Analisis Yuridis Kebijakan System Payment Point Online Bank Ditinjau Dari Hukum Perlindungan Konsumen

(1)

ANALISIS YURIDIS KEBIJAKAN SYSTEM PAYMENT POINT ONLINE

BANK DITINJAU DARI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM: 050200179 TRI REZA ADDINSYAH

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

Salah satu layanan yang telah digunakan oleh berbagai industri bahkan lembaga keuangan bank/perbankan yang menggunakan sistem teknologi informasi Internet adalah system payment point online bank. System payment point online bank (PPOB) merupakan sistem pembayaran yang diselenggarakan secara online real time yang dikelola sepenuhnya oleh layanan perbankan dengan memanfaatkan fasilitas serta jaringan yang dibangun dan dikembangkan oleh masing-masing bank, sehingga para konsumen dapat memperoleh kemudahan dan keamanan dalam melakukan pembayaran. Pelayanan pembayaran melalui PPOB bertujuan untuk memberikan banyak manfaat bagi konsumen, misalnya para konsumen listrik dapat membayar listriknya dengan cepat di seluruh loket yang tersedia, transaksi dapat dilakukan dengan mudah, karena hanya dengan menunjukkan IID pelanggan atau rekening terakhir, dan keamanan uang konsumen listrik dari transaksi pembayaran rekening listrik dapat terjamin.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana system payment point online bank dalam hukum perbankan, bagaimana kedudukan hukum konsumen/nasabah system payment point online bank, dan bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen jasa perbankan dalam system payment point online bank ditinjau dari hukum perlindungan hukum konsumen

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

System payment point online bank merupakan layanan yang digunakan oleh lembaga keuangan, dalam hal ini adalah bank. Menurut ketentuan pasal 1 angka 3, disebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dengan demikian dalam system payment point online bank, bank berfungsi sebagai lembaga penyedia jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kedudukan hukum konsumen/ nasabah system payment point online bank,yakni konsumen/ nasaha merupakan salah satu pihak dalam system payment point online bank yang menggunakan jasa perbankan dalam melakukan tagihan pembayaran kepada pelaku usaha. Peraturan perundang-undangan, khususnya di bidang perbankan maupun peraturan di bidang


(3)

perlindungan konsumen telah mengatur secara jelas tentang perlindungan terhadap hak-hak para konsumen/ pelanggan yang terlibat dalam system payment point online bank. Khususnya dalam hal terjadinya keluhan terhadap pihak bank maupun pelaku usaha, maka hal ini dapat dilakukan penyampaian baik secara lisan maupun tulisan dengan landasan hukum yang telah diakomodir dalam Undang-Undang Perbankan maupun Undang-Undang Perlindungan Konsumen.


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, wasyukurillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT sungguhlah allah Maha Besar, Maha Baik yang telah memberikan rahmadnya keserluruh alam khususnya bagi penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Serta tidak lupa pula selawat dan salam kepada Rasulullah semoga kita mendapat syafaat nya diakhirat kelak.

Penulisan skripsi ini diajukan adalah untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima kritik dan saran dari kesempurnaan skripsi itu.

Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan skripsi ini penulis memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua saya yaitu ayahanda H. Syahusni Chan dan Ibunda Hj. Pitsun Maizar yang tidak henti-hentinya dalam mendoakan serta dukungan kepada penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu. SH, M. Hum selaku Dekan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak prof. Dr. Budiman Ginting. SH, M. Hum, selaku Pembantu Dekan I di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

4. Bapak Syafruddin. SH. MH.DFM, selaku Pembantu Dekan II di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak M. Husni. SH. M. Hum, selaku Pembantu Dekan III di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution. SH. MH, Selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, dan juga selaku Dosen Pembimbing I.

7. Ibu Prof. Dr. Sunarmi. SH. M. Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi, dan juga Dosen Pembimbing II.

8. Ibu Dr.T.Keizerina Devi A. SH.CN.MS selaku Penasehat Akademik Penulis, yang turut serta dalam memberikan dukungan terhadap penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Para abangda senior stambuk 02, 03, 04 dan para adik-adik stambuk 06,07, 08, yang tidak henti-hentinya memberikan semangat dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Seluruh teman-teman 2005 yang tidak disebutkan namanya satu per satu, terima kasih banyak penulis ucapkan.

Semoga Allah SWT melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya. Amin.

Wassalam.

Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II SYSTEM PAYMENT POINT ONLINE BANK DALAM HUKUM PERBANKAN ... 15

A. Dasar Hukum System Payment Point Online Bank dalam Hukum Perbankan ... 15

B. Aspek hukum system payment point online bank dalam hukum Perbankan ... 17

C. Keabsahan Transaksi System Payment Point Online Bank Berdasarkan Undang-undang Perbankan ... 24

BAB III KEDUDUKAN HUKUM KONSUMEN/NASABAH ... 33

A. Para Pihak yang Terkait dalam System Payment Point Online Bank ... 33

B. Hubungan Hukum Nasabah/ Konsumen dengan Pelaku Usaha dalam System Payment Point Online Bank ... 36


(7)

C. Hak dan Kewajiban Nasabah/ Konsumen dalam System

Payment Point Online Bank` ... 38

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN JASA PERBANKAN DALAM SYSTEM PAYMENT POINT ONLINE BANK DITINJAU DARI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 43

A. Pokok-pokok Perlindungan Konsumen yang Diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen ... 43

B. Perlindungan hukum bagi konsumen jasa perbankan dalam system payment point online bank ditinjau dari Undang-undang Perlindungan Konsumen ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

A. Kesimpulan... 67

B. Saran ... 68


(8)

ABSTRAK

Salah satu layanan yang telah digunakan oleh berbagai industri bahkan lembaga keuangan bank/perbankan yang menggunakan sistem teknologi informasi Internet adalah system payment point online bank. System payment point online bank (PPOB) merupakan sistem pembayaran yang diselenggarakan secara online real time yang dikelola sepenuhnya oleh layanan perbankan dengan memanfaatkan fasilitas serta jaringan yang dibangun dan dikembangkan oleh masing-masing bank, sehingga para konsumen dapat memperoleh kemudahan dan keamanan dalam melakukan pembayaran. Pelayanan pembayaran melalui PPOB bertujuan untuk memberikan banyak manfaat bagi konsumen, misalnya para konsumen listrik dapat membayar listriknya dengan cepat di seluruh loket yang tersedia, transaksi dapat dilakukan dengan mudah, karena hanya dengan menunjukkan IID pelanggan atau rekening terakhir, dan keamanan uang konsumen listrik dari transaksi pembayaran rekening listrik dapat terjamin.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana system payment point online bank dalam hukum perbankan, bagaimana kedudukan hukum konsumen/nasabah system payment point online bank, dan bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen jasa perbankan dalam system payment point online bank ditinjau dari hukum perlindungan hukum konsumen

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

System payment point online bank merupakan layanan yang digunakan oleh lembaga keuangan, dalam hal ini adalah bank. Menurut ketentuan pasal 1 angka 3, disebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dengan demikian dalam system payment point online bank, bank berfungsi sebagai lembaga penyedia jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kedudukan hukum konsumen/ nasabah system payment point online bank,yakni konsumen/ nasaha merupakan salah satu pihak dalam system payment point online bank yang menggunakan jasa perbankan dalam melakukan tagihan pembayaran kepada pelaku usaha. Peraturan perundang-undangan, khususnya di bidang perbankan maupun peraturan di bidang


(9)

perlindungan konsumen telah mengatur secara jelas tentang perlindungan terhadap hak-hak para konsumen/ pelanggan yang terlibat dalam system payment point online bank. Khususnya dalam hal terjadinya keluhan terhadap pihak bank maupun pelaku usaha, maka hal ini dapat dilakukan penyampaian baik secara lisan maupun tulisan dengan landasan hukum yang telah diakomodir dalam Undang-Undang Perbankan maupun Undang-Undang Perlindungan Konsumen.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan yang selalu berkembang setiap harinya membawa dampak terhadap perkembangan segala aspek dalam kehidupan manusia pada umumnya, dan kebutuhan masyarakat akan teknologi dan informasi yang semakin hari semakin berkembang baik dari segi sarana maupun prasarana tidak luput dari arus perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Kebutuhan masyarakat demi terwujudnya pertukaran informasi mendorong kemajuan teknologi yang semakin pesat. Teknologi yang semakin berkembang telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless). Dengan adanya pertukaran informasi yang dapat dilakukan melalui berbagai media, mulai dari media cetak, radio, televisi, internet dan sebagainya yang menyebabkan terjadinya pertukaran informasi dan komunikasi baik secara searah maupun dua arah dan membawa kehidupan manusia yang bersifat lebih dinamis dan modern serta mengubah pola kehidupan manusia.

