Continue Wavelet Transform CWT

2.3.1 Sampai sekarang Perbandingan Transformasi Wavelet dengan Transformasi Fourier transformasi Fourier mungkin masih menjadi transformasi yang paling populer di area pemrosesan sinyal digital PSD. Transformasi Fourier memberitahu kita informasi frekuensi dari sebuah sinyal, tapi tidak informasi waktu kita tidak dapat tahu di mana frekuensi itu terjadi. Karena itulah transformasi Fourier hanya cocok untuk sinyal stationari sinyal yang informasi frekuensinya tidak berubah menurut waktu. Untuk menganalisa sinyal yang frekuensinya bervariasi di dalam waktu, diperlukan suatu transformasi yang dapat memberikan resolusi frekuensi dan waktu disaat yang bersamaan, biasa disebut analisis multi resolusi AMR. AMR dirancang untuk memberika resolusi waktu yang baik dan resolusi frekuensi yang buruk pada frekuensi tinggi suatu sinyal, serta resolusi frekuensi yang baik dan resolusi waktu yang buruk pada frekuensi rendah suatu sinyal. Pendekatan ini sangat berguna untuk menganalisa sinyal dalam aplikasi-aplikasi praktis yang memang memiliki lebih banyak frekuensi rendah. Transformasi wavelet adalah suatu AMR yang dapat merepresentasikan informasi waktu dan frekuensi suatu sinyal dengan baik. Transformasi wavelet menggunakan sebuah jendela modulasi yang fleksibel, ini yang paling membedakannya dengan transformasi Fourier waktu-singkat STFT, yang merupakan pengembangan dari transformasi Fourier. STFT menggunakan jendela modulasi yang besarnya tetap, ini menyebabkan dilema karena jendela yang sempit akan memberikan resolusi frekuensi yang buruk dan sebaliknya jendela yang lebar akan menyebabkan resolusi waktu yang buruk.Wikipedia. Agustus 2008

2.3.2 Continue Wavelet Transform CWT

Cara kerja Continue Wavelet Transform CWT adalah dengan menghitung konvolusi sebuah sinyal dengan sebuah jendela modulasi pada setiap waktu dengan setiap skala yang diinginkan. Jendela modulasi yang mempunyai skala fleksibel inilah yang biasa disebut induk wavelet atau fungsi dasar wavelet. Wikipedia. Agustus 2008 Universitas Sumatera Utara Dalam transformasi wavelet digunakan istilah translasi dan skala, karena istilah waktu dan frekuensi sudah digunakan oleh transformasi Fourier. Translasi adalah lokasi jendela modulasi saat digeser sepanjang sinyal, berhubungan dengan informasi waktu. Skala behubungan dengan frekuensi, skala tinggi frekuensi rendah berhubungan dengan informasi global dari sebuah sinyal, sedangkan skala rendah frekuensi tinggi berhubungan dengan informasi detil. CWT secara matematika dapat didefinisikan sebagai berikut: 2 Keterangan: γs,τ adalah fungsi sinyal setelah transformasi, dengan variabel s skala dan τ translasi sebagai dimensi baru. ft sinyal asli sebelum transformasi. Fungsi dasar di sebut sebagai wavelet, dengan menunjukkan konjugasi kompleks. Dan inversi dari CWT secara matematika dapat didefinisikan sebagai berikut: 3 Seperti telah dibicarakan sebelumnya, fungsi dasar wavelet ψ s ,τ t dapat didesain sesuai kebutuhan untuk mendapatkan hasil transformasi yang terbaik, ini perbedaan mendasar dengan transformasi Fourier yang hanya menggunakan fungsi sinus sebagai jendela modulasi. Fungsi dasar wavelet secara matematika dapat didefinisikan sebagi berikut: 4 Faktor digunakan untuk normalisasi energi pada skala yang berubah-ubah. Mexican Hat, yang merupakan normalisasi dari derivatif kedua fungsi Gaussian adalah salah satu contoh fungsi dasar CWT: Universitas Sumatera Utara 5 Contoh lain adalah fungsi dasar Morlet, yang merupakan fungsi bilangan kompleks: 6 dengan dan 2.3.3 Dibandingkan dengan CWT, Discrete Wavelet Transform CWT dianggap relatif lebih mudah pengimplementasiannya. Prinsip dasar dari DWT adalah bagaimana cara mendapatkan representasi waktu dan skala dari sebuah sinyal menggunakan teknik pemfilteran digital dan operasi Discrete Wavelet Transform DWT sub-sampling. Dasar dari DWT dimulai