Peninjauan kembali (PK) kasus Munir dalam perkara terpidana Pollycarpus menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia dan Hukum Islam

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Amiril Mujahidin

NIM : 102043124906

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

H. Zubair Laini, SH Asmawi, M.Ag

NIP : 197210101997031008

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H/2009 M


(2)

DAFTAR ISI ...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Metode Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II DESKRIPSI YURIDIS PENINJAUAN KEMBALI A. Pengertian Peninjauan Kembali ... 14

B. Peninjauan Kembali Menurut Pasal 263 KUHAP ... 16

C. Peninjauan Kembali Menurut Undang-Undang No. 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ... 20

BAB III DESKRIPSI TENTANG PENINJAUAN KEMBALI KASUS MUNIR A. Kronologi Pembunuhan Munir ... 23

B. Proses Hukum Kasus Munir ... 28

C. Sidang Peninjauan Kembali Dalam Kasus Munir ... 33

D. Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 263 KUHAP Dan Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman Dalam Kasus Munir ... 42


(3)

KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA PEMBUNUHAN MUNIR A. Konsepsi Hukum Acara Pidana Islam... 52 B. Analisis Hukum Islam Terhadap Prosedur Peninjauan Kembali Kasus

Munir ... 63 C. Pandangan Hukum Islam terhadap Argumentasi Hukum Dalam

Peninjauan Kembali Kasus Munir ... 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 77 B. Saran ... 80 DAFTAR PUSTAKA ...


(4)

1

A. Latar Belakang Permasalahan

Hukum yang ideal seharusnya mampu mengakomodir tiga faktor penting yang menentukan kelayakan sebuah aturan hukum, yakni hukum harus bernilai yudikatif, sosiologis, dan filosofis. Hanya dengan ketiga faktor tersebut sebuah hukum memungkinkan untuk diterapkan dalam sebuah komunitas masyarakat atau dalam sebuah negara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa syarat keberlangsungan sebuah tatanan masyarakat yang sehat diperlukan beberapa faktor yakni aturan hukum yang baik, aparat penegak hukum yang baik, fasilitas yang memadai, serta masyarakat yang baik pula.1

Dalam proses penerapan hukum, para penegak hukum akan selalu menghadapi tantangan antara mengedepankan ketertiban hukum atau ketentraman umum, dimana keduanya tidaklah kemudian menghendaki pembedaan karena kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan. Ketertiban hukum atau tertib hukum sangat diperlukan oleh aparat penegak hukum sebagai alat dalam menerapkan aturan hukum dan memperoleh kepastian hukum, sedangkan ketentraman umum atau kedamaian yang menjadi cita-cita hukum, dalam beberapa kondisi kadang tidak selalu selaras dengan kepentingan ketertiban hukum. Seringkali kedua hal

1 Dr. Soerjono Soekanto SH.,MA dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta : CV. Rajawali, 1980), hal. 13-18.


(5)

penguasa atau negara, sedangkan segi ketentraman dan kedamaian menyangkut kepentingan warga negara.2

Salah satu contoh dalam diskursus ini adalah ketika proses peradilan dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, dimana terjadi sebuah terobosan hukum dalam proses beracara sebagai upaya penyelesaian kasus ini, dimana hal ini telah melampaui tertib hukum acara pidana yang ada, namun hal ini dipandang perlu untuk tetap dilakukan oleh pihak kejaksaan demi menjaga tujuan hukum yakni mewujudkan ketenteraman dalam kehidupan warga negara, karena jika kasus ini tidak dituntaskan secara adil maka akan melukai rasa keadilan dalam masyarakat.

Maka berangkat dari asumsi apakah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sudah memenuhi keadilan materiil atau belum3, maka Peninjauan kembali (PK) dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan termohon Pollycarpus Budihari Priyanto dilakukan oleh jaksa (yang menurut peraturan dalam KUHAP pasal 263 ayat 1, PK merupakan hak bagi terpidana atau ahli warisnya) sebagai upaya untuk menjaga wibawa lembaga peradilan. Karena pemenuhan keadilan atas korban tindak kejahatan merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh negara, karena peran negara adalah melindungi dan mengayomi

2 Dr. Soerjono Soekanto SH., MA dan Mustafa Abdullah..., hal. 25-27.

3 Adi Andojo Soetcipto, Prospek Penyelesaian Kasus Munir Melalui Peninjauan Kembali Putusam MA, Dalam Komite Solidaritas Aksi Untuk Munir (KASUM), Risalah Kasus Munir, Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum, (Jakarta: C.V. Rinam Antartika, 2007) hal.281.


(6)

kepentingan negara disatu pihak jaksa juga mewakili kepentingan korban tindak kejahatan yang notabene merupakan warga negara yang juga harus mendapatkan perlindungan di muka pengadilan. Mengutip keterangan Ibn Khaldun, bahwa negara atau penguasa seringakali memiliki kecenderungan untuk menggunakan otoritasnya untuk melakukan ketidakadilan, 5 maka negara juga membutuhkan kontrol dari warga negara itu sendiri. Perwujudan kontrol terhadap negara difasilitasi melalui undang-undang tentang jaminan perlindungan terhadap keamanan dan kesejahteraan rakyatnya.

Yang menarik dalam proses peninjauan kembali kasus Munir adalah, bahwa peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang menjadi hak bagi terdakwa atau ahli warisnya, namun ketentuan ini diterobos oleh jaksa penuntut umum melalui berbagai argumentasi hukum yang akan penulis paparkan pada bab-bab selanjutnya.

Jika dalam Pasal 263 KUHAP6 dijelaskan bahwa :

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

2) Permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan atas dasar :

a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,

4 Prof. Dr. Mr. L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Pradnya Paramita,

1996), Cet. Ke-26, hal. 10-16.

5 Ibn Khaldun, Muqaddimah, Penerjemah: Ahmadie Toha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006)

Cet. Ke-6, hal. 187-190.

6 Peninjauan Kembali atau PK diatur dalam KUHAP pasal 263-269, Lihat. Dr. Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004) Cet. Ke-11, hal.339-342.


(7)

tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau kenyataan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Maka pasal ini diterobos oleh pihak kejaksaan dengan menggunakan undang-undang nomor 4 tahun 2004 pasal 23 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi :

Pasal 23

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Lebih lanjut pihak kejaksaan menambahkan bahwa pasal 23 ayat satu menjelaskan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan peninjauan kembali, sehingga pasal ini mengandung penafsiran bahwa jaksa juga memiliki hak untuk mengajukan peninjauan kembali kepada mahkamah agung. Salah satu ketentuan atau syarat dalam mengajukan PK adalah ketika ditemukan novum atau bukti baru dalam satu perkara pidana yang dapat mengarahkan pada kebenaran materiil.


(8)

tanpa cela sebagaimana yang akan Penulis sajikan pada bab-bab selanjutnya, Sebagai pendahuluan dalam pembahasan ini Penulis kemukakan bahwa Peninjauan Kembali merupakan aturan hukum yang diproduksi pada zaman kolonial belanda. Sejarah mencatat bahwa pada mulanya peninjauan kembali dikenal dengan istilah Herziening dimana lembaga ini tidak berlaku bagi

inlander,7 namun para ahli hukum negara kita menyadari bahwa kondisi yang demikian memberikan peluang bagi penguasa atau negara untuk melakukan pelanggaran HAM8 tanpa dapat tersentuh oleh hukum, sehingga peninjauan kembali dirumuskan dalam rangka melindungi terpidana jika di kemudian hari diketahui telah terjadi kesalahan dalam penerapan hukuman.

Perdebatan juga terjadi seputar ayat-ayat yang ada dalam pasal 263 KUHAP terutama ayat 3 yang menyatakan bahwa PK dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Ayat ini ditafsirkan oleh kalangan ahli hukum bahwa putusan bebas yang dalam ayat 1 pasal 263 sedianya tidak dapat diajukan peninjauan kembali oleh pihak penuntut umum atau jaksa menjadi dapat diajukan

7 S. Tanusubroto,

Dasar-dasar hukum acra pidana, (Bandung: C.V. Armico, 1989), Cet. II, hal. 161. Inlander adalah kata yang digunakan oleh Belanda untuk menyebut penduduk pribumi, yang berarti bahwa penduduk pribumi mendapatkan perlakuan yang lebih rendah daripada warga Belanda.

8 Pelanggaran HAM adalah pelanggaran terhadap hak dasar seseorang karena adanya

penyelewengan atau penyalahgunaan otoritas negara. Jadi pelaku pelanggaran HAM adalah selalu aparat negara. Lihat Simon S.H dan Mugiyanto, Mengenal HAM dan Hak Korban Seri Buku Saku , ( Jakarta: Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Kontras Aceh, Catholic Agency for Overseas Development, t.t) hal. 19.


(9)

terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan dapat diartikan sebagai putusan bebas.9 Inilah beberapa kerancuan yang ada dalam pasal-pasal mengenai pengaturan mekanisme PK.

Jika kita menarik persoalan peninjauan kembali ke dalam sistem hukum Islam terlebih dahulu harus diketahui bahwa PK merupakan persoalan dalam rangka proses beracara di muka sidang peradilan, Kesulitan dalam penulisan skripsi ini adalah bahwa dalam perkuliahan yang sudah Penulis jalani, Penulis hanya mendapatkan KUHPnya (hukum materiil) hukum Islam saja, tetapi Penulis belum mendapatkan bagaimana proses beracara atau KUHAPnya hukum Islam sebagai pedoman melaksanakan proses peradilan di muka persidangan, misalnya yang berlangsung di beberapa dunia Islam, katakanlah Mesir atau Arab Saudi, , atau bagaimana proses beracara pada masa Islam generasi nabi atau era sahabat nabi, atau generasi dinasti-dinasti Islam, sehingga diperoleh preseden mengenai proses peradilan yang berlaku di dalam hukum Islam. Sehingga ini merupakan tantangan tersendiri, setidaknya sebagai usaha untuk belajar menggali khazanah hukum Islam, tanpa niat sama sekali untuk mengecilkan persyaratan ijtihad yang ditawarkan atau disyaratkan oleh ulama-ulama Islam terdahulu,10 serta sebagai

9 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP ( Jakarta,

Sinar Grafika, 2006 ) Cet. 8, Hal. 649.

