Pendahuluan Perkawinan dalam Pandangan Fikih
12
penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda dalam hal ini adalah istri, yang digunakan untuk dirinya sendiri.
Bagi perempuan istri, sebagaimana suami, ia pun berhak memperoleh kenikmatan biologis yang sama. Akan tetapi, tidak bersifat khusus untuk dirinya
sendiri, dalam hal ini istri boleh menikmati secara biologis atas diri sang suami bersama perempuan lainnya istri yang lain. Sehingga kepemilikan di sini hak
berserikat antara para istri. Lebih jelasnya, poliandri tidak dipermasalahkan lagi hukumnya, yakni haram, dan sebaliknya poligami masih ada celah
diperbolehkan secara syar’i.
3
Dalam pandangan umat Islam, perkawinan merupakan asas pokok kehidupan dalam pergaulan, sebagai perbuatan yang sangat mulia dalam
mengatur kehidupan berumah tangga. Pertalian nikah atau perkawinan, juga merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan umat
manusia.
4
Dalam Pasal 2 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, pengertian pernikahan dinyatakan sebagai berikut:
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah SWT
dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari: perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia,
3
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan; Analisa Perbandingan Antar Madzhab Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006, hlm. 1.
4
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, hlm. 356.
13
hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan merupakan cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang-biak,
dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Allah SWT tidak
menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkis tanpa aturan. Demi menjaga
kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan
itu telah saling terikat. Bentuk pernikahan ini telah memberi jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum
perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Pergaulan suami isteri menurut ajaran Islam diletakkan di
bawah naluri keibuan dan kebapakan sebagaimana ladang yang baik yang nantinya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah
yang baik pula.
5
Oleh karena itu, perkawinan menurut hukum Islam merupakan sebuah ikatan lahir batin yang suci dan mulia antara pasangan pria dan wanita yang
bertujuan membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, yakni keluarga yang penuh ketenangan, penuh cinta kasih dan selalu mengharapkan
limpahan rahmat dari Allah SWT. Selain itu perkawinan merupakan sebuah ibadah dalam rangka mentaati perintah Allah SWT.
5
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Beirut: Dar al-Fikr, 1983, jilid 2, hlm. 5.