KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENGAJUAN UPAYA PENINJAUAN KEMBALI PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12/Pid.Sus/2009 Terpidana Joko Soegiarto Tjandra.

(1)

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM

DALAM PENGAJUAN UPAYA PENINJAUAN KEMBALI

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12/Pid.Sus/2009

Terpidana Joko Soegiarto Tjandra

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

RIO ADHITYA WICAKSONO

NPM. 0671010023

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA

TIMUR

FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

SURABAYA 2010


(2)

PERSETUJUAN MENGIKUTI UJIAN SKRIPSI

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENGAJUAN UPAYA PENINJAUAN KEMBALI

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12/Pid.Sus/2009 Terpidana Joko Soegiarto Tjandra

Disusun Oleh :

RIO ADHITYA WICAKSONO NPM. 0671010023

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

Pembimbing Pendamping

Wiwin Yulianingsih, S.H., M.Kn NPT. 375 0707 0225

Pembimbing Utama

Sutrisno, S.H., M.Hum. NIP. 030 193 492

Mengetahui, D E K A N

Hariyo Sulistiyantoro S.H., M.M. NIP. 030 212 027


(3)

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENGAJUAN UPAYA PENINJAUAN KEMBALI

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12/Pid.Sus/2009 Terpidana Joko Soegiarto Tjandra

Oleh :

RIO ADHITYA WICAKSONO NPM. 0671010023

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 10 Juni 2010

Mengetahui, D E K A N

Hariyo Sulistiyantoro S.H., M.M. NIP. 030 212 027

Menyetujui,

Tim Penguji, Tanda Tangan,

1. Prof. Dr. Indrati Rini, S.H., M.S. (...) NIP. 130 936 179

2. Sutrisno, S.H., M.Hum. (...)  NIP. 030 193 492

   

2. Hariyo Sulistiyantoro S.H., M.M. (...) NIP. 030 212 027


(4)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Rio Adhitya Wicaksono Tempat/Tgl Lahir : Bondowoso, 21 Maret 1987 NPM : 0671010023

Konsentrasi : Pidana

Alamat : Perumahan Griya Permata Hijau Blok X3, No. 11

Sidoarjo

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul : KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENGAJUAN UPAYA PENINJAUAN KEMBALI PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12/Pid.Sus/2009 Terpidana Joko Soegiarto Tjandra”. Dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya cipta saya sendiri, yang saya buat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bukan hasil jiplakan (plagiat). Apabila di kemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat) maka saya bersedia dituntut di depan Pengadilan dan dicabut gelar keserjanaan (Sarjana Hukum) yang saya peroleh.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebesar-besarnya dengan penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya.

Mengetahui, KaProdi

Subani, S.H.,M.Si NIP. 030 174 635

 

Surabaya, 10 Juni 2010 Penulis,

Rio adhitya Wicaksono NPM. 0671010023

materai


(5)

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan yang melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Tugas dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia Jaksa Agung juga memiliki tugas dan wewenang khusus yang diatur pada Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu :

a. menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.

b. mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang.

c. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara.

e. dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana.

f. mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam

perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(6)

Upaya hukum yaitu hak terdakwa atau Jaksa Penuntut Umum, untuk tidak menerima putusan pengadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, upaya hukum dibedakan menjadi 2 (dua) yang diatur dalam Bab XVII, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa, dimana upaya hukum biasa meliputi bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingkat banding dan bagian kedua mengenai pemeriksaan tingkat kasasi, sedangkan upaya hukum luar biasa meliputi bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dan bagian kedua mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Upaya hukum peninjauan kembali perkara pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akhir-akhir ini menimbulkan banyak argumentasi antara ahli hukum, yang menjadi pokok permasalahan adalah tentang penafsiran dari ketentuan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dalam ayat (1) menyatakan bahwa : “Terhadap pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Ketentuan Pasal tersebut menjelaskan bahwa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang dinyatakan oleh Mahkamah Agung, maka terpidana atau ahli warisnya tidak diperbolehkan melakukan upaya hukum peninjauan kembali, jika putusan tersebut dalam tingkat kasasi yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Hukum acara pidana Indonesia tidak mengatur Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali, tetapi tidak melarang Jaksa Penuntut


(7)

Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, dasar hukum Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali adalah melalui penafsiran Peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang menjadi acuan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali, penafsiran tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 23 ayat (1) Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menyatakan : "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang". Penafsiran seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 "pihak-pihak yang bersangkutan dalam perkara pidana" adalah Terpidana atau ahli warisnya dan Jaksa Penuntut Umum.

Ada pendapat bahwa karena tidak diatur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jaksa Penuntut Umum berwenang juga mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Pendapat demikian tentu berdasar penafsiran ekstensif (menjangkau secara meluas) yang bertentangan dengan asas legalitas, sebab akan memperluas pengertian tanpa batas.1

Kasus yang membuktikan bahwa yang berhak melakukan upaya hukum PK tidak hanya terpidana ataupun ahli warisnya, JPU pun juga dapat mengajukan upaya hukum PK, hal ini dibuktikan dengan putusan tanggal 11 Juni 2009 Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 dalam kasus Joko Soegiarto Tjandra. Putusan peninjauan

  1

www.hamline.edu, apakabar@clark.net, Seputar Peninjauan Kembali, Diakses Jumat,


(8)

kembali ini telah menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak dan kalangan pakar dan praktisi hukum, dari pihak dan kalangan berpendapat bahwa putusan peninjauan kembali itu tidak dapat dibenarkan atau cacat hukum, karena bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, secara jelas diatur bahwa yang dapat atau berhak mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya.

Alasan Jaksa Penuntut Umum melakukan peninjauan kembali dalam kasus Joko Soegiarto Tjandra adalah, bahwa putusan Mahkamah Agung Nomor 1688 K/Pid/2000, tanggal 28 Juni 2001, judex juris (tingkat kasasi) dalam pertimbangannya mengenai turut serta menyebutkan : "Terdakwa tidak berperan apapun dalam hal pencairan tagihan PT. Bank Bali terhadap PT. BDNI, dan tidak pula terbukti telah mempengaruhi pejabat BI, BPPN, Depkeu atau pejabat lainnya yang berkaitan dengan program penjaminan sesuai dengan Keppres No. 26 tahun 1998".2

“MA menolak permohonan kasasi kejaksaan atas kasus Joko Soegiarto Tjandra, sebagaimana dakwaan primair terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan perbuatan pidana sehingga Joko Soegiarto Tjandra dilepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht verfolgin)”.3

Kekhilafan atau kekeliruan yang nyata MA, karena hanya mempertimbangkan bahwa perbuatan Joko Soegiarto Tjandra dalam kapasitas sebagai pihak dalam perjanjian yang bersifat keperdataan (sebagai Cessionaris) seharusnya juga mempertimbangkan peran Joko Soegiarto Tjandra dalam pencairan klaim PT. Bank Bali yang bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum dari perbuatan Joko Soegiarto Tjandra yang dilakukan adalah

2

Mahkamah Agung, Putusan, Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009, Terpidana Joko Soegiarto Tjandra, h. 99.

  3


(9)

sama turut serta dengan Syahril Sabirin dan Pande Nasorahona Lubis melakukan tindak pidana korupsi.4

Kejaksaan Agung tanggal 3 September 2008 mengajukan Upaya Hukum peninjauan kembali kasus Joko Soegiarto Tjandra, dengan Novum (keadaan baru), tersangka Artalita Suryani diminta bantuan oleh Joko Soegiarto Tjandra untuk membereskan kasusnya dengan menyuap Jaksa Urip Tri Gunawan.5

Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, berkaitan dengan kapasitasnya sebagai pihak yang mewakili negara atau kepentingan umum, karena dalam proses penyelesaian perkara pidana khusus yaitu perkara tindak pidana korupsi. Pengajuan upaya hukum peninjauan kembali bukan untuk kepentingan pribadi Jaksa atau Lembaga Kejaksaan, tetapi untuk kepentingan umum demi bangsa dan negara, sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.

Dari uraian fakta tersebut mendorong penulis untuk meneliti tentang peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum, dimana kewenangan Jaksa Penuntut Umum tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, namun dalam prakteknya Mahkamah Agung mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut. Penulis mengangkatnya melalui penulisan skripsi dengan judul kewenangan Jaksa Penuntut Umum dalam pengajuan upaya hukum peninjauan kembali perkara tindak pidana korupsi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 Terpidana Joko Soegiarto Tjandra).