pada tahun 1976 dimana teknik untuk mendekomposisi sinyal waktu diskrit ditemukan. Di dalam CWT, sinyal dianalisis menggunakan seperangkat fungsi dasar yang saling berhubungan dengan penskalaan dan transisi sederhana. Sedangkan di dalam DWT, penggambaran sebuah skala waktu sinyal digital didapatkan dengan menggunakan teknik filterisasi digital. Secara garis besar proses dalam teknik ini adalah dengan melewatkan sinyal yang akan dianalisis pada filter dengan frekuensi dan skala yang berbeda. Filterisasi sendiri merupakan sebuah fungsi yang digunakan dalam pemrosesan sinyal. Wavelet dapat direalisasikan menggunakan iterasi filter dengan penskalaan. Resolusi dari sinyal, yang merupakan rata-rata dari jumlah detil informasi dalam sinyal, ditentukan melalui filterasi ini dan skalanya didapatkan dengan upsampling dan downsampling subsampling. Universitas Sumatera Utara Sebuah sinyal harus dilewatkan dalam dua filterisasi DWT yaitu highpass filter dan lowpass filter agar frekuensi dari sinyal tersebut dapat dianalisis. Analisis sinyal dilakukan terhadap hasil filterisasi highpass filter dan lowpass filter di mana highpass filter digunakan untuk menganalisis frekuensi tinggi dan lowpass filter digunakan untuk menganalisis frekuensi rendah. Analisis terhadap frekuensi dilakukan dengan cara menggunakan resolusi yang dihasilkan setelah sinyal melewati filterisasi. Analisis frekuensi yang berbeda dengan menggunakan resolusi yang berbeda inilah yang disebut dengan multi-resolution analysis, seperti yang telah disinggung pada bagian Transformasi Wavelet. Alfatwa, Dean Fathony Pembagian sinyal menjadi frekuensi tinggi dan frekuensi rendah dalam proses filterisasi highpass filter dan lowpass filter disebut sebagai dekomposisi. Proses dekomposisi dimulai dengan melewatkan sinyal asal melewati highpass filter dan lowpass filter . Misalkan sinyal asal ini memiliki rentang frekuensi dari 0 sampai dengan π rads. Dalam melewati highpass filter dan lowpass filter ini, rentang frekuensi di-subsample menjadi dua, sehingga rentang frekuensi tertinggi pada masing-masing subsample menjadi π2 rads. Setelah filterisasi, setengah dari sample atau salah satu subsample dapat dieliminasi berdasarkan aturan Nyquist. Sehingga sinyal dapat selalu di-subsample oleh 2 ↓ 2 dengan cara mengabaikan setiap sample yang kedua. Proses dekomposisi ini dapat melalui satu atau lebih tingkatan. Dekomposisi satu tingkat ditulis dengan ekspresi matematika pada persamaan 7 dan 8. 7 8 y [k] tinggi dan y [k] rendah adalah hasil dari highpass filter dan lowpass filter, x[n] merupakan sinyal asal, h[n] adalah highpass filter, dan g[n] adalah lowpass filter. Untuk dekomposisi lebih dari satu tingkat, prosedur pada rumus 2 dan 3 dapat digunakan pada masing-masing tingkatan. Contoh penggambaran dekomposisi dipaparkan pada Gambar 2.4 dengan menggunakan dekomposisi tiga tingkat. Alfatwa, Dean Fathony Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4 Dekomposisi wavelet tiga tingkat Pada Gambar 2.4, y [k] tinggi dan y [k] rendah yang merupakan hasil dari highpass filter dan lowpass filter, y [k] tinggi disebut sebagai koefisien DWT. y [k] tinggi merupakan detil dari informasi sinyal, sedangkan y [k] rendah merupakan taksiran kasar dari fungsi pensakalaan. Dengan menggunakan koefisien DWT ini maka dapat dilakukan proses Inverse Discrete Wavelet Transform IDWT untuk merekonstruksi menjadi sinyal asal. DWT menganalisis sinyal pada frekuensi berbeda dengan resolusi yang berbeda melalui dekomposisi sinyal sehingga menjadi detil informasi dan taksiran kasar. DWT bekerja pada dua kumpulan fungsi yang disebut fungsi penskalaan dan fungsi wavelet yang masing – masing berhubungan dengan lowpass filter dan highpass filte . Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dekomposisi ini didasarkan pada aturan Nyquist yang salah satunya mengatakan bahwa frekuensi komponen sample harus kurang atau sama dengan setengah dari frekuensi sampling. Jadi diambil frekuensi sample π2 dari frekuensi sampling π dalam subsample oleh 2 pada dekomposisi wavelet. Sebagai penggambaran dekomposisi wavelet dengan sinyal asal x [n] yang memilki frekuensi maksimum f = π dipaparkan pada Gambar 2.5. h[n] ↓2 g[n] ↓2 h[n] ↓2 ↓2 g[n] h[n] ↓2 ↓2 g[n] X[n] Y tinggi [k] Y tinggi [k] Y tinggi [k] Y rendah [k] Universitas Sumatera Utara Gambar 2.5. Dekomposisi wavelet dengan frekuensi sinyal asal f=0~ π Proses rekonstruksi diawali dengan menggabungkan koefisien DWT dari yang berada pada akhir dekomposisi dengan sebelumnya meng – upsample oleh 2 ↑ 2 melalui highpass filter dan lowpass filter. Proses rekonstruksi ini sepenuhnya merupakan kebalikan dari proses dekomposisi sesuai dengan tingkatan pada proses dekomposisi. Sehingga persamaan rekonstruksi pada masing-masing tingkatan dapat ditulis sbb: 9 Proses rekonstruksi wavelet untuk mendapatkan sinyal asal dengan tiga tingkat digambarkan pada Gambar 2.6. x[n] f=0~x h[n] g[n] g[n] h[n] g[n] h[n] ↓2 ↓2 ↓2 ↓2 ↓2 ↓2 f= π2~x f= π2~π2 f=0 ~π8 f= π8~π4 Level 1 DWT coefficients Level 2 DWT coefficients Level 3 DWT coefficients f=0 ~π4 f=0 ~π2 . . . Universitas Sumatera Utara Gambar 2.6 Rekonstruksi wavelet tiga tingkat Scaling function yang dapat membentuk wavelet bermacam-macam jenisnya. Berdasarkan scaling function inilah basis wavelet memiliki nama yang berbeda-beda. 1. Wavelet Haar memiliki scaling function dengan koefisien c = c 1 2. Wavelet Daubechies dengan 4 koefisien DB4 memiliki scaling function dengan koefisien c = 1. = 1+ √34, c 1 = 3+ √34, c 2 = 3- √34, c 3 3. Wavelet B-Spline kubik memiliki scalilng function dengan koefisien c = 1- √34 = 18, c 1 = 48, c 2 = 68, c 3 = 48, c 4 Untuk memperjelas teori dari wavelet, berikut merupakan penjabaran dari Wavelet Haar. Wavelet Haar dapat dijelaskan dalam ruang vektor 4 dimensi. Basis paling sederhana yang sudah sering kita gunakan adalah basis orthonormal sebagai berikut : = 18. Chahyati,Dina. Januari 2003             =             =             =             = 1 , 1 , 1 , 1 3 2 1 v v v v 10 Wavelet Haar juga merentang ruang vektor 4 dimensi dengan vektor-vektor basis sebagai berikut ↑2 h[n] ↑2 g[n] ↑2 g[n] h[n] ↑2 ↑2 h[n] g[n] ↑2 X[n] Y tinggi [k] Y tinggi [k] Y tinggi [k] Y rendah [k] Universitas Sumatera Utara             − =             − =             − − =             = 1 1 , 1 1 , 1 1 1 1 , 1 1 1 1 3 2 1 h h h h 11 yang bila digambarkan dalam bentuk sinyal akan berbentuk sebagai berikut : h h 1 h 2 h 3 Jika kita menggunakan basis orthonormal v , v 1 , v 2 , dan v 3 , mudah untuk merepresentasikan suatu vektor sebagai kombinasi linier dari v , v 1 , v 2 , dan v 3             − = 5 7 4 6 x . Misalkan sebuah vektor Universitas Sumatera Utara Jika kita ingin merepresentasikan vektor x tersebut dalam bentuk x = a v + b v 1 + c v 2 + d v 3             − +             − +             − − +             =             1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 1 d c b a x x x x 12 maka dengan mudah dapat ditemukan bahwa a = 6, b = 4, c = -7, d = 5. Sekarang bagaimana caranya merepresentasikan suatu vektor sebagai kombinasi linier dari vektor-vektor dalam wavelet Haar. Atau dengan kata lain, bagaimana kita menentukan nilai a,b,c dan d dalam persamaan berikut ini : 13 dengan sedikit pengetahuan matematis, persamaan diatas dapat dijabarkan menjadi : x = a + b + c x 1 = a + b – c x 2 = a – b + d x 3 = a – b – d sehingga kemudian kita dapatkan : x 2 – x 3 = 2d x – x 1 = 2c x + x 1 – x 2 + x 3 = 4b x + x 1 + x 2 + x 3 = 4a Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa d = ½ x 2 – x 3 c = ½ x – x 1 Universitas Sumatera Utara b = ½ ½ x + x 1 – ½ x 2 + x 3 a = ½ ½ x + x 1 + ½ x 2 + x 3 Terlihat bahwa sebenarnya koefisien-koefisian a,b,c,d dapat diperoleh dari operasi averaging dan differencing terhadap nilai x 0, x 1, x 2 dan x 3 2 1 2 1 ... d d d a a a a j j H H H L j L j L j − − − − →  →  →  dengan aturan tertentu. Stephane Mallat kemudian memperkenalkan cara mudah menghitung koefisien a, b, c dan d dengan cara yang dikenal dengan algoritma piramida Mallat. Algoritma tersebut dapat ditunjukkan dengan gambar berikut. Chahyati,Dina. Januari 2003 dimana a j adalah vektor awal dengan ukuran 2 j , dan koefisien a, b, c, d dapat diperoleh dari aproksimasi a detail-detail d , d 1                             − − − − − − − − = = 2 2 2 2 3 . 