Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Masyarakat (Studi kasus: Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok di Kabupaten Langkat)

(1)

SISTEM PENGELOLAHAN HUTAN RAKYAT DAN

PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT

(Studi Kasus : Kecamatan Salapian, Kutambaru, Bahorok di Kabupaten Langkat)

SKRIPSI

INDRA KUSUMA TARIGAN 041201001

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(2)

SISTEM PENGELOLAHAN HUTAN RAKYAT DAN

PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT

(Studi Kasus : Kecamatan Salapian, Kutambaru, Bahorok di Kabupaten Langkat)

SKRIPSI

Oleh:

INDRA KUSUMA TARIGAN 041201001

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(3)

Judul : Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Masyarakat (Studi kasus: Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok di Kabupaten Langkat)

Nama : Indra Kusuma Tarigan

NIM : 041201001

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui oleh, Komisi Dosen Pembimbing

(Oding Affandi, S.Hut, MP) (Bejo Slamet, S.Hut, M.Si) Ketua Anggota

Diketahui,

(Dr.Ir.Edy Batara Mulya Siregar, MS) Ketua Departemen Kehutanan


(4)

INDRA KUSUMA TARIGAN: Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Masyarakat di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok, Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh ODING AFFANDI dan BEJO SLAMET.

Penelitian dilakukan pada bulan November 2008 sampai Juli 2009 dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik hutan rakyat, potensi volume dan nilai hutan rakyat, serta manfaat ekonomis hutan rakyat di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok, Kabupaten Langkat. Data penelitian adalah data sekunder dan data primer yang didapat dari instansi terkait maupun dari metode wawancara terhadap masyarakat setempat. Potensi tegakan hutan dihitung menggunakan rumus penghitungan volume pohon dan dijelaskan secara deskriptif berdasarkan tabulasi dan grafik yang diperoleh. Bentuk pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok adalah murni, campuran dan agroforestri. Bentuk pengelolaan hutan rakyat yang paling dominan adalah hutan rakyat campuran. Peggunaan lahan yang terdapat pada bentuk pengelolaan hutan rakyat campuran adalah tidak intensif. Struktur tegakan yang mendominasi adalah pohon yang memiliki diameter 11-20 cm dengan jenis pohon mahoni (Swietenia mahagoni). Rasio pohon kayu lebih besar dari pada rasio pohon buah. Manfaat ekonomi dari hutan rakyat di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok terhadap masyarakat adalah menambah pendapatan petani/masyarakat sekaligus meningkatkan kesejahteraan, serta mampu merehabilitasi lahan-lahan kritis dan terlantar.


(5)

ABSTRACT

This research was conducted on December 2008 until March 2009 as mean to identify activity management of people forest in Biru-biru the District, Deli Serdang, knowing some people forest characteristic (management pattern, land useful pattern, and ratio of wood trees and fruit trees), potencial of a stand forest society, and know economics benefit of forest society in the form addition earnings society. Research data was secondary data and got primary data, from related/relevant institution and also with method interview to local society. Strightened potency forest calculated to use formula enumeration of tree volume and then explained descriptively pursuant to tabulation and graph which [in] obtaining. The form of management of people forest in Biru-biru District pure people forest/monoculture, mixture people forest and agroforesty, and most dominant was form Agroforesty management. Patten Usage form in general flourish intensive found patten management agroforestry people forest, because its conservancy system conducted by 6 months one. The most dominant structure of a stand are the trees that have 11-20 diameter and mindi (Mellia azedarach) was tree that the most dominant in that area and bigger wooods tree ratio than fruit trees ratio. System marketing of wood in four village in Biru-biru District was contracrt system. Economis benefit getting from forest society in Biru-biru sub district could help farmer/society additional funds and all increasing at once prosperity of the people beside ecology benefit that rehabilitating critical land.

Key words: Forest society management, planting management pattern, economic benefit, potencial of a stand


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Binjai 24 September 1985. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan J. Tarigan dan Erna Sri Hati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri No.121/II Selesei pada tahun 1998 dan melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Selesei hingga selesai pada tahun 2001. Tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Binjai. Tahun 2004, penulis diterima di Universitas Sumatera Utara, Fakultas Pertanian, Departemen Kehutanan, Program Studi Manajemen Hutan melalui Jalur Pemanduan Minat Prestasi (PMP).

Dalam menyelesaikan kegiatan akademik, pada tahun 2006 telah mengikuti kegiatan Praktik Pengenalanan dan Pengelolaan Hutan (P3H) dikawasan Taman Nasional batang Gadis, Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan. Tahun 2008 Penulis melakukan Praktik Kerja Lapang di HTI PT. Sumatera Riang Lestari, Kabupaten Labuhan Batu. Selanjutnya Penulis melakukan penelitian yang berjudul “Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Masyarakat (Studi kasus: kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok di Kabupaten Langkat)”.


(7)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan KaruniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul "Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Masyarakat (Studi kasus: Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok)". Informasi hutan rakyat sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan perencanaan, pengelolaan dan monitoring hutan rakyat. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Selama melaksanakan penelitian hingga penyusunan skripsi ini selesai, banyak bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak tersebut terutama kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda J. Tarigan dan Ibunda Erna Sri Hati sebagai sumber kekuatan dan pemberi semangat sepanjang hidupku. Saudaraku tercinta Dian Safitri, Ameyna dan Trisno yang selalu memberikan dukungan dan semangat. Bapak Oding Affandi S.Hut, M.P dan Bapak Bejo Slamet S.Hut, M.Si selaku dosen pembimbing atas segala arahan dan perhatiannya dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi. Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar M.S selaku ketua Departemen Kehutanan USU, serta seluruh staff pengajar Departemen Kehutanan USU atas didikannya selama masa perkuliahan. Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.


(8)

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat ... 7

Konsepsi Kehutanan Masyarakat ... 7

Hutan Rakyat ... 9

Hutan Kemasyarakatan ... 9

Perhutanan Sosial ... 13

Konsepsi Hutan Rakyat dan Penyebaran Hutan Rakyat ... 15

Pola Hutan Rakyat ... 18

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

Bahan dan Alat ... 21

Objek dan Data Kegiatan ... 22

Metode Pengumpulan Data ... 22

Teknik dan Tahapan Pengambilan ... 23

Analisis Data ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Hutan Rakyat... 26

Pola Pengelolaan Hutan Rakyat ... 26

Pola Penggunaan Lahan ... 29

Struktur Tegakan dan Rasio Pohon ... 30

Potensi Hutan Rakyat ... 32

Hasil Hutan Kayu ... 34

Hasil Hutan Non Kayu ... 38

Manfaat Ekonomi Yang Diperoleh Dari Hutan Rakyat... 41

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 46


(9)

Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

No. Hal. 1. Bentuk Pengelolaan Hutan Rakyat ... 28 2. Pola Penggunaan Lahan di Kecamatan Salapian, Kutambaru

dan Bahorok ... 29 3. Taksiran Potensi Tegakan Tanaman Hutan Rakyat pada Setiap Lahan

Responden ... 32 4. Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga

Petani Tahun 2008-2009 ... 43


(11)

No. Hal.

1. Pola Tanam Hutan Rakyat Murni Pohon Mahoni ... 26

2. Pola Tanam Hutan Rakyat Campuran ... 27

3. Pola Tanam Hutan Rakyat Agroforestri antara Tanaman Kehutanan (Durian, Mahoni dan Jati) dengan Tanaman Perkebunan (Coklat) ... 28

4. Hubungan antara Kelas Diameter dengan Jumlah Batang ... 30

5. Rasio Pohon Kayu dan Pohon Buah... 31


(12)

No. Hal. 1. Data Pengukuran Potensi Plot Contoh Tanaman Hutan Rakyat ... 48 2. Tabel Plot Contoh pada Setiap Lahan Hutan Rakyat Responden ... 69 3. Data Responden Petani Hutan Rakyat ... 70 4. Sumber-Sumber Pendapatan Petani Tahun 2008-2009

Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok ... 71


(13)

INDRA KUSUMA TARIGAN: Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Masyarakat di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok, Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh ODING AFFANDI dan BEJO SLAMET.

Penelitian dilakukan pada bulan November 2008 sampai Juli 2009 dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik hutan rakyat, potensi volume dan nilai hutan rakyat, serta manfaat ekonomis hutan rakyat di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok, Kabupaten Langkat. Data penelitian adalah data sekunder dan data primer yang didapat dari instansi terkait maupun dari metode wawancara terhadap masyarakat setempat. Potensi tegakan hutan dihitung menggunakan rumus penghitungan volume pohon dan dijelaskan secara deskriptif berdasarkan tabulasi dan grafik yang diperoleh. Bentuk pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok adalah murni, campuran dan agroforestri. Bentuk pengelolaan hutan rakyat yang paling dominan adalah hutan rakyat campuran. Peggunaan lahan yang terdapat pada bentuk pengelolaan hutan rakyat campuran adalah tidak intensif. Struktur tegakan yang mendominasi adalah pohon yang memiliki diameter 11-20 cm dengan jenis pohon mahoni (Swietenia mahagoni). Rasio pohon kayu lebih besar dari pada rasio pohon buah. Manfaat ekonomi dari hutan rakyat di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok terhadap masyarakat adalah menambah pendapatan petani/masyarakat sekaligus meningkatkan kesejahteraan, serta mampu merehabilitasi lahan-lahan kritis dan terlantar.


(14)

ABSTRACT

This research was conducted on December 2008 until March 2009 as mean to identify activity management of people forest in Biru-biru the District, Deli Serdang, knowing some people forest characteristic (management pattern, land useful pattern, and ratio of wood trees and fruit trees), potencial of a stand forest society, and know economics benefit of forest society in the form addition earnings society. Research data was secondary data and got primary data, from related/relevant institution and also with method interview to local society. Strightened potency forest calculated to use formula enumeration of tree volume and then explained descriptively pursuant to tabulation and graph which [in] obtaining. The form of management of people forest in Biru-biru District pure people forest/monoculture, mixture people forest and agroforesty, and most dominant was form Agroforesty management. Patten Usage form in general flourish intensive found patten management agroforestry people forest, because its conservancy system conducted by 6 months one. The most dominant structure of a stand are the trees that have 11-20 diameter and mindi (Mellia azedarach) was tree that the most dominant in that area and bigger wooods tree ratio than fruit trees ratio. System marketing of wood in four village in Biru-biru District was contracrt system. Economis benefit getting from forest society in Biru-biru sub district could help farmer/society additional funds and all increasing at once prosperity of the people beside ecology benefit that rehabilitating critical land.

Key words: Forest society management, planting management pattern, economic benefit, potencial of a stand


(15)

Latar Belakang

Pembangunan kehutanan sebagai salah satu bagian dari pembangunan nasional diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga pelestarian fungsi hutan dengan mengutamakan pelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup, memulihkan tata air, memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja serta meningkatkan sumber pendapatan dan devisa negara untuk memacu pembangunan daerah. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintahan berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang menunjang, dengan kata lain keberhasilan pembangunan sangat tergantung dari tingkat partisipasi masyarakat. Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan adalah seberapa jauh pemerintah mampu menumbuhkan, menggerakkan dan memelihara dan mengembangkan masyarakat dalam pembangunan.

Hutan adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada rakyat Indonesia dan merupakan kekuasaan yang diberikan kepada negara untuk memberikan banyak manfaat serba guna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kehidupan rakyat cenderung menurun kondisinya oleh karena itu keberadaannya harus diperhatikan secara lestari dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, professional serta bertanggung gugat.