  4 

Ibid., h. 125.  5

www.InfoKorupsi.com, Majalah Tempo, Kasus Cessie Bank Bali, Diakses Selasa, 25, Mei, 2010, 20.00 WIB.


(10)

Berdasarkan contoh kasus di atas, Jaksa Penuntut Umum juga berwenang melakukan upaya hukum peninjauan kembali, karena Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.

2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan yang muncul adalah :

a. Mengapa Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana korupsi ?

b. Bagaimana cara membuktikan adanya novum (keadaan baru) dan kekhilafan hakim ?

c. Apa dasar pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana korupsi ?

3. Tujuan Penelitian

a. Untuk menganalisis mengapa Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana korupsi.

b. Untuk menganalisis bagaimana cara membuktikan adanya novum (keadaan baru) dan kekhilafan hakim.

c. Untuk menganalisis dasar pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana korupsi.

4. Manfaat Penelitian


(11)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya terkait mengenai upaya hukum peninjauan kembali dalam hukum acara pidana Indonesia.

b. Manfaat Praktis.

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi informasi konkrit bagi usaha pembaharuan hukum pidana khususnya bagi Jaksa Penuntut Umum, Hakim, Advokat dan Terpidana ketika mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.

5. Kajian Pustaka

Kegunaan kajian pustaka ini merupakan untuk menjawab sementara jawaban rumusan masalah yang diteliti.

Sebagaimana telah dikemukakan dalam melaksanakan penelitian masalah (topik) hukum, tidak saja dapat dilakukan dengan penelitian di kepustakaan dan di lapangan, tetapi juga dapat dengan penelitian kepustakaan saja, tanpa melakukan penelitian ke lapangan. dengan kata lain bahwa penelitian ini hanya dengan mengumpulkan data-data sekunder saja tanpa mengumpulkan data-data primer dari anggota masyarakat.6

a. Jaksa Penuntut Umum

Pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dibedakan pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum. Menurut ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menegaskan bahwa :

6 Hilmawan Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar


(12)

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang- Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Dari batasan tersebut dapat disebutkan bahwa pengertian Jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan sedangkan pengertian Penuntut Umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan.7

Dari ketentuan Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat disimpulkan, dahwa Jaksa Penuntut Umum secara lengkap adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang sebagai penuntut umum serta melaksanakan penetapan dan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.8

Hak Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan

kembali adalah berkaitan dengan kapasitasnya sebagai pihak yang mewakili negara atau kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana, dimana pengajuan upaya hukum peninjauan kembali bukan untuk kepentingan pribadi Jaksa atau Lembaga Kejaksaan, tetapi untuk kepentingan umum demi bangsa dan negara.

Hukum acara pidana Indonesia tidak mengatur Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali, tetapi tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, dasar hukum Jaksa

  7 

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 24. 8

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I


(13)

Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali adalah melalui penafsiran Peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang menjadi acuan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, penafsiran tersebut terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

1) Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang". Siapa yang dimaksud dalam "pihak-pihak yang bersangkutan dalam perkara pidana" seperti yang dimaksud dalam dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah terpidana, ahli waris dan Jaksa Penuntut Umum.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 tentang Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Yang Tetap, serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap, terdapat ketentuan bahwa yang harus mengajukan permohonan upaya hukum peninjauan kembali adalah Jaksa Agung, terpidana atau pihak yang berkepentingan. pemikiran yang terkandung dalam perundang-undangan lama tersebut tetap menjadi sumber inspirasi dalam merumuskan ketentuan-ketentuan Kitab


(14)

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sehingga permintaan peninjauan kembali dapat pula diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa Jaksa Penuntut Umum berhak untuk mengajukan permohonan upaya hukum peninjauan kembali perkara tindak pidana korupsi atas nama terpidana Joko Soegiarto Tjandra, karena demi kepentingan umum untuk bangsa dan negara dan juga tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Dasar kewenangan Jaksa Penuntut Umum, berdasarkan alasan adanya novum (keadaan baru) dan kekhilafan hakim serta analisa hukum sebagai pembanding, sehingga menjadi dasar pertimbangan hakim untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan ketentuan-ketentuan yang ada.

b. Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau Jaksa Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan, adapun maksud dari upaya hukum itu sendiri pada pokoknya, adalah untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh hakim yang sebelumnya, karena adanya kekhilafan dalam memutus perkara,

Adanya upaya hukum, ada jaminan bagi terdakwa maupun masyarakat bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam.9

Dengan ini dapat ditarik solusi bahwa upaya hukum (rechtmiddelen) berupa :

1) Terhadap Putusan Pengadilan Negeri (Peradialan Tingkat Pertama) yaitu: a) Perlawanan (Verzet)

b) Banding (Revisi)

9


(15)

2) Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi (Peradilan Tingkat Banding) dapat diajukan permohonan Kasasi dan Kasasi Demi Kepentingan Hukum oleh Jaksa Agung.

3) Terhadap Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat diajukan peninjauan kembali.10

Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, upaya hukum peninjauan kembali adalah “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung”.

Upaya hukum peninjauan kembali adalah sarana yang dipergunakan untuk membuka kembali suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan suatu putusan pengadilan yang tetap mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan untuk menghormati kepastian hukum (rechts zeherheid). Dengan adanya peninjauan kembali, adalah suatu upaya hukum yang dipergunakan untuk menarik kembali atau menolak putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.11

c. Novum dan Kekhilafan Hakim

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar permohonan peninjauan kembali, adalah adanya novum (keadaan baru) dan Kekhilafan yang nyata dalam putusan hakim, yang dituangkan dalam memori peninjauan kembali untuk dapat dijadikan dasar pertimbangan oleh Mahkamah Agung.

Novum (keadaan baru) adalah alasan atau peristiwa yang baru dikemukakan atau baru muncul kemudian, sesuatu yang baru, hal yang sebenarnya tidak ada atau tidak pernah dikemukakan.12

Hakim sebagai manusia, sudah barang tentu tidak luput dari kekhilafan,

10

Ibid., h. 224. 11

Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bandung, 1994, h. 214. 

12


(16)

sepandai-pandainya tupai melompat, sekali-kali akan jatuh juga, demikian bunyi pepatah, dan pepatah itu berlaku bagi siapa saja yang menyebut dirinya sebagai manusia, termasuk manusia yang memangku jabatan hakim. Kekhilafan itu bisa saja terjadi dalam semua tingkat pengadilan.13

d. Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan merupakan “akhir” dari proses persidangan pidana untuk tahap awal pemeriksaan di Pengadilan Negeri. Ada 2 (dua) sifat putusan hakim yaitu putusan pemidanaan dan putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging)

1) Putusan pemidanaan pada hakikatnya putusan hakim berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan.

2) Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) apabila terdakwa dijatuhkan putusan bebas (vrijspraak), Maka

terdakwa tidak dipidana atau tidak menjalani hukuman, karena hasil pemeriksaan di persidangan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah menurut hukum.14

Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, putusan pengadilan adalah “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”.

Seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk menyelessaikan suatu perkara, dengan demikian, apabila Undang-Undang ataupun kebiasaan tidak memberikan peraturan yang dapat dipakainya untuk

13

M. Yahya Harahap, Op.cit., Jilid II, h. 1207.

  14 


(17)

menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri.15

Keputusan hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan wewenang yang dirikan oleh Pasal 22 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia, yang disingkat A.B. (Ketentuan-ketentuan Umum tentang Peraturan-perundangan untuk Indonesia).16

e. Mahkamah Agung

Suatu Negara hukum (rechtsstaat) seperti Negara Indonesia, maka hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan merupakan salah satu sendi dasar yang pokok dan utama. ketika seorang hakim sedang menangani perkara, maka diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran material, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negara, diri sendiri serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.17

Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah “Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari ke empat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)”.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA adalah “Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945”.

Pelaku kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 ayat (1) dan (2)

15

Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, 1989, h. 49. 

16

Ibid., h. 49.


(18)

Undang Dasar Tahun 1945 adalah :

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Pasal 24a Undang-Undang Dasar 1945 kewenangan Mahkamah agung adalah “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji Peraturan perundang-undangan di bawah Undang terhadap Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”.

f. Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, selain itu juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan :

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.