Pemanfaatan teknologi dan informasi saat ini telah banyak digunakan oleh orang secara individu maupun oleh lembaga. Hasil kemajuan serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang paling besar pengaruhnya adalah pada lembaga keuangan. Adanya pemanfaatan internet oleh lembaga keuangan yang kini telah dikenal dengan nama internet banking maka konsumen (nasabah) dapat melakukan suatu transaksi yang mengedepankan aspek kemudahan, efisiensi,


(11)

flexibilitas dan kesederhanaan yang tentunya merupakan media alternatif dalam memberikan kemudahan bagi nasabah lembaga keuangan bank tersebut.1

Berkembangnya internet banking sebagai suatu layanan keuangan, tidak terlepas dari beberapa keuntungan yang dapat diraih dengan memanfaatkan internet banking tersebut. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan bahwa industri perbankan saat ini banyak mengadopsi konsep internet banking, diantaranya adalah untuk memperluas jangkauan akses pasarnya, meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan terhadap para nasabahnya dan yang lebih penting bahwa penerapan internet banking ini dapat dijadikan sebagai sarana strategis untuk melakukan kompetisi antar bank yang sangat ketat.2

Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di perbankan nasional relatif lebih maju dibandingkan sektor lainnya. Berbagai jenis teknologinya diantaranya meliputi Automated Teller Machine (ATM), Banking Application System, Real Time Gross Settlement System, Sistem Kliring Elektronik, dan internet banking. Bank Indonesia sendiri lebih sering menggunakan istilah Teknologi Sistem Informasi (TSI) Perbankan untuk semua terapan teknologi informasi dan komunikasi dalam layanan perbankan. Istilah lain yang lebih sering digunakan adalah Electronic Banking. Electronic Banking mencakup wilayah yang luas dari teknologi yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Beberapa diantaranya terkait dengan layanan perbankan di garis depan atau front end, seperti ATM dan komputerisiasi (sistem) perbankan, dan beberapa kelompok

1

Budi Agus Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005), hal. 1

2


(12)

lainnya bersifat back end, yaitu teknologi-teknologi yang digunakan oleh lembaga keuangan, merchant, atau penyedia jasa transaksi, misalnya electronic check conversion.3

3

http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/bhermana. Diakses pada tanggal 27 Nopember 2010.

Salah satu layanan yang telah digunakan oleh berbagai industri bahkan lembaga keuangan bank/perbankan yang menggunakan sistem teknologi informasi Internet adalah system payment point online bank. System payment point online bank (PPOB) merupakan sistem pembayaran yang diselenggarakan secara online real time yang dikelola sepenuhnya oleh layanan perbankan dengan memanfaatkan fasilitas serta jaringan yang dibangun dan dikembangkan oleh masing-masing bank, sehingga para konsumen dapat memperoleh kemudahan dan keamanan dalam melakukan pembayaran. Pembayaran secara online tersebut diharapkan dapat mempermudah pelanggan melakukan transaksi pembayaran dengan memanfaatkan seluruh fasilitas yang disediakan bank, antara lain melalui pembayaran tunai di Teller, Autodebet, ATM, Phone banking, Internet Banking, Mobile Banking, dan Kartu Kredit.

Pelayanan pembayaran melalui PPOB bertujuan untuk memberikan banyak manfaat bagi konsumen, misalnya para konsumen listrik dapat membayar listriknya dengan cepat di seluruh loket yang tersedia, transaksi dapat dilakukan dengan mudah, karena hanya dengan menunjukkan IID pelanggan atau rekening terakhir, dan keamanan uang konsumen listrik dari transaksi pembayaran rekening listrik dapat terjamin.


(13)

Tujuan lain dari pelaksanaan sistem PPOB ini yaitu terciptanya peluang bisnis jasa pelayanan pembayaran online dengan menjadi downline bank, tercipta efisiensi berskala nasional karena tercipta sinergi antara penyedia jasa layanan, instansi terkai dan perbankan, serta akan tercipta transparansi sebagai cermin dari Good Corporate Governance. Walaupun kebijakan untuk menerapkan sistem PPOB bertujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, cepat, baru, murah, dan sederhana, namun pelaksanaan kebijakan ini masih menimbulkan pertentangan dari berbagai kalangan masyarakat.

Para pihak yang menentang kebijakan PPOB ini berpendapat bahwa pungutan biaya administrasi bank akibat perjanjian yang dilakukan antara pelaku usaha dan beberapa bank dalam transaksi pembayaran, melalui sistem PPOB ini dianggap tidak transparan. Mestinya sesuai hak konsumen, terbitnya kebijakan baru itu harus diinformasikan secara benar, jelas dan jujur. Namun demikian, informasi (sosialisasi) itu, tidak dengan otomatis mengikat secara huku m, karena hanya perjanjian dan Undang-Undang lah yang menjadi sumber perikatan, sehingga banyak dari kalangan masyarakat yang menganggap bahwa kebijakan sistem PPOB ini melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

B. Permasalahan

1. Bagaimana system payment point online bank dalam hukum perbankan? 2. Bagaimana kedudukan hukum konsumen/nasabah system payment point


(14)

3. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen jasa perbankan dalam system payment point online bank ditinjau dari hukum perlindungan hukum konsumen?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui system payment point online bank dalam hukum perbankan

b. Untuk mengetahui kedudukan hukum konsumen/nasabah system payment point online bank

c. Perlindungan hukum bagi konsumen jasa perbankan dalam system payment point online bank ditinjau dari hukum perlindungan hukum konsumen

2. Manfaat a. Teoritis

Untuk memperkaya khasanah ilmu hukum, khususnya hukum penanaman modal (investasi). Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat memberikan kajian baru dalam bidang hukum perbankan, sehingga ilmu hukum perbankan semakin berkembang di masa mendatang.

b. Praktis

Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga penegak hukum, praktisi hukum dan


(15)

pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan penanganan system PPOB di sektor perbankan di Indonesia

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Analisis Yuridis Kebijakan System Payment Point Online Bank Ditinjau dari Hukum Perlindungan Konsumen” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea kedua yang menyebutkan bahwa :

“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur…”

Makna yang tersirat dari kata adil dan makmur dalam alinea kedua tersebut merupakan keadilan yang diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia.


(16)

Selain itu juga pelaksanaan tujuan negara yang diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa :

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum...”

Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan juga kesejahteraan sosial melalui pembangunan nasional. Selain itu juga merupakan landasan perlindungan hukum atas pembayaran melalui perantara atau pihak ketiga secara on line, karena kata melindungi mengandung asas perlindungan hukum bagi segenap bangsa Indonesia untuk mencapai keadilan.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum, maka segala kegiatan yang dilakukan di negara Indonesia harus sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak terkecuali dalam hal pelaksanaan kegiatan perekonomian khususnya perbankan. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan pembangunan dalam kegiatan perekonomian dijabarkan melalui Pasal 33 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang menitikberatkan pada perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial dalam pembangunan.

Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang dimaksud perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,


(17)

mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Salah satu pelaksanaan kegiatan usaha perbankan dalam memberikan pelayanan kepada nasabah bisa dilakukan dengan cara konvensional ataupun melalui media alternatif lain.

