Status Perkawinan Siri Menurut Fikih

41 tentang Perkawinan. Dalam aturan tersebut jelas dikatakan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan menurut perundangan yang berlaku. Adapun prosedur lebih detailnya termuat dalam Pasal 10, 11, 12 dan 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Apabila perkawinan dilaksanakan hanya secara agama saja dan tidak dicatatkan pada instansi yang berwenang dalam hal ini Kantor Urusan Agama KUA Kecamatan, maka suami dapat saja mengingkari perkawinan tersebut. Untuk itu Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Pada asasnya tiap peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah berporos pada kemaslahatan bersama mashlahah ‘ammah. Ada banyak hal yang melatarbelakangi pembentukan peraturan tersebut. Termasuk aturan perkawinan yang mulai diperhatikan jauh setelah kemerdekaan Indonesia dicapai. Jadi di balik semua itu tersirat manfaat besar yang diharapkan akan tercapai tatkala masing-masing individu melaksanakannya. Oleh karena itu, status perkawinan siri menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia dianggap tidak sah karena tidak terpenuhinya syarat sahnya perkawinan, yakni setiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. 42 C. Akibat Hukum Perkawinan Siri Terhadap Kedudukan Istri, Anak dan Harta Kekayaan Menurut Fikih dan Hukum Positif

1. Kedudukan Istri a. Menurut Fikih

Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwasanya perkawinan siri yang memenuhi setiap syarat dan rukun yang ada dalam hukum Islam merupakan perkawinan sah. Kedudukan istri dalam perkawinan adalah seimbang dengan suami, begitu pula dengan akibat hukumnya, tidak berbeda dengan perkawinan yang pada umumnya terjadi di dalam Islam. Allah SWT berfirman:                Artinya:“...Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isteri-isterinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS. Al- Baqarah: 228 Para ulama sepakat bahwa akibat dari sebuah perkawinan adalah timbulnya hak-hak istri yang harus dipenuhi oleh suaminya, yaitu nafkah dan pakaian. 7 Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Quran:       ...  7 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, hlm. 106. 43 Artinya:”dan kewajiban ayah suami memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf baik...“ QS. Al- Baqarah: 233 Kemudian akibat hukum dari perkawinan yang sah menurut hukum Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: 8 1. Menjadi halal melakukan hubungan seksual dan bersenang-senang antara suami istri tersebut. 2. Mahar atau mas kawin yang diberikan menjadi milik sang istri. 3. Timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami istri, suami menjadi kepala rumah tangga dan istri menjadi ibu rumah tangga. 4. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi anak-anak yang sah. 5. Timbul kewajiban dari suami untuk mendidik anak-anak dan istrinya serta mengusahakan tempat tinggal bersama. 6. Berhak saling waris-mewarisi antara suami istri dan anak-anak dengan orang tua. 7. Timbulnya larangan perkawinan karena hubungan semenda. 8. Bapak berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya. 9. Bila di antara suami istri ada yang meninggal salah satunya, maka yang lainnya berhak menjadi wali pengawas terhadap anak-anak dan hartanya. 8 Muhammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 49.