Latar Belakang Tesis ini dapat dijadikan sumber pustaka yang merupakan HAK BEBAS

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberdayaan empowerment dalam konsepnya mulai marak diperbincangkan sekitar dekade 1970-an, dan terus berkembang sepanjang dekade 1980-an hingga 1990-an akhir abad ke-20. Munculnya konsep pemberdayaan merupakan akibat dari dan reaksi terhadap alam pikiran, tata-masyarakat dan tata-budaya sebelumnya yang berkembang di suatu Negara Pranarka dan Vidyandika, 1996 dalam Hikmat, 2010. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Dalam prosesnya pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat atau individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya survival of the fittes. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi Qakley dan Marsden, 1984 dalam Hikmat, 43-44:2010. Kedua atau kecenderungan sekunder, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Berdasarkan pada konsep Dubois dan Milles dalam Hikmat, 44:2010, pemberdayaan secara umum meliputi kegiatan-kegiatan yang salah satunya adalah merumuskan relasi kemitraan. Program Kemitraan dalam masyarakat Indonesia sudah merupakan suatu hal yang tidak asing untuk diterapkan, bangsa kita sudah mengenal kemitraan sejak berabad abad lamanya meskipun dalam skala yang sederhana, seperti gotong royong, sambat sinambat, partisipasi, mitra cai, mitra masyarakat desa hutan, mitra lingkungan dll. Dalam manajemen modern pengembangan sumberdaya manusia maupun pengembangan kelembagaanusaha, kemitraan merupakan salah satu strategi yang biasa ditempuh untuk mendukung keberhasilan implementasi manajamen modern. Kemitraan tidak sekedar diterjemahkan sebagai sebuah kerjasama antara berbagai pihak saja, akan tetapi kemitraan memiliki sebuah pola dan juga memiliki nilai strategis dalam mewujudkan keberhasilan suatu lembaga dalam menerapkan manajemen modern. Kemitraan dalam implementasi manajemen modern tidak terlepas dari adanya kesepahaman pengelolaan program, kesepahaman strategi pengembangan program antar lembaga yang bermitra merupakan faktor utama yang harus menjadi perhatian terlebih dahulu, oleh karena itu diantara lembaga yang bermitra harus ada pelaku utama kegiatan, sebagai suatu lembagaorang yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan program kegiatan tersebut. Kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing lembagaorang itulah yang dimitrakan sebagi wujud kerjasama untuk saling menutupi, saling menambah, dan saling menguntungkan mutualisme. Program Kemitraan dapat dilakukan dalam transfer teknologi, transfer pengetahuanketerampilan, transfer sumberdaya manusia, transfer cara belajar learning exchange, transfer modal, atau berbagai hal yang dapat diperbantukan sehingga terpadu dalam wujud yang utuh. Wujud nyata kemitraan dapat disepakati sebagai sebuah konsep kerjasama di mana dalam operasionalisasinya tidak terdapat hubungan yang bersifat sub- ordinasi namun hubungan yang setara bagi semua ”parties”. Sehingga dalam konsepsinya kemitraan memiliki prinsip yang harus menjadi kesepahaman diantara yang bermitra dan harus ditegakkan dalam pelaksanaannya meliputi: prinsip partisipasi, prinsip gotong royong sambat sinambat, prinsip keterbukaan transparancy, prinsip penegakkan hukum hak dan kewajiban, mengarah pada right-obligation, reward and punishment dan prinsip keberlanjutan sustainability, Kamil Mustofa, 2006. Seminar dan lokakarya Penyelenggeraan Pendidikan NonFormal dalam Era Otonomi Daerah Di Hotel Putri Gunurng Lembang Kabupaten Bandung Tanggal 19 s.d 20 November 2006. Dalam http:file.upi.eduDirektoriFIPJUR. _PEND._ LUAR_ SEKOLAH 196111091987031001 MUSTOFA_KAMILKemitraan_strategi.pdf . Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya, memulai membangun strategi, melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi sampai target tercapai. Semisal dalam menghadapi persaingan di abad ke-21, UKM dituntut untuk melakukan restrukturisasi dan reorganisasi dengan tujuan untuk memenuhi permintaan konsumen yang makin spesifik, berubah dengan cepat, produk berkualitas tinggi, dan harga yang murah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan UKM adalah melalui hubungan kerjasama dengan usaha besar UB. Kesadaran akan kerjasama ini telah melahirkan konsep supply chain management SCM pada tahun 1990-an. Supply chain pada dasarnya merupakan jaringan perusahaan- perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Pentingnya persahabatan, kesetiaan, dan rasa saling percaya antara industri yang satu dengan lainnya untuk menciptakan ruang pasar tanpa pesaing, yang kemudian memunculkan konsep blue ocean strategy. Kerjasama antara perusahaan di Indonesia, dalam hal ini antara UKM dan UB, dikenal dengan istilah kemitraan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Kemitraan tersebut harus disertai pembinaan UB terhadap UKM yang memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Manfaat kemitraan dapat ditinjau dari 3 tiga sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang ekonomi, kemitraan usaha menuntut efisiensi, produktivitas, peningkatan kualitas produk, menekan biaya produksi, mencegah fluktuasi suplai, menekan biaya penelitian dan pengembangan, dan meningkatkan daya saing. Kedua, dari sudut moral, kemitraan usaha menunjukkan upaya kebersamaan dam kesetaraan. Ketiga, dari sudut pandang soial-politik, kemitraan usaha dapat mencegah kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, dan gejolah sosial- politik. Kemanfaatan ini dapat dicapai sepanjang kemitraan yang dilakukan didasarkan pada prinsip saling memperkuat, memerlukan, dan menguntungkan. Keberhasilan kemitraan usaha sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnisnya. Pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam kemitraan harus memiliki dasar-dasar etika bisnis yang dipahami dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam menjalankan kemitraan. Sebagai contoh, dalam penelitian Kartika Tribuana Dewi dkk, yang meneliti tentang Kemitraan Masyarakat Peternak Sapi Perah Dengan KUD “BATU” Dalam Meningkatkan Ekonomi Masyarakat Peternak Sapi Perah. Dalam penelitian ini terjadi kemitraan antara publik dan privat. Disini sektor publik adalah masyarakat peternak dan privatnya adalah koperasi, yang saling bekerjasama untuk meningkatkan kualitas dalam proses pembuatan susu, dan meningkatkan ekonomi peternak sapi perah. Masyarakat disini sebagai produsen susu yang selanjutnya dikelola oleh koperasi sebagai penetapan standar agar susu dapat diproses lebih lanjut untuk siap dipasarkan ke pihak ketiga yaitu pabrik susu Nestle. Hasil penelitian Kartika Tribuana Dewi dkk, menunjukkan bahwa terlihat dalam kemitraan ini cukup berhasil karena dengan adanya kemitraan ini menguntungkan masyarakat dengan KUD “Batu”, masyarakat peternak bisa mewujudkan stabilitas perekonomian yang akhirnya mampu meningkatkan taraf pendidikan dan pembangunan rumah-rumah dan jalan yang bisa di rasakan oleh seluruh masyarakat, dan bagi KUD “BATU” yaitu dapat meningkatkan populasi sapi perah, dapat meningkatkan jumlah produksi susu dan dapat pemupuk modal yang ahkirnya dapat meningkatkan pelayanan pada para peternak, namun dengan demikian ada faktor yang menjadi penghambat dan pendukung dalam meningkatkan ekonomi peternak sapi perah, Faktor penghambatnya antara lain manajemen peternakan relatif tradisional, sulitnya mendapatkan makanan ternak di saat musim kemarau dan para peternak yang kurang