10 Karena penting untuk dipahami bahwa al-Qur’an secara berulang-ulang menegaskan

gagasan tentang tanggung jawab dan pertanggung jawaban pribadi. Pada hari akhir tidak seorangpun akan menanggung dosa orang lain dan tidak seorangpun dapat menghapus dosa orang lain. Pada dasarnya, setiap orang harus menyelidiki dan mencari hukum Tuhan, dan kemudian menaatinya dengan penuh keimanan. Namun demikian lebih lanjut dikemukakan bahwa meskipun manusia


(10)

hukum Islam.

Ide dalam skripsi ini adalah, bahwa dalam rangka mencari keadilan dan kebenaran, cara-cara yang melampaui norma-norma yang bersifat positifistik perlu untuk dilakukan karena hukum yang sudah terpositifisasi kadang sudah tidak mampu lagi digunakan sebagai upaya mendapatkan keadilan, sementara bukti-bukti yang dapat mengarahkan didapatkannya kebenaran secara materiil seringkali terbentur aturan-aturan hukum yang sudah terpositifisasi.

Berdasar pada ide di atas tersebut maka Penulis ingin menelusuri sejauh mana Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran, memberikan dukungan dalam usaha memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran itu, dalam rangka proses pengungkapan nilai-nilai dasar tersebut di depan pengadilan di dunia, sebelum mempertanggung jawabkan semuanya di akhirat nanti.

Kronik dalam pemikiran ini menjadi sesuatu yang menarik karena Penulis meyakini bahwa nilai dan norma dalam ajaran agama Islam mampu memberikan ketenteraman dalam kehidupan, menjangkau dan melintasi batas ras, suku, dan bangsa. Namun tanpa pengkajian yang mendalam, nilai-nilai universal yang ada dalam hukum Islam menjadi sesuatu yang usang, yang pada akhirnya kita sendiri

dipandang sebagai pelaksana kehendak Tuannya, mereka sebenarnya pelaksana yang tidak sepenuhnya bebas, karena terikat dengan seperangkat instruksi khusus yang dikeluarkan oleh Tuannya. Lihat Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004). Hal. 51-53.


(11)

sumber ide dalam mewarnai kehidupan dalam rangka menuju perdamaian.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Dari paparan latar belakang diatas didapat beberapa rumusan permasalahan berikut ini :

1. Bagaimanakah prosedur peninjauan kembali dalam kasus Munir menurut KUHAP ?

2. Bagaimanakah substansi argumentasi hukum yang diajukan oleh jaksa terhadap upaya peninjauan kembali dalam kasus Munir ?

3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap prosedur dan substansi argumentasi hukum peninjauan kembali dalam kasus Munir ?

Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak melebar maka masalah dalam skripsi ini dibatasi dengan dua hal, yakni :

1. Pandangan hukum Islam mengenai peninjauan kembali dalam kasus Munir. 2. Ketentuan Peninjauan Kembali yang diatur dalam pasal 263 KUHAP dan UU

No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini adalah :


(12)

jaksa dalam pengajuan peninjauan kembali kasus Munir.

3. Untuk mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap prosedur dan substansi argumentasi hukum dalam peninjauan kembali kasus Munir.

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Pengembangan wacana bagi hukum pidana Islam.

2. Memberikan informasi tentang hal-hal terkait peninjauan kembali dalam hukum acara pidana di Indonesia.

3. Memberikan informasi mengenai pandangan hukum Islam terhadap upaya mencari keadilan keadilan melalui peninjauan kembali seperti yang dilakukan oleh jaksa dalm kasus Munir.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif karena data-data yang digunakan dalam skripsi ini merupakan data yang bersifat normatif doktriner, yakni berupa perundang-undangan dan putusan pengadilan.11 Disamping data primer tersebut, data yang akan digunakan sebagai pendukung juga merupakan data kualitatif yang merupakan data sekunder berupa artikel, buku-buku terkait

11 Lihat Amiruddin, S.H., M.Hum dan H. Zainal Asikin, S.h., S.U, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta : Rajawali Press, 2006), hal. 118


(13)

dalam kategori penelitian kualitatif.12

Selanjutnya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni sebagai upaya untuk memberikan gambaran yang tepat dari suatu gejala, dan memberikan analisis yang cermat mengenai fenomena hukum yang ada, dimana dalam skripsi ini akan dijelaskan mengenai upaya peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa atas kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.

2. Sumber Data

Adapun data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data-data sekunder karena merupakan data-data-data-data berupa peraturan perundang-undangan juga buku-buku yang telah dibuat oleh peneliti-peneliti terdahulu.13

Data-data sekunder yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : 14

1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. b. Al-Qur’an al-karim dan al-Hadits

c. Undang-undang No. 4 tahun 2004 mengenai kekuasaan kehakiman

12Ibid, hal. 25,

13 Lebih lanjut lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinajauan Singkat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001 ), hal.1


(14)

oleh jaksa.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan tertulis yang dipergunakan untuk memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku pidana, artikel, dan lain-lain.

3. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lelebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum dan bahan rujukan bidang hukum, seperti bibliografi hukum, ensiklopedia, kamus hukum, dan sebagainya.

Dari data-data yang telah dikumpulkan kemudian menganalisis data tersebut, dengan menggunakan metode analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.15

3. Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan tekhnik studi dokumenter, yakni dengan cara mengumpulkan berbagai informasi berupa dokumen-dokumen hukum selama proses persidangan kasus Munir, maupun data-data berupa artikel dan tulisan beberapa ahli hukum yang membicarakan topik yang dimaksud dalam penelitian ini.

15 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia


(15)

4. Teknik Analisis Data

Karena data-data yang sudah dikumpulkan merupakan data-data dokumen tertulis maka data kemudian dianalisis dengan teknik analisis isi secara kualitatif (qualitative content analysis),16

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang diterbitkan oleh U I N Syarif Hidayatullah Jakarta 2007 M.

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini ditulis dalam empat bab pembahasan dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab Pertama Pendahuluan, Dalam bab ini akan dibahas mengenai Latar Belakang Masalah, Tujuan Penulisan, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab kedua berjudul Deskripsi Yuridis Peninjauan Kembali Dalam KUHAP, Dalam Bab Ini Akan membahas tentang Pengertian Peninjauan Kembali menurut Pasal 263 KUHAP, serta Pengertian Peninjauan Kembali Menurut Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

16 Drs. Sumadi Suryabrata, B.A, M.A, Ed.S, Ph.D, Metodologi Penelitian ( Jakarta : Raja


(16)

Bab ini akan membahas mengenai kronologi pembunuhan Munir, Proses Hukum Kasus Munir, Peninjauan Kembali Dalam Kasus Munir, dan Hubungan Antara Pasal 263 KUHAP dengan Undang-undang Kehakiman Dalam Kasus Munir.

Bab keempat adalah analisis hukum Islam terhadap upaya peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana pembunuhan munir, Pada bab ini akan diuraikan Konsepsi Hukum Acara Pidana Islam, Analisi Hukum Islam Terhadap Prosedur Peninjauan Kembali Kasus Munir Sebagai Upaya Untuk Mendapatkan Keadilan. Serta Pandangan Hukum Islam Terhadap Substansi Argumentasi Hukum Dalam Peninjauan Kembali Kasus Munir.

Bab kelima penutup, Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang penulis lakukan serta saran-saran yang mungkin membangun.


(17)

14

A. Pengertian Peninjauan Kembali

Dilihat secara gramatikal, peninjauan adalah proses atau cara meninjau. Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia meninjau bisa berarti melihat sesuatu dari ketinggian, mempelajari dengan cermat, dan memeriksa untuk memahami.21 Dari ketiga makna tersebut, istilah peninjauan lebih relevan dengan makna yang ketiga yaitu memeriksa untuk memahami, karena memeriksa itu berarti melihat dengan teliti untuk mengetahui keadaan.22 Dengan demikian, peninjauan kembali secara gramatikal berarti melihat dan memahami kembali dengan teliti suatu keadaan untuk memperoleh pemahaman baru.

Tujuan dilakukannnya PK sebagai upaya hukum adalah untuk memeriksa sebuah putusan hukum di tingkat kasasi yang dianggap belum memenuhi keadilan materiil agar benar-benar memenuhi asas keadilan sekaligus demi menjaga wibawa hukum di hadapan masyarakat, karena keadilan hukum materiil itu lebih penting daripada kepastian hukum yang bersifat formil. Dengan demikian secara ilmiah kepastian hukum itu dapat diterobos oleh keadilan hukum materiil. Jadi untuk kepentingan keadilan itulah KUHAP mengatur PK sebagai upaya hukum

21Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi Ketiga, Cet. II, hal. 1198


(18)

luar biasa.23 Disebut hukum luar biasa, karena sejatinya PK adalah memeriksa kembali putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Zainul Bahry dalam buku Kamus Umum di Bidang Hukum dan Politik menjelaskan bahwa PK merupakan suatu upaya hukum luar biasa, dari keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diajukan kepada Mahkamah Agung oleh terpidana, ahli warisnya atau kejaksaan.24

Dalam bukunya, Yahya Harahap menyebut PK sebagai upaya hukum luar biasa yang dilakukan terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sehingga kasus yang belum memperoleh ketetapan hukum tidak dapat diajukan PK.25 Sementara S. Tanusubroto menyebut PK sebagai lembaga Herziening, yang diartikan sebagai upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan yang telah memperoleh suatu kekuatan hukum yang tetap.26

Dari uraian mengenai pengertian PK di atas, maka dapat disarikan sebuah definisi bahwa PK adalah sebuah upaya hukum luar biasa yang dilakukan sebagai

23Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM), Risalah Kasus Munir; Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum, (Jakarta: C.V. Rinam Antartika, 2007), Cet. I, h. 281

24Zainul Bahry, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, (Bandung: Angkasa,

1996), h. 238

25 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2006), Edisi Kedua, Cet. VIII, h. 614

26 S. Tanusubroto,

Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung: CV. Armico, 1989), Cet. II, h. 161, lebih lanjut diterangkan bahwa lembaga “herziening” tersebut tidak berlaku bagi pengadilan “inlander”.