Media alternative lain diantaranya pembayaran secara on line melalui Internet. Hal ini merupakan suatu bentuk pemanfaatan media internet oleh untuk mempromosikan dan sekaligus melakukan transaksi secara on line, baik dari produk yang sifatnya konvensional maupun yang baru.4 Selanjutnya, bank dalam melaksanakan aktifitasnya tidak telepas dari dana masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan. Sejalan dengan kepentingan bank agar memelihara kepercayaan masyarakat, Bank Indonesia diberi wewenang dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan petunjuk, nasihat, bimbingan dan pengarahan maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakantindakan perbaikan.5

Pelayanan jasa perbankan pada saat ini, khususnya melalui media internet telah menarik perhatian para nasabah bank untuk memanfaatkan layanan tersebut. Namun dalam hal ini pemanfaatan internet sebagai jaringan online bagi kegiatan Oleh karena itu, semestinya dalam penyelenggaraan kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan bank bagi nasabahnya harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 21.

5


(18)

perbankan, pihak nasabah merupakan salah satu pihak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan hukum. Pelayanan bank melalui media internet pada kenyataannya telah menimbulkan sejumlah permasalahan hukum, salah satu diantaranya yaitu perlindungan hukum dalam penyelenggaran layanan internet.

Selanjutnya, Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pengertian perlindungan konsumen tampaknya diartikan dengan cukup luas, yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Perlindungan terhadap pengguna Layanan Operator Rekening Bersama adalah sama dengan perlindungan terhadap konsumen lainnya. Pengertian tersebut dihubungkan dengan definisi konsumen yang diatur dalam Pasal 1 ayat 2, yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Adapun hak-hak dari konsumen pengguna layanan Operator Bersama, berdasarkan Pasal 4 UUPK adalah sebagai berikut:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;


(19)

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sementara itu, berdasarkan UUPK mengatur tentang Kewajiban penyedia jasa yang dilakukan pelaku usaha adalah sebagai berikut:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;


(20)

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

F. Metode penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian dimulai ketika seseorang berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematis dengan metode dan teknik tertentu yang bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan faktor tersebut.6

1. Jenis penelitian

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan

6

Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004), hal 1.


(21)

logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.7

2. Sumber data

Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku tentang analisis yuridis kebijakan system payment point online bank ditinjau dari hukum perlindungan konsumen.

a. Bahan hukum primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.8

b. Bahan Hukum Sekunder

Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet.

7

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007), hal. 57.

8

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 19.


(22)

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

4. Teknik analisa data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. BAB II : Bab ini akan membahas tentang System Payment Point Online


(23)

Dasar hukum system payment point online bank dalam hukum perbankan, Aspek hukum system payment point online bank dalam hukum Perbankan, , dan Keabsahan transaksi system payment point online bank berdasarkan Undang-undang Perbankan

BAB III : Bab ini akan membahas tentang Kedudukan Hukum Konsumen/Nasabah System Payment Point Online Bank, yang memuat tentang Para pihak yang terkait dalam system payment point online bank, Hubungan hukum nasabah/konsumen dengan pihak bank dalam system payment point online bank, dan Hak dan kewajiban nasabah/ konsumen dalam system payment point online bank

BAB IV : Bab ini akan dibahas tentang Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Jasa Perbankan Dalam System Payment Point Online Bank Ditinjau Dari Hukum Perlindungan Konsumen, yang isinya memuat antara lain tentang Pokok-pokok perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, dan Perlindungan hukum bagi konsumen jasa perbankan dalam system payment point online bank ditinjau dari Undang-undang Perlindungan Konsumen. BAB IV : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang

berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(24)

BAB II

SYSTEM PAYMENT POINT ONLINE BANK

DALAM HUKUM PERBANKAN

A. Dasar Hukum System Payment Point Online Bank dalam Hukum Perbankan

PPOB (Payment Point Online Bank) adalah Satu kesatuan Sistem Hardware dan Sistem Software Aplikasi, Jaringan Komunikasi Data dan Rekonsiliasi Data sehingga dapat berfungsi sebagai media interaksi sistem pembayaran tagihan apapun secara online dengan pihak bank sebagai penyelenggara sekaligus penampung dana pelanggan untuk diteruskan kepada mitra kerjanya. Payment Point adalah tempat atau loket yang menerima pembayaran pelanggan yang dikelola oleh perorangan, atau badan usaha yang telah bermitra kerja dengan Collecting Agent. Collecting Agent (CA) adalah badan usaha atau lembaga lain yang telah menjalin kerjasama dengan pihak perbankan sebagai penyelenggara dan penampungan dana tagihan dari pelanggan. Jasa Layanan PPOB adalah jasa penerimaan setoran tagihan dari pelanggan sebuah perusahaan yang telah ikut jadi mitra dalam sistem PPOB tersebut, seperti pelayanan pembayaran tagihan Listrik dan tagihan telpon. Switching Company adalah perusahaan yang telah bekerjasama dengan pihak perbankan yang bertugas sebagai penghubung data antara jaringan pihak perusahan yang bermitra PPOB dengan pihak perbankan.

System payment point online bank merupakan layanan yang digunakan oleh lembaga keuangan, dalam hal ini adalah bank. Pengertian bank menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas


(25)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (yang selanjutnya dalam penulisan ini disebut dengan UU Perbankan), yaitu :

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Usaha bank menurut Pasal 1 angka 3 UU Perbankan adalah :

“Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.

Selanjutnya dalam Pasal 6 UU Perbankan, disebutkan bahwa usaha bank umum adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, memberikan kredit, menerbitkan surat pengakuan hutang, membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya, memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah, menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya, menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan antar pihak ketiga, menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak, melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak


(26)

tercatat di bursa efek, melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat, menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kegiatan lain yang dilakukan perbankan misalnya adalah pemberian layanan perbankan melalui media elektronik atau selanjutnya disebut Electronic Banking. Electronic Banking menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Resiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum adalah layanan yang memungkinkan nasabah Bank untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan transaksi perbankan melalui media elektronik antara lain ATM, phone banking, electronic fund transfer, internet banking, mobile phone.

B. Aspek hukum system payment point online bank dalam hukum Perbankan Persoalan mengenai transaksi jual beli tidak terlepas dari perjanjian, karena setiap proses jual beli pasti akan diawali dengan sebuah kesepakatan, yang mana kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian. Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek (BW), disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang lain atau lebih. Perjanjian dapat dilakukan oleh para pihak sesuai kehendaknya masing-masing baik dari segi bentuk, macam maupun isinya, hal ini


(27)

merupakan wujud dari asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Namun demikian sebebas apapun seseorang membuat perjanjian tetap harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian seperti termuat dalam ketentuan pasal 1320 BW, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum. Adapun untuk sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata adalah:

1. Adanya kesepakatan bagi para pihak yang mengikatkan diri

Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.

2. Adanya kecapakapan untuk membuat suatu perjanjian

Kecakapan di sini artinya para pihak dalam perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas)


(28)

tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.

3. Suatu hal tertentu

Hal tertentu maksudnya objek yang diatur dalam perjanjian tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya perjanjian fiktif.

4. Suatu sebab yang halal.

Maksudnya isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Salah satu teori hukum kontrak klasik adalah teori kehendak. Menurut teori kehendak, suatu kontrak menghadirkan suatu ungkapan kehendak di antara para pihak, yang harus dihormati dan dipaksakan oleh pengadilan. Dalam teori kehendak terdapat asumsi bahwa suatu kontrak melibatkan kewajiban yang dibebankan terhadap para pihak. 9

Gr. Van der Burght mengemukakan bahwa selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu:10

1. Ajaran kehendak (wilsleer), dimana ajaran ini mengutarakan bahwa faktor yang menentukan terbentuk tidaknya suatu persetujuan adalah suara batin yang ada dalam kehendak subjektif para calon kontraktan.

