1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam sistem peradilan pidana Indonesia terdakwa diberikan hak untuk
melakukan upaya hukum sebagai bentuk penolakan terhadap suatu putusan pengadilan yang telah diputuskan oleh hakim kepada pihak terdakwa yang
sebagaimana dalam hal ini telah dijelaskan dalam pasal 1 butir 12 KUHAP yang berbunyi “upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini ”. Apabila Banding dan
Kasasi sudah diajukan oleh pihak terdakwa ke pengadilan dan terdakwa belum merasa puas atas putusan hakim, pihak terdakwa dapat mengajukan upaya hukum
terakhir yang bisa dilakukan oleh terdakwa dengan mengajukan PK atau yang disebut permohonan Peninjauan Kembali seperti yang dijelaskan di pasal 263 ayat 1 KUHAP
bahwa ”Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli
warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung
”.
2 Namun upaya hukum permohonan Pengajuan Peninjauan Kembali PK menjadi
celah oleh para terdakwa yang melakukan tindak pidana berat yang sering dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa extra ordinary crime yang dimana
memerlukan cara-cara yang luar biasa juga extra ordinary measures untuk menanggulangi kejahatan tersebut. Apabila pengajuan permohonan peninjauan
kembali menjadi upaya terakhir terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Maka sebagai lembaga hukum tertinggi, Mahkamah
Agung mempunyai peran penting untuk lebih selektif dalam menerima serta mempertimbangkan bentuk upaya hukum pengajuan Peninjauan Kembali PK oleh
terpidana untuk tidak mempermudah menerima dasar alasan pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana khususnya terhadap kasus-kasus kejahatan
extra ordinary crime. Akhir-akhir ini penegakan hukum di Indonesia sering menuai kontroversi lantaran beberapa aparat penegak hukum khususnya hakim sering
membuat keputusan-kuputusan yang tidak sesuai dengan harapan rakyat yang mendambakakan keadilan dari penegakan hukum itu sendiri.
Seperti halnya dalam pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana Sudjiono Timan terkait kasus tindak pidana korupsi perusahaan BUMN PT.
persero Bahana Pembinaan Usaha Indonesia PT. BPUI yang diajukan ke Mahkamah Agung pada 20 januari 2012. Atas pengajuan PK tersebut Hakim
Mahkamah Agung memutus membatalkan putusan kasasi yang diajukan jaksa dengan No 434 KPid2003 tanggal 3 desember 2004 yang membatalkan putusan
3 pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan No 1440Pid.B2001PN.Jak.Sel tanggal 25
november 2002. Dalam putusannya Hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terpidana SUDJIONO TIMAN tersebut terbukti
akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana.
1
Atas putusan tersebut terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan Mahkamah
Agung atas permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Sudjiono Timan telah banyak menuai kontroversi lantaran Mahkamah Agung dinilai telah melepas
terdakwa yang statusnya kabur, padahal ditingkat kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum ke Mahakamah Agung, hakim memutus bahwa terpidana sudjiono
timan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Atas putusan hakim kasasi tersebut terpidana dihukum 15 tahun
penjara serta pidana tambahan berupa denda Rp.369.446.905.115 tiga ratus enam puluh sembilan milyar empat ratus empat puluh enam juta Sembilan ratus lima ribu
seratus lima belas rupiah.
SUDJIONO TIMAN merupakan Direktur PT persero Bahana Pembinaan Usaha Indonesia BPUI sejak tanggal 4 maret 1993. Bahwa sebagai direktur utama
sebuah Badan Usaha Milik Negara terdakwa berkewajiban mengelola PT. BPUI dengan penuh tanggung jawab dan itikad baik, dengan mengindahkan peraturan
perundang-undangan yang berlakau termasuk kewajiban untuk menerapkan pirnsip kehati-hatian prudential dalam mengelola aset Negara. Perusahan PT. BPUI
1
Lampiran Putusan Peninjauan Kembali No 97 PKPid.Sus2012 Tentang Amar Putusan , Hal 167
4 dibentuk dengan maksud dan tujuan perseroan sesuai dengan anggaran dasar
perseroan tersebut yang bertujuan untuk :
2
1. Kegiatan usaha yang dilakukan PT . BPUI harus ditujukan pada pengusaha
nasional kecil dan menengah. 2.