(19)

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Jadi secara keseluruhan yang dimaksud dengan Kewenangan Jaksa Penuntut Umum dalam pengajuan upaya hukum peninjauan kembali, adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim putusan dan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, karena ditemukannya keadaan baru (novum) dan adanya kekhilafan hakim menerapkan hukumnya dalam perkara tindak pidana korupsi, karena sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, yang mana permintaan peninjauan kembali kepada pengadilan negara tertinggi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Mahkamah Agung.

6. Metode Penelitian

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa ilmu pengetahuan itu harus dapat diuji kebenarannya, untuk dapat membuktikan kebenaran ilmiah dari penelitian yang dilaksanakan. Masalah yang akan diteliti ruang lingkupnya dibidang hukum, yaitu hukum sebagai aturan hidup manusia untuk dapat mewujudkan ketertiban dan keadilan. Sebagai aturan hidup manusia hukum itu bersifat Normaif, yang terdiri dari norma-norma (kaidah-kaidah, patokan,ketentuan) yang tertulis dalam bentuk Perundang-undangan dan yang tidak tertulis dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan berperilaku yang tetap dalam bentuk hukum adat yang hidup dalam masyarakat.18

a. Tipe dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe studi kasus (case study) yang merupakan pendekatan yang bertujuan mempertahankan keutuhan dari gejala yang diteliti

18


(20)

supaya dapat mengembangkan pengetahuan yang sangat mendalam,19 tentang Putusan Mahkamah agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 Terpidana Joko Soegiarto Tjandra. Penelitian ini menggunakan jenis normatif, yaitu yang mencakup kajian pokok adalah azas-azas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi (penyesuaian) hukum dan perbandiangan hukum atau sejarah hukum yang menyangkut materi hukum pidana, maka pendekatan normatifnya dengan membaca, mempelajari dan menguraikan tentang norma-norma, pasal-pasal perundangan, pendapat para ahli dibidang hukum pidana,20 yang mengatur tentang upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

b. Sumber Data

Penelitian masalah ini dari Sumber data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan hasil dokumentasi penelitian orang lain dalam bentuk buku-buku ilmu hukum.21 bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Bahan Hukum Primer,yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (Perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (seperti : kontrak, konvensi, dokumen hukum)”.22 Bahan penelitian ini terdiri dari beberapa Perundang-undangan :

a) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1984,

h. 16.

20 Hilmawan Hadikusuma,Op.cit., h. 60.

21 Ibid.,, h. 65.

22 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,


(21)

b) Peraturan Perundang-undangan, yaitu Undang-undang.

Berdasarkan teori diatas, maka Bahan hukum primer yang peneliti gunakan adalah :

a) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

c) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

d) Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan

e) Undang-undang Nomor 3 tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.23 sepeti :

a) Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 Terpidana Joko Soegiarto Tjandra).

b) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang

peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang

tetap

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

  23 


(22)

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.24

(seperti : kamus hukum).

c. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1) Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang terkait dengan pokok permasalahan menggunakan jenis normatif, untuk menganalisis data ini adalah studi dokumen/ bahan pustaka,25 dengan cara mempelajari buku-buku, Undang-Undang, yang terkait dengan upaya hukum peninjauan kembali.

2) Pengolahan Data

Setelah semua data yang sudah terkumpul masih berupa bahan mentah, maka pengolahan data dengan metode editing, yaitu memeriksa atau membetulkan data agar dapat dipertanggungjawabkan, seperti ‘apakah jawaban salah / benar’.26

d. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh berupa data sekunder, penyajian data dilakukan dengan menganalisanya, dilakukan secara metode kwalitatif dan deskriptif yaitu suatu metode memfokuskan pada suatu pemecahan masalah yang ada, menafsirkan dan menguraikan permasalahan, kemudian mengkaji dan menguji teori-teori yang ada.27

7. Sistematika Penulisan

        24 Ibid.,h. 82. 

25 Indrati Rini, Hand Out, Metode Penelitian Hukum, Pengunaan Metode Pengumpulan

Data, Universitas Pembangunan Nasional.        26 

Ibid., Pengolahan dan Penyajian Data.  


(23)

Penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) bab. Sebagai awal penulisan, pendahuluan merupakan bagian yang berusaha memaparkan latar belakang masalah yang menjadi kajian. Selain itu dalam bab I juga diuraikan tentang rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan, semua pembahasan dalam bab ini dimaksudkan sebagai usaha untuk menerangkan permasalahan yang akan dikaji dan dibahas secara sistematik dan terarah mengenai upaya hukum peninjauan kembali.

Bab II tentang penyebab Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana korupsi, dalam bab ini akan dibahas, faktor adanaya novum (keadaan baru), faktor adanya kekhilafan hakim serta analisa Jaksa Penuntut Umum, dari bab ini dapat diperoleh gambaran apa yang menjadi dasar kewenagan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan upaya hukum peninjauan kembali perkara tindak pidana korupsi.

Bab III tentang cara pembuktian adanya novum (keadaan baru) dan kekhilafan hakim, dalam bab ini akan dibahas cara penafsiran formal adanya novum (keadaan baru) dan kekhilafan hakim, dari bab ini dapat diperoleh gambaran, alasan Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, karena terdapat novum (keadaan baru) dan adanya kekhilafan hakim dalam perkara tindak pidana korupsi.

Bab IV tentang dasar pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana korupsi, di sini yang akan dijelaskan antara lain, dasar materil, dasar


(24)

pendapat ahli, dasar pembelaan advokat, dasar Jaksa Penuntut Umum, sehingga dapat diperoleh gambaran apa dasar pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum.

Sebagai bagian akhir dari penulisan skripsi ini, Bab V merupakan penutup yang memberikan kesimpulan dan saran atau rekomendasi yang sesuai dengan masalah yang menjadi objek kajian.


(25)

BAB II

PENYEBAB JAKSA PENUNTUT UMUM

MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Alasan-alasan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, adalah kapasitasnya sebagai mewakili negara dan kepentingan umum, bahwa putusan Mahkamah Agung nomor 1688 K/PID/2000 tanggal 28 Juni 2001, kasus Joko Soegiarto Tjandra, amar putusannya menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta.

Tanggal 1 September 2008 Jaksa Penuntut Umum 2008 mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, memohon agar putusan Mahkamah Agung tersebut dapat ditinjau kembali, bahwa terdapat (novum) keadaan baru dan adanya kekhilafan hakim.

1. Faktor Adanya Novum

Novum (keadaan baru) yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan pemidanaan. Keadaan baru (novum) yang dimaksud adalah : a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 21/PK/TUN/2003 tanggal 6 Oktober 2004

yang amarnya menyatakan :

Menolak Permohonan Peninjauan Kembali dari Drs.Setya Novanto dengan salah satu pertimbangannya menyatakan, bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena pembatalan perjanjian pengalihan (cessie) tagihan No.002/ PEGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 merupakan masalah perdata, seharusnya permasalahan yang berkaitan dengan surat keputusan BPPN No.SK.423/BPPN/1999 tanggal 15 Oktober 1999 diselesaikan terlebih dahulu ke peradilan umum/perdata.28

Dengan adanya putusan Mahkamah Agung dalam perkara peninjauan

28

Mahkamah Agung, Op.cit., h. 98


(26)

kembali Tata Usaha Negara tersebut, maka masalah sah atau tidaknya pembatalan Cessie oleh BPPN harus diselesaikan melalui peradilan umum/perdata.

b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 59 PK/Pdt/2006 tanggal 29 Mei 2007 yang amarnya “menolak permohonan peninjauan kembali dari PT.Era Giat Prima dengan salah satu pertimbangannya menyatakan :

1) bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,oleh karena alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon PK tidak cukup beralasan karena pertimbangan-pertimbangan putusan kasasi sudah benar dan tepat tidak

terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

2) bahwa berdasarkan keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 1/14/Kep.DP.S/1999 tanggal 23 Juli 1999, Tergugat/Termohon PK I (PT.Bank Bali Tbk) telah diserahkan kepada BPPN untuk dilakukan program penyehatan.

3) bahwa dalam melaksanakan program penyehatan tersebut dan sesuai dengan kewenangannya seperti yang diatur dalam pasal 37 A ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 jounto pasal 19 PP. Nomor 17 Tahun 1999, BPPN pada tanggal 15 Oktober 1999 Nomor SK/423/BPPN/1999 telah membatalkan Perjanjian Pengalihan/ Cessie Nomor 002/P-EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999.