9

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal. 39

10


(29)

2. Pandangan normatif Van Dunne, dalam ajaran ini kehendak sedikitpun tidak memainkan peranan. Apakah suatu persetujuan telah terbentuk pada hakikatnya tergantung pada penafsiran normatif para pihak pada persetujan ini tentang dan peristiwa yang dihadapi bersama;

3. Ajaran kepercayaan (vetrouwensleer), ajaran ini mengandalkan kepercayaan yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa ia sepakat dan oleh karena itu telah memenuhi persyaratan tanda persetujuannya bagi terbentuknya suatu persetujuan.

Perjanjian dibuat dengan pengetahuan dan kehendak bersama dari para pihak, dengan tujuan untuk menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perjanjian sebagai sumber perikatan berbeda dari sumber perikatan lain, berdasarkan pada sifat kesukarelaan dari pihak yang berkwajiban untuk melakukan prestasi terhadap lawan pihaknya dalam perikatan tersebut. Dalam perjanjian, pihak yang wajib untuk melakukan suatu prestasi, dalam hal ini debitur, dapat menentukan terlebih dahulu, dengan menyesuaikan pada kemampuannya untuk memenuhi prestasi dan untuk menyelarasakan dengan hak yang ada pada lawan pihaknya, apa, kapan, dimana, dan bagaimana ia akan memenuhi prestasinya.11

Membicarakan perjanjian, tidak dapat dilepaskan dari KUH Perdata. Menurut pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan

11


(30)

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.12

Menurut R. Setiawan, rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dipergunakannya perkataan “perbuatan” yang berarti tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu, perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai defenisi tersebut, sehingga perumusannya menjadi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.13

Sesuai dengan perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum, melainkan merupakan hubungan hukum. Pandangan ini dikemukakan oleh Van Dunne, yang mengartikan tentang perjanjian, yaitu: “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.14

Dalam rangka menciptkan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh KUH Perdata diberikan berbaga asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat, hingga pada akhirnya

12

Pasal 1313 KUH Perdata 13

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1979), hal. 49. 14

Lely Niwan, Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, 1987), hal. 26


(31)

menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak,yang dapat dipaksakan pelaksanaannya atau pemenuhannya.15

Adapun prinsip-prinsip atau asas-asas yang menguasai hukum perjanjian yang berkaitan dengan perjanjian antara underwritter dan emiten yaiu, asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat (pacta sunt servanda), dan asas itikad baik. Asas konsensualsme dilahirkan pada saat momentum awal perjanjian terjadi, yaitu pada detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya (pasal 1320 angka 1 KUH Perdata). Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas kebebasan berkontrak. Dalam asas ini para pihak dapat menentukan bentuk dan isi dengan bebas sepanjang dapat dipertanggungjawabkan dan bukanlah sesuatu yang terlarang (Pasal 1230 angka 4 KUH Perdata). Persetujuan secara timbali balik terhadap bentuk dan isi perjanjian ditandai dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau dapat dipersamakan dengan itu. Akibatnya perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sesuai asas pacta sunt servanda yang diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” dan assas itikad baik yang diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.16

15

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. cit, hal: 14 16

Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata (Seri Hukum Bisnis), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 263-283.


(32)

PPOB merupakan layana pembayaran secara online real time, yang diselenggarakan oleh pelaku usaha, misalnya PT. PLN, bekerjasama dengan dunia perbankan, dan memanfaatkan fasilitas perbankan. Dengan demikian jelas bahwa telah terjadi adanya kesepakatan antara pihak pelaku usaha dengan pihak perbankan tentang pemanfaatan fasilitas perbankan dalam pembayaran konsumen bagi pelaku usaha. Dengan berjalannya PPOB, maka proses pembayaran tidak lagi bekerjasama dengan payment pont-payment point , tetapi hanya bekerjasama dengan pihak bank atau jasa keuangan lainnya. Tidak ada proses utang piutang dengan paymen point-payment point sebagaimana yang mungkin terjadi sebelumnya, yang ada adalah proses rekonsiliasi keuangan dengan bank atau jasa keuangan lainnya.

Bagi PT. PLN misalnya, latar belakang dibuatnya system payment point online bank antara lain adalah untuk meningkatkan pelayanan PT. PLN (persero) terhadap konsumen dan di sisi PT. PLN (Persero) untuk mengamankan pendapatan dari penjualan energi listrik; bisnis PT. PLN (Persero) pun akan makin efisien, dan PT. PLN (Persero) terhindar dari resiko-resiko penanganan uang kas, seperti perampokan dan penggelapan, karena jasa tagih rekening listrik secara konvensional dianggap kurang menarik, payment point yang tersedia tidak berkembang, sehingga pelanggan sulit bayar karena lingkup pembayaran terbatas pada satu loket.

Karena adanya pengalihan sistem baru, dari sistem konvensional menjadi sistem system payment point online bank ini, maka untuk setiap transaksi pembayaran tagihan listrik melalui system payment point online bank, para


(33)

konsumen/ pelanggan listrik dikenakan biaya administrasi bank sebesar Rp. 1600 (seribu enam ratus rupiah). Biaya ini ditetapkan oleh masing-masing bank.17

System payment point online bank ini melibatkan beberapa pola kerjasama antara beberapa pihak yang terkait, antara lain:18

1. PT. PLN (Persero) dan bank penyelenggara menandatangani perjanjian kerjasama lengkap dengan standar prosedur pelayanan

2. PT. PLN (Persero) dan switching provider menandatangani perjanjian kerjasama lengkap dengan standar prosedur pelayanan.

3. Bank dan switching provider juga ada perjanjian kerjasama, namun dalam hal ini PT. PLN (Persero) tidak masuk.

4. Perjanjian kerjasama bank dengan mitra bisnis (up line loket)

5. Perjanjian kerjasama bank dengan merchant/ loket pembayaran rekening listrik (downline bank langsung).

Perjanjian kerjasama ini meliputi juga tanggung jawab para pihak dalam hal terjadi pembayaran ganda, kesalahan pembayaran tagihan listrik dan tagihan lainnya, atau kesalahan perhitungan tagihan listrik dan tagihan lainnya yang mengakibatkan pelanggan membayar lebih tinggi dari yang seharusnya.

C. Keabsahan Transaksi System Payment Point Online Bank Berdasarkan Undang-undang Perbankan

Kemajuan teknologi informasi semakin memperlihatkan perkembangannya. Perkembangan tersebut meliputi perkembangan di seluruh

17

Sosialisasi System Payment Point Online Bank Bank Daerah Distribusi Jawa Barat dan Banten, (Banten: PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten, 2009), hal. 5.

18


(34)

aspek kehidupan yaitu ekonomi, budaya, hukum, agama, dan politik. Perkembangan teknologi tersebut apabila dimanfaatkan secara tepat akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang kemudian berdampak pada peningkatan kemakmuran masyarakat suatu negara. Teknologi informasi merupakan cara atau metode serta proses atau produk yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia.19

Selanjutnya, pada proses transaksi secara on line pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan proses transaksi jual beli biasa di dunia nyata. Padat transaksi secara on line menggunakan kontrak jual beli yang disebut kontrak elektronik. Kontrak elektronik merupakan suatu kontrak yang berisi janji-janji atau kesepakatan dan akibat dari pelanggaran atas peraturan-peraturan tersebut. Dengan demikian pada suatu kontrak, harus ada beberapa unsur yang terpenuhi. Oleh karena itu, setiap perjanjian jual beli yang dilakukan secara elektronik harus Teknologi informasi memegang peranan yang penting, baik masa kini maupun masa yang akan datang. Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan yang besar bagi kehidupan masyarakat. Setidaknya ada dua hal yang membuat teknologi informasi dianggap begitu penting yaitu teknologi informasi mendorong permintaan atas produk-produk teknologi informasi itu sendiri dan teknologi informasi memberi kemudahan untuk melakukan transaksi bisnis pada umumnya. Salah satu perkembangan teknologi ini adalah dengan adanya media internet. Melalui media internet, kita dapat menciptakan suatu cara yang dapat memudahkan system pembayaran dalam suatu transaksi.