Tidak boleh mengabaikan kaidah-kaidah asas-asas berusaha yang sehat.
Dalam menjalankan perusahaan tersebut Sudjiono Timan mengalirkan dana pinjaman dengan cara Placement Line penempatan dana sebesar USD 5.117.304.47
ke Agus Anwar dan Franky Afandi sebagai pemilik perusahaan Kredit Asia Finance Limited KAFL yang berkedudukan di hongkong, penempatan dana dari PT. BPUI
ke perusahaan KAFL dengan cara melalui pembelian surat utang yang diterbitkan oleh KAFL senilai USD 5.400.000.00 dengan alasan bahwa KAFL adalah sebuah
perusahaan Multi Finance Company perusahaan jasa keuangan. Dengan cara Placement Line penempatan dana Sudjiono Timan dan Agus Anwar serta Franky
Afandi mengatur bahwa untuk aliran dana tersebut sebagai dana pinjaman tidak memerlukan agunan jaminan sebagaimana layaknya apabila menggunakan bentuk
pemberian pinjaman atau kredit. Atas tindakan terdakwa Sudjiono Timan yang memberikan pinjaman dana tanpa memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam
menjalankan perusahaan sebagaimana mestinya mengakibatkan Negara mengalami kerugian, seharusnya Sudjiono Timan sebelum meminjamkan dana terlebih dahulu
2
Lampiran Putusan Peninjauan Kembali No 97 PKPid.Sus2012 Tentang ADART PT BPUI, Hal 3
5 melakukan Due Diligence terhadap KAFL untuk meneliti kemampuan KAFL
mengembalikan hutang-hutangnya kepada PT. BPUI.
Atas kasus tersebut semestinya hakim agung lebih selektif dan berhati-hati dalam menerima permohonan pengajuan Peninjauan Kembali PK yang diajukan
oleh terpidana karena tidak semua terpidana bisa mengajukan permintaan Peninjauan Kembali, karena permintaan Peninjauan Kembali PK harus didasarkan beberapa
alasan yang menurut Undang-Undang berlaku. KUHAP sendiri mengatur secara jelas tentang alasan yang bisa dijadikan dasar untuk mengajukan permintaan Peninjauan
Kembali yang diatur dalam pasal 263 ayat 2 huruf a, b, c yang berbunyi sebagai berikut:
Permintaan Peninjauan kembali dilakukan atas dasar
a.
Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata. Menurut Yahya Harahap, dalam bukunya yang berjudul Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP menjelaskan bahwa alasan pertama yang
dijadikan landasan mendasari permintaan Peninjauan Kembali adalah “Keadaan
6 Baru
” atau yang sering disebut Novum. Keadaan baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan adalah keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas
“menimbulkan dugaan kuat” .
3
Sedangkan menurut Adami Chazawi, Untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali PK baik perkara pidana maupun
perdata, salah satu syarat materiilnya adalah ditemukannya bukti baru atau keadaan baru yang disebut NOVUM. Alasan matriil PK ditemukannya novum dalam perkara
pidana disebut dengan “Keadaan Baru” terdapat dalam Pasal 263 Ayat 2 huruf a KUHAP. Sementara ditemukannya novum, disebut dengan “surat-surat bukti yang
bersifat menentukan” dalam perkara perdata terdapat dalam Pasal 67 huruf b UU No.
14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang diubah pertama kali dengan UU No. 5 Tahun 2004 yang diubah kedua kalinya dengan UU No. 3 Tahun 2009.
4
Meskipun dengan menggunakan istilah yang berlainan tentang Novum tersebut, namun arti yang sebenarnya tidaklah berbeda. Perbedaan hanya terdapat bahwa dalam
perkara pidana tidak disebutkan secara tegas tentang alat buktinya dimana novum tersebut diperolehterdapat atau melekat. Namun novum dalam perkara perdata
secarta tegas disebut dengan alat bukti surat. Novum tersebut melekat dalam alat bukti surat. Oleh karena dalam perkara pidana, tempat melekatnya alat bukti novum
tidak disebut, maka Novum dalam perkara pidana bisa diperoleh dari alat bukti surat
3
Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Cetakan Kedua Belas, Sinar Grafika, Jakarta, Hal 619
4
Leden Marpaung, 2011, Proses Penanganan Perkara Pidana, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, Hal 209
7 maupun saksi.