4) bahwa putusan TUN Nomor 148/G.TUN/1999/PT.TUN Jakarta tanggal 2 Maret 2004 (yang membatalkan SK.BPPN Nomor SK.423/BPPN/1999) yang dijadikan dasar dari Judex Facti untuk mengesahkan Perjanjian cessie dan perjanjian-perjanjian lainnya telah dibatalkan oleh MA dalam putusannya Nomor 447 K/TUN/2000 tanggal 4 Maret 2002.

5) bahwa dengan adanya putusan MA tersebut diatas maka BPPN berwenang untuk membatalkan cessie antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. Era Giat Prima maka dengan sendirinya perjanjian cessie tersebut adalah batal dan tidak sah karena telah dibatalkan dengan SK Ketua BPPN Nomor SK/423/BPPN/1999.29

dengan demikian apabila putusan Mahkamah Agung dalam perkara peninjauan kembali Nomor 59 PK/Pdt/2006 yang menyatakan bahwa cessie antara

PT.Bank Bali,Tbk dan PT. Era Giat Prima adalah batal, dan tidak sah, telah diketahui pada saat proses persidangan oleh Judex Juris perkara atas nama

29


(27)

terdakwa Joko Soegiarto Tjandra. Unsur melawan hukum dalam putusan perkara tersebut seharusnya terbukti dan dinyatakan bersalah serta dihukum, bukan diputus lepas dari segala tuntutan.

2. Faktor Kekhilafan Hakim

Peninjauan kembali yang diajukan Jaksa Penuntut Umum bertalian dengan dasar diajukan permohonan peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu putusan itu jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim yang nyata, dapat dibenarkan berdasarkan pertimbangan dan alasan-alasan dalam putusan Nomor 12/PK/Pid.Sus/2009 sebagai berikut:

a) Salah dalam penafsiran unsur Melawan Hukum

Judex Juris (Mahkamah Agung tingkat kasasi) yang mengambil alih

pertimbangan Judex Factie (pengadilan umum tingkat pertama) mengenai unsur "melawan hukum" yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan. Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut merupakan suatu kekhilafan

atau suatu kekeliruan yang nyata karena hanya melihat peran Joko Soegiarto Tjandra sebatas pembuatan Akta Cessie, seharusnya juga mempertimbangkan peran Joko Soegiarto Tjandra dalam memfasilitasi pertemuan antara pejabat-pejabat moneter dalam membahas klaim PT. Bank Bali,Tbk dan adanya perbuatan Joko Soegiarto Tjandra/ PT.EGP yang menguasakan kembali hak menagih kepada PT. Bank Bali.30

b) Unsur yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, pertimbangan Judex Juris, menyatakan bahwa tentang kerugian keuangan negara telah dipertimbangkan oleh Judex Factie dengan benar.

Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut merupakan suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya mempertimbangkan bahwa uang sebesar Rp. 904.462.428.369,- adalah hak PT.Bank Bali,Tbk karena adanya transaksi antara PT.Bank Bali.Tbk dengan PT.BDNI, seharusnya

30


(28)

mempertimbangkan apakah transaksi tersebut dijamin oleh Pemerintah sesuai aturan yang ada.31

c) Unsur perbuatan turut serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana

Judex Juris dalam pertimbangannya menyatakan :

"Judex Factie tidak salah menafsirkan pengertian turut serta,karena Judex Facti telah mempertimbangkan peranan terdakwa dan yang terungkap dalam persidangan terdakwa hanya melakukan cessie dengan Bank Bali".

Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya mempertimbangkan bahwa untuk terjadinya "turut serta" seorang pelaku harus melakukan semua unsur delik dan harus ada "pelaku pokok" seharusnya mempertimbangkan doktrin ataupun yurisprudensi lain tentang ajaran "turut serta".32

d) Unsur perbuatan berlanjut sebagaimana dalam Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pertimbangan Judex Factie pada menyatakan : Bahwa beberapa perbuatan yang satu sama lain ada hubungannya yaitu agar dikwalifisir sebagai suatu perbuatan yang diteruskan dalam praktek peradilan harus memenuhi syarat-syarat :

1) Harus timbul dari satu niat, kehendak atau keputusan atau harus ada kesatuan tekad.

2) Perbuatan harus serupa atau sejenis.

3) Angka waktu diantara terjadinya perbuatan tidak boleh terlalu lama. Menurut Judex Factie perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur tersebut,

namun tidak ditemukan unsur sifat "melawan hukum" atas perbuatan terdakwa baik materiil maupun formil.

Bahwa pertimbangan Judex Juris tersebut diatas merupakan suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena hanya mempertimbangkan bahwa perbuatan Joko Soegiarto Tjandra dalam kapasitas sebagai pihak dalam perjanjian yang bersifat keperdataan (sebagai Cessionaris) seharusnya juga mempertimbangkan peran Joko Soegiarto Tjandra dalam pencairan klaim PT. Bank Bali yang bersifat melawan hukum, Bahwa sifat melawan hukum dari perbuatan Joko Soegiarto Tjandra yang dilakukan bersama-sama dengan Syahril Sabirin dan Pande Nasorahona Lubis.33

31

Ibid., h. 118.

  32

Ibid., h. 120. 33


(29)

3. Analisa Jaksa Penuntut Umum

Analisa Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :

Menurut konsideran Undang-Undang nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, juga di dalam konsideran Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Akibat tindak pidana korupsi selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Persoalan korupsi bukan hanya semata-mata untuk keadilan dan kepastian hukum, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas serta membawa dampak negatif bagi negara dan kehidupan masyarakat, diantaranya menghambat pembangunan ekonomi maupun pembangunan secara umum sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.


(30)

Kepentingan masyarakat umum merupakan kepentingan negara yang dalam bidang penegakan hukum. Kejaksaan selaku lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan mempunyai peran melakukan perlindungan kepentingan umum.


(31)

BAB III

CARA PEMBUKTIAN ADANYA NOVUM DAN KEKHILAFAN HAKIM

Penafsiran Mahkamah Agung atas alasan Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan peninjauan kembali, dengan alasan bahwa perkara tindak pidana korupsi atas nama terpidana Joko Soegiarto Tjandra, adalah terdapat novum (keadaan baru) dan adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim di MA, uraian penafsiran sebagai berikut :

1. Cara Penafsiran Formal Adanya Novum

Alasan Jaksa Penuntut Umum mengajukan novum (keadaan baru) dapat dibenarkan karena tentang sah atau tidaknya suatu perjanjian “pembatalan perjanjian pengalihan tagihan (cessie) nomor : 002/P-EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 “ adalah wewenang dari peradilan perdata, namun pada kasus a quo yang menjadi dasar sah atau tidaknya merupakan putusan Tata Usaha Negara, yang semestinya secara absolut tidak berwenang untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian yang mengikat para pihak;

a) Berdasarkan wewenang yang dimiliki oleh BPPN sebagai lembaga pemberesan mewakili pemerintah dalam penyelesaian bank-bank BBKU maupun BBKO, berdasarkan suratnya nomor : SK/423/BPPN/1999 telah membatalkan perjanjian cessie antara PT Bank Bali dengan PT. Era Giat Prima dan dengan batalnya perjanjian itu semestinya BPPN tidak perlu melakukan pembayaran atas tagihan dimaksud, namun karena adanya intervensi dari pihak-pihak yang mempunyai otoritas pencairan tagihan itu terjadi, sehingga pencairan itu bertentangan dengan ketentuan Kepres 26 tahun 1998 dan BPPN sendiri telah pernah pula menolak permohonan klaim dimaksud

b) Bahwa ternyata secara sadar terdakwa bersama sama dengan Pande Nasorahona Lubis, Syahril Sabirin, Setyo Novanto dan yang lain lain berupaya untuk mewujudkan agar perjanjian cessie antara PT Bank Bali dengan PT. EGP yang bersumber dari transaksi Swap dan Money Market antara PT. BDNI dengan PT Bank Bali yang telah dibatalkan BPPN sebagai transaksi yang dijamin dalam Kepres 26 tahun 1998 dan atas upaya-upaya yang dilakukan dengan mempengaruhi para pemegang otoritas maupun bersama sama dengan pemegang otoritas terwujud dengan diproses dan dibayarkannya tagihan