19


(35)

memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek, yaitu:

1. Kesepakatan para pihak

Kesepakatan para pihak artinya bahwa para pihak yang membuat perjanjian jual beli secara elektronik yaitu merchant dan costumer telah sepakat atau memiliki persesuaian kemauan dan saling menyetujuikehendak masing-masing yang dinyatakan secara tegas ataupun secara diam-diam, tanpa ada paksaan, kekeliruan ataupun penipuan. Kesepakatan dalam perjanjian jual beli secara elektronik tidak harus mensyaratkan adanya pertemuan langsung atau juga harus dibuat secara tertulis, akan tetapi kesepakatan tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi yang ada, sehingga tidak dibutuhkan kehadiran para pihak secara fisik untuk menyampaikan kehendak dalam suatu perjanjian. Persesuaian kehendak antara merchant dan customer, didasarkan pada pernyataan salah satu pihak dalam hal ini merchant, kemudian pernyataan tersebut ditanggapi oleh pihak lainnya yaitu customer, baik persetujuan atau penolakan persetujuan dapat diaplikasikan dengan mengisi form pemesanan dan pembayaran dalam bentuk data elektronik yang telah disediakan di dalam website milik merchant dan kemudian merchant akan mengirimkan e-mail konfirmasi pembelian dan e-mail lain kepada customer untuk memberitahukan bahwa pengiriman barang telah dilakukan. Pernyataan dari merchant dan customer tersebut kemudian dijadikan dasar bahwa telah ada kesepakatan antara kedua belah


(36)

pihak, sehingga apabila dikemudian hari terdapat perselisihan antara apa yang dikehendaki oleh customer dengan apa yang dinyatakan oleh merchant, maka pernyataan merchant tersebut dijadikan dasar bagi customer untuk menuntut pemenuhan prestasi dari merchant. Pada pernyataan tersebut, merchant wajib menyatakan dengan tegas keinginannya yang termuat dalam form pemesanan dan pembayaran berupa data elektronik yang telah disediakan dalam website milik merchant yang kemudian disetujui oleh customer tersebut, artinya apabila dalam form pemesanan dan pembayaran yang disediakan oleh merchant itu terdapat klausul yang tidak jelas dan dapat diartikan ke dalam berbagai pengertian, maka harus ditafsirkan ke dalam pengertian yang tidak merugikan customer. Apabila pernyataan merchant tidak sesuai dengan keinginan customer atau adanya perbedaan pemahaman antara merchant dengan customer mengenai isi perjanjian tersebut, sedangkan customer telah mempercayai dan menyesuaikan dirinya dengan pernyataan yang keliru, hal tersebut tidak mengakibatkan terjadinya perjanjian, namun pihak yang mengeluarkan perjanjian tersebut tidak terlepas begitu saja dari tanggung jawab atas akibat-akaibat yang timbul karena pernyataan keliru yang dikeluarkan itu, sehingga dalam hal ini merchant diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan akibat tindakannya mengeluarkan pernyataan yang tidak jelas tersebut Pemahaman mengenai isi perjanjian yang disebabkan ketidakjelasan pernyataan merchant maka perjanjian tersebut tidak mengikat, akan tetapi apabila merchant sudah


(37)

menjelaskan secara tegas dan terperinci sedangkan kekeliruan tersebut disebabkan karena kurangnya pemahaman dari customer sendiri terhadap isi perjanjian itu, maka perjanjian tersebut tetap mengikat.

Kata sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian sebagaimana diamanatkan didalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek dianggap telah tercapai apabila pernyataan merchant diterima oleh customer untuk menentukan bagaimana cara yang dapat dilakukan customer untuk menyatakan kehendaknya atau menyetujui pernyataan dari merchant. Pada transaksi elektronik, terdapat pola untuk mencapai pernyataan sepakat. Suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat salah satu pihak menyatakan sepakat (menyepakati) pokok perjanjian yang dinyatakan oleh pihak lainnya. Pernyataan tersebut yang dijadikan dasar kesepakatan (pernyataan kehendak) dari kedua belah pihak.20

2. Kecapakan untuk membuat suatu perikatan

Pasal 1329 Burgerlijk Wetboek menjelaskan bahwa setiap orang cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap, oleh karena itu, sepanjang para pihak dalam jual beli secara elektronik adalah orang yang cakap menurut undang-undang, maka perjanjian tersebut berlaku mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pada perjanjian jual beli secara elektronik, pelaksanaan perjanjian harus dilandasi dengan asas kepercayaan, yang mana masing-masing pihak telah saling percaya dan saling mengikatkan

20


(38)

diri masing-masing terhadap isi perjanjian dengan itikad baik. Selain itu, dalam jual beli secara elektronik juga harus dilandasi dengan asas moral, yang mana pelaksanaan perjanjian jual beli secara elektronik tersebut dilakukan berdasarkan moral sebagai panggilan hati nurani untuk melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam perjanjian dengan penuh kesadaran dan moral yang tinggi.

3. Suatu hal tertentu berhubungan dengan objek perjanjian atau disebut juga prestasi.

Menurut Pasal 1234 Burgerlijk Wetboek, prestasi dapat berupa memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Pasal 1333 Burgerlijk Wetboek mengatur bahwa yang menjadi objek perjanjian harus tertentu atau setidak-tidaknya dapat ditentukan jenis dan jumlahnya. Selain itu, prestasi dari suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut3:21

a. Harus diperkenankan, artinya bahwa objek perjanjian yang telah disepakati antara merchant dan costumer tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam hal ini transaksi secara elektronik melalui thread kaskus.us tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Harus tertentu atau dapat ditentukan, artinya prestasi tersebut harus dapat ditentukan dengan jelas mengenai jenis maupun jumlahnya. Hal

21

Riduan Syahrani, SelukBeluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 206.


(39)

tersebut menjadikan kewajiban merchant untuk menyatakan secara tegas mengenai penawarannya atau keinginannya kepada customer dalam perjanjian, apabila dalam perjanjian termaksud terdapat klausa yang tidak jelas dan dapat diartikan kedalam berbagai pengertian, maka harus ditafsirkan kedalam pengertian yang tidak merugikan customer (Pasal 1473 Burgerlijk Wetboek). Pada transaksi secara elektronik melalui thread kaskus.us, merchant harus menentukan dengan tegas nominal transaksi dan fee atau provisi dari pengelola thread kaskus.us yang akan dibebankan kepada customer.

c. Harus mungkin dilakukan, artinya prestasi tersebut mungkin dilakukan menurut kemampuan manusia pada umumnya dan jugaharus mungkin dilakukan oleh merchant dan/ atau customer.

4. Suatu sebab yang halal

Pasal 1335 Burgerlijk Wetboek menyebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan mengikat. Dalam Pasal 1337 Burgerlijk Wetboek dijelaskan bahwa sesuatu sebab dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan artinya bahwa dasar perjanjian jual beli secara elektronik yang dilakukan antara merchant dengan customer tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, pada beberapa kondisi dalam jual beli secara elektronik, tidak jarang para pihak merupakan orang yang berbeda kewarganegaraannya sehingga berbeda pula hukum positif


(40)

dimasing-masing pihak tersebut. Selain itu, para pihak mempunyai perbedaan mengenai batas-batas mengenai ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa perjanjian jual beli secara elektronik yang dilakukan para pihak, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, baik yang berlaku dinegara merchant maupun yang berlaku di negara customer, suatu sebab dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang berlaku di negara para pihak.

Prinsip-prinsip UNCITRAL medel law on electronic, menjelaskan bahwa:22

1. Segala bentuk informasi elektronik dalam bentuk data elektronik memiliki akibat hukum, keabsahan ataupun kekuatan hukum.

2. Dalam hal adanya suatu informasi harus dalam bentuk tertulis, maka suatu data elektronik dapat memenuhi syarat.

3. Dalam hal tanda tangan, maka tanda tangan elektronik itu merupakan tanda tangan yang sah.

4. Dalam hal kekuatan pembuktian data yang bersangkutan, maka data elektronik berupa message memiliki kekuatan dalam pembuktian.