5
Yang penting isi Novum tersebut berupa keadaan baru yang sebelumnya ketika perkara diperiksa di tingkat pertama, keadaan baru itu belum
diungkap dalam persidangan. Novum itu sebenarnya suatu fakta, dan fakta mestilah melekat pada suatu alat bukti. Alat bukti tersebut menurut Pasal 67 huruf b UU MA
tadi, berupa surat saja, namun dalam perkara pidana juga termasuk alat bukti saksi.
6
Dalam pengajuan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Fanny Barki selaku istri terpidana Sudjiono Timan berdasarkan putusan Hakim Agung MA atas
Peninjauan Kembali No 97 PKPid.Sus2012, Fanny Barki selaku istri terpidana Sudjiono Timan mengajukan Pemohon Peninjauan Kembali mendasarkan alasan
pengajuan PK pada pasal 263 ayat 2 huruf c tentang “Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata
” dengan menyampaikan lima 5 alasan sebagai dasar untuk mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali PK.
7
Dalam pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Fanny Barki selaku istri terpidana Sudjiono Timan berdasarkan lampiran putusan
Mahkamah Agung No 97 PKPid.Sus2012 tidak mengungkapkan alat bukti surat maupun saksi yang bersifat baru sebagai fakta tempat melekatnya Novum yang jika
dapat membuktikan maka akan terbentuk adanya suatu ”Keadaan Baru” yang menjadi syarat materiil alasan utama dalam pengajuan permohonan Peninjauan
Kembali tersebut, dengan begitu hakim agung dapat menjatuhkan putusan menolak
5
Ibid
6
Ibid, Hal 210
7
Lampiran Putusan Mahkamah Agung No 97 PKPid.Sus2012 Tentang Alasan Pengajuan PK Oleh Pemohon Dari Hal 150-160
8 pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pemohon Fanny Barki sebagai
istri terpidana Sudjiono Timan.
Yahya Harahap berpendapat bahwa putusan penolakan permintaan Peninjauan Kembali PK dapat dijatuhkan Mahkamah Agung dalam hal:
8
a. Alasan keberatan yang mendasari permintaan peninjauan kembali secara
formal memenuhi ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP. Artinya alasan keberatan yang mendasari permintaan, dirumuskan pemohon sesuai dengan
alasan yang dirinci dalam pasal 263 ayat 2 KUHAP. Alasan itu tidak menyimpang dari ketentuan pasal tersebut, sehingga ditinjau dari segi formal
telah memenuhi persyaratan yang ditentukan pasal 263 ayat 2 KUHAP.
b. Akan tetapi sekalipun alasan permintaan sah secara formal, namun alasan itu
“tidak dapat dibenarkan” karena sebabnya alasan itu tidak dapat dibenarkan secara factual tidak dapat dinilai sebagai keadaan baru atau novum. Keadaan
baru yang dikemukakan pemohon bukan merupakan keadaan baru yang secara nyata dapat menimbulkan dugaan kuat menghasilkan putusan lain seandainya
keadaan itu diketahui dan diajukan selama sidang berlangsung. Atau secara nyata keadaan baru yang dikemukakan pemohon, tidak mempunyai nilai
sebagai keadaan yang dapat memengaruhi putusan, harus berupa dan bersifat keadaan nyata yang benar-benar relevan sebagai fakta baru yang mempunyai
daya dan nilai melumpuhkan fakta lama yang diwujudkan dalam putusan yang dimintakan peninjauan kembali.
Dalam putusan PK terpidana Sudjiono Timan di Mahkamah Agung No 97 PKPid.Sus2012 hakim menimbang bahwa penjelasan pasal 2 ayat 1 undang-undang
no 31 tahun 1999 khususnya perbuatan melawan hukum materiil, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003PUU-IV2006 tanggal 25 juli 2006
dinyatakan bertentangan dengan undang-undang dasar Negara RI 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga berdasarkan
pasal 1 ayat 2 KUHP ketentuan perbuatan melawan hukum secara materilil dengan
8
Yahya Harahap, Op.cit. Hal 632-633
9 fungsi positif sudah tidak tepat lagi diterapkan dalam perkara peninjauan kembali.