1 . 1 3 . . . . ... 1 3 ... 1 3 2 1 1 . 3 2 . 3 2 1 . . . . ... 3 2 1 ... 3 2 1 2 1 c c c c c c c c c c c c c c c c H c c c c c c c c c c c c c c c c L dan seterusnya. Matriks L dan H masing masing adalah matriks lowpass averaging dan highpass differencing dengan bentuk: Matriks L dan H untuk basis Haar dimana c = c 1     − − =     = 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 H L = 1 adalah sebagai berikut : Proses mencari koefisien a, b, c dan d seperti ini disebut dengan proses dekomposisi. Sebagai contoh, untuk vektor x di atas akan di dekomposisi menjadi: Universitas Sumatera Utara [ ] [ ] [ ] [ ] 3 6 1 2 1 5 5 7 4 6 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 =     − = − =     =    →  − =      →              − = − − = =                   = d d a a a H H L L Nilai a,b, c dan d pada persamaan 2.4 kemudian dapat kita peroleh dengan melihat nilai aproksimasi terakhir a dan semua nilai-nilai detail d ,d 1 dan d 1 dimana a = ½ ½ x + x 1 + ½ x 2 + x 3 = a = 2 b = ½ ½ x + x 1 – ½ x 2 + x 3 = d = 3 c = ½ x – x 1 = d 1 0 = 1 d = ½ x 2 – x 3 = d 1 Setelah mengetahui bagaimana mendekomposisi suatu sinyal menjadi koefisien-koefisien kombinasi liniernya, maka perlu diketahui bagaimana caranya memperoleh vektor asal jika hanya diketahui koefisien-koefisien dekomposisinya a,b,c,d. Proses kebalikan dari dekomposisi ini disebut proses rekonstruksi, dan algoritma piramida Mallat untuk rekonstruksi adalah: 1 = -6.             − − +             − +             − − +             =             − 1 1 6 1 1 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 2 5 7 4 6 Universitas Sumatera Utara 1 1 2 1 ... − →  →  →  n H H H n L L L d d d a a a a dimana matriks pengali L dan H memiliki hubungan dengan matriks L dan H pada proses dekomposisi yaitu LL = HH = I L merupakan invers dari L. Isi dari L dan H untuk basis Haar adalah sebagai berikut:             − − =             = 1 1 1 1 1 1 1 1 H L Proses rekonstruksi untuk contoh di atas dapat digambarkan sebagai berikut: [ ] [ ] [ ]     − = =                     − =     −             − − +     −             =    →      − =     − +     =   →  = − − = − =               =      = 6 1 ] 3 [ 5 7 4 6 6 1 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5 3 1 1 2 1 1 ] 2 [ 1 1 1 1 1 ` 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 d d a a a H H l L Setelah mengetahui bagaimana melakukan transformasi dekomposisi dan rekonstruksi terhadap suatu vektor, selanjutnya bagaimana melakukan transformasi terhadap citra. Suatu citra dapat dianggap sebagai suatu matriks dua dimensi. Untuk citra dua dimensi, prosedur dekomposisi level tunggal terdiri dari citra satu dimensi yang di-filter pada arah mendatar kemudian diikuti oleh citra satu dimensi yang di- Universitas Sumatera Utara filter pada arah tegak yang diutilisasi dengan menggunakan filter tapis rendah dan filter tapis tinggi Bab II Teori Dasar., seperti pada gambar di bawah ini Lowpass terhadap baris Lowpass terhadap kolom Citra Highpass terhadap kolom Highpass terhadap baris Lowpass terhadap kolom Highpass terhadap kolom LL LH LL: hasil lowpass terhadap baris dan kolom LH: hasil lowpass terhadap baris diteruskan dengan highpass terhadap kolom HL HH HL: hasil highpass terhadap baris diteruskan dengan lowpass terhadap kolom HH: hasil highpass terhadap baris dan kolom .

2.4 Penerapan DWT dalam Kompresi Citra