(32)

dimaksud.34

2. Cara Penafsiran Kekhilafan Hakim

Judex Juris yang mengambil alih pertimbangan Judex Factie mengenai unsur "melawan hukum" yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut adalah pertimbangan Judex Juris mengenai transaksi PT. BDNI dan PT. Bank Bali Tbk., menyatakan "bahwa transaksi SWAP dan money market, antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan perbankan karena itu apa yang telah dipertimbangkan Judex Factie sudah tepat dan benar"

a) Bahwa dalam proses, transaksi SWAP dan money market oleh PT. Bank Bali,Tbk dalam hubungannya dengan Bank BDNI adalah tidak melawan hukum". "bahwa transaksi SWAP dan money market yang dilakukan antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI (sebelum BBO) telah dicatat dalam pembukuan dan telah didokumenkan PT. Bank Bali,Tbk, tidak pernah adanya teguran dari Bank Indonesia baik secara lisan maupun tertulis serta telah dilakukannya verifikasi on site ternyata tidak ditemukan ketidakwajaran dan ketidakbenaran dalam transaksi antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI sehingga tidak melanggar asas demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian serta tidak melanggar tingkat kesehatan bank sebagaimana diatur dalam Pasal 2 jo Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan".

b) Pertimbangan Judex Factie tersebut adalah keliru dan merupakan kekhilafan yang nyata karena hanya mempertimbangkan verifikasi on site yang dilaksanakan hanya terhadap PT. Bank Bali,Tbk. ( Bank kreditur) tanpa melakukan verifikasi on site terhadap PT. BDNI (Bank Debitur), seharusnya verifikasi on site dilakukan terhadap bank kreditur dan bank debitur.

c) Berdasarkan rapat antara Direksi Bank Indonesia dan BPPN (Risalah Rapat Direksi Nomor 31.00.08 tanggal 24 September 1998), ditentukan bahwa dalam proses penjaminan yaitu dari klaim yang masuk akan dilakukan verifikasi oleh Bank Indonesia kemudian apabila klaim tersebut dapat diterima maka akan diberitahukan kepada BPPN untuk mendapatkan otorisasi pembayaran.

d) Bahwa rekonsiliasi antara PT. Bank Bali dan PT. BDNI yang dilakukan oleh BPPN bukanlah dalam pengertian verifikasi on site seperti yang dimaksud

34


(33)

dalam program penjaminan ini, sehingga seharusnya BPPN tidak perlu membayar klaim PT. Bank Bali,Tbk tersebut.

e) Bahwa yang dimaksud oleh verifikasi on site adalah melakukan penelitian terhadap saldo giro bank, fasilitas over draft, BLBI yang diterima dari Bank Indonesia yang dilakukan terhadap bank debitur.

f) Apabila verifikasi on site tersebut dilakukan juga terhadap PT. BDNI maka akan diketahui bahwa kondisi keuangan PT. BDNI pada tanggal 27 September 2007 dalam keadaan overdraft senilai Rp.1,7 triyun lebih, bahkan pada akhir Desember mencapai Rp.8,4 triyun lebih, sehingga sebenarnya transaksi (8 transaksi SWAP dan 2 transaksi money market) antara PT. BDNI dengan PT. Bank Bali, Tbk., sudah melanggar prinsip kehati-hatian bank (prudential principle) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Jo Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

g) Sesuai dengan "prinsip kehati-hatian" dalam usaha perbankan seharusnya PT. BDNI dalam menjalankan usahanya seharusnya memperhatikan rambu-rambu kesehatan bank dalam rangka pengendalian risiko. Prinsip kehati-hatian seperti yang ditentukan di dalam Pasal 2 Undang-Undang Perbankan dijabarkan di dalam patokan-patokan yang bersifat operasional. Salah satu rambu prinsip kehati-hatian adalah Giro Wajib Minimum yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi BI Nomor : 30/89A/ KEP/DIR tanggal 30 Oktober 1997. Prosentase Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% dari dana pihak ketiga dalam rupiah.

h. Berdasarkan data dari Bank Indonesia saldo giro PT. BDNI yang ada di Bank Indonesia pada tanggal 27 November 1997 telah over draft sebesar Rp.1.715.690.000.000,- dan pada tanggal 30 Desember 1997 telah over draft sebesar Rp.8.463.711.000.000,-, dan hal ini pernah dilakukan teguran oleh Bank Indonesia kepada PT. BDNI yaitu :

1. Nomor 30/301/UPB2/AdB2 tanggal 3 November 1997 2. Nomor 30/1742/UPB2/AdB2 tanggal 11 November 1997 3. Nomor 30/2166/UPB2/AdB2 tanggal 2 Desember 1997 4. Nomor 30/2540/UPB2/AdB2 tanggal 31 Desember 1997

sehingga PT. BDNI tidak sepatutnya melakukan transaksi SWAP dan money market dengan PT. Bank Bali. Tbk.

i. Bahwa berdasarkan pada uraian uraian tersebut, dapat disimpulkan telah terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa bersama sama dengan Syahril Sabirin maupun Pande N. Lubis.35

Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa telah terbukti dan mengambil alih pertimbangan yudex factie (Pengadilan Negeri Jakarta

35


(34)

Selatan) ternyata apa yang telah dilakukan oleh terdakwa dengan cara pencairan dana talangan berdasarkan Kepres 26 tahun 1998, bendaharawan negara telah membayarkan uang atas klaim transaksi Swap dan Money Market dari Bank Bali sebesar Rp. 904.462.428.369,- dan uang mana semestinya tidak dapat dibayarkan, sehingga atas pembayaran itu telah merugikan keuangan negara sebasar Rp. 904.462.428.369,- yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi perekonomian negara yang sedang berusaha untuk memulihkan krisis moneter, dan oleh karenanya atas barang bukti yang telah disita dan saat ini tersimpan dalam Escrow Acount Bank Bali pada rekening nomor 0999.045197 sejumlah Rp.546.468.544.738 (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga puluh delapan rupiah) haruslah dirampas untuk dikembalikan pada negara.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis Mahkamah Agung berpendapat permohonan peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dapat dibenarkan dengan membatalkan putusan Judex Juris maupun Judex Factie.


(35)

BAB IV

DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG MENGABULKAN PENINJAUAN KEMBALI JAKSA PENUNTUT UMUM

DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

1. Dasar Materiil

Upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Bab XVII bagian kedua Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bukan ketentuan baru dalam sistem hukum acara pidana. Pengaturan peninjauan kembali secara jelas dan tegas, dimulai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang peninjauan kembali Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap sebagai awal yurisprudensi oleh kasus Sengkon dan Karta, ditinjau dari sejarah hukumnya lembaga peninjauan kembali ini sudah diatur sejak era Reglement of de Straf Vordering Tahun 1926, dengan demikian ketentuan yang telah dirumuskan dalam Peraturan Mahkamah Agung ataupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sekarang ini merupakan aturan yang ditransfer dari Sv.

Sv adalah hukum acara pidana yang diberlakukan pada masa Hindia Belanda. Di dalamnya terdapat ketentuan yang mengatur tentang peninjauan kembali, antara lain sebagai berikut :

a. Pasal 536 menyatakan :

Permohonan peninjauan kembali atas suatu putusan akhir yang telah berkekuatan hukum tetap, yang berisi pemidanaan, dapat diajukan:

1) atas dasar kenyataan bahwa dalam berbagai putusan terdapat pernyataan yang telah dinyatakan terbukti ternyata bertentangan satu dengan yang lainnya.

2) Atas dasar keadaan yang pada waktu pemeriksaan di pengadilan tidak diketahui dan tidak mungkin diketahui, baik berdiri sendiri maupun sehubungan dengan bukti-bukti yang telah diajukan. Dan apabila keadaan itu diketahui, pemeriksaan akan berupa putusan bebas, putusan lepas dari

32 31


(36)

segala tuntutan hukum, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu ditetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Alasan-alasan tersebut dapat diajukan dalam suatu permohonan peninjauan kembali apabila dalam suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap suatu perbutan yang telah didakwakan telah dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan.

b. Pasal 357 menyatakan “peninjauan kembali diajukan ke Mahkamah Agung oleh Jaksa Agung atau suatu permohonan oleh seorang terpidana yang terhadapnya dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dengan melalui kuasa yang khusus diberi kuasa untuk itu atau oleh pengacaranya”.