Dengan demikian, apa yang tercantum dalam prinsip-prinsip UNCITRAL model law on electronic, maka segala informasi, data, tandatangan dan hal-hal

22


(41)

lain yang dijadikan sebagai alat bukti yang dibuat secara elektronik memiliki kekuatan.

Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, perbankan merupakan segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Salah satu pelaksanaan kegiatan usaha perbankan dalam memberikan pelayanan kepada nasabah bisa dilakukan dengan cara konvensional ataupun melalui media alternatif lain seperti jasa transaksi secara on line. Jasa perbankan dalam transaksi secara on line merupakan suatu bentuk pemanfaatan media internet oleh bank untuk melakukan transaksi secara on line, baik dari produk yang sifatnya konvensional maupun yang baru.23

23

Ibid, hal. 21.

Khusus berkenaan dengan konsep transaksi secara on line, terdapat hal serius yang harus dicermati yaitu mengenai keamanan transaksi perbankan yang dilakukan oleh konsumen. Hal ini dikarenakan karakteristik layanan transaksi secara on line yang rawan akan aspek perlindungan kepentingan pribadi konsumen pengguna jasa tersebut. Dengan demikian, salah satu kewajiban bank adalah menjamin keabsahan transaksi nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan, munculnya pemanfaatan layanan transaksi secara on line dalam dunia perbankan semakin mempersulit terjaminnya transaksi nasabah tersebut.


(42)

BAB III

KEDUDUKAN HUKUM KONSUMEN/NASABAH

SYSTEM PAYMENT POINT ONLINE BANK

A. Para Pihak yang Terkait dalam System Payment Point Online Bank

Pertumbuhan teknologi informasi yang semakin cepat berpengaruh terhadap perkembangan pelayanan jasa-jasa perbankan. Dahulu lembaga keuangan bank dalam memberikan layanannya lebih menekankan kepada model face to face dan didasarkan kepada paper document. Namun, sejak teknologi informasi mampu mendukung terhadap sistem transaksi lembaga keuangan bank, model transaksi pun lebih mengedepankan pada model nonface to face dan paperless document atau digital document.24

1. Pihak nasabah/ konsumen

Adapun para pihak yang terkait dalam system payment point online bank adalah:

Pengertian konsumen sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian yang terdiri atas:25

a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu;

b. Konsumen antara yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau

24

Budi Agus, Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, Op. cit, hal. 19. 25

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, cet. 1, (Jakarta: Daya Widya, 1999), hal. 4.


(43)

untuk memperdagangkannya (distributor) dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha;

c. Konsumen akhir yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen akhir dapat dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu:26

1) Pemakai adalah setiap konsumen yang memakai barang yang tidak mengandung listrik atau elektronika, seperti pemakaian pangan, sandang, papan, alat transportasi, dan sebagainya;

2) Pengguna adalah setiap konsumen yang menggunakan barang yang mengandung listrik atau elektronika seperti penggunaan lampu listrik, radio tape, televisi, ATM atau komputer dan sebagainya;

3) Pemanfaat adalah setiap konsumen yang memanfaatkan jasa-jasa konsumen, seperti : jasa kesehatan, jasa angkutan, jasa pengacara, jasa pendidikan, jasa perbankan, jasa transportasi, jasa rekreasi, dan sebagainya.

Pernyataan untuk tidak diperdagangkan yang dinyatakan dalam definisi dari konsumen ini ternyata memang dibuat sejalan dengan pengertian pelaku usaha yang diberikan oleh UUPK.27

26

Istilah tersebut ditafsirkan oleh TIM Hukum Perlindungan Konsumen yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI, tentang Pembentukan TIM Penelaah Peraturan Perundang-undangan di bidang hukum dalam rangka Reformasi Hukum Dep. Kehakiman No. M59-PR 09.04 Tahun 1998, Jakarta 1 desember 1998.

27

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 5.


(44)

2. Pihak pelaku usaha

Menurut UUPK yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah:

“ Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.28 Ini tidak berarti hanya para produsen pabrikan penghasil barang dan/atau jasa yang tunduk pada undang-undang ini, melainkan juga para rekanan, termasuk para agen, distributor serta jaringan-jaringan yang melaksanakan fungsi pendistribusian dan pemasaran barang dan/atau jasa kepada masyarakat luas selaku pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa.29

3. Pihak bank

Menurut sejarah asal mula keberadaan lembaga bank di dunia, kata 'bank' berasal dari bahasa Italia yaitu "banca" yang secara terminologi berarti "bence" yang artinya suatu bangku tempat duduk. Hal ini disebabkan pada zaman pertengahan, pihak bankir Italy yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk di bangku-bangku di halaman pasar.30

Dalam kamus Webster, "bank" diartikan sebagai :31

1. Menerima deposito uang, custody, menerbitkan uang, untuk memberikan pinjaman dan diskonto, memudahkan penukaran fund-fund tertentu

28

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 butir (3)

29

Gunawan Widjaja dan Ahmad yani, Op. cit, hal. 22.

30

A. Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hal 80

31

Noah Webster, Webster's New Universal Unabriged Dictionary, (New York, USA: Simon & Schuster, 1799), hal. 146


(45)

dengan cek, notes dan lain-lain, dan juga bank memperoleh keuntungan dengan meminjamkan uangnya dengan memungut bunga.

2. Perusahaan yang melaksanakan bisnis bank tersebut.

3. Gedung atau kantor tempat dilakukannya transaksi bank atau tempat beroperasinya perusahaan perbankan.

Menurut Undang-undang No.10 Tahun 1998 Pasal 1 angka 2, bank adalah badan usaha yang menghimpun, dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

B. Hubungan Hukum Nasabah/ Konsumen dengan Pelaku Usaha dalam

System Payment Point Online Bank

Hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha dibuat melalui suatu surat perjanjian, yang memuat tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam jual beli tenaga listrik misalnya, hubungan hukum antara PT. PLN (Persero) dan pelanggan/ konsumen listrik dibuat melalui suatu perjanjian yang disebut surat perjanjian jual beli tenaga listrik (SPJBTL). Dalam SPJBTL diatur mengenai adanya penambahan biaya administrasi bank terkait kebijakan system payment point online bank.

Sebagai pelaku usaha (BUMN), dalam membuat kebijakan baru atau tambahan, PT. PLN (Persero) harus mendapat kesepakatan dari konsumennya, sebab hubungan hukum antara PT. PLN (Persero) dan konsumen telah terikat oleh perjanjian (Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik).


(46)

Oleh karena itu, jika PT. PLN (Persero) mengeluarkan kebijakan baru, harus ada kesepakatan dari konsumennya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian berupa adanya kesepakatan. Kesepakatan terjadi jika tidak terdapat unsur paksaan, kekhilafan, dan penipuan (dwang, dwaling, dan bedrog) (Pasal 1321 KUHPerdata). Jika tidak ada kesepakatan, perjanjian tersebut dapat dibatalkan melalui pengadilan tentang klausula-klausula tertentu yang terdapat dalam perjanjian awal (pokok) yang telah dibuat antara PT. PLN (Persero) dan konsumen.