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang besar peranannya baik dari segi ekonomi maupun segi sosial yang sangat penting bagi kehidupan yaitu berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat tidak langsung. Manfaat hutan tersebut


(16)

dirasakan apabila hutan terjamin eksistensinya, sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumberdaya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan.

Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan sumberdaya alam yang berdasarkan inisiatif masyarakat. Hutan rakyat dibangun secara swadaya oleh masyarakat, ditujukan untuk menghasilkan kayu atau komoditas ikutannya yang secara ekonomis bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hutan rakyat banyak dikembangkan di lahan milik masyarakat, selain itu hutan rakyat juga dibangun di atas lahan hutan produksi dengan kontrol dari Departemen Kehutanan atau departemen lain yang terkait. Hutan rakyat biasanya memiliki aneka pepohonan yang hasil utamanya beraneka ragam.

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas lahan milik rakyat, baik petani secara perorangan ataupun bersama-sama. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa hutan rakyat terbentuk dari kegiatan swadaya mayarakat dengan maksud untuk menghasilkan kayu dan hasil-hasil lainnya secara ekonomis dengan memperhatikan unsur-unsur keberlanjutan dan perlindungan, dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga dan sosial. Pemerintah mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan hutan rakyat karena adanya dukungan penghijauan dan kegiatan pendukung seperti demplot dan penyuluhan.

Penduduk Indonesia sebagian diantaranya masih tetap tinggal di desa-desa yang berada di dalam dan sekitar hutan. Warga dari desa-desa tersebut umumnya memiliki pengalaman hidup di dalam hutan yang dikembangkan secara suatu tradisi turun temurun. Tradisi yang tercipta dari interaksi masyarakat yang telah lama dan terus


(17)

menerus dengan hutan. Akhir-akhir ini mulai mendapat perhatian dari berbagai pihak guna menyingkap sistem-sistem yang ada diantara mereka dengan hutan. Terdapat paradigma baru yang berkembang dalam periode terakhir yaitu memandang masyarakat asli (adat) yang bermukim di dalam sekitar hutan secara turun temurun memiliki kemampuan mengelolah hutan secara berkelanjutan. Pengelolaan hutan di Indonesia secara umum meninggalkan banyak permasalahan, diantaranya kerusakan ekosistem hutan dan terfragmentasinya kawasan hutan, demikian juga dengan pengelolaan kawasan hutan produksi di Indonesia masih belum terkelola dengan baik.

Perumusan Masalah

Keberadaan hutan sangat penting bagi kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Kehidupan masyarakat tersebut sangat bergantung dari keberadaan dan hasil hutan yang mereka peroleh. Keberadaan hutan sudah menunjukkan hasil-hasil yang positif, baik ditinjau sisi ekologinya (keanekaragaman hayati, tata air, pelindung dan koservasi tanah) maupun sebagai kontribusi bagi pendapatan rumah tangga petani/masyarakat. Hal ini harus mendapat perhatian yang besar dari berbagai pihak, baik lembaga swadaya masyarakat maupun pemerintahan pada khususnya.

Potensi pohon di hutan rakyat memiliki prospek untuk dikembangkan dalam rangka menggantikan peran hutan yang hilang akibat kerusakan hutan alam. BPS tahun 2003 menyatakan bahwa terdapat 10 (sepuluh) jenis tanaman hutan yang banyak ditanam di hutan rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia. Data-data kualitatif ini belum memberikan informasi secara spasial dimana lokasi dan bagaimana sebaran hutan rakyat.


(18)

Berbagai bentuk dan pola hutan rakyat secara spasial memiliki perbedaan dan karakteristik yang unik. Informasi sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan perencanaan, pengelolaan, dan monitoring hutan rakyat. Data dan informasi ini belum terkelola dengan baik, sehingga proses perencanaan, pengelolaan dan monitoring hutan rakyat belum optimal. Salah satu kendala dalam perencanaan dan monitoring pengelolaan hutan rakyat adalah ketersediaan informasi penting tentang sumberdaya hutan rakyat, dimana ketersedian informasi ini akan sangat menunjang dalam kegiatan operasional, pengendalian manajerial, dan perencanaan strategis pengelolaan hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat akan memiliki keunggulan kompetitif untuk pencapaian tujuan pengelolaan yang optimal dan berkelanjutan dengan menggunkan informasi.

Hutan rakyat merupakan hutan yang berpotensi untuk di kembangkan, dalam pengusahaan hutan rakyat, secara kumulatif menunujukan berbagai kekurangan dan kelemahan serta kurang akurat. Gejala kelemahanya tidak meletakakan posisi dan kedudukan hukum hutan rakyat ini ke dalam status legal, antara lain:

1. Tidak adanya data jumlah pemilik hutan rakyat, baik dalam skala regional maupun skala nasional

2. Secara umum areal hutan rakyat belum diukur dan dipetakan sebagaimana di lakukan tehadap hutan negara

3. Belum diterbitkan aturan - aturan teknis pembinaan administrasi dan tata cara pengelolaan hutan rakyat sebagai payung untuk dipedomani secara seragam di setiap wilayah

4. Sistem pungutan, retribusi dan perizinan usaha hutan rakyat, diperlakukan serupa dengan hutan negara


(19)

5. Gambaran umum usaha hutan negara terletak di atas tanah negara. Lebih dari 70-80 % hutan rakyat merupakan areal lokasi penghijauan yang di okupasi rakyat secara illegal.

6. Tidak adanya aturan hukum yang jelas tentang kepemilikan hutan rakyat secara yuridis formal, terkait erat dengan hukum pertahanan yang masih terus di bebani dewasa ini

Bedasarkan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang perlu diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang di lakukan oleh para petani hutan rakyat di kabupaten langkat

2. Berapa besar potensi hutan rakyat di kabupaten langkat

3. Seberapa besar pengaruh ekonomi hutan rakyat berupa tambahan pendapatan petani dan penyerapan tenaga kerja di kabupaten langkat

TUJUAN

1. Mengetahui karakteristik hutan rakyat (pola pengelolaan, pola penggunaan lahan, struktur tegakan dan rasio antara pohon kayu dengan pohon buah)

2. Mengetahui potensi volume dan nilai hutan rakyat

3. Mengetahui manfaat ekonomis hutan rakyat berupa tambahan pendapatan petani dan penyerapan tenaga kerja

MANFAAT

Manfaat dari penelitian adalah sebagai bahan masukan kepada pemerintah daerah, stake holders dan berbagai pihak pengelola yang terlibat di dalamnya dalam


(20)

pengembangan pengelolaan hutan rakyat di kabupaten langkat dan tersedianya informasi bagi para pembaca.

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan

Hutan merupakan suatu ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon yang kurang lebih padat dan tersebar, sering kali terdiri dari tegakan-tegakan yang beragam cirinya seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur dan proses-proses yang terkait serta pada umumnya mencakup padang rumput, sungai-sungai kecil, ikan dan satwa liar (Helms, 1999).

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang besar peranannya baik segi ekonomi maupun segi sosial yang sangat penting bagi kehidupan yaitu berupa


(21)

manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat tidak langsung. Manfaat hutan tersebut dirasakan apabila hutan terjamin eksistensinya, sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi, dan social dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumberdaya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan (Zain, 1995).

Konsepsi Kehutanan Masyarakat di Indonesia

Konsepsi kehutanan masyarakat (community forestry) sebenarnya relatif baru karena community forestry (CF) muncul sebagai tanggapan dari kegagalan konsep industrialisasi kehutanan yang populer pada sekitar tahun 1960-an. Penggagas CF bernama Jack Westoby merasa bersalah karena terlibat dalam inisiatif industrialisasi kehutanan (Munggoro, 1998).

Jack Westoby kemudian tercatat sebagai salah seorang yang banyak terlibat dalam gagasan tema pokok Kongres Kehutanan Dunia VIII yang diselenggarakan pada tahun 1978 di Jakarta. Kristalisasi pikiran-pikirannya tentang CF ini kemudian banyak dipublikasikan FAO dan kemudian pada tahun 1983, secara resmi FAO mendefinisikan CF sebagai:

“Konsep radikal kehutanan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat diberi

wewenang merencanakan dan memutuskan sendiri apa yang mereka kehendaki”. Hal

ini berarti memfasilitasi mereka dengan saran dan masukan yang diperlukan untuk menumbuhkan bibit, menanam, mengelola dan melindungi sumber daya hutan milik mereka dan memperoleh keuntungan maksimal dari sumber daya tersebut dan memanennya secara maksimum. CF didedikasikan sebagai gagasan untuk


(22)

meningkatkan keuntungan langsung sumber daya hutan kepada masyarakat pedesaan yang miskin (Awang dkk., 2001).

Beberapa tahun terakhir, konsepsi kehutanan masyarakat (CF) sering dikonfrontasikan dengan konsep perhutanan sosial yang merupakan terjemahan dari

social forestry (SF). Konsepsi SF lebih dikonotasikan sebagai bentuk pengusahaan

kehutanan yang dimodifikasi supaya keuntungan yang diperoleh dari pembalakan kayu didistribusikan kepada masyarakat lokal. Perum Perhutani merupakan salah satu pelopor SF di Indonesia mendefinisikan bahwa SF adalah suatu sistem dimana masyarakat lokal berpartisipasi dalam manajemen hutan dengan tekanan pada pembuatan hutan tanaman. Tujuan sistem SF adalah reforestasi yang jika berhasil akan meningkatkan fungsi hutan dan pada saat yang bersamaan meningkatkan kesejahteraan sosial (Awang dkk., 2001). Perkembangan teori pengelolaan hutan dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu kategori hutan konvensional dan kategori kehutanan modern. Teori pengelolaan hutan yang termasuk kedalam kehutanan konvensional adalah penambangan kayu atau timber extarction (TE) dan perkebunan kayu atau timber

management (TM). Pengelolaan hutan sebagai sumber daya atau forest resource management (FRM) dan pengelolaan hutan sebagai ekosistem atau forest ecosistem management (FEM) termasuk dalam golongan kehutanan sosial. Kedua teori

pengelolaan hutan tersebut secara evolutif berkembang sejak dari mulai penambangan kayu hingga sampai pada ekosistem hutan (Simon,1998).

Hutan Rakyat

Pengertian hutan rakyat menurut UU No.41/1999 adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari


(23)

hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dari sudut pandang pemerintah mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan hutan rakyat karena ada dukungan progam penghijauan dan kegiatan pendukung seperti demplot dan penyuluhan. Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia yang

terjadi secara alami dan juga dapat terjadi karena upaya rehabilitasi tanah kritis (Hardjosoediro, 1980 ; Jaffar, 1993).

Menurut UU No. 41/1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, dimana yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Menurut Koesmono (2000) berdasarkan statusnya (sesuai dengan Undang-Undang Kehutanan), hutan dapat dibagi 2 kelompok besar yaitu:

1. Hutan Negara yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah

2. Hutan hak yaitu hutan yang dibebani hak atas tanah yang biasanya disebut sebagai hutan rakyat.

Sebagian besar penulis artikel dan penelitian tentang hutan rakyat setuju bahwa secara fisik hutan rakyat tumbuh dan berkembang di atas lahan milik pribadi, dikelola dan dimanfaatkan oleh keluarga untuk meningkatkan kualitas kehidupan sebagai tabungan keluarga, sumber pendapatan dan menjaga lingkungan. Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non


(24)

kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim, peternakan, barang dan jasa, serta rekreasi alam. Bentuk dan pola hutan rakyat di Indonesia sebagai inisiatif masyarakat antara lain hutan rakyat sengon, hutan rakyat jati, hutan rakyat campuran, hutan rakyat suren di Bukit Tinggi dan hutan adat campuran (Awang, 2005).