Berdasarkan hal-hal tersebut, dalam Sv, hanya disebutkan dua alasan dalam mengajukan peninjauan kembali yaitu kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata tidak dicantumkan sebagai salah satu dasar alasan pengajuan peninjauan kembali seperti yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, selain itu dalam Sv juga menyebutkan secara eksplisit mengenai pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah Jaksa Penuntut Umum (Jaksa Agung), dan terpidana atau orang yang diberi kuasa khusus untuk itu atau melalui pengacaranya.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 tentang peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan yang tetap, yaitu : a. Pasal 3 menyatakan :

Mahkamah Agung dapat meninjau kembali atau memerintahkan ditinjau kembali suatu putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua tuduhan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, atas dasar :

1) Apabila putusan dengan jelas memperlihatkan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang mencolok,

2) Apabila dalam putusan terdapat keterangan-keterangan yang dianggap terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain saling bertentangan,


(37)

3) Apabila terdapat keadaan baru sehingga menimbulkan pertimbangan mendalam bahwa apabila keadaan-keadaan itu diketahui waktu siding masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana, melepaskan dari segala tuntutan atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak merupakan tindak pidana, tidak dapat diterimanya perkara yang diajukan oleh jaksa kepada pengadilan, atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebuih ringan,

4) Apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dituduhkan telah dinyatakan terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan.

b. Pasal 4 ayat (1) menyatakan :

Permohonan Peninjauan Kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh :

1) Terpidana

2) Pihak yang berkepentingan 3) Jaksa Agung.

Ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969, terdapat tambahan mengenai alasan dalam mengajukan peninjauan kembali yang sebelumnya tidak terdapat dalam Sv, yaitu apabila putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan, dasar alasan yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 tersebut hampir mirip dengan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hanya terdapat sedikit perbedaan mengenai bunyi atau kalimatnya, yaitu dalam Peraturan Mahkamah Agung berbunyi :

kekhilafan hakim yang mencolok sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana berbunyi, kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Jadi jelaslah bahwa pengertian antara menyolok dan nyata sangat berbeda dimana hal tersebut hanya dapat ditafsirkan oleh hakim dalam memberikan putusannya,36 mengenai pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali dalam Peraturan

36

Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2007 Cetakan I, h. 291.


(38)

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 mengambil alih dari Pasal 357 Sv, yaitu selain terpidana juga dicantumkan Jaksa Penuntut Umum dan pihak yang berkepentingan sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali, kemudian Peraturan Mahkamah Agung ini dicabut oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1971.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

a. Pasal 9 menyatakan :

1) Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah berkekuatan hukum yang tetap

(a) apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan- keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan.

(b) apabila terdapat suatu keadan sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.

2) Atas dasar alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan sebagai bukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan.

b. Pasal 10 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung 1 Tahun 1980 sama bunyinya dengan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 yang mengatur tentang siapa saja yang berhak mengajukan peninjauan kembali, hanya beda tata urutannya. yakni sebagai berikut :

1) Jaksa Agung, ( Jaksa Agung memberikan instruksi kepada Jaksa Penuntut Umum)


(39)

2) Terpidana, atau ahli warinya, dan 3) Pihak yang berkepentingan (Intervensi)

Ketentuan yang mengatur dasar alasan pengajuan peninjauan kembali dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 hampir sama dengan dasar alasan yang terdapat dalam Sv, yaitu tidak dicantumkannya kakhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata sebagai salah satu dasar alasan pengajuan peninjauan kembali, hal tersebut menjadi pertanyaan para ahli hukum, mengapa justru pada saat dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 hal tersebut tidak dicantumkan, padahal pada saat itu sedang hangat-hangatnya kasus Sengkon dan Karta yang mana putusan-putusan yang dinilai sebagai kekhilafan hakim yang nyata memerlukan peninjauan kembali.

Pola pikir yang menghilangkan kakhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata untuk dijadikan dasar peninjauan kembali dianggap oleh sebagian kalangan ahli hukum sebagai suatu pola pikir yang mundur ke masa Sv, Dengan kata lain seolah-olah para hakim adalah manusia yang tanpa cacat dan tidak dapat diganggu gugat karena kesalahan yang dilakukannya didalam tugas menjalankan peradilan, padahal pencantuman dasar alasan tersebut sangat diperlukan melihat banyaknya putusan-putusan pengadilan yang dirasakan oleh para pencari keadilan sebagai suatu kekhilafan atau kekeliruan.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.


(40)

Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 21 Menyatakan : “Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung,dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan.” Sedangkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan dalam Pasal 23 ayat (1), Menyatakan : “Terhadap putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.”

Jadi dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, para pihak yang dapat mengajukan upaya peninjauan kembali adalah para pihak yang bersangkutan, dalam hal ini untuk kasus tindak pidana korupsi Majelis Mahkamah Agung menafsirkan para pihak yang bersangkutan adalah terpidana atau ahli warisnya dan Jaksa Penuntut Umum.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai pihak-pihak dan syarat-syarat pengajuan peninjauan kembali diatur dalam Bab XVIII bagian ke II, antara sebagai berikut :

a. Pasal 263 ayat (1) menyatakan “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hokum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”


(41)

b. Pasal 263 ayat (2) menyatakan :

1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika dugaan itu sudah diketahui pada waktu siding masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hokum atau tuntutan dari penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alas an putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.

3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkana suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

c. Pasal 263 ayat (3) menyatakan “Terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti, akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidaan.”

Ketentuan mengenai dasar alasan dalam pengajuan peninjauan kembali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kembali mencantumkan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, yaitu dalam Pasal 263 ayat (2) butir c, seperti dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan yang tetap.

Guna memelihara konsistensi dan keseragaman hukum maka terdapat beberapa putusan Mahkamah Agung (yurisprudensi) tentang permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum diterima oleh Mahkamah Agung yaitu :

a. Putusan Mahkamah Agung nomor 55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996 tentang peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara atas


(42)

nama terpidana Dr. Muchtar Pahpahan, SH, MM, di mana dalam pertimbangannya menyatakan:

“Dalam menghadapi problema yuridis Hukum Acara Pidana ini, di mana tidak diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan Hukum Acara Pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dalam perkara pidana”.

b. Putusan Mahkamah Agung nomor 15 PK/Pid/2006 tanggal 19 Juni 2006 tentang peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara atas nama terpidana Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih, dalam pertimbangannya menyatakan:

“Bahwa dalam hubungan dengan permintaan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung mengenai tujuan hukum akan mengikuti Redburch yang menggunakan ‘asas prioritas’ di mana prioritas pertama selalu ‘keadilan’, barulah ‘kemanfaatan’, dan terakhir barulah ‘kepastian’ sehingga karena itu Mahkamah Agung dalam mengisi kekosongan hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan cara membentuk hukum acara sendiri demi untuk keadilan, kemanfaatan dan baru kepastian hukum”.

c. Putusan Mahkamah Agung nomor 3 PK/Pid/2000 tanggal 2 Agustus 2001 tentang peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Ram Gulumal al. V. Ram. Berkenaan dengan kewenangan Kejaksaan dalam mengajukan peninjauan kembali, putusan ini memberikan pertimbangannya sebagai berikut :

1) Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum berhak mengajukan peninjauan kembali, sebab logikanya tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya akan mengajukan peninjauan kembali dalam hal Vrijspraak & Onslag Van Rechtvervolging, Dalam hal ini yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan-alasan tersebut pada Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(43)

2) Pasal 263 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, juga tidak mungkin dimanfaatkan bagi terpidana atau ahli warisnya, sebab cenderung akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis apabila Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk peninjauan kembali melalui Pasal ini. (Pernah diatur dalam Reglemen op de Rechtvordering & Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980, bahwa Jaksa Agung dapat mengajukan peninjauan kembali). Mahkamah Agung dalam pertimbangannya, bahwa permohonan upaya hukum peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dikabulkan dan Terdakwa dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada semua tingkat peradilan dibebankan kepada terdakwa.

2. Dasar Pendapat Ahli

Upaya hukum peninjauan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh terdakwa Joko Soegiarto Tjandra yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusannya nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 menimbulkan banyak kontroversi dikalangan ahli hukum di Indonesia. Para ahli hukum sebagaian tidak sependapat apabila Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali yang permohonannya diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, mereka berpendapat bahwa apa yang diputuskan oleh Mahkamah Agung tersebut bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 263 ayat (1) secara tegas disebutkan bahwa yang berhak mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana dan ahli warisnya.

