrument internasional tersebut.

2. Penegakkan Hukum Pada Tindakan Passing Off Terhadap Merek Jasa Pada Putusan MA No. 122 K/Pdt.Sus/2010

Putusan hakim telah tepat dalam penegakkan hukum pada tindakan


(2)

65

hukuman kepada Tergugat dengan menghapus merek Tergugat berdasarkan Pasal 4, 5 dan 6 dan menetapkan merek Penggugat sebagai pemilik merek pertama yang mendaftarkan merek NATASHA sesuai dengan sistem pendaftaran merek di Indonesia

3. Akibat Hukum dari Tindakan Passing Off

Akibat hukum bagi pelaku tindakan passing off dapat berupa: ganti kerugian sesuai kerugian dari tindakan passing off baik kerugian materil maupun immateril; Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut (penghapusan merek), dan dapat dipidanakan sesuai Pasal 91 Undang-Undang Merek Tahun 2001.

B. Saran

1. Diperlukan pembaharuan Undang-Undang Merek mengenai pengaturan yang lebih jelas tentang passing off, karena passing off dapat menciptakan persaingan curang.

2. Direktorat Merek harus mensosialisasikan kriteria persamaan pada pokoknya dan persamaan pada keseluruhan dalam Undang-Undang Merek agar para pendaftar merek tidak mempunyai kesamaan pada pokoknya atau persamaan pada keseluruhan sehingga terjadi persaingan usaha curang.

3. Direktorat Merek harus memeriksa dengan seksama mengenai pendaftaran merek sehingga tidak ada merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau persamaan pada keseluruhan agar masyarakat dan pemilik merek terdaftar tidak dirugikan.


(3)

66

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟an

BUKU:

Adisumatro, Harsono. Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual. Bandung: Eresko. 2000

Adisumatro, Harsono. Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek. Jakarta: Akademika Presindo. 1998

Djumhana, Muhamad. Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2006.

Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2012

Gautama, Sudargo. Hukum Merek Indonesia, Bandung: Alumni. 1986.

_____________. Hukum Merek Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1993. Gautama, Sudargo, & Rizawanto Winata. Pembaharuan Hukum Merek Indonesia

(dalam rangka WTO, TRIPs) 1997. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 1997.

Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata “Hak-hak yang Memberi

Kenikmatan”. Jakarta: Penerbit ind, Hil-Co. 2002.

Harahap, M. Yahya. Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1996.

Ibrahim, Johnny. Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publising. 2007.

Lindsey, Tim., dkk. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung: P.T. Alumni. 2013.

Lubis, T. Mulya. Perselisihan Hak AtasMerek di Indonesia. Yogyakarta : Liberty. 2000.

Machmudin, Dudu Duswara. Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa. Bandung: PT. Rafika Aditama. 2003


(4)

67

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2010

Miru, Ahmadi. Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2005.

Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2010.

S. Salim H. Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. cet. 4. Jakarta: Sinar Grafika. 2006.

Saidin, OK. Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2013.

Sembiring, Sentosa. Prosedur Tata Cara Memperoleh Hak Kekayaan Intelektual Di Bidang Hak Cipta, Paten dan Merek. Bandung: CV.Yrama Widya, 2002.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986

Soekanto, Soerjono., & Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Pers. 2001.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1988.

Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2002

Suryodiningrat, R. M. Pengantar Ilmu Hukum Merek, Jakarta : Pradnya Paramitha. 1998.

Usman, Rahmadi. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia. Bandung: PT. Alumni. 2003.

Widjaja, Gunawan. Lisensi atau Waralaba : Suatu Tinjuan Praktis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.

_____________. Seri Hukum Bisnis: Lisensi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003.

PERUNDANG-UNDANGAN


(5)

Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Undang-Undang RI No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang RI No.15 Tahun 2001 Tentang Merek

Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa

Bagi Pendaftaran Merek INSTRUMEN INTERNASIONAL

Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods (TRIPs)

The Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris) PUTUSAN MA

Putusan MA No. 122 K/Pdt.Sus/2010 Putusan MA No. 815 K/PDT.SUS/2012 Putusan MA No. 502 K/Pdt.Sus-HKI/2013 INTERNET

http://www.austlii.edu.au/au/legis/cth/num_act/tpa1974149/s52.html diakses pada tanggal 31 Januari 2015

http://www.dgip.go.id/images/adelch-images/pdf-files/Nice-Classification-Edisi-2010-BARU.pdf diakses pada tanggal 21 Januari 2015

http://www.lpia.web.id/?page=profil diakses pada tanggal 30 Januari 2015

http://hukbis.files.wordpress.com/2008/02/hukum-bisnis-2008-hukum kontrak.ppt diakses pada tanggal 11 Januari 2015

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di-indonesia diakses pada tanggal 11 Januari 2015

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15544&cl=Berita, diakses pada tanggal 11 Januari 2015


(6)

69

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl273/passing-off diakses pada tanggal 11 Januari 2015

http://hukumonline.com/klinik/detail/cl5892/perlindungan-merek-terkenal-yang-tidak-terdaftar-di-indonesia diakses pada tanggal 31 Januari 2015

http://merdeka.com/uang/bosnya-dipailitkan-primagama-tetap-layani-bimbingan-belajar.html diakses pada tanggal 31 Januari 2015

http://www.merek-indonesia.dgip.go.id/ diakses pada tanggal 30 Januari 2015 http://www.primagamakg.com/statis-3-Sejarah%20Primagama.html diakses pada

tanggal 30 Januari 2015

wipo.int/export/sites/www/sme/en/documents/guides/translation/making_a_mark_ indo.pdf di unduh tanggal 21 Januari 2015