Istilah hutan rakyat telah lama digunakan dalam program-program pembangunan kehutanan dan disebut dalam undang-undang pokok kehutanan (UUPK) tahun 1967 dengan terminologi “hutan milik”. Di Jawa, hutan rakyat dikembangkan pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial, setelah merdeka pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan “karang kriti”. Secara nasional, pengembangan hutan rakyat selanjutnya berada di bawah payung program penghijauan yang diselenggarakan pada tahun 1960-an dimana Pekan Raya Penghijauan I diadakan pada tahun 1961. Sampai saat ini hutan rakyat telah diusahakan di tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat). Hutan rakyat memiliki aneka pepohonan yang hasil utamanya bisa beraneka ragam. Hasil kayu misalnya, sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona

grandis), akasia (Acacia sp), mahoni (Swietenia mahagoni) dan lain sebagainya. Hasil

utama getah antara lain kemenyan (Styrax benzoin), damar (Shorea javanica). Hasil utama yang berupa buah antara lain kemiri, durian, kelapa dan bambu (Darusman dan Suharjito, 1998)

Sasaran pembangunan hutan rakyat adalah lahan milik dengan kriteria menurut Jaffar (1993) yaitu:

1. Areal kritis dengan keadaan lapangan berjurang dan bertebing yang mempunyai kelerengan lebih dari 30%

2. Areal kritis yang telah diterlantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan pertanian tanaman pangan semusim


(25)

3. Areal kritis yang karena pertimbangan-pertimbangan khusus seperti untuk perlindungan mata air dan bangunan pengairan perlu dijadikan areal tertutup dengan tanaman tahunan

4. Lahan milik rakyat yang karena pertimbangan ekonomi lebih menguntungkan bila dijadikan hutan rakyat daripada untuk tanaman semusim

Materi dan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Pokok Kehutanan menyatakan bahwa unsur-unsur hutan rakyat dicirikan antara lain:

a. Hutan yang diusahakan sendiri, bersam orang lain atau badan hukum

b. Berada diatas tanah milik atau hak lain berdasarkan aturan perundang-undangan c. Dapat dimiliki berdasarkan penetapan Menteri Kehutanan

Kepustakaan ilmu kehutanan menemukan istilah hutan rakyat, dimana hutan rakyat ini dapat mencakup hutan individu, hutan kelompok, hutan keluarga, hutan kolektif. Klasifikasi tentang hutan dapat bermacam-macam dengan dasar klasifikasi yang berbeda, namun konsisten dan sepadan (menurut jenis, habitat, status hak atau pelaku). Istilah hutan rakyat tidak dikenal dalam bahasa kelompok-kelompok masyarakat pengelola hutan, meskipun dalam undang-undang kehutanan disebutkan bahwa hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. Kata lazim disini adalah menurut pihak pembuat undang-undang, tetapi tidak lazim dalam masyarakat. Istilah yang digunakan berbeda-beda antar kelompok masyarakat, ada talun, leuweung, wono, lembo, simpukung, tembawang, repong, tombak dan lain-lain (Dephut, 1974).

Fungsi ekonomi dari pekarangan adalah menghasilkan bahan makanan tambahn, dapat menghasilkan setiap hari, menghasilkan bumbu-bumbu, rempah-rempa, bunga-bungaan, bahan bangunan, pakan ternak dan kayu bakar. Lahan pekarangan mempunyai


(26)

potensi yang tidak kecil dalam mencukupi kebutuhan hidup petani atau pemiliknya, bahkan kalau dikembangkan lebih intensif akan dapat bermanfaat lebih jauh lagi. Kumpulan tanaman keras yang ada di pekarangan disebut juga kumpulan hutan rakyat di pekarangan. Pekarangan tersusun dari jenis perdu yang biasanya digunakan sebagai obat-obatan tradisional, dengan demikian keanekaragaman hayati dari pekarangan terseut sangat baik ( Danoesastro, 1977).

Pengelompkan jenis-jenis tanaman di suatu hamparan lahan ditentukn oleh kemampuan jenis tersebut untuk berasosiasi dengan jenis lainnya. Perubahan komposisi jenis dalam suatu hamparan lahan tergantung pada kompetisi diantara jenis-jenis yang ada perbedaan kemampuan jenis-jenis untuk berkembang menjadi pohon yang masak pada keadaan tertentu (Brower dan Zar, 1977).

Hutan Kemasyarakatan

Hutan kemasyarakatan/hutan rakyat adalah terjemahan dari community forestry yang diartikan sebagai salah satu bentuk perhutanan sosial yang dilaksanakan di dalam dan di sekitar kawasan hutan yaitu suatu sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat desa hutan yang ditujukan untuk mendukung kehidupan dan kesejahteraan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungannya (Awang dkk., 2001).

Ide membangun hutan dengan pola hutan kemasyarakatan sebenarnya dirintis sejak tahun 1995 dengan ditetapkannya SK Menhut No. 622/Kpts-II/1998 tentang pedoman hutan kemasyarakatan, namun sosialisasinya dirasakan masih kurang. Perangkat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya belum ada, setelah dievaluasi kembali ternyata ketetapan tersebut masih banyak kekurangannya. Sebagai tindak lanjut, upaya penyempurnaan ditetapkan dengan SK Menhut No. 677/KepII/1998


(27)

tentang hutan kemasyarakatan, sebagai pengganti. Penguasaan hutan kemasyarakatan berpihak kepada rakyat kecil, khususnya rakyat yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Menurut Koesmono (2000) prinsip-prinsip pengelolaan hutan dengan pola hutan kemasyarakatan dengan peranan kelompok masyarakat (hak dan kewajiban dari kelompok tersebut ) adalah sebagai berikut:

a. Kelompok masyarakat diberi konsensi hutan selama 35 tahun

b. Kelompok msyarakat sebagai pelaku utama dalam hak konsensi tersebut c. Kelompok masyarakat sebagai pengamil keputusan

d. Kelembagaan pengusahaan hutan ditentukan oleh kelompok masyarakat e. Kepastian hak dan kewajiban

f. Pemerintah sebagai fasilitator

g. Kelompok masyarakat dapat mengusahakan kayu dan non kayu sebagai komoditi yang diusahakan

Hutan kemasyarakatan mulai dikembangkan dalam Repelita Kelima (1989/1990 s/d 1993/1994). Dokumen Repelita Kelima menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu diusahakan agar kawasan hutan mampu memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarya dalam jumlah yang lebih banyak mutu yang lebih baik melalui hutan kemasyarakatan atau sosial yang dikembangkan di desa-desa dan dikelola oleh organisasi masyarakat secara mandiri. Pengembangan hutan kemasyarakatan, hutan rakyat dan hutan serbaguna dikaitkan dengan penyelamatn hutan, tanah dan air. Dengn demikian kegiatan pengembangan hutan rakyat, hutan kemasyarakatan dan hutan serbaguna berada dibawah payung prgram reboisasi, penghijauan, penendalian perladangan dan konservasi tanah (Awang dkk., 2001).


(28)

Perhutanan Sosial

Penyelenggaraan progran perhutanan sosial pertama kali digunakan oleh Perum Perhutani di Jawa pada tahun 1986 dalam penyelenggaraan program dan proyek percontohan oleh kantor wilayah Departemen Kehutanan di Belangian, Kalaan dan Selaru (Kalimantan Timur), Ormu dan Parieri (Irian Jaya). Semua kegiatan memperoleh dukungan dari The Four Fondation. Pengembangannya oleh Perum Perhutani di Jawa merupakan penyempurnaan dari program-program prospority

approach, yaitu intensifikasi tumpang sari dan PMDH (pembangunan masyarakat desa

hutan). Perkembangan kegiatan perhutanan sosial di Perhutani pada awalnya meliputi kegiatan dalam kawasan hutan yaitu pengembangan agroforestri yang merupakan pengembangan pola-pola tanam yang lebih intensif sehingga masyarakat memperoleh manfaat lebih besar dengan upaya melebarkan jarak tanam dan mengembangkan tanaman buah-buahan tahunan dalam program tumpang sari (Awang dkk., 2001).

Konsepsi Hutan Rakyat dan Penyebaran Hutan Rakyat

Istilah hutan rakyat merupakan fenomena yang relativ baru di Indonesia. Istilah hutan rakyat dalam UUPK No. 5 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok kehutanan juga masih belum dimasukkan secara proporsional. Istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut adalah hutan milik, yaitu lahan milik rakyat yang ditanami dengan pepohonan (Simon, 1998). Departemen Kehutanan mendefinisikan bahwa hutan rakyat adalah suatu lapangan di luar hutan negara yang didominasi oleh pepohonan sedemikian


(29)

rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya.

Definisi ini sesungguhnya hanyalah untuk membedakan hutan yang tumbuh di lahan negara dan lahan milik rakyat. Sedangkan menurut Kamus Kehutanan (1990), hutan rakyat adalah lahan milik rakyat atau milik adat atau ulayat yang secara terus menerus diusahakan untuk usaha perhutanan yaitu jenis kayu-kayuan, baik tumbuh secara alami maupun hasil tanaman.

Tujuan pembangunan hutan rakyat menurut Jaffar (1993) adalah:

1. Meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari

2. Membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat 3. Membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku

industri serta kayu bakar

4. Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya

5. Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS

Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya, yang tanamannya sekarang dikenal sebagai hutan rakyat, merupakan salah satu butir kearifan masyarakat agraris dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangganya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk berikut kebutuhannya, serta semakin terbatasnya kepemilikan tanah, peran hutan rakyat bagi kesejahteraan masyarakat semakin penting. Pengetahuan tentang kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan pengetahuan mengenai jenis-jenis pohon yang akan ditanam


(30)

untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat. Keempat jenis pohon yang disajikan dalam tulisan ini tergolong jenis pohon multi guna (multi purpose tree

species), dapat beradaptasi pada berbagai jenis dan kondisi tanah dan iklim, tumbuh

cepat, dan tidak memerlukan pemeliharaan intensif, sehingga cocok untuk dibudidayakan dalam bentuk hutan rakyat.

Pengelolaan hutan rakyat bertujuan untuk mencapai esistensi masyarakat desa hutan rakyat adalah dengan proses pembangunan yang memuat berbagai proses, yang terdiri dari : perubahan perencanaan ( planned change), transformasi struktural (structural transformation), otonomi (autonomy) dan keberlanjutan (suistainability). Perubahan terencana menekankan pada keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sejak tahap awal (perencanaan) sampai pada tahap pemasaran hasil. Keterlibatan masyarakat sebagai pemilik lahan hutan rakyat adalah sebuah syarat yang harus dipenuhi untuk menjamin adanya adanya perencanaan yang sesuai dengan kondisi dan kemauan masyarakat sebagai pengelola hutan rakyat, transformasi struktural adalah suatu proses terciptanya struktur secara mendasar dan lebih baik yang berisikan pemberdayaan yang memberikan ruang agar masyarakat dapat mengembangkan kebudayaannya, otonomi adalah cara untuk mengembalikan wewenang pengelolaan hutan kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan ekonomi rakyat dengan memberikan posisi yang sama dengan stakeholder kehutanan lainnya. Otonomi menghendaki adanya keanekaan dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang sesuai denga berbagai kondisi masyarakat. Konsep keberlanjutan mewajibkan adanya tanggung jawab generasi masa sekarang dalam mengelola kehutanan tanpa mengurangi


(31)

kesempatan generasi akan dating untuk menikmati hal yang sama dengan memperhatikan kelestarian fungsi-fungsi hutan (Awang, 2005).