Pada prakteknya, formulir Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang merupakan kontrak standar yang ditandatangani oleh para pihak menjadi syarat sahnya perjanjian. Pencantuman klausula yang dibuat secara sepihak oleh PT. PLN (Persero) dimaksudkan untuk membebaskan (exemption) atau membatasi (limitation clause) PT. PLN (Persero) dari kewajiban-kewajiban yang seharusnya ditanggungnya, ataupun untuk menjaga hak-hak absolut dari PT. PLN (Persero) yang pada umumnya didudukan pada posisi yang lebih kuat, dalam melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan pihaknya.32

Sebenarnya formulir perjanjian jual beli tenaga listrik yang ditawarkan, walaupun sudah dalam bentuk yang tercetak, seharusnya masih dapat dilakukan perubahan-perubahan yang dicapai melalui hasil perundingan antara PT. PLN (Persero) dengan calon konsumennya, yang apabila perubahan tersebut akhirnya

32

Indyah Retno Purwati, Tinjauan Yuridis Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Baku Yang Dibuat Di Bawah Tangan Mengenai Jual Beli Tenaga Listrik Antara PT. PLN (Persero) Dengan Konsumen, ,(Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,2004), hal.177


(47)

disepakati, dapat dicantumkan dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik sebagai perubahan draft dengan mencoret seluruh draft kalusula yang tidak dikehendaki tersebut dan memindahkannya dalam satu tempat yang tidak terpisahkan dengan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang akan ditandatangani oleh para pihak tersebut.33

Isi Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik telah ditetapkan secara sepihak oleh pihak PT. PLN (Persero) sebagai pelaku usaha, maka klausula-klausula tersebut tidak mungkin dinegosiasikan atau dilakukan tawarmenawar oleh konsumen yang dapat mengubah isi perjanjian tersebut. Dengan demikian dirasakan sulit untuk memaksakan suatu klausula yang adil dalam proses Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Hal ini disebabkan adanya faktor penentu dari pihak PT. PLN (Persero) sebagai pihak yang memonopoli penyaluran tenaga listrik kepada masyarakat. Dalam realitas demikian, posisi tawar menawar (bargaining posistion) konsumen dirasakan sulit bagi konsumen untuk mendapatkan haknya.34

C. Hak dan Kewajiban Nasabah/ Konsumen dalam System Payment Point

Online Bank

1. Hak Konsumen

Berdasarkan pasal 4 UUPK, hak konsumen adalah:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

33 Ibid 34


(48)

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengonsumsi suatu produk.35

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

Hak untuk memlih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk sesuai dengan kebutuhannya. Konsumen juga diberi kebebasan untuk memilih kuantitas dan kualitas dari produkproduk yang tersedia tanpa adanya tekanan dari pihak luar. Hak untuk memilih ini hanya akan ada jika alternatif produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha bervariasi.

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

Hak untuk memperoleh informasi yang benar dan jelas dimaksudkan agar konsumen mendapatkan gambaran yang benar mengenai produk yang dan/jasa yang dibelinya agar sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

35

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 20041), hal. 41


(49)

Hak untuk didengar pendapat dan keluhan konsumen atas barang/jasa yang digunakan ditujukan untuk mencegah dan mengurangi kerugian konsumen. Hak untuk didengar ini dapat berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai informasi yang masih kurang lengkap atas barang/jasa, pengaduan atas kerugian yang dialami akibat penggunaan suatu barang/jasa, pernyataan/ pendapat mengenai kebijakan yang ditetapkan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.36

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

Hak ini ditujukan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan suatu produk barang/jasa melalui jalur hukum.

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

Hak ini ditujukan agar konsumen mendapatkan pendidikan sehingga dapat lebih teliti dan kritis dalam memilih produk yang dibutuhkan. Hal ini berguna untuk menghindarkan konsumen dari kerugian akibat penggunaan suatu produk.

g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

Hak ini dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan pasal 4 huruf g UUPK, bahwa konsumen berhak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar

36


(50)

dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya,daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya.

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

Hak atas memperoleh ganti kerugian ini terkait dengan pemulihan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan suatu produk. Pemulihan keadaan ini bisa diperoleh melalui jalur damai (di luar pengadilan) atau diselesaikan melalui pengadilan

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”

Hak- hak yang termasuk diatur dalam ketentuan peraturan perundnagundangan lainnya dapat berupa hak untuk memperoleh kebutuhan hidup dan hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup merupakan yang mendasar bagi kehidupan manusia untuk mempertahankan hidupnya. Sedangkan hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat dianggap sangat penting bagi lingkungan dan konsumen itu sendiri, sehingga para konsumen berhak untuk memperoleh informasi tentang keterkaitan penggunaan produk mereka dan lingkungan hidup. Mengenai hak konsumen untuk memperoleh informasi mengenai lingkungan hidup diatur


(51)

dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.37

2. Kewajiban Konsumen

Konsumen berkewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan, karena sering kali pelaku usaha telah memberi peringatan secara menyangkut pemakaian produk mereka di label produk mereka. Namun apabila konsumen tidak melakukan kewajibannya, maka pelaku usaha lepas dari tanggung jawab mereka apabila terjadi kerugian yang diderita konsumen akibat dari penggunaan produk mereka.

Mengenai kewajiban konsumen untuk beritikad baik dalam melakukan traksaksi pembelian barang dan atau jasa dimulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen. Hal ini berbeda dengan pelaku usaha yang berniat untuk merugikan konsumen, karena biasanya hal ini terjadi sejak baran/ dirancang atau diproduksi oleh pelaku usaha.

Konsumen juga berkewajiban untuk membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Kewajiban ini merupakan suatu ketentuan umum dan memang sudah sepatutnya demikian. Kewajiban lain bagi konsumen adalah agar konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindugan konsumen secara patut yang dimaksudkan untuk menyeimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan kosumen secara patut.38

37

Ibid, hal 46 38

Bandingkan dengan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8, LN No.42 Tahun 1999, TLN No. 3821, ps.4 huruf e


(52)

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN JASA PERBANKAN DALAM SYSTEM PAYMENT POINT ONLINE BANK DITINJAU

DARI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pokok-pokok Perlindungan Konsumen yang Diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen

1. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya akan disebut dengan UUPK) , perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Penjabaran lebih lanjut mengenai asas-asas perlindungan konsumen di Indonesia diatur dalam penjelasan pasal 2 UUPK, yaitu:

“ Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.


(53)

c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen serta Negara menjamin kepastian hukum.”

Berdasarkan substansi dari kelima asas perlindungan konsumen yang telah disebutkan dalam pasal 2 UUPK beserta penjelasannya, maka asas-asas tersebut dapat dibagi lagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:39

a. asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen

b. asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan; dan

c. asas kepastian hukum Asas keseimbangan dikelompokan kedalam asas keadilan, mengingat bahwa hakikat dari asas keadilan adalah menjaga keseimbangan bagi kepentingan masing-masing pihak dalam sebuah transaksi dagang, yaitu antara pelaku usaha, konsumen dan pemerintah. Dalam hal ini pemerintah tidak memiliki kepentingan secara langsung, namun kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang

39


(54)

kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak namun melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk UUPK. Dalam pasal 2 UUPK dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab pemerintah.

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial.

Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. UUPK ditujukan sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan swadaya bagi masyarakat sebagai konsumen dari pelaku usaha yang melakukan kegiatan ekonomi yang merugikan bagi kepentingan konsumen. 40

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

Pada pasal 3 UUPK mengatur mengenai tujuan dari perlindungan konsumen yaitu:

“Perlindungan konsumen bertujuan :

40


(55)

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.”

Pengaturan dari pasal 3 UUPK merupakan pengaturan mengenai tujuan khusus dari perlindungan konsumen. Hal ini membedakkan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan pada pengaturan dalam pasal 2 UUPK. Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen ini akan berlaku secara maksimal apabila didukung oleh seluruh subsistem perlindungan yang diatur dalam UUPK, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat.41

Namun sampai saat ini belum diketahui dengan jelas bagaimana penerapan dari tujuan perlindungan konsumen. Pelaksanaan dari pasal 3 huruf d UUPK mengenai sistem perlindungan hukum juga belum terlaksanakan. Sampai saat ini

41


(56)

sistem perlindungan di Indonesia belum juga terbentuk, sedangkan hal tersebut merupakan kewenangan dari pemerintah selaku sebagai pembina, pengawas serta pelaksana Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia.42

2. Istilah dan Pengertian dalam Hukum Perlindungan Konsumen

Dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat beberapa istilah beserta pengertian baru menyangkut Hukum Perlindungan Konsumen yang berbeda dengan pengertian umum yang pernah digunakan.