memperhatikan kebersihan kandang, hal ini di karenakan SDM para peternak yang masih kurang. Menurut Keraf 1995 dalam http:jurnalukm.wordpress.com20100822kemitraan- usaha-dan-masalahnya, etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Dengan demikian, keberhasilan kemitraan usaha tergantung pada adanya kesamaan nilai, norma, sikap, dan perilaku dari para pelaku yang menjalankan kemitraan tersebut. Kemitraan usaha memerlukan adanya kesiapan yang akan bermitra, terutama pada pihak UKM yang umumnya tingkat manajemen usaha dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang rendah, agar mampu berperan seabagai mitra yang handal. Pembenahan manajemen, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pemantapan organisasi usaha mutlak harus diserasikan dan diselaraskan, sehingga kemitraan usaha dapat dijalankan memenuhi kaidah-kaidah yang semestinya. Sebagaimana diidentifikasi oleh Riana Infokop:2002, dalam Anik Tri Suwarni, 2005 banyak kelemahan yang dihadapi usaha kecil dan menengah pada umumnya termasuk usaha kecil ternak ternak sapi perah. Kelemahan tersebut antara lain terletak pada faktor SDM dan manajemen, sumber modal, teknologi, asosiasi pembina UKM dalam hal ini koperasi susu primer, komitmen pemerintah serta kurangnya koordinasi dan pengendalian. Kegagalan kemitraan pada umumnya disebabkan oleh fondasi dari kemitraan yang kurang kuat dan hanya didasari oleh belas kasihan semata atau atas dasar paksaan pihak lain, bukan atas kebutuhan untuk maju dan berkembang bersama dari pihak-pihak yang bermitra. Kalau kemitraan tidak didasari oleh etika bisnis nilai, moral, sikap, dan perilaku yang baik, maka dapat menyebabkan kemitraan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik. Diluar kerjasama antara UKM dan UB usaha besar, PT. Greenfiels Indonesia, perusahaan susu yang berada di desa Babadan kecamatan Ngajum Kabupaten Malang mengembangkan kerjasama dengan pola kemitraan di berbagai wilayah terkusus di Kabupaten Malang, missal pada Kecamatan Wonosari guna untuk mengoptimalkan peran masyarakat sekitar pabrik. Tahap awal rencana tersebut diawali dengan sosialisasi yang dilaksanakan PT. Greenfields Indonesia, Rabu, 11 April 2012 di Pendopo Kecamatan Wonosari. Hadir pada kesempatan tersebut Camat Wonosari, Kepala Desa dan kelompok tani se Kecamatan Wonosari. Dalam Sambutannya Bapak camat Wonosari Drs. Suharno menyampaikan, maksud sosialisasi PT Greenfields Indonesia adalah memberikan sebuah peluang usaha tani terintegrasi dengan peternakan, hal tersebut apabila dijalankan dengan sunguh-sungguh sesuai kaidah-kaidah kemitraan akan memberikan dampak positif yang sangat luar biasa bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Program Kemitraan yang dijalankan oleh PT Greenfields awalnya adalah bagian dari program CSR yang dimaksudkan sebagai upaya membentuk Ketahanan Lingkungan. Melalui program CSR tersebut program kemitraan dirasa kurang maksimal, lalu didirikanlah sendiri program kemitraan tersebut dan keluar dari program CSR. Progam kemitran PT Greenfields menjadi Departemen Kemitraan sendiri sejak sekitar tahun 2007 sampai sekarang yang dikepalai oleh Drh. Dikko Yudha Hidayat Head Departemen Kemitraan. Program Kemitraan sendiri bila dilihat dari sisi manajemen adalah sebagai Profit Center ditarget untung dan Cost Center sebagai pembiayaan sajatidak ditarget untung. Berdasar pada uraian di atas, maka mendorong peneliti untuk mengkaji lebih jauh lagi mengenai pemberdayaan masyarakat melalui program kemitraan yang sudah diterapkan oleh PT Greenfields ke dalam bentuk penelitian dengan judul MAKNA PEMBERDAYAAN PROGRAM KEMITRAAN SAPI PERAH PT.GREENFIELDS Studi pada warga masyarakat Desa di Kabupaten Malang.

B. Rumusan Masalah