Pola Hutan Rakyat

Berdasarkan kepemilikan jenis lahan, usahatani yang dilakukan oleh petani hutan rakyat secara fisik memiliki pola tanam yang sangat beragam. Sebagian besar hutan rakyat pada umumnya menggunakan pola tanam campuran (wanatani), yaitu campuran tanaman pangan dengan tanaman kayu-kayuan. Menurut Munawar (1986) berdasarkan pola tanam, hutan rakyat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu:

a. Penanaman di sepanjang batas milik b. Penanaman pohon di teras bangku c. Penanaman pohon di seluruh lahan milik

Pola-pola tersebut secara arif dikembangkan masyarakat sesuai dengan tingkat kesuburan lahan dan ketersedian tenaga kerja. Tujuan pengembangan pola seperti yang telah di sebutkan diatas adalah dalam rangka meningkatkan produksi lahan secara optimal, baik dilihat dari nilai ekologi maupun ekonomi. Berdasarkan rencana pengembangan hutan rakyat yang disusun oleh Kanwil Daerah Istimewa Yogyakarta, pola-pola hutan rakyat meliputi kayu-kayuan, buah-buahan, HMT (hijauan makanan ternak) dan campuran, kebun, pangan dan hortikultura serta tegalan (Munawar, 1986).


(32)

Waktu Penelitian

Kegiatan Penelitian dilaksanakan berdasarkan survei yang telah dilakukan di lapangan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2008 sampai Juli 2009.

Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tiga kecamatan di Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Dua desa pada Kecamatan Salapian yaitu Desa Minta Kasih dan Turangi. Satu desa di Kecamatan Bahorok yaitu Desa Musam Kendit. Dua desa di Kecamatan Kutambaru yaitu Desa Pernantian dan Sulkam.

Kabupaten Langkat terletak diantara 30 14'-140 13' LU dan 970 52'-980 45' BT, secara administratif terdiri dari 20 kecamatan dengan 215 desa dan 15 kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Langkat adalah 6.263,29 Km2 atau 626.329 Ha dengan jumlah penduduk 926.069 jiwa. Iklim di wilayah Kabupaten Langkat termasuk tropis dengan indikator iklim yaitu musim kemarau yang berlangsung mulai Februari s/d Agustus. Musim hujan berlangsung mulai September s/d Januari. Curah hujan rata-rata 3,268 mm/tahun. Suhu rata-rata 280 C-300 C. Wilayah kabupaten Langkat meliputi kawasan hutan lindung dan kawasan lahan budidaya.

Bahan dan Alat

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam kegiatan adalah :

1. Peta wilayah kabupaten dan dokumen lain yang berkaitan dengan lokasi studi. 2. Kuesioner untuk mengumpulkan data sekunder maupun primer.


(33)

3. Laporan-laporan hasil penelitian (individu dan lembaga) terdahulu dan berbagai pustaka penunjang sebagai sumber data sekunder untuk melengkapi pengamatan langsung di lapangan.

4. Tape recorder untuk pengumpulan informasi melalui wawancara dan kamera untuk

dokumentasi dan visualisasi obyek kegiatan guna kelengkapan pelaporan.

5. Alat inventarisasi hutan (pita ukur, phiband, GPS, Clinometer, kamera digital dan

tally sheet).

Objek dan Data Kegiatan Objek Kegiatan

Kegiatan melibatkan pihak yang terkait dengan pengelolaan dan hutan rakyat di wilayah studi dengan objek penelitian :

1. Aparat desa yaitu tokoh masyarakat dan masyarakat setempat 2. Kawasan hutan rakyat baik pekarangan, kebun maupun ladang Data Penelitian

Data penelitian yang diambil adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan adalah kondisi umum lokasi penelitian atau data umum yang ada pada instansi pemerintahan desa dan kecamatan. Sedangkan data primer yang dikumpulkan adalah data sosial ekonomi masyarakat, bentuk pengelolaan dan hasil penelitian yang terkait dengan tujuan penelitian.

Metode Pengumpulan Data Pengambilan Sampel


(34)

Pendekatan yang digunakan dalam menentukan lokasi penelitian adalah metode

purposive sampling (penarikan contoh secara bertujuan), desa berasal dari 3

kecamatan yang berada di Kabupaten Langkat yaitu Kecamatan Salapian (Desa Minta Kasih dan Turangi) Kecamatan Kutambaru (Desa Sulkam dan Pernantian) dan Kecamatan Bahorok (Desa Musam Kendit).

Sampel responden

Responden yang diambil dalam penelitian berjumlah 14 KK karena dari hasil penelitian hanya 14 KK yang memiliki lahan hutan rakyat yang berada di lokasi penelitian.

Sampel pohon

Sampel pohon diambil untuk memperoleh data potensi tegakan. Data potensi tegakan diperoleh dengan membuat 3 plot contoh berbentuk lingkaran dengan jari-jari 17,8 meter dan luas masing-masing plot 0,1 ha pada masing-masing lahan pemilik hutan rakyat (responden). Dihitung jumlah pohon dalam plot dan diukur diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pohonnya.

Teknik dan Tahapan Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan secara langsung di lapangan sebagai berikut:

1. Identifikasi jenis dan inventarisasi tanaman hutan yang dibudidayakan masyarakat di wilayah studi.

2. Melakukan observasi dan analisis pengelolaan tanaman hutan rakyat yang ada di lapangan untuk memperoleh informasi mengenai proses pengelolaannya.


(35)

3. Wawancara dan diskusi dengan menggunakan kuesioner terhadap para pelaku (aktor utama) yang mewakili dan para pihak pemangku kepentingan dalam pengelolaan tanaman hutan rakyat.

4. Keseluruhan data, baik primer maupun sekunder selanjutnya diedit dan ditabulasikan sesuai dengan kebutuhan sebelum dilakukan pengolahan dan analisis data. Data primer yang bersifat kualitatif dianalisis secara deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian, serta dilakukan analisis para pihak untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan hutan rakyat. Sedangkan data yang bersifat kuantitatif diolah secara tabulasi.

Teknik untuk memperoleh informasi dan data dari responden dilakukan dengan wawancara dan pengukuran langsung di lapangan. Informasi yang diperoleh dari setiap responden meliputi:

a. Identifikasi diri responden.

b. Luas lahan yang digunakan untuk tanaman hutan rakyat.

c. Jenis kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan tanaman hutan rakyat atau teknis budidaya (penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan) serta waktu kegiatan tersebut dilakukan.

d. Kebutuhan input untuk kegiatan budidaya hutan rakyat dan harga input yang digunakan.

e. Metode penjualan hasil kayu yang dilakukan petani dan harga jualnya.

f. Potensi tanaman hutan rakyat yang dibudidayakan yang meliputi jenis, sebaran diameter, tinggi pohon, luas bidang dasar, dan volume tegakan.


(36)

Potensi Tanaman Hutan Rakyat

Data potensi tegakan diukur dengan membuat 3 petak ukur contoh berbentuk lingkaran dengan luas 0,1 Ha dan jari-jari sebesar 17,8 meter pada masing-masing lahan responden. Dihitung jumlah pohon yang ada dalam plot dan diukur diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pohonnya. Alat yang digunakan antara lain adalah pita ukur, clinometer dan tali rafia. Penaksiran potensi kayu tanaman hutan rakyat dimulai dengan perhitungan potensi tanaman hutan rakyat yang dimiliki oleh setiap sampel responden pada desa / wilayah kajian. Hasil inventarisasi kayu pada tanaman hutan rakyat yaitu parameter-parameter tegakannya (jenis pohon, jumlah pohon, luas bidang dasar (Lbds) dan volume per satuan luas ) dapat dihitung (Simon, 1993).

Lbds dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Lbds = 0,25 x π x Di2 Keterangan:

Lbds : Luas bidang dasar tegakan (m2)

Di : Diameter batang (tinggi pengukuran 1,3 m) untuk pohon jenis i (m)

Menurut Widayanti dan Riyanto (2005) penghitungan volume tegakan berdiri tanaman hutan rakyat dapat dihitung dengan rumus berikut:

Vi = Lbds x ti x fi Dimana:

Vi : Volume pohon jenis i (m3) ti : Tinggi total pohon jenis i (m)

fi : Bilangan bentuk pohon i (jati : 0,6 dan jenis lainnya : 0,7)

Data yang diperoleh disusun dan diolah dalam bentuk tabulasi dan grafik. Analisa data dilakukan secara deskriptif berdasarkan tabulasi dan grafik yang didapat.


(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Hutan Rakyat Pola Pengelolaan Hutan Rakyat

Berdasarkan kepemilikan jenis lahan, usaha tani yang dilakukan oleh petani hutan rakyat secara fisik memiliki pola tanam yang sangat beragam. Pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok dilakukan oleh masyarakat, dimana pemilik lahan menanam pohon di lahan miliknya sendiri tanpa adanya bantuan dari pemerintah (pola swadaya). Hal ini sesuai dengan literatur lembaga penelitian IPB (1983) yang membagi hutan rakyat kedalam tiga bentuk yaitu:


(38)

(a). Hutan rakyat murni (monoculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur. Hutan rakyat murni/monokultur di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok memiliki komponen penyusun seperti tanaman jati (Tectona

grandis) dan mahoni (Swietenia mahagoni). Pola hutan rakyat murni/monokultur

yang dijumpai dilapangan seperti disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Pola tanam hutan rakyat murni/monoculture (mahoni)

(b). Hutan rakyat campuran (polyculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohon yang ditanam secara campuran. Hutan rakyat campuran di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok memiliki komponen penyusun seperti tanaman mahoni (Switenia mahagoni), durian (Durio

zibethinus), kemiri (Aleurites moluccana), manggis (Garcinia mangostana),

rambutan (Nephelium lappaceum), langsat (Lansium domesticum) dan kuweni (Mangifera odorata). Pola hutan rakyat campuran yang dijumpai dilapangan seperti disajikan pada Gambar 2.


(39)

Gambar 2. Pola tanam hutan rakyat campuran

(c). Hutan rakyat wanatani (agroforestry), yaitu yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usahatani lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan lain-lain yang dikembangkan secara terpadu. Hutan rakyat agroforestri di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan

Bahorok memiliki komponen penyusun seperti tanaman coklat (Theobroma cacao), durian (Durio zibethinus), karet (Havea brasiliensis) dan sawit

(Elaeis guineensis). Pada hutan rakyat di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok ketiga bentuk pengelolaan seperti diatas telah dilakukan, dimana masing-masing pemilik lahan memiliki bentuk pengelolaan yang berbeda-beda berdasarkan jenis tanaman yang ditanam. Pola hutan rakyat agroforestri yang dijumpai di lapangan seperti disajikan pada Gambar 3.