(19)

usaha untuk menemukan kebenaran dan keadilan yang dilakukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

B. Peninjauan Kembali Dalam Pasal 263 KUHAP

Pada sub bab pengertian PK menurut Pasal 263 KUHAP ini akan dipaparkan terlebih dahulu pengertian KUHAP dan hal-hal yang terkait dengan KUHAP secara singkat agar diperoleh pemahaman PK secara komprehensif. KUHAP merupakan kependekan dari Kitab27 Undang-Undang Hukum Acara

Pidana.

Membahas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentu tidak terlepas dari pembahasan Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) itu sendiri. KUHAP biasanya disebut juga dengan hukum pidana formil, sedangkan KUHP bisanya disebut juga dengan hukum pidana materiil.

Van Apeldoorn menjelaskan bahwa hukum pidana materiil itu menunjukkan peristiwa-peristiwa pidana atau peristiwa-peristiwa yang dikenai hukum beserta hukumannya.28 Sedangkan hukum pidana formil mengatur cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana

27

Kitab berasal dari bahasa Arab yang berarti kumpulan atau buku.

28L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996), Cet.


(20)

materiil.29 Artinya pembagian hukum pidana menjadi dua bagian ini secara aplikasi tidak bisa dipisahkan.

Terkait dengan Hukum Acara Pidana ini, Zainul Bahri merumuskan pengertian Hukum Acara Pidana ini dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana caranya tertib hukum pidana dapat ditegakkan dan dipertahankan jika terjadi suatu pelanggaran ataupun tindak kejahatan.30

Secara filosofis, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dibentuk dalam rangka untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya (sejati) dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.31

Penjelasan filosofis di atas menunjukkan bahwa pembentukan KUHAP itu ditetapkan bertujuan untuk mencari dan mendapatkan keadilan yang tidak sekedar hitam-putih suatu peristiwa pidana. Kebenaran selengkap-lengkapnya adalah

29Ibid.,h. 335

30Zainul Bahry, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, (Bandung: Angkasa,

1996), h. 99

31S. Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung: CV. Armico, 1989), Cet. II,


(21)

kebenaran yang memenuhi aspek formil dan materiil yang didasarkan pada keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

S. Tanusubroto mengidentifikasi pokok-pokok Hukum Acara Pidana sebagai berikut:

1. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa telah terjadi suatu tindakan pidana, cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan.

2. Siapa dan cara bagaimana harus mencari, menyelidik dan menyidik orang-orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, bagaimana caranya menangkap, menahan dan memeriksa orang itu.

3. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah badan dan tempat-tempat lain serta menyita barang-barang itu. 4. Cara bagaimana memeriksa dalam sidang Pengadilan terhadap terdakwa oleh

hakim sampai dijatuhkannya pidana.

5. Siapa dan cara bagaimana putusan hakim itu harus dilaksanakan.32

Dengan demikian kedudukan KUHAP merupakan instrument untuk mengungkap suatu peristiwa pidana dari awal kejadian sampai dengan eksekusi di pengadilan. Namun untuk mengungkap suatu peristiwa pidana tersebut tidak cukup hanya dengan petunjuk-petunjuk yang bersifat legalistic-positifistik semata melainkan juga harus bersifat subtantif, karena dalam proses persidangan kadangkala beberapa kasus pidana bisa sangat rumit dan kompleks.

Berbicara PK berdasarkan KUHAP di atas, maka PK dijelaskan sebagaimana pada pasal 263 sampai dengan 269 sebagai berikut;

Pasal 263

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.


(22)

2) Permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan atas dasar :

a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau kenyataan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh sutau pemidanaan.

Pasal 264

1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.

3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu. 4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang

memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali. 5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali

beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan.

Pasal 265

1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2).

2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.

3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan


(23)

berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.

4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.

5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan.

Pasal 266

1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya

2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,

Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;

b. apabila Mahkarnah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:

1. putusan bebas;

2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;

3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;

4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh

melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Pasal 267

1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4)

dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali.

Pasal 268

1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.


(24)

2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.

3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.

PasaI 269

Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi acara permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.33

Dari paparan pasal 263-269 KUHAP di atas ternyata tidak didapati pengertian atau definisi secara eksplisit mengenai peninjauan kembali, namun di dapat beberapa hal-hal yang terkait dengan PK, seperti unsur atau syarat yang membuat sebuah keputusan dapat dilakukan peninjauan kembali. Sehingga mengenai definisi mengenai PK kiranya penulis cukupkan pada beberapa definisi umum yang sudah penulis kemukakan di atas.

Mencermati isi pasal 263 diatas secara eksplisit didapat penjelasan bahwa secara formil pihak-pihak yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, dan tidak ada keterangan secara eksplisit mengenai kewenangan jaksa untuk mengajukan PK. Sehingga PK dalam hal ini adalah milik terdakwa serta ahli warisnya dalam upaya hukum luar biasa.

Penjelasan diatas juga memberikan penjelasan bahwa pada dasarnya PK digunakan sebagai perlindungan terhadap terpidana, karena dalam konteks hukum pidana, terpidana berhadapan dengan negara yang notabene memiliki kekuatan,34

33Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h. 339-342 34 Peninjauan undang-undang semacam ini dikenal dengan metode Legislative History.


(25)

sehingga dalam situasi seperti ini antisipasi terhadap penyalahgunaan kewenangan negara serta perlindungan terhadap terdakwa mutlak menjadi perhatian hukum. Kehadiran RUU pasal 263 ini bebrbarengan dengan mengemukanya wacana tentang penegakan HAM, sehingga RUU pasal ini juga mendapat perhatian dari publik agar terdakwa mendapat perlakuan yang lebih baik, untuk itulah jaksa (yang dalam konteks ini mewakili negara) kemudian dibatasi agar tidak diberi hak melakukan peninjauan kembali.35

Tetapi pada ayat 3 pasal 263 terdapat kerancuan hukum (Il concidere)

seiring dengan adanya frase “...suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh sutau pemidanaan.” Frase ini mengandung pengertian bahwa terhadap putusan bebas dapat diajukan PK, namun dengan dibatasinya pihak yang berhak mengajukan PK pada ayat 1, serta ketidak mungkinan terdakwa untuk mengajukan PK terhadap putusan bebas yang telah diberikan pada terdakwa, memunculkan penafsiran bahwa ayat 3 memberikan peluang bagi jaksa untuk mengajukan PK.36 Dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman pasal 23 juga disebutkan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan PK, tanpa ada limitasi bagi terdakwa atau ahli

35 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua,

(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), cet. VIII, hal. 651. Menurut pemikiran penulis jika dalam kasus ini jaksa mengajukan peninjauan kembali adalah bukan dalam konteks membela kepentingan negara secara langsung, tetapi membela kepentingan warga negara atau dalam kasus ini menuntut dan memberikan keadilan bagi keluarga Munir, sehingga perlu adanya perubahan keadilan retributif manjadi keadilan sosiologis.


(26)

warisnya, sementara pihak-pihak yang berkepentingan dalam peradilan adalah terdakwa, hakim, dan jaksa. Inilah beberapa “kontroversi” yang ada dalam pasal 263 KUHAP, sehingga pasal ini menurut M. Yahya Harahap dinilai sebagai pasal yang Il concider atau tidak jelas.37

Namun dalam kondisi tertentu penafsiran secara ekstensif tetap perlu dilakukan bila ada fakta hukum baru yang dapat mengarahkan pembuktian pada kebenaran demi tercapainya kebenaran materiil. Jika kita tarik dalam kasus pembunuhan Munir, maka kejahatan terhadap Munir adalah kejahatan yang dilakukan oleh aparatur negara,38 sehingga dalam hal ini negara harus membenahi aparaturnya melalui proses peradilan yang seadil-adilnya. Mengingat rumitnya kasus ini, maka tanpa penafsiran ulang yang progresif terhadap undang-undang yang ada, kasus ini mustahil dapat diselesaikan secara adil.

Kiranya pembahasan seputar siapa yang berhak untuk mengajukan PK dalam bab ini kita cukupkan dengan merujuk pada undang-undang yang ada, karena berbagai penafsiran terhadap undang-undang ini akan penulis sajikan pada pembahsan mengenai tinjauan yuridis terhadap peninjauan kembali kasus Munir.

Selanjutnya mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang berkepentingan, agar permohonan PK dapat diproses di pengadilan antara lain seperti yang dijelaskan dalam pasal 263 KUHAP.

37 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP...hal. 649 38 Pollycarpus adalah pilot maskapai penerbangan Garuda, dimana maskapai ini adalah milik

Negara yang tergabung dalam BUMN, sehingga keterlibatan pollycarpus dalam pembunuhan Munir merupakan tanggung jawab Negara, maka pembunuhan terhadap Munir dpat dikategorikan pelanggaran HAM.