Mereka berargumen bahwa pasal ini bersifat limitatif, artinya pihak-pihak diluar yang disebutkan Pasal itu (termasuk Jaksa Penuntut Umum) tidak dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, diantara yang berpendapat seperti ini adalah Rusli Muhammad, dia menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan Kitab


(44)

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali hanyalah terpidana atau ahli warisnya, sedangkan Jaksa Penuntut Umum atau pihak yang berkepentingan tidak termasuk dalam pihak yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung,37 pendapat ini seolah menguatkan pendapat Martiman Prodjohamidjojo yang berpendapat bahwa Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana membuka kemungkinan bagi terpidana atau ahli warisnya mengajukan upaya peninjauan kembali terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Mahkamah Agung.38

Kedua pendapat para ahli tersebut, menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidaklah bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini menggunakan argumentasi sebagai berikut:

a. Bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak ada aturan yang melarang bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak diperbolehkan untuk mengajukan peninjauan kembali, sehingga putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum tidak bertentangan dengan aturan manapun yang ada, bahkan Mahkamah Agung berhak untuk menafsirkan dan menggali hukum demi menemukan ketentuan hukum yang belum diatur secara jelas.

b. Bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,, menurut penafsiran mereka adalah ayat yang menjadi dasar bagi Jaksa

37

Rusli Muhammad, Op.Cit., h. 294.

38 Martiman Prodjohamodjojo, Komentar Atas KUHAP, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,


(45)

Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, karena ayat tersebut menjelaskan bahwa peninjauan kembali diajukan karena putusan pengadilan menyatakan bahwa dakwaan telah terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Apabila dakwaan telah terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan, maka jelas sangat menguntungkan bagi terdakwa dan merugikan kepentingan umum yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Dengan demikian sangatlah tidak mungkin kalau dalam hal ini terdakwa atau ahli warisnya akan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, karena justru akan merugikan mereka jika peninjauan kembali diterima lalu putusan diikuti oleh suatu pemidanaan.

Penafsiran tersebut tidak sesuai dengan penafsiran Andi Hamzah, karena menurutnya ketentuan Pasal 263 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara ini adalah berarti untuk merehabilitasi nama terdakwa saja, karena putusan tidak diikuti pemidanaan sehingga dia meminta namanya dipulihkan atau direhabilitasi.39

Ketentuan Undang-Undang apabila kita perhatikan secara cermat, ternyata Undang-Undang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas, walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian undang-undang memberi kuasa kepada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya kententuan Undang-Undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan Undang-Undang, dan

39 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1993 h.


(46)

hakim boleh menafsir suatu ketentuan Undang-Undang secara gramatikal atau historis, baik "recht maupun wetshistoris".40

Ada yang berpendapat, meskipun hukum acara Indonesia tergolong hukum publik yang bersifat imperatif, dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi atau disebut According to The Principle of Justice, bahkan berkembang pendapat umum yang mengatakan : tanpa penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik, penuntut dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan publik memang diakui imperatif, tetapi tidak seluruhnya absolut. Ada ketentuan yang dapat dilenturkan (Flexible), dikembangkan (Growth) bahkan disingkirkan (Overrule) sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep to Improve The Quality of Justice and to Reduce Injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bertitik tolak pada motivasi yang seperti itulah yang mendorong Majelis peninjauan kembali dalam kasus Muchtar Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada Jaksa Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara memberi kesempatan kepada Jaksa Penuntut Umum membuktikan

40 Lie Oen Hock, Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum, PT. Penerbitan Universitas,


(47)

bahwa pembebasan yang dijatuhkan pengadilan tidak adil “In Justice” karena didasarkan ada alasan ”non yuridis”.41

Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dianggap sesuai dengan konsep Daad-Dader-Stra-Recht yang oleh Muladi disebut Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, maupun korban tindak pidana.42

3. Dasar Jaksa Penuntut Umum

Dasar hukum Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana korupsi, perlu dikemukakan sebagai bahan analisa hukum sebagaimana ketentuan-ketentuannya sebagai berikut :

a. Pasal 248 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, menentukan :

"Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan".

b. Article 8 Statute of International Criminal Court in principle to determine :

41 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar

Grafika, Jakarta, 2000, Edisi Kedua, h.642-643. 

          42


(48)

1. The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or one person alivee at the time of the accused"s death who has been given Express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person's behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgmen of conviction or sentence on the grounds that...”; artinya :

Pasal 8 Undang-Undang Mahkamah Pidana Internasional pada pokoknya menentukan:

1. Orang dihukum atau setelah kematiannya, pasangan, anak-anak, orang tua, atau satu orang yang hidup pada saat kematian terdakwa yang telah diberikan instruksi tertulis secara tegas dari terdakwa untuk membawa seperti permohonan oleh penuntut umum atas nama seseorang, dapat diajukan permohonan ke majelis hakim untuk meninjau kembali putusan akhir keyakinan atau hukuman dengan dasar bahwa...";

c. Pasal 37 Peraturan Hukum Acara Pidana Hindia Belanda (Reglement of Straf Vordering) (Sv) (S.1847-40) pada pokoknya menentukan:

"Permohonan Peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung oleh Jaksa Agung dibuat pengajuan permohonan secara tertulis dari seorang pelaku yang telah memperoleh putusan pidana yang telah kekuatan hukum tetap atau dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan khusus atau oleh penasehat hukumnya, sesuai Ketentuan Pasal 120 apabila terjadi gangguan maka berlaku perubahan-perubahan seperlunya, disebutkan dalam paragraf kedua dari Pasal itu, diajukan kepada ketua Mahkamah Agung (Sv. (3.563, 358v.)”.

d. Pasal 10 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap menentukan : “Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan”.

Berdasarkan analisa hukum tersebut di atas ketentuan-ketentuan tersebutlah yang dipakai Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan


(49)

peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sebagai bahan perbandingan hukum acara pidana Indonesia secara formal dapatlah diterima.


(50)

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan

a. Tindak pidana korupsi termasuk kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime), yang sangat merugikan negara Alasan Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya peninjauan kembali adalah, adanya Novum (keadaan baru) dan adanya kekhilafan hakim yang nyata, keadaan yang dimaksud adalah Putusan Mahkamah Agung nomor 21/PK/TUN/2003 tanggal 6 Oktober 2004 dan Putusan Mahkamah Agung nomor 59 PK/Pdt/2006 tanggal 29 Mei 2007, sedangkan kekhilafan yang dimaksud adalah pertimbangan Judex Factie yang keliru dan merupakan kekhilafan yang nyata, karena hanya mempertimbangkan verifikasi on site yang dilaksanakan hanya terhadap PT. Bali, Tbk (Bank Krebitur) tanpa melakukan verifikasi on site tethadap PT. Bank BDNI (Bank Debitur), dan pertimbangan Judex Juris, bahwa transaksi SWAP dan money market, antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI tidak bertentangan dengan ketentuan Perundang-undangan perbankan. b. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis Mahkamah Agung

berpendapat permohonan peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dapat dibenarkan dengan membatalkan putusan Judex Juris maupun Judex Factie, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa telah terbukti dan mengambil alih pertimbangan yudex factie (Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) ternyata apa yang telah dilakukan oleh terdakwa dengan merugikan keuangan negara sebasar Rp. 904.462.428.369,- yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi perekonomian negara yang sedang 46


(51)

berusaha untuk memulihkan krisis moneter, dan oleh karenanya atas barang bukti tersebut disita, dan haruslah dirampas untuk dikembalikan pada negara.

c. Dasar pertimbangan yang digunakan oleh Mahkamah Agung untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah, Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sebagaimana Mahkamah Agung ingin menciptakan hukum acara sendiri. Mahkamah Agung melakukan penafsiran terhadap Pasal 263 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menurut penafsiran majelis Mahkamah Agung, maka ditujukan kepada Jaksa Penuntut Umum, karena adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim diubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat diubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa, untuk memelihara kekosongan putusan Mahkamah Agung (Consistency In CourtDecission), maka Mahkamah Agung akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya nomor 55 PK/ Pid/ 1996, putusan nomor 3 PK/ Pid/ 2001, putusan nomor 109 PK/ Pid/ 2007, yang mana semua putusan tersebut telah menafsirkan Undang-Undang nomor 14 Tahun 1970 Pasal 21 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa pihak yang berkepentingan untuk dapat mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya dan Jaksa Penuntut


(52)

Umum.