(40)

kehutanan (durian, mahoni dan jati ) dan tanaman perkebunan (coklat)

Bentuk pengelolaan berdasarkan pemilik lahan dengan luasan yang dikelola berkisar antara 0,8-2,5 Ha. Hasil tabulasi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Bentuk pengelolaan hutan rakyat

No. Bantuk pengelolaan Desa

Luas (Ha)

Jumlah responden

1 Hutan rakyat murni Mintakasih, Sulkam, Musam Kendit 6,5 5

2

Hutan rakyat campuran

Mintakasih, Turangi, Sulkam, Musam

Kendit 11,3 6

3 Agroforestri Pernantian, Musam Kendit 5,2 3

Total 23 14

Tabel 1 menunjukan bahwa ketiga bentuk pengelolaan hutan rakyat diatas telah dilakukan, dimana masing-masing pemilik lahan memiliki bentuk pengelolaan yang berbeda-beda berdasarkan jenis tanaman yang ditanam dan luas lahan yang dimiliki. Akan tetapi yang paling dominan yaitu bentuk pengelolaan hutan rakyat campuran. Pola Subsidi tidak ditemukan di lokasi penelitian karena pola ini dilakukan pada saat melakukan program penghijauan dari pemerintah dijalankan. Pengelolaan pola subsidi mengupayakan bantuan dari pemerintah berupa bibit dan pupuk, akan tetapi dikelola di tanah milik masyarakat.

Pola Penggunaan Lahan

Pola penggunaan lahan pada hutan rakyat di 3 kecamatan (Salapian, Kutambaru dan Bahorok), di Kabupaten Langkat dilakukan dengan penanaman tanaman kehutanan (berkayu) dengan tanaman pertanian yang dilakukan secara intensif. Pola penggunaan lahan di 3 kecamatan (Salapian, Kutambaru dan Bahorok) disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Pola penggunaan lahan di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok

No Pola penggunaan lahan Jumlah

desa

Keterangan

1 Intensif (monokultur) 6 Adanya kegiatan pemeliharaan tanaman

yag memerlukan banyak perlakuan berupa: persiapan lahan, pemilihan kualitas bibit penyemaian,


(41)

penyiangan/penyulaman, pendangiran, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit tanaman.

2 Semi intensif

(agroforestri)

8 Tanaman yang ditanam merupakan

perpaduan antara tanaman musiman, tahunan, yang tanaman penyelanya seperti tanaman colat yang proses pemeliharaanya 6 bulan sekali dan tidak memerlukan banyak perlakuan, sebagian besar tanaman tersebut jarang terserang penyakit/hama, akan tetapi pemeliharaannya hanya diutamakan pada saat penanaman sampai tanaman berumur 6 bulan.

Tabel 2 menunjukkan bahwa bentuk pengelolaan lahan di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok adalah intensif dan semi intensif. Persentase pengelolaan lahan yang intensif berkisar 42,85 % sedangkan yang tidak intensif 57,14 %. Menurut Prakosa (2004), tahapan penyusunan rancangan pembuatan tanaman dengan sistem silvikultur intensif meliputi tahapan persiapan lahan, penataan lokasi dan areal tanaman, pengolahan tanah dan pembuatan lubang tanaman, pembibitan, penanaman, pemeliharaan serta pengelolaan tanaman. Pola penggunaan lahan intensif dipengaruhi dengan adanya tanaman pertanian yang bersifat musiman atau pemeliharaan. Hal ini bertujuan agar mendapatkan keuntungan yang maksimal dari pemungutan hasil tanaman pertanian tersebut. Hutan rakyat lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dari pemilik lahan tersebut.

Struktur Tegakan dan Rasio Pohon

Kayu pada hutan rakyat memiliki diameter mulai dari 20-40 cm. Hutan rakyat ini merupakan tanaman yang dibudidayakan, oleh karena itu kelas diameternya dapat dikatakan seragam untuk satu lahan milik tertentu. Hubungan antara kelas diameter dengan jumlah batang dapat dilihat pada Gambar 4.


(42)

Gambar 4.Hubungan antara kelas diameter dan jumlah batang

Berdasarkan Gambar 4 struktur tegakan kayu pada hutan rakyat di lokasi penelitian berkisar antara 11 cm sampai >41 cm dengan jumlah pohon yang mendominasi yaitu pada kelas diameter 11-20 cm dan jumlah pohon pada kelas diameter 31-40 cm berada pada jumlah terkecil. Menurut Suhardjito (2000) jenis pohon yang siap panen menurut ketentuan para petani secara tidak tertulis adalah jika diameter pohon mencapai 30 cm. Pada grafik diatas, jumlah pohon yang berada pada kelas diameter 11-20 cm mendominasi, maka pohon-pohon tersebut belum siap dipanen oleh para petani, namun pohon-pohon tersebut tetap memberi nilai secara ekonomis karena pada tahun siap tebang, pohon tersebut bisa dimanfaatkan. Perbandingan antara pohon kayu dan pohon berbuah dapat dilihat pada diagram di bawah ini.

214

190

110

174

0 50 100 150 200 250

11-20 cm 21-30 cm 31-40 cm >41 cm Kelas Diameter (cm)

Jumlah Pohon

pohon berkayu; 570; 85% pohon

berbuah; 103; 15%

Perbandingan Jumlah Pohon Berkayu

dengan Pohon Berbuah


(43)

Gambar 5. Rasio jumlah pohon kayu dan pohon buah

Berdasarkan Gambar 5 rasio perbandingan pohon berkayu dengan pohon berbuah menunjukkan jumlah pohon berkayu berada pada jumlah yang paling besar yaitu 570 pohon (85 %), sedangkan pohon berbuah berada pada jumlah yang paling kecil yaitu sebesar 103 pohon (15 %), atau perbandingan antara jumlah pohon berkayu dengan pohon berbuah adalah 1:6. Hal ini berarti pada hutan rakyat di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok merupakan hutan rakyat yang mengutamakan kayu sebagai pemenuhan kebutuhan pasar. Sesuai dengan pendapat Suhardjito (2000) yang menyatakan bahwa kayu dari hutan rakyat, baik kayu gelondongan maupun kayu rencekan (kayu bakar) merupakan simpanan kekayaan (tabungan) yang akan dipanen bila petani sangat membutuhkan saja. Salah satu jenis pohon yang dipanen kayunya di 3 kecamatan ini adalah mahoni dan jati. kayu gelondongan biasanya digunakan sebagai bahan bangunan atau bahan baku mebel sedangkan kayu rencekan yaitu kayu yang diambil dari sisa pemanenan biasanya yang berdiameter 5-15 cm, yang digunakan sebagai kayu bakar.

Potensi Tegakan Hutan Rakyat

Taksiran potensi tegakan hutan rakyat pada setiap lahan responden dilakukan terhadap 14 KK petani hutan rakyat, dimana 5 KK masih memiliki hutan rakyat tetapi belum memanen kayunya. Taksiran volume total (potensi) hutan rakyat di 14 desa di kecamatan tersebut disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Taksiran potensi tegakan tanaman hutan rakyat pada setiap lahan responden No. Luas lahan

(Ha)

Volume total (m3) Bentuk

pengeloaan

Desa Volume kelas diameter (m³)


(44)

20cm 30cm 40cm

1 1 ha Agroforestri Mintakasih 12,2 5,6 6,1 14,1 38,0

2 2 ha Agroforestri Mintakasih 10,1 5,5 10,3 7,1 33,1

3 0.8 ha Agroforestri Turangi 4,8 14,0 5,5 0,0 24,3

4 2.5 ha Agroforestri Pernantian 0,0 0,0 0,0 9,1 9,1

5 1.5 ha Monokultur Pernantian 0,0 2,6 0,7 0,0 3,3

6 1.7 ha Campuran Pernantian 0,0 0,8 3,5 3,0 7,3

7 2 ha Campuran Sulkam 0,0 0,6 3,1 1,6 5,3

8 1 ha Agroforestri Sulkam 0,0 0,0 1,1 7,8 9,0

9 1 ha Agroforestri Sullkam 3,8 9,2 0,7 7,1 20,9

10 2 ha Campuran Sulkam 0,0 0,0 0,0 6,6 6,6

11 1.5 ha Monokultur Kendit 0,0 0,0 1,1 7,8 9,0

12 2 ha Agroforestri Kendit 0,0 0,0 4,1 6,9 11,1

13 2 ha Monokultur Kendit 0,0 0,8 3,3 7,2 11,4

14 2 ha Monokultur Kendit 4,4 10,0 1,0 6,4 21,7

Total 23 ha 32,6 49,2 40,6 84,7 209,8

Berdasarkan tabel 3 taksiran volume total (potensi) tegakan hutan rakyat yang diperoleh pada lokasi penelitian adalah sebesar 209 m3 dengan luas total mencapai 23 Ha dan potensi per hektar sebesar 14,98 m3.Total luas lahan hutan rakyat di empat desa tersebut tergolong rendah, demikian juga pada masing-masing luas lahan responden yang juga rendah. Data tersebut menunjukkan luas hutan rakyat yang masih ada atau tersisa di 14 desa. Diduga hal tersebut disebabkan sebagian besar masyarakat pemilik hutan rakyat di desa ini sudah memanen kayunya. Hasil wawancara yang telah dilakukan dengan Kepala Desa dan salah satu masyarakat/petani pemilik maupun pengelola hutan rakyat juga menunjukkan bahwa di tiga kecamatan ini sudah mulai memanen dan menjual kayu hutan rakyatnya tahun 2007-2008. Menurut Jaffar (1993), hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat/petani hutan rakyat di desa tersebut merasakan manfaatnya dalam bentuk pertambahan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan selain manfaat ekologis merehabilitasi lahan–lahan kritis yang terlantar.


(45)

Lahan milik Muhammad Bangun memiliki potensi tegakan yang besar dengan volume total 18,1 m3 dengan luas lahan 1 Ha. Golongan Tarigan memiliki potensi tegakan yang paling kecil yaitu dengan volume total 1,56 m3 dengan luas lahan 1,5 Ha. Diameter tegakan hutan rakyat berdasarkan tabel 3 diatas, dapat dibagi menjadi 4 kelas diameter. Rata-rata dari 4 kelas diameter ini dapat dikatakan bahwa tegakan hutan rakyat ini belum layak tebang/panen, karena diameternya ± 11 cm (tidak memenuhi syarat minimal industri pembeli), akan tetapi ada diameter pohon yang mencapai 47 cm tetapi hanya sebagian pohon saja.

Hasil Hutan Kayu

Kayu yang dijual oleh masyarakat pemilik hutan rakyat di 14 desa, di tiga kecamatan, di Kabupaten Langkat, biasanya melalui agen kayu terlebih dahulu. Agen kayu adalah seseorang yang pekerjaannya adalah mencari dan menyediakan kayu dari lahan-lahan petani/pemilik hutan rakyat kepada pengusaha-pengusaha kayu rakyat (pembeli kayu), baik pengusaha industri kecil maupun besar untuk keperluan sumber bahan baku bagi industri tersebut. Agen kayu di desa ini dalam hal ini adalah seorang penduduk yang berdomisili di desa tersebut.

Agen kayu memiliki keahlian dalam mencari kayu dan menaksir/menghitung berapa kira-kira volume kayu yang dapat dihasilkan dari suatu lahan hutan rakyat yang benar-benar layak untuk dipasarkan, dengan demikian agen kayu ini dapat memberikan keterangan/informasi kepada pengusaha kayu yang sedang mencari kayu, yaitu berapa jumlah pohon dan volume kayu yang dapat dihasilkan di pabrik/kilang kayu. Agen kayu dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan dari pengusaha kayu atau dengan perkataan lain agen kayu merupakan penyedia jasa bagi para pengusaha kayu yang


(46)

memang benar–benar membutuhkan jasanya. Pengusaha kayu harus membayar jasa kepada agen kayu tersebut, dan besarnya nilai/nominal jasa yang harus dibayarkan tersebut adalah tergantung kesepakatan dan negosiasi diantara mereka.