(27)

Dari kandungan pasal 263 KUHAP dapat diidentifikasi beberapa syarat formil yang harus menyertai permohonan PK. 39

1. Putusan pengadilan harus telah memiliki kekuatan hukum tetap, karena bagi putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, cukup ditempuh dengan pengadilan biasa dan banding, karena memang PK merupakan upaya hukum luar biasa.

2. Menurut pasal 263 pihak yang boleh mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, karena pasal ini diperuntukkan untuk melindungi terdakwa dari kesalahan putusan pengadilan. Sedangkan upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh jaksa adalah upaya kasasi demi kepentingan hukum sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 260 KUHAP.40

3. Apabila ditemukan keadaan baru (novum) yang dapat membebaskan terpidana dari segala tuntutan atau meringankan hukuman, jika diketemukan bukti baru yang demikian maka terpidana boleh mengajukan PK. Persoalan yang muncul adalah bagaimana jika novum yang diketemukan belakangan justru mengarah pada bersalahnya terpidana, sementara PK hanya diperuntukkan buat terdakwa. Persoalan ini akan dibahas pada bab IV mengenai proses persidangan kasus Munir.

39 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua,

(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), cet. VIII, hal. 619


(28)

4. Adanya putusan yang saling bertentangan, biasanya hal ini terjadi antara peraturan yang diatur dalam KUHP dengan peraturan yang diatur dalam KUHPerdata, namun pertentangan yang dimaksud dalam kasus ini haruslah pertentangan yang nampak secara jelas sebagaimana dapat dilihat dalam putusan MA tanggal 13 Juni 1984 Reg. No. 8 PK/Pid/1983, sehingga dibutuhkan kecermatan oleh pihak pengadilan sebelum memutuskan apakah pertentangan putusan tersebut pantas untuk dibawa pada persidangan PK.41

5. Adanya kekhilafan dari hakim, dengan kapasitasnya sebagai manusia biasa tentu seorang hakim dapat saja khilaf atau lalai dalam memutuskan suatu perkara, sehingga terpidana dapat mengajukan PK jika diketahui dikemudian hari didapati bahwa hakim telah khilaf dalam memutuskan persoalan.

Adapun batas waktu pengajuan PK tanpa dibatasi waktu, sesuai dengan ketentuan pasal 264 ayat (3) KUHAP. Demikianlah syarat-syarat formil yang harus dipenuhi agar permohonan PK dapat diterima oleh pengadilan.

Selanjutnya mengenai tata cara mengajukan PK sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 264, terpidana dapat mengajukan PK dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Permohonan PK diajukan secara tertulis kepada pihak panitera,


(29)

2. Menyebutkan secara jelas alasan-alasan yang mendasari permintaan PK, 3. Boleh diajukan secara lisan, dengan demikian sesuai ketentuan dalam pasal

264 ayat 4, panitera harus membantu pemohon dengan menuangkan dan merumuskan permohonan PK oleh terdakwa dalam bentuk surat permintaan PK yang berisi alasan-alasan yang dikemukakan pemohon.

Setelah semua proses diatas dilakukan, selanjutnya untuk pertanggung jawaban yuridis akta permintaan peninjauan kembali ditandatangani oleh panitera dan pemohon, kemudian akte tersebut dilampirkan dalam berkas perkara.

Demikianlah proses pengajuan PK yang diatur dalam pasal 264 ayat 2 jo. Pasal 245 ayat 2 KUHAP.42

C. Peninjauan Kembali Dalam Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan adalah hak yang diberikan oleh Undang-Undang atau pemerintah (yang berwenang) untuk dapat bertindak atau mengurus sesuatu seperti apa-apa yang telah digariskan. Kehakiman adalah hal-hal yang menyangkut peradilan dan hukum.43 Berarti Kekuasaan Kehakiman adalah hak yang diberikan oleh undang-undang atau pemerintah terhadap lembaga tertentu untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan peradilan dan hukum. Di

42

Ibid, hal : 625

43Zainul Bahry,

Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, (Bandung: Angkasa, 1996), h. 136


(30)

Indonesia, peradilan atau kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.44

PK dalam UU Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan pada pasal 23 sebagai berikut;

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.45

Penjelasan pasal 23 ayat (1) di atas diterangkan bahwa yang dimaksud dengan ”hal atau keadaan tertentu” dalam ketentuan ini antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan/kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya.

Ketentuan dalam UU ini nampaknya tidak ingin menghilangkan begitu saja hak jaksa dalam upaya peninjauan kembali, mengingat dalam beberapa kasus konspiratif, seringkali novum baru ditemukan justru ketika terdakwa dinyatakan bebas, sehingga tertutup upaya hukum apapun bagi penyelasaian suatu kasus hukum. Menganut asas posteriori derogat lex priori maka menurut Nur Syamsi penggunaan UU ini dapat diterapkan.46

44Ibid

45http://www.hukumunsrat.org/uu/uu_4_04.htm

46

http://hukumonline.com/detail.asp?id=19740&cl= Berita ,data diakses tanggal 30 Agustus 2009


(31)

Dalam pasal ini juga tidak ditemukan definisi secara eksplisit mengenai peninjauan kembali, dalam penjelasan pasal ini hanya diterangkan beberapa unsur atau syarat mengenai diperbolehkannya mengajukan PK. Dan hanya ditekankan bahwa PK dapat dilakukan karena adanya bukti baru (novum) atau karena adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum. Dengan ditemukannya bukti-bukti baru yang mengarah kuat pada keterlibatan Pollycarpus dalam peristiwa terbunuhnya Munir, menjadikan MA yakin untuk mengabulkan peninjauan kembali yang dimohonkan oleh jaksa.


(32)

29

A. Kronologi Pembunuhan Munir

Untuk memulai pembahasan mengenai proses hukum kasus Munir, akan kita mulai dengan terlebih dahulu mengetahui tentang proses kematian aktivis HAM Munir yang tergolong sebagai kematian yang misterius, mengingat bahwa kematiannya disebabkan oleh racun arsenik serta tempat kematiannya yang sangat mencengangkan yakni di dalam pesawat Garuda sebuah pesawat terbang milik Indonesia yang notabene adalah maskapai milik instansi pemerintah.

Berikut ini adalah kronologi proses pembunuhan Munir berdasarkan monitoring persidangan yang dilakukan oleh Kontras dan KASUM (Komite Solidaritas Aksi Untuk Munir).1 Berdasarkan temuan investigasi yang dilakukan oleh tim pencari fakta (TPF)2 kasus munir, serta berdasarkan keterangan para saksi didapat narasi fakta tentang kronologi pembunuhan Munir sebagai berikut.3 Bahwa terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto yang sejak tahun 1999 telah melakukan berbagai kegiatan dengan dalih untuk menegakkan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI), melihat sosok Munir, S.H, yang merupakan ketua

1 http://www.kontras.org/munir/sidang.php

2 Anggota TPF terdiri atas Sdr. Brigjend Pol.Drs. Marsudhi Hanafi SH., MH; Sdr. Asmara

Nababan; . Sdr. Bambang Widjajanto; . Sdr. Hendardi; . Sdr. Usman Hamid; Sdr. Munarman;. Sdr. Smita Notosusanto; Sdr. I Putu Kusa; . Sdri. Kamala Tjandrakirana; Sdr. Nazarudin Bunas; Sdri. Retno L.P. Marsudi; Sdr. Arif Havas Oegroseno; Sdr. Rachland Nashidik; Sdr. dr. Mun’im Idris


(33)

dewan pengurus Kontras dan direktur eksekutif Imparsial merupakan orang yang seringkali mengidentifikasi dirinya adalah pelopor dan penggerak pembangunan demokrasi serta pembela Hak-Hak Asasi Manusi (HAM), dimana dalam berbagai kesempatan, Munir seringkali melontarkan kritikan tajam dan negatif terhadap beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai oleh Munir dan kawan-kawan seperjuangannya sebagai sesuatu yang melanggar ketentuan undang-undang serta tidak mencerminkan demokrasi serta mencederai hak-hak kemanusiaan. Namun dimata terdakwa Pollycarpus serta pihak-pihak tertentu, kegiatan yang dilakukan oleh Munir dianggap sebagai sesuatu yang sangat mengganggu dan menghalangi pelaksanaan program-program pemerintah, sehingga hal ini membuat terdakwa dan pihak-pihak tertentu merasa tidak terima dan terganggu. Berbagai kegiatan Munir, S.H diatas membuat terdakwa merasa perlu untuk menghentikan kegiatan korban Munir, dengan merencanakan cara-cara yang matang.

Untuk memuluskan rencana tersebut terdakwa memulai untuk menyusun langkah-langkah serta cara bagaimana menghilangkan nyawa Munir. Rencana tersebut dimulai dengan memantau berbagai aktifitas dan kegiatan Munir, baik secara langsung maupun tidak langsung, sampai akhirnya terdakwa mendapat kabar bahwa Munir akan melakukan perjalanan ke Belanda demi melanjutkan pendidikannya.

Kemudian untuk memastikan keberangkatan Munir, pada tanggal 4 September 2004 Polly menghubungi Munir yang ternyata diterima oleh istrinya Suciwati, Suciwati memberitahukan bahwa Munir akan berangkat tanggal 6


(34)

September 2004. Setelah memperoleh kepastian tanggal keberangkatan Munir ke Belanda, terdakwa Pollycarpus mengusahakan cara agar dapat berangkat bersama-sama Munir, yakni dengan cara meminta perubahan tugas penerbangan sebagai ekstra crew, sedangkan sesuai jadwal tugasnya terdakwa harus ke Peking China tanggal 5 hingga 9 September 2004, perubahan jadwal penerbangan terdakwa tersebut tertuang dalam nota perubahan nomor : OFA/219/04 tanggal 6 September 2004 yang dibuat oleh Rohainil Aini, yang menurut terdakwa surat tersebut sebagai surat tugas atas dirinya karena tugas dari saksi Ramelgia Anwar selaku Vice President Corporate Security PT. Garuda Indonesia, yang mana kemudian penugasan tersebut tidak pernah ada. Namun karena alasan tersebut maka diterbitkanlah General Declaration bagi keberangkatan Terdakwa ke Singapura sebagai Extra Crew dinyatakan untuk melaksanakan tugas Aviation Security, sementara tugas Aviation Security tersebut bukanlah merupakan spesialisasi tugas Terdakwa yang tugas pekerjaannya di lingkungan PT. Garuda Indonesia adalah sebagai Pilot, atau setidak-tidaknya Terdakwa tidak mempunyai surat khusus sebagai Aviation Security.