2. Saran

a. Pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terutama dalam tperkara tindak pidana korupsi merupakan hak yang harus segera diformalkan melalui Peraturan perundang-undangan, karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan kepentingan umum (negara) agar pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum bukanlah hal baru, karena pernah ada ketentuan yang menyatakan Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang berhak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, aturan ini tidak diatur secara tegas, sehingga menimbulkan kontroversi dan berbagai penafsiran dikalangan ahli hukum. upaya hukum Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana korupsi bukanlah tindakan yang salah karena mereka pernah punya hak untuk mengajukan peninjauan kembali dan saat ini tidak ada aturan yang melarang secara tegas Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali.

b. Jaksa Penuntut Umum dalam mencari dan menemukan novum (keadaan baru) terkesan lamban, dalam hal kinerja maupun prilaku aparat kejaksaan. Jaksa Penuntut Umum haruslah bertindak secara profesional dan proposional dalam penegakan hukum. Mahkamah Agung haruslah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap peradilan dibawahnya,


(1)

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan

a. Tindak pidana korupsi termasuk kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime), yang sangat merugikan negara Alasan Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya peninjauan kembali adalah, adanya Novum (keadaan baru) dan adanya kekhilafan hakim yang nyata, keadaan yang dimaksud adalah Putusan Mahkamah Agung nomor 21/PK/TUN/2003 tanggal 6 Oktober 2004 dan Putusan Mahkamah Agung nomor 59 PK/Pdt/2006 tanggal 29 Mei 2007, sedangkan kekhilafan yang dimaksud adalah pertimbangan Judex Factie yang keliru dan merupakan kekhilafan yang nyata, karena hanya mempertimbangkan verifikasi on site yang dilaksanakan hanya terhadap PT. Bali, Tbk (Bank Krebitur) tanpa melakukan verifikasi on site tethadap PT. Bank BDNI (Bank Debitur), dan pertimbangan Judex Juris, bahwa transaksi SWAP dan money market, antara PT. Bank Bali,Tbk dan PT. BDNI tidak bertentangan dengan ketentuan Perundang-undangan perbankan. b. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis Mahkamah Agung

berpendapat permohonan peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dapat dibenarkan dengan membatalkan putusan Judex Juris maupun Judex Factie, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa telah terbukti dan mengambil alih pertimbangan yudex factie (Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) ternyata apa yang telah dilakukan oleh terdakwa dengan merugikan keuangan negara sebasar Rp. 904.462.428.369,- yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi perekonomian negara yang sedang 46


(2)

berusaha untuk memulihkan krisis moneter, dan oleh karenanya atas barang bukti tersebut disita, dan haruslah dirampas untuk dikembalikan pada negara.

c. Dasar pertimbangan yang digunakan oleh Mahkamah Agung untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah, Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sebagaimana Mahkamah Agung ingin menciptakan hukum acara sendiri. Mahkamah Agung melakukan penafsiran terhadap Pasal 263 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menurut penafsiran majelis Mahkamah Agung, maka ditujukan kepada Jaksa Penuntut Umum, karena adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim diubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat diubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa, untuk memelihara kekosongan putusan Mahkamah Agung (Consistency In CourtDecission), maka Mahkamah Agung akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya nomor 55 PK/ Pid/ 1996, putusan nomor 3 PK/ Pid/ 2001, putusan nomor 109 PK/ Pid/ 2007, yang mana semua putusan tersebut telah menafsirkan Undang-Undang nomor 14 Tahun 1970 Pasal 21 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa pihak yang berkepentingan untuk dapat mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya dan Jaksa Penuntut


(3)

Umum.

2. Saran

a. Pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terutama dalam tperkara tindak pidana korupsi merupakan hak yang harus segera diformalkan melalui Peraturan perundang-undangan, karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan kepentingan umum (negara) agar pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum bukanlah hal baru, karena pernah ada ketentuan yang menyatakan Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang berhak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, aturan ini tidak diatur secara tegas, sehingga menimbulkan kontroversi dan berbagai penafsiran dikalangan ahli hukum. upaya hukum Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana korupsi bukanlah tindakan yang salah karena mereka pernah punya hak untuk mengajukan peninjauan kembali dan saat ini tidak ada aturan yang melarang secara tegas Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali.

b. Jaksa Penuntut Umum dalam mencari dan menemukan novum (keadaan baru) terkesan lamban, dalam hal kinerja maupun prilaku aparat kejaksaan. Jaksa Penuntut Umum haruslah bertindak secara profesional dan proposional dalam penegakan hukum. Mahkamah Agung haruslah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap peradilan dibawahnya,


(4)

karena telah terjadinya kekhilafan hakim yang nyata, sesuai dengan Pasal 11 ayat (4) nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

c. Majelis Mahkamah Agung seharusnya menolak permohonan upaya hukum peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, karena kapasitas Jaksa Penuntut Umum dalam upaya hukum luar biasa diatur secara tegas dalam Pasal 259 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu kasasi demi kepentingan hukum, sedangkan untuk upaya hukum peninjauan kembali tidak mengatur Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan peninjauan kembali, dalam hal ini pertimbangan Mahkamah Agung seharusnya mengacu sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Majelis Mahkamah Agung dalam hukum acara seharusnya tidak melakukan interpretasi terhadap ketentuan hukum acara, karena hukum acara adalah hukum publik yang bersifat imperatif, sehingga jika ditafsirkan akan menimbulkan ketidakpastian hukum.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Andi, Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1993

Hilmawan, Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar maju, Bandung, 1995

Idrati, Rini, Metode Penelitian Hukum, Surabaya, 2008

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1989

Kejaksaan, Agung R.I., Peristilahan Hukum Dalam Praktek, Jakarta, 1985. Lilik, Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 Lie, Oen Hock, Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum, PT. Penerbitan

Universitas, Bandung, Cetakan ke IV , 1965

Martiman, Prodjohamodjojo, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan III, 1990

Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995

Muhammad, Yahya, Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I Cetakan III, Pustaka Kartini, Jakarta, 1985

_______, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988

_______, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Edisi Kedua , Jakarta, 2000

Muhammad, Rusli, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2007

Osman, Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bandung, 1994 Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1984


(6)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Tentang Mahkamah Agung

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969, Tentang Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1980, Tentang Peninjauan Kembali Putusan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap Mahkamah Agung, Putusan, Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009, Terpidana Joko Soegiarto Thjandra

http://www.mahkamahagung.co.id http://www.kejaksaan.go.id

http://www.hamline.edu, Tentang Seputar Peninjauan Kembali http://www.InfoKorupsi.com, Tentang Kasus Cessie Bank Bali http://www.legalitas.org


Dokumen yang terkait

Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana

2 70 135

Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali.

0 2 7

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI YANG TELAH DIAJUKAN LEBIH DAHULU OLEH TERPIDANA DI MAHKAMAH AGUNG.

0 0 1

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 183 PK/PID/2010 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH TERPIDANA ATAS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM.

0 0 1

PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN OLEH JAKSA SEBAGAI AKIBAT HUKUM PENOLAKAN PENINJAUAN KEMBALI KEDUA TERPIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 144 PK/Pid.Sus/2016).

0 0 14

Pengajuan Peninjauan Kembali Oleh Terpidana Mati Atas Dasar Kekeliruan Menerapkan Hukum Dan Kekhilafan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Psikotropika (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor: 39.PK/Pid.Sus/2011).

0 0 13

Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali Terpidana Atas Dasar Novum dan Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung Dalam Memutus Perkara Penipuan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 36 PK/PID/2013).

0 0 12

TINJAUAN TENTANG ADANYA KEKHILAFAN HAKIM ATAU SUATU KEKELIRUAN YANG NYATA SEBAGAI ALASAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH TERPIDANA DALAM PERKARA KORUPSI GRATIFIKASI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Nomor 64 PK/Pid.Sus/2012).

0 2 11

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PENGAJUAN UPAYA PENINJAUAN KEMBALI PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12Pid.Sus2009 Terpidana Joko Soegiarto Tjandra SKRIPSI

0 0 24

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33/PUUXIV/ 2016 - Unika Repository

0 0 13