Sistem penjualan kayu jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia mahagoni) di empat desa yang menjadi lokasi penelitian penulis melalui sistem borongan. Sistem ini dikatakan sistem borong bila pengusaha (pembeli) melalui agen kayu datang dan berminat membeli kayu-kayu tersebut kepada pemilik kayu, kemudian agen kayu akan menaksir/memperkirakan berapa kira-kira kubikasi kayu yang dapat dihasilkan dari kayu–kayu tersebut. Pembeli kayu membeli kayu-kayu tersebut dalam keadaan pohon berdiri lalu dihitung jumlahnya dan dikalikan dengan harga per pohonnya sesuai dengan kesepakatan antara pembeli dan pemilik, kemudian transaksi pun dilakukan antara pembeli kayu dengan pemilik kayu. Cara penjualan seperti ini banyak dilakukan petani karena dianggap mudah dan praktis, sehingga tidak menyusahkan petani sekaligus pemilik hutan rakyat.

Kesepakatan harga yang sudah didapat menunjukkan bahwa pemanenan dapat dilaksanakan. Pemilik lahan di desa ini biasanya dapat menerima bersih, yang berarti pengusaha/pembeli yang mengurus semua kegiatan operasional dan mengeluarkan biaya yang diperlukan dalam kegiatan penebangan, pengangkutan, pemasaran, dan termasuk perijinan. Perijinan dalam menebang pohon, mengangkut, dan memasarkan kayu dari hutan tanah milik harus dimiliki. Perijinan yang dimaksud adalah ijin pemanfaatan kayu pada tanah milik (IPKTM).

IPKTM merupakan surat ijin atau wewenang tertulis untuk kegiatan penebangan pohon, pengumpulan, pengangkutan dan pemasaran kayu yang menjadi suatu bukti kelegalitasan kayunya, atau surat keterangan yang menyatakan sahnya


(47)

pengangkutan, penguasaan atau kepemilikan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat. IPKTM dapat diberikan pada setiap orang atau badan hukum atau koperasi yang melakukan kegiatan pemanfaatan kayu pada tanah milik yang tumbuh hasil tanaman.

Prosedur penjualan dan sekaligus perijinan (IPKTM) yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Seseorang yang memiliki kayu dan mau menjualnya harus terlebih dahulu mengurus surat keterangan tanah (SKT) dari Kepala Desa. SKT berisikan bahwa pemilik benar memiliki suatu tanah/lahan yang disertai dengan luasnya dan diatasnya ditumbuhi jenis pohon yang disertai dengan jumlahnya.

2) Kepala desa meninjau lokasi untuk mengecek kebenaran keberadaan lahan dan kayu (pohon) di lahan pemilik tersebut.

3) Setelah SKT selesai diurus dan sudah diperoleh pemilik, lalu diurus akte tanah dari camat setempat.

4) Setelah akte tanah selesai diurus, maka SKT diserahkan kepada pembeli/pengusaha, lalu pembeli mengusulkan permohonan penebangan kayu ke Dinas Kehutanan dengan menyertakan SKT, surat jual beli yang sudah ditandatangani oleh si pemilik lahan dan si pembeli dilengkapi dengan kopi KTP.

5) Petugas Dinas Kehutanan akan datang ke lokasi/lahan hutan rakyat yang bersangkutan untuk melakukan cruising (peninjauan resmi ke lokasi).

6) Setelah cruising, maka IPKTM dapat dikeluarkan lalu penebangan kayu bisa dikerjakan. Biaya yang dikenakan dalam IPKTM ini adalah sebesar Rp 100.000 per surat.


(48)

Pengusaha kayu rakyat menjual kayu dari hasil hutan rakyat ke panglong (usaha dagang kayu) maupun industri pengolahan kayu skala kecil dan menengah, (misal industri kayu gergajian, industri mebel lokal dan lain-lain).

Kayu dari hutan rakyat diolah untuk berbagai kegunaan seperti bahan pertukangan, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Harga kayu yang dijual oleh pengusaha kayu rakyat di pabrik/industri pengolahan kayu adalah Rp 180.000 per meter kubik. Industri kayu gergajian misalnya, akan mengolah kayu log menjadi kayu gergajian, kemudian kayu gergajian tersebut akan dibeli oleh industri– industri mebel lokal sebagai bahan baku.

Hasil Hutan Non kayu

Langsat (Lansium domesticum)

Petani menjual langsat langsung kepada pedagang pengumpul (penadah). Petani biasanya hanya mengeluarkan biaya berupa upah panjat sebesar Rp. 50.000 per orang. Biasanya tenaga kerja yang dibutuhkan 4-5 orang. Pengangkutan buah langsat ditanggung oleh pedagang pengumpul sekitar Rp. 4.000/kg.

Coklat (Theobroma cacao)

Coklat yang dijual merupakan coklat yang sudah dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan menjemur di halaman rumah. Harga coklat yang dijual ke pasar sekitar Rp. 20.000/kg. Pemasaran coklat kering ada dua bagian, pertama petani yang langsung menjual ke pasar sedangkan yang kedua dijual kepada pedagang pengumpul yang membeli coklat kepada petani. Pada pemasaran coklat, jika rantai pemasaran diperpendek harga jual coklat hanya naik Rp. 1000/kg.


(49)

Hasil wawancara dengan responden (pemilik atau pengelola lahan) volume maksimal dari tanaman coklat yang diperoleh petani diperoleh petani setiap kali panen maksimal 40 kg. Petani yang memasarkan sendiri akan mendapatkan hasil yang tidak terlalu jauh perbedaannya jika dibandingkan dengan menjual ke pedagang pengumpul. Resiko yang dimiliki petani cukup besar karena menjual sendiri, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu untuk bahan mentah dan secara kuantitas juga hasilnya tidak begitu besar, sehingga kebanyakan petani memutuskan untuk menjual pada pedagang pengumpul.

Durian (Durio zibethinus)

Rantai pemasaran durian tidak terlalu rumit, sama dengan pemasaran duku. Durian yang telah jatuh kemudian dikumpulkan oleh petani pada pondok-pondok kecil di lahan tersebut. Hasil yang terkumpul kemudian dijual pada pedagang pengumpul atau ada juga yang dibeli langsung oleh konsumen. Durian dijual dengan harga Rp. 4000- per gambang. Pembeli secara langsung menyediakan alat angkut untuk membawa durian.

Kelapa (Cocos nucifera)

Harga kelapa di tingkat pengumpul rendah dibandingkan bila kelapa dijual sendiri ke pasar. Jika dijual pada pedagang harganya Rp. 3000/kg, sementara di pasar harganya mencapai Rp. 5000/ kg.

Pinang (Areca catechu)

Pemasaran pinang memiliki jalur yang sama seperti kelapa, harga pinang di tingkat pengumpul rendah dibandingkan bila pinang dijual sendiri ke pasar. Jika dijual pada pedagang harganya Rp. 3000/kg. Sementara di pasar harganya mencapai Rp. 5000/ kg.


(50)

Manggis (Garcinia mangostana)

Pemasaran manggis tidak terlalu rumit, pada setiap panen biasanya penadah (pengumpul) membeli manggis langsung ke petani per pohon, harganya tergantung dari jumlah manggis per pohon. Penadah nantinya menjual langsung ke pasar. Harga manggis yang dibeli penadah biasanya berkisar Rp. 300/buah.

Rambutan (Nephelium lappaceum)

Sistem pemasaran buah rambutan juga sama seperti pada buah manggis. Setiap panen biasanya penadah (pengumpul) membeli rambutan langsung ke petani per pohonnya, harganya tergantung dari jumlah rambutan per pohon. Penadah nantinya menjual langsung ke pasar. Harga manggis yang dibeli penadah per pohon biasanya berkisar Rp. 300.000/pohon.

Kuweni (Mangifera odorata)

Petani menjual kueni langsung kepada pedagang pengumpul (penadah). Petani biasanya hanya mengeluarkan biaya berupa upah panjat sebesar Rp. 70.000 per pohon. Biasanya tenaga kerja yang dibutuhkan 3-4 orang. Pengangkutan buah kueni ditanggung oleh pedagang pengumpul sekitar Rp. 4.500/kg.

Rambe (Lansium domesticum)

Petani menjual rambe langsung kepada pedagang pengumpul (penadah). Petani tidak mengeluarkan biaya tenaga kerja dan angkutan lagi. Biasanya petani menjual rambe per pohon dengan harga Rp. 500.000/pohon.

Sawit (Elaeis guineensis)

Petani menjual sawit langsung kepada pedagang pengumpul (penadah). Dengan rantai pemasaran sama dengan pemasaran langsat. Petani biasanya tidak mengeluarkan biaya berupa upah karena mereka melakukan pemungutan sendiri. Pengangkutan buah


(51)

sawit ditanggung oleh pedagang pengumpul (penadah). dengan harga berkisar rata-rata Rp.750/ kg.

Karet (Havea brassiliensis)

Hasil dari komoditas karet yang dijual berupa getah yang sudah padat atau menggumpal. Harga getah karet di pasar mencapai Rp. 7500/ kg. Pemasaran karet sama dengan pemasaran coklat, pertama petani yang langsung menjual ke pasar sedangkan yang kedua dijual kepada pedagang pengumpul yang membeli getah karet kepada petani. Harga jual di pasaran adalah Rp. 8.000/kg. Resiko yang dimiliki petani cukup besar karena menjual sendiri, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu untuk bahan mentah dan secara kuantitas juga hasilnya tidak begitu besar. Untuk model pemasaran getah karet sama dengan pemasaran coklat.

Manfaat Ekonomis yang Diperoleh dari Hutan Rakyat

Hutan rakyat sebenarnya sudah ada sejak zaman nenek moyang dahulu. Dimana hutan rakyat ini memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Banyak manfaat yang mereka rasakan atas keberadaan hutan rakyat, baik itu manfaat intangible dan tangible. Manfaat intangible adalah manfaat hutan yang tidak terwujud tetapi hanya dapat dirasakan oleh masyararakat.

Hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat terdapat manfaat intagible dapat dirasakan masyarakat. Hutan rakyat memiliki fungsi berarti sebagai penahan erosi atau banjir, tempat penyimpanan air, longsor dan sebagai kawasan perladangan. Manfaat tangible adalah manfaat hasil hutan yang bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, manfaat tangible yang dapat dirasakan mawyarakat dari hutan rakyat adalah dapat menjadi tabungan untuk


(52)

masyarakat di masa depan. Karena masa panennya yang cukup lama, selain ittu sebagai sumber makanan dan tanaman obat.

Kawasan hutan rakyat Juga merupakan daerah tangkapan air yang dapat menjadi sumber mata air untuk keperluan sehari-hari, mereka tidak perlu membuat sumur hanya untuk sekedar mendapatkan air. Karena air yang mengalir dari hutan cukup berlimpah untuk dimanfaatkan bagi masyarakat hutan. Tujuan pembangunan hutan rakyat menurut Jaffar (1993) adalah:

1. Meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari

2. Membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat 3. Membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku

industri serta kayu bakar

4. Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya

5. Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan di 3 kecamatan (Salapian, Kutambaru dan Bahorok) terhadap 14 kepala keluarga (KK) pemilik hutan rakyat (petani hutan rakyat), ternyata pada tahun 2009 terdapat 8 KK yang sudah memanen hasil hutan rakyat dan 6 KK lagi belum memanen hasil hutan rakyat. Kontribusi penambahan pendapatan petani dari hutan rakyat (hasil hutan kayu dan non kayu) pada tahun 2009 adalah sebesar Rp 820.040.000 atau menambah pendapatan masyarakat sebesar 40,74 %.