Selanjutnya pada tanggal 6 September 2004 tibalah waktunya Munir dan terdakwa Pollycarpus untuk berangkat ke Singapura untuk transit sebelum berangkat ke Belanda, namun sebelum keberangkatan, Munir dan terdakwa sempat bertemu dan berbincang, terdakwa menanyakan tempat duduk Munir yang oleh munir ditunjukkan yakni no. 40 kelas ekonomi, namun kemudian terdakwa menawarkan tempat duduknya yang bernomor 3 K di kelas bisnis kepada korban


(35)

Munir, yang mana hal ini dilakukan untuk mempermudah terdakwa untuk melaksanakan rencananya. Hal inipun dilaporkan oleh terdakwa kepada saksi Brahmanie Hastawati selaku purser pesawat, bahwa ada perubahan tempat duduk, dengan tujuan menghilangkan berbagai kecurigaan.

Sesaat setelah pesawat tinggal landas Oedi Iriato selaku pramugara pesawat bergegas menyiapkan welcome drink kapada para penumpang, sementara terdakwa Pollycarpus bergegas menuju pantry dekat bar premium. Terdakwa memasukkan racun ke dalam orange juice karena terdakwa tahu bahwa Munir tidak minum alkohol, sedangkan welcome drink hanyalah orange juice dan wine.

Saat itu Munir duduk bersebelahan dengan Lie Khie Ngian yang berkewarganegaraan Belanda. Saksi Yeti Susmiarti yang bertindak sebagai pramugari kemudian menawarkan welcome drink kepada Munir dan Lie Khie Ngian, sementara terdakwa, Oedi Irianto, dan Yeti Susmiarti tahu dan dapat memastikan bahwa Lie Khie Ngian yang warga belanda pasti akan mengambil wine, sedangkan Munir tanpa ragu mengambil orange juice yang telah dicampur dengan racun arsen. Pada saat bersamaan terdakwa terus mengamati segala kegiatan yang telah direncanakannya.

Pada pukul 23.32 wib, atau kurang lebih 120 menit perjalanan, pesawat dengan nomor penerbangan GA-974 mendarat di bandara Changi Singapura untuk transit. Pukul 00.45 wib pesawat tinggal landas dari bandara Changi Singapura, selang 15 menit setelah pesawat tingal landas, Munir mulai merasa mual akibat reaksi dari racun arsen dalam tubihnya, yang mengakibatkan korban


(36)

mual dan muntah-muntah, mendapati keadaan korban yang demikian, crew pesawat memutuskan untuk membawa korban ke bisnis class untuk dibaringkan dan sempat mendapat perawatan dari dokter Dr. Tarmizi.

Namun dua jam sebelum mendarat Munir dinyatakan meninggal dunia akibat sakit perut dan muntaber, selanjutnya Dr. Tarmizi membuatkan surat kematian. Namun berdasarkan hasil visum et repertum yang dibuat pro justitia dari Kementrian Kehakiman lembaga Forensik Belanda tanggal 13 Oktober 2004 yang ditandatangani oleh dr. Robert Visser, dokter dan patolog bekerja sama dengan dr. B. Kubat, menerangkan bahwa berdasar otopsi yang telah dilakukan dari tanggal 8 September 2004 hingga 13 Oktober 2004, menyimpulkan bahwa kematian Munir disebabkan konsentrasi arsen yang meningkat sangat tinggi dalam tubuh Munir.

Demikianlah paparan singkat tentang kronologi Pembunuhan Munir.

B. Proses Hukum Kasus Munir

Persidangan Pollycarpus di Pengadilan Negeri 4

Sidang kasus Munir dengan terdakwa Pollycarpus di pengadilan negeri berlangsung dari tanggal 17 Agustus 2005 sampai dengan 20 Desember 2005, dalam persidangan tingkat pertama ini pengadilan menjerat Pollycarpus dengan dua dakwaan, dakwaan pertama yaitu ikut serta dalam pembunuhan berencana, oleh karena itu Pollycarpus dijerat dengan pasal 340 KUHP jo pasal 55 (1)


(37)

KUHP, sedangkan dakwaan kedua yaitu tentang menggunanakan surat tugas palsu, dimana dalam hal ini Pollycarpus dijerat dengan pasal 263 KUHP jo pasal 55 (1) ke-1 KUHP.

Dalam Sidang Pollycarpus ke-II. Pembela Pollycarpus, Moh. Assegaf dalam eksepsinya menyatakan bahwa dakwaan JPU tidak lengkap, tidak cermat, dan prematur, namun dalam sidang Pollycarpus ke-III. jaksa Domu P Sihite yang juga mantan anggota TPF meminta majelis hakim untuk menolak eksepsi (nota keberatan) yang diajukan terdakwa Pollycarpus. Permintaan jaksa tersebut dikabulkan majelis hakim pada sidang Pollycarpus ke-IV. Dengan demikian sidang terus dilanjutkan.

Dalam persidangan-persidangan selanjutnya dihadirkan keterangan para saksi terkait kasus pembunuhan terhadap Munir, beberapa saksi tersebut antara lain Suciwati (istri Munir) yang memberikan kesaksian seputar upaya Pollycarpus untuk mengontak Munir sebelum Munir bertolak ke Belanda. Saksi kedua adalah Indra Setiawan (mantan Dirut P.T Garuda). Kesaksian Indra seputar penugasan Pollycarpus sebagai extra crew pada penerbangan Jakarta-Singapura. Indra Setiawan hanya mengakui adanya kesalahan administrative dalam penugasan kerja Pollycarpus.

Pada sidang tingkat pertama ini pengadilan juga menghadirkan beberapa saksi, baik dari jajaran PT. Garuda Indonesia, Badan Intelejen Negara (BIN), kepolisian maupun beberapa saksi ahli, saksi-saksi tersebut antara lain sebagai berikut :


(38)

1. Ramelgia Anwar, yang pada saat sidang ini ia selaku Mantan Vice President Corporate Security PT Garuda.

2. Rohainil Aini selaku Sekretaris Chief Pilot Airbus 3. Karmel Sembiring selaku Chief Pilot Airbus.

4. Eddy Santoso dan Akhirina, selaku bagian administrasi penjadwalan. 5. Hermawan selaku crew tracking.

6. Sabur Muhammad Taufiq, selaku Kapten pilot GA-974 Jakarta-Singapura. 7. Alex Maneklarang, selaku bagian keuangan PT. Garuda

8. Brahmanie Hastawati, selaku purser Garuda 9. Oedi Irianto, seorang pramugara Garuda 10.Tri Wiryasmadi, seorang pramugara

11.Pantun Matondang, kapten pilot GA-974 Singapura-Amsterdam 12.Yeti Susmiarti, seorang pramugari Garuda

13.Tia Ambari, seorang pramugari Garuda 14.Majib Nasution, Purser Garuda

15.Bondan, Pramugara

16.Addy Quresman, Puslabfor Mabes Polri

17.DR. Tarmizi, dokter yang sempat memberikan perawatan kepada Munir. 18.Ridla Bakri, Ahli di bidang racun

19.Budi Sampurna, Ahli forensic

Setelah mendengarkan berbagai keterangan dari para saksi, jaksa menuntut agar Pollycarpus dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup,


(39)

namun pengadilan tingkat pertama memutuskan, bahwa Pollycarpus dihukum dengan hukuman penjara selama empat belas tahun.

Persidangan Pollycarpus di Pengadilan Tinggi

Pada persidangan tingakt pertama ada dua hal yang didakwakan kepada Pollycarpus, yang pertama yaitu pembunuhan berencana dan kedua pemalsuan surat, yang mana pada sidang tingkat pertama Pollycarpus sudah dikenakan hukuman penjara selama 14 tahun. Namun pada sidang permohonan banding di pengadilan tinggi DKI Jakarta majelis hakim memutuskan untuk membebaskan terdakwa dari tuduhan pembunuhan berencana, karena menurut majelis hakim dakwaan kesatu dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Sehingga melalui putusan pengadilan tinggi hari Senin tanggal 27 Maret 2006, dengan surat putusan bernomor 16/PID/2006/PT.DKI, memutuskan untuk membebaskan Pollycarpus dari dakwaan ke satu dan hanya menghukum terdakwa selama 4 tahun karena pidana pemalsuan surat.

Kasasi 5

Putusan sidang kasasi dengan No. 1185 K/PID/2006 dibacakan pada sidang terbuka untuk umum pada tanggal 3 Oktober 2006, beberapa pokok-pokok pertimbangan putusan MA adalah sebagai berikut :

- Pertimbangan Judex factie hanya didasarkan pada asumsi dan bukan didasarkan pada alat bukti yang terungkap dipersidangan.


(40)

- Tidak dapat dibuktikan bahwa terdakwalah yang menyebabkan kematian Munir dengan memberikan racun arsen ke dalam juice atau mie goreng yang dimakan atau diminum korban.

- Tidak dapat dibuktikan bahwa terdakwa telah memasukkan atau menyuruh memasukkan racun arsen kedalam minuman atau makanan yang disajikan kepada korban dalam penerbangan Jakarta-Singapura GA 974.