9
Walaupun demikian, pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut praktiknya Mahkamah Agung tetap menganut ajaran perbuatan melawan hukum materiil
materiile wederrechtelijkheid dari sekian banyak putusan tersebut misalnya terdapat dalam putusan mahkamah agung No 2064KPid2006 tanggal 8 januari 2007 atas
nama terdakwa H. Farani Suhaimi, disana hakim Mahkamah Agung tetap mempergunakan perbuatan melawan hukum materiil.
10
Putusan tersebut seharusnya dijadikan yurisprudensi oleh hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara
permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh terdakwa tindak pidana korupsi Sudjiono Timan.
Jika dikembalikan pada ulasan pertama tentang tulisan ini jelas bahwa seharusnya hakim lebih ketat dan selektif terhadap permohonan pengajuan Peninjauan Kembali
oleh terpidana karena KUHAP telah mengatur secara jelas dan rinci tentang pihak- pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali serta alasan yang mendasari
pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana. Peninjauan Kembali PK pada dasarnya harus memenuhi persyaratan baik dari segi formiil yang diatur
pada pasal 263 ayat 1 tentang pihak-pihak yang berhak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, serta harus memenuhi persyaratan materiil yang mendasari
alasan pengajuan Peninjauan Kembali setiap terpidana yang telah diatur dalam pasal
9
Lampiran Putusan MA No 97 PKPid.Sus2012 Tentang Pertimbangan Hakim, Hal 162 -163
10
Lilik Mulyadi , 2012, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik, Alumni, Bandung, Hal 193
10 263 ayat 2 huruf a, b, c KUHAP. Pada dasarnya alasan pertama yang dapat dijadikan
dasar dalam pengajuan peninjauan kembali adalah ditemukannya Alat Bukti Baru atau yang sering disebut dengan Novum. Dalam pengajuan Peninjauan Kembali
tersebut yang didasarkan pada Novum harus dapat membuktikan fakta baru yang dimana fakta baru tersebut dapat ditemukan pada alat bukti saksi dan surat. Apabila
dalam pengajuan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan terdakwa kepada hakim tidak menemukan adanya “Keadaan Baru” atau novum maka hakim berhak
menolak permohonan yang diajukan oleh pemohon. Namun dalam pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh istri terpidana sudjiono timan mendasarkan
pada pasal 263 ayat 2 huruf c KUHAP tentang “Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata
”. Dengan demikian syarat materil dalam pengajuan peninjauan kembali terpidana sudjiono
timan tidak mendasarkan pada pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP tentang keadaan baru atau yang disebut novum, serta tidak mendasarkan pula pada pasal 263 ayat 2 hurf b
KUHAP tentang adanya suatu putusan yang satu dengan yang lainya bertentangan. Bahwa tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang bersifat extra
ordinary crime yang penanggulangannya membutuhkan cara-cara yang luar biasa
extra ordinary enforcement salah satunya dengan cara tidak mudah menerima
permohonan pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana tindak pidana korupsi apabila dalam pengajuannya tidak memenuhi persyaratan formill serta
persyaratan materiil. Sehingga dengan begitu akan memberikan efek jera apabila hakim sebagai garda paling depan untuk menegakkan keadilan, maka hakim
11 diperlukan perannya untuk ikut memberantas para pelaku tindak pidana korupsi
dengan cara memberikan hukuman yang setimpal serta lebih ketat lagi untuk tidak menerima permintaan Peninjauan Kembali yang dilakukan terpidana khususnya
terpidana yang melakukan tindak pidana korupsi apabila syarat formil dan materiil dalam pengajuan Peninjauan Kembali tidak terpenuhi.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, penulis berkeinginan untuk melakukan penulisan hukum yang akan mengulas tentang permasalahan-
permasalahan yang telah disebutkan pada latar belakang dengan judul sebagai
berikut: “ANALISIS TENTANG SYARAT FORMIL DAN MATERIL DALAM PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI No 97 PKPid.Sus2012 DALAM
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TERPIDANA SUDJIONO TIMAN”
B. Rumusan Masalah