(53)

Hutan rakyat dapat memberikan manfaat ganda dan dampak yang cukup besar dalam menambah pendapatan petani baik berupa kayu maupun non kayu. Kontribusi yang diberikan hutan rakyat di desa ini di sajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga petani Hutan

rakyat murni (Rp)

Hutan rakyat campuran (Rp)

Hutan rakyat agroforestri (Rp)

Gaji/Upah

(Rp) Jumlah (Rp) 190.410.000 118.870.000 24.870.000 456.000.000 820.040.000

(23,22 %) (14,49 %) (3,03 %) (55,60 %) (100 %)

Tabel 4 menunjukan bahwa hutan rakyat memiliki peringkat ke-2 setelah sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa petani belum sepenuhnya menggantungkan kehidupannya dari sektor kehutanan (hutan rakyat) khususnya dari hasil kayunya. Kontribusi dari hutan rakyat hanya sebesar 3,03 %, hal ini disebabkan karena:

Pengusahaan kayu yang murah dan relatif lama

Tanaman kehutanan memiliki umur 5-8 tahun baru bisa ditebang. Bagi pemilik lahan ketika mindi dipanen dengan sistem tebang habis, namun pada kenyataannya para petani memanen tanaman berkayu pada umur 5-6 tahun. Pada umur 5-6 tahun kayunya dijual dengan harga yang relatif murah, sehingga kontribusi yang diperoleh petani relatif kecil. Petani lebih cenderung untuk mengusahakan jenis tanaman yang tidak membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan seperti coklat (Theobroma cacao), langsat (Lansium domesticum), manggis (Garcinia mangostana), rambutan (Nephelium

lappaceum) karena tanaman campuran ini memiliki masa panen lebih dari dua kali

dalam setahun.

Tanaman langsat misalnya, biasanya dapat menghasilkan 2-3 kali dalam setahun, coklat 40 kali dalam setahun, dan sebagainya. Selama jangka waktu 5-8 tahun secara ekonomis sektor pertanian dapat menjadi sumbangsih yang terbesar.


(54)

Luas lahan yang semakin berkurang

Budidaya hutan rakyat yang dilakukan oleh masing-masing petani tidak dapat menjamin kelestarian hasil, dimana sistem penjualan tegakan sering dilakukan secara borongan dan penebangan sering dilakukan secara tebang habis. Hal ini salah satunya disebabkan karena kondisi ekonomi petani yang cukup rendah sehingga sering petani menjual tegakan hutan rakyat yang belum masak tebang (diameter <16 cm). Hal ini membuat kondisi luas hutan rakyat semakin cepat berkurang sehingga akhirnya kontribusi yang diberikan hutan rakyat pun semakin menurun.

Akses terhadap pasar lemah

Petani hutan rakyat biasanya menjual hasil kayunya dalam bentuk pohon berdiri dengan sistem borongan. Pengusaha yang berminat membeli mendatangi lokasi hutan rakyat, kemudian melakukan inventarisasi untuk menentukan volume kayu. Sistem penjualan seperti ini banyak dilakukan oleh petani karena dianggap lebih praktis.

Harga borongan ditentukan dengan memperhatikan beberapa faktor diantaranya adalah volume/kubikasi, kualitas kayu, aksesibilitas, topografi, dan sebagainya yang sangat menentukan biaya penebangan. Posisi tawar petani dalam hal ini cenderung rendah karena petani menerima bersih dari hasil penjualan kayu tanpa harus mengeluarkan biaya/upah untuk penebangan. Pengusaha mempunyai kewenangan yang cukup besar sebagai penentu harga dengan adanya faktor-faktor tersebut, namun petani dimudahkan karena tidak perlu memasarkannya ke panglong/penerima.

Secara teori petani akan mendapat nilai ekonomi yang lebih besar jika mampu mengolah sendiri kayu tersebut karena produksi kayu dari hutan rakyat cukup besar. Hal


(55)

ini berkaitan dengan lemahnya akses pasar dimana petani tidak mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam memasarkan hasil kayunya. Hal ini terkait dengan lemahnya petani terhadap akses pasar terutama harga, terbatasnya pengusaha sebagai pembeli, serta kemudahan dan kepraktisan yang diperoleh petani dengan sistem pemasaran yang ada sehingga petani tidak bisa memasarkan kayu langsung kepada konsumen.

Hutan rakyat masih dapat menjadi sumber penghasilan yang cukup dalam menambah pendapatan petani atau dengan kata lain hutan rakyat sangat membantu dalam perekonomian petani. Hal ini didukung dengan pernyataan Jaffar (1993), yang menyatakan bahwa salah satu tujuan pembangunan hutan rakyat adalah meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari dan meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.


(56)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Karakteristik hutan rakyat di 3 kecamatan ini memiliki pola penggunaan lahan yang bersifat murni, campuran dan agroforestri. Pola penggunaan lahan yang digunakan yaitu tidak intensif dengan persentase sebesar 57,14 % dengan tegakan yang mendominasi yaitu pohon pada kelas diameter 11-20 cm dan jenis yang mendominasi yaitu mahoni (Swieteni mahagoni).

2. Potensi tegakan tanaman hutan rakyat di 3 kecamatan (Salapian, Kutambaru dan Bahorok) adalah 14,98 m³.

3. Manfaat ekonomi dari hutan rakyat di Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok bagi masyarakat dapat membantu menambah pendapatan petani/masyarakat sekaligus meningkatkan kesejahteraannya selain manfaat ekologis merehabilitasi lahan-lahan kritis dan terlantar. Hutan rakyat memberikan kontribusi sebesar 40,74 % dalam menambah pendapatan masyarakat.

Saran

Adapun saran pada penelitian :

1. Peningkatan kualitas dan kuantitas penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan mutu pengelolaan hutan rakyat.


(57)

2. Diadakan pertemuan antar pengelolah hutan rakyat agar dapat saling bertukar informasi mengenai tanaman hutan rakyat, untuk meningkatkan kualitas hasil dari hutan rakyat.

3. Pemerintah (perangkat desa) dapat melakukan pengawasan terhadap sistem pengelolaan hutan rakyat (seluruh kegiatan) yang dilakukan pengelola.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Awang, S. 2005. Petani, Ekonomi dan Konservasi Aspek Penelitian dan Gagasan. Pustaka Hutan Rakyat Press. Dephut. Yogyakarta.

Awang, S. dkk,. 2001. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. Pustaka Kehutanan Masyarakat, Yogyakarta: DEBUT 2001.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2006. Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2003. Website

http://www.google.co.id. Diakses [tanggal 28 Juni 2006]

BP2HP Wilayah II Medan. 2005. Pemanfaatan/Pengangkutan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Milik/Hak. Medan.

Brower, J. E. dan Zar, J. H. 1977. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Brown Co Publisher, Iowa, USA.

Danoesastro, H. 1977. Peranan Pekarangan dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan Nasional Rakyat Pedesaan. Pidato Dies Natalais ke XXVIII UGM. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Darusman, D. dan D. Suharjito, 1998. Kehutanan Masyarakat: Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Depatemen Kehutanan RI. 1974. Informasi Peratuan Perundang-Undangan Nasional di Bidang Kehutanan. Jakata: Penerbit Biro Hukum dan Organisasi Setjen Dephut.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.


(59)

Hardjosoediro, S. 1980. Pemilihan jenis Tanaman Reboisasi dan penghijauan hutan alam dan Hutan rakyat. Lokakarya Pemilihan Tanaman Reboisasi.Yayasan Pembinaan Fakultas Kehutanan UGM. Yokyakarta.

Helms, J. A. 1980. Pemilihan Jenis Tanaman Reboisasi dan Penghijauan Hutan Alam Rakyat. Lokakarya Pemilihan Jenis Tanaman Reboisasi. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Jaffar, E. R. 1993. Pola Pengembangan Hutan Rakyat sebagai Upaya Peningkatan Luasan Lahan, dan peningkatan Pendapatan Masyarakat di Propinsi D.I.Y.

Makalah pada petemuan Persaki Propinsi D.I.Y Tanggal 17 Juli 1993,

Yogyakarta.

Koesmono, S. 2000. Mensejahterakan Masyarakat di Sekitar Hutan dengan Hutan Kemasyarakatan. Majalah MKI, Edisi 5.

Munawar, A. 1986. Hutan Rakyat...Skripsi. Fakultas Kahutanan. UGM. Yogyakarta.

Munggoro, W. dan Dhani. 1998. Sejarah dan Evolusi Pemikiran Komuniti Forestri, Seri

Kajian Komuniti Forestri. 1 Maret 1998. Seri 1 Tahun

Prabowo, S. A. 1998. Hutan Rakyat : Sistem Pengelolaan dan Manfaat Ekonomis. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Prakosa, M. 2004. Pedoman Pembuatan Tanaman dengan Sistem Silvikultur Intensif Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P 03/Menhut 22 Juli 2004.

Reksohadiprodjo, S. 1994. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi. Yogyakarta. Penerbit BPFE.

Simon, H. 1995. Hutan Jati dan Kemakmuran. Aditya Media. Yogyakarta.


(60)

Suhardjito, D. 2000. Hutan Rakyat di Jawa (Perannya dalam Perekonomian Desa). Dewi Sri Jaya Media. Bogor.

Widayanti, W. T dan Riyanto, S. 2005. Kajian Potensi Hutan Rakyat dan Analis Interaksi Masyarakat dengan Sumberdaya Alam di Kabupaten Boyolali. Jurnal Hutan Rakyat Volume VII No. 2 Tahun 2005. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.


(1)

12 Shorea javanica 6,00 0,57 0,44 0,25 1,05

II 1 Shorea javanica 6,50 0,57 0,44 1,00 4,56

2 Durio zibethinus 6,00 0,47 0,37 0,69 2,91

3 Durio zibethinus 6,00 0,28 0,22 0,25 1,03

4 Shorea javanica 7,00 0,57 0,44 1,00 4,92

5 Terminalia catapa 5,00 0,24 0,19 0,18 0,63

6 Terminalia catapa 5,00 0,52 0,41 0,85 2,97

7 Terminalia catapa 5,00 0,42 0,33 0,55 1,94

8 bendo 4,00 0,43 0,34 0,58 1,63

9 bendo 3,00 0,45 0,35 0,64 1,34

III 1 bendo 4,00 0,36 0,28 0,41 1,14

2 rawah 4,00 0,44 0,35 0,61 1,70

3 rawah 4,00 0,34 0,27 0,36 1,02

4 rawah 4,00 0,39 0,31 0,48 1,34

5 Durio zibethinus 6,00 0,30 0,23 0,27 1,15

6 Durio zibethinus 6,00 0,31 0,25 0,31 1,30

Total 37,35

14. Nama Responden : Adek Ginting Luas Lahan : 2 ha

Kecamatan : Bahorok Kabupaten : Langkat

Plot ke-

Pohon

ke- Jenis pohon TBC (m)

Diameter (m)

Keliling (m)

LBDS (m2)

Volume (m3)