- Berdasarkan pertimbangan tersebut, MA berpendapat bahwa unsur-unsur dakwaan kesatu tidak terpenuhi sehingga dakwaan kesatu tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan, sehingga terdakwa harus dibebaskan. - MA dalam pertimbangannya juga memisahkan antara dakwaan kesatu dan

kedua sebagai tindak pidana yang terpisah dan berdiri sendiri, sehingga tindak pidana tersebut tidak terkait satu sama lainnya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut MA menetapkan amar putusan sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu; 2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan kesatu;

3. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ menggunakan surat palsu “;

4. Menjaruhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.


(41)

Dari amar putusan diatas jelas terlihat bahwa MA terlampau positifistik dalam memutuskan sebuah persoalan, hal ini nampak dalam putusan MA yang seolah menghendaki adanya saksi yang melihat secara kasat mata terdakwa memasukkan racun arsen kedalam minuman atau makanan yang disajikan untuk Munir di dalam pesawat, dengan mengabaikan sama sekali fakta hukum yang sebenarnya saling berkaitan.

Beberapa fakta hukum yang diabaikan begitu saja oleh MA misalnya : 1. Bahwa benar Pollycarpus dan Munir menggunakan pesawat terbang yang

sama ke Singapura;

2. Bahwa benar Pollycarpus menggunakan surat tugas palsu untuk berangkat ke Singapura;

3. Bahwa benar Pollycarpus hanya beberapa jam di Singapura;

4. Bahwa benar Pollycarpus melakukan beberapakali pembicaraan melalui telepon dengan personil Badan Intelijen Negara (BIN);

5. Bahwa benar Pollycarpus memiliki kegiatan sampingan selain sebagai pilot Garuda.

Sedangkan penjelasan dari fakta-fakta hukum diatas sudah dijelaskan dalam rangkaian peristiwa pembunuhan Munir pada sidang tingkat pertama, dan seharusnya fakta hukum yang ada tidak bisa diabaikan begitu saja.


(42)

C. Sidang Peninjauan Kembali Kasus Munir

Dengan ditemukannya bukti baru (novum) dalam perkara pidana terdakwa Pollycarpus maka Jaksa memutuskan untuk melakukan peninjauan kembali meski dalam KUHAP pasal 263 tidak diatur secara eksplisit tentang pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa, untuk itu jaksa kemudian menggunakan penafsiran secara ekstensif 6 pada pasal tersebut serta merujuk pada UU Nomor 04 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Usman Hamid mengatakan bahwa “Ada sejumlah saksi-saksi baru yang memperkuat pengajuan peninjauan kembali (PK) kasus pembunuhan Munir”. Saksi-saksi itu memperkuat fakta konspirasi pembunuhan aktivis HAM itu. Setidaknya ada 4-5 orang. Itu untuk yang lama. Belum lagi untuk fakta yang menunjuk ke arah konspirasi, jadi cukup kuat. Hendarman juga mengungkapkan sejumlah bukti baru (novum). Novum itu antara lain saksi yang melihat mantan terpidana kasus pembunuhan Munir membawa gelas minuman untuk Munir. Semua disebutkan oleh Hendarman Supandji, baik itu dari saksi yang melihat tersangka, atau mantan terpidana kasus pembunuhan munir, membawa gelas minuman untuk Munir. Maupun keterangan lain yang berasal dari lingkungan Garuda yang mengindikasikan konspirasi. Bahwa apa yang dilakukan pihak Garuda Indonesia, bukan semata-mata inisiatif sendiri. Tapi atas permintaan dari lingkungan di luar Garuda. Hal-hal itulah yang menjadi novum PK kasus Munir. Pihaknya merasa novum ini cukup meyakinkan untuk dibuktikan dalam majelis PK. Dalam sidang PK dapat diketahui siapa-siapa


(43)

yang terlibat dalam konspirasi ini. Dan tentu setelah PK ini selesai, tahap selanjutnya adalah mengejar atau menuntut nama-nama baru, baik itu dari kalangan Garuda maupun dari Badan Intelijen Negara (BIN). Ada yang lebih baru, semuanya disebutkan Hendarman. Hendarman tidak nutup-nutupi semua, tapi malah menjelaskan secara langsung yang menjadi novum. Hanya memang tidak semua hal bisa disampaikan. Hendarman berharap setelah majelis PK dibuka, baru bisa diketahui publik secara keseluruhan, termasuk nama-nama barunya.7

Pro kontra pengajuan PK oleh Jaksa tidak menyurutkan tekad mahkamah agung untuk meninjau kembali kasus pembunuhan terhadap Munir, maka pada tanggal 9 Agustus 2007 digelar sidang pertama PK atas terdakwa Pollycarpus Budihari Prijanto.

Sidang PK ini diselenggarakan dalam enam kali persidangan, dalam permohonan PK nya jaksa melandasi permohonan tersebut dengan Bab XVIII tentang Upaya Hukum Luar Biasa, Bagian Kedua tentang Peninjauan Kembali (PK) putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Pasal 263-268, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).

Saksi-saksi baru dalam persidangan PK ini adalah : 1. Saksi Fakta:

7

http://ad.detik.com/link/peristiwa/prs-relion.ad Detikcom, 03 Agustus 2007 14:54 WIB


(44)

a. Indra Setiawan (Mantan Dirut. PT. Garuda Indonesia)

b. Raden Mohamad Patma Anwar, alias Ucok, alias Empe, alias Aa. (Mantan Agen BAKIN)

c. Raymond J. J. Latuihamallo, alias Ongen (Penumpang GA-974) d. Asrini Putri (Penumpang GA-974 di 2J)

e. Joseph Ririmase (Penumpang GA-974 di 2K)

2. Saksi Konfrontasi/Verbalisan:

a. BrigJen. (Pol) Matius Salempang (Penyidik Polri, Ketua Tim Pemeriksa) Makasar, 9 Juli 1953. Kristen Protestan

b. KomBes. (Pol) Pambudi Pamungkas (Penyidik Poldi, Anggota Tim Pemeriksa) Tuban, 12 Maret 1963. Asrama Polisi Pejaten. Islam.

3. Saksi Ahli:

Dr. Rer. Nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, Msi., Apt. (Apoteker, Peneliti, Dosen Kimia Universitas Udayana) 20 April 1968. Jimbaran. Hindu

Farmasi ITB. Doktor toksikologi forensik.

Berikut ini akan Penulis paparkan permohonan serta tanggapan terhadap permohonan PK oleh jaksa. 8

8 Seluruh data penulis dapatkan dari hasil monitoring sidang PK kasus Munir yang dilakukan


(45)

Dasar hukum yang dipergunakan oleh jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali dalam kasus Munir adalah KUHAP pasal 263, jaksa juga menggunakan keputusan menteri kehakiman RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982 tentang Pedoman pelaksanaan KUHAP yang menyatakan bahwa tidak adanya larangan bagi JPU untuk mengajukan permohonan Peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, oleh karena itu JPU dapat melakukan permohonan PK.

Selain itu jaksa juga mengemukakan bahwa KUHAP pasal 263 ayat 3, tentang putusan bebas dari segala tuntutan hukum, dimana ayat tersebut menyatakan “terhadap dakwaan yang terbukti tetapi diikuti pemidaan”, dipandang oleh jaksa sebagai hak yang diberikan kepada jaksa mengingat terpidana tidak akan mungkin mengajukan PK terhadap keputusan bebas yang telah ia dapatkan, maka penafsiran terhadap KUHAP pasal 263 secara harfiah akan membuat seorang terdakwa tidak dapat lagi dapat diproses secara hukum meskipun ditemukan novum yang dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sehingga perlu ada pergeseran hukum acara dari offender oriented

menjadi victim oriented, serta dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif atau sosiologis, sehingga upaya hukum dalam hal ini merupakan mekanisme perlindungan korban kejahatan dalam lingkup prosedural ketika peradilan sering tidak memenuhi rasa keadilan. Jadi, dalam melakukan upaya hukum, termasuk PK, jaksa mewakili kepentingan masyarakat, kolektif maupun individual.

penulis hanya menyadur saja, Seluruh data mengenai alasan serta tanggapan terhadap PK kasus Munir akan penulis lampirkan.


(46)

Dalam dunia hukum dikenal prinsip persamaan hak dan persamaan hukum dimuka pengadilan, sehingga jaksa juga merasa memiliki kepentingan untuk melakukan PK karena jaksa mewakili kepentingan negara, masyarakat, ,maupun individu.

Namun berbagai dasar serta argumentasi hukum diatas dibantah oleh pihak kuasa hukum Pollycarpus terutama mengenai KUHAP pasal 263. Menurut kuasa hukum Pollycarpus, KUHAP memuat hukum limitatif terbatas apa yang ditulis, sehingga apa yang dilarang berarti tidak diperbolehkan, sehingga menurut kuasa hukum Polly, penafsiran yang dilakukan oleh jaksa berada diluar batas karena hukum formil memuat prosedur.

Lebuh lanjut tim kuasa hukum Polly menyatakan bahwa pergeseran perspektif hukum acara tersebut adalah pendapat DR. H. Parman Soeparman, S.H., M.H. dari bukunya Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali (Refika Aditama; 2007). jaksa mencuplik seadanya sehingga konteksnya bergeser. Dalam bukunya (hal. 11) yang disebut “offender” itu sudah jelas pelakunya, offender yang nyata. Dalam perkara yang diajukan PK ini, offender -nya tidak atau belum jelas. Selain itu Polly telah dibebaskan secara hukum oleh MA, sehingga secara hukum offender-nya bukan Polly karena dia telah dibebaskan. Selain itu menurut kuasa hukum Pollycarpus, peraturan mengenai PK adalah peraturan yang dibuat untuk melindungi terdakwa.