Beberapa istilah dan pengertian, adalah sebagai berikut:

a. Perlindungan Konsumen. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 UUPK, perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen” Segala upaya untuk melindungi konsumen seperti yang dijelaskan dalam pasal 1 ayat 1 UUPK diatas termasuk dalam hal beracara di depan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

b. Konsumen. Berdasarkan pasal 1 ayat 2 UUPK, konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” Tim Hukum Perlindungan Konsumen (selanjutnya tim hukum) yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman RI (1998),43

42

Az Nasution, Op. cit., hal 9. 43

Keputusan Menteri Kehakiman RI, tentang Pembentukan Tim Penelaah Peraturan Perundang-undangan di Bidang Hukum Dalam Rangka Reformasi Hukum, No.M.59-PR.09.04 Tahun 1998, Jakarta,1 Desember 1998


(57)

dalam pengertian konsumen pada pasal 1 ayat 2 UUPK ini dengan dua pengertian lain yaitu pengguna dan pemanfaat. Berikut rincian pengertian dari tafsiran tersebut:

1) Pemakai, adalah setiap konsumen yang pemakai barang/barangbarang yang tidak mengandung listrik atau elektronika, seperti pemakaian pangan, sandang, papan,dsb.

2) Pengguna, adalah setiap konsumen yang menggunakan barang-barang yang mengandung listrik atau elektronika, seperti penggunaan lampu listrik, radio tape, TV, ATM, atau komputer, dsb

3) Pemanfaat, adalah setiap konsumen yang memanfaatkan jasa-jasa konsumen seperti, jasa kesehatan, jasa angkutan, jasa pengacara, jasa pendidikan, jasa perbankan, jasa transportasi, jasa rekreasi,dst.

Pengertian konsumen pun terbagi menjadi dua pengertian yaitu, konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah pengguna dan/atau pemanfaat barang/jasa untuk dibuat menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya kembali. Kalau ia distributor atau pedagang, berupa barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata dagangannya.

Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa itu di pasar industri atau pasar produsen.44

44

Philip Kotler, Principles of Makerting, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, NewJersey, 1980, hal. 267-268

Sedangkan pengertian konsumen akhir adalah pengertian konsumen yang digunakan dalam pasal 1 angka 2 UUPK, dimana batasan konsumen itu sendiri adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang/jasa


(1)

menganalisa dan menguji system payment point online bank tersebut. Publik tiba-tiba dikejutkan oleh mekanisme yang telah diberlakukan secara sepihak oleh PT. PLN (Persero) terutama terkait adanya penambahan biaya administrasi bank dalam system payment point online bank.

PT. PLN (Persero) beranggapan bahwa kebijakan system payment point online bank memiliki dasar hukum yang jelas. Dasar hukum pemberlakuan system payment point online bank oleh PT. PLN (Persero) antara lain adalah:

1. Keputusan Direksi PLN No. 021.K/0599/DIR/1995 tgl 23 Mei 1995 tentang pedoman dan petunjuk tata usaha pelanggan

2. Edaran Direksi PT. PLN (Persero) No. 010.E/012/DIR/2002 tanggal 29 Juni 1984 tentang penyelenggaraan bank dan PT. Pos Indonesia diberikan kewenangan untuk memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran

3. Surat Dirkeu PT. PLN (Persero) No. 04829/545/DITKEU/2007 tanggal 31 Agustus 2007 perihal implementasi PPOB

4. Undang-Undang Perlindungan Konsumen a. Pasal 4 butir a

Hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, kemanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

Dengan adanya system payment point online bank ini, hak pelanggan/ konsumen listrik telah terpenuhi karena pelanggan dapat membayar tagihan listrik diman saja, kapan saja, dalam waktu 24 jam sehari dan dengan cara sesuai keinginan pelanggan melalui delivery channel atau melalui saluran bank lain.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. System payment point online bank merupakan layanan yang digunakan

oleh lembaga keuangan, dalam hal ini adalah bank. Menurut ketentuan pasal 1 angka 3, disebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dengan demikian dalam system payment point online bank, bank berfungsi sebagai lembaga penyedia jasa dalam lalu lintas pembayaran

2. Kedudukan hukum konsumen/ nasabah system payment point online

bank,yakni konsumen/ nasaha merupakan salah satu pihak dalam system

payment point online bank yang menggunakan jasa perbankan dalam melakukan tagihan pembayaran kepada pelaku usaha

3. Peraturan perundang-undangan, khususnya di bidang perbankan maupun peraturan di bidang perlindungan konsumen telah mengatur secara jelas tentang perlindungan terhadap hak-hak para konsumen/ pelanggan yang terlibat dalam system payment point online bank. Khususnya dalam hal terjadinya keluhan terhadap pihak bank maupun pelaku usaha, maka hal ini dapat dilakukan penyampaian baik secara lisan maupun tulisan dengan


(3)

landasan hukum yang telah diakomodir dalam Undang-Undang Perbankan maupun Undang-Undang Perlindungan Konsumen

B. Saran

1. Masyarakat selaku pihak yang berkedudukan sebagai konsumen seharusnya harus lebih bersikap arif tentang muculnya kebijakan system payment point online bank. Aspek positif maupun negatifnya perlu untuk dipertimbangkan secara lebih mendalam agar tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman terhadap system payment point online bank yang dapat memunculkan sengketa yang seyogyanya dapat dihindarkan.

2. Berkaitan dengan munculnya kebijakan baru dalam bentuk system

payment point online bank, maka dibutuhkan strategi komunikasi yang

proporsional dari pihak pelaku usaha. Hal ini disebabkan karena keberhasilan penerapan system payment point online bank sangat tergantung pada penerimaan masyarakat terhadap sosialisasi yang diberikan oleh para pelaku usaha.

3. Untuk konsumen yang mungkin berada di daerah yang belum dijangkau oleh system payment point online bank, maka perlu adanya upaya dari pihak pelaku usaha agar dapat memperluas akses jaringan agar system payment point online bank dapat dinikmati oleh masyarakat secara menyeluruh


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrahman, A, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993.

Badrulzaman, Mariam Darus, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat

DariPerjanjian Baku (Standart), Jakarta: BPHN, 1980.

Budi Agus Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Dimyati, Khudzaifah & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004.

Hatta, Sri Gambir Melati, Sewa Beli dengan Perjanjian Tak Bernama: Pandangan

dan Sikap Mahkamah Agung Indoensia, Bandung:Alumni, 2000.

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia

Modern, Bandung: Refika Aditama, 2004.

Ibrahim, Johannes, Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya

Penyelesaian Kredit Bermasalah, Bandung: PT. Revika Aditama, 2004.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: UMM Press, 2007.

Kotler, Philip, Principles of Makerting, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, NewJersey.

Makarim, Edmon, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 20041.


(5)

Nasution, Az, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, cet. 1, Jakarta: Daya Widya, 1999.

Niwan, Lely, Hukum Perjanjian, Yogyakarta: Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, 1987.

Purwati, Indyah Retno, Tinjauan Yuridis Asas Kebebasan Berkontrak Dan

Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Baku Yang Dibuat Di Bawah Tangan Mengenai Jual Beli Tenaga Listrik Antara PT. PLN (Persero) Dengan Konsumen, ,Tesis Magister Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Depok,2004.

Rajagukguk, Erman, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: CV. Mandar Maju, 2000.

Riswandi, Budi Agus, Aspek Hukum Internet Banking, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005.

Setiawan, R, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta, 1979.

Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Syahrani, Riduan, SelukBeluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 1992.

Webster, Noah, Webster's New Universal Unabriged Dictionary, New York, USA: Simon & Schuster, 1799.

Widjaja, Gunawan, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata Seri

Hukum Bisnis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Widjaya, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Peraturan Perundang-undangan


(6)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Elektronik

Keputusan Menteri Kehakiman RI, tentang Pembentukan Tim Penelaah Peraturan Perundang-undangan di Bidang Hukum Dalam Rangka Reformasi Hukum

http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/bhermana. Diakses pada tanggal 27 Nopember 2010.

Internet

http://www.pljabar.co.id/keluhan_pel_detail.php?pageno=1&id_unit=16&nm_uni t= APJ%20Tasikmalaya. Diakses tanggal 25 Nopember 2010.