I 1 Gmelina arborea 3,00 0,28 0,22 0,06 0,13

2 Gmelina arborea 2,50 0,22 0,17 0,04 0,07

3 Gmelina arborea 3,00 0,22 0,17 0,04 0,08

4 Gmelina arborea 2,50 0,24 0,19 0,05 0,08

5 Gmelina arborea 3,00 0,30 0,24 0,07 0,15

6 Gmelina arborea 2,50 0,21 0,16 0,03 0,06

7 Gmelina arborea 3,00 0,33 0,26 0,09 0,18

8 Gmelina arborea 2,50 0,26 0,20 0,05 0,09

9 Gmelina arborea 3,00 0,24 0,19 0,05 0,09

10 Gmelina arborea 3,00 0,29 0,23 0,07 0,14

11 Gmelina arborea 3,00 0,45 0,35 0,16 0,33

12 Gmelina arborea 2,50 0,30 0,24 0,07 0,12

13 Gmelina arborea 3,00 0,46 0,36 0,17 0,35

14 Gmelina arborea 2,50 0,29 0,23 0,07 0,12

15 Gmelina arborea 3,00 0,45 0,35 0,16 0,33

16 Gmelina arborea 3,00 0,38 0,30 0,11 0,24

17 Gmelina arborea 3,00 0,41 0,32 0,13 0,28


(2)

19 Gmelina arborea 3,00 0,20 0,16 0,03 0,07

20 Gmelina arborea 3,50 0,25 0,20 0,05 0,12

21 Gmelina arborea 3,00 0,29 0,23 0,07 0,14

22 Gmelina arborea 3,00 0,20 0,16 0,03 0,07

23 Gmelina arborea 2,80 0,16 0,13 0,02 0,04

24 Gmelina arborea 2,80 0,16 0,13 0,02 0,04

25 Gmelina arborea 2,80 0,17 0,13 0,02 0,04

26 Gmelina arborea 3,00 0,19 0,15 0,03 0,06

27 Gmelina arborea 3,00 0,19 0,15 0,03 0,06

28 Gmelina arborea 3,00 0,19 0,15 0,03 0,06

29 Gmelina arborea 3,50 0,25 0,20 0,05 0,12

30 Gmelina arborea 2,60 0,15 0,12 0,02 0,03

II 1 Gmelina arborea 2,50 0,21 0,16 0,14 0,24

2 Gmelina arborea 3,30 0,47 0,37 0,69 1,60

3 Gmelina arborea 3,00 0,28 0,22 0,25 0,52

4 Gmelina arborea 3,00 0,28 0,22 0,25 0,52

5 Gmelina arborea 2,50 0,24 0,19 0,18 0,32

6 Gmelina arborea 4,00 0,52 0,41 0,85 2,38

7 Gmelina arborea 3,00 0,42 0,33 0,55 1,16

8 Gmelina arborea 3,00 0,43 0,34 0,58 1,22

9 Gmelina arborea 3,00 0,45 0,35 0,64 1,34

10 Gmelina arborea 3,00 0,45 0,35 0,64 1,34

11 Gmelina arborea 2,50 0,27 0,21 0,23 0,40

1 Gmelina arborea 3,00 0,28 0,22 0,25 0,52

13 Gmelina arborea 3,00 0,28 0,22 0,25 0,52

14 Gmelina arborea 2,50 0,21 0,16 0,14 0,24

15 Gmelina arborea 3,00 0,28 0,22 0,25 0,52

16 Gmelina arborea 3,00 0,28 0,22 0,25 0,52

17 Gmelina arborea 3,00 0,20 0,16 0,13 0,26

18 Gmelina arborea 3,00 0,20 0,16 0,13 0,26

19 Gmelina arborea 3,00 0,20 0,16 0,13 0,26

20 Gmelina arborea 3,00 0,20 0,16 0,13 0,26

III 1 Gmelina arborea 2,50 0,23 0,18 0,17 0,29

2 Gmelina arborea 3,00 0,45 0,35 0,64 1,34

3 Gmelina arborea 3,00 0,43 0,34 0,58 1,22

4 Gmelina arborea 3,00 0,45 0,35 0,64 1,34

5 Gmelina arborea 3,10 0,48 0,38 0,72 1,57

6 Gmelina arborea 3,20 0,48 0,38 0,72 1,62

7 Gmelina arborea 2,00 0,20 0,16 0,13 0,18

8 Gmelina arborea 2,60 0,32 0,25 0,32 0,59

9 Gmelina arborea 2,50 0,27 0,21 0,23 0,40

10 Gmelina arborea 2,50 0,22 0,17 0,15 0,27

11 Gmelina arborea 3,00 0,28 0,22 0,25 0,52


(3)

13 Gmelina arborea 3,00 0,28 0,22 0,25 0,52

14 Gmelina arborea 3,00 0,28 0,22 0,25 0,52

15 Gmelina arborea 3,00 0,28 0,22 0,25 0,52

16 Gmelina arborea 3,00 0,28 0,22 0,25 0,52

17 Gmelina arborea 3,00 0,19 0,15 0,11 0,24

18 Gmelina arborea 3,00 0,20 0,16 0,13 0,26

19 Gmelina arborea 3,00 0,20 0,16 0,13 0,26

20 Gmelina arborea 2,80 0,17 0,13 0,09 0,18

21 Gmelina arborea 2,80 0,17 0,13 0,09 0,18

22 Gmelina arborea 28,00 0,16 0,13 0,08 1,58

23 Gmelina arborea 2,80 0,16 0,13 0,08 0,16

24 Gmelina arborea 2,50 0,13 0,10 0,05 0,09

25 Gmelina arborea 3,00 0,20 0,16 0,13 0,26

Total 33,24

Lampiran 2. Tabel Plot Contoh Pada Setiap Lahan Responden

Kecamatan : Salapian, Kutambaru, Bahorok Kabupaten :

Langkat

No Nama responden Luas lahan Plot ke- Jumlah pohon Volume

(ha) (batang) (m3)

1 M. Bangun 1 1 50 13,49

2 48 42,54

3 36 26,20

2 Bejo Ridwan 2 1 51 7,73

2 43 17,01

3 32 30,44

3 Pahala Bangun 0,8 1 35 4,50

2 30 14,72

3 35 14,80

4 J. Tarigan 2,5 1 8 8,03

2 7 26,90

3 5 8,33

5 G. Tarigan 1,5 1 7 7,08

2 5 1,56

3 6 7,29

6 Serasi Tarigan 1,7 1 7 5,51

2 7 8,10

3 5 8,88


(4)

2 28 3,83

3 23 8,88

8 Nangin 1 1 3 2,73

2 3 3,32

3 3 3,31

9 Serasi Tarigan 1 1 5 3,29

2 4 14,97

3 5 14,61

10 Nopen Sitepu 2 1 4 6,86

2 4 16,18

3 4 17,52

11 Kurnia Ginting 1,5 1 6 5,90

2 7 7,08

3 5 5,90

12 Mulia Tarigan 2 1 8 5,34

2 7 28,91

3 10 16,49

13 Bangubena PA 2 1 12 7,77

2 9 21,93

3 6 7,65

14 Adek Ginting 2 1 30 3,74

2 20 14,39

3 30 15,11

Total 23 43 683 492,50

Lampiran 3. Data Responden Petani Hutan Rakyat

No. Nama Umur Luas Lahan (Ha) Pekerjaan Pendidikan Total Pendapatan ( tahun ) Hutan Rakyat Pertanian utama sampingan (Rp/thn) 1 Muhammad

Bangun

45 1 ha PNS - SPG 36.000.000

2 Bejo Ridwan 47 2 ha 0,5 PNS - Perguruan tinggi

30.000.000

3 Pahala 64 0.8 ha 0,3 petani - Tamat

SLTP

12.000.000 Bangun

4 Jadiaman 55 2.5 ha 1,5 PNS - Perguruan

tinggi

36.000.000 Tarigan

5 Golongan 45 1.5 ha 0,4 petani - Tamat

SLTP

48.000.000 Tarigan


(5)

Lampiran 4 . Sumber - Sumber Pendapatan Petani Tahun 2008-2009 Kecamatan Salapian, Kutambaru dan Bahorok

No Nama Responden Sumber-sumber Pendapatan Petani (Rp/tahun)

Hutan Rakyat Murni

Hutan Rakyat Campuran

Hutan Rakyat

Agroforestri Gaji/Upah Jumlah

1 M. Bangun 56.985.000 - - 36.000.000 92.985.000

2 Bejo Ridwan - 49.590.000 - 30.000.00 79.590.000

3 Pahala Bangun - 15.000.000 - 12.000.000 27.000.000

4 Jadiaman Tarigan - 23.000.000 - 36.000.000 59.000.000

5 Golongan Tarigan - - 4.920.000 40.000.000 44.920.000

6 Serasi Tarigan - - 10.950.000 40.000.000 50.950.000

7 Nulahi Br.Bangun - 7.875.000 - 38.000.000 45.875.000

8 Nangin 13.470.000 - - 25.000.000 38.470.000

9 Serasi Sinuraya 31.320.000 - - 54.000.000 85.320.000

10 Nopen Sitepu - 9.825.000 - 36.000.000 45.825.000

11 Kurnia Ginting - 13.470.000 - 34.000.000 47.470.000

12 Mulia Tarigan - - 9.000.000 30.000.000 39.000.000

13 Bangubena PA 56.025.000 - - 45.000.000 101.025.000

14 Adek Ginting 32.610.000 - - 30.000.000 62.610.000

Subtotal 190.410.000 118.870.000 24.870.000 456.000.000 820.040.000

Persentase (%) 0,23 0,14 0,03 0,55 1

Tarigan SLTA

7 Nulahi 51 2 ha PNS - Perguruan

tinggi

38.000.000 Br.Bangun

8 Nangin 49 1 ha petani - Tamat

SLTP

25.000.000 Br.Pernangin

9 Serasi Sinuraya

53 1 ha PNS - Perguruan

tinggi

54.000.000

10 Nopen Sitepu

30 2 ha petani - Tamat

SLTA

36.000.000

11 Kurnia Ginting

56 1.5 ha petani - Tamat

SLTA

34.000.000

12 Mulia Tarigan

38 2 ha 0,5 Wiraswasta - Tamat SLTA

30.000.000

13 Bangubena PA

69 2 ha Wiraswasta - Perguruan

tinggi

45.000.000

14 Adek Ginting

47 2 ha PNS - Perguruan

tinggi


(6)

Dokumen yang terkait

Partisipasi Masyarakat Dalam Menjaga Pelestarian Daerah Aliran Sungai Bahorok (Studi Pada Mayarakat Sekitar Sungai Bahorok di Desa Perkebunan Bukit Lawang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat)

21 157 59

Analisis Tingkat Pendapatan Petani Karet Rakyat Berdasarkan Skala Usaha Minimum (Studi Kasus : Desa Naman Jahe, Kec. Salapian, Kab. Langkat)

8 116 133

Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Program Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (Studi Kasus Koperasi Rakyat Pantai, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat).

8 109 90

Evaluasi Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Matiti, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan

1 57 72

Pemerdayaan Masyarakat Berbasis Hutan Rakyat Dalam Memelihara Kelestarian Sumberdaya Hutan (Studi Kasus Pada Kelompok Masyarakat Gaharu di Kel. Pekan Bahorok, Kec. Bahorok)

0 71 106

Persepsi dan Partisipasi Masyarkat Terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove di Pantai Bunga Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara

3 42 104

Persepsi dan Peran Serta Masyarakat terhadap Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Desa Kutambaru Kecamatan Munte Kabupaten Karo)

5 84 59

Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Masyarakat (Studi Kasus : Nagori Raya Huluan Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun)

9 82 129

Manfaat Ekonomi Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis (Studi Kasus: Desa Hutarimbaru dan Desa Tolang, Kecamatan Ulu Pungkut, Kabupaten Mandailing Natal)

4 85 92

Evaluasi Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Matiti, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan

1 32 72