(47)

Selanjutnya mengenai alasan peninjauan kembali, jaksa mengemukakan bahwa Dalam pertimbangannya, Judex Jurist dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan nyata. Jaksa menyatakan bahwa MA salah mengutip amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dalam pertimbangan putusan Kasasinya.

Selain itu menurut jaksa Judex Jurist telah khilaf dan keliru langsung menyimpulkan bahwa unsur-unsur Dakwaan Kesatu tidak terpenuhi secara sah dan meyakinkan, tanpa terlebih dahulu membatalkan putusan Judex Factie.

Ketidak cermatan Judex Jurist juga ditunjukkan ketika Judex Jurust keliru atau salah dalam pertimbangannya sehingga menyatakan Judex Factie salah dalam menerapkan hukum pembuktian, karena Judex Jurist tidak menghubungkan fakta satu dengan yang lain, dengan sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa pembunuhan Munir tidak lepas dari penggunaan surat palsu oleh Pollycarpus. Seharusnya, karena penggunaan surat palsu terbukti, maka pembunuhan yang didakwakan juga terbukti. Oleh karena itu, Hakim Kasasi telah salah menyimpulkan bahwa pendapat Judex Factie terhadap dakwaan kesatu tidak didukung satu pun alat bukti. Padahal surat palsu bukan hanya alat bukti dalam dakwaan kedua, tetapi juga dalam dakwaan kesatu, yaitu sebagai sarana untuk melakukan pembunuhan berencana.

Kekhilafan lain yang meurut jaksa dilakukan oleh Hakim Kasasi adalah, bahwa hakim kasasi dalam pertimbangan putusannya melakukan penilaian


(48)

terhadap fakta hukum yang diterangkan oleh Judex Factie. Hakim Kasasi menganggap kesimpulan Judex Factie yang menyatakan bahwa masuknya racun arsen adalah dalam penerbangan Jakarta-Singapura sebagai kesimpulan yang salah, karena terdapat tiga kemungkinan saat masuknya racun arsen ke dalam tubuh korban (Munir), yaitu sebelum penerbangan, dalam penerbangan, dan sesudah penerbangan Kakarta-Singapura.

Menurut jaksa, Judex Jurist seharusnya tidak melakukan penilaian terhadap pembuktian yang merupakan kewenangan Judex Factie. Sesuai jurisprudensi MA No. 14PK/Pid/1997 yang menegaskan bahwa penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan tidak dapat dipertimbangkan dalam tingkat kasasi, dan pemeriksaan mengenai faktas-fakta hukum berakhir pada tingkat banding, sehingga pemeriksaan kasasi bukan mengenai peristiwa dan pembuktiannya.

Alasan peninjauan kembali yang digunakan oleh jaksa penuntut umum ditanggapi oleh kuasa hukum Polly bahwa kekhilafan Judex Jurist Hanyalah kesalahan redaksional semata. Masih menurut kuasa hukum Polly, bahwa kesimpulan tersebut juga ditarik tanpa pertimbangan yang jelas, bertentangan dengan Pasal 25 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaaan Kehakiman dan Pasal 197 (1) butir d KUHAP. Pasal 197 (2) KUHAP menyatakan bahwa putusan tanpa dasar atau kurang dasar batal demi hukum. Menurut kuasa hukum Polly tidak ada


(49)

hubungan sebab-akibat langsung (kausalitas) antara surat palsu dengan meninggalnya alm. Munir.

Berdasar pada berbagai novum baru yang ditemukan maka juga terjadi perubahan dakwaan, Dakwaan semula menyatakan bahwa pelaku pembunuhan adalah Pollycarpus, Yeti Susmiarti, serta Oedi Irianto, berdasar pada novum baru yang ditemukan, maka dalam dakwaan PK dinyatakan bahwa pelaku pembunuhan adalah Pollycarpus sendiri.

Perubahan dakwaan juga terjadi pada locus (tempat kejadian perkara), dalam dakwaan sebelumnya dinyatakan bahwa Munir diracun dalam pesawat GA-974, namun berdasarkan novum baru Munir dinyatakan diracun di Coffee Bean, bandara Changi, Singapura. Sehingga racun arsen tidak dimasukkan dalam

welcome drink, melainkan dalam minuman yang diberikan kepada Munir.

Setelah mendengarkan berbagai keterangan, pada tanggal 25 Januari 2008 Sidang pengajuan PK memutuskan Pollycarpus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam tindak pidana pembunuhan berencana dan melakukan pemalsuan surat, maka sidang pengadilan PK memutuskan hukuman penjara selama 20 tahun bagi Pollycpus Budihari Priyanto.


(50)

D. Tinjauan Yuridis PK Kasus Munir Berdasarkan Pasal 263 KUHAP Dan Undang-Undang No. 04/2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Terlebih dahulu Penulis ingin memaparkan kronik yang ada dalam isi pasal 263 KUHAP dimana kemudian kronik ini menjadi persoalan dalam menggunakan pasal 263 KUHAP sebagai legitimasi hukum.

Keberadaan Pasal 263 memang sangat membingungkan, dimana pasal ini membatasi kewenangan mengajukan PK hanya pada terpidana atau ahli warisnya, tetapi disaat yang bersamaan memberi peluang diajukannya PK pada putusan bebas yang tertuang dalam ayat tiga, sedangkan apakah mungkin terpidana atau ahli warisnya akan mengajukan PK padahal terpidana sudah diputus bebas?.

Penelusuran masalah ini dapat kita mulai terhadap penyusunan legal drafting atau rancangan undang-undang (RUU) pasal 263 yang dilakukan oleh DPR pada waktu itu. RUU Pasal 263 diambil pemerintah dari rumusan pasal 356 dan 357 Sv, atau PERMA. No. 1 /1996 dan PERMA. No.1/1980, dimana pasal ini tidak mendapat tanggapan ataupun alasan mengenai penutupan ruang bagi penuntut umum untuk melakukan PK, ternyata dari sudut pandang sejarah pembentukannya, didapati bahwa aturan PK yang tertuang dalam pasal 263 lahir pada saat maraknya isu tentang penegakan HAM pada wilayah peradilan dan perundang-undangan, peraturan mengenai PK kemudian dirumuskan untuk lebih melindungi kepentingan terdakwa dari kesewenang-wenangan negara, untuk itulah akses jaksa terhadap PK ditiadakan. Lebih lanjut PK bertujuan agar


(51)

terpidana yang dikemudian hari mampu membuktikan ketidakbersalahannya dapat meninjau ulang putusan yang telah diputuskan oleh pengadilan.9

Namun kebijakan terhadap penutupan ruang bagi jaksa untuk mengajukan PK ternyata tidak serta merta menuntaskan persoalan, disamping itu pasal ini juga mengindikasikan adanya asas equal before law yang dikesampingkan, yakni tidak memberikan hak yang sama kepada para pihak yang berkepentingan dalam persidangan.

Persoalan akan muncul manakala terdapat kasus seperti dalam kasus pembunuhan Munir, dimana negara memiliki peran ganda yakni harus melindungi kepentingan terdakwa, namun negara juga memiliki kepentingan untuk menuntaskan kasus yang semakin menunjukkan titik terang untuk mengungkap siapa dalang dibalik pembunuhan Munir. Dimana penuntasan kasus ini juga akan memiliki akibat hukum yang baik bagi penegakan hukum dan HAM di Indonesia dimasa yang akan datang.

Ada beberapa opsi yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk memahami dan menafsirkan pasal 263 KUHAP,10 pertama-tama ada baiknya jika pembahasan ini dimulai dengan mengedepankan aspek pendekatan Legislative History. Dalam pengkajian yurisprudensi dikenal doktrin : to discover and to expund (mencari dan menemukan makna) suatu ketentuan undang-undang jika

9 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP...hal : 651 10 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi


(52)

rumusan undang-undang yang dimaksud luas ketentuannya (Broad term), ambiguitas (ambiguity), dan tidak jelas rumusannya (unclear outline).

Pasal 263 kiranya telah mengandung ambiguitas serta mengandung makna yang luas, terutama pada ayat (3), sehingga menimbulkan kontroversi yang cukup berarti dalam proses persidangan.

Metode yang dapat digunakan ketika menggunakan teori Legislative History antara lain yaitu dengan :

1. Legislative Intent atau legislative purpose, yakni mempelajari maksud pembuat undang-undang, mengkaji perdebatan yang terjadi saat pembahasan pasal tersebut serta membaca dan mempelajari laporan-laporan komisi.

2. Mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat umum atau general public purpose, pada saat dibentuknya suatu undang-undang.

Dari penggabungan dua metode legislative history tersebut peradilan dibenarkan melakukan penafsiran luas bahkan pada penafsiran liberal. Mengingat bahwa kasus pembunuhan Munir merupakan kasus yang berat, rumit dan kompleks sehingga kasus ini dapat dikategorikan sebagai Hard Cases, maka dalam kondisi demikian seorang hakim kadangkala tidak bisa hanya mengikuti alur berfikir linear formal karena metode berfikir semacam ini dapat menyesatkan, karena metodenya yang sering terlalu positifistik. Dalam kasus semacam inilah tidak hanya dibutuhkan kecerdasan tetapi juga moral dari seorang hakim melakukan pertimbangan secara komprehensif apabila perlu hakim


(53)

melakukan terobosan hukum waras (reasonable legal breaktrough) sehingga sejauh mungkin keadilan dapat ditegakkan.11

Jika kita amati secara seksama maka pasal 263 KUHAP sesungguhnya mengandung ill concider12 (mengandung ketidak jelasan dan pertentangan), ketika merumuskan pasal ini nampaknya para perumusnya tidak benar-benar matang dalam memenuhi doktrin maturity of law, artinya bahwa isi pasal ini tidak rasional dan sulit untuk diterapkan terutama pada ayat 3,13 dalam pasal ini disebutkan bahwa “apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. maka dapat ditafsirkan bahwa pernyataan “terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan “ ini adalah pernyataan putusan bebas, jadi ayat ini mengandung pengertian bahwa putusan bebas dapat dimohonkan peninjauan kembali, dengan demikian pernyataan dalam pasal ini “melunakkan” jika tidak ingin dikatakan “bertentangan” dengan pasal 263 ayat 1, lalu siapakah yang berhak melakukan permohonan peninjauan kembali ?, tentu dalam hal ini jaksa lah yang paling rasional dan memungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali sebab terpidana tidak mungkin melakukannnya karena akan merugikan dirinya. Tetapi

11 Andre Ata Ujan Ph.D,

Mengevaluasi Argumen Dalam Kasus Hukum H. Muchdi Puwopranjono, Sebuah Persepsi Filosofis, Dalam Hasil Eksaminasi Publik Atas Putusan Bebas Terdakwa Muchdi Pr, ( Jakarta : KASUM, 2009), hal : 53-54

12Opcit,...hal : 649 13

Pasal 263 ayat 3 KUHAP “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.


(54)

ayat (1) pasal ini secara tegas telah memberikan limitasi bagi pihak-pihak yang akan mengajukan PK yakni terpidana atau ahli warisnya.

Pada wilayah inilah pasal 263 dan undang-undang kekuasaan kehakiman dapat dipertemukan. Pasal 23 UU kekuasaan kehakiman menyebutkan “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pihak-pihak yang bersangkutan dapat melakukan peninjauan kembali...” jika ditarik dalam pasal 263 ayat (3) KUHAP, maka UU kekuasaan kehakiman ini dapat menerangkan kegelapan siapa yang akan mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam pasal 263 ayat (3) KUHAP, karena dalam proses peradilan pihak yang berkepentingan adalah terdakwa, jaksa, serta hakim yang bertugas mengadili.

Dengan demikian entah kurangnya perhatian para perumus RUU pasal 263 waktu itu sehingga kerancuan pasal 263 terjadi, atau karena pemerintah juga tidak ingin menghapus begitu saja peran jaksa dalam upaya PK, karena untuk mengatisipasi kasus-kasus besar dikemudian hari. Kiranya kerja keras dari aparat pemerintah untuk menmgungkap suatu kasus kejahatan benar-benar dibutuhkan, sehingga terobosan hukum yang dilakukan menghasilkan ketentraman dalam hati masyarakat luas.


(1)

84

menyesatkan, sehingga pada kasus-kasus semacam ini hakim tidak hanya dituntut untuk cerdas tetapi juga memiliki moral dan dedikasi yang tinggi terhadap kebenaran dan keadilan, hingga pada titik tertentu, melalui analisa yang komprehensif hakim dapat melakukan terobosan hukum yang waras demi tercapainya keadilan materiil.

Pengajuan PK dengan menerobos pasal 263 sebagai upaya penuntasan kasus Munir patut diapresiasi dengan baik, mengingat bukti yang diajukan dalam persidangan PK begitu kuat, terlepas dari berbagai kontroversinya. Ini sebagai preseden bahwa hukum harus ditegakkan tidak peduli bahwa terdakwa terlibat dengan aparatur negera atau dengan dalih menjalankan tugas negara.

Tentang kontroversi penerobosan jaksa terhadap pasal 263 memang logis. Benar bahwa pada ayat 1 pasal 263 memberikan batasan tentang siapa yang berhak mengajukan peninjauan kembali, tetapi ayat 3 pasal 263 memberikan peluang kepada jaksa karena jika ditemukan bukti baru yang kuat seorang terdakwa tidak akan mau mengajukan PK bagi dirinya sendiri yang sudah diputus bebas.

Bahwa baik prosedur maupun argumentasi hukum yang digunakan oleh jaksa dalam mengajukan PK adalah dengan menggunakan undang-undang sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh jaksa sudah memenuhi kaidah dalam hukum Islam, yakni bahwa “dalam memproses dan memutuskan suatu perkara hukum tidak boleh menyederhanakan kaidah hukum secara gegabah juga tidak boleh mempersempit hukum” kaidah inilah yang harus diteladani dari percakapan


(2)

Nabi dengan Mu’adz bin Jabal. Begitu juga dengan argumentasi hukum yang digunakan oleh jaksa dalam menafsirkan pasal 263 secara ekstensif untukl mengajukan PK bisa kita dapati “padanannya” dalam hukum Islam.

Dengan demikian upaya hukum yang dilakukan oleh jaksa dalam menuntaskan kasus pembunuhan Munir, dapat dikatakan memenuhi beberapa kaidah dalam hukum Islam. Tetapi yang menggembirakan dalam upaya PK yang dilakukan oleh jaksa adalah, bahwa jaksa berhasil membuktikan independensinya, ditengah sistem peradilan kita yang masih belum sepi dari campur tangan penguasa.

B. Saran

1. Pengkajian terhadap konsep hukum acara pidana dalam hukum Islam tetap harus dilanjutkan, karena belum ada literatur yang menjelaskan secara berani bahwa hukum acara dalam hukum Islam tidak ada.

2. Pasal 263 harus tetap dalam kerangka melindungi terdakwa, karena terdakwa berhadapan dengan negara dengan segala kekuasaannya. Meski dalam kasus tertentu tidak harus selalu demikian.

3. Dalam menerapkan sebuah aturan hukum sebaiknya jangan terlampau positifistik formal, mengingat aturan hukum formil tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan dalam mengungkap kebenaran materiil.

4. Memenuhi kebenaran materiil adalah tujuan diadakannya proses persidangan, sehingga kebenaran formil harus diutamakan.


(3)

86

5. Dilakukanya perbaikan pada aturan-aturan hukum yang masih rancu, serta peningkatan profesionalitas di lingkungan peradilan, hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi prasyarat terbentuknya masyarakat yang sehat, karena jika syarat-syarat terbentuknya masyarakat yang sehat tidak dapat terpenuhi secara keseluruhan, setidaknya aturan dan penegak hukumnya haruslah benar-benar sehat. Karena dalam hal ini negara memiliki kekuatan dan kekuasaan lebih besar dalam proses sosial engineering ke arah yang lebih baik.

6. Independensi lembaga peradilan harus di tingkatkan, karena tanpa independensi yang penuh dari lembaga peradilan, maka mustahil lembaga peradilan dapat membuat keputusan yang menenteramkan masyarakat.


(4)

87 Akademika Pressindo, 2004

Amin, Darori. Islam dan Kebudaya Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2000

An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, Alih Bahasa Ahmad Suaedy, Amirudin ar-Rany, (Yogyakarta : LKIS, 2004

Apeldoorn, Prof. Dr. Mr. L.J. Van Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PT Pradnya Paramita, 1996

Arikunto, Prof. Dr. Suharsimi, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, edisi revisi V. Jakarta : Rineka Cipta, 2002

Bahry, Zainul, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, Bandung: Angkasa, 1996

Bisri, Drs. Moh. Adib, Terjemah Al-Faraidul Bahiyyah, Kudus : Menara Kudus, tt

Cahyadi, Antonius, M. Manulang, E. Fernando, Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007)

Daud, Abu, Sunan Abu Daud ,juz 6, Kairo : Dar el-Hadits, 2001

El Fadl, Khaled M, Abou. Atas Nama Tuhan, Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004

Friedman, Lawrence M, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Social, Alih Bahasa : M Khozim, Bandung : Nusa Media, 2009

Gilissen, Prof. Dr. Emeretus John, Gorle, Prof. Dr. Emeretus Frits, Sejarah Hukum, Alih Bahasa : Drs. Freddy Tengker, SH., CN, Bandung : Refika Aditama, 2007 Harahap, S.H, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Jakarta,

Sinar Grafika, 2006

Harahap, S.H, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta : Sinar Grafika, 2005


(5)

88

Hitti, Philip K. History of The Arabs, Penerjemah : R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Ryadi, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2002

Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : PT Bulan Bintang, 2005 Hamzah, Dr. Andi. KUHP & KUHAP. Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004

Khaldun, Ibn. Muqaddimah. Penerjemah: Ahmadie Toha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2006 Manan, S.H., S.IP., M.Hum., Dr. H. Abdul, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan

Peradilan, (Jakarta : Kencana, 2007),

Mujieb, M. Abdul dkk. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002

Suminto, H. Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta : LP3ES, 1985

Scacht, Joseph. Pengantar Hukum Islam. Penerjemah : Joko Supomo. Jogjakarta: Penerbit Islamika, 2003

Simon S.H dan Mugiyanto, Mengenal HAM dan Hak Korban Seri Buku Saku , Jakarta: Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Kontras Aceh, Catholic Agency for Overseas Development, t.t

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002

Soekanto SH.,MA, Dr. Soerjono dan Abdullah Mustafa, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta : CV. Rajawali, 1980

Soetcipto, Adi Andojo, Prospek Penyelesaian Kasus Munir Melalui Peninjauan Kembali Putusam MA, Dalam Komite Solidaritas Aksi Untuk Munir (KASUM), Risalah Kasus Munir, Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum, Jakarta: C.V. Rinam Antartika, 2007

Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2008 Tanusubroto, S. Dasar-dasar hukum acra pidana. Bandung: C.V. Armico, 1989


(6)

Zahrah, Muhammad Abu, Imam Syafi’I, Penerjemah : Abdul Syukur, Ahmad Rivai Uthman, Jakarta : Lentera, 2007

Data Dari Media Internet : http://www.hukumunsrat.org/uu/uu_4_04.htm

http://hukumonline.com/detail.asp?id=19740&cl= Berita http://www.kontras.org/munir/sidang.php

http://ad.detik.com/link/peristiwa/prs-relion.ad Detikcom http://hukumonline.com/detail.asp?id=19740&cl= Berita http://www.nu.or.id/page.php